• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS TERHADAP PUTUSAN BEBAS MURNI OLEH JUDEX JURIST (HAKIM MAHKAMAH AGUNG) DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Putusan Mahkamah Agung No. No. 1481K/PID.SUS/2008)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS TERHADAP PUTUSAN BEBAS MURNI OLEH JUDEX JURIST (HAKIM MAHKAMAH AGUNG) DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Putusan Mahkamah Agung No. No. 1481K/PID.SUS/2008)"

Copied!
63
0
0

Teks penuh

(1)

DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

(Studi Putusan Mahkamah Agung No. No. 1481K/PID.SUS/2008)

Oleh:

RAHMADIN BAGUS RAFLE JALEWANGAN

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

(Studi Putusan Mahkamah Agung No. No. 1481K/PID.SUS/2008) (Skripsi)

RAHMADIN BAGUS RAFLE JALEWANGAN

0812011245

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(3)

Halaman I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 4

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian... 5

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 6

E. Sistematika Penulisan... 13

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Korupsi... 15

B. Jenis-jenis Putusan Dalam Perkara Pidana... 20

C. Pengertian Kasasi ... 34

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 41

B. Jenis dan Sumber Data ... 42

C. Penentuan Populasi dan Sampel... 44

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data... 45

E. Analisis Data ... 46

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden ... 47

B. Analisis Putusan Mahkamah Agung No. 1481K/PID.SUS/2008... 48

(4)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan... 73 B. Saran ... 74

(5)

JURIST(HAKIM MAHKAMAH AGUNG) DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

(Studi Putusan Mahkamah Agung No. No. 1481K/PID.SUS/2008) Oleh

Rahmadin Bagus Rafle Jalewangan

Adanya regulasi untuk menyelamatkan keuangan negara dari perilaku korupsi perlu ditunjang oleh kesiapan aparat pengak hukum dalam memahami setiap rumusan pasal demi pasal yang ada agar tepat sasaran dalam menerapkan kepada para pelaku tindak pidana korupsi, selain itu diperlukan juga strategi yang tepat dan jitu demi mendukung pemberantasan tindak pidana korupsi. Apabila terjadi putusan bebas terhadap tindak pidana korupsi, Jaksa/Penuntut Umum dapat mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung karena Jaksa/Penuntut Umum berpendapat bahwa Judex Facti telah salah dalam menerapkan hukum karena putusan bebas tersebut adalah bukan pembebasan yang murni. Hal ini bertentangan dengan Pasal 244 KUHAP yang menentukan bahwa terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, Terdakwa atau Penuntut Umum dapat mengajukan permintaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: Bagaimana pandangan ahli hukum terhadap putusan bebas murni yang di mohonkan kasasi dalam perkara pidana korupsi pada Putusan Mahkamah Agung No. 1481K/PID.SUS/2008? Apakah pertimbangan judex jurist terhadap putusan bebas murni yang di mohonkan kasasi dalam perkara pidana korupsi pada Putusan Mahkamah Agung No. 1481K/PID.SUS/2008?

(6)

yang diperoleh terdakwa dan tidak boleh diganggu gugat. Pertimbangan judex jurist terhadap putusan bebas murni yang di mohonkan kasasi dalam perkara pidana korupsi pada Putusan Mahkamah Agung No. 1481K/PID.SUS/2008 mengenai kebijakan aplikasi kasasi oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap putusan bebas, bahwa di dalam praktek peradilan pidana Indonesia telah terjadi suatu penerobosan hukum terhadap ketentuan Pasal 244 KUHAP yang didasarkan pada Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M. 14-PW.07.03 Tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP. Pada Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman tersebut (butir 19) ditentukan bahwa,

“Terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding, tetapi berdasarkan situasi dan kondisi demi hukum, keadilan dan kebenaran, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi. Hal ini akan didasarkan pada yurisprudensi.

(7)

Andi Hamzah, 1984. Pengantar Hukum Acara Pidana, Cetakan I, Penerbit: Ghalia Indonesia, Jakarta

Andi Hamzah, 2000. Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Revisi, Penerbit: Sinar Grafika, Jakarta

Ansorie Sabuan, 1990.Hukum Acara Pidana, Penerbit Angkasa, Bandung.

Barda Nawawi Arief, 2007.Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana (Menyongsong Generasi Baru Hukum Pidana Indonesia), Pidato Pengukuhan, Diucapkan pada Peresmian Penerimaan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Hukum Rapat Senat Terbuka Universitas Diponegoro Semarang, 25 Juni 1994, Penerbit: Universitas Diponegoro, Semarang,. Barda Nawawi Arief, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana

Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Cetakan ke-1, Penerbit: Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Bernard Arief Sidharta, 2008. Filsafat Hukum Pancasila (Bahan Kuliah Umum), Disampaikan pada Ceramah Umum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, November,

Darwan Prinst, 2002. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. PT.Refika Aditama. Bandung

Efi Laila Kholis, 2010. Pembayaran Uang Pengganti dalam Perkara Korupsi, Solusi. Publishing, Depok

H. Hamrat Hamid dan Harun M. Husein, 1992. Pembahasan Permasalahan KUHAP Bidang Penuntutan dan Eksekusi (Dalam Bentuk Tanya Jawab), Penerbit: Sinar Grafika, Jakarta

Hari Sasangka, Lily Rosita, 2003. Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Cetakan 1, Penerbit: Mandar Maju, Bandung

(8)

M. Satria, 2009.Tegaknya Keadilan Melawan Mafia Hukum, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

M. Yahya Harahap, 1985. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Jilid II, Penerbit: Pustaka Kartini, Jakarta.

Martiman Prodjohamidjojo, 1982. Komentar Atas KUHAP, Cetakan 1, Penerbit: Pradnya Paramita, Jakarta

Moeljatno, 1980.Asas-Asas Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta

Munir Fuady, 2007. Dinamika Teori Hukum, Cetakan Pertama, Penerbit: Ghalia Indonesia, Bogor,

R. Wiyono, 2008.Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Korupsi. Penerbit: Ghalia Indonesia, Bogor,

Soedirdjo (III), Jaksa dan Hakim Dalam Proses Pidana, Penerbit: Akademika Presindo.

Soedirdjo, 1981. Kasasi Dalam Perkara Pidana (Sifat dan Fungsi), Penerbit: Ahliyah, Jakarta,

Soerjono Soekanto, 1984. Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: PT. Rajawali Press

Sudarto, 1986.Hukum Dan Hukum Pidana, Cetakan ke empat, Penerbit: Alumni, Bandung,

Syafruddin, 2002.Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II. Alumni. Bandung Sumber dari Internet

http://www.artikata.com/arti-333172-kasasi.html, 2012.

(9)

PIDANA KORUPSI (Studi Putusan Mahkamah Agung No. No. 1481K/PID.SUS/2008)

Nama Mahasiswa : Rahmadin Bagus Rafle Jalewangan No. Pokok Mahasiswa : 0812011245

Program Studi : Ilmu Hukum

Bagian : Hukum Pidana

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI

I. Komisi Pembimbing

Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H. Tri Andrisman, S.H., M.H. NIP. 19620817 198703 2 003 NIP. 19611231 198903 1 023

II. Ketua Bagian Hukum Pidana

(10)

1. Tim Penguji

Ketua : Diah Gustiniati M, S.H., M.H. ...

Sekretaris/ Anggota : Tri Andrisman, S.H., M.H. ...

Penguji Utama : Gunawan jatmiko, S.H., M.H. ...

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H., M.S. NIP. 19621109 198703 1 003

(11)

Penulis dilahirkan di Kota Metro pada tanggal 19 Juli 1990,

merupakan putra kedua dari tiga bersaudara buah cinta dari pasangan Ayahanda Syarifudin dan Ibunda Siti Rohmahastuti. Jenjang Pendidikan penulis dimulai di Sekolah Dasar Negeri

1 Purbosembodo, Metro Kibang dan diselesaikan pada tahun 2002, Selanjutnya penulis melanjutkan jenjang pendidikannya di Sekolah Lanjut Tingkat Pertama (SLTP) 2 Natar diselesaikan pada tahun 2005, Setelah itu

melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Metro diselesaikan pada tahun 2008.

