1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mineral dan produk mineral merupakan tulang punggung dari sebagian besar industri dan beberapa bentuk pertambangan atau penggalian dilakukan di hampir setiap negara di dunia. Pertambangan memiliki nilai penting dalam ekonomi, lingkungan, lapangan pekerjaan dan dampak sosial. Meskipun telah banyak upaya yang dilakukan dalam meningkatkan keselamatan dan kesehatan kerja serta pencegahan kecelakaan pada sektor pertambangan di berbagai negara, tingkat kematian, cedera dan penyakit di antara penambang di dunia masih tetap tinggi, sektor pertambangan masih menjadi sektor kerja yang paling berbahaya, mengingat jumlah orang yang terdapak atau terkena risiko begitu besar. (ILO, 2014)
Menurut International Labor Organization (ILO), sektor pertambangan mempekerjakan sekitar 1% dari angkatan kerja secara global, dan berkontribusi sebesar 8% terhadap kejadian kecelakaan fatal. China memiliki industri pertambangan terbesar di dunia, dengan produksi hingga tiga miliar ton batubara setiap tahun. Meskipun China menyumbang 40% dari produksi batubara global, namun China juga bertanggung jawab terhadap 80% kematian yang terjadi pada sektor pertambangan di seluruh dunia setiap tahun, baik itu akibat penyakit maupun kecelakaan akibat kerja (Lang, 2010).
Tidak melulu kecelakaan kerja, masalah penyakit akibat kerja pada sektor pertambangan pun perlu mendapatkan perhatian serius terkait keselamatan dan kesehatan pekerja. ILO menyatakan bahwa pneumoconiosis merupakan penyakit akibat kerja yang paling banyak diderita oleh pekerja tambang. Berdasarkan data ILO tahun 2013, 30% hingga 50% pekerja tambang di negara berkembang menderita Pneumoconiosis. Indonesia merupakan negara berkembang yang salah satu penopang ekonominya terdapat pada sektor industri pertambangan. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2015). Akibat terus menerus menghirup udara tercemar debu batubara pekat tersebut, paru-paru pekerja
penambangan akan terkontaminasi partikel batubara hingga kondisinya menghitam, yang otomatis mengganggu fungsi normal paru-paru.(Yulianto, 2012)
Indonesia merupakan salah satu negara dengan potensi tambang terbesar di dunia, terutama pada sektor pertambangan mineral dan batubara. Hingga kini, industri pertambangan masih menjadi tulang punggung perekonomian nasional. Sektor pertambangan telah memberikan kontribusi sekitar 4,54 % dari produk domestik bruto (PDB) nasional pada tahun 2009, meningkat menjadi 5,16 % pada tahun 2010, 5,37 % pada tahun 2011 dan meningkat lagi menjadi 5,63 % pada tahun 2012. (The Directorate General of Mineral and Coal, 2015)
Safety practice merupakan sistem pendekatan untuk mengidentifikasi, mengevaluasi dan mengontrol bahaya ditempat kerja untuk meminimalisasi risiko yang mungkin terjadi. Safety practice memiliki peran penting dalam pencegahan kecelakaan kerja. Oleh sebab itu, manajemen safety practice harus dikelola sedemikian rupa, agar dapat berjalan dan berfungsi dengan baik. (Wachter & Yorio, 2014). Sama halnya dengan negara-negara industri tambang lainnya, keselamatan dan kesehatan kerja masih menjadi masalah yang belum terselesaikan di dunia pertambangan Indonesia, Hal ini dibuktikan dengan kejadian kecelakaan kerja yang masih kerap terjadi pada proses penambangan logam, batu-batu mineral, maupun batu bara, hal ini dibuktikan oleh beberapa peristiwa kecelakaan kerja sektor pertambangan di berbagai wilayah Indonesia dari tahun ke tahun yang menimbulkan akibat yang tidak ringan, bahkan hilangnya nyawa pekerja, yang menunjukkan bahwa manajemen keselamatan dan kesehatan kerja atau penerapan safety practice pertambangan belum berjalan seperti yang diharapkan.(Kehutanan, 2015)
