Ibnu Khaldun & Teori Ekonomi
Ditulis oleh didinkaemTuesday, 13 March 2007
Halal Guide --
Ibnu Khaldun dalam buku karyanya “Muqaddimah”
latar belakang
belum layak
mengemukakan sebuah teori “Model Dinamika” yang mempunyai pandangan jelas bagaimana
faktor-faktor dinamika sosial, moral, ekonomi, dan politik saling berbeda namun saling
berhubungan satu dengan lainnya bagi kemajuan maupun kemunduran sebuah lingkungan
masyarakat atau pemerintahan sebuah wilayah (negara). Ibnu Khaldun telah menyumbangkan
teori produksi, teori nilai, teori pemasaran, dan teori siklus yang dipadu menjadi teori ekonomi
umum yang koheren dan disusun dalam kerangka sejarah. Dalam penentuan harga di pasar
atas sebuah produksi, faktor yang sangat berpengaruh adalah permintaan dan penawaran. Ibnu
Khaldun menekankan bahwa kenaikan penawaran atau penurunan permintaan menyebabkan
kenaikan harga, demikian pula sebaliknya penurunan penawaran atau kenaikan permintaan
akan menyebabkan penurunan harga. Penurunan harga yang sangat drastis akan merugikan
pengrajin dan pedagang serta mendorong mereka keluar dari pasar, sedangkan kenaikan harga
yang drastis akan menyusahkan konsumen. Harga “da
nm
ai” dalam kasus seperti ini sangat
diharapkan oleh kedua belah pihak, karena ia tidak saja memungkinkan para pedagang
mendapatkan tingkat pengembalian yang ditolerir oleh pasar dan juga mampu menciptakan
kegairahan pasar dengan meningktakan penjualan untuk memperoleh tingkat keuntungan dan
kemakmuran tertentu. Akan tetapi, harga yang rend
ighgehgrjewga
h dibutuhkan pula, karena
memberikan kelapangan bagi kaum miskin yang menjadi mayoritas dalam sebuah populasi
.
Dengan demikian, tingkat harga yang stabil dengan biaya hidup yang relatif rendah menjadi
pilihan bagi masyarakat dengan sudut pandang pertumbuhan dan keadilan dalam perbandingan
masa inflasi dan deflasi. Inflasi akan merusak keadilan, sedangkan deflasi mengurangi insentif
dan efisiensi. Harga rendah untuk kebutuhan pokok seharusnya tidak dicapai melalui penetapan
harga baku oleh negara karena hal itu akan merusak insentif bagi produksi. Faktor yang
menetapkan penawaran, menurut Ibnu Khaldun, adalah permintaan, tingkat keuntungan relatif,
tingkat usaha manusia, besarnya tenaga buruh termasuk ilmu pengetahuan dan keterampilan
yang dimiliki, ketenangan dan keamanan, dan kemampuan teknik serta perkembangan
masyarakat secara keseluruhan. Jika harga turun dan menyebabkan kebangkrutan modal
menjadi hilang, insentif untuk penawaran menurun, dan mendorong munculnya resesi, sehingga
pedagang dan pengrajin menderita. Pada sisi lain, faktor-faktor yang menentukan permintaan
adalah pendapatan, jumlah penduduk, kebiasaan dan adat istiadat masyarakat, serta
pembangunan dan kemakmuran masyarakat secara umum.
besar daripada apa yang dicapai oleh individu-individu secara sendirian. Dalam teori modern,
pendapat ini mirip dengan teori comparative advantage.
Negara merupakan faktor penting dalam produksi, yakni melalui pembelanjaannya yang akan
mampu meningkatkan produksi dan melalui pajaknya akan dapat melemahkan produksi.
Pemerintah akan membangun pasar terbesar untuk barang dan jasa yang merupakan sumber
utama bagi semua pembangunan. Penurunan belanja negara tidak hanya menyebabkan
kegiatan usaha menjadi sepi dan menurunnya keuntungan, tetapi juga mengakibatkan
penurunan dalam penerimaan pajak. Semakin besar belanja pemerintah, semakin baik
perekonomian karena belanja yang tinggi memungkinkan pemerintah untuk melakukan hal-hal
yang dibutuhkan bagi penduduk dan menjamin stabilitas hukum, peraturan, dan politik. Oleh
karena itu, untuk mempercepat pembangunan kota, pemerintah harus berada dekat dengan
masyarakat dan mensubsidi modal bagi mereka seperti layaknya air sungai yang membuat hijau
dan mengaliri tanah di sekitarnya, sementara di kejauhan segalanya tetap kering.
Faktor terpenting untuk prospek usaha adalah meringankan seringan mungkin beban pajak bagi
pengusaha untuk menggairahkan kegiatan bisnis dengan menjamin keuntungan yang lebih
besar (setelah pajak). Pajak dan bea cukai yang ringan akan membuat rakyat memiliki dorongan
untuk lebih aktif berusaha sehingga bisnis akan mengalami kemajuan. Pajak yang rendah akan
membawa kepuasan yang lebih besar bagi rakyat dan berdampak kepada penerimaan pajak
yang meningkat secara total dari keseluruhan penghitungan pajak.
Kemudian, dengan berlalunya waktu, kebutuhan-kebutuhan negara akan meningkat dan nilai
pajak naik untuk meningkatkan hasil. Apabila kenaikan ini berlangsung perlahan-lahan rakyat
akan terbiasa, namun pada akhirnya ada akibat kurang baik terhadap insentif sehingga aktivitas
usaha mengalami kelesuhan dan penurunan, demikian pula terhadap hasil perpajakannya.
Perekonomian yang makmur di awal suatu pemerintahan menghasilkan penerimaan pajak yang
lebih tinggi dari tarif pajak yang lebih rendah, sementara perekonomian yang mengalami depresi
akan menghasilkan penerimaan pajak yang lebih rendah dengan tarif yang lebih tinggi. Alasan
terjadinya hal tersebut adalah rakyat yang mendapatkan perlakuan tidak adil dalam
kemakmuran mereka akan mengurangi keinginan mereka untuk menghasilkan dan memperoleh
kemakmuran.
Apabila keinginan itu hilang, maka mereka akan berhenti bekerja karena semakin besar
pembebanan maka akan semakin besar efek terhadap usaha mereka dalam berproduksi.
Akhirnya, jika rakyat enggan menghasilkan dan bekerja, maka pasar akan mati dan kondisi
rakyat akan semakin memburuk serta penerimaan pajak juga akan menurun. Oleh karena itu,
Ibnu Khaldun menganjurkan keadilan dalam perpajakan. Pajak yang adil sangat berpengaruh
terhadap kemakmuran suatu negara. Kemakmuran cenderung bersirkulasi antara rakyat dan
pemerintah, dari pemerintah ke rakyat, dan dari rakyat ke pemerintah, sehingga pemerintah
tidak dapat menjauhkan belanja negara dari rakyat karena akan mengakibatkan rakyat menjauh
dari pemerintah.
(2001) kemunduran umat Islam dimulai sejak abad ke 12 ditandai dengan kemerosoatan
moralitas, hilangnya dinamika dalam Islam setelah munculnya dogmatisme dan kekakuan
berfikir, kemunduran dalam aktivitas intelektual dan keilmuan, pemberontakan-pemberontakan
lokal dan perpecahan di antara umat, peperangan dan serangan dari pihak luar, terciptanya
ketidakseimbangan keuangan dan kehilangan rasa aman terhadap kehidupan dan kekayaan,
dan faktor-faktor lainnya yang mencapai puncaknya pada abad ke 16 pada masa Dinasti
Mamluk Ciscassiyah yang penuh korupsi sehingga mempercepat proses kemunduran tersebut.
Kemajuan dan kemunduran yang dialami oleh umat Islam itu, bukanlah seperti sebuah garis
lurus, tetapi naik-turun dan berlangsung beberapa abad lamanya. Berbagai upaya dan usaha
telah dilakukan guna menghentikan kemunduran itu, namun karena sebab utama tetap ada,
maka kemerosotan terus berlangsung hingga saat ini. Faktor utama untuk menghindari
kemunduran tersebut adalah dengan kembali kepada ajaran Islam yang sesungguhnya yang
berorientasi kepada falah oriented, yakni menuju kemakmuran di dunia dan kebahagiaan di
akhirat.
Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)
Pemikiran Ibnu Khaldun (1)
Ditulis oleh AdministratorThursday, 31 August 2006
Dinamika Sosioekonomi dan Politik dalam Pemikiran Ibnu Khaldun (bagian 1)
Artikel berikut mengeksplorasi teori-teori dan gagasan Ibnu Khaldun tentang sebab-sebab kejayaan dan kemunduran peradaban. Dengan penekanan karakter metodologi Ibnu Khaldun pada dinamika dan meliputi interdisiplin, pemikiran Ibnu Khaldun menunjukkan bagaimana faktor-faktor moral, sosial, ekonomi, politik, geografis dan budaya mengambil tempat yang tepat dalam skema Ibnu Khaldun. Tidak seperti kajian lain tentang Ibnu Khaldun, artikel ini menyajikan gagasan Ibnu Khaldun dalam
terminologi kontemporer yang sekaligus membuat analisa dan rumusannya relevan dalam konteks kekinian. Artikel ini juga mengkaji peran sentral kesejahteraan, keadilan dan pembangunan dengan kepiawaian seorang negarawan, dan menyediakan model yang tepat untuk welfare-state Islam saat ini dimana tujuannya meliputi material dan moral well-being bagi semua warganya.
