• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektifitas Rimpang Jeringau (Acorus calamus L) Dalam Membunuh Nyamuk Aedes Aegypti

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Efektifitas Rimpang Jeringau (Acorus calamus L) Dalam Membunuh Nyamuk Aedes Aegypti"

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

EFEKTIFITAS RIMPANG JERINGAU (Acorus calamus L)

DALAM MEMBUNUH NYAMUK Aedes aegypti

SKRIPSI

Oleh :

NIM : 041000299 JAYANTI SIMANJORANG

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

EFEKTIFITAS RIMPANG JERINGAU (Acorus calamus L)

DALAM MEMBUNUH NYAMUK Aedes aegypti

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

Oleh :

NIM : 041000299 JAYANTI SIMANJORANG

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

HALAMAN PENGESAHAN Skripsi Dengan Judul :

EFEKTIFITAS RIMPANG JERINGAU (

Acorus calamus L

)

DALAM MEMBUNUH NYAMUK

Aedes aegypti

Yang dipersiapkan dan dipertahankan oleh :

JAYANTI SIMANJORANG NIM. 041000299

Telah Diuji dan Dipertahankan Tim Penguji Skripsi Pada Tanggal 16 September 2008 dan

Dinyatakan Telah Memenuhi Syarat Untuk Diterima Tim Penguji

Ketua Penguji Penguji I

dr. Devi Nuraini Santi, MKes dr. Taufik Ashar, MKM

NIP. 132206389 NIP. 132303367

Penguji II Penguji III

Ir. Evi Naria, MKes Dr.Dra. Irnawati Marsaulina, MS

NIP. 132049787 NIP. 132089428

Medan, September 2008 Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara Dekan,

(4)

ABSTRAK

Salah satu vektor penyakit yang sampai saat ini sering menimbulkan masalah kesehatan adalah nyamuk Aedes aegypti yang dapat bertindak sebagai vektor penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD). Dalam upaya mengatasi penyakit demam berdarah dengue tersebut perlu adanya pengendalian dengan memanfaatkan tanaman yang mengandung zat pestisida sebagai insektisida hayati seperti tanaman jeringau (Acorus calamus L). Jeringau adalah tanaman yang mengandung bahan kimia aktif pada bagian rimpang baik dalam bentuk tepung maupun dalam bentuk minyak yang dikenal sebagai minyak atsiri dapat digunakan sebagai insektisida. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas minyak rimpang jeringau dalam membunuh nyamuk Aedes aegypti.

Penelitian ini bersifat eksperimen semu (Quasi experiment) yaitu untuk melihat pengaruh beberapa konsentrasi dari minyak rimpang jeringau terhadap kematian nyamuk Aedes aegypti. Metode penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang terdiri dari 6 perlakuan (0% sebagai kontrol, 6%, 12%, 18%, 24%, dan 30%) dengan 3 kali pengulangan.

Hasil penelitian pada masing-masing konsentrasi dengan tiga kali ulangan selama 10 menit pengamatan menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Pada konsentrasi 6% tingkat kematian nyamuk Aedes aegypti sebesar 57,78% ; konsentrasi 12% sebesar 75,55% ; konsentrasi 18% sebesar 86,67% ; konsentrasi 24% sebesar 91,11% dan konsentrasi 30% sebesar 97,78% serta pada kontrol tidak terjadi kematian nyamuk Aedes aegypti. Berdasarkan hasil uji statistik Uji Anova Satu Arah dengan taraf nyata 5% diperoleh bahwa F hitung (12,76) > F tabel (3,11) yang berarti bahwa ada pengaruh perlakuan konsentrasi minyak rimpang jeringau dalam membunuh nyamuk Aedes aegypti. Hasil uji Beda Nyata Terkecil pada taraf nyata 5% menunjukkan bahwa terdapat konsentrasi yang berbeda nyata dengan BNT 5% yaitu konsentrasi 6%. Konsentrasi yang efektif adalah pada konsentrasi 6%.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah minyak rimpang jeringau mengandung zat pestisida yang dapat digunakan dalam membunuh nyamuk Aedes aegypti dengan konsentrasi efektif pada konsentrasi 6%. Diharapkan tanaman jeringau dapat menjadi suatu alternatif untuk mengendalikan serangga seperti nyamuk Aedes aegypti.

(5)

DAFTAR ISI

2.1.4. Pengendalian Vektor Nyamuk ... 12

2.1.5. Suhu (Temperatur) ... 14

2.1.6. Kelembaban ... 14

2.2. Tinjauan Umum Tentang Insektisida Nabati ... 14

2.2.1. Pengertian Insektisida Nabati ... 14

2.2.2. Pembuatan Insektisida Nabati ... 15

2.2.3. Keunggulan dan Kelemahan Insektisida Nabati ... 17

2.2.4. Cara Masuk Insektisida ... 18

2.2.5. Toksisitas Insektisida ... 19

2.3. Tinjauan Umum Tentang Jeringau (Acorus Calamus L) ... 21

2.3.1. Deskripsi Tumbuhan... 21

2.3.2. Klasifikasi Jeringau ... 22

2.3.3. Bagian Tumbuhan Yang Digunakan ... 23

2.3.4. Kandungan Aktif ... 23

2.3.5. Kegunaan dan Hama Yang Dikendalikan ... 24

2.4. Tinjauan Umum Tentang Minyak Atsiri ... 26

2.4.1. Pengertian Minyak Atsiri ... 26

2.4.2. Ciri-ciri Minyak Atsiri... 27

2.4.3. Beberapa Minyak Atsiri Penting ... 28

2.5. Kerangka Konsep ... 29

2.6. Hipotesa Penelitian ... 29

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 30

3.1. Jenis dan Rancangan Percobaan ... 30

(6)

3.1.2. Rancangan Penelitian ... 30

3.7.1. Cara Mendapatkan Nyamuk Aedes aegypti Dewasa ... 33

3.7.2. Cara Mendapatkan Ekstrak Minyak Rimpang Jeringau ……. 34

3.7.3. Cara Melakukan Pengenceran Konsentrasi Minyak rimpang Jeringau ... 34

3.7.4. Cara Melakukan Percobaan ... 35

3.8. Pengolahan Data ... 36

BAB IV. HASIL PENELITIAN ... 39

(7)

BAB V. PEMBAHASAN ... 49

5.1. Pengaruh Minyak Rimpang Jeringau Terhadap Kematian Nyamuk Aedes aegypti ... 49

5.2. Suhu Ruangan Penelitian ... 52

5.3. Kelembaban Udara Ruangan Penelitian ... 52

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 53

6.1. Kesimpulan ... 53

6.2. Saran ... 54

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

Lampiran 1. Tabel Rancangan Acak Percobaan

Lampiran 2. Tabel Hasil Pengamatan Jumlah Kematian Nyamuk Aedes aegypti Pada Enam Konsentrasi Dengan Tiga Kali Ulangan Selama 30 Menit Pengamatan Dengan Interval Waktu Setiap 5 Menit

Lampiran 3. Perhitungan MenggunakanUji Barlett

Lampiran 4. Perhitungan Menggunakan Uji Anova Satu Arah Lampiran 5. Perhitungan Uji Beda Nyata Terkecil

Lampiran 6. Hasil Pengukuran Suhu dan Kelembaban Udara Ruangan Penelitian Lampiran 7. Tabel Nilai Kritis Uji Barlett

Lampiran 8. Tabel Nilai Kritis Distribusi F

Lampiran 9. Tabel Daftar Nilai Baku Uji Beda Nyata Terkecil Pada Taraf Nyata 5% Lampiran 10. Surat Permohonan Izin Peninjauan Riset/Wawancara/On The Job

Training di Provinsi Sumatera Utara

(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Daftar Istilah Toksisitas……….20

Tabel 4.1. Hasil Pengamatan Kematian Nyamuk Aedes aegypti Setiap 5 Menit Pengamatan Selama 30 Menit Pada

Konsentrasi 0% (Kontrol)………..………39

Tabel 4.2. Hasil Pengamatan Kematian Nyamuk Aedes aegypti Setiap 5 Menit Pengamatan Selama 30 Menit Pada

Konsentrasi 6%...40

Tabel 4.3. Hasil Pengamatan Kematian Nyamuk Aedes aegypti Setiap 5 Menit Pengamatan Selama 30 Menit Pada

Konsentrasi 12%...40

Tabel 4.4. Hasil Pengamatan Kematian Nyamuk Aedes aegypti Setiap 5 Menit Pengamatan Selama 30 Menit Pada

Konsentrasi 18%...41

Tabel 4.5. Hasil Pengamatan Kematian Nyamuk Aedes aegypti Setiap 5 Menit Pengamatan Selama 30 Menit Pada

Konsentrasi 24%...42

Tabel 4.6. Hasil Pengamatan Kematian Nyamuk Aedes aegypti Setiap 5 Menit Pengamatan Selama 30 Menit Pada

Konsentrasi 30%...42

Tabel 4.7. Hasil Pengamatan Kematian Nyamuk Aedes aegypti Pada Enam Konsentrasi Setiap 5 Menit Pengamatan

Selama 30 Menit………....43

Tabel 4.8. Rata-Rata dan Persentase Kematian Nyamuk Aedes aegypti

Pada Enam Konsentrasi Setiap 5 Menit Pengamatan

Selama 30 Menit………44

Tabel 4.9. Jumlah dan Rata-rata Kematian Nyamuk Aedes aegypti

Pada Enam Konsentrasi Dengan Tiga Kali Ulangan Pada Saat

Lethal Dose 50 (LD 50) Tercapai Setelah 10 Menit Pengamatan……….45

Tabel 4.10.Transformasi Rata-rata Kematian Nyamuk Aedes aegypti

Pada Enam Konsentrasi Dengan Tiga Kali Ulangan Pada Saat

(9)

Tabel 4.11. Hasil Uji Anova Satu Arah Pada Kematian Nyamuk Aedes aegypti Selama 10 Menit Pengamatan……..………46

Tabel 4.12. Hasil Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) Terhadap Kematian Nyamuk

Aedes aegypti Pada Lima Perlakuan Dengan Tiga Kali Ulangan

(10)

ABSTRAK

Salah satu vektor penyakit yang sampai saat ini sering menimbulkan masalah kesehatan adalah nyamuk Aedes aegypti yang dapat bertindak sebagai vektor penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD). Dalam upaya mengatasi penyakit demam berdarah dengue tersebut perlu adanya pengendalian dengan memanfaatkan tanaman yang mengandung zat pestisida sebagai insektisida hayati seperti tanaman jeringau (Acorus calamus L). Jeringau adalah tanaman yang mengandung bahan kimia aktif pada bagian rimpang baik dalam bentuk tepung maupun dalam bentuk minyak yang dikenal sebagai minyak atsiri dapat digunakan sebagai insektisida. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas minyak rimpang jeringau dalam membunuh nyamuk Aedes aegypti.

