KABUPATEN LAMPUNG SELATAN 2004-2010
Oleh
ZOBI HARIKA
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar
SARJANA EKONOMI
Pada
Jurusan Ekonomi Pembangunan
Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Universitas Lampung
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS LAMPUNG
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI
...
i
DAFTAR TABEL
...
iii
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ...
1
B. Permasalahan ...
8
C.Tujuan ...
8
D. Kerangka Pemikiran ...
8
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Otonomi Daerah ...
13
B. Keuangan Daerah ...
15
1. Pendapatan Asli Daerah ...
16
2. Dana Perimbangan ...
16
C. Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah ...
19
D. Pendekatan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah ...
24
1. Pendekatan Permodalan
(Capitalization Approach)
...
25
2. Pendekatan Pendapatan
(Income Approach)
...
26
3. PendekatanPengeluaran
(Expenditure Approach)
...
27
4. PendekatanKonprehensif
(Conprehensive Approach)
...
28
E. Jenis-jenis Perimbangan Keuangan Pusat ke Daerah ...
31
F. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) ...
32
1. Pengertian APBD ...
32
2. Penyusunan dan Penetapan APBD ...
33
3. Penyusunan APBD ...
35
4. Perubahan APBD ...
36
5. Pelaksanaan APBD ...
36
6. Pertanggungjawaban APBD ...
36
G. Belanja Daerah ...
37
III. METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Sumber Data ...
41
B. Metode Pengumpulan Data ...
41
1. Penelitian Kepustakaan ...
41
2. Penelitian Lapangan ...
41
C. Alat Analisis ...
42
D. Gambaran Umum ...
42
A. Ketergantungan Fiskal ...
45
1. Porsi PAD terhadap APBD ...
45
2. Transfer Dana Dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah ...
47
B.Dampak Implementasi Perimbangan Keuangan ...
53
1. Kontribusi PAD dan DBH pajakterhadapBelanjaDaerah ...
56
2. Kontribusi PAD dan DBH SDA terhadapterhadapBelanjaDaerah ...
57
3. Proporsi PAD dan DAU terhadapBelanjaDaerah ...
58
V. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan ...
59
DAFTAR TABEL
Tabel
Halaman
1.
Perkembangan PAD dan Transfer Pusat Kabupaten
Lampung Selatan Tahun 2004-2010 ... 3
2.
Realisasi Belanja Daerah Kabupaten Lampung Selatan
Tahun 2004-2010 ... 5
3.
Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Lampung Selatan
Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku
Tahun 2005-2008 (Rp.000.000) ... 44
4.
Realisasi PAD Kabupaten Lampung Selatan Tahun 2004-2010 ... 45
5.
Dana Bagi Hasil Pajak Kabupaten Lampung Selatan Tahun
2004
–
2010 ... 47
6.
Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Kabupaten
Lampung SelatanTahun 2006-2010... ... 48
7.
Transfer Pusat Kabupaten Lampung Selatan
Tahun 2004-2010 ... 49
8.
Perimbangan Keuangan (%) Menurut UU No.25/1999
dan UU No.33/2004 ... 53
9.
Kontribusi PAD dan DBH PajakterhadapBelanjaDaerah
Kabupaten Lampung SelatanTahun 2004-2006 ... 56
10.
Kontribusi PAD dan DBH Pajak terhadap Belanja Daerah
Kabupaten Lampung Selatan Tahun 2007-2010 ... 56
11.
Kontribusi PAD dan DBH SDA terhadap Belanja Daerah
Kabupaten Lampung Selatan Tahun 2004-2010 ... 57
12.
Proporsi PAD dan DAU terhadap Belanja Daerah
Judul Skripsi
:
KEMAMPUAN BELANJA DAERAH YANG
DIBIAYAI OLEH PAD DAN DANA BAGI
HASIL DI KABUPATEN LAMPUNG
SELATAN 2004-2010
Nama Mahasiswa
:
Zobi Harika
Nomor Pokok Mahasiswa
:
0741021095
Program Studi
:
Ekonomi Pembangunan
Fakultas
:
Ekonomi dan Bisnis
MENYETUJUI
1.
Komisi Pembimbing
Yourni Atmadja, S.E., M.Si.
NIP 1951 0711 198303 1001
2.
Ketua Jurusan Ekonomi Pembangunan
“Saya yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa skripsi ini telas ditulis
dengan sungguh-sungguh dan tidak murupakan penjiplakan hasil karya orang lain.
Apabila dikemudian hari terbukti bahwa pernyataan ini tidak benar maka saya
sanggup menerima hukuman / sanksi sesuai peraturan yang berlaku”.
Bandar Lampung, 14 Mei 2013
Penulis
!
! "
"
#
Penulis dilahirkan di Pekon Bakhu pada tanggal 27 Februari 1988, dan merupakan anak
kedua dari tiga bersaudara, dari pasangan Bapak Djauhari dan Ibu Zuarni. Penulis mulai
memasuki dunia pendidikan formal di Sekolah Dasar (SD) Negeri 2 Bakhu Lampung
Barat yang selesai pada tahun 2000, kemudian melanjutkan di Sekolah Menengah
Pertama (SMP) Negeri 1 Belalau Lampung Barat yang selesai pada tahun 2003, dan
Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Belalau Lampung Barat yang selesai pada
tahun 2006. Kemudian pada tahun 2007 penulis terdaftar sebagai Mahasiswa Fakultas
Ekonomi dan Bisnis Jurusan Ekonomi Pembangunan Universitas Lampung.
Pada bulan November 2010 penulis mengikuti Kuliah Kerja Lapangan (KKL) Mata
Kuliah Ekonomi Keuangan Internasional (EKI) di Bank Indonesia (BI), OCBC NISP di
SANWACANA
Assalamualaikum Wr.Wb
Alhamdulilah segala puji bagi Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat
dan karunianya sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini yang
merupakan syarat untuk mencapai gelar sarjana Ekonomi.
Skripsi ini yang berjudul “Analisis Kemampuan Belanja Daerah Yang
Dibiayai Oleh PAD Dan Dana Bagi Hasil Di Kabupaten Lampung Selatan
2004-2010”
Dalam menyelesaikan penelitian ini, penulis banyak mendapatkan bantuan, baik
bimbingan, maupun saran dan kritik dari berbagai pihak dan sebagai rasa syukur
perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya
kepada :
1. Bapak Prof. Dr. H. Satria Bangsawan, S.E., M.Si. selaku Dekan Fakultas
Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung.
2. Bapak Muhammad Husaini, S.E., M.Si., selaku Ketua Jurusan Ekonomi
Pembanguan, yang telah banyak membantu penulisan dalam skripsi.
3. Bapak Yourni Atmadja, S.E., M.Si selaku Pembimbing Utama, yang telah
4. Ibu Asih Murwiati, S.E., M.E selaku Seketaris Jurusan Ekonomi
Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung.
5. Bapak MA. Irsan Dalimunthe, S.E. selaku pembahas dan penguji yang
telah banyak memberikan saran dan kritiknya demi kesempurnaan skripsi
ini.
6. Bapak Heru Wahyudi, S.E., M.Si, selaku Pembimbing Akademik yang
telah banyak membantu selama kuliah di Jurusan IESP (Ilmu Ekonomi dan
Study Pembangunan) dan telah meluangkan waktunya memberikan tanda
tangan.
7. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis yang telah banyak
memberikan bekal Ilmu Pengetahuan dengan segala ketulusannya.
8. Seluruh Staf dan Karyawan di Lingkungan Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Lampung, Ibu Mardiana, S.Pd, Bang Herman, Mas Kuswara,
dan lain-lain yang tak bisa disebutkan satu persatu, telah banyak
membantu penulis.
9. Seluruh Pegawai Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Lampung yang
telah melayani keperluan data penulis dengan senyum dan
keramah-tamahan.
10.Ayah ku dan Ibu ku tercinta, Dodo dan Adek Eca yang dengan penuh
kasih sayang memberikan dorongan moril maupun materil serta do’a yang
dalam menyelesaikan tulisan ini.
12.Buat keluarga besar ku, yang tak bisa disebutkan satu persatu, terima kasih
atas doanya dan dukungannya.
