UJI EFEKTIVITAS
Beauveria bassiana
(Balsamo) vuilemin DAN
Metarhizium anisopliae
var anisopliae TERHADAP RAYAP
(
Coptotermes curvignathus
Holmgren)
(Isoptera : Rhinotermitidae
DI LABORATORIUM
SKRIPSI
OLEH :
ANGEL PRATIWI PURBA 050302038
HPT
DEPARTEMEN ILMU HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
UJI EFEKTIVITAS
Beauveria bassiana
(Balsamo) vuilemin DAN
Metarhizium anisopliae
var anisopliae TERHADAP RAYAP
(
Coptotermes curvignathus
Holmgran)
(Isoptera : Rhinotermitidae
DI LABORATORIUM
SKRIPSI
OLEH :
ANGEL PRATIWI PURBA 050302038
HPT
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian di Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara, Medan
Disetujui Oleh: Komisi Pembimbing
(Ir. Mena Uly Tarigan, MS) (Ir. Syahrial Oemry, MS)
Ketua Anggota
DEPARTEMEN ILMU HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
3
ABSTRACT
Angel Pratiwi Purba "Test Effectiveness Beuveria bassiana (Balsamo) vuillemin and Metarhizium anisopliae var anisopliae Against Termites (Coptotermes curvignathus Holmgren) (Isoptera: Rhinotermitidae) in Laboratory" under the direction of Ir. Mena Uly Tarigan, MS as chairman and Ir. Syahrial Oemry, MS as a member.
This research’s goal was to know which the best concentrate between B.bassiana and M.anisopliae in controlled C.curvignathus in Laboratory.
This research was done on Pest and Disease Laboratory, Faculty of Agriculture, October until November 2009. this experiment was arranged in Completely Randomize Design consist 7 Statements 3 replication. Is that treatment : A0 (Kontrol), A1 (B. bassiana 105), A2 (B. bassiana 106), A3 (B.bassiana 107), A4 (M. anisopliae 105), A5 (M. anisopliae 106), A6 (M. anisopliae 107).
ABSTRAK
Angel Pratiwi Purba “Uji Efektivitas Beuveria bassiana (Balsamo) vuillemin dan Metarhizium anisopliae var anisopliae Terhadap Rayap (Coptotermes curvignathus Holmgren) (Isoptera : Rhinotermitidae) Di Laboratorium” di bawah bimbingan Ir. Mena Uly Tarigan, MS sebagai ketua dan Ir. Syahrial Oemry, MS selaku anggota.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi kerapatan
Beauveria bassiana dan Metarhizium anisopliae yang efektif dalam mengendalikan hama rayap Coptotermes curvignathus di laboratorium.
Penelitian dilakukan di Laboratorium Hama Departemen Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian dari bulan Oktober 2009 sampai dengan November 2009. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) Non factorial yang terdiri dari 7 perlakuan dengan 3 ulangan. Adapun notasinya sebagai berikut : A0 (Kontrol), A1 (B. bassiana 105), A2 (B. bassiana 106), A3 (B.bassiana 107), A4 (M. anisopliae 105), A5 (M. anisopliae 106), A6 (M. anisopliae 107).
Parameter yang diamati meliputi persentase mortalitas
Coptotermes curvignathus dan persentase susut bobot bahan. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan persentase mortalitas A0 (Kontrol) sebesar 0%, A1 (B.
bassiana 105) sebesar 90%, A2 (B. bassiana 106) sebesar 95%, A3 (B.bassiana 107) sebesar 100%, A4 (M. anisopliae 105) sebesar 88,33%, A5 (M.anisopliae 106) sebesar 93%, A6 (M.anisopliae 107) sebesar 98,33%. Sedangkan susut bobot bahan pada A0 (Kontrol) sebesar 6,53%, A1 (B. bassiana 105) sebesar 13,73%, A2 (B. bassiana 106) sebesar 10,27%, A3 (B.bassiana 107) sebesar 7,53%, A4 (M.
5
RIWAYAT HIDUP
Angel Pratiwi Purba, dilahirkan di Medan pada tanggal 1 Agustus 1986
dari Ayah Ir. Ronly Purba dan Ibunda Dra. Lasmaida Simanungkalit. Penulis
merupakan anak keempat dari empat bersaudara.
Tahun 1998 lulus dari SD Negeri 101771 Tembung, tahun 2001 lulus dari
SLTP Negeri 1 P. Sei Tuan, tahun 2004 Lulus SMU Negeri 11 Medan, tahun
2005 lulus dari D1 Politeknik Negeri Medan, dan tahun 2005 diterima sebagai
mahasiswa Departemen Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian,
Universitas Sumatera Utara, Medan melalui jalur SPMB.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten di Laboratorium
Ilmu Gulma, melaksanakan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di PTPN III Sei Silau
pada bulan Juni-Juli 2009. Melaksanakan Praktek skripsi di Laboratorium Ilmu
Hama Fakultas Pertanian USU, Medan pada bulan Oktober sampai November
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga saya dapat melaksanakan proposal
usulan penelitian saya ini dengan judul Uji efektivitas Beauveria bassiana (Balmo) villemin Dan Metarhizium anisopliae var anisopliae Terhadap Rayap
(Coptotermes curvignathus Holmgren) (Isoptera: Rhinotermitidae) DiLaboratorium.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada ketua komisi pembimbing,
Ibu Ir. Mena Uly Tarigan, MS selaku ketua komisi pembimbing,
Bapak Ir. Syahrial Oemry, MS selaku anggota komisi pembimbing yang telah
memberikan banyak bimbingan serta memberikan banyak arahan dalam
melaksanakan proposal usulan penelitian ini.
Penulis menyadari bahwa rencana usulan penelitian ini masih belum
sempurna, untuk itu saya mengharapkan saran dan kritik dalam penyempurnaan
proposal usulan penelitian ini.
Akhir kata dengan kerendahan hati penulis mengharapkan agar kiranya
tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua Terima kasih.
Medan, April 2009
7
Pengendalian Rayap ... 11
Beauveria bassiana ... 13
Metharizium anisopliae ... 15
BAHAN DAN METODE Persentase Mortalitas (%) C. curvignathus 4-14HSA... 21
KESIMPULAN
Kesimpulan ... 27 Saran ... 27 .