Penelitian ini bersifat eksperimen semu (Quasi experiment) yaitu untuk melihat pengaruh beberapa konsentrasi dari minyak rimpang jeringau terhadap kematian nyamuk Aedes aegypti. Metode penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang terdiri dari 6 perlakuan (0% sebagai kontrol, 6%, 12%, 18%, 24%, dan 30%) dengan 3 kali pengulangan.

Hasil penelitian pada masing-masing konsentrasi dengan tiga kali ulangan selama 10 menit pengamatan menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Pada konsentrasi 6% tingkat kematian nyamuk Aedes aegypti sebesar 57,78% ; konsentrasi 12% sebesar 75,55% ; konsentrasi 18% sebesar 86,67% ; konsentrasi 24% sebesar 91,11% dan konsentrasi 30% sebesar 97,78% serta pada kontrol tidak terjadi kematian nyamuk Aedes aegypti. Berdasarkan hasil uji statistik Uji Anova Satu Arah dengan taraf nyata 5% diperoleh bahwa F hitung (12,76) > F tabel (3,11) yang berarti bahwa ada pengaruh perlakuan konsentrasi minyak rimpang jeringau dalam membunuh nyamuk Aedes aegypti. Hasil uji Beda Nyata Terkecil pada taraf nyata 5% menunjukkan bahwa terdapat konsentrasi yang berbeda nyata dengan BNT 5% yaitu konsentrasi 6%. Konsentrasi yang efektif adalah pada konsentrasi 6%.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah minyak rimpang jeringau mengandung zat pestisida yang dapat digunakan dalam membunuh nyamuk Aedes aegypti dengan konsentrasi efektif pada konsentrasi 6%. Diharapkan tanaman jeringau dapat menjadi suatu alternatif untuk mengendalikan serangga seperti nyamuk Aedes aegypti.

(11)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pengaruh lingkungan dalam menimbulkan penyakit pada manusia telah lama

disadari. Bahkan telah lama pula disinyalir, bahwa peran lingkungan dalam

meningkatkan derajat kesehatan sangat besar. Sebagaimana dikemukakan Blum

(1974) dalam planning for health, development and application of social change

theory, bahwa faktor lingkungan berperan sangat besar dalam meningkatkan derajat

kesehatan masyarakat. Sebaliknya, kondisi kesehatan masyarakat yang buruk,

termasuk timbulnya berbagai penyakit menular, andil faktor lingkungan sangat besar.

Faktor perilaku, pelayanan masyarakat dan keturunan, memiliki kontribusi yang lebih

kecil dalam peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Memang tidak selalu

lingkungan sebagai penyebab, melainkan juga sebagai penunjang, media transmisi

maupun memperberat penyakit yang telah ada (Anies, 2006).

Keadaan lingkungan yang kurang bersih dapat merupakan tempat yang sangat

baik untuk berkembangbiaknya berbagai vektor penyakit. Vektor penyakit ini

diantaranya adalah serangga (Nurcahyo, 1996).

Insecta (serangga) merupakan kelas terpenting dari artropoda karena selain

dapat menimbulkan banyak penyakit serangga juga dapat menularkan berbagai

macam penyakit menular yang penting, baik dengan bertindak sebagai vektor

maupun sebagai tuan rumah. Peranan serangga yang terpenting dalam bidang

(12)

Kelompok serangga yang dapat berperan sebagai penyebar penyakit antara

lain : nyamuk, lalat, kecoa, pinjal dan lain–lain. Serangga yang dianggap cukup besar

peranannya dalam bidang kesehatan masyarakat adalah nyamuk (Soedarto, 1989).

Vektor penyakit yang sampai saat ini sering menimbulkan masalah kesehatan

khususnya di Indonesia adalah nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk Aedes aegypti

merupakan serangga yang banyak terdapat di daerah perumahan dan dapat bertindak

sebagai vektor penyakit demam berdarah dengue (DBD) (Depkes RI, 2004).

Penyakit ini ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti yang

mengandung virus dengue dalam tubuhnya. Nyamuk ini mendapat virus dengue pada

waktu menghisap darah dan disimpan dalam darahnya. Jika nyamuk ini menggigit

orang lain, maka virus dengue akan berkembang biak dalam tubuh orang itu selama

4 sampai 7 hari sehingga dapat menjadi sumber penularan. Dalam waktu satu minggu

setelah digigit nyamuk tersebut, orang tersebut akan dapat menderita penyakit demam

berdarah dengue yang dapat menimbulkan kematian.

Demam berdarah dengue masih merupakan masalah kesehatan masyarakat

dan menimbulkan dampak sosial maupun ekonomi. Jumlah kasus yang dilaporkan

cenderung meningkat dan daerah penyebarannya bertambah luas (Depkes RI, 2005).

Data kasus demam berdarah dengue di Indonesia tahun 2008 dari bulan

Januari hingga April mencapai 62.157 kasus dan jumlah penderita yang meninggal

sebanyak 482 orang. Di kota-kota besar seperti DKI Jakarta tahun 2008 dari bulan

Januari hingga April juga, mencapai 12.256 kasus dan jumlah penderita yang

meninggal sebanyak 11 orang, di Surabaya terdapat 10.508 kasus dan jumlah

(13)

dan penderita yang meninggal sebanyak 3 orang (termasuk di kota Medan sebanyak

621 kasus dengan 3 orang penderita meninggal) (Dinkes Provinsi Sumatera Utara,

2008).

Dalam mengatasi penyakit demam berdarah salah satunya dengan cara kimia

yaitu dengan insektisida sintetis. Penggunaan insektisida sintetis ini pada kurun

waktu 40 tahun terakhir semakin meningkat baik dari kualitasnya maupun

kuantitasnya. Hal ini disebabkan insektisida sintetis tersebut mudah digunakan, lebih

efektif dan dari segi ekonomi lebih menguntungkan (Yoshida Dalam Nursal, 2005).

Penggunaan zat kimia sebagai insektisida untuk mengendalikan serangga

pertama kali dilakukan pada tahun 1942. Zat kimia yang digunakan seperti : DDT

(Dichloro Diphenyl Trichloroethane), metal karbamat, organophospor serta zat kimia

lain sehingga mengakibatkan menurunnya populasi serangga pengganggu secara

drastis (Azwar, 1995).

Pada saat ini, sebagai akibat dari penggunaan insektisida yang kurang

bertanggung jawab, maka timbul masalah baru yakni terjadinya resistensi pada

serangga tersebut dan muncul pula sebagai akibat sampingan lainnya, yakni dengan

ikut matinya binatang lain yang terkena (Azwar, 1995). Dilain pihak dengan

penggunaan insektisida yang kurang bijaksana (khususnya yang bersifat sintetis)

sering merugikan terhadap lingkungan, termasuk pencemaran air, bahan pangan dan

dapat menimbulkan gangguan kesehatan pada manusia secara langsung atau dalam

jangka waktu yang panjang. Bahaya insektisida sintetis dapat menimbulkan kanker,

(14)

Untuk menghindari dampak negatif tersebut, maka perlu dikembangkan cara –

cara baru dalam pengendalian serangga yang aman dan efektif. Pengendalian

serangga dengan pemanfaatan tanaman yang mengandung zat pestisidik sebagai

insektisida hayati, diperkirakan mempunyai prospek dimasa yang akan datang

(Kardinan, 1999).

Secara umum, insektisida nabati (hayati) diartikan sebagai suatu pestisida

yang bahan dasarnya berasal dari tumbuhan. Insektisida nabati relatif mudah dibuat

dengan kemampuan dan pengetahuan terbatas. Oleh karena terbuat dari bahan alami /

nabati maka jenis pestisida ini bersifat mudah terurai (biodegradable) di alam

sehingga tidak mencemari lingkungan dan relatif aman bagi manusia dan ternak

peliharaan karena residunya mudah hilang. Insektisida nabati bersifat “pukul dan lari”

(hit and run), yaitu apabila diaplikasikan akan membunuh serangga pada waktu itu

dan setelah serangga terbunuh, maka residunya akan cepat menghilang di alam

(Kardinan, 2004).

Berbagai penelitian telah dilakukan terhadap tumbuhan yang mengandung

bahan aktif tertentu yang dapat mengendalikan nyamuk Aedes aegypti. Tambunan

(2007) dengan menggunakan hasil ekstrak daun tembakau (Nikotiana tabacum) 2%

yang disemprotkan pada nyamuk Aedes aegypti dewasa dan diamati selama 30 menit

dengan interval waktu 5 menit menunjukkan total jumlah nyamuk yang mati

sebanyak 80 ekor (100%). Penelitian lainnya oleh Simanjuntak (2006) terhadap hasil

maserasi bunga krisan, pada konsentrasi 0,4% dapat membunuh nyamuk Aedes

aegypti sebanyak 100% yang dilihat dari 5 kotak pengamatan yang masing - masing

(15)

Insektisida hayati lainnya adalah tanaman jeringau (Acorus calamus L).