13.Terima kasihku untuk teman-teman seperjuangan di Fakultas Ekonomi dan
Bisnis: Heriadi, S.E., Jumiati S.E., Eko Maryudi,S.E., Sony Maringan,
S.E., Slamet Riadi, S.E., Ferdi Setiawan, S.E., Muhammad Firdaus, Asva
Irawan, Frengki Jatmiko, Rully Agustianto, Niko Alsafinama, dan teman-
teman EP 07 yang tak bisa penulis disebutkan satu persatu.
14.Seluruh Karyawan dan Staf DPP ASPEKINDO, Bapak Deny Irawansyah,
S.P., Siti Junila, Rima Jevita, Eka Ahtobara, Bang Reza Pahlewi, Pak
Koncen, Subandi, terima kasih atas dukungan moril, materil, dan do’a nya
untuk keberhasilan penulis.
15.Para sahabat Ar-Rasyid Polda II, Mas Agus, Kak Pendi, Cang Heri, Mas
Suyut, Kak Yayan, Mas Andre, terima kasih untuk motivasi religi nya
kepada penulis.
16.Buat Almamater tercinta Unila yang telah mendewasakan baik dalam
berfikir maupun dalam berindak.
Akhir kata penulis berharap semoga Allah SWT membalas budi baik
bapak/ibu dan rekan-rekan semua. Penulis menyadari sepenuhnya skripsi ini
Wassalamualaikum.Wr.Wb
Bandar Lampung, 14 Mei 2013
Penulis
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tekanan Reformasi di Indonesia berdampak pada kebijakan pemerintah pusat
dengan melibatkan peranan pemerintah daerah dalam mengelola daerahnya
sendiri dan ini jelas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri
dari UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU Nomor 33
Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Seperti yang diamanatkan dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 dan UU Nomor 33
Tahun 2004 telah terjadi perubahan mendasar mengenai hubungan keuangan
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Dalam pelaksanaan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah
mengandung pengertian yang luas, artinya bahwa dalam pelaksanaan otonomi
daerahtujuan pemerintah pusat adalah ingin menerapkan bentuk keadilan serta
berusaha mewujudkan tatanan penyelenggaraan pemerintah yang lebih baik
menuju terwujudnya clean government dan good governance.
Adapun dalam perimbangan keuangan tersebut adalah dengan dilakukan melalui
desentralisasi fiskal, dengan pengertian bahwa untuk mendukung terlaksananya
kewenangan untuk mendayagunakan sumber keuangannya sendiri dan didukung
dengan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah.
Idealnya, desentralisasi ini diharapkan akan menghasilkan dua manfaat nyata,
yaitu: pertama, mendorong peningkatan partisipasi, prakarsa, dan kreativitas
masyarakat dalam pembangunan, serta mendorong pemerataan hasil-hasil
pembangunan (keadilan) diseluruh daerah dengan memanfaatkan sumberdaya dan
potensi yang tersedia di masing-masing daerah. Kedua, memperbaiki alokasi
sumber daya produktif melalui pergeseran peran pengambilan keputusan publik ke
tingkat pemerintah yang paling rendah yang memiliki informasi yang paling
lengkap. (Mardiasmo: 2002)
Sesungguhnya arah dari pemberian otonomi daerah dan desentralisasi yang luas,
nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah merupakan langkah strategis dalam
dua hal. Pertama, otonomi daerah dan desentralisasi merupakan jawaban atas
permasalahan lokal bangsa Indonesia berupa ancaman integrasi bangsa,
kemiskinan, ketidakmerataan pembangunan, rendahnya kualitas hidup
masyarakat, dan masalah pembangunan sumber daya manusia. Kedua, otonomi
daerah dan desentralisasi merupakan langkah strategis bangsa Indonesia untuk
menyongsong era globalisasi ekonomi dengan memperkuat basis perekonomian
daerah.
Selama ini daerah-daerah di wilayah Republik Indonesia sering merasakan adanya
ketidak adilan, yaitu berupa ketidakadilan dalam pembagian sumber-sumber
keuangan antara pusat dan daerah menyebabkan terjadinya peningkatan
dan munculnya ketidakpuasan masyarakat di daerah. Pengalaman selama ini
menunjukkan bahwa hampir disemua daerah prosentase Pendapatan Asli Daerah
(PAD) relatif kecil. Di setiap daerah yang dirasakan adalah bahwa Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) suatu daerah didominasi oleh transfer
pemerintahan pusat, keadaan ini menyebabkan daerah sangat tergantung kepada
pemerintah pusat, sehingga kemampuan daerah untuk mengembangkan potensi
[image:16.612.132.520.319.482.2]yang mereka miliki menjadi sangat terbatas.
Tabel 1. Perkembangan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Transfer Pusat Kabupaten Lampung Selatan Tahun 2004 – 2010
Tahun PAD (Rp) Perkembangan
(%)
Transfer Pusat (Rp) Pertumbuhan
(%)
2004 37.586.283.774,30 33,29 199.350.000.000 24,52
2005 41.500.797.961,47 12,39 240.050.000.000 20,42
2006 41.689.575.342,06 3,35 243.544.000.000 1,46
2007 52.073.499.722,70 25,58 268.151.000.000 10,10
2008 52.137.259.170,16 0,14 449.491.000.000 67,63
2009 59.714.914.761,96 16,42 498.467.000.000 10,90
2010 71.125.848.714,96 21,24 552.159.017.000 10,77
Rata-rata 16,06 20,83
Sumber: Dinas Pengelolaan Keuangan Pendapatan dan Aset Daerah Kab. Lampung Selatan 2011*.
Dari Tabel 1 tentang perkembangan PAD dan perkembangan penerimaan Transfer
Pusat Kabupaten Lampung Selatan dalam kurun waktu 7 tahun yaitu tahun
2004-2010. Perkembangan PAD dan Transfer Pusat Kabupaten Lampung Selatan
mengalami fluktuasi setiap tahunnya. Perkembangan PAD dan transfer pusat
pada tahun 2004 masing-masing yaitu sebesar 33,29 persen dan 24,52 persen.
Pada tahun 2005 PAD dan transfer pusat mengalami perkembangan
dan transfer pusat mengalami perkembangan masing-masing sebesar 3,35 persen
dan 1,46 persen. Pada tahun 2007 mengalami peningkatan perkembangan PAD
dan transfer pusat yaitu sebesar 25,58 persen dan 10,10 persen. Pada tahun 2008
perkembangan PAD mengalami penurunan menjadi sebesar 0,14 persen dan
terjadi peningkatan perkembangan transfer pusat sebesar 67,63 persen. Pada
tahun 2009 perkembangan PAD dan transfer pusat masing-masing sebesar 16,42
persen dan 10,90 persen. Pada tahun 2010 perkembangan PAD dan transfer pusat
masing-masing sebesar 21,24 persen dan 10,77 persen. Perkembangan PAD
tertinggi dari tahun sebelumnya terjadi pada tahun 2007 yaitu sebesar 25,58
persen dan perkembangan terendah terjadi pada tahun 2008 yaitu sebesar 0,14
persen dengan rata-rata perkembangan 16,06 persen. Perkembangan transfer
pusat dari tahun sebelumnya terjadi pada tahun 2008 yaitu sebesar 67,63 persen
dan terendah tahun 2009 sebesar 1,46% dengan rata-rata 20,83 persen.
Menurut Mudrajad Kuncoro ( 2004 : 13-14), setidaknya ada lima penyebab utama
rendahnya PAD yang pada gilirannya menyebabkan tingginya ketergantungan
terhadap transfer dari pusat yaitu sebagai berikut :
a. Kurang berperannya perusahaan daerah sebagai sumber pendapatan daerah
b. Tingginya derajat desentralisasi dalam bidang perpajakan, semua pajak
utama yang paling produktif dan buoyant, baik langsung dan tidak
langsung ditarik oleh pusat. Alasan sentralisasi perpajakan yang sering
dikemukakan adalah untuk mengurangi disparitas antar daerah, efisiensi
administrasi, dan keseragaman perpajakan.
c. Kendati pajak daerah cukup beragam, ternyata hanya sedikit yang bisa
d. Faktor penyebab ketergantungan yang keempat bersifat politis. Ada yang
khawatir apabila daerah mempunyai sumber keuangan yang tinggi akan
mendorong terjadinya disintergrasi dan separitas
e. Faktor terakhir penyebab adanya ketergantungan tersebut adalah
kelemahan dalam pemberian subsidi dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah.