Pada tahun 2008 Penulis diterima sebagai Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui jalur Reguler. Pada tahun 2011, mengikuti kuliah

kerja nyata (KKN) di Pekon Trimulyo kecamatan Gedung Surian kabupaten Lampung Barat . Selama menjadi mahaiswa penulis juga aktif dalam kegiatan kemahasiswaan di Unit Kegiatan Mahasiswa Fakultas Hukum Mahasiswa

(12)

e

kerjalah untuk duniamu seakan akan kamu akan hidup selamanya, dan

beribadahlah untuk akhiratmu seakan akan kamu akan mati besok

( Al Hadist )

Cogito ergo sum"aku berpikir maka aku ada"

(Descartes)

Jangan membanggakan apa yang kamu lakukan hari ini, sebab engkau tidak

akan tahu apa yang akan di berikan oleh hari esok.

(Phytagoras)

If the facts don t fit the theory, change the facts

(Albert Einstein)

(13)

A. Latar Belakang

Korupsi adalah salah satu bentuk kejahatan yang dianggap merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Kerugian negara yang diakibatkan oleh tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan dan masuk

dalam kategori “membahayakan”. Korupsi di Indonesia merupakan persoalan

bangsa yang telah dihadapi sejak zaman dahulu, sebelum dan sesudah

kemerdekaan, di era orde lama, orde baru, berlanjut hingga era reformasi sehingga pengadilan khusus tindak pidana korupsi diharapkan dapat membantu menyelesaikan sejumlah kasus kejahatan korupsi demi mengembalikan harta

kekayaan negara yang telah hilang.

Negara memandang bahwa perbuatan atau tindak pidana korupsi telah masuk dan menjadi suatu perbuatan pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan Negara dan daerah, tetapi juga telah merupakan

pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang

(14)

2001 tentang Perubahan Atas UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi, dan UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Kesimpulan

dari ketiga UU yang menyangkut pemberantasan tindak pidana korupsi ini merupakan lex specialis derogat lege generali. Materi substansi yang terkandung didalamnya antara lain (Darwan Prinst, 2002 : 29) :

1. Memperkaya diri/orang lain secara melawan hukum (Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999). Jadi, pelaku tindak pidana korupsi tersebut adalah

setiap orang baik yang berstatus PNS atau non-PNS serta korporasi yang dapat berbentuk badan hukum atau perkumpulan.

2. Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi.

3. Dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.

4. Adanya penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana (Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999).

5. Menyuap PNS atau Penyelenggara Negara (Pasal 5 UU Nomor 20 Tahun 2001).

6. Perbuatan curang (Pasal 7 UU Nomor 20 Tahun 2001). 7. Penggelapan dalam jabatan (Pasal 6 UU No. 20 Tahun 2001).

Adanya regulasi untuk menyelamatkan keuangan negara dari perilaku korupsi

perlu ditunjang oleh kesiapan aparat pengak hukum dalam memahami setiap rumusan pasal demi pasal yang ada agar tepat sasaran dalam menerapkan kepada para pelaku tindak pidana korupsi, selain itu diperlukan juga strategi yang tepat

(15)

Apabila terjadi putusan bebas terhadap tindak pidana korupsi, Jaksa/Penuntut

Umum dapat mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung karena Jaksa/Penuntut Umum berpendapat bahwa Judex Facti telah salah dalam

menerapkan hukum karena putusan bebas tersebut adalah bukan pembebasan yang murni. Hal ini bertentangan dengan Pasal 244 KUHAP yang menentukan bahwa terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh

pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, Terdakwa atau Penuntut Umum dapat mengajukan permintaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali

terhadap putusan bebas. Namun demikian sesuai yurisprudensi yang sudah ada apabila ternyata putusan pengadilan yang membebaskan Terdakwa itu merupakan pembebasan yang murni sifatnya, maka sesuai ketentuan Pasal 244 KUHAP

permohonan kasasi tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima.

Sebaliknya apabila pembebasan itu didasarkan pada penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana yang dimuat dalam surat dakwaan dan bukan

didasarkan pada tidak terbuktinya suatu unsur perbuatan yang didakwakan, atau apabila pembebasan itu sebenarnya adalah merupakan putusan lepas dari segala tuntutan hukum, atau apabila dalam menjatuhkan putusan itu pengadilan telah

melampaui batas kewenangannya. Mahkamah Agung selaku Judex jurist atas dasar pendapatnya bahwa pembebasan itu bukan merupakan pembebasan yang

murni harus menerima permohonan kasasi tersebut. Untuk menentukan apakah putusan Judex Facti itu merupakan putusan bebas murni atau bebas tidak murni, Judex jurist memberikan batasan penilaian sepanjang hal-hal sebagaimana yang

(16)

Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. PenilaianJudex juristterhadap

putusan Judex Facti yang membebaskan terdakwa didasarkan pada alasan-alasan yang diuraikan Pemohon Kasasi dalam memori kasasinya yang menyatakan

bahwa putusan Pengadilan Tingkat Pertama/Judex Facti tersebut adalah bukan putusan bebas murni dan Pemohon Kasasi juga harus dapat memperlihatkan dan membuktikan dimana letak tidak murninya putusan pembebasan tersebut

Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti tertarik melakukan penelitian dengan judul: Analisis Terhadap Putusan Bebas Murni oleh Judex Jurist

(Hakim Mahkamah Agung) Dalam Tindak Pidana Korupsi.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan

Permasalahan dalam penelitian ini adalah:

a. Apa pertimbangan judex jurist terhadap putusan bebas murni yang

dimohonkan kasasi dalam perkara pidana korupsi pada Putusan Mahkamah Agung No. 1481K/PID.SUS/2008?

b. Bagaimana pandangan ahli hukum terhadap putusan bebas murni oleh judex jurist yang dimohonkan kasasi dalam perkara pidana korupsi pada Putusan Mahkamah Agung No. 1481K/PID.SUS/2008?

2. Ruang Lingkup

Penulis membatasi ruang lingkup dalam penelitian terbatas pada kajian hukum pidana yang meliputi pandangan Judex jurist terhadap putusan bebas murni

(17)

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui pertimbangan judex jurist terhadap putusan bebas murni yang dimohonkan kasasi dalam perkara pidana korupsi pada Putusan Mahkamah Agung No. 1481K/PID.SUS/2008.

b. Untuk mengetahui pandangan ahli hukum terhadap putusan bebas murni oleh judex jurist yang dimohonkan kasasi dalam perkara pidana korupsi

pada Putusan Mahkamah Agung No. 1481K/PID.SUS/2008.

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini meliputi kegunaan teoritis dan praktis, yaitu :

1. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi perkembangan

ilmu hukum dan dapat memperluas daya berfikir, dapat mengembangkan kemampuan berkarya ilmiah dengan daya nalar dan sebagai sumber informasi

bagi mereka yang memerlukan dan dapat menjadi salah satu referensi, khususnya mengenai Putusan Mahkamah Agung No. 1481K/PID.SUS/2008.

2. Kegunaan Praktis

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada pihak-pihak yang berkepentingan khususnya bagi aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dalam

(18)

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dan hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.

(Soerjono Soekanto, 1984 : 124).

Landasan teoritis ini bertujuan sebagai dasar atau landasan dengan menggunakan teori-teori untuk mengkaji, menganalisis serta memecahkan permasalahan yang

terkandung dalam substansi topik materi (hukum) selaku variabel-variabel dalam judul yang disajikan. Dalam relevansinya dengan judul rencana skripsi ini pada

intinya menyangkut pembicaraan tentang usaha proses penegakan hukum yang dilakukan oleh komponen struktur Sistem Peradilan Pidana dalam rangka memenuhi rasa keadilan dan kepastian hukum dari pencari keadilan (justitiabelen)

atau dalam rangka mencari kebenaran materiil.

Terkait dengan ide dasar yang melatar belakangi sehingga Jaksa Penuntut Umum tidak diperkenankan mengajukan upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas dalam hal ini dapat dikorelasikan dengan teori keadilan distributif dan teori

keadilan korektif dari Aristoteles sebagaimana dikutip oleh Munir Fuady (2007: 108-109), sebagai berikut:

(19)

prinsip keadilan distributif yaitu untuk memberikan kepada setiap orang sesuai

haknya (to give each man is due).

2. Keadilan Korektif, keadilan yang bertujuan untuk mengoreksi keadilan yang

tidak adil. Dalam hal ini keadilan dalam hubungan antara satu orang dengan orang yang lainnya yang merupakan keseimbangan (equality) antara apa yang diberikan (what is given) dengan apa yang diterima(what is received).