Rimpang jeringau mengandung minyak atsiri yang digunakan sebagai insektisida

untuk mengendalikan beberapa serangga pengganggu di sekitar kita (Kardinan,

2004).

Jeringau (Acorus calamus L) adalah tanaman yang mengandung bahan kimia

aktif pada bagian rimpang baik dalam bentuk tepung ataupun minyak yang dikenal

sebagai minyak atsiri. Tumbuhan ini mudah tumbuh dan dikembangbiakkan serta

tidak beracun bagi manusia, karena secara tradisional banyak digunakan sebagai obat

sakit perut dan penyakit kulit, serta dipercaya dapat mengusir pengaruh roh jahat

terutama untuk bayi dan balita (Rismunandar, 1988).

Hasil penelitian tentang pemanfaatan minyak atsiri rimpang jeringau terhadap

kecoa dilakukan oleh Onasis (2001). Hasilnya menunjukkan bahwa dosis minyak

atsiri 15 ml/50ml pelarut Etanol 96% yang disemprotkan pada jarak 10 cm dari kecoa

menunjukkan kematian kecoa 30% pada 1 jam pertama, bertambah menjadi 75%

pada jam kedua dan menjadi 100% pada jam ketiga.

Begitu juga dengan hasil penelitian oleh Hidayatulfathi, dkk (2003)

menunjukkan bahwa ekstrak rimpang jeringau dalam bentuk lilin padat efektif

mengendalikan nyamuk Aedes aegypti pada konsentrasi 6,21 mg/cm² menunjukkan

kematian 56% pada jam pertama, 76% pada jam kedua dan 96% pada jam ketiga.

Berdasarkan hal tersebut di atas penulis tertarik untuk meneliti efektifitas

(16)

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan penelitian adalah

bagaimana pengaruh destilat minyak rimpang jeringau dalam membunuh nyamuk

Aedes aegypti.

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Mengetahui efektifitas minyak rimpang jeringau terhadap kematian nyamuk

Aedes aegypti.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui kematian nyamuk Aedes aegypti setelah diberi perlakuan

(disemprot) dengan etanol 70% tanpa campuran minyak rimpang jeringau

(Acorus calamus L) (sebagai kontrol), diamati selama 30 menit dengan

interval waktu setiap 5 menit.

2. Untuk mengetahui kematian nyamuk Aedes aegypti setelah diberi perlakuan

(disemprot) dengan minyak rimpang jeringau pada konsentrasi 6%, diamati

selama 30 menit dengan interval waktu setiap 5 menit.

3. Untuk mengetahui kematian nyamuk Aedes aegypti setelah diberi perlakuan

(disemprot) dengan minyak rimpang jeringau pada konsentrasi 12%, diamati

selama 30 menit dengan interval waktu setiap 5 menit.

4. Untuk mengetahui kematian nyamuk Aedes aegypti setelah diberi perlakuan

(disemprot) dengan minyak rimpang jeringau pada konsentrasi 18%, diamati

(17)

5. Untuk mengetahui kematian nyamuk Aedes aegypti setelah diberi perlakuan

(disemprot) dengan minyak rimpang jeringau pada konsentrasi 24%, diamati

selama 30 menit dengan interval waktu setiap 5 menit.

6. Untuk mengetahui kematian nyamuk Aedes aegypti setelah diberi perlakuan

(disemprot) dengan minyak rimpang jeringau pada konsentrasi 30%, diamati

selama 30 menit dengan interval waktu setiap 5 menit.

7. Untuk mengetahui perbedaan tingkat kematian nyamuk Aedes aegypti dengan

berbagai perlakuan konsentrasi minyak rimpang jeringau.

8. Untuk mengetahui konsentrasi paling efektif dari minyak rimpang jeringau

untuk membunuh nyamuk Aedes aegypti.

1.4. Manfaat Penelitian

1) Sebagai bahan masukan kepada masyarakat dalam memanfaatkan insektisida

nabati yang aman dan mudah didapat dalam upaya pengendalian nyamuk

Aedes aegypti

2) Sebagai tambahan wawasan dan pengetahuan mahasiswa khususnya

mahasiswa kesehatan lingkungan tentang insektisida nabati yang berasal dari

(18)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Umum Tentang Nyamuk Aedes aegypti

Musibah Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhagic Fever

(DHF) di tanah air telah mencengangkan semua pihak. Banyaknya jumlah korban

yang berjatuhan membuat publik tersadarkan betapa penyakit infeksi yang tergolong

tua ini masih dan bahkan kian membahayakan. Bukan itu saja, daerah – daerah yang

semula jarang atau tidak pernah kejangkitan, kini bermasalah dengan DBD.

Semula yang di beberapa daerah dianggap sebagai penyakit dengan siklus

lima tahunan, kini cenderung menimbulkan ledakan setiap tahun. Penyakit DBD

karena virus dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Penyakit

itu dapat menyerang semua orang dan dapat mengakibatkan kematian, terutama pada

anak, serta menimbulkan kejadian luar biasa atau wabah. Penyakit ini terjadi karena

virus dengue yang dibawa dan disebarkan oleh nyamuk Aedes aegypti (Anies, 2006).

2.1.1. Klasifikasi Nyamuk

Aedes aegypti merupakan jenis nyamuk yang dapat membawa virus

penyebab penyakitAedes aegypti juga

merupakan pembawa virusyellow fever) da

Penyebaran jenis ini sangat luas, meliputi hampir semua daerah tropis di seluruh

dunia. Sebagai pembawa virusAedes aegypti merupakan pembawa utama

(primary

(19)

masyarakat harus mampu mengenali dan mengetahui cara - cara mengendalikan jenis

nyamuk ini untuk membantu mengurangi persebaran penyakit

dengue (Wikipedia, 2008).

Kedudukan nyamuk Aedes aegypti dalam klasifikasi hewan adalah sebagai

berikut (Soegijanto, 2004) :

Filum : Arthropoda

Kelas : Insecta

Bangsa : Diphtera

Suku : Culicidae

Marga : Aedes

Jenis : Aedes aegypti L

2.1.2. Ciri Morfologi

Nyamuk Aedes aegypti dewasa memiliki ukuran sedang dengan tubuh

berwarna hitam kecoklatan. Tubuh dan tungkainya ditutupi sisik dengan garis-garis

putih keperakan. Di bagian punggun

melengkung vertikal di bagian kiri dan kanan yang menjadi ciri dari spesies ini.

Sisik-sisik pada tubuh nyamuk pada umumnya mudah rontok atau terlepas sehingga

menyulitkan identifikasi pada nyamuk-nyamuk tua. Ukuran dan warna nyamuk jenis

ini kerap berbeda antar populasi, tergantung dari kondisi lingkungan dan nutrisi yang

diperoleh nyamuk selama perkembangan. Nyamuk jantan dan betina tidak memiliki

perbedaan dalam hal ukuran nyamuk jantan yang umumnya lebih kecil dari betina

dan terdapatnya rambut-rambut tebal pada antena nyamuk jantan. Kedua ciri ini dapat

(20)

Nyamuk Aedes aegypti hidup di dalam dan di sekitar rumah, juga ditemukan

di tempat umum dan mampu terbang sampai 100 meter. Umur nyamuk Aedes aegypti

rata – rata 2 minggu, tetapi sebagian diantaranya dapat hidup 2 – 3 bulan (Depkes RI,

2004).

2.1.3. Perilaku dan Siklus Hidup

Aedes aegypti bersifat aktif pada pagi hingga sore hari. Penularan penyakit

dilakukan oleh nyamuk betina karena hanya nyamuk betina yang mengisap darah.

Hal itu dilakukannya untuk memperoleh asupan protein yang diperlukannya untuk

memproduksi telur. Nyamuk jantan tidak membutuhkan darah dan memperoleh

energi dari nektar bunga ataupun tumbuhan. Jenis ini menyenangi area yang gelap

dan benda-benda berwarna hitam atau merah. Demam berdarah dengue kerap

menyerang anak-anak karena anak-anak cenderung duduk di dalam kelas selama pagi

hingga siang hari dan kaki mereka yang tersembunyi di bawah meja menjadi sasaran

empuk nyamuk jenis ini.

Infeksi virus dalam tubuh nyamuk dapat mengakibatkan perubahan perilaku

yang mengarah pada peningkatan

menyebarkan virus. Infeksi virus dapat mengakibatkan nyamuk kurang handal dalam

menghisap darah, berulang kali menusukka

mengisap darah sehingga nyamuk berpindah dari satu orang ke orang lain. Akibatnya,

risiko penularan virus menjadi semakin besar.

Di Indonesia, nyamuk Aedes aegypti umumnya memiliki habitat di

lingkungan perumahan, dimana terdapat banyak genangan air bersih dalam bak mandi

(21)

sylvan

areas). Beberapa tempat pembiakan nyamuk Aedes aegypti adalah :

1. Dalam Rumah, seperti : Akuarium, perangkap semut, vas bunga, timba,

tempayan, bak mandi

2. Luar Rumah, seperti : Tayar buruk, tempurung kelapa, botol/gelas pecah yang

mengandung air, saluran air hujan, tempayan,

yang tersekat.

Nyamuk Aedes aegypti seperti halny

permukaan air bersih secara individual. Telur berbentuk elips berwarna hitam dan

terpisah satu dengan yang lain. Telur menetas dalam 1 sampai 2 hari menjadi larva.

Terdapat empat tahapan dalam perkembangan larva yang disebut

Perkembangan dari instar 1 ke instar 4 memerlukan waktu sekitar 5 hari. Setelah

mencapai instar ke-4, larva berubah menjadi pupa di mana larva memasuki masa

dorman. Pupa bertahan selama 2 hari sebelum akhirnya nyamuk dewasa keluar dari

pupa. Perkembangan dari telur hingga nyamuk dewasa membutuhkan waktu 7 hingga

8 hari, namun dapat lebih lama jika kondisi lingkungan tidak mendukung.