9
DAFTAR TABEL
NO KETERANGAN
HALAMAN
1. Persentase Mortalitas Coptotermes curvignathus ………. 22
DAFTAR GAMBAR
NO KETERANGAN
HALAMAN
1. Siklus Hidup C. curvignathus ……… 4
2. Koloni Rayap C. curvignathus ……….. 6
3. Ratu Rayap C. curvignathus ……….. 6
4. Kasta Prajurit ………. 7
5. Kasta Pekerja ………. 8
6. Konidia Beauveria bassiana ………. 15
7. Konidia Metarhizium anisopliae ……… 17
8. Grafik Presentase Mortalitas C. curvignathus ……….. 24
11
DAFTAR LAMPIRAN
NO KETERANGAN
HALAMAN
1. Bagan Percobaan ………. 31
2. Persentase Mortalitas C.curvignathus Pada 4 HSA ………… 32 3. Persentase Mortalitas C.curvignathus Pada 6 HSA ………… 34 4. Persentase Mortalitas C.curvignathus Pada 8 HSA ………… 36 5. Persentase Mortalitas C.curvignathus Pada 10 HSA ……….. 38 6. Persentase Mortalitas C.curvignathus Pada 12 HSA ……….. 40 7. Persentase Mortalitas C.curvignathus Pada 14 HSA ……….. 42
8. Persentase Susut Bobot Bahan Pada 14 HSA ………. 44
ABSTRACT
Angel Pratiwi Purba "Test Effectiveness Beuveria bassiana (Balsamo) vuillemin and Metarhizium anisopliae var anisopliae Against Termites (Coptotermes curvignathus Holmgren) (Isoptera: Rhinotermitidae) in Laboratory" under the direction of Ir. Mena Uly Tarigan, MS as chairman and Ir. Syahrial Oemry, MS as a member.
This research’s goal was to know which the best concentrate between B.bassiana and M.anisopliae in controlled C.curvignathus in Laboratory.
This research was done on Pest and Disease Laboratory, Faculty of Agriculture, October until November 2009. this experiment was arranged in Completely Randomize Design consist 7 Statements 3 replication. Is that treatment : A0 (Kontrol), A1 (B. bassiana 105), A2 (B. bassiana 106), A3 (B.bassiana 107), A4 (M. anisopliae 105), A5 (M. anisopliae 106), A6 (M. anisopliae 107).
4
ABSTRAK
Angel Pratiwi Purba “Uji Efektivitas Beuveria bassiana (Balsamo) vuillemin dan Metarhizium anisopliae var anisopliae Terhadap Rayap (Coptotermes curvignathus Holmgren) (Isoptera : Rhinotermitidae) Di Laboratorium” di bawah bimbingan Ir. Mena Uly Tarigan, MS sebagai ketua dan Ir. Syahrial Oemry, MS selaku anggota.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi kerapatan
Beauveria bassiana dan Metarhizium anisopliae yang efektif dalam mengendalikan hama rayap Coptotermes curvignathus di laboratorium.
Penelitian dilakukan di Laboratorium Hama Departemen Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian dari bulan Oktober 2009 sampai dengan November 2009. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) Non factorial yang terdiri dari 7 perlakuan dengan 3 ulangan. Adapun notasinya sebagai berikut : A0 (Kontrol), A1 (B. bassiana 105), A2 (B. bassiana 106), A3 (B.bassiana 107), A4 (M. anisopliae 105), A5 (M. anisopliae 106), A6 (M. anisopliae 107).
Parameter yang diamati meliputi persentase mortalitas
Coptotermes curvignathus dan persentase susut bobot bahan. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan persentase mortalitas A0 (Kontrol) sebesar 0%, A1 (B.
bassiana 105) sebesar 90%, A2 (B. bassiana 106) sebesar 95%, A3 (B.bassiana 107) sebesar 100%, A4 (M. anisopliae 105) sebesar 88,33%, A5 (M.anisopliae 106) sebesar 93%, A6 (M.anisopliae 107) sebesar 98,33%. Sedangkan susut bobot bahan pada A0 (Kontrol) sebesar 6,53%, A1 (B. bassiana 105) sebesar 13,73%, A2 (B. bassiana 106) sebesar 10,27%, A3 (B.bassiana 107) sebesar 7,53%, A4 (M.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jack) diyakini berasal dari Afrika Barat, Walaupun demikian, kelapa sawit ternyata cocok dikembangkan di luar daerah
asalnya, termasuk Indonesia. Hingga kini kelapa sawit telah diusahakan dalam
bentuk perkebunan dan pabrik kelapa sawit oleh sekitar tujuh negara produsen
terbesarnya (S. Iman, dan W. Yustina., 1992).
Rayap dapat menimbulkan masalah di perkebunan kelapa sawit terutama
pada areal baru bekas hutan. Ada dua jenis yang menyerang kelapa sawit, yakni
Coptotermes curvignathus dan macrotermes gilvus, yang menyerang batang dan
pelepah daun, baik jaringan yang masih hidup maupun jaringan mati
(M. Soepadiyo, dan S. Haryono., 2003).
Rayap subteran Coptotermes curvignathus merupakan salah satu serangga hama utama pada kelapa sawit terutama pada kelapa sawit khususnya di lahan
gambut. Serangannya dapat mematikan tanaman dan kasusnya semakin berat
dengan diterapkannya zero burning dalam pembukaan lahan. Pengendaliannya
sulit dilakukan karena banyaknya sisa kayuan yang merupakan bahan makanan
dan tempat berkembangbiak yang sesuai. Selama ini pengendlian dilakukan
dengan insektisida. Beberapa insektisida efektif menekan serangan rayap tapi
tidak mampu mencegah reinfestasi baru. Dalam jangka panjang, pengendalian
secara kimiawi ini tidak efisien dan dapat mencemari lingkungan. Suatu strategi
pengendalian rayap pada kelapa sawit pada kelapa sawit di lahan gambut dapat
teknik-13
teknik pengendalian yang kompatibel dan yang memiliki dampak negatif minimal
(Purba R.Y dkk, 2002)
Pada areal perkebunan kelapa sawit dapat dijumpai beberapa jenis rayap,
tetapi yang menimbulkan masalah adalah Coptotermes curvignathus Holmgren dan Macrotermes gilvus Hagen. Rayap C.curvignathus lebih berbahaya karena menyerang jaringan hidup dan dapat mematikan tanaman kelpa sawit. Rayap ini
merupakan spesies asli yang banyak terdapat pada hutan primer di Indonesia dan
Malaysia, terutama di dataran rendah serta daeharah dengan penyebaran curah
hujan merata sepanjang tahun C. curvignathus mudah dibedakan dengan jenis rayap lainnya dari ciri pertahanan dirinya, prajurit yang terganggu segera
mengeluarkan cairan putih dari kelenjar di kepalanya untuk mempertahankan diri.
Banyak jenis tanaman yang dapat diserang oleh C. curvignathus diantaranya
karet, kapuk, kopi, kelapa, ubi kayu dan kelapa sawit
(Ginting dan Chenon, 2002)
Pada areal kelapa sawit terserang C. curvignathus di Sumatera Utara sering dijumpai rayap kasta pekerja dan tentara yang mati karena infeksi jamur
entomopatogenik. Setelah diisolasi pada medium PDA dan diidentifikasi melalui
pengamatan mikroskopik ternyata jamur entomopatogenik tersebut terdiri dari 3
spesies yang termasuk kelompok fungi imperfecti, yaitu Metarhizium anisopliae,
Beauveria bassiana, dan Aspergillus flavus (Purba dkk, 2002)
Sampai saat ini, pengendalian serangan rayap skala lapangan sebagian
besar memakai bahan kimia yang sangat beracun dan tidak ramah lingkungan.
nematoda, bakteri, dan jamur yang diumpankan kepada rayap sehingga akan
mengganggu sistem pencernaan rayap (Prasetiyo dan Yusuf, 2005).