Esensi keadilan distributif pada intinya mengandung kepemilikan hak bagi tiap orang. Dalam konteks ini terkait dengan hak Jaksa Penuntut Umum dihadapan hukum dalam memperjuangkan keadilan para pencari keadilan atau masyarakat

luas yang secara konkritnya bagi Jaksa Penuntut Umum tidak ada dasar hukum pengaturannya dalam KUHAP untuk mengajukan upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas (vrijspraak).

Berikut pendapat doktrina yang senada dengan versi pembentuk Undang-undang

(pembentuk KUHAP) yang memberikan pandangannya mengenai ide dasar yang melatar belakangi sehingga Jaksa Penuntut Umum tidak diberikan hak untuk

mengajukan upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas, yakni menurut van Bemmelen sebagaimana dikutip oleh Moeljatno yang diuraikan oleh Harun M. Husein (1992, 117) dalam bukunya yang berjudul “Kasasi Sebagai Upaya

Hukum”, mengatakan, “ ...oleh memorie van toelichting bahwa putusan pembebasan terdakwa dirasa sebagai suatu hak yang diperoleh dan tidak boleh

(20)

Mencermati redaksional Pasal 244 KUHAP dan pandangan doktrina di atas,

tampak bahwa pembentuk Undang-undang (Pembentuk KUHAP) dan kalangan ahli tersebut hanya memandang dari sudut kepentingan terdakwa saja sehingga

belum melahirkan keseimbangan akan pemenuhan hak pihak lainnya, seperti Jaksa Penuntut Umum selaku pemegang hak pula untuk memperjuangkan keadilan dari pihak korban ataupun masyarakat pencari keadilan melalui koreksi

terhadap setiap putusan hakim dalam hal ini lewat pengajuan kasasi terhadap putusan bebas (vrijspraak)tersebut.

Sebagai pertautan adanya hak yang dimiliki tiap orang di depan hukum seperti

tertuang dalam isi dan esensi keadilan distributif yang dalam penerapannya tidak mungkin selalu benar, kemungkinan unsur error dari pelaksananya (human error)

dapat muncul setiap saat maka disinilah perlu adanya kontrol atau koreksi dari pihak-pihak lain khususnya oleh pelaku Sistem Peradilan Pidana atau antara sub sistem struktur perlu adanya saling kontrol secara vertikal maupun horizontal

dalam penyelenggaraan proses peradilan pidana.

Untuk mengembalikan porsi keadilan distributif sesuai esensi dan isinya yang meliputi kandungan hak, persamaan dan kebenaran maka fungsi keadilan korektif adalah sangat diperlukan kehadirannya guna menjustifikasi tindakan hukum pihak

pencari keadilan (seperti Jaksa Penuntut Umum) untuk melakukan koreksi terhadap produk lembaga pengadilan (Hakim) atas putusan (vonis) yang

(21)

keadilan, yakni demi terwujudnya “keadilan distributif” melalui “keadilan

korektif” (sebagai sarana). Berdasarkan batasan politik hukum pidana ini dapat dipahami bahwa pengertian “politik hukum”, adalah: “Usaha untuk mewujudkan

peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu

waktu”(Sudarto, 1986: 151).

Masih menurut Sudarto (1986: 151.), bahwa untuk menjalankan politik, termasuk

di dalamnya yakni menjalankan politik hukum pidana, diperlukan suatu kehati-hatian atau sikap yang selektif demi tercapainya tujuan yang diharapkan. Hal tersebut dinyatakan, sebagai berikut: Dalam melaksanakan politik, orang

mengadakan penilaian dan melakukan pemilihan dari sekian banyak alternatif yang dihadapi. Menjalankan politik hukum pidana juga mengadakan pemilihan

untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik, dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna.

Sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa istilah politik hukum pidana dapat pula disebut dengan istilah kebijakan hukum pidana. Berbicara masalah kebijakan

hukum erat kaitannya dengan masalah penegakan hukum (law enforcement). Dalam konteks ini, penegakan hukum sangat terkait dengan upaya kebijakan hukum pidana. Berikut kita simak pendapat dari Barda Nawawi Arief, antara lain

menyatakan: Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya

(22)

Lebih lanjut Barda Nawawi Arief (2008: 23) mengkaitkan antara kebijakan

hukum pidana tersebut dengan pengalokasian kekuasaan, seperti diuraikan berikut: Di lain pihak, khususnya dilihat dari kebijakan hukum pidana,

sasaran/adressat dari hukum pidana tidak hanya perbuatan jahat dari warga masyarakat tetapi juga perbuatan (dalam arti “kewenangan/kekuasaan”) penguasa/

aparat penegak hukum. Jadi ilmu hukum pidana mengandung pula kajian terhadap

aspek pengaturan dan kebijakan “mengalokasikan kekuasaan”, baik kekuasaan untuk menetapkan hukum pidana (kekuasaan formulatif/legislatif) mengenai

perbuatan apa yang dapat dipidana dan sanksi apa yang dapat dikenakan, maupun kekuasaan untuk menerapkan hukum pidana (kekuasaan aplikatif/yudikatif) dan kekuasaan untuk menjalankan/melaksanakan hukum pidana (kekuasaan

eksekutif/administratif).

Mengenai pengalokasian kekuasaan tersebut dalam relevansinya dengan kebijakan aplikasi kasasi oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap putusan bebas, dari aspek

formulatif/legislatif, pembentuk undang-undang memformulasikan, bahwa terhadap putusan bebas (vrijspraak),

Jaksa Penuntut Umum tidak dapat mengajukan upaya hukum kasasi kepada Mahkamah Agung. Dalam hal ini tampak bahwa pembentuk undang-undang

(pembentuk KUHAP) hanya memandang dari sisi kepentingan terdakwa saja sehingga belum melahirkan adanya keseimbangan hak bagi pihak lainnya, dalam

(23)

keadilan distributif maupun keadilan korektif atas putusan bebas tersebut dan

dapat pula dikatakan bahwa belum terwujudnya mekanisme system check and balancedalam Sistem Peradilan Pidana kita. Dengan tertutupnya ruang bagi Jaksa

Penuntut Umum untuk mengajukan upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas, dari perspektif kekuasaan aplikatif/yudikatif berimplikasi timbulnya aplikasi yang bias sehingga dalam kondisi seperti ini Hakim mengambil langkah KUHAP yang

selanjutnya dituangkan dalam “yurisprudensi.”

Sedangkan apabila dikaitkan dengan aspek kekuasaan eksekutif/administratif, oleh karena tidak adanya pengaturan secara normatif bagi Jaksa Penuntut Umum

untuk mengajukan upaya hokum kasasi terhadap putusan bebas maka berakibat terjadinya kekosongan hukum (vacuum of norm) sehingga tentunya berimplikasi

tidak adanya kepastian hukum bagi para pencari keadilan.

2. Konseptual

Kerangka konseptual adalah kerangka yang menghubungkan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan

dengan istilah yang ingin atau akan diteliti. (Soerjono Soekanto, 1986 : 132). Adapun pengertian dasar yang digunakan dari istilah-istilah yang terdapat dalam penulisan ini adalah meliputi:

a. Analisis adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan, dsb) untuk mengetahui kedaan yang sebenarnya (sebab musabab, duduk

(24)

b. Judex Jurist, Peran hakim dalam menentukan hukum yang seharusnya

diterapkan terhadap fakta-fakta dalam kasus yang dia adili dan dalam menerapkan hukum tersebut terhadap fakta tersebut. Pada umumnya di

Indonesia hanya Mahkamah Agung berperan secara eksklusif sebagai judex juris oleh karena MA tidak menentukan fakta-fakta. Tujuan utama MA adalah untuk menilai apakah penerapan hukum dalam suatu kasus sudah tepat dan

memiliki dasar hukum yang kuat. Di negara yang menganut tradisi common law, pengadilan tertinggi lazimnya memiliki bagian yang menangani kedua

jenis banding, baik judex juris maupunJudex Facti.