Telur Aedes aegypti tahan kekeringan dan dapat bertahan hingga 6 bulan

dalam keadaan kering. Jika terendam air, telur kering dapat menetas menjadi larva.

Sebaliknya, larva sangat membutuhkan air yang cukup untuk perkembangannya.

Kondisi larva saat berkembang dapat mempengaruhi kondisi nyamuk dewasa yang

dihasilkan. Sebagai contoh, populasi larva yang melebihi ketersediaan makanan akan

menghasilkan nyamuk dewasa yang cenderung lebih rakus dalam mengisap darah

(22)

2.1.4. Pengendalian Vektor Nyamuk

Beberapa usaha pencegahan dan pengendalian terhadap serangan nyamuk

demam berdarah dengue tidak akan berjalan jika tidak dilakukan secara simultan dan

terpadu. Jika salah satu lingkungan saja tidak ikut berpartisipasi, lingkungan tersebut

bisa menjadi sumber infeksi serangan nyamuk demam berdarah. Usaha–usaha

pencegahan dan pengendalian yang bisa dilakukan sebagai berikut (Kardinan, 2007) :

a. Pencegahan

Usaha ini dilakukan dengan menggunakan repellent atau pengusir, misalnya

lotion yang digosokkan ke kulit sehingga nyamuk takut mendekat. Banyak bahan

tanaman yang bisa dijadikan lotion anti nyamuk. Hal lain yang dapat dilakukan untuk

mengusir nyamuk adalah menanam tanaman yang tidak disukai serangga, termasuk

nyamuk Aedes aegypti. Tanaman ini bisa diletakkan di sekitar rumah atau di dalam

ruangan.

b. Pengendalian 1. Secara Kimia

Cara ini dilakukan dengan menyemprotkan insektisida ke sarang–sarang

nyamuk, seperti ruangan rumah. Banyak sekali jenis insektisida anti nyamuk yang

saat ini beredar di pasaran. Selain penyemprotan, dilakukan penaburan insektisida

butiran ke tempat jentik atau larva nyamuk biasa bersarang, seperti tempat

penampungan air, genangan air, atau selokan yang airnya jernih. Penggunaan obat

nyamuk bakar juga digolongkan ke dalam pengendalian secara kimia karena

(23)

2. Secara Mekanis

Pengendalian secara mekanis yang bisa dilakukan adalah pemasangan

kelambu dan pemasangan perangkap nyamuk, baik menggunakan cahaya, lem atau

raket pemukul.

Cara yang hingga saat ini masih dianggap paling tepat untuk mengendalikan

penyebaran penyakit demam berdarah adalah dengan mengendalikan populasi dan

penyebaran vektor. Program yang sering dikampanyekan di Indonesia adalah 3M+1T

yaitu menguras, menutup, mengubur, dan telungkupkan (Wikipedia, 2008).

1) Menguras bak mandi, untuk memastikan tidak adanya larva nyamuk yang

berkembang di dalam air dan tidak ada telur yang melekat pada dinding bak

mandi

2) Menutup tempat penampungan air sehingga tidak ada nyamuk yang memiliki

akses ke tempat itu untuk bertelur

3) Mengubur barang bekas sehingga tidak dapat menampung air hujan dan

dijadikan tempat nyamuk bertelur

4) Telungkupkan barang bekas sehingga tidak dapat menampung air hujan dan

dijadikan tempat nyamuk bertelur.

3. Secara Biologi

Cara ini bisa dilakukan dengan memelihara ikan yang relatif kuat dan tahan,

misalnya ikan mujair di bak atau tempat penampungan air lainnya sehingga bisa

menjadi predator bagi jentik dan pupa nyamuk.

Beberapa cara alternatif lain yang pernah dicoba untuk mengendalikan vektor

(24)

Toxorhyncites sp. Aedes sp ini ternyata kurang efektif dalam

mengurangi penyebaran virus dengue.

Penggunaan insektisida yang berlebihan tidak dianjurkan, karena sifatnya

yang tidak spesifik sehingga akan membunuh berbagai jenis serangga lain yang

bermanfaat secara ekologis. Penggunaan insektisida juga akhirnya memunculkan

masalah resistensi serangga sehingga mempersulit penanganan dikemudian hari

(Wikipedia, 2008).

2.1.5. Suhu (Temperatur)

Suhu yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat mempengaruhi

kelangsungan hidup serta populasi nyamuk di lingkungan. Suhu minimum adalah

15º C, suhu optimum 25º C, dan suhu maksimum 45º C (Jumar, 2000).

2.1.6. Kelembaban

Kelembaban udara sangat mendukung dalam kelangsungan hidup nyamuk

mulai dari telur, larva, pupa hingga dewasa. Kelembaban yang sesuai adalah sekitar

60% sampai 89% (Jumar, 2000).

2.2. Tinjauan Umum Tentang Insektisida Nabati 2.2.1. Pengertian Insektisida Nabati

Secara umum, insektisida nabati diartikan sebagai suatu insektisida yang

bahan dasarnya berasal dari tumbuhan. Insektisida nabati relatif mudah dibuat dengan

kemampuan dan pengetahuan terbatas. Oleh karena terbuat dari bahan alami/nabati

maka jenis insektisida ini bersifat mudah terurai (biodegradable) di alam sehingga

tidak mencemari lingkungan dan relatif aman bagi manusia dan ternak peliharaan

(25)

run), yaitu apabila diaplikasikan akan membunuh serangga pada waktu itu dan

setelah serangganya terbunuh maka residunya akan cepat menghilang di alam.

Penggunaan insektisida nabati dimaksudkan bukan untuk meninggalkan dan

menganggap tabu penggunaan insektisida sintetis, tetapi hanya merupakan suatu cara

alternatif dengan tujuan agar pengguna tidak hanya tergantung kepada insektisida

sintetis. Tujuan lainnya adalah agar penggunaan insektisida sintetis dapat

diminimalkan sehingga kerusakan lingkungan yang diakibatkannya pun diharapkan

dapat dikurangi pula (Kardinan, 2004).

2.2.2. Pembuatan Insektisida Nabati

Cara pembuatan insektisida nabati dari berbagai jenis tumbuhan tidak dapat

dijelaskan secara khusus atau distandarisasi karena memang sifatnya tidak berlaku

secara umum. Pembuatan insektisida nabati dapat dilakukan secara sederhana atau

secara laboratorium. Cara sederhana (jangka pendek) dapat dilakukan dengan

penggunaan ekstrak sesegera mungkin setelah pembuatan ekstrak dilakukan. Cara

laboratorium (jangka panjang) biasanya dilakukan oleh tenaga ahli yang sudah

terlatih. Hal tersebut menyebabkan produk insektisida nabati menjadi mahal. Hasil

kemasannya memungkinkan untuk disimpan relatif lama.

Untuk menghasilkan bahan insektisida nabati dapat dilakukan teknik sebagai

berikut :

1. Penggerusan, penumbukan atau pengepresan untuk menghasilkan produk

berupa tepung, abu atau pasta

(26)

3. Ekstraksi dengan menggunakan bahan kimia pelarut disertai perlakuan khusus

oleh tenaga yang terampil dan dengan peralatan yang khusus.

Di Indonesia, sebenarnya sangat banyak jenis tumbuhan penghasil insektisida

nabati. Namun, sampai saat ini pemanfaatannya belum dilakukan dengan maksimal.

Beberapa tumbuhan penghasil insektisida nabati adalah : Piretrum (Chrysanthemum

cinerariaefolium Trev), Aglaia (Aglaia odorata L), Babadotan (Ageratum conyzoides

L), Bengkuang (Pachyrrhyzus erosus Urban), Bitung (Barrinftonia acutangula BL),

Jeringau (Acorus calamus L), dan lain - lain (Kardinan, 2004).

Untuk mengendalikan serangga - serangga yang terbang (seperti nyamuk

Aedes aegypti), insektisida yang diperlukan untuk menyemprot adalah insektisida

yang mengandung racun perut atau racun kontak. Penyemprotan dengan hand spray

harus diarahkan pada sasaran yang akan disemprot pada jarak 30–50 cm. Untuk

mendapatkan distribusi semprotan yang sama harus dilakukan secara merata, baik

dari atas atau memutar dari samping (Djojosumarto, 2000).

Interval (jarak taraf) perlakuan harus memberi peluang kepada peneliti untuk

mendapatkan perlakuan terbaik yang memberikan pengaruh maksimum. Semakin

tinggi derajat ketelitian yang diinginkan dan semakin heterogen lingkungan / kondisi

percobaan, jumlah ulangan harus lebih banyak. Secara umum, ulangan minimal untuk

percobaan harus 3 (Tiga) (Hanafiah, 2005). Pada suatu penelitian dibutuhkan hewan

percobaan paling sedikit 10 ekor dengan kontrol sebesar 0% dan rentang dosis paling

(27)

2.2.3. Keunggulan dan Kelemahan Insektisida Nabati

Penggunaan insektisida nabati memiliki keunggulan dan kelemahan yaitu

sebagai berikut (Naria, 2005) :

I. Keunggulan

1. Insektisida nabati tidak atau hanya sedikit meninggalkan residu pada

komponen lingkungan dan bahan makanan sehingga dianggap lebih aman

daripada insektisida sintetis/kimia

2. Zat pestisidik dalam insektisida nabati lebih cepat terurai di alam

sehingga tidak menimbulkan resistensi pada sasaran

3. Dapat dibuat sendiri dengan cara yang sederhana

4. Bahan pembuat insektisida nabati dapat disediakan di sekitar rumah

5. Secara ekonomi tentunya akan mengurangi biaya pembelian insektisida.

II. Kelemahan

Selain keunggulan insektisida nabati, tentunya kita tidak dapat

mengesampingkan beberapa kelemahan pemakaian insektisida nabati tersebut.