Sederet kasus kecelakaan tambang terus terjadi di hampir sepanjang tahun. Membuktikan bahwa penerapan safety practice pada sektor pertambangan belum menunjukkan adanya perbaikan yang berarti. Pada 14 Mei 2013, terjadi kecelakaan tambang di PT Freeport, Papua, yang disebut sebagai kecelakaan tambang terburuk di Indonesia. Atap fasilitas pelatihan tambang bawah tanah PT Freeport di area Big Gasson, Timika Papua runtuh menimpa 38 orang pekerja yang tengah mengikuti pelatihan di area tersebut. Akibat peristiwa tersebut,
sebanyak 28 pekerja tewas tertimbun reruntuhan terowongan, sedangkan 10 pekerja lainnya mengalami luka berat dan ringan.(Waluyo, 2013)
Tahun berikutnya, pada 24 Januari 2014, terjadi insiden runtuhnya tambang batubara yang diikuti dengan terbakarnya gas CH4 pada sebuah terowongan No.3 pada tambang batubara di Sawahlunto, Sumatera Barat. Empat orang dinyatakan tewas akibat peristiwa tersebut.(Ramadhan, 2014) Pada 12 September di tahun yang sama, kecelakaan tambang kembali terjadi di PT Freeport Indonesia. Tambang bawah tanah Grasberg Block Cave mengalami longsor dan mengakibatkan seorang pekerja tewas tertimbun material yang berjatuhan.(Rusadi, 2014)
Selanjutnya, pada 22 Mei 2015, terjadi kecelakaan pada area pertambangan PT KPC di Kutai Timur, Kaltim. Sebuah mobil penumpang tertabrak dump truck (truk ungkit) di lokasi loading point area pertambangan. Akibat peristiwa tersebut, seorang sopir tewas terlindas.(Sarita, 2015) Melansir data yang dikeluarkan oleh Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Kutai Timur, untuk wilayah Kutai Timur sendiri, tercatat 14 kasus kecelakaan kerja di sektor pertambangan pada tahun 2015, dengan rincian 12 kasus terjadi di PT KPC, 1 kasus di PT Tambang Damai dan 1 kasus di PT Indominco Mandiri. Dimana mengakibatkan 2 pekerja tewas dari seluruh kasus yang terjadi.(Prokal.co, 2015)
Tahun 2016 pun tak luput dari kecelakaan tambang. 16 Februari 2016, Mursalin, seorang pekerja tambang bawah tanah PT Nusa Halmahera Mineral di Gosowong, Halmahera Utara, Maluku Utara berhasil di evakuasi setelah terjebak selama 9 hari akibat runtuhnya tambang.(Hidayat, 2016) Selanjutnya, pada 4 November 2016, seorang sopir pekerja tambang PT KPC tewas, akibat terkubur masuk kedalam danau bekas galian tambang KPC di pit J.(Warta Kutim, 2016) Sedangkan kasus kecelakaan tambang terbaru terjadi pada 27 Desember 2016. Diberitakan oleh Liputan 6, sebanyak 5 orang pekerja tambang bawah tanah PT Antam UBPE Pongkor, Bogor, Jawa Barat di duga menghirup gas beracun yang mengakibatkan satu diantaranya tewas (Sudarno, 2016).
Beberapa peristiwa diatas hanya sebagian kecil kecelakaan tambang yang tecatat dan diketahui oleh masyarakat luas. Masih banyak peristiwa terkait
kecelakaan tambang yang mungkin belum diketahui, terlebih mengingat banyaknya jumlah pertambangan di Indonesia baik legal maupun ilegal. Secara keseluruhan, kasus kecelakaan tambang mengalami penurunan dalam kurun waktu 5 tahun terakhir (2010-2015). Namun tingkat kekerapan kecelakaan tambang yang ditunjukkan dalam FR (Frequency Rate) mengalami peningkatan di tahun 2015. Pada tahun 2015, tercatat terdapat sebanyak 153 korban akibat kecelakaan tambang, dengan rincian 49 korban mengalami cidera ringan, 79 korban mengalami cidera berat dan 25 korban tewas (The Directorate General of Mineral and Coal, 2015).
Buruh atau pekerja tambang menjadi pihak yang paling dirugikan atas lemahnya penerapan safety practice, karena tidak jarang nyawa buruh tambang menjadi taruhan akibat kegagalan penerapan safety practice. Keresahan terhadap lemahnya penerapan safety practice juga disadari oleh buruh tambang. Unjuk rasa terkait kecelakaan tampang yang terjadi serta tuntutan keselamatan kerja kerap dilakukan sebagai bentuk pernyataan akan keresahan yang dirasakan. Salah satu tuntutan yang masih terus diperjuangkan adalah terkait ratifikasi Konvensi ILO No.176 mengenai keselamatan dan kesehatan kerja.