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas jamur
entomopatogen Beauveria bassiana dan Metarhizium anisopliae, dalam mengendalikan hama rayap C.curvignathus dengan konsentrasi yang berbeda.
Hipotesis Penelitian
Pada taraf konsentrasi yang berbeda , Beauveria bassiana dan
Metarhizium anisopliae memberi pengaruh berbeda untuk menginfeksi rayap (C.curvignathus).
Kegunaan Penelitian
- Sebagai salah satu syarat untuk dapat menyelesaikan tugas akhir di
Departemen Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara, Medan
TINJAUAN PUSTAKA
Biologi Coptotermescurvignathus Holmgren
Menurut Nandika dkk (2003) klasifikasi rayap subteran sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Phyllum : Arthropoda
Class : Insecta
Ordo : Isoptera
Family : Rhinotermitidae
Genus : Coptotermes
Spesies : Coptotermes curvignathus Holmgren
Perkembangan siklus hidup rayap dapat dilihat pada gambar:
Gambar 1. Siklus Hidup Rayap
Sumber: www.e-dukasi.net/mol/mo_full.php?moid=78&fnam...
Rayap adalah termasuk binatang Arthropoda, kelas insekta dari ordo
isopteran yang dalam perkembangan hidupnya mengalami metamorphosa gradual
atau bertahap. Kelompok binatang ini ini pertumbuhannya melalui tiga tahap,
Rayap yang ditemukan di daerah tropis jumlah telurnya dapat mencapai ±
36000 sehari bila koloninya sudah berumur ± 5 tahun. Bentuk telur rayap ada
yang berupa butiran yang lepas dan ada pula yang berupa kelompok terdiri dari
16-24 butir telur yang melekat satu sama lain. Telur-telur ini berbentuk silinder
dengan ukuran panjang yang bervariasi antara 1-1,5 mm (Hasan, 1986). Telur
C. curvignathus akan menetas setelah berumur 8-11 hari (Nandika dkk, 2003). Nimfa muda akan mengalami pergantian kulit sebanyak 8 kali, sampai
kemudian berkembang menjadi kasta pekerja, prajurit dan calon laron
(Nandika dkk, 2003).
Kepala berwarna kuning, antenna, labrum, dan pronotum kuning pucat.
Bentuk kepala bulat ukuran panjang sedikit lebih besar daripada lebarnya.
Antenna terdiri dari 15 segmen. Mandibel berbentuk seperti arit dan melengkung
diujungnya, batas antara sebelah dalam dari mandibel kanan sama sekali rata.
Panjang kepala dengan mandibel 2,46-2,66 mm, panjang mandibel tanpa kepala
1,40-1,44 mm dengan lebar pronotum 1,00-1,03 mm dan panjangnya 0,56 mm.
panjang badan 5,5-6 mm. Bagian abdomen ditutupi dengan rambut yang
menyerupai duri. Abdomen berwarna putih kekuning-kuningan
(Nandika dkk, 2003).
Kasta Rayap
Rayap hidup sebagai serangga sosial dalam masyarakat yang disebut
koloni. Di dalam setiap koloni rayap terdapat tiga kasta yang memiliki bentuk
yang berbeda sesuai dengan fungsinya masing-masing yaitu kasta prajurit,kasta
17
Gambar 2. Koloni Rayap Captotermes curvignathus Holmgren
Sumber :
1. Kasta Reproduktif
Terdiri atas reproduktif primer dan reproduktif suplementer. Kasta
reproduktif primer bersayap dari rayap dewasa atau laron yang bersayap dua
pasang, berbentuk sama yaitu bulat memanjang bagian luar dari sayap sama
dengan bagian dalamnya. Sayap – sayap ini terletak membujur diatas abdomen.
Pnjangnya melebihi ukuran panjang tubuhnya. Warna tubuh coklat muda sampai
coklat tua dan lebih gelap dari warna tubuh dari anggota kasta – kasta lainnya
(Hasan, 1986).
Gambar 3. Ratu Rayap
Sumber :
2. Kasta Prajurit
Kasta ini ditandai dengan bentuk tubuh yang kekar karena penebalan
(sklerotisasi) kulitnya agar mampu melawan musuh dalam rangka tugasnya
antara para pekerja yang sibuk mencari dan mengangkut makanan. Setiap ada
gangguan dapat diteruskan melalui "suara" tertentu sehingga prajurit-prajurit
bergegas menuju ke sumber gangguan dan berusaha mengatasinya. Jika
terowongan kembara diganggu sehingga terbuka tidak jarang kita saksikan
pekerja-pekerja diserang oleh semut sedangkan para prajurit sibuk bertempur
melawan semut-semut, walaupun mereka umumnya kalah karena semut lebih
lincah bergerak dan menyerang. Tapi karena prajurit rayap biasanya dilengkapi
dengan mandibel (rahang) yang berbentuk gunting maka sekali mandibel menjepit
musuhnya, biasanya gigitan tidak akan terlepas walaupun prajurit rayap akhirnya
mati (Tarumingkeng, 2001). .
Gambar 4. Kasta Prajurit
3. Kasta Pekerja
Kasta ini membentuk sebagian besar koloni rayap. Tidak kurang dari 80%
populasi dalam koloni merupakan individu-individu pekerja
(Tarumingkeng, 2001). Kasta pekerja terdiri dari nimfa dan dewasa yang steril,
memiliki warna yang pucat dan mengalami penebalan di bagian kutikula, tanpa
sayap dan biasanya tidak memiliki mata, memiliki mandibel yang relatif kecil
19
Walaupun kasta pekerja tidak terlibat dalam proses perkembangbiakan
koloni dan pertahanan, namun hampir semua tugas koloni dikerjakan oleh kasta
ini. Kasta pekerja bekerja terus tanpa henti, memelihara telur dan rayap muda.
Kasta pekerja bertugas memberi makan dan memelihara ratu, mencari sumber
makanan, membuat serambi sarang, dan liang-liang kembara, merawatnya,
merancang bentuk sarang, dan membangun termitarium. Kasta pekerja pula yang
memperbaiki sarang bila terjadi kerusakan (Nandika dkk, 2003).
Kasta pekerja jumlahnya jauh lebih besar dari seluruh kasta yang terdapat
dalam koloni rayap. Nimfa yang menetas dari telur pertama dari sebuah koloni
yang baru akan berkembang menjadi kasta pekerja. Waktu keseluruhan yang
dibutuhkan dari keadaan telur sampai dapat bekerja secara aktif sebagai kasta
pekerja pada umumnya adalah 6-7 bulan. Umur kasta pekerja dapat mencapai
19-24 bulan (Hasan, 1986).