Kelemahannya antara lain :

1. Frekuensi penggunaan insektisida nabati lebih tinggi dibandingkan dengan

insektisida sintetis. Tingginya frekuensi penggunaan insektisida nabati

adalah karena sifatnya yang mudah terurai di lingkungan sehingga harus

lebih sering diaplikasikan

2. Insektisida nabati memiliki bahan aktif yang kompleks (multiple active

(28)

3. Tanaman insektisida nabati yang sama, tetapi tumbuh di tempat yang

berbeda, iklim berbeda, jenis tanah berbeda, umur tanaman berbeda, dan

waktu panen yang berbeda mengakibatkan bahan aktifnya menjadi sangat

bervariasi.

2.2.4. Cara Masuk Insektisida

Menurut cara masuk insektisida ke dalam tubuh serangga sasaran dibedakan

menjadi 3 kelompok sebagai berikut (Djojosumarto, 2000) :

a. Racun Lambung (Racun Perut/Stomach Poison)

Racun lambung atau racun perut adalah insektisida - insektisida yang

membunuh serangga sasaran bila insektisida tersebut masuk ke dalam organ

pencernaan serangga dan diserap oleh dinding saluran pencernaan. Selanjutnya

insektisida tersebut dibawa oleh cairan tubuh serangga ke tempat sasaran yang

mematikan (misalnya ke susunan saraf serangga). Oleh karena itu, serangga harus

terlebih dahulu memakan umpan yang sudah disemprot dengan insektisida dalam

jumlah yang cukup untuk membunuhnya

b. Racun Kontak

Racun kontak adalah insektisida yang masuk ke dalam tubuh serangga lewat

kulit (bersinggungan langsung). Serangga sasaran akan mati bila bersinggungan

(kontak langsung) dengan insektisida tersebut.

c. Racun Pernapasan

Racun pernapasan adalah insektisida yang bekerja lewat saluran pernapasan.

(29)

Kebanyakan racun pernapasan berupa gas atau bila asalnya padat atau cair yang

segera berubah atau menghasilkan gas.

Sedangkan dilihat dari cara kerjanya, insektisida dibedakan atas (Wudianto,

1999) :

a. Insektisida peracun fisik akan menyebabkan dehidrasi, yaitu keluarnya cairan

tubuh dari dalam tubuh serangga

b. Insektisida peracun protoplasma dapat mengendapkan protein dalam tubuh

serangga

c. Insektisida peracun pernapasan dapat menghambat aktifitas enzim

pernapasan.

Simpson dan Simpson (1990) menjelaskan bahwa apabila terjadi perubahan

nutrisi pada serangga karena adanya senyawa kimia dalam makanannya, maka

serangga akan melakukan suatu respon kompensasi. Respon ini dilakukan sebagai

upaya untuk mempertahankan kehidupannya, yaitu dengan cara mengubah laju

konsumsi dan efisiensi pencernaan serta metabolismenya. Pengaruhnya akan terlihat

pada pertumbuhan, lama perkembangan dan mortalitas serangga, menurunkan

fekunditas. Pada akhirnya, akan mempengaruhi jumlah populasi serangga tersebut di

alam (Nursal, 2005).

2.2.5. Toksisitas Insektisida

Dalam mengukur toksisitas insektisida dikenal istilah LD 50, LC 50, ED 50,

(30)

Tabel 2.1. Daftar Istilah Toksisitas

ISTILAH KETERANGAN

LD 50

(Lethal Dossage)

Berapa mg insektisida untuk tiap kg berat badan

binatang percobaan untuk mematikan 50% dari

populasinya. Diberikan melalui oral, dermal dan

respirasi, diambil dari insektisida murni.

LC 50

(Lethal Consentration)

Berapa mg insektisida untuk tiap kg berat badan

binatang percobaan untuk mematikan 50% dari

populasinya mengunakan fumigant. Diberikan

melalui oral, dermal dan respirasi.

ED 50

(Effective Dossage)

Berapa mg insektisida untuk tiap volume spon yang

tidak tumbuh setelah diberi perlakuan fungisida

dengan dosis tertentu pada medium buatan pada

waktu tertentu.

RL 50

(Residu Life)

Memperhatikan periode sejak terjadinya deposit

insektisida sampai separuh deposit tersisa sehingga

suatu insektisida aktivitasnya berkurang 50%.

EC 50

(Effective Concentration)

Kepekatan bahan uji pada taraf 50% populasi hewan

uji dalam keadaan tidak aktif/lumpuh. pada waktu

tertentu.

TLM

(Tolerance Limited Medium)

Toksistas insektisida yang diukur pada pengairan

(kolam).

(31)

2.3. Tinjauan Umum Tentang Jeringau (Acorus calamus L) 2.3.1. Deskripsi Tumbuhan

Jeringau merupakan herba menahun dengan tinggi sekitar 75 cm. Tumbuhan

ini biasa hidup di tempat yang lembab, seperti rawa dan air pada semua ketinggian

tempat. Batang basah, pendek, membentuk rimpang, dan berwarna putih kotor.

Daunnya tunggal, bentuk lanset, ujung runcing, tepi rata, panjang 60 cm, lebar sekitar

5 cm, dan warna hijau. Bunga majemuk bentuk bonggol, ujung meruncing, panjang

20–25 cm terletak di ketiak daun dan berwarna putih. Perbanyakan dengan setek

batang, rimpang, atau dengan tunas–tunas yang muncul dari buku–buku rimpang.

Jeringau mempunyai akar berbentuk serabut (Kardinan, 2004).

Dalam pertumbuhannya, rimpang jeringau membentuk cabang ke kanan atau

ke kiri. Banyaknya cabang ditentukan oleh kesuburan tanah. Rimpang jeringau dalam

keadaan segar kira–kira sebesar jari kelingking sampai sebesar ibu jari, isinya

berwarna putih tetapi jika dalam keadaan kering berwarna merah muda.

Bentuk rimpang berbentuk agak petak bulat beruas, dengan panjang ruas 1–3

cm, sebelah sisi akar batang agak menajam, sebelah lagi beralur tempat keluar tunas

cabang yang baru. Banyak dikelilingi akar serabutnya yang panjang. Kebanyakan dari

akar ini tumbuh pada bagian bawah akar batangnya. Bila umur tanaman lebih dari 2

tahun, akarnya dapat mencapai 60–70 cm. Bau akar sangat menyengat (keras) seperti

bau rempah atau bumbu lainnya. Jika diletakkan di lidah rasanya tajam, pedas dan

sedikit pahit tetapi tidak panas. Jika rimpang dimemarkan akan keluar bau yang lebih

(32)

2.3.2. Klasifikasi Jeringau

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Monocoiyledonae

Bangsa : Arales

Suku : Araceae

Warga : Acorus

Jenis : Acorus calamus L

Beberapa nama daerah dari Acorus calamus L adalah sebagai berikut :

Aceh : Jeurunger

Gayo : Jerango

Batak : Jerango

Minangkabau : Jerianggu

Nias : Sarango

Sunda : Daringo

Jawa tenah : Dlingo

Madura : Jharango

Bali : Jangu

Flores : Kaliraga

Sasak : Jeringo

Makassar : Kareango

Minahasa : Kalamunga

(33)

Ambon : Ai wahu

Buru : Bila

Malaysia : Jerangau

Dengan mengetahui berbagai nama daerah ini, diharapkan kita mampu mengenali

tanaman jeringau tersebut dan dapat memanfaatkannya sebagai insektisida nabati

(Anonimous, 2000).

2.3.3. Bagian Tumbuhan Yang Digunakan

Rimpang jeringau mengandung minyak yang bernilai serba guna seperti

campuran dalam industri makanan dan minuman, bahan penyedap, pewangi, deterjen,

sabun, dan krem kecantikan. Jeringau yang dapat dimanfaatkan sebagai insektisida

hayati adalah pada akarnya (rimpang), karena mengandung minyak atsiri. Salah satu

cara pengolahan rimpang jeringau menjadi minyak atsiri adalah melalui penyulingan

dengan metode Destilasi (Onasis, 2001).

Rimpang jeringau dapat digunakan dalam 2 bentuk, yaitu berbentuk tepung

dan minyak. Untuk membuat tepung, rimpang jeringau diiris – iris, dikeringkan, lalu

ditumbuk (Kardinan, 2004).

2.3.4. Kandungan Aktif

Kandungan bahan kimia terpenting dalam rimpang jeringau adalah minyak

atsiri. Tinggi rendahnya kualitas minyak atsiri tergantung pada daerah asal jeringau

itu sendiri (Onasis, 2001). Komposisi minyak rimpang jeringau terdiri dari asarone

(82%), kolamenol (5%), kolamen (4%), kolameone (1%), metil eugenol (1%), dan

(34)

Rimpang dan daun jeringau mengandung saponin dan flavonoida, disamping

rimpangnya mengandung minyak atsiri (Anonimous, 2000). Formula rimpang

Jeringau sebagai insektisida dapat dibuat secara sederhana maupun secara

laboratorium (Naria, 2005).

2.3.5. Kegunaan dan Hama Yang Dikendalikan

Rimpang jeringau dapat digunakan untuk mengendalikan beberapa serangga

pengganggu di sekitar kita. Rimpang yang ditumbuk halus (bentuk tepung) dapat

digunakan untuk mengendalikan rayap dan membunuh kutu kepala (Cimex

lectularis). Serangga lain yang dapat dikendalikan adalah nyamuk dan kecoa (Naria,

2005).

Tumbuhan ini, terutama bagian rimpangnya mengandung minyak yang dapat

digunakan sebagai bahan insektisida yang bekerja sebagai repellent (penolak

serangga), antifeedant (penurun nafsu makan), dan antifertilitas/chemosterilant

(pemandul). Tepung rimpang jeringau dapat digunakan untuk melindungi hasil panen

yang disimpan di gudang, yaitu dengan mencampurkannya pada biji–bijian dengan

konsentrasi 1–2 % atau 1–2 kg tepung jeringau dicampur dengan 100 kg biji–bijian.