Ibnu Khaldun hidup pada masa antara 1332-1405 M ketika peradaban Islam dalam proses penurunan dan disintegrasi. Khalifah Abbasiyah di ambang keruntuhan setelah penjarahan, pembakaran, dan
ekonomi yang parah]
Sebagai seorang muslim yang sadar, Ibnu Khaldun tekun mengamati bagaimana caranya membalik atau mereversi gelombang penurunan peradaban Islam. Sebagai ilmuwan sosial, Ibnu Khaldun sangat menyadari bahwa reversi tersebut tidak akan dapat tegambarkan tanpa menggambarkan pelajaran-pelajaran dari sejarah terlebih dahulu untuk menentukan faktor-faktor yang membawa sebuah peradaban besar melemah dan menurun drastis.
Muqaddimah, yang diselesaikan pada November 1377 adalah buah karya dari cita-cita besarnya tersebut. Muqaddimah secara harfiah bararti 'pembukaan' atau 'introduksi' dan merupakan jilid pembuka dari tujuh jilid tulisan sejarah, yang secara bebas diterjemahkan ke dalam buku "The Book of Lessons and the Record of Cause and Effect in the History of Arabs, Persians and Berbers and Their Powerful Contemporaries." Muqaddimah mencoba untuk menjelaskan prinsip-prinsip yang menentukan kebangkitan dan keruntuhan dinasti yang berkuasa (daulah) dan peradaban ('umran). Tetapi bukan hanya itu saja yang dibahas, Muqaddimah juga berisi diskusi ekonomi, sosiologi dan ilmu politik, yang merupakan kontribusi orisinil Ibnu Khaldun untuk cabang-cabang ilmu tersebut. Ibnu Khaldun juga layak mendapatkan penghargaan atas formula dan ekspresinya yang lebih jelas dan elegan dari hasil karya pendahulunya atau hasil karya ilmuwan yang sejaman dengannya. Wawasan Ibnu Khaldun terhadap beberapa prinsip-prinsip ekonomi sangat dalam dan jauh kedepan sehingga sejumlah teori yang dikemukakannya hampir enam abad yang lalu sampai sekarang tidak diragukan merupakan perintis dari beberapa formula teori modern.
Model Dinamika Interdisiplin
Model Ibnu Khaldun dapat disarikan --walaupun tidak secara keseluruhan-- dalam nasihat --berikut-- yang diberikannya kepada kekhalifahan:
Kekuatan penguasa (Al-Mulk) tidak akan terwujud kecuali dengan implementasi Syari'ah Syari'ah tidak dapat terimplementasi kecuali dengan Penguasa (Al-Mulk)
Penguasa tidak dapat memperoleh kekuatan kecuali melalui Rakyat (ar-rijal) Rakyat tidak dapat dipelihara kecuali dengan Kekayaan (al-mal)
Kekayaan tidak dapat diperoleh kecuali melalui Pembangunan (al-imarah) Pembangunan tidak dapat dicapai kecuali melalui Keadilan (al-'adl) Keadilan adalah kriteria (al-mizan) Alloh menilai hamba-Nya dan
Penguasa bertanggungjawab mengaktualisasikan Keadilan.
mungkin tidak akan menyebar ke faktor yang lain sehingga sektor yang rusak akan tereformasi sejalan dengan waktu dengan kata lain kemunduran peradaban bisa lebih diperlambat. Tetapi, jika sektor yang lain bereaksi searah dengan mekanisme pemicu, maka kerusakan mendapat momentumnya melalui interelasi reaksi berantai sehingga sulit mendefinisikan dan membedakan penyebabnya. Lingkaran sebab akibat tersebut digambarkan sebagai Circle of Equity.
Dua link paling krusial dalam rantai sebab akibat adalah development (g) dan justice (j). Development sangat esensial karena kecenderungan alamiah dalam masyarakat adalah selalu berkembang, tidak diam dan stagnan, perkembangan tersebut dapat berupa kemajuan atau justru kemunduran. Development tidak semata berarti pertumbuhan ekonomi (economic growth). Development meliputi segenap aspek
pembangunan manusia sehingga setiap variabel saling memperkaya dan diperkaya satu sama lain (G,S,N dan W), sehingga dapat memberikan kontribusi pada well-being yang sebenarnya atau kebahagiaan masyarakat (N), dan kontribusi tersebut tidak hanya bertujuan untuk mempertahankan peradaban semata, melainkan juga untuk kemajuannya. Development tidak akan pernah mungkin terwujud tanpa justice (j). Dua faktor tersebut berinterelasi sangat dekat dalam analisis Ibnu Khaldun, sehingga keduanya ditampilkan sejajar dan bersamaan dalam diagram Circle of Equity. Keadilan, sebagaimana pembangunan, oleh Ibnu Khaldun tidak dipahami dalam konteks yang sempit, melainkan dalam konteks yang lebih komprehensif yang meliputi keadilan untuk seluruh umat manusia. Keadilan dalam konteks komprehensif ini tidak mungkin terealisasi tanpa menciptakan masyarakat yang saling peduli melalui persaudaraan (brotherhood), dan kesetaraan sosial (social equality), jaminan keamanan hidup, keamanan properti, penghagaan terhadap sesama, kejujuran dalam pemenuhan kewajiban-kewajiban sosial, ekonomi dan politik, penghargaan atau hukuman yang sesuai dengan perbuatan, dan pencegahan dari kekejaman, dari ketidakadilan pada setiap umat manusia dalam segala bentuknya.
Variabel lain, Shari'ah(S) merujuk pada nilai-nilai(values) dan institusi atau peraturan untuk membuat masyarakat(N) memenuhi kewajiban-kewajibannya dan mencegah kerusakan sosial untuk memastikan penegakan keadilan(j), pembangunan(g) dan tercapainya well-being untuk semua. Peraturan tersebut dapat formal atau informal, tertulis maupun tidak tertulis. Setiap masyarakat pasti memiliki serangkaian peraturan berdasarkan sistem nilai mereka sendiri. Dasar utama peraturan ini dalam masyarakat muslim adalah Shari'ah(S). Syari'ah tidak mungkin dapat memainkan peranan yang berarti kecuali dengan implementasi yang adil dan imparsial. Menjadi kewajiban dari masyarakat (N) dan pemerintah (G) untuk memastikan pelaksanaan yang adil dan imparsial. Kekayaan (W) menyediakan sumber daya yang diperlukan untuk memastikan keadilan dan pembangunan, mengefektifkan performansi peranan pemerintah (G) dan tercapainya well-being untuk masyarakat (N).
Relasi fungsional analisis Ibnu Khaldun dapat dinyatakan sebagai: G = f(S,N,W,g dan j)
Persamaan diatas belum dapat menggambarkan model dinamis Ibnu Khaldun secara utuh, tetapi masih bisa merefleksikan karakter multidisiplin dengan memperhitungkan semua variabel mayor yang disampaikan Ibnu Khaldun. Dalam persamaan ini, G ditampilkan sebagai variabel terikat karena salah satu perhatian utama Ibnu Khaldun adalah untuk menerangkan bagaimana kemajuan dan kemunduran dari dinasti-dinasti (negara) atau suatu peradaban. Menurutnya, kekuatan atau kelemahan dinasti bergantung pada kekuatan atau kelemahan otoritas politik yang mewujudkannya. Otoritas politik (G) harus --untuk kepentingan kelangsungan hidup jangka panjang-- menjamin well-being bagi masyarakat (N) dengan menyediakan lingkungan yang sesuai untuk aktualisasi pembangunan (g) dan keadilan (j) melalui implementasi Syari'ah (S), dan pembangunan serta distribusi kekayaan (W) yang setara.
Contohnya, disintegrasi keluarga, yang merupakan bagian integral dari N dalam model diatas. Disintegrasi keluarga membawa pendidikan yang tidak tepat kepada anak-anak selanjutnya membawa penurunan pada kualitas sumber daya manusia (N) yang merupakan dasar sebuah peradaban. Kemunduran peradaban juga bisa disebabkan kelemahan ekonomi (W) hasil dari kesalahan sistem ekonomi (S) seperti contoh kasus ekonomi totalitarian, atau institusi dan value yang buruk (S) seperti yang dihadapi banyak negara berkembang saat ini.(bersambung)
Disadur dari Umer Chapra oleh Didin Kristinawati
Pemikiran Ibnu Khaldun (1)
Ditulis oleh Administrator
Thursday, 31 August 2006
Dinamika Sosioekonomi dan Politik dalam Pemikiran Ibnu Khaldun (bagian 1)
Artikel berikut mengeksplorasi teori-teori dan gagasan Ibnu Khaldun tentang sebab-sebab kejayaan dan kemunduran peradaban. Dengan penekanan karakter metodologi Ibnu Khaldun pada dinamika dan meliputi interdisiplin, pemikiran Ibnu Khaldun menunjukkan bagaimana faktor-faktor moral, sosial, ekonomi, politik, geografis dan budaya mengambil tempat yang tepat dalam skema Ibnu Khaldun. Tidak seperti kajian lain tentang Ibnu Khaldun, artikel ini menyajikan gagasan Ibnu Khaldun dalam
terminologi kontemporer yang sekaligus membuat analisa dan rumusannya relevan dalam konteks kekinian. Artikel ini juga mengkaji peran sentral kesejahteraan, keadilan dan pembangunan dengan kepiawaian seorang negarawan, dan menyediakan model yang tepat untuk welfare-state Islam saat ini dimana tujuannya meliputi material dan moral well-being bagi semua warganya.