Tekat yang dilakukan oleh pemerintah daerah Kabupaten Lampung Selatan
senantiasa berupaya meningkatkan penerimaan daerahnya sesuai dengan
kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah daerah Kabupaten
Lampung Selatan, pemerintah Provinsi Lampung, maupun oleh pemerintah pusat.
Kendala yang tengah dihadapi pemerintah daerah adalah masih lemahnya
kemampuan pendapatan daerah untuk menutupi biaya dalam melaksanakan
[image:18.612.134.520.495.657.2]belanja pembangunan daerah yang setiap tahunnya semakin meningkat.
Tabel 2. Realisasi Belanja Daerah Kabupaten Lampung Selatan Tahun 2004 – 2010
Tahun Belanja Rutin (Rp) Pertumbuhan (%)
Belanja Pembangunan (Rp)
Pertumbuhan (%)
2004 229.669.682.001,70 201,43 48.467.961.366 19,36
2005 260.029.855.983,13 13,22 99.367.762.616 105,01
2006 312.079.733.562,24 20,01 43.752.302.120 55,96
2007 344.123.828.186,15 10,26 52.819.410.444 20,72
2008 457.777.127.357,63 33,02 107.211.465.290 102,97
2009 546.565.703.807,13 19,39 111.875.364.541 4,35
2010 426.789.388.514,37 21,91 354.399.941.910 216,78
Rata-rata 39,34 59,03
Dari Tabel 2 realisasi belanja daerah Kabupaten Lampung Selatan, tahun
2004-2010. menunjukkan pertumbuhan belanja rutin mempunyai hubungan negatif
dengan belanja pembangunan. Jika belanja rutin mengalami peningkatan maka
belanja pembangunan akan mengalami penurunan. Hal ini berarti pemerintah
Kabupaten Lampung Selatan masih bergantung kepada transfer pemerintah pusat
dalam hal pembiayaan daerah yang tercermin dari besarnya belanja rutin
dibandingkan belanja pembangunan.
Dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah telah membawa dampak yang besar dan mendasar
dalam hubungan keuangan pusat dan daerah. UU ini menyatakan bahwa untuk
mendukung penyelenggaraan otonomi daerah melalui penyediaan sumber-sumber
pembiayaan berdasarkan desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan,
perlu diatur perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah berupa sistem keuangan yang diatur berdasarkan pembagian kewenangan,
tugas, dan tanggung jawab yang jelas antar tingkat pemerintahan.
Sebagai dampak diberlakukannya UU No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan ini terhadap satu daerah dengan daerah lain akan berbeda, tergantung
pada sumber-sumber penerimaan (khusus nya dari sumber bagi hasil) yang
dimiliki oleh masing-masing daerah. Dengan demikian disamping akan memicu
pembangunan daerah juga mempunyai potensi untuk mendorong munculnya
disparitas. Namun sebenarnya keberadaannya memberikan perubahan ke arah
Pembangunan daerah merupakan hal yang tidak dapat terpisahkan dan menjadi
integral dari pembangunan nasional. Pembangunan daerah dilaksanakan
berdasarkan prinsip otonomi daerah dan pengaturan sumber daya nasional yang
memberikan kesempatan bagi peningkatan demokrasi dan kinerja daerah untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Penyelenggaraan pemerintahan daerah
dimaksudkan untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan
pemerintahan dan pelayanan masyarakat. Daerah mempunyai kewenangan dan
tanggung jawab menyelenggarakan kepentingan masyarakat berdasarkan
prinsip-prinsip keterbukaan, partisipasi masyarakat, dan pertanggung jawaban kepada
masyarakat.
Menurut Suparmoko (2001 : 99), adalah tidak mudah untuk mengetahui potensi
ekonomi suatu daerah. Yang dimaksud dengan potensi ekonomi daerah adalah
kemampuan ekonomi yang ada di daerah yang mugkin dan layak untuk
dikembangkan sehingga akan terus berkembang menjadi sumber penghidupan
rakyat setempat bahkan dapat mendorong perekonomian daerah secara
keseluruhan untuk berkembang dengan sendirinya dan berkesinambungan.
UU Nomor 32 Tahun 2004 dan UU Nomor 33 Tahun 2004 akan berpengaruh
terhadap pengelolaan keuangan daerah. Hal ini berkaitan dengan konsep otonomi
dan desentralisasi yang pada hakekatnya memberikan kekuasaan, kewenangan,
dan keleluasaan kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan menentukan
penggunaan dana untuk melaksanakan urusan-urusan daerahnya.
Sumber-sumber pokok keuangan daerah terdiri dari PAD dan Dana Perimbangan
pada struktur dan proporsi pengeluaran APBN dan penerimaan pada APBD.
Evaluasi terhadap pengelolaan keuangan daerah dan pembiayaan pembangunan
daerah yang tergambar melalui APBD mempunyai implikasi yang sangat luas.
Kedua komponen tersebut akan sangat menentukan kedudukan suatu pemerintah
daerah dalam rangka melaksanakan otonomi daerah.
B. Permasalahan
Dengan diberlakukannya UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Pemerintah Pusat dan Daerah, diharapkan dapat menjadi pemacu bagi pemerintah
Kabupaten Lampung Selatan bagi upaya untuk meningkatkan kemandirian dalam
membiayai pembangunan di daerah. Berdasarkan uraian diatas, maka penulis
merumuskan suatu permasalahan :
“Bagaimana kemampuan sumber pembiayaan dari PAD dan Dana Bagi
Hasil (DBH) Tahun 2004 - 2010 terhadap belanja daerah Kabupaten
Lampung Selatan? ”.
C. Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah :
Untuk mengetahui bagaimana kemampuan PAD dan Dana Bagi Hasil (DBH)
terhadap Belanja Daerah Kabupaten Lampung Selatan Tahun 2004 – 2010.
D. Kerangka Pemikiran
Ada tiga fungsi utama yang dapat diemban oleh pemerintah suatu negara, yaitu
rangka penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan masyarakat, dan pembangunan.
Fungsi alokasi meliputi sumber-sumber ekonomi dalam bentuk barang dan jasa
pelayanan masyarakat. Fungsi distribusi meliputi pendapatan dan kekayaan
masyarakat, pemerataan pembangunan, dan fungsi stabilasi meliputi
pertahanan-keamanan, ekonomi dan moneter.
Dari sisi keefektifan fungsi distribusi dan fungsi stabilisasi pada umumnya lebih
efektif jika dilaksanakan oleh pemerintah pusat sedangkan fungsi alokasi pada
umumnya lebih efektif dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Pada umumnya
daerah lebih mengetahui kebutuhan serta standar pelayanan masyarakat di
daerahnya sendiri. Dengan demikian, pembagian ketiga fungsi sangat penting
sebagai landasan dalam penentuan dasar-dasar perimbangan keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah secara jelas dan tegas.
Dalam penyelenggaran otonomi daerah perlu ada dukungan berupa kewenangan
yang luas, nyata, dan bertanggung jawab di daerah secara proporsional yang
diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya
nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan Pemerintah Pusat dan
Daerah. Sumber pembiayaan pemerintah daerah dalam rangka perimbangan
keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dilaksanakan atas dasar
desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan.
Desentralisasi merupakan suatu alat untuk mencapai tujuan bernegara, terutama
dalam pelaksanaan pelayanan umum yang lebih baik dan proses pengambilan
keputusan yang lebih demokratis. Dengan dilaksanakannya desentralisasi, maka
untuk melaksanakan pembelanjaan, memungut pajak (taxing power), membentuk
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), memilih Kepala Daerah, serta adanya
bantuan dalam bentuk transfer dari pemerintah pusat kepada tingkat pemerintah
dibawahnya. Implikasi langsung pelaksanaan desentralisasi fiskal adalah
kebutuhan dana yang cukup besar sehingga diperlukan pengaturan perimbangan
keuangan pusat dan daerah untuk membiayai tugas dan tanggung jawab daerah.
Sumber-sumber pembiayaan pelaksanaan desentralisasi terdiri dari pendapatan
asli daerah, dana perimbangan, pinjaman daerah, dan lain-lain penerimaan yang
sah. Sumber pendapatan asli daerah merupakan sumber keuangan daerah yang
digali dari dalam wilayah daerah yang bersangkutan yang terdiri dari hasil pajak
daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan,
dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.