Kepala Sub Bidang Keselamatan Pertambangan Mineral dan Batubara, Eko Gunarto manyatakan, sesuai hasil evaluasi data kecelakaan di tahun 2014, diketahui terdapat beberapa faktor penyebab kecelakaan di sektor pertambangan yang dikategorikan berdasarkan tindakan tidak aman (TTA), kondisi tidak aman (KTA), faktor individu dan faktor pekerjaan. Untuk kategori TTA, diantaranya disebabkan oleh tidak patuh prosedur (38%), tidak menggunakan APD (12%), posisi kerja yang tidak benar (11%) dan menggunakan alat yang salah (11%). Sementara untuk kategori KTA, diantaranya disebabkan oleh pengaman yang tidak lengkap (16%), peralatan yang rusak (15%), rambu-rambu yang tidak lengkap (13%), dan kondisi kerja atau jalan yang tidak memadai (10%). Selanjutnya untuk faktor individu, hasil evaluasi menunjukkan tiga aspek yang menyebabkan kecelakaan tambang, yaitu kurangnya pengetahuan (33%), motivasi yang keliru (24%) dan kurangnya kemampuan mental (24%). Sedangkan untuk faktor pekerjaan diantaranya disebabkan oleh kualitas kepemimpinan dan
pengawasan yang kurang (34%), standar kerja yang kurang (31%) dan rekayasa kurang (7%) (Himawan, 2015).
Berbagai penyebab kecelakaan kerja, baik langsung maupun tidak langsung menggambarkan adanya kelemahan atau kegagalan pada penerapan safety practice. Seperti yang disebutkan dalam teori Domino, dalam kejadian kecelakaan kerja, sebab langsung hanyalah sekedar gejala bahwa ada sesuatu yang tidak baik dalam organisasi yang mendorong terjadinya kondisi tidak aman. Karena itu, dalam konsep pencegahan kecelakaan, adanya sebab langsung harus dievaluasi lebih dalam untuk mengetahui faktor dasar yang turut mendorong terjadinya kecelakaan. Disamping faktor manusia, ada faktor lain yaitu ketimpangan sistem manajemen seperti perencanaan, pengawasan, pelaksanaan, pemantauan dan pembinaan. Dengan demikian penyebab kecelakaan tidak selalu tunggal tetapi bersifat multi causal sehingga penangana nya harus secara terencana dan komprehensif yang mendorong lahirnya konsep sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (Rochsyid, 2016).
Sejumlah regulasi terkait keselamatan tambang diberlakukan di Indonesia dengan tujuan memerbaiki pengelolaan dan meningkatkan penerapan safety practice pada sektor pertambangan. Termasuk Sistem Manajemen Keselamatan Pertambangan (SMKP), sebuah sistem manajemen keselamatan yang secara spesifik diperuntukan bagi dunia pertambangan, dengan harapan dapat membawa safety practice sektor pertambangan menjadi lebih baik dan terarah. Faktanya, implikasi berbagai regulasi keselamatan tambang tersebut masih dipertanyakan.
Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti tertarik untuk mencari tantangan dalam penerapan safety practice pada sektor pertambangan di Indonesia.
B. Perumusan Masalah
Indonesia merupakan salah satu negara dengan potensi tambang terbesar di dunia. Hal ini dapat dilihat dari begitu banyaknya usaha tambang di berbagai wilayah Indonesia, baik itu pertambangan legal ataupun ilegal. Sektor tambang memiliki karakteristik padat karya, padat teknologi dan memiliki potensi bahaya dan risiko yang tinggi. Keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan
seharusnya menjadi prioritas utama perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor tambang, mengingat dampak yang mungkin ditimbulkan tergolong berat. Indonesia sendiri sudah memiliki SMKP, yang dapat menjadi pedoman dalam pengelolaan manajemen keselamatan pertambangan menjadi lebih baik, namun faktanya kecelakaan tambang masih kerap terjadi dari tahun ke tahun. Tingkat kekerapannya pun meningkat setahun terakhir. Masalah inilah yang membuat peneliti tertarik untuk mencari penyebab tantangan dalam penerapan safety practice pada sektor pertambangan di Indonesia.
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum
Menganalisis tantangan dalam penerapan safety practice pada sektor pertambangan mineral dan batubara di Indonesia.
2. Tujuan Khusus
a. Melakukan eksplorasi terhadap penerapan safety practice pada sektor pertambangan mineral dan batubara di Indonesia.
b. Melakukan eksplorasi terhadap peran top manajemen dalam penerapan safety practice pada sektor pertambangan mineral dan batubara di Indonesia.
c. Melakukan eksplorasi terhadap tantangan regulasi dalam penerapan safety practice pada sektor pertambangan mineral dan batubara di Indonesia.