Gambar 5. Kasta Pekerja
Gejala Serangan C. Curvignathus pada Kelapa Sawit
Pada tanaman kelapa sawit muda gejala serangan rayap diketahui dari
adanya penumpukan tanah pada pangkal pelepah sampai ke pucuk tanaman. Di
penggerekan ke dalam batang, mencapai titik tumbuh dan akhirnya tanaman
tersebut mati (Andriaty, 2007).
Gejala serangan C. Curvignathus pada bagian luar tanaman kelapa sawit dewasa adalah berupa lapisan tanah mulai daru pangkal batang sampai ke tandan
buah. Pada bagian dalam batang gejala tersebut adalah berupa libang besar dan
adanya sarang kembara C. Curvignathus yang menyerupai lapisan karton yang bercampur dengan kotoran serta dikelilingi oleh kumpulan tanah liat. Sarang
kembara tersubut hanya berisi rayap dari kasta prajurit, pekerja dan nimfa,
sedangkan raja, ratu, telur berada pada sarang utama. Sarang utama biasanya
berada di dalam kayu mati yang berada di bawah atau di atas permukaan tanah
(Prasetiyo, 2006 ).
Perilaku Rayap
Pola perilaku rayap adalah kriptobiotik atau sifat selalu menyembunyikan
diri, mereka hidup di dalam tanah dan bila akan invasi mencari objek makanan
juga menerobos di bagian dalam, dan bila terpaksa harus berjalan di permukaan
yang terbuka mereka membentuk pipa pelindung dari bahan tanah atau humus
(Tarumingkeng, 2004).
Sifat kanibal terutama menonjol pada keadaan yang sulit misalnya
kekurangan air dan makanan, sehingga hanya individu yang kuat saja yang
dipertahankan, yaitu dengan membunuh serta memakan rayap-rayap yang tidak
produktif lagi (karena sakit, sudah tua atau juga mungkin karena malas), baik
reproduktif, prajurit maupun kasta pekerja. Kanibalisme berfungsi untuk
21
pengaturan homeostatika (keseimbangan kehidupan) koloni rayap
(Tarumingkeng, 2001).
Sifat trofalaksis merupakan ciri khas diantara individu-individu dalam
koloni rayap. Masing-masing individu sering mengadakan hubungan dalam
bentuk menjilat, mencium dan menggosokkan tubuhnya satu dengan yang
lainnya. Sifat ini diinterpretasikan sebagai cara untuk memperoleh protozoa
flagellata bagi individu yang baru saja berganti kulit (eksidis), karena pada saat
eksidis kulit usus juga tanggal sehingga protozoa simbiont yang diperluan untuk
mencerna selulosa ikut keluar dan diperlukan reinfeksi dengan jalan trofalaksis.
Sifat ini juga diperlukan agar terdapat pertukaran feromon diantara para individu
(Tarumingkeng, 2004).
Sistem Sarang
Bahan yang digunakan untuk membangun sarang sangat tergantung pada
makanan dan bahan yang tersedia di habitatnya. Tanah, kotoran, dan sisa
tumbuhan serta air liur merupakan bahan utama untuk pembuatan sarang. Partikel
tanah yang seringkali digunakan untuk membangun sarang dan merupakan
komponen yang dominan dapat diklasifikasikan menurut ukurannya, yaitu kerikil
> 2,00 mm, pasir kuarsa 2,0-0,2 mm, pasir halus 0,2-0,02 mm, Lumpur 0,02-0,002
mm,dan liat < 0,002 mm. Sedangkan kotoran dan air liur berfungsi sebagai
perekat dalam pembuatan sarang (Nandika dkk, 2003).
Membuat sarang dan hidup di dalam sarang merupakan karakteristik dari
seramgga sosial. Beberapa jenis rayap membuat sarangnya dalam bentuk
sarangnya membentuk bukit bukit dengan konstruksi sarang yang yang sangat
kokoh dan sangat luas (Nandika dkk, 2003).
Rayap Sebagai Hama
Kegagalan penyisipan tanaman kelapa sawi pada areal yang telah
terkontaminasi C. Curvignathus pada tingkat populasi yang tinggi sering terjadi, karena tanaman sisipan segera diserang rayap tersebut dan akhirnya mati.
Keadaan ini sering terjadi berulang kali, sehingga akhirnya perkebunan tidak
memanfaatkan lagi areal tersebut (Christina dkk, 1998)
Bahan-bahan yang berkayu yang melimpah pada lahan gambut
merupakan habitat yang ideal bagi rayap C. Curvignathus yang menyerang dan merusak jaringan-jaringan hidup hingga menyebabkan kematian tanaman kelapa
sawit. Tanaman kelapa sawit di lahan gambut dapat terserang rayap pada
berbagai tingkat perkembangannya. Rayap tersebut pada umumnya bersarang
pada tunggul-tunggul kayuan yang melapuk di sekitar tanaman kelapa sawit,
dimana mereka bertahan hidup dan berkembangbiak, dan dari sana mereka mulai
merayap membentuk lorong-lorong kembara menuju tanaman kelapa sawit
(Tarumingkeng, 2004).
Pengendalian Rayap
Pengumpanan adalah salah satu teknik pengendalian yang ramah
lingkungan. Dilakukan dengan menginduksi racun slow action ke dalam kayu
umpan, dengan sifat trofalaksisnya kayu tersebut dimakan rayap pekerja dan
disebarkan ke dalam koloninya. Teknik pengumpanan selain untuk
23
Pemakaian teknik pengumpanan bila dibandingkan dengan teknik pengendalian
rayap yang lain memiliki keunggulan antara lain : tidak mencemari tanah, tepat
sasaran, bersifat spesifik, dan memudahkan pengambilan sample (French 1994
dalam Kadarsah, 2005).
Menurut Bakti (2004) nematoda Steinernema carpocapsae memiliki
efektifitas cukup baik untuk mengendalikan rayap. Umumnya nematoda termasuk S. carpocapsae banyak ditemukan di dalam tanah, sehingga diharapkan rayap C. curvignathus yang selalu berhubungan dengan tanah akan dapat dimanfaatkan
sebagai agen hayati. Pemberian nematoda dengan jumlah terkecil menimbulkan
mortalitas 38,16% dan dengan jumlah tertinggi menimbulkan mortalitas 60,80%.
Pegendalian hama terpadu (PHT) termasuk pengendalian rayap pada
kelapa sawit berpedoman pada Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 tentang
Sistem Budidaya Tanaman, dan dalam sistem tersebut pengendalian hayati dengan
memanfaatkan musuh alami hama seperti parasitoid, predator dan patogen
menjadi komponen utama, sedangkan pengendalian kimiawi menggunakan
pestisida merupakan pilihan (Kadarsah, 2005).
Penelitian mengenai pengaruh jamur Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin dan Metarhizium anisopliae (Mets.) Sorokin terhadap rayap
Coptotermes curvignathus Holmgren telah dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi dan Toksikologi, Departemen Biologi ITB pada bulan November
Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin
Menurut Barnett dan Berry (1972) jamur Beauveria bassiana dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Division : Eumycotina
Class : Deuteromycotina
Ordo : Moniliales
Famili : Moniliaceae
Genus : Beauveria
Spesies : Beauveria bassiana (Balsomo) vuillemin.