Dana perimbangan merupakan sumber pembiayaan yang berasal dari bagian
Daerah dari Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan, dan penerimaan dari sumber daya alam, serta dana alokasi umum dan
dana alokasi khusus. Dana perimbangan tersebut tidak dapat dipisahkan satu
sama lain karena tujuan masing-masing jenis sumber tersebut saling mengisi dan
melengkapi.
Pembentukan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah dimaksudkan untuk mendukung pendanaan atas
penyerahan urusan kepada Pemerintah daerah yang diatur dalam UU tentang
yang mengandung makna bahwa pendanaan mengikuti fungsi pemerintah yang
menjadi kewajiban dan tanggungjawab masing-masing tingkat pemerintah.
Menurut Mardiasmo (2002 : 147), pada dasarnya pemerintah daerah dihadapkan
pada persoalan tingginya kebutuhan fiskal daerah sementara kapasitas fiskal
daerah tidak mencukupi. Hal ini menyebabkan terjadinya kesenjangan fiskal.
Transfer dari pemerintah ditingkat propinsi maupun kabupaten/kota merupakan
satu cara untuk mengoreksi kesenjangan fiskal tersebut.
Dalam menciptakan kemandirian daerah, pemerintah daerah diharapkan mampu
menggali sumber-sumber keuangan lokal, khususnya melalui PAD sehingga
ketergantungan pada transfer dari pemerintah pusat akan semakin dibatasi setiap
tahunnya. Oates (1995) memberikan alasan kenapa pemerintah daerah harus
mengurangi ketergantungan ini :
1. Transfer pusat biasanya disertai dengan persyaratan tertentu, sehingga
otomatis relatif bersifat kompromis, terlebih lagi dana transfer merupakan
sumber dominan penerimaan lokal.
2. Ketergantungan pada transfer justru mengurangi kreatifitas lokal untuk
mengambil kebijakan terkait dengan penerimaan lokal yang lebih efisien.
Tujuan dari perimbangan keuangan pusat dan daerah adalah agar daerah otonom
dapat mengurus rumah tangganya sendiri dengan sebaik-baiknya. Namun karena
tidak semua sumber pembiayaan dapat diserahkan kepada daerah otonom, maka
kepada daerah otonom diwajibkan untuk menggali sumber keuangannya sendiri
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian
dengan kebijaksanaan serta inisiatif sendiri dalam menyelenggarakan urusan
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Otonomi Daerah
Menurut Suparmoko (2001: 15), dalam rangka pengembangan otonomi daerah
telah muncul undang-undang tentang otonomi daerah yang mencakup dua macam
undang-undang yaitu UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan
UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Daerah. Dengan UU otonomi daerah itu berarti bahwa ideologi politik
dan struktur pemerintah negara akan bersifat desentralisasi dibanding dengan
struktur pemerintahan sebelumnya yang bersifat sentralisasi.
Menurut Suparmoko (2001 : 18) otonomi daerah adalah kewenangan daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Tujuan dari pengembangan
otonomi adalah :
1. Memberdayakan masyarakat
2. Menumbuhkan prakarsa dan kreativitas
3. Meningkatkan peran serta masyarakat
4. Mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Menurut Suparmoko (2001 : 20) sistem pemerintahan dengan otonomi daerah
dengan preferensi (keinginan) masing-masing masyarakat. Keuntungan yang lain
dengan adanya sistem otonomi daerah adalah bahwa pemerintah daerah lebih
tanggap terhadap kebutuhan masyarakatnya sendiri. Dengan pemerintahan yang
lebih dekat dengan masyarakatnya akan lebih sedikit kekurangan atau kesalahan
yang akan dibuat dalam mekanisme pengambilan keputusan. Selanjutnya dengan
otonomi daerah akan lebih banyak eksperimen dan inovasi dalam bidang
administrasi dan ekonomi yang dapat dilakukan.
Menurut Widjaja (2005 : 5), salah satu aspek penting otonomi daerah adalah
pemberdayaan masyarakat sehingga mereka dapat berpartisipasi dalam proses
perencanaan, pelaksanaan, penggerakan, dan pengawasan dalam pengelolaan
pemerintahan daerah dalam penggunaan sumber daya pengelolaan dan
memberikan pelayanan yang prima kepada publik.
Menurut Widjaja (2005 : 10), kita tidak boleh mengabaikan bahwa ada prasyarat
yang harus dipenuhi sebagai daerah otonom, yaitu sebagai berikut :
1. Adanya kesiapan SDM Aparatur yang berkeadilan
2. Adanya sumber dana yang pasti untuk membiayai berbagai urusan
pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan masyarakat sesuai kebutuhan
dan karakteristik daerah
3. Tersedianya fasilitas pendukung pelaksanaan pemerintahan daerah
4. Bahwa otonomi daerah yang diterapkan adalah otonomi daerah dalam
Seiring dengan prinsip otonomi daerah tersebut maka penyelenggaraan otonomi
daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat
dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam
masyarakat. Selain itu penyelenggaraan otonomi daerah juga harus menjamin
keserasian hubungan antar daerah dengan daerah lainnya, artinya mampu
membangun kerjasama antar daerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama
dan mencegah ketimpangan daerah. Selain itu bahwa pelaksanaan otonomi
daerah juga harus mampu menjamin keserasian hubungan dengan pemerintah
pusat.
B. Keuangan Daerah
Keuangan daerah adalah kemampuan pemerintah daerah untuk mengelola mulai
dari merencanakan, melaksanakan, mengawasi, mengendalikan, dan mengevaluasi
berbagai sumber keuangan sesuai dengan kewenangannya dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan yang
diwujudkan dalam APBD.
Menurut A.Yani (2002 : 229), keuangan daerah merupakan semua hak dan
kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat
dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang
berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut, dalam kerangka
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Dalam hubungannya dengan pembiayaan pemerintah di daerah, perlu diketahui
pelaksanaan dan kelangsungan kegiatan pemerintah di daerah. Sesuai dengan UU
Nomor 33 tahun 2004 Pasal 5 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan daerah, bahwa pada prinsipnya pendapatan daerah dapat
dikelompokkan menjadi:
1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) yaitu:
PAD merupakan pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan
peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. PAD bertujuan
memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mendanai pelaksanaan
otonomi daerah sesuai dengan potensi daerah sebagai perwujudan desentralisasi.
Sumber-sumber PAD berasal dari:
a. Hasil pajak daerah
b. Hasil retribusi daerah
c. Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang
dipisahkan
d. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah, yang mencakup:
- Hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan
- Jasa giro
- Pendapatan bunga
- Keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing
- Komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari
penjualan dan atau pengadaan barang dan jasa oleh daerah.
Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai
kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana perimbangan
selain dimaksudkan untuk membantu daerah dalam mendanai kewenangannya,
juga bertujuan untuk mengurangi ketimpangan sumber pendanaan pemerintah
daerah. Dana perimbangan terdiri dari:
a. Dana Bagi Hasil (DBH)
Dana Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu dalam
rangka pelaksanaan desentralisasi. Sumber Dana Bagi Hasil berasal dari:
- Pajak, terdiri atas Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan (BPHPT), dan Pajak Penghasilan (PPh)
- Bukan pajak (sumber daya alam), terdiri atas hasil kehutanan, pertambangan
umum, perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, dan
pertambangan panas bumi.
b. Dana Alokasi Umum (DAU)
DAU merupakan dana yang berasal dari pendapatan APBN yang dialokasikan
dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai
kebutuhan daerah tertentu dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DAU
suatu daerah dialokasikan atas dasar celah fiskal dan alokasi dasar. Alokasi
dasar ditentukan berdasarkan jumlah gaji pegawai negeri sipil daerah. Celah
fiskal adalah kebutuhan fiskal dikurangi kapasitas fiskal. Kebutuhan fiskal
merupakan kebutuhan pendanaan daerah dalam melaksanakan fungsi layanan
yang berasal dari PAD dan DBH diluar dana reboisasi. DAU atas dasar celah
fiskal dihitung berdasarkan perkalian bobot daerah propinsi (kabupaten/kota)
dengan jumlah DAU seluruh daerah propinsi (kabupaten/kota). Bobot daerah
propinsi (kabupaten/kota) merupakan perbandingan antara celah fiskal daerah
propinsi (kabupaten/kota) yang bersangkutan dan total celah fiskal seluruh
daerah propinsi (kabupaten/kota). Daerah yang memiliki celah fiskal sama
dengan nol menerima DAU sebesar alokasi dasar. Daerah yang memiliki nilai
celah fiskal negatif dan nilai fiskal tersebut lebih kecil dari alokasi dasar akan
menerima DAU sebesar alokasi dasar dikurangi hasil celah fiskal. Daerah
yang memiliki nilai celah fiskal negatif dan nilai celah fiskal tersebut sama
atau lebih besar dari alokasi dasar maka tidak berhak menerima DAU.