Ibnu Khaldun hidup pada masa antara 1332-1405 M ketika peradaban Islam dalam proses penurunan dan disintegrasi. Khalifah Abbasiyah di ambang keruntuhan setelah penjarahan, pembakaran, dan
penghancuran Baghdad dan wilayah disekitarnya oleh bangsa Mongol pada tahun 1258, sekitar tujuh puluh lima tahun sebelum kelahiran Ibnu Khaldun. Dinasi Mamluk (1250-1517), selama periode kristalisasi gagasan Ibnu Khaldun, hanya berkontribusi pada percepatan penurunan peradaban akibat korupsi dan inefisiensi yang mendera kekhalifahan, kecuali pada masa awal-awal periode pertama yang singkat dari sejarah kekhalifahan Mamluk. [Periode pertama Bahri/Turki Mamluk (1250-1382) yang banyak mendapat pujian dalam tarikh, periode kedua adalah Burji Mamluk (1382-1517), yang dikelilingi serangkaian krisis ekonomi yang parah]
Muqaddimah, yang diselesaikan pada November 1377 adalah buah karya dari cita-cita besarnya tersebut. Muqaddimah secara harfiah bararti 'pembukaan' atau 'introduksi' dan merupakan jilid pembuka dari tujuh jilid tulisan sejarah, yang secara bebas diterjemahkan ke dalam buku "The Book of Lessons and the Record of Cause and Effect in the History of Arabs, Persians and Berbers and Their Powerful Contemporaries." Muqaddimah mencoba untuk menjelaskan prinsip-prinsip yang menentukan kebangkitan dan keruntuhan dinasti yang berkuasa (daulah) dan peradaban ('umran). Tetapi bukan hanya itu saja yang dibahas, Muqaddimah juga berisi diskusi ekonomi, sosiologi dan ilmu politik, yang merupakan kontribusi orisinil Ibnu Khaldun untuk cabang-cabang ilmu tersebut. Ibnu Khaldun juga layak mendapatkan penghargaan atas formula dan ekspresinya yang lebih jelas dan elegan dari hasil karya pendahulunya atau hasil karya ilmuwan yang sejaman dengannya. Wawasan Ibnu Khaldun terhadap beberapa prinsip-prinsip ekonomi sangat dalam dan jauh kedepan sehingga sejumlah teori yang dikemukakannya hampir enam abad yang lalu sampai sekarang tidak diragukan merupakan perintis dari beberapa formula teori modern.
Model Dinamika Interdisiplin
Model Ibnu Khaldun dapat disarikan --walaupun tidak secara keseluruhan-- dalam nasihat --berikut-- yang diberikannya kepada kekhalifahan:
Kekuatan penguasa (Al-Mulk) tidak akan terwujud kecuali dengan implementasi Syari'ah Syari'ah tidak dapat terimplementasi kecuali dengan Penguasa (Al-Mulk)
Penguasa tidak dapat memperoleh kekuatan kecuali melalui Rakyat (ar-rijal) Rakyat tidak dapat dipelihara kecuali dengan Kekayaan (al-mal)
Kekayaan tidak dapat diperoleh kecuali melalui Pembangunan (al-imarah) Pembangunan tidak dapat dicapai kecuali melalui Keadilan (al-'adl) Keadilan adalah kriteria (al-mizan) Alloh menilai hamba-Nya dan
Penguasa bertanggungjawab mengaktualisasikan Keadilan.
tersebut digambarkan sebagai Circle of Equity.
Dua link paling krusial dalam rantai sebab akibat adalah development (g) dan justice (j). Development sangat esensial karena kecenderungan alamiah dalam masyarakat adalah selalu berkembang, tidak diam dan stagnan, perkembangan tersebut dapat berupa kemajuan atau justru kemunduran. Development tidak semata berarti pertumbuhan ekonomi (economic growth). Development meliputi segenap aspek
pembangunan manusia sehingga setiap variabel saling memperkaya dan diperkaya satu sama lain (G,S,N dan W), sehingga dapat memberikan kontribusi pada well-being yang sebenarnya atau kebahagiaan masyarakat (N), dan kontribusi tersebut tidak hanya bertujuan untuk mempertahankan peradaban semata, melainkan juga untuk kemajuannya. Development tidak akan pernah mungkin terwujud tanpa justice (j). Dua faktor tersebut berinterelasi sangat dekat dalam analisis Ibnu Khaldun, sehingga keduanya ditampilkan sejajar dan bersamaan dalam diagram Circle of Equity. Keadilan, sebagaimana pembangunan, oleh Ibnu Khaldun tidak dipahami dalam konteks yang sempit, melainkan dalam konteks yang lebih komprehensif yang meliputi keadilan untuk seluruh umat manusia. Keadilan dalam konteks komprehensif ini tidak mungkin terealisasi tanpa menciptakan masyarakat yang saling peduli melalui persaudaraan (brotherhood), dan kesetaraan sosial (social equality), jaminan keamanan hidup, keamanan properti, penghagaan terhadap sesama, kejujuran dalam pemenuhan kewajiban-kewajiban sosial, ekonomi dan politik, penghargaan atau hukuman yang sesuai dengan perbuatan, dan pencegahan dari kekejaman, dari ketidakadilan pada setiap umat manusia dalam segala bentuknya.
Variabel lain, Shari'ah(S) merujuk pada nilai-nilai(values) dan institusi atau peraturan untuk membuat masyarakat(N) memenuhi kewajiban-kewajibannya dan mencegah kerusakan sosial untuk memastikan penegakan keadilan(j), pembangunan(g) dan tercapainya well-being untuk semua. Peraturan tersebut dapat formal atau informal, tertulis maupun tidak tertulis. Setiap masyarakat pasti memiliki serangkaian peraturan berdasarkan sistem nilai mereka sendiri. Dasar utama peraturan ini dalam masyarakat muslim adalah Shari'ah(S). Syari'ah tidak mungkin dapat memainkan peranan yang berarti kecuali dengan implementasi yang adil dan imparsial. Menjadi kewajiban dari masyarakat (N) dan pemerintah (G) untuk memastikan pelaksanaan yang adil dan imparsial. Kekayaan (W) menyediakan sumber daya yang diperlukan untuk memastikan keadilan dan pembangunan, mengefektifkan performansi peranan pemerintah (G) dan tercapainya well-being untuk masyarakat (N).
Relasi fungsional analisis Ibnu Khaldun dapat dinyatakan sebagai: G = f(S,N,W,g dan j)
Persamaan diatas belum dapat menggambarkan model dinamis Ibnu Khaldun secara utuh, tetapi masih bisa merefleksikan karakter multidisiplin dengan memperhitungkan semua variabel mayor yang disampaikan Ibnu Khaldun. Dalam persamaan ini, G ditampilkan sebagai variabel terikat karena salah satu perhatian utama Ibnu Khaldun adalah untuk menerangkan bagaimana kemajuan dan kemunduran dari dinasti-dinasti (negara) atau suatu peradaban. Menurutnya, kekuatan atau kelemahan dinasti bergantung pada kekuatan atau kelemahan otoritas politik yang mewujudkannya. Otoritas politik (G) harus --untuk kepentingan kelangsungan hidup jangka panjang-- menjamin well-being bagi masyarakat (N) dengan menyediakan lingkungan yang sesuai untuk aktualisasi pembangunan (g) dan keadilan (j) melalui implementasi Syari'ah (S), dan pembangunan serta distribusi kekayaan (W) yang setara.
ekonomi totalitarian, atau institusi dan value yang buruk (S) seperti yang dihadapi banyak negara berkembang saat ini.(bersambung)
Disadur dari Umer Chapra oleh Didin Kristinawati
Belajar Dari Ibnu Khaldun
Ditulis oleh didinkaemWednesday, 21 March 2007
Oleh Marsudi Fitro Wibowo
Jika kita berbicara tentang seorang cendekiawan yang satu ini, memang cukup
unik dan mengagumkan. Sebenarnya, dialah yang patut dikatakan sebagai pendiri ilmu sosial. Ia
lahir dan wafat di saat bulan suci Ramadan. Nama lengkapnya adalah Waliuddin Abdurrahman
bin Muhammad bin Muhammad bin Abi Bakar Muhammad bin al-Hasan yang kemudian masyhur
dengan sebutan Ibnu Khaldun.
Pemikiran-pemikirannya yang cemerlang mampu memberikan pengaruh besar bagi
cendekiawan-cendekiawan Barat dan Timur, baik Muslim maupun non-Muslim. Dalam perjalanan
hidupnya, Ibnu Khaldun dipenuhi dengan berbagai peristiwa, pengembaraan, dan perubahan
dengan sejumlah tugas besar serta jabatan politis, ilmiah dan peradilan. Perlawatannya antara
Maghrib dan Andalusia, kemudian antara Maghrib dan negara-negara Timur memberikan hikmah
yang cukup besar. Ia adalah keturunan dari sahabat Rasulullah saw. bernama Wail bin Hujr dari
kabilah Kindah.
Lelaki yang lahir di Tunisia pada 1 Ramadan 732 H./27 Mei 1332 M. adalah dikenal sebagai
sejarawan dan bapak sosiologi Islam yang hafal Alquran sejak usia dini. Sebagai ahli politik
Islam, ia pun dikenal sebagai bapak Ekonomi Islam, karena pemikiran-pemikirannya tentang teori
ekonomi yang logis dan realistis jauh telah dikemukakannya sebelum Adam Smith (1723-1790)
dan David Ricardo (1772-1823) mengemukakan teori-teori ekonominya. Bahkan ketika memasuki
usia remaja, tulisan-tulisannya sudah menyebar ke mana-mana. Tulisan-tulisan dan pemikiran
Ibnu Khaldun terlahir karena studinya yang sangat dalam, pengamatan terhadap berbagai
masyarakat yang dikenalnya dengan ilmu dan pengetahuan yang luas, serta ia hidup di
tengah-tengah mereka dalam pengembaraannya yang luas pula.