Tepung rimpang jeringau dengan konsentrasi 3–5% berpengaruh terhadap

mortalitas serangga sitophilus sp. Rimpang jeringau sering digunakan sebagai

insektisida di berbagai negara. Sebagai contoh, di Tiongkok dan India rimpang

jeringau ini dimanfaatkan untuk membasmi beberapa jenis kutu, di Malaysia

dimanfaatkan untuk membasmi rayap, dan di Filipina untuk mengusir walang sengit

(35)

Pemanfaatan minyak atsiri rimpang jeringau dalam mengendalikan kecoa

dilakukan oleh Onasis (2001) dengan dosis 5 ml/50 ml, 10 ml/50 ml, 15 ml/50 ml,

dan 20 ml/50 ml dengan menggunakan pelarut Etanol 96% yang disemprotkan pada

jarak 10 cm dari kecoa, menunjukkan bahwa dosis yang efektif adalah dosis 15 ml/

50 ml dapat membunuh kecoa sebanyak 30% pada jam pertama, bertambah menjadi

75% pada jam kedua dan menjadi 100% pada jam ketiga.

Pemanfaatan ekstrak rimpang jeringau dalam bentuk lilin padat juga pernah

dilakukan oleh Hidayatulfathi, dkk (2003) dalam membunuh nyamuk Aedes aegypti

dengan konsentrasi 0,02 mg/cm² ; 0,12 mg/cm² ; 2,48 mg/cm² ; 6,21 mg/cm² ; 12,42

mg/cm² diamati selama 1 jam, 2 jam, dan 3 jam dengan interval waktu setiap

10 menit. Konsentrasi yang efektif adalah 6,21 mg/cm² dapat membunuh nyamuk

Aedes aegypti sebanyak 56% pada jam pertama, menjadi 76% pada jam kedua dan

menjadi 96% pada jam ketiga.

Secara tradisional tanaman jeringau banyak digunakan sebagai obat sakit

perut dan penyakit kulit (Rismunandar, 1988). Ada juga kebiasaan yang berkembang

di masyarakat yaitu pada ibu yang mempunyai bayi, disediakan sejenis bungkusan

kecil yang berisi jeringau dan rempah ini dipercaya dapat menghindarkan bayi dari

mahkluk halus dan binatang–binatang (Naria, 2005).

Dalam dosis rendah jeringau dapat memberikan efek relaksasi pada otot dan

menimbulkan efek sedatif (penenang) terhadap sistem saraf pusat karena senyawa

asaron memiliki struktur kimia mirip senyawa golongan amfetamin dan ekstasi.

Namun, jika digunakan dalam dosis yang tinggi dan dalam jangka waktu yang lama

(36)

karsinogen jika antibodi yang ada di dalam tubuh tidak bisa mengeliminasi efek

karsinogen jeringau (Agusta, 2008).

2.4. Tinjauan Umum Tentang Minyak Atsiri

Salah satu bentuk insektisida adalah berupa minyak atsiri yang dihasilkan dari

tumbuh–tumbuhan. Minyak atsiri yang terdapat dalam tumbuhan mempunyai sifat

mudah menguap pada suhu kamar dan bila diteteskan pada kertas saring tidak

meninggalkan bekas.

Indonesia memiliki sumber keanekaragaman hayati yang sangat tinggi,

termasuk jenis tumbuhan yang mempunyai bahan aktif untuk dikembangkan sebagai

insektisida nabati. Ketersediaan ini merupakan potensi besar. Tentunya sangat

diperlukan berbagai penelitian dan penggunaan teknologi sederhana untuk

mengembangkan penggunaan insektisida nabati (Naria, 2005).

2.4.1. Pengertian Minyak Atsiri

Minyak atsiri atau dikenal juga sebagai minyak eteris (aetheric oil), minyak

esensial, minyak terbang, serta minyak aromatik adalah kelompok besar

sehingga memberikan aroma yang khas. Minyak atsiri merupakan bahan dasar dari

wangi-wangian atau minyak gosok (untuk pengobatan) alami. Di dalam perdagangan,

Para ahli

yang biasanya berperan sebagai alat pertahanan diri agar tidak dimakan oleh

(37)

bau-bauan (seperti

dari beberapa

2008).

Minyak atsiri dapat diproduksi melalui beberapa metode. Namun, sebagian

besar minyak atsiri diperoleh melalui metode penyulingan. Cara lain yang perlu

diketahui yaitu metode ekstraksi dengan mengunakan pelarut dan juga metode

pengempaan (Lutony, 2000).

2.4.2. Ciri-ciri Minyak Atsiri

Minyak atsiri bersifat mudah menguap karena titik uapnya rendah. Selain itu,

susunan senyawa komponennya kuat mempengaruhi

Setiap senyawa penyusun memiliki efek tersendiri dan campurannya dapat

menghasilkan bau yang berbeda.

Minyak atsiri bukan merupakan zat kimia murni (Lutony, 2000). Secara

kimiawi, minyak atsiri tersusun dari campuran yang rumit dari berbagai senyawa,

namun suatu senyawa tertentu biasanya bertanggung jawab atas suatu aroma tertentu.

Sebagian besar minyak atsiri termasuk dalam golongan senyawa organi

Mutu minyak atsiri merupakan faktor penentu yang sangat penting. Faktor

yang mempengaruhi tinggi rendahnya mutu minyak atsiri adalah pengadaan bahan

(38)

Beberapa minyak atsiri penting

Minyak atsiri terdapat pada dan diperoleh dari bagian tertentu tanaman yang

mengandung minyak atsiri. Bagian ini antara lain akar, biji, bunga, daun, kulit kayu,

ranting, dan rimpang atau akar tinggal. Bahkan ada tanaman yang seluruh bagiannya

mengandung minyak atsiri. Meskipun demikian, kandungan minyaknya tidak selalu

sama antara bagian yang satu dengan yang lainnya. Misalnya, kandungan minyak

atsiri yang terdapat pada kuntum bunga cengkih berbeda dengan pada bagian tangkai

bunga maupun daun (Lutony, 2000).

Ada beberapa minyak atsiri yang penting untuk diketahui, yaitu (Wikipedia,

2008) :

1. fennel /foenicoli oil

2. sandalwood oil

3. euganol oil

4. leaf clove oil

5.

6. ylang-ylang oil

7.

8.

9.

10.

(39)

2.5. Kerangka Konsep

2.6. Hipotesa Penelitian

Ho : Tidak ada perbedaan jumlah kematian nyamuk Aedes aegypti pada setiap

perlakuan (penyemprotan) dengan destilat rimpang jeringau.

Ha : Ada perbedaan jumlah kematian nyamuk Aedes aegypti pada setiap perlakuan

(penyemprotan) dengan destilat rimpang jeringau.

Jumlah Nyamuk

Aedes aegypti

 Suhu

 Kelembaban

Jumlah Nyamuk Aedes

aegypti yang mati Konsentrasi destilat rimpang jeringau

(40)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Rancangan Percobaan

3.1.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat eksperimen semu (Quasi experiment) yaitu untuk

melihat pengaruh beberapa konsentrasi dari minyak rimpang jeringau (Acorus

calamus L) terhadap kematian nyamuk Aedes aegypti.

3.1.2. Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok

(RAK). Dimana percobaan dilakukan dengan enam (lima perlakuan dan satu kontrol)

perlakuan penyemprotan dengan konsentrasi minyak rimpang jeringau 0%, 6%, 12%,

18%, 24% dan 30% serta 3 kali pengulangan.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di Pusat Laboratorium Uji Mutu Lembaga

Penelitian Sumatera Utara, yang dilaksanakan pada bulan Juli – Agustus 2008.

3.3. Objek Penelitian

Objek penelitian ini adalah nyamuk Aedes aegypti dewasa yang di ambil dari

kotak pemeliharaan dengan ukuran 50cm x 50cm x 50cm (p x l x t), dan dimasukkan

ke dalam kotak perlakuan berukuran 25cm x 25cm x 25cm (p x l x t) sebanyak

6 kotak. Masing – masing kotak berisi 15 ekor nyamuk Aedes aegypti dewasa.

Jumlah nyamuk Aedes aegypti yang menjadi sampel dalam penelitian ini sebanyak

(41)

3.4. Metode Pengumpulan Data 3.4.1. Data Primer

Data primer diperoleh dari hasil penelitian yang dilakukan di Pusat

Laboratorium Uji Mutu Lembaga Penelitian Universitas Sumatera Utara (USU).

3.4.2. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara dan

literatur – literatur yang mendukung penelitian ini.

3.5. Alat dan Bahan Penelitian 3.5.1. Alat Penelitian

1. Alat penyemprot

2. Aspirator

3. Beaker glass

4. Hygrometer

5. Jam untuk mengukur waktu

6. Kotak pemeliharaan sebanyak 1 buah berukuran 50 cm x 50 cm x 50 cm

(p x l x t) yang ditutupi dengan kasa dengan alas terbuat dari triplek

7. Kotak perlakuan sebanyak 6 kotak berukuran 25 cm x 25 cm x 25 cm

(p x l x t) yang ditutupi dengan kasa dengan alas terbuat dari triplek

8. Lup

9. Masker penutup hidung

10. Pipet

11. Pisau

(42)

13. Termometer

14. Timbangan

15. Wadah tempat larva / baskom

3.5.2. Bahan Penelitian

1. Air gula

2. Aquadest

3. Etanol 70 %

4. Jentik nyamuk Aedes aegypti

5. Kloroform

6. Nyamuk Aedes aegypti dewasa

7. Rimpang jeringau (Acorus calamus L)

3.6. Definisi Operasional

1. Jumlah nyamuk Aedes aegypti adalah jumlah nyamuk Aedes aegypti

sebanyak 270 ekor yang belum disemprot dengan beberapa konsentrasi

minyak rimpang jeringau

2. Destilat rimpang jeringau adalah banyaknya hasil penyulingan dengan

metode destilasi yang akan disemprotkan terhadap nyamuk Aedes aegypti

yaitu : 0%, 6%, 12%, 18%, 24% dan 30%

3. Suhu adalah temperatur yang diukur selama penelitian dilakukan dengan

menggunakan alat thermometer, dinyatakan dalam derajat celcius

4. Kelembaban adalah kelembaban udara di tempat penelitian yang diukur

(43)

5. Jumlah nyamuk Aedes aegypti yang mati adalah banyaknya nyamuk Aedes

aegypti yang mati setelah dilakukan perlakuan penyemprotan hasil beberapa

destilat rimpang jeringau yang diamati selama 30 menit dengan interval

waktu setiap 5 menit yang ditandai dengan nyamuk tidak bergerak, dan tidak

dapat terbang.