c. Dana Alokasi Khusus (DAK)
DAK merupakan dana yang bersumber dari pendapatan APBN dan
dialokasikan kepada daerah-daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu
mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan
prioritas nasional, khususnya untuk membiayai kebutuhan sarana dan
prasarana pelayanan dasar masyarakat yang belum mencapai standar tertentu
atau untuk mendorong percepatan pembangunan daerah.
d. Pinjaman Daerah
Pinjaman daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan daerah
menerima dari pihak lain sejumlah uang atau manfaat bernilai uang sehingga
daerah tersebut dibebani untuk membayar kembali, tidak semua kredit jangka
memperoleh sumber pembiayaan dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan daerah.
e. Lain-lain pendapatan daerah yang sah
Lain-lain pendapatan daerah yang sah terdiri atas pendapatan hibah dan
pendapatan Dana darurat. Lain-lain pendapatan yang sah juga memberi
peluang kepada daerah untuk memperoleh pendapatan selain ketiga jenis
pendapatan di atas.
C. Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah
Menurut UU Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah, perimbangan keuangan antara pemerintah pusat
dan daerah adalah suatu sistem yang mencakup pembagian keuangan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah secara proporsional, demokratis, adil,
transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah, sejalan
dengan kewajiban, pembagian wewenang, dan tanggungjawab serta tata cara
penyelenggaraan kewenangan tersebut.
Menurut Ujang Bahar (2009 : 90) yaitu, yang dimaksud dengan hubungan
keuangan disini adalah saling keterkaitan, saling ketergantungan, dan saling
menentukan dalam hal pengelolaan keuangan antara pemerintah dan pemerintah
daerah. UU No.33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah
pusat dan daerah mempergunakan terminologi “perimbangan keuangan” untuk
Sementara menurut Ahmad Yani (2002 : 12) yaitu, hubungan keuangan antara
pusat dan daerah mencakup pengertian yang sangat luas dan dapat diwujudkan
dalam satu bentuk keadilan horizontal maupun vertikal. Salah satu dari implikasi
pelaksanaan otonomi adalah terdapatnya kebutuhan dana yang tidak sedikit untuk
membiayai masing-masing daerah. Karena adanya kebutuhan dana yang besar itu
timbul apa yang disebut dengan perimbangan keuangan.
Kenneth Davey dalam Ujang Bahar (2009 : 91) mengatakan, hubungan keuangan
pusat daerah menyangkut pembagian. Hubungan ini menyangkut pembagian
tanggung jawab untuk melaksanakan kegiatan tertentu antara tingkat-tingkat
pemerintah dan pembagian sumber penerimaan untuk menutup pengeluaran akibat
kegiatan-kegiatan itu. Hubungan keuangan pusat daerah mencerminkan tujuan
politik yang mendasar sekali karena perannya dalam menentukan bobot kekuasaan
yang dijalankan pemerintah daerah dalam keseluruhan sistem pemerintahan.
Menurut World Bank Institute, karakteristik sistem transfer yang baik yaitu:
mempertahankan otonomi anggaran daerah; mencukupi penerimaan daerah;
dijadikan insentif yang sesuai untuk daerah; mencapai pemerataan dan keadilan;
stabilisasi; transparansi dan sederhana.
Menurut M. Suparmoko (2001 : 38) tujuan dari alokasi keuangan tersebut adalah
agar daerah otonom dapat mengurus rumah tangganya sendiri dengan
sebaik-baiknya. Namun karena tidak semua sumber pembiayaan dapat diserahkan
kepada daerah otonom, maka kepada pemerintah daerah diwajibkan untuk
pemerintah daerah otonom dapat merencanakan APBD-nya sendiri sesuai dengan
kebijaksanaan serta inisiatif sendiri dalam menyelenggarakan urusan rumah
tangganya. Setiap ada penyerahan urusan pemerintah oleh pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah otonom baik pada saat pembentukan daerah otonom itu
maupun pada saat ada penambahan urusan harus disertai dengan penyerahan
sumber pembiayaannya.
Menurut UU Nomor 33 Tahun 2004, Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah merupakan subsistem keuangan negara sebagai
konsekuensi pembagian tugas antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Pemberian sumber keuangan negara kepada pemerintah daerah dalam rangka
pelaksanaan Desentralisasi didasarkan atas penyerahan tugas oleh Pemerintah
Pusat kepada Pemerintah Daerah dengan memperhatikan stabilitas dan
kesinambungan fiskal. Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah merupakan sistem yang menyeluruh mengenai pendanaan
dalam pelaksanaan Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas pembantuan.
Menurut Suparmoko (2002 : 47) mengenai alokasi dana dalam perimbangan
keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, bahwa terdapat
berbagai kemungkinan dalam kaitannya dengan keuangan daerah di
masing-masing pemerintah daerah. Ada daerah yang memiliki sumberdaya alam yang
cukup dan ada daerah yang mempunyai potensi ekonomi yang cukup, tetapi ada
pula daerah yang memiliki sumberdaya alam yang cukup tetapi potensi
ekonominya lemah, ada pula daerah yang memiliki potensi ekonomi baik tetapi
memiliki kedua-duanya. Oleh karena itu kebijakan otonomi daerah yang akan
dilaksanakan mulai tahun anggaran 2000/2001 akan mempunyai konsekuensi
terhadap keuangan daerah yang berbeda-beda pula.
Dengan diberlakukannya UU Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah telah memberikan kerangka bagi
terlaksananya desentralisasi fiskal. Implementasi desentralisasi fiskal
memberikan kewenangan kabupaten/kota untuk menggali dan mengolah sumber
keuangannya sendiri, sehingga berdampak pada munculnya berbagai kebijakan
yang mengarah upaya peningkatan penerimaan daerah. Maka diperlukan analisis
pembiayaan desentralisasi sebagai bentuk hubungan keuangan pusat dan daerah.
Menurut Yuswar Basri (2003 : 85), Tujuan hubungan keuangan antara pemerintah
pusat dan daerah adalah:
1. Adanya pembagian wewenang yang rasional antara tingkat pemerintah
mengenai peningkatan sumber-sumber pendapatan dan penggunaannya.
2. Pemerintah daerah mendapatkan bagian yang cukup dari sumber-sumber
dana sehingga dapat menjalankan tugas dan fungsi lebih baik (penyediaan
dana untuk menutupi kebutuhan rutin dan pembangunan).
3. Pembagian yang adil antara pembelanjaan daerah yang satu dengan yang
lain.
4. Pemerintahan daerah mengusahakan pendapatan (pajak dan retribusi)
sesuai dengan pembagian yang adil terhadap keseluruhan beban
Dalam Kesit B.P (2004: 102) yaitu, beberapa alasan ekonomi perlunya dilakukan
perimbangan/transfer keuangan antara pusat dan daerah :
1. Untuk mengatasi persoalan ketimpangan fiskal vertikal
2. Untuk mengatasi persoalan ketimpangan fiskal horinzontal
3. Adanya kewajiban untuk menjaga tercapainya standar pelayanan minimum
di setiap daerah
4. Untuk mengatasi persoalan yang timbul dari melimpahnya efek pelayanan
publik.
Ciri utama yang menunjukkan suatu daerah otonom mampu berotonomi terletak
pada kemampuan keuangan daerah. Artinya daerah otonom harus mampu
memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber keuangannya
sendiri, mengolah dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai
untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerahnya. Ketergantungan
kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin sehingga Pendapatan Asli Daerah
(PAD) harus menjadi bagian sumber keuangan terbesar, yang didukung oleh
kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah sebagai prasyarat mendasar
dalam sistem pemerintahan negara.