Jamur B. bassiana adalah jamur mikroskopik dengan tubuh berbentuk benang-benang halus (hifa). Kemudian hifa-hifa tadi membentuk koloni yang
disebut miselia. Jamur ini tidak dapat memproduksi makanannya sendiri, oleh
karena itu ia bersifat parasit terhadap serangga inangnya (Anonimus, 2008).
Jamur Beauveria bassiana merupakan spesies jamur yang sering digunakan untuk mengendalikan serangga. B. bassiana diaplikasikan dalam bentuk konidia yang dapat menginfeksi serangga melelui kulit kutikula, mulut dan
ruas-ruas yang terdapat pada tubuh serangga. jamur ini ternyata memiliki
spectrum yang luas dan dapat mengendalikan banyak spesies serangga sebagai
hama tanaman. Hasil penelitian menunjukkan, B. bassiana efektif untuk mengendalikan semut api, aphid, dan ulat grayak (Dinata, 2006).
Miselium jamur B. bassiana bersekat dan bewarna putih, didalam tubuh serangga yang terinfeksi terdiri atas banyak sel, dengan diameter 4 µ m, sedang
diluar tubuh serangga ukurannya lebih kecil, yaitu 2 µ m. hifa fertile terdapat pada
25
menggelembung atau menebal. Konidia menempel pada ujung dan sisi konidiofor
atau cabang-cabangnya (Utomo dan Pardede, 1990).
Salah satu cendawan entomopatogen yang sangat potensial dalam
pengendalian beberapa spesies serangga hama adalah Beauveria bassiana
(Balsamo) Vuillemin. Cendawan ini dilaporkan sebagai agensi hayati yang sangat
efektif mengendalikan sejumlah spesies serangga hama termasuk rayap, kutu
putih, dan beberapa jenis kumbang. Sebagai patogen serangga, B. bassiana dapat diisolasi secara alami dari pertanaman maupun dari tanah. Epizootiknya di alam
sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim, terutama membutuhkan lingkungan yang
lembab dan hangat. Di beberapa negara, cendawan ini telah digunakan sebagai
agensi hayati pengendalian sejumlah serangga hama mulai dari tanaman pangan,
hias, buah-buahan, sayuran, kacang-kacangan, hortikultura, perkebunan,
kehutanan hingga tanaman gurun pasir (Sutopo. D, dan Indriyani, 2007).
Sistem kerjanya yaitu spora jamur B. bassiana masuk ketubuh serangga inang melalui kulit, saluran pencernaan, spirakel dan lubang lainnya. Selain itu
inokulum jamur yang menempel pada tubuh serangga inang dapat berkecambah
dan berkembang membentuk tabung kecambah, kemudian masuk menembus
kutikula tubuh serangga. Penembusan dilakukan secara mekanis dan atau kimiawi
dengan mengeluarkan enzim atau toksin. Jamur ini selanjutnya akan
mengeluarkan racun beauverin yang membuat kerusakan jaringan tubuh serangga.
Dalam hitungan hari, serangga akan mati. Setelah itu, miselia jamur akan tumbuh
ke seluruh bagian tubuh serangga. Serangga yang terserang jamur B. bassiana
akan mati dengan tubuh mengeras seperti mumi dan tertutup oleh benang-benang
Serangga yang terinfeksi gerakannya lamban, nafsu makan berkurang
bahkan berhenti, lama kelamaan diam dan mati. Tubuh mulai pucat dan mengeras
serta permukaannya penuh dengan badan buah dan konidia berwarna putih
(Riyatno dan Santoso, 1991)
Gambar 6. Konidia Beauveria bassiana (Balsomo) vuillemin.
Sumber :
Metarhizium anisopliae var anisopliae
Menurut Alexopoulus (1996), klasifikasi Metarhizium anasopliae adalah sebagai berikut :
Division : Eumycotina
Class : Deuteromycotina
Ordo : Moniliales
Famili : Moniliaceae
Genus : Metarhizium
Spesies :Metarhizium anisopliae var anisopliae
Jamur M. anisopliae ini pertama kali ditemukan oleh Metschikoff pada tahun 1879, jamur ini bersifat parasitik terhadap serangga termasuk kumbang
27
Jamur ini biasanya disebut Green Muscardine Fungus dan tersebar
diseluruh dunia. Jamur ini pertama kali digunakan untuk mengendalikan hama
kumbang kelapa lebih dari 85 tahun yang lalu, dan sejak itu digunakan dibeberapa
Negara termasuk Indonesia (Tanada dan Kaya, 1993).
Pada awal pertumbuhan, koloni jamur bewarna putih, kemudian berubah
menjadi hijau gelap dengan bertambahnya umur koloni. Miselium berdiameter
1,98 – 2,97 µm, kemudian tersusun dengan tegak, berlapis dan bercorak yang
dipenuhi dengan konidia bersel satu berwarna hialin, berbentuk bulat silinder
dengan ukuran 9 µm (Prayogo, dkk., 2005).
Konidiofor tersusun rapat dalam struktur seperti spodokium, mendukung
beberapa “phialidae” yang sering kali tersusun seperti susunan lilin “phialidae”
berbentuk silindris. Pada ujungnya dibentuk konidia dalam rantai konidia satu sel,
berdinding halus, tidak bewarna dan berbentuk silindris “oval” (Rayati, 2000).
Jamur M. anisopliae terdiri dari dua jenis/bentuk, yang pertama adalah yang mempunyai spora pendek yaitu M. anisopliae var anisopliae dan yang mempunyai spora panjang yaitu M. anisopliae var major. Strain varietas M. anisopliae yang memiliki spora pendek, konidia berukuran 9,0 – 9,9 µ m sedangkan varietas major memiliki spora yang panjang, konidia berukuran 9,0 –
18,0 µm. pada pengujian dengan enzim yang sama strain varietas major relative
genusnya sama tetapi untuk strain varietas anisopliae genusnya sangat berbeda
(Tanada dan Kaya. 1993).
Jamur M. anisopliae ini bersifat parasit pada serangga dan bersifat saprofit pada tanah atau bahan organic. Jamur ini mengadakan penetrasi ke dalam tubuh
penetrasinya di mulai dengan menempelkan konidia pada kutikula atau mulut
serangga. Konidia ini selanjutnya berkecambah dengan membentuk tubuh
kecambah. Apresorium mula-mula dibentuk dengan menembus epitikula,
selanjutnya menembus jaringan yang lebih dalam (Situmorang, 1990).