Yakni, ia belajar Alquran, tafsir, hadis, usul fikih, tauhid, fikih madzhab Maliki, ilmu nahwu dan
sharaf, ilmu balaghah, fisika dan matematika.
Dalam semua bidang studinya mendapatkan nilai yang sangat memuaskan dari para gurunya.
Namun studinya terhenti karena penyakit pes telah melanda selatan Afrika pada tahun 749 H.
yang merenggut ribuan nyawa. Ayahnya dan sebagian besar gurunya meninggal dunia. Ia pun
berhijrah ke Maroko selanjutnya ke Mesir; Periode kedua, ia terjun dalam dunia politik dan
sempat menjabat berbagai posisi penting kenegaraan seperti qadhi al-qudhat (Hakim Tertinggi).
Namun, akibat fitnah dari lawan-lawan politiknya, Ibnu Khaldun sempat juga dijebloskan ke dalam
penjara.
SETELAH keluar dari penjara, dimulailah periode ketiga kehidupan Ibnu Khaldun, yaitu
berkonsentrasi pada bidang penelitian dan penulisan, ia pun melengkapi dan merevisi
catatan-catatannya yang telah lama dibuatnya. Seperti kitab al-'ibar (tujuh jilid) yang telah ia revisi dan
ditambahnya bab-bab baru di dalamnya, nama kitab ini pun menjadi Kitab al-'Ibar wa Diwanul
Mubtada' awil Khabar fi Ayyamil 'Arab wal 'Ajam wal Barbar wa Man 'Asharahum min Dzawis
Sulthan al-Akbar.
Kitab al-i'bar ini pernah diterjemahkan dan diterbitkan oleh De Slane pada tahun 1863, dengan
judul Les Prolegomenes d'Ibn Khaldoun. Namun pengaruhnya baru terlihat setelah 27 tahun
kemudian. Tepatnya pada tahun 1890, yakni saat pendapat-pendapat Ibnu Khaldun dikaji dan
diadaptasi oleh sosiolog-sosiolog German dan Austria yang memberikan pencerahan bagi para
sosiolog modern.
Karya-karya lain Ibnu Khaldun yang bernilai sangat tinggi diantaranya, at-Ta'riif bi Ibn Khaldun
(sebuah kitab autobiografi, catatan dari kitab sejarahnya); Muqaddimah (pendahuluan atas kitabu
al-'ibar yang bercorak sosiologis-historis, dan filosofis); Lubab al-Muhassal fi Ushul ad-Diin
(sebuah kitab tentang permasalahan dan pendapat-pendapat teologi, yang merupakan ringkasan
dari kitab Muhassal Afkaar al-Mutaqaddimiin wa al-Muta'akh-khiriin karya Imam Fakhruddin
ar-Razi).
DR. Bryan S. Turner, guru besar sosiologi di Universitas of Aberdeen, Scotland dalam artikelnya
"The Islamic Review & Arabic Affairs" di tahun 1970-an mengomentari tentang karya-karya Ibnu
Khaldun. Ia menyatakan, "Tulisan-tulisan sosial dan sejarah dari Ibnu Khaldun hanya
satu-satunya dari tradisi intelektual yang diterima dan diakui di dunia Barat, terutama ahli-ahli sosiologi
dalam bahasa Inggris (yang menulis karya-karyanya dalam bahasa Inggris)." Salah satu tulisan
yang sangat menonjol dan populer adalah muqaddimah (pendahuluan) yang merupakan buku
terpenting tentang ilmu sosial dan masih terus dikaji hingga saat ini.
masyarakat.
Bab ke dua dan ke empat berbicara tentang gejala-gejala yang berkaitan dengan cara
berkumpulnya manusia serta menerangkan pengaruh faktor-faktor dan lingkungan geografis
terhadap gejala-gejala ini. Bab ke empat dan ke lima, menerangkan tentang ekonomi dalam
individu, bermasyarakat maupun negara. Sedangkan bab ke enam berbicara tentang
paedagogik, ilmu dan pengetahuan serta alat-alatnya. Sungguh mengagumkan sekali sebuah
karya di abad ke-14 dengan lengkap menerangkan hal ihwal sosiologi, sejarah, ekonomi, ilmu
dan pengetahuan. Ia telah menjelaskan terbentuk dan lenyapnya negara-negara dengan teori
sejarah.
Ibnu Khaldun sangat meyakini sekali, bahwa pada dasarnya negera-negara berdiri bergantung
pada generasi pertama (pendiri negara) yang memiliki tekad dan kekuatan untuk mendirikan
negara. Lalu, disusul oleh generasi ke dua yang menikmati kestabilan dan kemakmuran yang
ditinggalkan generasi pertama. Kemudian, akan datang generasi ke tiga yang tumbuh menuju
ketenangan, kesenangan, dan terbujuk oleh materi sehingga sedikit demi sedikit
bangunan-bangunan spiritual melemah dan negara itu pun hancur, baik akibat kelemahan internal maupun
karena serangan musuh-musuh yang kuat dari luar yang selalu mengawasi kelemahannya.
ADA beberapa catatan penting dari sini yang dapat kita ambil bahan pelajaran. Bahwa Ibnu
Khaldun menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dan tidak meremehkan akan sebuah sejarah. Ia
adalah seorang peneliti yang tak kenal lelah dengan dasar ilmu dan pengetahuan yang luas. Ia
selalu memperhatikan akan komunitas-komunitas masyarakat. Selain seorang pejabat penting, ia
pun seorang penulis yang produktif. Ia menghargai akan tulisan-tulisannya yang telah ia buat.
Bahkan ketidaksempurnaan dalam tulisannya ia lengkapi dan perbaharui dengan memerlukan
waktu dan kesabaran. Sehingga karyanya benar-benar berkualitas, yang di adaptasi oleh situasi
dan kondisi.
Karena pemikiran-pemikirannya yang briliyan Ibnu Khaldun dipandang sebagai peletak dasar
ilmu-ilmu sosial dan politik Islam. Dasar pendidikan Alquran yang diterapkan oleh ayahnya
menjadikan Ibnu Khaldun mengerti tentang Islam, dan giat mencari ilmu selain ilmu-ilmu
keislaman. Sebagai Muslim dan hafidz Alquran, ia menjunjung tinggi akan kehebatan Alquran.
Sebagaimana dikatakan olehnya, "Ketahuilah bahwa pendidikan Alquran termasuk syiar agama
yang diterima oleh umat Islam di seluruh dunia Islam. Oleh kerena itu pendidikan Alquran dapat
meresap ke dalam hati dan memperkuat iman. Dan pengajaran Alquran pun patut diutamakan
sebelum mengembangkan ilmu-ilmu yang lain."
Jadi, nilai-nilai spiritual sangat di utamakan sekali dalam kajiannya, disamping mengkaji ilmu-ilmu
lainnya. Kehancuran suatu negara, masyarakat, atau pun secara individu dapat disebabkan oleh
lemahnya nilai-nilai spritual. Pendidikan agama sangatlah penting sekali sebagai dasar untuk
menjadikan insan yang beriman dan bertakwa untuk kemaslahatan umat. Itulah kunci
Memposisikan Ekonomi Islam
Ditulis oleh AdministratorTuesday, 29 August 2006
(Kejayaan yang Pernah dan Akan Gemilang)
Oleh: Didin Kristinawati Misnu
Ekonomi Islam bukan pertengahan akomodasi kapitalisme dan
sososialisme. Ekonomi Islam mempunyai karakteristiknya sendiri, hatta jikapun terdapat
poin kesamaan tertentu dalam mekanismenya dengan ekonomi konvensional.
Membicarakan ekonomi Islam bukan hanya soalan bank syari'ah dan ZISWAF sahaja,
tetapi mencakup ekonomi makro, ekonomi mikro, kebijakan moneter, kebijakan fiskal,
pembiayaan publik hingga konsep pembangunan.
Subjek dalam studi ekonomi Islam sangat dekat dengan ekonomi konvensional yaitu alokasi dan distribusi sumberdaya yang terbatas untuk memenuhi kebutuhan yang tidak terbatas, tetapi kurang tepat anggapan yang menyatakan ekonomi Islam adalah ekonomi konvensional minus riba plus ZIS. Karena visi dan tujuan yang mendasari subjek ekonomi Islam tidak ekivalen dengan ekonomi konvensional. Demikian pula pendefinisan well-being atau kesejahteraan dalam subjek ekonomi Islam tidak ekivalen dengan ekonomi konvensional.
Dalam literatur ekonomi konvensional, kesejahteraan didefinisikan sebagai 'happines and
life satisfaction'. Selanjutnya dalam ekonomi konvensional happiness diasosiasikan
dalam terminologi material dan hedonistis, perolehan pendapatan dan profit yang tinggi
untuk memenuhi kebutuhan jasmani (biological needs). Sehingga sangat rasional bagi
aktifitas ekonominya untuk melayani kecenderungan pribadi, kekayaan, kesenangan
jasmani dan kepuasan sensual. Karena kesenangan dan kepuasan sensual bergantung pada
selera dan preferensi individu masing-masing, maka 'value judgement' akan disingkirkan
sehingga individu memiliki kebebasan memutuskan apa yang mereka inginkan (freedom
to pursue self interest). Ini pula yang menyebabkan peran pemerintah diupayakan
minimum kecuali pada tingkat yang diperlukan untuk mengefektifkan performansi
individu dan pasar.
kebebasan, keamanan harta benda, keamanan hidup, minimisasi kejahatan dan
penekanan.