Bahwa hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam
dan sumber daya lainnya antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, dan
antar Pemerintah Daerah perlu diatur secara adil dan selaras. Bahwa untuk
mendukung penyelenggaraan otonomi daerah melalui penyediaan sumber-sumber
pendanaan berdasarkan kewenangan Pemerintah Pusat, Desentralisasi,
pemerintah pusat dan pemerintah daerah berupa sistem keuangan yang diatur
berdasarkan pembagian kewenangan, tugas, dan tanggung jawab yang jelas
antarsusunan pemerintah.
Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
merupakan bagian pengaturan yang tidak terpisahkan dari Sistem Keuangan
Negara, dan dimaksudkan untuk mengatur sistem pendanaan atas kewenangan
pemerintahan yang diserahkan, dilimpahkan, dan ditugasbantukan kepada daerah.
Perimbangan keuangan dilaksanakan sejalan dengan pembagian kewenangan
antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Dengan demikian, pengaturan
perimbangan keuangan tidak hanya mencakup aspek pendapatan daerah tetapi
juga mengatur aspek pengelolaan dan pertanggungjawabannya.
Dalam UU Nomor 33 Tahun 2004, ditetapkan dengan jelas mengenai
sumber-sumber pendapatan pemerintah daerah dan tujuannya. PAD bertujuan
memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mendanai pelaksanaan
otonomi daerah sesuai dengan potensi daerah sebagai perwujudan desentralisasi.
Dana perimbangan bertujuan mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah
dan pemerintah daerah dan antar pemerintah daerah. Pinjaman daerah bertujuan
memperoleh sumber pembiayaan dalam rangka penyelenggaraan urusan
pemerintah daerah. Lain-lain pendapatan bertujuan memberi peluang kepada
daerah untuk memperoleh pendapatan selain pendapatan PAD, dana perimbangan,
dan pinjaman daerah.
Menurut Ujang Bahar (2009 : 99-104), secara teoritik pendekatan yang dapat
digunakan untuk merumuskan hubungan antara keuangan pusat dan daerah dapat
dibagi sebagai berikut :
1. Pendekatan permodalan (Capitalization Approach)
2. Pendekatan pendapatan (Income Approach)
3. Pendekatan pengeluaran (Expenditures Approach)
4. Pendekatan menyeluruh (Conprehenshive Approach)
1. Pendekatan permodalan (Capitalization Approach)
Dalam pendekatan permodalan ini kepada pemerintah daerah diberi modal
permulaan yang dapat diinvestasikan, kemudian dikembangkan dan kemudian
menghasilkan pendapatan kembali untuk menutup pengeluaran. Modal yang
diberikan pusat dapat berbentuk hibah (grant) sehingga tidak ada kewajiban untuk
membayar kembali.
Pendekatan permodalan tentunya memiliki tujuan tertentu yang telah ditetapkan
sebelumnya. Dengan tujuan tersebut diharapkan daerah dapat mandiri sambil
menyelaraskan dan menyerasikan hubungan antara pusat dan daerah. Dalam
mengelola investasi yang diperoleh dari pemerintah pusat harus berorientasi pada
hasil yang diperoleh guna memperbesar dan mengembangkan modal dasar yang
diterima. Namun, dalam praktik kenyataannya tidak selalu demikian. Karena
sekalipun daerah otonom, tetapi tetap merupakan satu kesatuan atau sub ordinasi
dari pusat, sehingga sering terjadi intervensi pusat atau daerah yang lebih tinggi
Dari sudut pandang keuangan pendekatan ini mempunyai beberapa kelemahan,
diantaranya; Pertama, sebagian besar rencana disusun dengan suatu optimisme
akan mendapatkan hasil yang optimal, apalagi dengan modal yang diberikan oleh
pusat. Kedua, sebagai dasar kegiatan, modal diharapkan modal memperoleh hasil
dan keuntungan yang tepat. Hal ini dilakukan dengan menutup biaya operasional
dengan pinjaman. Ketiga, mencukupi kebutuhan sendiri, dan seluruh biaya
operasional dari perputaran modal akan terencana jika ada intervensi keputusan
yang diambil pihak luar. Meskipun terdapat kelemahan-kelemahan pendekatan
ini juga mempunyai nilai positif, karena pendekatan permodalan benar-banar atas
dasar kemampuan sendiri, tanpa ada pungutan kepada wajib pajak.
2. Pendekatan pendapatan (Income Approach)
Dalam pendekatan pendapatan kepada daerah diberikan wewenang untuk
mengelola sejumlah urusan yang dijadikan sumber pendapatan daerah.
Sumber-sumber potensial diserahkan kepada daerah, oleh karena itu besar kecilnya
pendapatan daerah sangat tergantung kepada sumber pendapatan yang diberikan
itu. Pendekatan ini diharapkan dapat meningkatkan kompetensi dan daya saing
daerah untuk meningkatkan pembangunan di daerah. Daya saing itu sebenarnya
sangat dipengaruhi oleh SDA yang dimiliki daerah. Daerah yang kaya SDA tentu
akan memperoleh penghasilan yang besar.
Pendekatan pendapatan ini memperoleh dua keuntungan yang besar. Pertama,
pendekatan ini sangat baik bagi otonomi daerah. Karena alokasi pendapatan tidak
diarahkan sesuai dengan pola-pola pengeluaran maka daerah bebas menentukan
memungkinkan pemerintah daerah untuk mengoptimalkan pemungutan
pendapatannya, sehingga dapat memberikan sumbangan sepenuhnya terhadap
perpajakan nasional. Namun dalam praktiknya pendekatan ini juga memiliki
beberapa kelemahan. Karena sumber-sumber pendapatan pusat biasanya jauh
lebih besar dari pada sumber pendaptan daerah. Akibatnya daerah dihadapkan
pada salah satu dari dua pilihan. Pertama, tanggung jawab fungsional yang luas
disertai ketergantungan yang besar terhadap pemberian pusat. Atau yang kedua,
lingkup tugas yang sempit disertai usaha tingkat pemenuhan kebutuhan sendiri
yang tinggi. Salah satunya tekanan bagi pemerintah daerah untuk membiayai
berbagai kewajiban dengan PAD. Hal ini dapat memaksa daerah untuk
memungut pajak dan retribusi yang tidak sesuai dengan rasa keadilan di
masyarakat.
3. Pendekatan pengeluaran (Expenditure Approach)
Dengan pendekatan ini pusat memberikan sejumlah dana pinjaman, bantuan atau
bagi hasil kepada daerah untuk menutup pengeluarannya. Dengan demikian
daerah memiliki sejumlah dana untuk membiayai kegiatan sesuai dengan target
nasional. Pendekatan ini memungkinkan terciptanya suatu mekanisme yang
menjamin uang cukup tersedia bagi pemerintah daerah, baik yang berasal dari
pusat atau daerah itu sendiri untuk memberikan pelayanan masyarakat sesuai
dengan target nasional.
Pendekatan ini mendorong pusat menerima akibat keputusan yang diambilnya
akibat meningkatkan biaya pengeluaran (misalnya melalui peningkatan upah),
pendekatan pengeluaran ini ada dua pendekatan yang dipakai untuk menentukan
alokasi dasar kebutuhan pengeluaran daerah oleh pusat. Pertama alokasi dapat
didasarkan atas perkiraan yang diajukan oleh masing-masing daerah penerima
yang tunduk pada perubahan tertentu sebagaimana juga pusat berusaha
membatasinya. Kedua, alokasi kepada masing-masing pemerintahan daerah
didasarkan pada kriteria objektif, mengukur kebutuhan mereka yang tidak ada
kaitanya dengan APBD.
Pendekatan pengeluaran membatasi kebebasan daerah untuk menyesuaikan
kegiatan dengan keinginanya. Penggunaan bantuan pelengkap menimbulkan
kreatifitas daerah. Namun, penggunaan bantuan tersebut dapat menyebabkan
prioritas yang telah ditentukan bergeser dan semakin meningkatkan perbedaan
antar daerah, menyebabkan daerah kaya semakin diuntungkan. Pendekatan
pengeluaran memberikan kebebasan kepada daerah dalam hal mengelola
anggarannya baik sumber dana maupun pengendaliannya.