Cendawan ini bersifat parasit pada beberapa jenis serangga dan bersifat
saprofit di dalam tanah dengan bertahan pada sisa-sisa tanaman
(Alexopoulus dan Mims, 1996). Cendawan ini pertama kali digunakan untuk
mengendalikan hama kumbang kelapa lebih dari 85 tahun yang lalu, dan sejak itu
digunakan di beberapa negara termasuk Indonesia. M. anisopliae telah lama digunakan sebagai agen hayati dan menginfeksi beberap jenis serangga, antara
lain ordo Coleoptera, Lepidoptera, Homoptera, Hemiptera, dan Isoptera
(Strack, 2003).
Gambar 7. Konidia Metarhizium anisopliae var anisopliae
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Hama Departemen Ilmu Hama
dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara Medan,
dengan ketinggian tempat ± 32 m di atas permukaan laut. Dilaksanakan mulai
awal Oktober sampai November 2009
Bahan dan Alat
Adapun bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah rayap
Coptotermes curvignathus Holmgren , sarang rayap, kayu lapuk, pasir B. bassiana
dan M. anisopliae, aquadest.
Adapun alat yang digunakan pada penelitian ini adalah toples, kain kasa,
karet gelang, timbangan digital, beaker glass, handsprayer, label nama, alat
pengaduk, cangkul, kuas, dan alat tulis.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan RAL nonfaktorial yang terdiri 7
perlakuan dan 3 ulangan:
Perlakuan yang diuji adalah ;
A0 : Kontrol
A1 : Suspensi B. bassiana 105
A2 : Suspensi B. bassiana 106
A4 : Suspensi M. anisopliae 105
A5 : Suspensi M. anisopliae 106
A6 : Suspensi M. anisopliae 107
Jumlah perlakuan : 7
Jumlah ulangan : 3
Jumlah keseluruhannya : 21
Jumlah rayap dalam 1 toples : 20 ekor
Jumlah rayap yang diperlukan: 420 ekor
Model linier yang digunakan dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL) non
faktorial adalah sebagai berikut
Y ij = μ + Ti + Σij ; i = 1, 2,....t
j = 1, 2,...r
Yij = Hasil pengamatan pada perlakuan pada taraf ke-j dengan ulangan ke-i
μ = Nilai tengah sebenarnya
Ti = Pengaruh Perlakuan ke-i
Σij = Pengaruh galat pada unit percobaan
Selanjutnya bila analisa menunjukkan hasil yang nyata, maka dilanjutkan
31
Pelaksanaan Penelitian Persiapan Penelitian
Persiapan penelitian dilakukan dengan menyediakan bahan dan alat yang
dibutuhkan selama pelaksanaan penelitian. Survei dilakukan pada lokasi
pengambilan hama rayap Coptotermes curvignathus Holmgren di lapangan.
Pengambilan Rayap di Lapangan
Rayap dan sarangnya diambil dari lapangan kemudian dimasukkan
kedalam ember dan dipelihara di dalam laboratorium. Rayap yang digunakan
adalah rayap dari karta pekerja
Penyediaan Jamur B. Bassiana dan M. anisopliae
Jamur B. bassiana dan M. anisopliae, diperoleh dari BP2TP Medan. Jamur tersebut sudah tersedia dalam bentuk biakan yang dapat diaplikasikan langsung
pada serangga uji.
Pembuatan Suspensi B. bassiana dan M. anisopliae.
Jamur yang telah diperoleh dari BP2TP dengan kerapatan konidia 107.
Jamur diambil sebanyak 50 gr kemudian dicampur dengan 450 ml air aquadest
maka diperoleh kerapatan konidia 107, kemudian diambil 50 ml suspensi dan
dicampur 450 ml air aquadest maka diperoleh kerapatan konidia 106, kemudian
diambil 50 ml suspensi dan dicampur 450 ml air aquadest maka diperoleh
kerapatan konidia 105.
Peubah Amatan
1. Persentase Mortalitas rayap
Pengamatan mortalitas rayap dilakukan sebanyak 6 kali yaitu pada 3, 6, 9,
11, 14 dan 17 hari setelah aplikasi. Persentase Mortalitas rayap dihitung dengan menggunakan rumus :
M = x10000
b a
a
+
Keterangan :
M : Presentase Mortalitas rayap a : Jumlah rayap yang mati b : Jumlah rayap yang hidup
2. Persentase Susut Bobot Bahan
Persentase susut bobot bahan dapat dihitung pada 17 hari setelah aplikasi
(HAS).
Persentase Susut Bobot = x10000
a b a−
Keterangan :
33
HASIL DAN PEMBAHASAN
I. Persentase Mortalitas Rayap (%)
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa jamur M. anisopliae dan
B. bassiana menunjukkan perbedaan yang Sangat nyata pada tingkat kerapatan yang berbeda terhadap mortalitas C. curvignathus setelah 3 hari setelah aplikasi sampai dengan 17 hari setelah aplikasi (HSA) (Lampiran 2, 3, 4, 5, dan 6).
Perbedaan efektifitas tingkat konsentrasi kedua jamur tersebut terhadap mortalitas
imago C.curvignathus dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Presentase Mortalitas rayap pada setiap tarap perlakuan pada pengamatan 3, 6, 9, 11, 14, 17 HSA
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf P = 0,05 menurut uji jarak Duncan.
Dari tabel 1 pengamatan 3 hari setelah aplikasi (HSA) terlihat bahwa
persentase mortalitas rayap tertinggi pada perlakuan B. bassiana 107 (A3) yang berbeda dengan perlakuan lainnya. Sedangkan perlakuan A2 tidak berbeda nyata
dengan M. anisopliae 107 (A6) tetapi berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Perlakuan A3 pada tabel 1 pengamatan 3 HSA memberikan presentase
16,67%, perlakuan A2 dan A5 sebesar 11,67, perlakuan A4 sebesar 6,67
sedangkan perlakuan A0 (kontrol) tidak menimbulkan kematian pada rayap. Hal
ini disebabkan karena perbedaan ketebalan konsentrasi masing-masing perlakuan
yang dapat mempengaruhi mekanisme kecepatan kematian pada rayap.
Dari Tabel 1 diatas persentase mortalitas C. curvignathus menunjukkan perbedaan yang nyata untuk masing-masing jamur yang digunakan pada tingkat
kerapatan yang berbeda pada penggunaa jamur B. bassiana mortalitas rayap tertinggi pada perlakuan A3 yaitu perlakuan jamur B. bassiana 107 sebesar 100% (17 HSA). Sedangkan untuk perlakuan A1 yaitu perlakuan B.bassiana 105 dan A2
yaitu perlakuan jamur B. bassiana 106 memiliki presentase mortalitas
C. curvignathus yang hampir sama yaitu 93,33% dan menunjukkan perbedaan tidak nyata untuk perlakuan tersebut. Hal ini disebabkan karena pada tingkat
kerapatan yang tinggi dapat menginfeksi tubuh inang dimana dengan banyaknya
kepadatan conidia maka semakin cepat membangun inang. Hal ini didukung oleh
Ferron (1985) yang menyatakan bahwa semakin banyak konidia yang menempel
pada tubuh inang sasaran akan semakin cepat mematikan inang sasaran.