D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Peneliti
Penelitian ini diharapkan mampu meningkatkan dan memperluas wawasan peneliti dalam menganalisis penerapan manajemen keselamatan dan kesehatan kerja di sektor pertambangan.
2. Bagi Industri Pertambangan
Diharapkan mampu menjadi masukan dan pertimbangan bagi manajemen dan ahli keselamatan dan kesehatan kerja perusahaan dalam
upaya memerbaiki dan meningkatkan pengelolaan manajemen keselamatan dan kesehatan kerja.
3. Bagi Pemerintah
Diharapkan mampu menjadi pertimbangan stakeholder pemerintahan sektor pertambangan mineral dan batubara untuk mengembangkan sistem manajemen serta regulasi keselamatan dan kesehatan kerja yang lebih baik pada sektor pertambangan.
4. Bagi Asosiasi Profesi Keselamatan Pertambangan Indonesia (APKPI) Diharapkan dapat menjadi bahan diskusi dan bertukar pikiran bagi ahli keselamatan pertambangan untuk mengembangkan dan mencari solusi atas masalah keselamatan pertambangan yang dihadapi.
5. Bagi Peneliti Lain
Diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi peneliti selanjutnya untuk mengembangkan penelitian ini. Peneliti selanjutnya dapat melakukan penelitian yang lebih komprehensif dengan melibatkan sudut pandang manajemen, profesional K3 dan pekerja, serta melakukan intervensi terhadap faktor-faktor determinan yang terlibat.
E. Keaslian Penelitian
1. Tenau (2011) meneliti mengenai kajian keselamatan dan kesehatan kerja pada tambang bawah tanah DOZ di PT Freeport Indonesia. Penelitian ini mengkaji variabel yang sama, yaitu manajemen keselamatan dan kesehatan kerja di sektor pertambangan. Hanya saja, perbedaan terletak pada fokus penelitian, metode penelitian yang digunakan, objek penelitian serta lingkup sektor pertambangan yang diteliti.(Tenau, 2011)
2. Maradona (2013) meneliti mengenai tinjauan keselamatan dan kesehatan kerja pada area penambangan dan pengolahan tambang terbuka PT Atoz Nusantara di provinsi Sumatera Barat. Penelitian ini mengkaji variabel yang serupa, yaitu aspek manajemen keselamatan dan kesehatan kerja
pada sektor pertambangan, perbedaan terletak pada tujuan penelitian, metode penelitian yang digunakan dan lingkup penelitian.(Maradona, 2013)
3. Salafudin dan Ananta (2013) meneliti mengenai penerapan manajemen keselamatan dan kesehatan kerja di PT PLN (Persero) pada area pengatur distribusi Jawa Tengah dan D.I Yogyakarta dalam upaya peningkatan mutu dan produktivitas karyawan. Penelitian ini juga meneliti variabel serupa,yaitu penerapan sistem keselamatan dan kesehatan kerja. Perbedaan terletak pada variabel lain yang diteliti, metode penelitian yang digunakan serta subjek penelitian.(Salafudin & Ananta, 2013)
4. Abidin (2015) meneliti mengenai penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (SMK3) dan faktor yang berpengaruh pada kejadian kecelakaan kerja di PT. Mega Andalan Kalasan Kabupaten Sleman. Penelitian ini mengkaji variabel yang sama, yaitu penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja. Tujuan penelitianpun sama, yaitu menganalisis penerapan sistem keselamatan dan kesehatan kerja beserta faktor-faktor yang memengaruhinya, terutama terkait kecelakaan kerja. Hanya saja perbedaan terletak pada metode penelitian yang digunakan dan sektor industri yang diteliti, dimana pada penelitian ini meneliti pada sektor industri manufakturing, bukan sektor industri pertambangan.(Abidin, 2015)
5. Suhardianto (2016) meneliti mengenai kajian penerapan sistem manajemen keselamatan pertambangan dalam pencapaian zero accident pada IUP batubara PT Kuansing Inti Makmur di provinsi Jambi. Penelitian ini mengkaji variabel yang sama, yaitu penerapan sistem manajemen keselamatan pertambangan. Hanya saja, perbedaan penelitian ini terletak pada tujuan penelitian, metode penelitian dan ruang lingkup lokasi penelitian.(Suhardianto, 2016)
Setelah merujuk pada beberapa kepustakaan serupa dengan perbedaan dan persamaan seperti diatas, maka penelitian ini dapat dianggap asli.