4. Pendekatan konprehensif (Conprehensive Approach)
Pendekatan ini berusaha menggabungkan sasaran pengeluaran dengan sumber
dananya. Sumber pendapatan diberikan kepada daerah, dan sisi lain daerah diberi
tanggung jawab dengan mempertimbangkan tingkat kemampuan dan biaya yang
ada. Keuntungan pendekatan ini adalah sebagai berikut :
a. Daerah tidak akan diberikan tanggung jawab yang besar tanpa disertai
pemberian sumber dana nasional yang banyak
b. Memungkinkan adanya proses dan perhitungan untuk mengetahui
c. Dapat membantu menentukan biaya yang sesungguhnya diperlukan untuk
menyediakan pelayanan dan penentuan biaya program-program
pembangunan daerah pada tingkat tertentu sesuai target nasional, serta
menilai kemampuan PAD untuk menutup semua pengeluaran itu
d. Meletakkan tanggung jawab yang jelas pada pusat agar memenuhi
ketersediaan dana bagi daerah, baik yang berasal dari pajak, retribusi
maupun dari bantuan dan pinjaman
e. Mendorong pusat untuk memperhatikan kapasitas peningkatan pendapatan
daerah dan menghindarkan hal yang belum pasti.
Pada pendekatan konprehensif alokasi dana dari pemerintah pusat digunakan
untuk menyeimbangkan antara PAD dengan kebutuhan pengeluarannya. Ini
metode yang bagus, karena kapasitas pendapatan bukan didasarkan atas realisasi
penerimaan daerah atau perkiraannya melainkan pada penilaian objektif pajak
daerah. Oleh karena itu, pemberian pusat hendaknya disertai suatu pengharapan
agar daerah dapat mencapai tingkat standar tertentu dalam menggali potensi PAD.
Pada hakikatnya pendekatan konprehensive bertujuan menghilangkan perbedaan
kemampuan perpajakan antar daerah.
Masing-masing dari keempat pendekatan tersebut diatas mempunyai keunggulan
dan kelemahan. Namun, yang terbaik tentu pendekatan konprehensif. Karena
keberhasilan pendekatan ini memerlukan tingkat keahlian dan kepekaan tertentu,
terutama dari pejabat-pejabat ditingkat pusat. Antara lain keahlian untuk
pendapatan darah, menentukan jumlah sumber pendapatan yang belum digunakan
dan sebagainya.
Dalam Ujang Bahar (2009 : 103), Istilah lain untuk pendekatan konprehensif
adalah pendekatan defisit, karena pendekatan ini memuat tiga hal; “pertama,
sumber penerimaan di berikan kepada pemerintah daerah; kedua, pelimpahan
tugas dan tanggung jawab kepada daerah disertai dengan pembiayaannya; ketiga,
pemberian bantuan dilakukan untuk menutup selisih antara penerimaan dan
pengeluaran pemerintah daerah”.
Pendekatan konprehensif ini dipakai dalam hubungan keuangan antara pemerintah
dan pemerintah daerah di Indonesia saat ini. Argumentasinya dapat dikemukakan,
bahwa hubungan keuangan antara pusat dan daerah di Indonesia sesuai dengan
penjelasan UU No 33 Tahun 2004 diawali dari dua konsep. Pertama,
penyelenggaraan fungsi pemerintah daerah akan terlaksana secara optimal apabila
penyelenggaraan urusan pemerintahan diikuti dengan pemberian sumber-sumber
penerimaan yang cukup kepada daerah. Kedua, daerah diberikan hak untuk
mendapatkan sumber keuangan yang antara lain berupa kepastian tersedianya
pendanaan dari pemerintah sesuai dengan urusan pemerintahan yang diserahkan.
Menurut Ujang Bahar (2009: 114), sistem pengelolaan keuangan negara
merupakan sub sistem penyelenggaraan pemerintahan. Maka hubungan keuangan
pusat dan daerah mencakup pengertian yang sangat luas dan dapat diwujudkan
dalam suatu bentuk keadilan horizontal maupun keadilan vertikal. Hubungan
keuangan pusat dan daerah juga bertujuan mewujudkan tata penyelenggaraan
Salah satu implikasi langsung dari adanya fungsi yang diserahkan kepada daerah
sesuai UU otonomi daerah adalah adanya kebutuhan dana yang cukup besar,
sehingga timbullah perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Dalam Ujang Bahar (2009 : 115) yaitu, sebenarnya tidak ada daerah yang
benar-benar mandiri dalam arti bisa melaksanakan tugas dan wewenangnya tanpa ada
bantuan dan campur tangan dari pemerintah pusat. Terdapat
pembatasan-pembatasan bagi daerah dalam menjalankan kemandiriannya, dalam menjalankan
hak dan kewajibannya. Hal ini secara tegas diatur dalam UU. Hak daerah hanya
ada delapan yaitu:
a. Mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya
b. Memilih pimpinan daerah
c. Mengelola aparatur daerah
d. Mengelola kekayaan daerah
e. Memungut pajak daerah dan retribusi daerah
f. Mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan SDA dan sumber daya lainnya
yang berada di daerah
g. Mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah
h. Mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
E. Jenis-Jenis Perimbangan Keuangan Pusat Ke Daerah
Secara umum terdapat dua jenis perimbangan/transfer pemerintah pusat ke daerah,
(uncontional grants). Transfer yang bersyarat merupakan transfer yang diberikan
oleh pemerintah pusat ke pemerintah daerah namun diatur pengelolaannya oleh
pemerintah pusat. Sedangkan transfer yang tidak bersyarat merupakan transfer
yang diberikan oleh pemerintah pusat ke pemerintah daerah dan pengelolaanya
diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah daerah dengan adanya pengawasan
dari pemerintah pusat. Transfer tidak bersyarat ini ditujukan untuk pemerataan
pendapatan antar daerah.
Transfer yang bersyarat dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
a. Matching Grants
Matching grants merupakan transfer dana yang diberikan sesuai dengan dana
yang diperlukan pemerintah daerah. Matcing grants terbagi menjadi dua
macam, yaitu matching closed-ended grants dan matching opened-ended grants.
Dalam kasus matching closes-ended grants pemerintah pusat menentukan
jumlah dana maksimum yang akan diberikan kepada pemrintah daerah
b. Nonmatching Grants
Nonmatching grants merupakan transfer dana dari pusat ke daerah yang
besarnya tetap dan dana tersebut harus digunakan untuk tujuan tertentu yang
telah disepakati bersama, misalnya untuk menyediakan barang dan jasa publik.
F. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
1. Pengertian APBD
Menurut UU Nomor 33 Tahun 2004, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintah
pelaksanaan desentralisasi, semua penerimaan dan pengeluaran dicatat dan
dikelola dalam APBD. Pencatatan dan pengelolaan tersebut termasuk dicatat dan
dikelola dalam perubahan dan perhitungan APBD.
Menurut A.Yani (2002 : 239), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
adalah suatu rencana keuangan tahunan daerah yang ditetapkan berdasarkan
Peraturan Daerah tentang APBD. Struktur APBD merupakan satu kesatuan yang
terdiri dari:
a. Pendapatan Daerah
b. Belanja Daerah
c. Pembiayaan
Sebagai satu kesatuan, dokumen APBD merupakan rangkuman seluruh jenis
pendapatan, jenis belanja, dan sumber-sumber pembiayaan.
APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang dibahas dan
disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Pendapatan Daerah adalah hak
Pemerintah Daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam
periode tahun yang bersangkutan. Belanja daerah adalah semua kewajiban daerah
yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun
anggaran yang bersangkutan.
Menurut A. Yani (2002 : 239-241), APBD adalah suatu rencana keuangan
tahunan daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.
Struktur APBD merupakan satu kesatuan yang terdiri dari :
a. Pendapatan daerah
b. Belanja daerah
c. Pembiayaan
Dari struktur APBD akan ada kemungkinan surplus atau defisit. Surplus anggaran
terjadi jika terdapat selisih lebih pendapatan daerah terhadap belanja daerah.
Sebaliknya defisit terjadi jika terdapat selisih kurang pendapatan daerah terdapat
belanja daerah, sedangkan jumlah pembiayaan sama dengan jumlah surplus/defisit
anggaran.
Pendapatan daerah adalah semua penerimaan kas daerah dalam periode tahun
anggaran tertentu yang menjadi hak daerah. Pendapatan daerah dirinci menurut :
Kelompok pendapatan, meliputi Pendapatan Asli Daerah, dana
perimbangan, dan lain-lain pendapatan yang sah.