c. Putusan bebas murni adalah Pembebasan yang murni sifatnya ialah pembebasan yang didasarkan tidak terbuktinya tindak pidana yang

didakwakan (H. Hamrat Hamid dan Harun M. Husein, 1992: 234)

d. Kasasi adalah pembatalan atau pernyataan tidak sah oleh Mahkamah Agung terhadap putusan hakim karena putusan itu menyalahi atau tidak sesuai dengan

undang-undang (http://www.artikata.com/arti-333172-kasasi.html, 2012) e. Korupsi adalah memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi

(25)

E. Sistematika Penulisan

Upaya memudahkan maksud dari penelitian ini serta dapat dipahami, maka penulis membaginya ke dalam 5 (lima) bab secara berurutan dan saling berkaitan hubungannya yaitu sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan tentang Latar Belakang tentang Putusan Pengadilan dalam memutuskan pelaku tindak pidana korupsi yang selanjutnya

merumuskan masalah dalam menentukan Ruang Lingkup Penelitian, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Konseptual dan Sistematika Penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menguraikan tentang teori-teori yang dapat dijadikan sebagai dasar atau teori dalam menjawab masalah yang terdiri dari Pengertian Tindak pidana dan Jenis-Jenis Tindak pidana, Bentuk-Bentuk Tindak pidana korupsi,

Sebab-sebab Terjadinya Tindak pidana, serta Dasar Hukum Pemberantasan Tindak pidana korupsi.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini menguraikan langkah-langkah atau cara yang dilakukan dalam

(26)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini memuat pembahasan berdasarkan hasil penelitian dari pokok permasalahan tentang: dasar pertimbangan hakim dalam memutuskan pelaku

tindak pidana korupsi dan pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana korupsi.

V. PENUTUP

(27)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Tindak Pidana merupakan suatu perbuatan yang dapat dipidana dan diatur dalam

ketentuan menurut undang-undang (Pasal 1 KUHP). Suatu tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang mengandung unsur perbuatan atau tindakan yang dapat dipidanakan dan unsur pertanggungjawaban pidana kepada pelakunya.

Sehingga dalam syarat hukuman pidana terhadap seseorang secara ringkas dapat dikatakan bahwa tidak akan ada hukuman pidana terhadap seseorang tanpa adanya hal-hal yang secara jelas dapat dianggap memenuhi syarat atas kedua unsur itu.

Tindak pidana hanyalah menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan itu dengan suatu pidana, kemudian apakah orang yang melakukan perbuatan itu juga

dijatuhi pidana sebagaimana telah diancamkan akan sangat tergantung pada soal apakah dalam melakukan perbuatannya itu si pelaku juga mempunyai kesalahan. Sedangkan sebagai dasar pertanggungjawaban adalah kesalahan yang terdapat

pada jiwa pelaku dalam hubungannya dengan kelakuannya yang dapat dipidana serta berdasarkan kejiwaannya itu pelaku dapat dicela karena kelakuanya itu.

Ensiklopedia Indonesia disebut “korupsi” (dari bahasa Latin: corruption =

(28)

serta ketidakberesan lainnya. Adapun arti harfia dari korupsi dapat berupa:

Kejahatan kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan ketidakjujuran. Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan sogok dan

sebagainya.

a. Korup (busuk. suka menerima uang suap, uang sogok. memakai kekuasaan untuk kepentingan sendiri dan sebagainya.

b. Korupsi (perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya).

c. Koruptor (orang yang korupsi).

Baharuddin Lopa mengutip pendapat dari David M. Chalmers, menguraikan arti istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang menyangkut masalah

penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi, dan yang menyangkut bidang kepentingan umum (Evi Hartanti, S.H., 2005:9)

Berdasarkan undang-undang bahwa korupsi diartikan: Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain

atau suatu badan yang secara langsung merugikan keuangan Negara dan atau perekonomian Negara dan atau perekonomian Negara atau diketahui patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan Negara (Pasal

2). Barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan menyalah gunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada

(29)

tercantum dalam Pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 425, 435

KUHP.

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak

pidana korupsi, pertanggung jawaban pidana pada perkara tindak pidana korupsi yaitu:

a. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.

b. Pegawai Negeri adalah meliputi:

1) Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Kepegawaian.

2) pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

3) Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah.

4) Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah. Atau

5) Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang

mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat. c. Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi.

Berdasarkan ketentuan undang-undang nomor 31 Tahun 1999 jo undang-undang

(30)

a. Pidana Mati

Dapat dipidana mati karena kepada setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu

korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan

tindak pidana korupsi, yang dilakukan dalam keadaan tertentu.

b. Pidana Penjara

Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)

Tahun dan paling lama 20 (dua puluh) Tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.

1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perkonomian

Negara (Pasal 2 ayat 1)

Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) Tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak satu Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi

setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana

(31)

Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) Tahun dan paling lama 12 (dua belas)

Tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta) bagi

setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di siding pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi

dalam perkara korupsi (Pasal 21).

Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) Tahun dan paling lama 12 (dua belas) Tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh

juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) bagi setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35,

dan Pasal 36.

c. Pidana Tambahan

Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak

pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut.

Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) Tahun. Pencabutan

(32)

kepada terpidana. Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama

dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap maka harta bendanya dapat disita oleh

jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti maka terpidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak

memenuhi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai ketentuan undang-undang nomor 31 Tahun 1999 jo undang-undang nomor 20 Tahun

2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.

B. Jenis-Jenis Putusan Dalam Perkara Pidana

Sebelum mengupas mengenai jenis-jenis putusan yang dikenal dalam perkara pidana terlebih dahulu akan diuraikan secara ringkas mengenai pengertian dari

putusan tersebut. Berdasarkan etimologi atau asal kata, “Arti “putusan”, yang

diterjemahkan dari vonis (latin), adalah hasil akhir dari pemeriksaan perkara di

sidang pengadilan (Leden Marpaung, 2001: 58).

Pendapat senada mengatakan, “Istilah kata putusan dalam praktek pengadilan lebih sering disebutkan dengan istilah putusan pengadilan yang merupakan

putusan akhir dengan sebutan “eind vonnis(Ansorie Sabuan, 1990, 198).

(33)

ditemukan dalam Pasal 1 angka 11 KUHAP, yang menyatakan bahwa, “Putusan

pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan yang terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala

tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-undang

ini.”

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 11 KUHAP tersebut terdapat tiga bentuk

putusan pengadilan dalam perkara pidana menurut KUHAP, yakni: putusan bebas dari segala tuduhan hukum, putusan lepas dari segala tuntutan hukum dan putusan yang mengandung pemidanaan, yang akan diuraikan secara ringkas seperti

berikut:

a. Putusan Bebas (Vrijspraak/Acquittal)

Menurut Wiryono Prodjodikoro (1977: 93), vrijspraak diterjemahkan dengan,

“Pembebasan terdakwa dan ada pula yang menerjemahkan dengan pembebasan

murni.”

Djoko Prakoso (1985: 270) mengatakan: Vrijspraak adalah putusan hakim yang

mengandung pembebasan terdakwa, karena peristiwa-peristiwa yang disebutkan dalam surat dakwaan setelah diadakan perubahan atau penambahan selama persidangan, bila ada sebagian, atau seluruh dinyatakan oleh hakim yang

memeriksa dan mengadili perkara yang bersangkutan dianggap tidak terbukti.

Menurut Soekarno (1978: 15), bahwa Vrijspraak, adalah, “Salah satu dari

beberapa macam putusan hakim yang berisi pembebasan terdakwa dari segala

tuduhan , manakala perbuatan terdakwa dianggap tidak terbukti secara sah dan

(34)

Selanjutnya Harun M. Husein (1978: 108) berpendapat: Sesuai dengan rumusan

pengertian bebas dalam Pasal 191 ayat 1 KUHAP, maka dapat kita definisikan bahwa yang dimaksud dengan putusan bebas, ialah putusan pengadilan yang

membebaskan terdakwa dari dakwaan, karena menurut pendapat pengadilan terdakwa tidak terbukti dengan sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya.

Apabila dicermati dari beberapa pendapat para ahli hukum tersebut dalam merumuskan pengertian putusan bebas (vrijspraak) pada prinsipnya dalam definisi mereka mengandung unsur-unsur yang sama, yakni menyiratkan adanya

unsur kesalahan dari terdakwa yang tidak dapat dibuktikan secara sah dan tidak memberikan dasar keyakinan kepada hakim atas tuduhan yang didakwakan

kepada terdakwanya. Untuk lebih memahami akan esensi putusan bebas (vrijspraak) yang dijatuhkan hakim, perlu dicermati dan dikaji rumusan yang tercantum secara yuridis dalam KUHAP yang merupakan pedoman dasar dalam

proses peradilan pidana.