Kesejahteraan merupakan produk akhir dari interaksi faktor-faktor ekonomi (seperti
pendapatan) dengan faktor-faktor moral, sosial, demografis, politis dan historis yang
terintegrasi sedemikian rupa sehingga masing-masing faktor tersebut tidak akan bisa
berkontribusi optimum dengan menghilangkan salah satunya. Kesejahteraan yang
sebenarnya tidak akan pernah terealisasi tanpa keadilan. Al-Qur'an menyatakan
penegakan keadilan menjadi tujuan diutusnya para rosul (QS.57:25): "Sungguh, Kami
telah mengutus rasul-rasul Kami dengan bukti-bukti yang nyata dan Kami turunkan
bersama mereka kitab dan neraca (keadilan) agar manusia dapat berlaku adil" Rosululloh
saw juga menyatakan ketidakadilan sebagai kegelapan yang sesungguhnya (injustice
equivalent to absolute darkness). Karena ketidakadilan meruntuhkan solidaritas,
menyulut konflik, membunuh kepercayaan serta membuat kerusakan pada kehidupan
manusia.
Abu Yusuf (wafat 789) menegaskan kepada Khalifah Harun Al Rasyid bahwa penegakan
keadilan dan pembasmian ketidakadilan akan mempercepat pembangunan. Al-Mawardi
(wafat 1058) menyatakan keadilan akan meningkatkan solidaritas, penegakan hukum,
pembangunan negara, peningkatan kekayaan, pertumbuhan penduduk dan keamaan
negara. Dinyatakan pula "tidak ada yang dapat merusak dunia dan kemanusiaan manusia
lebih cepat dari ketidakadilan." Ibnu Taimiyyah (wafat 1328) menyatakan keadilan adalah
produk inti dari ketauhidan. Ibnu Khaldun juga menyatakan tidak mungkin membangun
tanpa keadilan, ketidakadilan membawa kehancuran pembangunan, penurunan
kesejahteraan adalah hasil dari pelanggaran keadilan. Dari definisi kesejahteraan yang
diadopsi suatu masyarakat, akan membawa perbedaan konfigurasi dan mekanisme
alokasi dan distribusi sumberdaya yang terbatas tersebut.
Pemikiran ekonomi Islam oleh sarjana muslim berlangsung gemilang dan redup seiring
merosotnya kekhilafahan dan penghancuran dokumentasi kebudayaan dan ilmu
pengetahuan oleh bangsa Mongol. Ibnu Khaldun (wafat 1406) sebagai muslim yang sadar
akan fenomena kemerosotan umat, membuat analisa komprehensif dalam Muqadimah,
yang bahkan konsep pembangunannya sangat maju mencakup multidisiplin, yang
sekarang --diantaranya-- digagas oleh Amartya Sen dalam Freedom as
Development.Sesudahnya tidak terdengar kajian-kajian komprehensif lagi, kecuali oleh
beberapa sarjana muslim (yang terisolasi) seperti Al-Maqrizi (wafat 1442), Al-Dawwani
(wafat 1501) dan terakhir Shah Waliyullah (wafat 1762).
utama sistem ekonomi saat ini bukan pekerjaan yang bisa diharapkan selesai dalam waktu
singkat. Apalagi jika kita perhatikan bahwa kebangkitan pemikiran ekonomi Islam baru
berlangsung sekitar 40 tahun terakhir, dimulai dari beberapa waktu sebelum pendirian
IDB pada 1975. Dapatlah kita bayangkan kekosongan pemikiran ekonomi Islam
berlangsung dari 1762 hingga 1970-an (berarti hampir 250 tahun) atau bahkan hampir
600 tahun jika ditarik dari masa pemikiran Ibnu Khaldun. Jumlah orang, universitas,
pemerintahan dan lembaga riset yang berpartisipasi dalam pengembangan ekonomi Islam
masih sangat sedikit, bahkan di negri-negri muslim sekalipun. Bandingkan dengan
kapitalisme yang sudah berjalan lebih dari satu abad, pengembangannya berakselerasi
nyaris tanpa interupsi. Tergambar jelas dari jurnal-jurnalnya yang tidak terhitung lagi,
buku, laporan dan riset di seluruh dunia yang melimpah. Atau socialism yang 'divonis'
bangkrut dan hancur, jurnalnya melimpah, pemikirnya terus aktif dalam forum defensif
Marxist. Bagaimana dengan kita?
Sekarang, jika ekonomi konvesional diasumsikan sudah sedemikian kokoh terbangun,
bagaimana posisi ekonomi Islam? masih cukup relevan atau esensiilkah dalam tahapan
globalisasi ekonomi saat ini? Sedikit romantisme sejarah, ketika peradaban madani telah
terbangun, di sisi lain berlangsung perang berkepanjangan Persia-Romawi. Terjadi
pungutan pajak dan tarif yang luar biasa berat untuk pembiayaan perang, sehingga
menghambat perdagangan dan pembangunan. Sementara wilayah dibawah pengaturan
Islam menjadi pangsa pasar yang luas dan terbuka dengan pajak minimum, perputaran
uang yang pesat, tempat penyimpanan barang-barang, kapital, dan interaksi antar
manusia yang bebas dan aman. Mengapa bisa demikian? karena keadilan dan kepatutan
dalam interaksi umat manusia adalah komponen inheren dalam ekonomi Islam.
Iklim tersebut mendorong perdagangan yang membentang dari Maroko dan Spanyol di
barat, ke India dan China di timur, Asia Tengah di utara, hingga Afrika di selatan.
Ekspansi perdagangan ini dibuktikan tidak hanya dari dokumen sejarah, melainkan juga
melalui koin atau mata uang Islam dari abad 7 dan 8 yang ditemukan di Rusia, Finlandia,
Swedia, Norwegia, British dan Scotland. Negeri-negeri yang notabene bukan negeri
Muslim. Kegairahan perdagangan mendorong pembangunan di seluruh dunia, tidak
hanya trading produk pertanian, tetapi juga kerajinan, dan barang-barang 'industri'.
Sehingga terjadi peningkatan pendapatan yang signifikan. Tidak saja di negeri-negeri
Muslim melainkan terdistribusi secara adil kepada pelaku ekonomi meskipun bukan negri
muslim. Jadi gagasan kemakmuran bersama bukan sesuatu yang baru dalam peradaban
Islam.
pernah berjaya dari abad 7 hingga abad 12 atau selama 600 tahun, kemudian gejala
kemerosotan umat berlangsung 200 tahun hingga sejak abad 14 umat benar-benar jadi
bulan-bulanan hingga sekarang. Peradaban yang –pernah-- kalah menyisakan keperihan
terputusnya dokumentasi keilmuan dan terpasungnya pemikir-pemikir peradaban. Tetapi
dengan kerja keras dan kerja umat yang bersama-sama membangun konsepsi ekonomi
Islam, serta menjalankan instrumen ekonomi Islam secara riil, insya Allah akan menjadi
gelombang perbaikan kemajuan peradaban Islam.
Referensi:
Chapra, Journal of Socio-Economics 2000
Bruno S. Frey and Alois Stutzer, Journal of Economic Literature (June, 2002), 403
Pengajian Shoutcast
Halaman Utama Ekonomi Syariah Implementasi Ekonomi Syariah Menuju Islam Kaffah
Implementasi Ekonomi Syariah Menuju Islam Kaffah
Oleh: Agustianto
(Materi Khutbah Jum’at di Mesjid Al-Balagh Kompleks Bulog, 17 April 2006
dan Mesjid Al-Ikhwan Depertemen Luar Negeri,12 Mei 2006 )
مث
Firman Allah tersebut terdapat dalama surah Al-Jatsiyah ayat 18 :
”Kemudian kami jadikan bagiu kamu sebuah syari’ah, maka ikutilah syariah itu, dan jangan kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui”
Islam sebagai ad-din mengandung ajaran yang komprehensif dan sempurna ( syumul ). Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, tidak saja aspek ibadah, tetapi juga aspek muamalah, khususnya ekonomi Islam. Al- Qur’an secara tegas menyatakan kesempurnaan Islam tersebut dalam banyak ayat, antara lain, ( QS. 5:3, 6:38, 16:89).
Klik
indohalal.com Islam yang termuat di website ini.Silahkan kirim ke redaksi
a complete civilization.”
Salah satu ajaran Islam yang mengatur kehidupan manusia adalah aspek ekonomi (mua’malah, iqtishodiyah ). Ajaran Islam tentang ekonomi cukup banyak, baik dalam Al-quran, Sunnah, maupun ijtihad para ulama. Hal ini menunjukkan bahwa perhatian Islam dalam masalah ekonomi sangat besar. Ayat yang
terpanjang dalam Al-Quran justru berisi tentang masalah perekonomian, bukan masalah ibadah (mahdhah) atau aqidah. Ayat yang terpanjang itu ialah ayat 282 dalam surah Albaqarah, yang menurut Ibnu Arabi ayat ini mengandung 52
hukum/malasah ekonomi).
C.C. Torrey dalam The Commercial Theological Term in the Quran
menerangkan bahwa Alquran memakai 20
terminologi bisnis. Ungkapan tersebut malahan diulang
sebanyak 720 kali.