Jenis pendapatan, misalnya pajak daerah, retribusi daerah, DAU dan DAK.
Belanja daerah adalah semua pengeluaran kas daerah dalam periode tahun
anggaran yang menjadi beban daerah. Belanja daerah dirinci menurut :
Organisasi, yaitu suatu kesatuan pengguna anggaran seperti DPRD dan
sekretaris DPRD, kepala daerah dan wakil kepala daerah, sekretaris
daerah, serta dinas daerah dan lembaga teknis darah lainnya.
Jenis Belanja, yaitu seperti belanja pegawai, belanja barang, belanja
pemeliharaan, biaya perjalanan dinas dan belanja modal/pembangunan.
Pembiayaan adalah transaksi keuangan daerah yang dimaksudkan untuk menutup
selisih antara pendapatan daerah dan belanja daerah. Sumber pembiayaan yang
merupakan penerimaan daerah antara lain sisa lebih perhitungan anggaran tahun
lalu, penerimaan pinjaman dan obligasi serta penerimaan dari penjualan aset
daerah yang dipisahkan. Sumber pembiayaan yang merupakan pengeluaran
antara lain seperti pembayaran hutang pokok. Sisa lebih perhitungan APBD tahun
lalu adalah selisih lebih realisasi pendapatan terhadap realisasi belanja daerah dan
merupakan komponen pembiayaan.
3. Penyusunan APBD
Menurut A.Yani (2002 : 244-245), APBD yang disusun dengan pendekatan
kinerja yang merupakan indikator dan atau sasaran kinerja pemerintah daerah
yang menjadi acuan laporan pertanggungjawaban tentang kinerja daerah. APBD
memuat :
Sasaran yang diharapkan menurut fungsi belanja
Standar pelayanan yang diharapkan dan perkiraan biaya satuan komponen
kegiatan yang bersangkutan. Pengembangan standar pelayanan dapat
dilaksanakan secara bertahap dan harus dilakukan secara
berkesinambungan
Bagian pendapatan APBD yang membiayai belanja administrasi umum,
Proses penyusunan APBD dimulai dengan menyiapkan rancangan APBD. Untuk
itu pemerintah daerah bersama DPRD menyusun arah dan kebijakan umum
APBD. Selanjunya berdasarkan arah dan kebijakan umum APBD tersebut
pemerintah daerah menyusun strategi dan prioritas APBD. Jika prioritas dan
strategi APBD telah disusun dan dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi
dan keuangan daerah, pemerintah daerah menyiapkan rancangan APBD.
4. Perubahan APBD
Menurut Widjaja (2005 : 264), perubahan APBD dapat dilakukan apabila :
Perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi kebijakan umum APBD
Keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran
antarunit organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja
Keadaan yang menyebabkan sisa lebih perhitungan anggaran tahun
sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan dalam tahun anggaran
berjalan.
Pemerintah daerah mengajukan rancangan perda tentang perubahan APBD
dilakukan oleh DPRD paling lambat tiga bulan sebelum tahun anggaran yang
bersangkutan berakhir.
5. Pelaksanaan APBD
Dalam pelaksanaan APBD, semua manfaat yang bernilai uang berupa komisi,
rabat, potongan, bunga atau nama lain sebagai akibat dari penjualan dan atau
pengadaan barang dan atau jasa dan dari penyimpanan dan atau penempatan uang
daerah merupakan pendapatan daerah dan dibukukan sebagai pendapatan daerah
6. Pertanggungjawaban APBD
Menurut Widjaja (2002 : 264-265) pertanggungjawaban APBD meliputi :
Kepala daerah menyampaikan rancangan perda tentang
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD berupa laporan
keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan paling
lambat enam bulan setelah tahun anggaran berakhir
Laporan keuangan tersebut sekurang-kurangnya meliputi laporan realisasi
APBD, neraca, laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan yang
dilampirkan dengan laporan keuangan BUMD
Laporan keuangan tersebut disusun dan disajikan sesuai dengan standar
akuntansi pemerintahan yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
APBD mempunyai fungsi otoritas, perencanaan, pengawasan, alokasi, dan
distribusi. Fungsi otoritas mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi dasar
untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan.
Fungsi perencanaan mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi pedoman
bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan.
Fungsi pengawasan mangandung arti bahwa anggaran daerah menjadi pedoman
untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintah daerah sesuai dengan
ketentuan yang telah ditetapkan. Fungsi alokasi mengandung arti bahwa anggaran
daerah harus diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber
daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian. Fungsi
distribusi mengandung arti bahwa kebijakan anggaran daerah harus
G. Belanja Daerah
Menurut Ujang Bahar (2009: 134-135) yaitu, sebagai salah satu fokus utama
pembangunan nasional, negara memprioritaskan APBN untuk meningkatkan
belanja daerah melalui efisiensi anggaran pusat untuk mengalihkan dana tersebut
untuk belanja modal. Penambahan alokasi ke daerah menuntutkesiapan daerah,
karena jika daerah tidak siap maka pengalihan dana tersebut tidak akan efisien dan
selanjutnya tidak akan berdampak pada pertumbuhan daerah.
Transfer yang diberikan kepada pemerintah daerah memiliki kaitan yang erat
dengan pertumbuhan ekonomi. Transfer dapat meningkatkan belanja daerah yang
kemudian akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Dalam kenyataannya
adalah bagi pemerintah pusat, DAU dijadikan sebagai instrumen horizontal
imbalance untuk pemerataan atau untuk mengisi fiscal gap. Sedangkan bagi
pemerintah daerah DAU dijadikan sebagai sarana untuk mendukung kecukupan
(sufficiency). Dengan demikian dapat diartikan pemerintah daerah akan
mengupayakan agar pemerintah pusat tetap memberikan DAU sehingga belanja
daerah tercukupi.
Hubungan antara pemerintah pusat dan daerah digambarkan sebagai layaknya
prinsipal dengan agen. Pemerintah pusat (prinsipal) akan memberikan
kewenangan kepada pemerintah daerah (agen) untuk menyelenggarakan
penyediaan barang dan jasa publik di derahnya. Permasalahan mulai timbul saat
ada asimetri informasi antara pemerintah pusat dan daerah dan berakibat
hal inilah yang justru menjadi tujuan dari bantuan tidak bersyarat, yaitu
pemerintah daerah mampu menentukan sendiri penggunaan transfer yang paling
efisien sesuai dengan kebutuhan daerahnya. (Laras Wulan Ndadari dan Priyo
Hadi Adi, Second Conference UKWMS Surabaya, 6 September 2008).
Sehubungan dengan itu pemerintah mengambil kebijakan belanja ke daerah akan
tetap diarahkan untuk:
• Meningkatkan efisiensi pelayanan publik
• Mengakomodasi aspirasi masyarakat
• Memperbaiki struktur fiskal (APBD)
• Memobilisasi sumber-sumber keuangan
• Meningkatkan akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi
• Mengurangi disparitas fiskal antar daerah
• Menjamin penyediaan pelayanan dasar sosial
• Memperbaiki kesejahteraan masyarakat
• Menstimulasi perekonomian dan investasi daerah
Pada tahun 2001-2003 belanja daerah dibedakan menjadi dua yaitu, belanja rutin
dan belanja pembangunan. Belanja rutin merupakan belanja yang digunakan
untuk mendanai penyelenggaraan pemerintah sehari-hari, seperti belanja pegawai,
belanja operasional, dan pemeliharaan serta belanja perjalanan dinas. Belanja
pemebangunan merupakan belanja yang digunakan untuk mendanai peningkatan
kualitas pelayanan publik.
Pada tahun 2004-2006 terjadi perubahan yang ditandai dengan berlakunya PP
Pengawasan Keuangan serta Tata Cara Penyusunan APBD dan PP No.58 Tahun
2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, maka belanja rutin berubah menjadi
belanja aparatur dan belanja pembangunan berubah menjadi belanja pelayanan
publik.
Belanja aparatur yaitu belanja yang manfaatnya cenderung lebih besar dinikmati
oleh aparatur, contohnya: aktivitas pengadaan mobil dinas pimpinan unit kerja,
aktivitas pelatihan sistem anggaran kinerja kepada staf biro keuangan. Sedangkan
belanja pelayanan publik, yaitu belanja yang menfaatnya cenderung lebih besar
atau secara langsung dinikmati masyar