Dasar hukum pengaturan putusan bebas (vrijspraak/acquittal), yakni Pasal 191

ayat (1) KUHAP, yang menyatakan, “Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan

kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan maka terdakwa diputus

bebas.”

Mencermati esensi Pasal 191 ayat (1) KUHAP, bahwa secara yuridis putusan

(35)

1. Tidak memenuhi asas pembuktian menurut Undang-Undang secara negatif.

Dari hasil pembuktian yang diperoleh di persidangan, tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa dan sekaligus pula kesalahan terdakwa

yang tidak cukup bukti tadi, tidak diyakini oleh hakim.

2. Atau tidak memenuhi asas batas minimum pembuktian, kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa hanya didukung oleh satu alat bukti saja,

sedang menurut ketentuan Pasal 183 KUHAP, agar cukup membuktikan kesalahan seorang terdakwa, harus dubuktikan dengan sekurang-kurangnya

dua alat bukti yang sah (Yahya Harahap, 1985: 965)

Pasal 183 KUHAP dinyatakan, “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah ia

memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalahmelakukannya.”

Bertitik tolak dari dua asas yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP, apabila dihubungkan dengan Pasal 191 ayat (1) KUHAP, putusan bebas pada umumnya

didasarkan pada penilaian dan pendapat hakim, yakni:

a) Kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa sama sekali tidak terbukti, semua alat bukti yang diajukan di persidangan baik berupa keterangan saksi,

keterangan ahli, surat dan petunjuk maupun keterangan terdakwa, tidak dapat membuktikan kesalahan yang didakwakan, berarti perbuatan yang didakwakan

(36)

b) Atau secara nyata hakim menilai, pembuktian kesalahan yang didakwakan

tidak memenuhi ketentuan batas minimum pembuktian. Misalnya, alat bukti yang diajukan di persidangan hanya terdiri dari seorang saksi saja.

c) Atas putusan bebas tersebut bisa juga didasarkan atas penilaian, kesalahan yang terbukti itu tidak didukung oleh keyakinan hakim (Yahya Harahap, 1985: 965)

Putusan atau vonis hakim yang mengandung pembebasan (vrijspraak) dari dakwaan, secara legalistik formal dikarenakan ketidak cukupan syarat minimal pembuktian menurut Undang-undang dan atau tanpa didukung oleh adanya

keyakinan hakim atas kesalahan yang diperbuat terdakwa yang dibuktikan lewat proses pembuktian. Ketentuan yang mensyaratkan keharusan adanya minimum

dua jenis alat bukti yang diakui sah menurut Undang-undang, yakni harus memenuhi kriteria jenis alat bukti sesuai Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yang menyatakan:

Alat bukti yang sah adalah: a) Keterangan saksi. b) Keterangan ahli.

c) Surat. d) Petunjuk.

e) Keterangan terdakwa.

(37)

belum dapat memaksa seorang hakim menyatakan terdakwa bersalah telah

melakukan tindak pidana, akantetapi dalam hal ini harus adanya “keyakinan” dari

hakim bahwa terdakwalah yang bersalah melakukan tindak pidana tersebut oleh

karena dalam proses pembuktian perkara pidana, KUHAP menganut serta menerapkan sistem pembuktian menurut undang-undang secara negative (negatief wettelijke bewijs theorie), yakni: Di dalam sistem negatif ada 2 (dua) hal yang

merupakan syarat untuk membuktikan kesalahan terdakwa, yaitu:

a. Wettelijk: Adanya alat bukti yang sah yang telah ditetapkan oleh

Undang-undang.

b. Negatief: Adanya keyakinan (nurani) dari hakim, yakni berdasarkan bukti-bukti tersebut hakim meyakini kesalahan terdakwa.( Hari Sasangka, 2003: 17)

Makna dari alat bukti yang sah (wettelijk) yang telah ditetapkan oleh Undang-undang, yakni bahwa alat-alat bukti yang dapat dipergunakan dalam pembuktian perkara pidana hanyalah alat bukti yang telah ditentukan secara limitatif dalam

Pasal 184 ayat (1) KUHAP yaitu berupa alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.

Sedangkan mengenai hakekat dari keyakinan hakim/nurani (negatief) tersebut,

“Bukan diartikan perasaan hakim pribadi sebagai manusia, bukan lagi conviction intime ataupun conviction raissonee, akan tetapi keyakinan hakim adalah keyakinan yang didasarkan atas bukti-bukti yang sah menurut Undang-undang”

(Martiman Prodjohamidjojo, 1982: 130).

(38)

tahap pembuktian pada proses persidangan perkara pidana, tidak didasarkan pada

unsur-unsur yang bersifat subyektif. Jika diadakan suatu komparasi dengan negara lain, misalnya dengan negara Jepang, menurut Andi Hamzah yang beliau kutip

dari tulisan Itsuo Nishimura dengan karyanya yang berjudul Role of Prosecution in Criminal Justice: Some Characteristics in Japanese Practice, bahwa, “Di

Jepang pada umumnya perkara yang dituntut ke pengadilan jarang yang bebas,

karena perkara dikirim hanya jika penuntut umum yakin terdakwa akan dipidana dengan bukti-bukti yang cukup. Perkara yang terdakwa dibebaskan hakim hanya

0, 001%.”(Andi Hamzah, 2000: 37)

b. Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum (Ontslag van Alle Rechtsvervolging)

Dasar yuridis putusan lepas dari segala tuntutan hukum, yakni Pasal 191 ayat (2)

KUHAP, yang menyatakan, “Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu

tindak pidana maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.”

Mencermati ketentuan Pasal 191 ayat (2) KUHAP tersebut, bahwa pada putusan

lepas dari segala tuntutan hukum, apa yang didakwakan kepada terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan ruang lingkup hukum pidana sehingga terdakwa harus dilepas dari segala tuntutan

hukum.

Berikut alasan-alasan dijatuhkannya putusan lepas dari segala tuntutan hukum: 1. Karena peristiwa-peristiwa yang dalam surat dakwaan yang didakwakan

(39)

merupakan suatu kejahatan atau pelanggaran maka terdakwa dalam putusan

hakim harus dilepas dari segala tuntutan hukum.

2. Apabila ada keadaan istimewa yang mengakibatkan bahwa terdakwa tidak

dapat dijatuhi suatu hukuman pidana menurut beberapa Pasal dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau adanya alasan-alasan pemaaf, yaitu seperti yang disebutkan dalam:

a. Pasal 44 KUHP, kalau perbuatan terdakwa tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya oleh karena penyakit jiwa.

b. Pasal 45 KUHP, yaitu perbuatan pidana yang dilakukan anak di bawah umur.

c. Pasal 48 KUHP, kalau terdakwa melakukan perbuatan terdorong oleh

keadaan memaksa(overmacht).

d. Pasal 49 KUHP, kalau terdakwa melakukan perbuatan beradadalam keadaan diserang oleh orang lain dan harus membela diri (noordeer).

e. Pasal 50 KUHP, kalau terdakwa melakukan perbuatan untuk menjalankan suatu peraturan dalam undang-undang atau.

f. Pasal 51 KUHP, kalau terdakwa melakukan perbuatan untuk memenuhi suatu perintah yang diberikan secara sah oleh seorang pejabat yang berkuasa dalam hal itu.( Djoko Prakoso, 2000: 272-273)

Ddanya keadaan–keadaan istimewa sebagaimana ditentukan dalam Pasal 44, 45, 48, 49, 50, 51 KUHP tersebut berarti meskipun perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa itu terbukti secara sah dan meyakinkan akan tetapi apabila

(40)

Ayat (2) KUHP, serta adanya alasan pembenar yang diatur dalam Pasal 48 KUHP,

Pasal 49 Ayat (1) KUHP, Pasal 50 KUHP dan Pasal 51 Ayat (1) KUHP maka ia tidak dapat dipertanggungjawabkan sehingga tidak dapat dijatuhi pidana.

c. Putusan Pemidanaan (Veroordeling)

Ketentuan yang menjadi dasar hukum mengenai putusan pemidanaan

(veroordeling), yakni Pasal 191 ayat (3) KUHAP, yang menyatakan, “Jika

pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang

didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana.” Alasan dijatuhkannya putusan yang mengandung pemidanaan oleh hakim yang menangani suatu perkara pidana, yakni terbuktinya unsure kesalahan yang

didakwakan kepada terdakwa secara sah dan meyakinkan, dalam arti bahwa berdasarkan alat-alat bukti yang sah, yaitu berupa adanya alat-alat bukti konvensional yang diakui oleh KUHAP, sebagaimana dimuat dalam Pasal 184

ayat (1) KUHAP hakim mempunyai keyakinan bahwa terdakwa memang bersalah telah melakukan perbuatan yang didakwakan itu. Mengenai unsur “kesalahan”

tersebut, menurut Moeljatno (1980: 106), mengatakan, bahwa kesalahan adalah,

“Adanya keadaan psycis yang tertentu pada orang yang melakukan perbuatan pidana dan adanya hubungan antara keadaan tersebut dengan perbuatan yang

dilakukan sedemikian rupa, hingga orang itu dapat dicela karena melakukan perbuatan tadi.”