Dua puluh terminologi bisnis tersebut antara lain, 1.Tijarah, 2. Bai’, 3. Isytara, 4. Dain (Tadayan) , 5. Rizq, 6. Riba, 7. dinar, 8. dirham, 9. qismah 10. dharb/mudharabah, 11. Syirkah, 12. Rahn, 13.Ijarah/ujrah, 14. Amwal 15.Fadhlillah 17. akad/’ukud 18. Mizan (timbangan) dalam perdagangan, 19. Kail (takaran) dalam perdagangan, 20. waraq (mata uang).
Nabi Muhammad menyebut, ekonomi adalah pilar pembangunan dunia. Dalam berbagai hadits ia juga menyebutkan bahwa para pedagang (pebisnis) sebagai profesi terbaik, bahkan mewajibkan ummat Islam untuk menguasai perdagangan.
“ Hendaklah kamu kuasai bisnis, karena 90 % pintu rezeki ada dalam bisnis”. (H.R.Ahmad)
Tafsir Ayat al-Ahkam, Juz 2, tp, tt, hlm 86.)
Demikian besarnya penekanan dan perhatian Islam pada ekonomi, karena itu tidak mengherankan jika ribuan kitab Islam membahas konsep ekonomi Islam. Kitab-kitab fikih senantiasa membahas topik-topik mudharabah, musyarakah, musahamah, murabahah, ijarah, wadi’ah, wakalah, hawalah, kafalah, jialah, ba’i salam,istisna’, riba, dan ratusan konsep muamalah lainnya. Selain dalam kitab-kitab fikih, terdapat karya-karya ulama klasik yang sangat melimpah dan secara panjang lebar (luas)
membahas konsep dan ilmu ekonomi Islam. Pendeknya, kajian-kajian ekonomi Islam yang dilakukan para ulama Islam klasik sangat melimpah.
Prof. Dr. Muhammad N. Ash-Shiddiqy, dalam buku “Muslim Economic Thinking” meneliti 700 judul buku yang membahas ekonomi Islam. (London, Islamic Fountaion, 1976)
Dr. Javed Ahmad Khan dalam buku Islamic Economics & Finance : A Bibliografy, (London, Mansell Publisihing Ltd) , 1995 mengutip 1621 tulisan tentang Ekonomi Islam,
Seluruh kitab fikih Islam membahas masalah muamalah, contoh : Al-Umm (Imam Syafi’i), Majmu’ Syarah Muhazzab (Imam
Nawawi), Majmu Fatawa (Ibnu Taimiyah). Sekitar 1/3 isi kitab tersebut berisi tentang kajian muamalah. Oleh karena itulah maka Prof. Dr.Umer Ibrahim Vadillo (intelektual asal Scotlandia) pernah menyatakan dalam ceramahnya di Program Pascasarjana IAIN Medan, bahwa 1/3 ajaran Islam tentang muamalah.
Materi kajian ekonomi Islam pada masa klasik Islam itu cukup maju dan berkembang. Shiddiqi dalam hal ini menuturkan :
“Ibnu Khaldun has a wide range of discussions on economics including the subject value, division of labour, the price system, the law of supply and demand, consumption and production, money, capital formation, population growth, macroeconomics of taxation and public expenditure, trade cycles, agricultural, industry and trade,property and prosperity, etc. He discussses the various stages through which societies pass in economics progress. We also get the basic idea embodied in the backward-sloping supply curve of labour” (Shiddiqy, Muhammad
Nejatullah, Muslim Economic Thinking, A Survey of Contemporary Literature, dalam buku Studies in Islamic Economics, International Centre for Research in Islamic
Economics King Abdul Aziz Jeddah and The Islamic Foundation, United Kingdom, 1976, hlm. 261.)
juga membahas berbagai tahapan yang dilewati masyarakat dalam perkembangan ekonominya. Kita juga menemukan paham dasar yang menjelma dalam kurva penawaran tenaga kerja yang kemiringannya berjenjang mundur).
Boulakia bahkan menyatakan bahwa Ibnu Khaldun jauh mendahului Adam Smith, Keyneys, Ricardo dan Robert Malthus.
Ibnu Khaldun discovered a great number of fundamental economic notions a few centuries before their official births. He discovered the virtue and the necessity of a division of labour before Smith and the principle of labour value before Ricardo. He elaborated a theory of population before Malthus and insisted on the role of the state in the economy before Keyneys. But much more than that, Ibnu Khaldun used these concepts to build a coherent dinamics system in which the economic mechanism inexorably led economic activity to long term fluctuation...[1].
(Sumber Boulakia, Jean David C., “Ibn Khaldun: A Fourteenth Century Economist” – Journal of Political Economiy 79 (5) September –October 1971: 1105-1118
(Artinya, “Ibn Khaldun telah menemukan sejumlah besar ide dan pemikiran ekonomi fundamental beberapa abad sebelum
kelahiran ”resminya” (di Eropa). Ia menemukan keutamaan dan kebutuhan suatu pembagian kerja sebelum ditemukan Smith dan prinsip tentang nilai kerja sebelum Ricardo. Ia telah mengolah suatu teori tentang kependudukan sebelum Malthus dan
mendesak akan peranan negara di dalam perekonomian sebelum Keynes. Bahkan lebih dari itu, Ibn Khaldun telah menggunakan konsepsi-konsepsi ini untuk membangun suatu sistem dinamis yang mudah dipahami di mana mekanisme ekonomi telah mengarahkan kegiatan ekonomi kepada fluktuasi jangka panjang…:”)
Demikian gambaran maju dan berkembangnya ekonomi Islam di masa lampau.Tetapi sangat disayangkan, dalam waktu yang relatif panjang yaitu sekitar 7 abad ( sejak abad 13 s/d pertengahan abad 20 ), ajaran –ajaran Islam tentang ekonomi ditelantarkan dan diabaikan kaum muslimin. Akibatnya ekonomi Islamterbenam dalam limbo sejarah dan mengalami kebekuan
( stagnasi ). Dampak selanjutnya, ummat Islam tertinggal dan terpuruk dalam bidang ekonomi. Dalam kondisi yang demikian, masuklah kolonialisme barat mendesakkan dan mengajarkan doktrrin-doktrin ekonomi ribawi (kapitalisme), khususnya sejak abad 18 sd abad 20. Proses ini berlangsung lama, sehingga paradigma dan sibghah ummat Islam menjadi terbiasa dengan sistem kapitalisme dan malah sistem, konsep dan teori-teori itu menjadi berkarat dalam pemikiran ummat Islam. Maka sebagai konsekuensinya, ketika ajaran ekonomi Islam kembali mau ditawarkan kepada ummat Islam, mereka melakukan penolakan, karena dalam pikirannya telah mengkristal pemikiran ekonomi ribawi, pemikiran ekonomi kapitalisme. Padahal ekonomi syari’ah adalah ajaran Islam yang harus diikuti dan diamalkan,
Firman Allah tersebut terdapat dalama surah Al-Jatsiyah ayat 18 :
”Kemudian kami jadikan bagiu kamu sebuah syari’ah, maka ikutilah syriah itu, dan jangan kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui”
Sikap ummat Islam (utamanya para ulama dan intelektual muslim) yang mengabaikan kajian-kajian muamalah sangat disesalkan oleh ulama (para ekonom muslim). Prof.
Dr.Muhammad Nejatullah Ash-Shiddiqi mengatakan dalam buku ”Muslim Economic Thinking”, sebagai berikut
“The ascendancy of the Islamic civilization and its dominance of the world scene for a thousand years could not have been unaccompanied by economic ideas as such. From Abu Yusuf in the second century to Tusi and Waliullah we get a contiunity of serious discussion on taxation, government expenditure, home economics, money and exchange, division of labour, monopoly, price control, etc, Unfortunelly no serious attention has been paid to this heritage by centres of academic research in economics. (Muslim Economic Thingking, Islamic Fondation United Kingdom, 1976, p 264)
Artinya, “Kejayaan peradaban Islam dan pengaruhnya atas panggung sejarah dunia untuk 1000 tahun, tidak mungkin tanpa diiringi dengan ide-ide (pemikiran) ekonomi dan sejenisnya. Dari Abu Yusuf pada abad ke 2 Hijriyah sampai ke Thusi dan Waliullah kita memiliki kesinambungan dari serentetan pembahasan yang sungguh-sungguh mengenai perpajakan, pengeluaran
pemerintah, ekonomi rumah tangga, uang dan perdagangan, pembagian kerja , monopoli, pengawasan harga dan sebagainya. Tapi sangat disayangkan, tidak ada perhatian yang sungguh-sungguh yang diberikan atas khazanah intelektual yang berharga ini oleh pusat-pusat riset akademik di bidang ilmu ekonomi”.
Memasuki Islam Secara Kaffah
Dari paparan di atas jelaslah bahwa Islam memiliki ajaran ekonomi Islam yang luar biasa banyaknya. Sebagai
Namun, sangat disesalkan, tidak sedikit kaum muslimin yang telah terperosok kepada Islam persial ( separoh – separoh ). Betul, dalam bidang ibadah, kematian dan akad perkawinan, umat Islam mengikuti ajaran Islam, tapi dalam bidang dan aktivitas ekonomi, banyak sekali umat Islam mengabaikan ajaran ekonomi syari’ah dan bergumul dengan sistem ekonomi ribawi. Dana umat Islam, seperti ONH atau tabungannya, uang mesjid, uang Perguruan Tinggi Islam, dana organisasi Islam, uang perusahaan yang dimiliki kaum muslimin, dan dana masyarakat Islam secara luas, te diputar dan dibisniskan secara ribawi melalui bank dan lembaga keuangan yang bukan sesuai dengan prinsip syari’ah Islam.