6. Keefektifan minyak rimpang jeringau adalah konsentrasi minyak rimpang

jeringau yang paling rendah yang dapat membunuh nyamuk Aedes aegypti

sebanyak 50% hewan percobaan (LD50).

3.7. Prosedur Penelitian

3.7.1. Cara Mendapatkan Nyamuk Aedes aegypti Dewasa

Untuk mendapatkan nyamuk Aedes aegypti dewasa dilakukan dengan

memelihara larva nyamuk Aedes aegypti dengan cara sebagai berikut :

1. Siapkan kotak pemeliharaan nyamuk dengan ukuran 50 cm x 50 cm x 50 cm

2. Sediakan baskom kecil yang berisi air bersih

3. Kemudian masukkan larva nyamuk Aedes aegypti ke dalam baskom kecil

yang berisi air bersih dan letakkan di dalam kotak pemeliharaan

4. Atur suhu dan kelembaban yang cocok untuk pertumbuhan nyamuk di dalam

kotak pemeliharaan

5. Amati kotak pemeliharaan dan apabila jentik telah berubah menjadi

kepompong, lalu masukkan air gula/madu ke dalam kotak pemeliharaan untuk

(44)

6. Setelah nyamuk tersebut keluar dari kepompong, nyamuk tersebut ditangkap

dengan aspirator dan dipindahkan ke kotak perlakuan masing–masing

sebanyak 15 ekor sebagai sampel penelitian

7. Pada akhir penelitian, nyamuk yang masih hidup dibunuh dengan

menggunakan kloroform.

3.7.2. Cara Mendapatkan Minyak Rimpang Jeringau

Untuk mendapatkan minyak rimpang jeringau dilakukan dengan cara sebagai

berikut(Onasis, 2001) :

1. Siapkan 10 kg rimpang jeringau yang telah disortir dan dirajang halus

2. Lakukan pengeringan dengan tidak langsung berada di bawah sinar matahari

sampai kadar airnya 10 – 25 %

3. Lakukan penyulingan dengan alat suling yang menggunakan metode destilasi

4. Pisahkan minyak rimpang jeringau dari air

5. Minyak rimpang jeringau siap digunakan untuk perlakuan pada objek

penelitian

6. Minyak rimpang jeringau hasil sulingan yang digunakan dalam perlakuan

terhadap nyamuk Aedes aegypti adalah yang dicampurkan dengan Etanol

70 % dengan konsentrasi perlakuan 0%, 6%, 12%, 18%, 24% dan 30%.

3.7.3. Cara Melakukan Pengenceran Konsentrasi minyak rimpang Jeringau

Untuk mendapatkan beberapa konsentrasi minyak rimpang jeringau untuk

perlakuan percobaan dengan menggunakan rumus :

(45)

Keterangan : M1 = konsentrasi tetap (100%)

V1 = Volume hasil destilasi

M2 = Konsentrasi yang diketahui

V2 = Volume etanol 70% (50 ml)

Berdasarkan rumus di atas, cara untuk mendapatkan masing–masing

konsentrasi minyak rimpang jeringau adalah sebagai berikut :

1. Untuk mendapatkan konsentrasi 0%, maka yang digunakan adalah etanol 70%

sebanyak 50 ml tanpa penambahan hasil destilasi rimpang jeringau

2. Untuk mendapatkan konsentrasi 6%, maka ditambahkan 3 ml hasil destilasi

rimpang jeringau dengan etanol 70 % sebanyak 47 ml

3. Untuk mendapatkan konsentrasi 12%, maka ditambahkan 6 ml hasil destilasi

rimpang jeringau dengan etanol 70% sebanyak 44 ml

4. Untuk mendapatkan konsentrasi 18%, maka ditambahkan 9 ml hasil destilasi

rimpang jeringau dengan etanol 70% sebanyak 41 ml

5. Untuk mendapatkan konsentrasi 24%, maka ditambahkan 12 ml hasil destilasi

rimpang jeringau dengan etanol 70% sebanyak 38 ml

6. Untuk mendapatkan konsentrasi 30%, maka ditambahkan 15 ml hasil destilasi

rimpang jeringau dengan etanol 70% sebanyak 35 ml.

3.7.4. Cara Melakukan Percobaan

1. Masing–masing 15 ekor nyamuk Aedes aegypti dewasa diambil dari kotak

pemeliharaan dengan menggunakan alat aspirator dan dimasukkan ke dalam

kotak perlakuan yang telah diberi label, yaitu : kotak A untuk perlakuan

(46)

konsentrasi 6% ; kotak C untuk konsentrasi 12% ; kotak D untuk konsentrasi

18% ; kotak E untuk konsentrasi 24% ; kotak F untuk konsentrasi 30%

2. Kemudian lakukan penyemprotan sesuai dengan konsentrasi minyak rimpang

jeringau dengan jarak 30 cm dari masing – masing kotak perlakuan

3. Amati dan catat nyamuk Aedes aegypti yang mati selama 30 menit dengan

interval waktu setiap 5 menit.

4. Lakukan 3 kali pengulangan untuk masing – masing perlakuan serta kontrol

5. Untuk kotak perlakuan dilakukan pencucian kemudian dijemur setiap akan

dilakukan pengulangan kecuali untuk kotak kontrol tidak perlu dilakukan

pencucian.

3.8. Pengolahan Data

Data yang diperoleh dari hasil percobaan dianalisa menggunakan metode

statistik uji Anova dan membandingkannya dengan tabel F. Apabila ada pengaruh

akan dilanjutkan dengan uji Duncan New Multiple Range Test pada taraf nyata 5 %

untuk mengetahui pada dosis berapa jumlah nyamuk Aedes aegypti yang paling

banyak mati (Hanafiah, 2005).

Uji Anova Satu Jalur

a. Mencari Faktor Korelasi (FK)

FK =

k r TIJ

. 2

Keterangan : Tij² = Jumlah kuadrat seluruh pengamatan dalam baris ke i =

(47)

r = Jumlah ulangan

k = Jumlah perlakuan

b. Mencari Jumlah Kuadrat Total (JKT)

JK = T (Yij²) – FK

(48)

m. Kriteria penilaian : Fh > Ft berarti Ho ditolak ; Fh < Ft berarti Ho diterima.

Jika Ho ditolak maka dilanjutkan dengan uji Duncan New Multiple Range

Test untuk mengetahui pada konsentrasi berapa jumlah nyamuk Aedes

(49)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1. Pengaruh Minyak Rimpang Jeringau Terhadap Kematian Nyamuk Aedes aegypti

Hasil penelitian dengan menggunakan berbagai konsentrasi minyak rimpang

jeringau yang disemprot dalam membunuh nyamuk Aedes aegypti yaitu dari

6 konsentrasi (5 perlakuan dan 1 kontrol) dengan 3 kali pengulangan selama 30 menit

pengamatan menunjukkan hasil seperti pada tabel-tabel berikut. Dalam penelitian ini

menggunakan nyamuk Aedes aegypti sebanyak 15 ekor dalam masing-masing

perlakuan.

4.1.1. Kematian Nyamuk Aedes aegypti Pada Konsentrasi 0% (Kontrol)

Tabel 4.1

Hasil Pengamatan Kematian Nyamuk Aedes aegypti Setiap 5 Menit Pengamatan Selama 30 Menit Pada Konsentrasi 0% (Kontrol)

Waktu Pengamatan

Jumlah Nyamuk Aedes aegypti Yang Mati Setelah Perlakuan Pada Konsentrasi 0%

Rata-rata Ulangan

I II III

5 Menit 0 0 0 0

10 Menit 0 0 0 0

15 Menit 0 0 0 0

20 Menit 0 0 0 0

25 Menit 0 0 0 0

30 Menit 0 0 0 0

Berdasarkan tabel 4.1 di atas menunjukkan bahwa tidak terdapat kematian

(50)

4.1.2. Kematian Nyamuk Aedes aegypti Pada Konsentrasi 6%

Tabel 4.2

Hasil Pengamatan Kematian Nyamuk Aedes aegypti Setiap 5 Menit Pengamatan Selama 30 Menit Pada Konsentrasi 6%

Waktu Pengamatan

Jumlah Nyamuk Aedes aegypti Yang Mati Setelah Perlakuan Pada Konsentrasi 6%

Rata-rata

Berdasarkan tabel 4.2 di atas menunjukkan bahwa kematian nyamuk Aedes

aegypti untuk konsentrasi 6% selama 5 menit pengamatan sudah mencapai LD50

yaitu sebanyak 8 ekor terjadi pada ulangan ketiga. Kematian nyamuk Aedes aegypti

tertinggi terjadi selama 30 menit pengamatan yaitu sebanyak 13 ekor.pada ulangan

kedua.