Maksud dari keadaan psycis yang tertentu dari orang yang melakukan perbuatan

(41)

merupakan hal yang sangat esensial untuk adanya “kesalahan”. Kesalahan

tersebut erat pula kaitannya dengan unsur “kesengajaan” atau “kealpaan”.

Dikatakan ada kesengajaan jika dalam melakukan perbuatan pidana si pelaku

menginsyafi bahwa yang dilakukan itu adalah perbuatan pidana. Sedangkan dikatakan ada kealpaan jika dalam melakukan perbuatan pidana si pelaku menginsyafi sebagai perbuatan pidana akan tetapi itu terjadi karena ia lalai.

Dalam menjatuhkan putusan pemidanaan, hakim dapat menentukan salah satu dari macam-macam hukuman yang diatur dalam Pasal 10 KUHP, yaitu salah satu dari

hukuman pokok.

Adapun jenis-jenis pemidanaan menurut ketentuan Pasal 10 KUHP, dikenal adanya hukuman pokok dan hukuman tambahan yang secara lengkapnya, adalah

sebagai berikut:

1. Hukuman Pokok, terdiri dari: a) Hukuman mati

b) Hukuman penjara c) Hukuman kurungan dan d) Hukuman denda

2. Hukuman Tambahan, terdiri dari: a) Pencabutan beberapa hak tertentu

b) Perampasan barang tertentu c) Pengumuman keputusan hakim

(42)

d. Putusan Bebas Murni (Zuivere Vrijspraak) Dan Putusan Bebas Tidak Murni (Onzuivere Vrijspraak)

Secara teori (menurut KUHAP), hanya dikenal istilah putusan bebas, tanpa

adanya kualifikasi “ bebas murni” atau “bebas tidak murni.” Putusan bebas (vrijspraak) yang diputus oleh hakim, dalam nuansa praktek peradilan berkembang istilah bebas murni dan bebas tidak murni. Kalangan dunia praktisi

hukum tampaknya dalam memilah adanya indikasi bebas murni dan bebas tidak murni berdasar pula atas acuan argumen teoritisi yang mengadakan

pengkualifikasian bentuk-bentuk vrijspraak, seperti yang dikemukakan oleh seorang doktrina Belanda, J. M. van Bemmelen, sebagai berikut:

1) De zuivere vrijspraak(putusan bebas murni), merupakan putusan akhir, hakim

membenarkan fakta hukumnya (feiten), namun tuduhan Jaksa Penuntut Umum tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.

2) De onzuivere vrijspraak (putusan bebas tidak murni), yaitu dalam hal

batalnya tuduhan terselubung (bedekte neitigheid van dagvaarding) atau putusan bebas yang menurut keyakinan kenyataannya tidak didasarkan pada

tidak terbuktinya apa yang dimuat dalam surat tuduhan.

3) De vrijspraak of grond van doel matige heid overwegingen (putusan bebas berdasarkan alasan pertimbangan kegunaannya), yaitu putusan hakim yang

diambil berdasarkan pertimbangan bahwa haruslah diakhiri atas suatu penuntutan yang sudah pasti tidak akan ada hasilnya.

(43)

putusan ontslag van alle rechtsvervolging (dilepas dari tuntutan hukum).

(Martiman Prodjohamidjojo, 2000: 50-51)

Mencermati pembagian vrijspraak oleh J. M. van Bemmelen tersebut dihubungkan dengan praktek peradilan pidana Indonesia maka jenis vrijspraak

dengan kualifikasi bebas tidak murni (de onzuivere vrijspraak), bebas berdasarkan alasan pertimbangan kegunaan (de vrijspraak of grond van doel matige heid overwegingen)dan bebas yang terselubung (de bedekte vrijspraak) yang potensial

serta dominan menjadi alasan atau justifikasi bagi Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan upaya hukum kasasi kepada Mahkamah Agung. Mengenai pengertian

atau hakekat dari putusan bebas murni dan putusan bebas tidak murni tersebut akan penulis paparkan secara ringkas, sebagai berikut:

a) Putusan Bebas Murni (Zuivere Vrijspraak)

Secara teori (menurut KUHAP) atau pembentuk Undang-undang hanya mengenal dan memakai satu istilah, yakni putusan bebas, tanpa kualifikasi bebas murni dan

bebas tidak murni, sebagaimana diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP, yang

menyatakan, “Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak

terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.” Esensi putusan bebas yang terkandung dalam rumusan Pasal 191 ayat (1) KUHAP

tersebut adalah senada dengan pandangan doktrina yang menyatakan,

“Pembebasan yang murni sifatnya ialah pembebasan yang didasarkan tidak terbuktinya tindak pidana yang didakwakan.”( H. Hamrat Hamid dan Harun M.

(44)

Sedangkan Soedirdjo(1981: 80), menyatakan, “Pembebasan yang tidak tunduk

pada pemeriksaan kasasi disebut pembebasan murni”. Pendapat Soedirjo ini memuat esensi yang sama dengan ketentuan Pasal 244 KUHAP, yang

menyatakan, “Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali

terhadap putusanbebas.”

Putusan bebas murni pada hakekatnya mengacu pada putusan bebas sebagaimana yang diatur dalam KUHAP oleh karena yang ditekankan dalam putusan bebas

murni ini adalah tidak terbuktinya tindak pidana yang didakwakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP dan tertutupnya upaya hukum kasasi

terhadap putusan bebas yang secara yuridis normatif ditentukan dalam Pasal 244 KUHAP.

b) Putusan Bebas Tidak Murni (Onzuivere Vrijspraak)

Mengenai pengertian putusan bebas tidak murni, berikut beberapa pendapat ahli,

diantaranya, menurut J. M. van Bemmelen yang dikutip oleh Soedirdjo, seperti berikut: Dikatakan pembebasan tidak murni apabila Yudex Factie berpendapat bahwa perbuatan-perbuatan yang dirumuskan dalam surat tuduhan tidak terbukti

dan oleh karena itu terdakwa dibebaskan, sebab hakim melihat dalam surat tuduhan lebih banyak daripada yang ada dan juga lebih banyak daripada yang

(45)

Suatu putusan bebas dianggap pembebasan tidak murni:

a. Apabila putusan pembebasan itu didasarkan pada penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana yang disebut dalam surat dakwaan.

b. Apabila dalam menjatuhkan putusan bebas itu pengadilan telah melampaui wewenangnya baik hal itu menyangkut pelampauan wewenang kompetensi absolut atau relatif maupun pelampauan wewenang itu dalam arti apabila

dalam putusan bebas itu telah turut dipertimbangkan dan dimasukkan unsur-unsur non yuridis. (M. Yahya Harahap, 1984: 111)

Selanjutnya A. Minkenhof yang dikutip oleh Andi Hamzah (1984: 260),

berpendapat: Suatu pembebasan tidak murni ialah suatu putusan yang bunyinya bebas (Vrijspraak) tetapi seharusnya merupakan lepas dari segala tuntutan hukum (Ontslag van Rechtsvervolging), yang dinamai juga lepas dari segala tuntutan

hukum terselubung (Bedekt Ontslag van Rechtsvervolging).