Kebangkitan Kembali Ekonomi Islam
Baru tiga dasawarsa menjelang abad 21, muncul kesadaran baru umat Islam untuk mengembangkan kembali kajian ekonomi syari’ah. Ajaran Islam tentang ekonomi, kembali mendapat perhatian serius dan berkembang menjadi disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Pada era tersebut lahir dan muncul para ahli ekonomi syariah yang handal dan memiliki kapasitas keilmuan yang memadai dalam bidang mu’amalah. Sebagai realisasi dari ekonomi syariah, maka sejak tahun 1975 didirikanlah
Internasional Development Bank ( IDB ) di Jeddah. Setelah itu, di berbagai negara, baik negeri- negeri muslim maupun bukan, berkembang pula lembaga – lembaga keuangan syariah.
Sekarang di dunia telah berkembang lebih dari 400an lembaga keuangan dan perbankan yang tersebar di 75 Negara, baik di Eropa, Amerika, Timur Tengah maupun kawasan Asia lainnya. Perkembangan aset – aset bank mencatat jumlah fantastis 15 % setahun. Kinerja bank – bank Islam cukup tangguh dengan hasil keuntungannya di atas perbankan konvensional. Salah satu bank terbesar di AS, City Bank telah membuka unit syariah dan menurut laporan keuangan terakhir pendapatan terbesar City Bank berasal dari unit syariah. Demikian pula ABN Amro yang terpusat di Belanda dan merupakan bank terbesar di Eropa dan HSBC yanag berpusat di Hongkong serta ANZ Australia, lembaga-lembaga tsb telah membuka unit-unit syariah.
Dalam bentuk kajian akademis, banyak Perguruan Tinggi di Barat dan di Timur Tengah yang mengembangkan kajian ekonomi Islam,di antaranya, Universitas Loughborough Universitas Wales, Universitas Lampeter di Inggris. yang semuanya juga di Inggris. Demikian pula Harvard School of Law, (AS), Universitas Durhem, Universitas Wonglongong Australia, serta lembaga populer di Amerika Serikat, antara lain Islamic Society of north America
(ISNA). Kini Harvard University sebagai universitas paling terkemuka di dunia, setiap tahun menyelenggrakan Harvard University Forum yang membahas tentang ekonomi Islam.
Bank Syariah di Indonesia
spread yang berakibat pada likuidas, kecuali babk Islam.
Pada November 1997, 16 bank ditutup
(dilikuidasi), berikutnya 38 bank, Selanjutnya 55 buah
bank masuk kategori BTO dalam pengawasan BPPN.
Tetapi kondisi itu berbeda dengan perbankan syari`ah. Hal
ini disebabkan karena bank syari`ah tidak dibebani
membayar bunga simpanan nasabah. Bank syari`ah hanya
membayar bagi hasil yang jumlahnya sesuai dengan
tingkat keuntungan perbankan syari`ah. Dengan sistem
bagi hasil tersebut, maka jelas bank-bank syari`ah selamat
dari negative spread.
Sedangkan bank-bank yang lain bisa selamat karena
bantuan pemerintah (BLBI) 700an triliun rupiah yang
sampai hari ini bermasalah. Kalau tidak ada BLBI dan
rekapitalisasi, berupa suntikan obligasi dari pemerintah,
niscaya semua bank tewas dilikuidasi.
Pada masa krisis moneter berlangsung, hampir seluruh bank melakukan kebijakan uang ketat. Kucuran kredit dihentikan, karena cuaca perekonomian yang tak kondusif, di mana suku bunga yang tinggi pasti menyulitkan nasabah untuk membayar bunganya. Berbeda dengan bank konvensional yang
mengetatkan kucuran kredit, bank syari`ah malah sebaliknya, yaitu dengan mengekstensifkan kucuran pembiyaannya, baik kepada pegusaha kecil maupun menengah. Hal ini terbukti, di masa krisis yang lalu di mana sampai akhir 1998, ketika krisis tengah melanda, bank Muamalat menyalurkan pembiayaan Rp 392 milyard. Dan sampai akhir 1999 ketika krisis masih juga berlangsung bank Muamalat meningkatkan pembiayaannya mencapai Rp 527 milyard, dengan tingkat kemacetan 0% (non ferforming loan). Pada saat itu malah CAR Bank Muamalat sempat mencapai 16,5%, jauh di atas CAR minimal yang ditetapkan BI (hanya 4%).
Oleh karena itulah pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No 10/1998. Dalam Undang-Undang-Undang-Undang ini diatur dengan rinci landasan hukum, serta jenis-jenis usaha yang dapat
dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syari`ah. Undang-Undang tersebut juga memberikan arahan bagi bank-bank konvensional untuk konversi kepada sistem syari`ah, baik dengan cara membuka cabang syari`ah ataupun konversi secara total ke sistem syari`ah.
Syari’ah, Pasar Modal syari’ah, Pegadaian Syari’ah dan
lebih 3200 BMT (Koperasi Syariah), dan Ahad – Net
Internasional yang bergerak di bidang sektor riel.
Kalau pada masa lalu, sebelum hadirnya lembaga–lembaga keuangan syariah, umat Islam secara darurat berhubungan dengan lembaga keuangan ribawi, tetapi pada masa kini, di mana lembaga keuangan syariah telah berkembang, maka alasan darurat tidak ada lagi. Ini artinya, dana umat Islam harus masuk ke lembaga – lembaga keuangan syariah yang bebas riba..
Manfaat Mengamalkan Ekonomi Syari’ah
Mengamalkan ekonomi syariah jelas mendatangkan manfaat yang besar bagi umat Islam itu sendiri, Pertama, mewujudkan integritas seorang muslim yang kaffah, sehingga Islamnya tidak lagi persial. Bila umat Islam masih bergelut dan mengamalkan ekonomi ribawi, berarti keIslamannya belum kaffah, sebab ajaran ekonomi syariah diabaikannya. Kedua, menerapkan dan
mengamalkan ekonomi syariah melalui bank syariah, asuransi syari’ah, reksadana syari’ah, pegadaian syari’ah, atau BMT, mendapatkan keuntungan duniawi dan ukhrawi. Keuntungan duniawi berupa keuntungan bagi hasil, keuntungan ukhrawi adalah terbebasnya dari unsur riba yang diharamkan. Selain itu seorang muslim yang mengamalkan ekonomi syariah,
mendapatkan pahala, karena telah mengamalkan ajaran Islam dan meninggalkan ribawi. Ketiga, praktek ekonominya
berdasarkan syariah Islam bernilai ibadah, karena telah mengamalkan syari’ah Allah Swt.. Keempat, mengamalkan ekonomi syariah melalui lembaga bank syariah, Asuransi atau BMT, berarti mendukung kemajuan lembaga ekonomi umat Islam sendiri. Kelima, mengamalkan ekonomi syariah dengan membuka tabungan, deposito atau menjadi nasabah Asuransi Syari’ah, berarti mendukung upaya pemberdayaan ekonomi umat Islam itu sendiri, sebab dana yang terkumpul di lembaga keuangan syariah itu dapat digunakan umat Islam itu sendiri untuk mengembangkan usaha-usaha kaum muslimin. Keenam,
mengamalkan ekonomi syariah berarti mendukung gerakan amar ma’ruf nahi munkar, sebab dana yang terkumpul tersebut hanya boleh dimanfaatkan untuk usaha-usaha atau proyek –proyek halal. Bank syariah tidak akan mau membiayai usaha-usaha haram, seperti pabrik minuman keras, usaha perjudian, usaha narkoba, hotel yang digunakan untuk kemaksiatan atau tempat hiburan yang bernuansa munkar, seperti diskotik, dan
sebagainya.
Penutup
Oleh : Agustianto,MA
Muballigh dan Sekjend DPP Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI), Dosen Fikih Muamalah Ekonomi Pascasarjana
Serba Waspada - Mimbar Jumat
17 Jun 05 09:43 WIB
Ibnu Khaldun: Bapak Ekonomi
WASPADA OnlineOleh Agustianto
Marak dan berkembangnya ekonomi Islam pada tiga dasawarsa belakangan ini, telah mendorong dan mengarahkan perhatian para ilmuan modern kepada pemikiran ekonomi Islam klasik. Dalam penjelajahan intelektual yang saya lakukan, khususnya mengambil program doktor ekonomi Islam di UIN Jakarta, ternyata lebih 2000-an judul buku dan tulisan tentang ekonomi Islam sejak masa klasik hingga saat ini. Melihat melimpahnya literatur tentang ekonomi Islam, maka ada dua hal yang sangat disayangkan.
Pertama, dalam daftar bibliografi ekonomi Islam itu, tak satupun diantaranya ada hasil karya tokoh Indonesia. Hal itu terlihat dengan jelas dalam buku Islamic Economics and Finance; A Bibliografy, tulisan Javed Ahmad Khan. Buku ini berisi 1621 karya tulis tentang ekonomi Islam. Demikian pula daftar buku dalam Muslim Economic Thinking tulisan Prof. Dr. Muhammad Nejatullah Ash-Shidiqy, yang meneliti 700 buku ekonomi Islam, tak satupun mencantumkan karya ulama Indonesia.
Kedua, yang paling disayangkan lagi adalah sikap para intelektual muslim atau ulama dalam dua abad belakangan ini yang tidak melanjutkan dan mengembangkan kajian ekonomi Islam yang telah dirintis dan dibangun oleh para ulam terdahulu. Intelektual dan ulama kita di era kontemporer ini, lebih banyak fokus pada kajian pengembangan materi fikih ibadah, munakahat, teologi (ilmu kalam), pemikiran Islam dan tasawauf, disamping ilmu-ilmu tafsir dan hadits.