4.1.3. Kematian Nyamuk Aedes aegypti Pada Konsentrasi 12%

Tabel 4.3

Hasil Pengamatan Kematian Nyamuk Aedes aegypti Setiap 5 Menit Pengamatan Selama 30 Menit Pada Konsentrasi 12%

Waktu Pengamatan

Jumlah Nyamuk Aedes aegypti Yang Mati Setelah Perlakuan Pada Konsentrasi 12%

Rata-rata

(51)

Berdasarkan tabel 4.3 di atas menunjukkan bahwa kematian nyamuk Aedes

aegypti untuk konsentrasi 12% selama 5 menit pengamatan sudah mencapai LD50

yaitu sebanyak 9 ekor terjadi pada ulangan pertama. Kematian seluruh nyamuk Aedes

aegypti pada tiga kali ulangan terjadi setelah 25 menit pengamatan.

4.1.4. Kematian Nyamuk Aedes aegypti Pada Konsentrasi 18%

Tabel 4.4

Hasil Pengamatan Kematian Nyamuk Aedes aegypti Setiap 5 Menit Pengamatan Selama 30 Menit Pada Konsentrasi 18%

Waktu Pengamatan

Jumlah Nyamuk Aedes aegypti Yang Mati Setelah Perlakuan Pada Konsentrasi 18%

Rata-rata Ulangan

I II III

5 Menit 12 10 11 11

10 Menit 13 13 13 13

15 Menit 14 15 14 14,33

20 Menit 15 * 15 15

25 Menit * * * *

30 Menit * * * *

Keterangan * = semua nyamuk Aedes aegypti telah mengalami kematian

Berdasarkan tabel 4.4 di atas menunjukkan bahwa kematian nyamuk Aedes

aegypti untuk konsentrasi 18% selama 5 menit pengamatan sudah mencapai LD50

yaitu sebanyak 10 ekor terjadi pada ulangan kedua. Kematian seluruh nyamuk Aedes

(52)

4.1.5. Kematian Nyamuk Aedes aegypti Pada Konsentrasi 24%

Tabel 4.5

Hasil Pengamatan Kematian Nyamuk Aedes aegypti Setiap 5 Menit Pengamatan Selama 30 Menit Pada Konsentrasi 24%

Waktu Pengamatan

Jumlah Nyamuk Aedes aegypti Yang Mati Setelah Perlakuan Pada Konsentrasi 24%

Rata-rata

Keterangan * = semua nyamuk Aedes aegypti telah mengalami kematian

Berdasarkan tabel 4.5 di atas menunjukkan bahwa kematian nyamuk Aedes

aegypti untuk konsentrasi 24% selama 5 menit pengamatan sudah mencapai LD50

yaitu sebanyak 11 ekor terjadi pada ulangan pertama. Kematian seluruh nyamuk

Aedes aegypti paling cepat terjadi pada ulangan kedua setelah 10 menit pengamatan.

4.1.6. Kematian Nyamuk Aedes aegypti Pada Konsentrasi 30%

Tabel 4.6

Hasil Pengamatan Kematian Nyamuk Aedes aegypti Setiap 5 Menit Pengamatan Selama 30 Menit Pada Konsentrasi 30%

Waktu Pengamatan

Jumlah Nyamuk Aedes aegypti Yang Mati Setelah Perlakuan Pada Konsentrasi 30%

Rata-rata

(53)

Berdasarkan tabel 4.6 di atas menunjukkan bahwa kematian nyamuk Aedes

aegypti untuk konsentrasi 30% selama 5 menit pengamatan sudah mencapai LD50

yaitu sebanyak 12 ekor terjadi pada ulangan kedua. Kematian seluruh nyamuk Aedes

aegypti paling cepat terjadi pada ulangan pertama dan ulangan ketiga setelah

10 menit pengamatan.

4.1.7. Kematian Nyamuk Aedes aegypti Pada Enam Konsentrasi Setiap 5 Menit Pengamatan Selama 30 Menit

Tabel 4.7

Hasil Pengamatan Kematian Nyamuk Aedes aegypti Pada Enam Konsentrasi Setiap 5 Menit Pengamatan Selama 30 Menit

Konsentrasi Kematian nyamuk Aedes aegypti

5 menit 10 menit 15 menit 20 menit 25 menit 30 menit

A. 0 % 0 0 0 0 0 0

B. 6 % 22 26 29 32 34 36

C. 12 % 29 34 38 42 45 *

D. 18 % 33 39 43 45 * *

E. 24 % 35 41 44 45 * *

F. 30 % 38 44 45 * * *

Keterangan * = semua nyamuk Aedes aegypti mengalami kematian

Berdasarkan tabel 4.7. di atas dapat dilihat bahwa kematian nyamuk Aedes

aegypti menunjukkan konsentrasi tertinggi dalam membunuh nyamuk Aedes aegypti

adalah konsentrasi 30% dimana seluruh nyamuk telah mengalami kematian setelah

15 menit pengamatan. Sedangkan pemaparan yang paling lama dari seluruh

konsentrasi adalah konsentrasi 6% dengan kematian hampir seluruhnya setelah 30

(54)

4.1.8. Rata-rata Dan Persentase Kematian Nyamuk Aedes aegypti Pada Enam Konsentrasi Setiap 5 Menit Pengamatan Selama 30 Menit

Dari seluruh perlakuan dan pengamatan pada semua konsentrasi dapat

diketahui rata-rata dan persentase kematian nyamuk Aedes aegypti, seperti yang

tercantum pada tabel di bawah :

Tabel 4.8

Rata-Rata dan Persentase Kematian Nyamuk Aedes aegypti Pada Enam Konsentrasi Setiap 5 Menit Pengamatan Selama 30 Menit

Konsentrasi

Kematian Nyamuk Aedes aegypti

5 menit 10 menit 15 menit 20 menit 25 menit 30 menit

Rerata % Rerata % Rerata % Rerata % Rerata % Rerata %

A. 0% 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

B. 6% 7.33 48,89 8,67 57,78 9,67 64,44 10,67 71,11 11,33 75,55 12 80

C. 12% 9,67 64,44 11,33 75,55 12,67 84,44 14 93,33 15 100 * *

D. 18% 11 73,33 13 86,67 14,33 95,55 15 100 * * * *

E. 24% 11.67 77,78 13,67 91,11 14,67 97,78 15 100 * * * *

F. 30% 12,67 84,44 14,67 97,78 15 100 * * * * * *

Keterangan * = seluruh nyamuk Aedes aegypti telah mengalami kematian

Berdasarkan tabel 4.8. menunjukkan kematian tertinggi nyamuk Aedes

aegypti dalam persentase setiap konsentrasi berturut-turut adalah untuk konsentrasi

6% mencapai kematian 80% selama 30 menit pengamatan ; konsentrasi 12%

mencapai kematian 100% selama 25 menit pengamatan ; konsentrasi 18% dan

konsentrasi 24% mencapai kematian 100% selama 20 menit pengamatan; konsentrasi

(55)

konsentrasi 0% tidak terdapat kematian nyamuk Aedes aegypti selama 30 menit

pengamatan.

4.1.9. Jumlah dan Rata-rata Kematian Nyamuk Aedes aegypti Pada Saat Lethal Dose 50 Tercapai Setelah 10 Menit Pengamatan

Lethal Dose 50 (LD50) dicapai setelah 10 menit pengamatan untuk semua

perlakuan, sehingga untuk melakukan pengujian statistik dapat menggunakan data

kematian nyamuk Aedes aegypti seperti pada tabel berikut :

Tabel 4.9

Jumlah dan Rata-rata Kematian Nyamuk Aedes aegypti Pada Enam Konsentrasi Dengan Tiga Kali Ulangan Pada Saat Lethal Dose 50

(LD 50) Tercapai Setelah 10 Menit Pengamatan

Konsentrasi

Kematian Nyamuk Aedes aegypti

Ulangan

Hasil penelitian tersebut dianalisa secara uji statistik setelah terlebih dahulu

jumlah kematian nyamuk Aedes aegypti pada setiap ulangan konsentrasi

ditransformasi untuk menghilangkan angka nol dalam perhitungan. Transformasi data

dilakukan dengan tujuan supaya data yang diolah telah memenuhi asumsi yang

mendasari validitas pemakaian suatu analisa data, sehingga hasil analisa data ini akan

mampu mencerminkan kejadian yang sebenarnya terjadi dalam suatu percobaan.

Karena terdapat jumlah kematian nyamuk Aedes aegypti di bawah 10 ekor maka,

digunakan transformasi data

2 1

+

Gambar

Tabel 2.1. Daftar Istilah Toksisitas
Tabel 4.2
Tabel 4.4
Tabel 4.5
+7

Referensi

Dokumen terkait

Odentara Sembiring : Efektifitas Beberapa Jenis Insektisida Terhadap Nyamuk Aedes aegypti (L.), 2009. Kelebihan aplikasi thermal fog antara lain a) dampak psikologi orang melihat

membunuh larva Aedes aegypti, serta untuk mengetahui beda jumlah larva yang mati dari berbagai konsentrasi larutan bawang putih.. Metode: Jenis penelitian- ini

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan aktivitas anti nyamuk pada minyak atsiri daun kenikir ( Cosmos caudatus ) dalam membunuh nyamuk Aedes aegypti dengan

Mekanisme repellent dari minyak atsiri herba kemangi terhadap nyamuk Aedes aegypti yaitu, setelah disemprotkan minyak atsiri herba kemangi yang terkandung dalam formulasi

Minyak atsiri dari daun zodia dapat digunakan dalam bentuk mat dengan metode elektrik dan memiliki aktifitas membunuh nyamuk Aedes aegypti L dengan interval waktu

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efikasi air perasan rimpang lengkuas putih ( Alpinia galanga L. Willd) sebagai larvasida nyamuk Aedes aegypti.. Jenis penelitian

Minyak atsiri pada biji pala (Myristica fragrans Houtt.) mempunyai aktivitas sebagai repelan terhadap nyamuk Aedes aegypti betina dengan konsentrasi 12%. Peningkatan

instrumen penelitian yang digunakan untuk data penunjang pada penelitian Ekstrak bawang putih (Allivum sativum) dalam membunuh jentik nyamuk Aedes aegypti adalah