H. Hamrat Hamid dan Harun M. Husein (1984: 120), memberikan pandangannya, sebagai berikut: Yang dimaksud dengan putusan bebas yang tidak murni, ialah

suatu putusan pembebasan yang didasarkan pada:

a. Kekeliruan penafsiran terhadap istilah tindak pidana yang diuraikan dalam surat dakwaan.

b. Pembebasan tersebut seharusnya merupakan putusan lepas dari segala tuntutan hukum.

(46)

Definisi berikutnya merupakan pengertian pembebasan tidak murni yang terdapat

dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 25-2-1981 No. 445 K/Kr/1980 sebagaimana dikutip oleh Suryono Sutarto (1985: 103), yang menyatakan,

“Putusan bebas tidak murni mengandung pengertian putusan bebas yang dijatuhkan oleh pengadilan didasarkan atas tafsiran yang tidak benar mengenai Pasal yang bersangkutan ataupun mengenai suatu unsur dari tindak pidana

tersebut.

Berdasarkan pendapat para sarjana dan yurisprudensi akhirnya seorang doktrina memberikan sebuah kesimpulan terhadap putusan bebas murni dan putusan bebas

tidak murni tersebut, sebagai berikut: Bahwa dapat ditarik kriteria untuk mengidentifikasi apakah putusan bebas itu mengandung pembebasan yang murni

atau tidak murni. Kriteria dimaksud, adalah:

a. Suatu putusan bebas mengandung pembebasan yang tidak murni apabila: Pembebasan itu didasarkan pada kekeliruan penafsiran atas suatu istilah dalam

surat dakwaan, atau apabila dalam putusan bebas itu pengadilan telah bertindak melampaui batas wewenangnya.

b. Suatu putusan bebas mengandung pembebasan yang murni, apabila

pembebasan itu didasarkan pada tidak terbuktinya suatu unsur tindak pidana yang didakwakan (Harun M. Husein, 1992: 130)

C. Pengertian Kasasi

Berdasarkan esensi Pasal 244 KUHAP dan pendapat kalangan doktrina dapat

(47)

terdakwa atau penuntut umum tidak menerima putusan yang dijatuhkan

pengadilan tingkat bawahnya maka dapat mengajukan permohonan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung terhadap pelaksanaan dan pengetrapan hukum

yang telah dijalankan oleh pengadilan di bawahnya kecuali terhadap putusan yang mengandung pembebasan (Harun M. Husein, 1992: 130).

Menurut KUHAP terhadap putusan bebas tidak ada kesempatan bagi Jaksa

Penuntut Umum untuk mengajukan upaya hukum kasasi kepada Mahkamah Agung. Hal ini dapat dipahami dari redaksional Pasal 244 KUHAP, yang

menyatakan, “Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat

terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada

Mahkamah Agung kecualiterhadap putusan bebas.”

Dengan demikian secara tataran normatif yudisial, hak atau peluang bagi Jaksa

Penuntut Umum untuk mengajukan upaya hokum kasasi terhadap putusan bebas (vrijspraak) oleh KUHAP dapat dikatakan bahwa sebenarnya jalan atau pintu itu

sudah tertutup. Kondisi ini direfleksikan oleh Soedirdjo menjadi sebuah judul sub bab dalam buku karangan beliau dengan judul bab, “Putusan Bebas Pintu Jalan

HukumTertutup.”(Soedirdjo, 1985: 87)

Akan tetapi terjadi perkembangan dalam praktek peradilan pidana Indonesia, yakni terhadap ketentuan Pasal 244 KUHAP tersebut akhirnya dilakukan suatu penerobosan sehingga terhadap putusan bebas dapat dimintakan upaya hokum

(48)

yang cenderung mempolakan situasi dan kondisi negatif bagi dunia peradilan

khususnya dan penegakan hukum pada umumnya. Satu-satunya langkah yang diambil untuk memperkecil gejala negatif tersebut antara lain berupa kembali ke

belakang menoleh dan mempertahankan yurisprudensi lama, yakni mengikuti jejak yurisprudensi seperti yang dianut pada zamannya HIR, yakni dengan tindakan Mahkamah Agung melakukan contra legem terhadap ketentuan Pasal

244 KUHAP melalui putusannya tanggal 15 Desember 1983 Regno: 275 K/Pid/1983 yang merupakan yurisprudensi pertama dalam lembaran sejarah

peradilan Indonesia sejak diberlakukannya KUHAP yang mengabulkan permohonan upaya hokum kasasi kepada Mahkamah Agung atas putusan bebas yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum.

Ketentuan terhadap putusan bebas yang secara langsung dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung dapat kita lihat dalam:

1) Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M. 01-PW. 07. 03

Tahun 1982 tanggal 4 Pebruari 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP. 2) Butir 19 Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M. 14- PW. 07.

03 Tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983.

3) Yurisprudensi Mahkamah Agung.135 Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M. 01-PW. 07 03 Tahun 1982 Tanggal 4 Pebruari

1982 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP, menyatakan:

Mengingat bahwa mengenai masalah “salah atau tidak tepatnya penerapan

(49)

menyebutkan bahwa hanya terhadap putusan bebas tidak boleh dimohonkan

kasasi, maka haruslah diartikan bahwa terhadap semua putusan lepas dari segala tuntutan hukum tidak dapat diajukan permintaan banding, melainkan hanya boleh

dimohonkan kasasi.

Terkait dengan esensi Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M. 01-PW. 07. 03 Tahun 1982 tersebut, untuk dapat dimintakan kasasi secara

langsung kepada Mahkamah Agung terhadap putusan bebas maka diperlukan adanya suatu pembuktian bahwa putusan bebas tersebut sebagai pembebasan yang tidak murni (pelepasan dari segala tuntutan hukum terselubung). Sedangkan

esensi dari butir 19 Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M. 14-PW.07.03 Tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983, yakni, “Terhadap putusan

bebas tidak dapat dimintakan banding. tetapi berdasarkan situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan dan kebenaran terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi. Hal ini akan didasarkan pada yurisprudensi.”

Berdasarkan ketentuan Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M. 14-PW. 07.

03. Tahun 1983 tersebut maka terhadap putusan bebas, Jaksa Penuntut Umum dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung tanpa terlebih dahulu melalui upaya hukum banding. Keputusan Menteri Kehakiman ini menjadi titik awal

penentu lahirnya yurisprudensi yang sangat bersejarah dalam konteks penegakan hukum khususnya dalam beracara pidana kita yang menyangkut persoalan putusan

(50)

Kehakiman tanggal 10 Desember 1983 dengan Nomor: M.14-PW.07.03 Tahun

1983 tersebut, Mahkamah Agung langsung merespon dengan yurisprudensi pertama, yakni Putusan Mahkamah Agung RI Regno: 275 K/Pid/1983 tanggal 15

Desember 1983 dengan mengabulkan permohonan Jaksa Penuntut Umum atas permohonan kasasi kasus Raden Sonson Natalegawa. Putusan Mahkamah Agung ini menjadi yurisprudensi pertama dalam lembaran sejarah peradilan Indonesia

sejak diberlakukannya KUHAP yang mengabulkan permohonan upaya hukum atas putusan bebas yang dimohonkan kasasi oleh Jaksa Penuntut Umum. Putusan

Mahkamah Agung RI Regno: 275 K/Pid/1983 tanggal 15 Desember Tahun 1983 tersebut melahirkan dua (2) yurisprudensi yang isinya , yakni:

1) Putusan Pengadilan yang membebaskan terdakwa dapat diajukan kasasi.

Mahkamah Agung (MA) dalam putusan tersebut di atas, pada pertimbangan-pertimbangannya antara lain mencantumkan sebagai berikut: “...sesuai

dengan yurisprudensi yang ada apabila ternyata putusan pengadilan yang

membebaskan terdakwa itu merupakan pembebasan yang murni sifatnya, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 244 KUHAP, permohonan kasasi tersebut

harus dinyatakan tidak dapat diterima. Sebaliknya, apabila pembebasan itu didasarkan pada penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana yang disebutkan dalam surat dakwaan dan bukan didasarkan pada tidak terbuktinya

unsur-unsur perbuatan yang didakwakan atau apabila dalam menjatuhkan putusan itu pengadilan telah melampaui batas wewenangnya dalam arti bukan

(51)

meskipun hal itu tidak diajukan sebagai keberatan kasasi oleh Jaksa.

Mahkamah Agung wajib menelitinya bahwa pembebasan itu bukan merupakan pembebasan yang murni, Mahkamah Agung harus menerima

permohonan kasasi tersebut.