Pada pengunaan jamur M. anisopliae persentase mortalitas rayap teringgi terdapat pada A6 yaitu menggunakan jamur M. anisopliae dengan kerapatan 107
sebesar 98,33% dan terendah pada perlakuan A4 yaitu perlakuan
M. anisopliae 105 sebesar 88,33% (17 HSA). Untuk penggunaan jamur
M. anisopliae tingkat keefektifan jamur tersebut pada tingkat kerapatan konidia 107. Menurut Ferron (1985) kepadatan conidia biasanya 106-108 cukup memadai
35
Pada semua perlakuan didapat mortalitas rayap yang tertinggi terdapat
pada perlakuan A3 yaitu menggunakan jamur B. bassiana dengan kerapatan konidia 107 sebesar 100%. Hal ini berarti jamur B. bassiana lebih efektif dalam mengendalikan rayap dibanding jamur M. anisopliae. Menurut Dinata (2006) menyatakan B. bassiana memiliki spektrum pengendalian yang luas dan bisa mengendalikan banyak spesies dari hama tanaman. Hal ini didukung oleh
pernyataan Sweetman (1963) menyatakan strain-strain B. bassiana pada periode yang sangat lama mampu mempertahankan virulensinya.
0.00
Gambar 8. Grafik Presentase Mortalitas Imago C. curvignathus Untuk Setiap Waktu Pengamatan
Gambar menjelaskan kerapatan konidia yang berbeda menghasilkan
mortalitas rayap yang berbeda. Dianta semua perlakuan, mortalitas rayap tertinggi
terdapat pada perlakuan A3 yaitu B. bassiana 107 sebesar 100% pada pengamata 17HSA. kemudian A6 yaitu M. anisopliae 107 sebesar 98,33% dan A2 B.bassiana
menyatakan bahwa Salah satu cendawan entomopatogen yang sangat potensial
dalam pengendalian beberapa spesies serangga hama adalah Beauveria bassiana
(Balsamo) Vuillemin. Cendawan ini dilaporkan sebagai agensi hayati yang sangat
efektif mengendalikan sejumlah spesies serangga hama termasuk rayap, kutu
putih, dan beberapa jenis kumbang
2. Persentase Susut Bobot
Pengaruh terhadap persentase susut bobot bahan pada setiap perlakuan
menghasilkan pengaruh yang sangat nyata (Tabel 2). Hasil uji jarak Duncan dan
besarnya persentase susut bobot bahan pada masing-masing perlakuan selama
pengamatan dapat dilihat pada tabel 2 dibawah ini.
Tabel 2. Rataan persentase susut bobot bahan (%) / 50gr
Perlakuan Rataan
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf P = 0,05 menurut uji jarak Duncan.
Dari tabel 2 dapat kita ketahui bahwa pengamatan terhadap persentase
susut bobot pada masing-masing perlakuan (A0-A6) mempunyai pengaruh nyata.
37
(B. bassiana 107) memiliki nilai persentase susut bobot yang paling rendah (7,53%), hal ini berhubungan dengan kerapatan konidia diaplikasikan (107) yang
menyebabkan rayap lebih cepat mati. Sedangkan persentase susut bobot bahan
yang tertinggi adalah perlakuan A0 sebesar 16,53%. Hal ini terjadi karena tidak
adanya jamur yang diaplikasikan dalam makananya sehingga rayap masih mau
makan. Hal ini sesuai dengan literatur Riyatno dan Santoso (1991) serangga yang terinfeksi gerakannya lamban, nafsu makan berkurang bahkan berhenti, lama
kelamaan diam dan mati. Tubuh mulai pucat dan mengeras serta permukaannya
penuh dengan badan buah dan konidia berwarna putih.
Untuk lebih jelasnya dapat kita lihat grafik dibawah ini.
Rataan
Gambar 9. Grafik Persentase Susut Bobot Bahan 17 Hari Setelah Aplikasi (HSA)
Dari grafik tersebut dapat kita lihat bahwa perlakuan A3 lebih efektif
dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya yang ditandai dengan nilai susut
bobot bahan yang paling rendah, sementara A0 memiliki nilai susut bobot yang
paling tinggi sehingga kita mengetahui bahwa persentase penyusutan bobot bahan
Kesimpulan
1. Persentase mortalitas perlakuan jamur entomopatogen B. Bassiana yang lebih efektif terdapat pada perlakuan A3 dengan kerapatan konidia 107
sebesar 100% pada pengamatan 17 hari setelah aplikasi (HSA)
2. Persentase mortalitas perlakua jamur entomopatogen M. anisopliae yang lebih efektif terdapat pada perlakuan A6 dengan kerapatan konidia 107
sebesar 98,33% pada pengamatan 17 hari setelah aplikasi (HSA)
3. Perbandinga persentase perlakuan jamur entomopatogen B. bassiana dan
M. anisopliae yang lebih efektif terdapat pada perlakuan B. bassiana 107 sebesar 100% pengamatan 3 hari setelah aplikasi (HSA)
4. Persentase susut bobot bahan yang tertinggi diperolah dari perlakuan A0
sebesar 16,53%, dan yang terendah A3 sebesar 7,53%
Saran
Jamur entomopatogen B.bassiana dan M.anisopliae dapat menginfeksi dan
39
DAFTAR PUSTAKA
Alexopoulus, C. J, C.W. Mims, and M. Blackwell. 1996. Introductory Mycology Fourth Edition. John Wiley and Sons Inc, New York.
Anonimus, 2008. Jamur Bermanfaat Dalam Pertanian.
Affrc, 2008. Metarhizium anisopliae.
(diakses 9 Maret 2008).
Anwar , 2006. Termites in Forestry. Diakses dari (diakses 2 Februari 2009)
2009.
Andriaty R., 2007. Rayap dan Pengendaliannya. Diakses dari
Bakti, D. 2004. Pengendalian Rayap Coptotermes curvignathus Holmgren menggunakan Nematoda Steinernema carpocapsae W. dalam Skala Laboratorium. Jurnal Natur Indonesia, 6(2):81-83.
Barnet, H. L. And B. H. Barry., 1972. Illustrated Genera of Fungi Third Edition. Burges Publishing Company. Mineapolis-Minnesota
Borror, D.J. and D.M. De long, 1971. An Indroduction to The Study of Insects. United State of America.
Dinata, A., 2006. Insektisida Yang Ramah Lingkungan.
rakyat.com
Ellis. D., 2009. Mycology Online. (diakses 20 Maret 2009)
Ginting, C.S, Ps. Sudarto, dan Chenon. D. R., 2002. Strategi Pengendalian Rayap Pada Kelapa Sawit di Lahan Gambut. Warta PPKS. Medan
Hasan. T., 1986. Rayap dan Pemberantasannya (Penaggulangan dan Pecegahan). CV. Yasaguna, Jakarta.
Jumar, 2000. Entomologi Pertanian. Rineka Cipta. Jakarta
Zeta Agro Corporation Jawa Tengah. Bioscientiae 2(2):17-22.