Maka tak heran jika mereka dangkal sekali pengetahuannya tentang ilmu ekonomi Islam, termasuk soal bunga bank dan dampaknya terhadap inflasi, investasi, produksi dan pengangguran juga spekulasi dan stabilitas moneter. Mereka mengabaikan kajian-kajian ekonomi Islam yang ilmiah dan empiris yang telah dilakukan ilmuwan Islam klasik. Fenomena itulah yang disesalkan Prof. Dr. Muhammad Nejatullah Ash-Shidiqy, guru besar ekonomi Univ. King Abdul Aziz Saudi. Ia mengatakan,
"The ascendancy of the Islamic civilization and its dominance of the wold scene for a thousand years could not have been unaccompanied by economic ideas as such. From Abu Yusuf in the second century to Thusi and Waliullah we get a contiunity of serious discussion on taxation, goverment expenditure, home economic, money and exchange, division of labour, monopoly, price control, etc, Unfortunelly no serious attention has been paid to this heritage by centers of academic research in economics. (Muslim Economic Thinking, Islamic Fondation United Kingdom".
(Kejayaan peradaban Islam dan pengaruhnya atas panggung sejarah dunia untuk 1000 tahun, tidak mungkin tanpa diiringi dengan ide-ide ekonomi dan sejenisnya. Dari Abu Yusuf pada abad ke 2 Hijriah sampai ke Thusi dan Waliullah (abad 18), kita memiliki kesinambungan dari serentetan pembahasan yang sungguh-sungguh mengenai perpajakan, pengeluaran pemerintah, ekonomi rumah tangga, uang dan perdagangan, pembagian kerja, monopoli, pengawasan harga dan sebagainya. Tapi sangat disayangkan, tidak ada perhatian yang sungguh-sungguh yang diberikan atas khazanah intelektual yang berharga ini oleh pusat-pusat riset akademik di bidang ilmu ekonomi).
Dimasa klasik Islam, yang sejak abad 2 Hijriah s/d 9 hijriah, banyak lahir ilmuwan Islam yang
mengembangkan kajian ekonomi (bukan fikih muamalah), tetapi kajian ekonomi empiris yang menjelaskan fenomena aktual aktivitas ekonomi secara ril di masyarakat dan negara, seperti mekanisme pasar (supply and demand), public finance, Kebijakan fiskal dan moneter, pemikiran ulama tentang ekonomi Islam di masa klasik sangat maju dan cemerlang, jauh mendahului pemikir Barat modern seperti Adam Smith, Keynes, Ricardo, dan Malthus.
Bapak Ekonomi
dunia. Ia bukan saja Bapak sosiologi tetapi juga Bapak ilmu Ekonomi, karena banyak teori ekonominya yang jauh mendahului Adam Smith dan Ricardo. Artinya, Ia lebih dari tiga Abad mendahului para pemikir Barat modern tersebut.
Muhammad Hilmi Murad telah menulis sebuah karya ilmiah berjudul Abul iqtishad: Ibnu Khadun. Artinya, Bapak Ekonomi: Ibnu Khaldun (1962). Dalam tulisan tersebut Ibnu Khaldun dibuktikannya secara ilmiah sebagai pengagas pertama ilmu ekonomi secara empiris. Karya tersebut disampaikan pada simposium tentang Ibnu Khaldun di Mesir 1978.
Sebelum Ibnu Khaldun, kajian-kajian ekonomi di dunia Barat masih bersifat normatif, adakalanya dikaji dari perspektif hukum, moral dan ada pula dari perspektif filsafat. Karya-karya tentang ekonomi oleh para ilmuwan Barat, seperti ilmuwan Yunani dan zaman Scholastic bercorak tidak ilmiah karena pemikir zaman pertengahan tersebut memasukkan kajian ekonomi dalam kajian moral dan hukum.
Sedangkan Ibnu Khaldun mengkaji problem ekonomi masyarakat dan negara secara empiris. Ia
menjelaskan fenomena ekonomi secara aktual. Muhammad Nejatullah Ash-Shidiqy, menuliskan poin-poin penting dari materi kajian Ibnu Khaldun tentang ekonomi.
(Ibnu Khaldun membahas aneka ragam masalah ekonomi yang luas, termasuk ajaran tentang nilai, pembagian kerja, sistem harga, hukum penawaran dan permintaan, konsumsi dan produksi, uang, pembentukan modal, pertumbuhan penduduk, makro ekonomi dari pajak dan pengeluaran publik, daur perdagangan, pertanian, industri dan perdagangan, hak milik dan kemakmuran, dan sebagainya. Ia juga membahas berbagai tahapan yang dilewati masyarakat dalam perkembangan ekonominya. Kita juga menemukan paham dasar yang menjelma dalam kurva penawaran tenaga kerja yang kemiringannya berjenjang mundur).
Ibn Khaldun telah menemukan sejumlah besar ide dan pemikiran ekonomi fundamental, beberapa abad sebelum kelahiran "resminya" (di Eropa). Ia menemukan keutamaan dan kebutuhan suatu pembagian kerja sebelum ditemukan Smith dan prinsip tentang nilai kerja sebelum Ricardo. Ia telah mengolah suatu teori tentang kependudukan sebelum Malthus dan mendesak akan peranan negara di dalam perekonomian sebelum Keynes. Bahkan lebih dari itu, Ibn Khaldun telah menggunakan konsepsi-konsepsi ini untuk membangun suatu sistem dinamis yang mudah dipahami dimana mekanisme ekonomi telah mengarahkan kegiatan kepada fluktuasi jangka panjang.
Lafter, penasehat economi president Ronald Reagen, yang menemukan teori Lafter Curve, berterus terang bahwa ia mengambil konsep Ibnu Khaldun. Ibnu Khaldun mengajukan obat resesi ekonomi, yaitu
mengecilkan pajak dan meningkatkan pengeluaran (ekspor) pemerintah. Pemerintah adalah pasar terbesar dan ibu dari semua pasar dalam hal besarnya pendapatan dan penerimaannya. Jika pasar pemerintah mengalami penurunan , maka adalah wajar jika pasar yang lainpun akan ikut turun, bahkan dalam agregate yang cukup besar.
S.Colosia berkata dalam bukunya, Contribution A L'Etu-de D'Ibnu Khaldun Revue Do Monde Musulman, Sebagaimana dikutip Ibrahim Ath-Thahawi, mengatakan. "Apabila pendapat-pendapat Ibnu Khaldun tentang kehidupan sosial menjadikannya sebagai pionir ilmu filsafat sejarah, maka pemahamannya terhadap peranan kerja, kepemilikan dan upah, menjadikannya sebagai pionir ilmuwan ekonomi modern". (1974, hlm. 477).
Oleh karena besarnya sumbangan Ibnu Khaldun dalam pemikiran ekonomi, maka Boulakia mengatakan, "Sangat bisa dipertanggung jawabkan jika kita menyebut Ibnu Khaldun sebagai salah seorang Bapak ilmu ekonomi." Shiddiqi juga menyimpulkan bahwa Ibn Khaldun secara tepat dapat disebut sebagai ahli ekonomi Islam terbesar (Ibnu Khaldun has rightly been hailed as the greatest economist of Islam) (Shiddiqy, hlm. 260).
Sehubungan dengan itu, maka tidak mengherankan jika banyak ilmuwan terkemuka kontemporer yang meneliti dan membahas pemikiran Ibnu Khaldun, khsususnya dalam ekonomi. Doktor Ezzat menulis disertai tentang Ibnu Khaldun berjudul Production, Distribution and Exchange in Khaldun's Writing dan Nasha't menulis "al-Fikr al-iqtisadi fi muqaddimat Ibn Khaldun (Economic Though in the prolegomena of Ibn Khaldun). Selain itu kita masih memiliki konstribusi kajian yang berlimpah tentang Ibnu Khaldun.
Arabic Literature, Tahawi al-iqtishad al-islami madhhaban wa nizaman wa dirasah muqaranh. (Islamic Economics-a School of Thought and a System, a Comparative Study), T.B Irving menulis Ibn khaldun on Agriculture"' Abdul Satar menulis buku Ibn Khaldun's Contribution to economic Thought " in: Contemporary Aspects of economic and Social Thingking in Islam.
Penutup
Paparan di atas menunjukkan bahwa tak disangsikan lagi ibnu Khaldun adalah Bapak ekonomi yang sesungguhnya. Dia bukan hanya Bapak ekonomi Islam, tapi Bapak ekonomi dunia. Dengan demikian, sesungguhnya beliaulah yang lebih layak disebut bapak ekonomi dibanding Adam Smith yang diklaim barat sebagai bapak ekonomi melalui buku The Wealth of nation.
Karena itu sejarah ekonomi perlu diluruskan kembali agar umat Islam tidak sesat dalam memahami sejarah intelektual umat Islam. Tulisan ini tidak bisa menguraikan pemikiran Ibnu Khaldun secara detail, karena ruang yang terbatas dan lagi pula pemikirannya terlalu ilmiah dan teknis jika dipaparkan di sini. Teori ekonomi Ibnu Khaldun secara detail lebih cocok jika dimuat dalam journal atau buku.
* Penulis adalah dosen IAIN-SU kini sedang kuliah Program Doktor Ekonomi Islam di UIN Jakarta.
Friday, September 09, 2005
Dari Ibnu Khaldun, Peradaban Islam, sampai Kebangkitan Islam