2) Penafsiran “melawan hukum”, mengenai hal ini Mahkamah Agung dalam pertimbangannya, antara lain mencantumkan: “Suatu perbuatan dapat

dianggap sebagai perbuatan melawan hukum, tidak semata-mata diukur dari segi perbuatan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang

diancam dengan hukum pidana tertulis maupun asas-asas yang bersifat umum, tapi juga menurut kepatutan dalam kehidupan dalam masyarakat perbuatan itu menurut penilaian masyarakat merupakan perbuatan tercela.” (Leden

Marpaung, 1992: 446-447)

Bertitik tolak dari uraian di atas dapat diketahui bahwa, “Putusan bebas” dapat

diajukan kasasi agar permintaan kasasi tersebut berhasil maka penuntut umum

harus dapat membuktikan bahwa “putusan bebas” tersebut bukan merupakan

pembebasan murni.”(Leden Marpaung, 1992: 447)

Atas cerminan dan panutan dari yurisprudensi Mahkamah Agung tersebut, dalam praktek peradilan pidana di Indonesia para Jaksa Penuntut Umum memperoleh

nuansa baru dan angin segar berupa hak untuk mengajukan upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas (tanpa perlu terlebih dahulu harus menempuh upaya

(52)

memanfaatkan hak dan ruang guna meminta pemeriksaan kepada Mahkamah

Agung berupa upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas. Hal ini merupakan salah satu langkah penegakan hukum terkait dengan adanya berbagai fenomena

yuridis sebagai ekses dari kevakuman norma tentang hak Jaksa Penuntut Umum dalam pengajuan kasasi terhadap putusan bebas (vrijspraak) tersebut.

Terkait dengan yurisprudensi Mahkamah Agung mengenai putusan bebas tersebut

berikut pendapat salah seorang ahli yang menyatakan: Pada hemat kami Mahkamah Agung tidaklah melahirkan yurisprudensi yang bertentangan dengan undang-undang, bahkan Mahkamah Agung berusaha meluruskan penerapan

hukum yang dilakukan oleh pengadilan, agar penerapan hukum tersebut benarbenar sesuai dengan arti dan makna yang terkandung di dalamnya. Dengan

cara ini, Mahkamah Agung berusaha untuk menyesuaikan pelaksanaan ketentuan undang-undang dengan aspirasi hokum dan keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Sebab larangan kasasi terhadap putusan bebas, dirasakan

terlalu idealistik dan belum sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat kita, oleh karena itu demi hukum, kebenaran dan keadilan, Mahkamah Agung membenarkan pengajuan upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas. (Harun M.

Husein, 1985: 120)

Yurisprudensi Mahkamah Agung tersebut, yakni suatu upaya untuk mewujudkan tujuan hukum berupa kepastian, kemanfaatan dan keadilan dengan meluruskan

(53)

A. Pendekatan Masalah

Berdasarkan klasifikasi penelitian hukum baik yang bersifat normatif maupun yang bersifat empiris serta ciri-cirinya, maka pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Pendekatan Yuridis Normatif (Library Research)

Pendekatan yuridis normatif dilakukan melalui studi kepustakaan, dengan cara

mempelajari buku-buku, bahan-bahan bacaan literatur peraturan perundang-undangan yang menunjang dan berhubungan sebagai penelaahan hukum terhadap kaedah yang dianggap sesuai dengan penelitian hukum tertulis.

Penelitian normatif terhadap hal-hal yang bersifat teoritis asas-asas hukum, dasar hukum dan konsep-konsep hukum.

Pendekatan ini dilaksanakan dengan mempelajari norma atau kaidah hukum yaitu Undang-Undang tindak pidana denda yang dihapuskan dalam perkara

korupsi dan peraturan-peraturan lainnya serta literatur-literatur yang berhubungan dengan putusan bebas murni oleh judex jurist (Hakim

(54)

2. Pendekatan Yuridis Empiris

Pendekatan yuridis empiris adalah menelaah hukum terhadap objek penelitian sebagai pola perilaku yang nyata dalam masyarakat yang ditujukan kepada

penerapan hukum yang berkaitan dengan penyelesaian hukum yang dapat dilakukan pengadilan dalam mengadili tindak pidana denda yang dihapuskan dalam perkara korupsi pada Pengadilan Negeri dan identifikasi

permasalahannya.

Pendekatan normatif dan pendekatan empiris karena penelitian ini berdasarkan jenisnya merupakan kombinasi antara penelitian normatif dengan empiris.

Sedangkan berdasarkan sifat, bentuk dan tujuannya adalah penelitian deskriptif dan problem identification, yaitu dengan mengidentifikasi masalah yang muncul

kemudian dijelaskan berdasarkan peraturan-peraturan atau perundang-undangan yang berlaku serta ditunjang dengan landasan teori yang berhubungan dengan penelitian Moleong (2005: 60).

B. Jenis dan Sumber Data

1. Jenis Data

Menurut Moleong (2005: 65) Sumber data yang digunakan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini adalah bersumber pada:

(55)

b. Data Primer, adalah data yang diperoleh secara langsung oleh peneliti dari

masyarakat. Dalam hal ini mengenai tugas dan wewenang Pengadilan Negeri sebagai penyelenggara peradilan di masyarakat.

2. Sumber Data

Sumber data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu

data yang diperoleh dari studi kepustakaan (Library Research) dengan cara membaca, mengutip, menyalin dan menganalisis berbagai literatur. Data sekunder

yang terdiri dari 3 (tiga) bahan hukum yaitu:

a. Bahan hukum primer yaitu antara lain meliputi:

1) Undang-Undang No 73 Tahun 1958 Tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP)

2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia.

5) Undang Nomor 8 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum.

b. Bahan Hukum sekunder yaitu bahan hukum yang menjelaskan bahan hukum primer seperti buku-buku, literatur dan karya ilmiah yang berkaitan dengan

(56)

1) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pedoman

Pelaksanaan KUHAP.

2) Rancangan KUHP dan Rancangan KUHAP

3) Judex juristterhadap putusan bebas murni yang di mohonkan kasasi dalam perkara pidana korupsi pada Putusan Mahkamah Agung No. 1481K/PID.SUS/2008

c. Bahan hukum tersier merupakan data pendukung yang berasal dari informasi dari buku-buku, literatur, media massa, kamus maupun data-data lainnya.

C. Penentuan Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi merupakan kumpulan unsur-unsur atau elemen-elemen yang menjadi objek kajian penelitian, atau jumlah keseluruhan dari unit analisis yang ciri-cirinya akan diperkirakan (Suharsimi Arikunto, 1998: 32)

Populasi dalam penelitian ini berjumlah 2 orang, yaitu Hakim di Pengadilan

Negeri Kelas I Tanjung Karang dan Jaksa di Kejaksaan Tinggi Bandar Lampung.

2. Sampel

Sampel merupakan sebagian dari populasi yang diambil secara proporsional untuk dinikmati dalam suatu penelitian. Dengan rincian sampel adalah sebagai berikut:

Hakim di Pengadilan Tinggi Tanjung Karang 2 orang +

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini membahas tentang hasil belajar pada pokok bahasan plantae dengan menggunakan model pembelajaran bercerita berpasangan dan bertukar pasangan. Model

Sampel dalam penelitian ini sebanyak 43 perusahaan pada sektor properti, real estate, dan konstruksi bangunan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) secara berturut- turut

Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunianya Sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “ Analisis Pencegahan

makhluk yang kompleks (multiseluler) dalam kurun waktu jutaan tahun. Menurut teori evolusi keberadaan manusia di bumi tidak begitu saja.. muncul. Teori ini

Rumah sakit merupakan salah satu sarana kesehatan yang digunakan sebagai upaya penyelenggaraan dan pembangunan kesehatan dituntut untuk terus meningkatkan dan

Dari penjelasan tersebut, maka peneliti mengambil kesimpulan bahwa analisis yuridis Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak

Hasil riset menunjukkan bahwa faktor heterogenitas dan karakteristik (individu dan organisasi) yang mempunyai hubungan erat dan berpengaruh terhadap partisipasi masyarakat

Jenis pertanyaan yang diajukan oleh Siswa secara umum dapat diklasifikasi ke dalam tiga tingkatan proses metakognitif, yaitu: (1) proses metakognitif tingkat rendah ( low