M. Soepadiyo, dan S. Haryono., 2003. Manajemen Agrobisnis Kelapa Sawit. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Nandika, D., Y. Rismayadi, dan F. Diba, 2003. Rayap, Biologi dan Pengendalian . Muhammadiah University Press, Surakarta
Novianty, D. 2005. Pengaruh Jamur Beauveria bassiana (Balsomo) vuillemin dan
Metarhizium anisopliae (Mets). Sorokin Terhadap Rayap Coptotermes curvignathus Holmgren. http:// rayap%20perlakuan.htm
Prayogo, Y., Wedanimbi. T dan Marwoto., 2005. Prospek Cendawan Entomopatogen Metarhizium anisopliae untuk Mengendalikan Ulat Grayak Spodoptera litura pada kedelai.
(diakses 20 Maret 2009)
Purba R.Y., Sudharto dan R.Desmier de Chenon, 2002. Gejala Serangan dan Bioekologi Coptotermes cirvignathus Holmgren (Isoptera:Rhinotermidae) pada Tanaman Kelapa Sacit di Lahan Gambut .Warta PPKS, Medan, Sumatera Utara.
Prasetiyo, K.W. dan S. Yusuf, 2005. Mencegah dan Membasmi Rayap Secara Ramah Lingkungan dan Kimiawi. Agromedia Pustaka, Jakarta.
(diakses 20 Maret 2009)
Riyatno dan SS. Santoso., 1991. Cendawan Beauveria bassiana dan Cara Pengembangannya Guna Mengendalikan Hama Bubuk Buah Kopi. Direktorat Jendral Perkebunan.
S. Iman, dan W. Yustina., 1992. Kelapa Sawit Usaha Budi Daya Pemanfaatan hasil dan Aspek Pemasaran. Tim Penulis PS, Jakarta.
Situmorang, J., 1990. Petunjyk Praktikum Pathologi Serangga. PAV. Bioteknologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Sutopo. D, dan Indriyani. IGAA., 2007. Status, Teknologi, dan Prospek B. Bassiana Untuk Pengendalian Serangga Hama. Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat, Malang.
Tanada, Y. dan Kaya, H>K., 1993. Insect Pathology. Academia Press. Inc. Publisher Sandiego New York Boston. London Sydney Tokyo Toronto.
Tarumingkeng, R.C., 2001. Biologi dan Perilaku Rayap.
41
Tarumingkeng, R.C., 2004. biologi dan Pengendalian Rayap Hama Bangunan di
Indonesia.
(diakses 06 Februari 2008).
Lampiran 1. Bagaan Percobaan
I II III
Keterangan : A0 = Kontrol
A1 = Suspensi B. bassiana 105 A2 = Suspensi B. bassiana 106 A3 = Suspensi B. bassiana 107 A4 = M. Anisopliae 105
A5 = Suspensi M. Anisopliae 106 A6 = Suspensi M. Anisopliae 107
43
Lampiran 2. Persentase mortalitas Coptotermes curvignathus Pada 3 Hari Setelah Aplikasi (HSA)
Perlakuan Ulangan Total Rataan
I II III
Perlakuan Ulangan Total Rataan
Uji Jarak Duncan
Sy = 1.07
P 2 3 4 5 6
SSR 0.05 1.78 2.11 2.29 2.41 2.50 LSR 0.05 1.90 2.26 2.45 2.58 2.67
Perlakuan A0 A4 A1 A2 A3
A5 A6
Rataan 4.97 14.76 19.89 24.05 27.71
a
b
c
d
45
Lampiran 3. Persentase mortalitas Coptotermes curvignathus Pada 6 Hari Setelah Aplikasi (HSA)
Perlakuan Ulangan Total Rataan
I II III
Perlakuan Ulangan Total Rataan
P 2 3 4 5 6 7 8 SSR 0.05 1.78 2.11 2.29 2.41 2.50 2.58 2.64 LSR 0.05 2.08 2.47 2.68 2.82 2.92 3.02 3.09
Perlakuan A0 A4 A1 A5 A2 A6 A3
Rataan 4.97 25.31 26.45 28.86 31.00 32.14 38.24
a b
c
d e
47
Lampiran 4. Persentase mortalitas Coptotermes curvignathus Pada 9 Hari Setelah Aplikasi (HSA)
Perlakuan Ulangan Total Rataan
I II III
Perlakuan Ulangan Total Rataan
Uji Jarak Duncan
Sy = 1.17
P 2 3 4 5 6 7
SSR 0.05 1.78 2.11 2.29 2.41 2.50 2.58 LSR 0.05 2.08 2.47 2.68 2.82 2.93 3.02
Perlakuan A0 A4 A1 A2 A6 A3
A5
Rataan 4.97 30.95 32.09 33.21 35.22 42.09
a
b
c
49
Lampiran 5. Persentase mortalitas Coptotermes curvignathus Pada 11 Hari Setelah Aplikasi (HSA)
Perlakuan Ulangan Total Rataan
I II III
Perlakuan Ulangan Total Rataan
Uji Jarak Duncan Sy = 1.07
P 2 3 4 5 6 7 8
SSR 0.05 1.78 2.11 2.29 2.41 2.50 2.58 2.64 LSR 0.05 1.90 2.26 2.45 2.58 2.67 2.76 2.82 Perlakua
n A0 A1 A5 A3 A2 A4 A6
Rataan 4.97 38.22 40.17 43.08 44.04 45.97 50.85
a
b c
51
Lampiran 6. Persentase mortalitas Coptotermes curvignathus Pada 14 Hari Setelah Aplikasi (HSA)
Perlakuan Ulangan Total Rataan
I II III
Perlakuan Ulangan Total Rataan
Uji Jarak Duncan Sy = 1.33
P 2 3 4 5 6 7 8
SSR 0.05 1.78 2.11 2.29 2.41 2.50 2.58 2.64 LSR 0.05 2.37 2.81 3.05 3.21 3.33 3.43 3.51
Perlakuan A0 A1 A4 A2 A5 A6 A3
Rataan 4.97 48.85 52.74 53.82 54.75 63.55 65.95
a b
53
Lampiran 7. Persentase mortalitas Coptotermes curvignathus Pada 17 Hari Setelah Aplikasi (HSA)
Perlakuan Ulangan Total Rataan
I II III
Perlakuan Ulangan Total Rataan
Uji Jarak Duncan Sy = 2.41
P 2 3 4 5 6 7 8
SSR 0.05 1.78 2.11 2.29 2.41 2.50 2.58 2.64 LSR 0.05 4.30 5.09 5.53 5.82 6.03 6.23 6.37
Perlakuan A0 A4 A1 A5 A2 A6 A3
Rataan 4.97 70.11 71.95 75.24 79.55 85.69 90.00
a
b
55
Lampiran 8. Persentase Susut Bobot Bahan Pada 17 HSA
Lampiran 9. Gambar Penelitian