• Tidak ada hasil yang ditemukan

Optimasi formula gel antiacne ekstrak daun belimbing wuluh (averrhoa bilimbi, l.) menggunakan gelling agent carbopol 940 dan humectant gliserol –aplikasi metode desain faktorial - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Optimasi formula gel antiacne ekstrak daun belimbing wuluh (averrhoa bilimbi, l.) menggunakan gelling agent carbopol 940 dan humectant gliserol –aplikasi metode desain faktorial - USD Repository"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

OPTIMASI FORMULA GEL ANTIACNE EKSTRAK DAUN BELIMBING WULUH (Averrhoa bilimbi, L.) MENGGUNAKAN GELLING AGENT CARBOPOL 940 DAN HUMECTANT GLISEROL – APLIKASI METODE

DESAIN FAKTORIAL

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh:

Omega Bagus Pamuji

NIM: 058114064

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

ii

OPTIMASI FORMULA GEL ANTIACNE EKSTRAK DAUN BELIMBING WULUH (Averrhoa bilimbi, L.) MENGGUNAKAN GELLING AGENT CARBOPOL 940 DAN HUMECTANT GLISEROL – APLIKASI METODE

DESAIN FAKTORIAL

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh:

Omega Bagus Pamuji

NIM: 058114064

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(3)

iii

(4)

iv

(5)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Setiap masalah dan tantangan yang kita hadapi akan selalu ada resiko

yang harus diambil, yang mungkin dapat berbuah kegagalan. Namun

bila resiko tersebut tidak diambil, kita sudah pasti gagal

...tetapi takutlah akan Tuhan senantiasa.

Karena masa depan sungguh ada,

dan harapanmu tidak akan hilang.

(Amsal 23:17b-18)

Diatas batas yang kita pahami selalu ada batasan yang baru. Hidup

adalah melompati batasan-batasan tersebut dan terus belajar dari tiap

lompatannya

.

(6)

vi

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

(7)

vii

PRAKATA

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia dan

penyertaan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Optimasi Formula Gel Antiacne Ekstrak Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa

bilimbi, L.) Menggunakan Gelling agent Carbopol 940 dan Humectant Gliserol –

Aplikasi Metode Desain Faktorial” tepat pada waktunya. Laporan akhir ini

disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Strata Satu

pada Program Studi Farmasi (S. Farm).

Semua kelancaran dan keberhasilan penulis dalam menyelesaikan laporan

ini tidak lepas dari dukungan, bimbingan, bantuan dan motivasi dari berbagai

pihak. Untuk itu pada penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada :

1. Tuhan Yesus Kristus atas segala anugrah-Nya yang selalu indah di hidupku

2. Rita Suhadi, M. Si., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata

Dharma Yogyakarta

3. Sri Hartati Yuliani, M.Si., Apt., selaku dosen pembimbing yang telah

memberikan banyak waktu untuk mendampingi dan memberikan arahan

kepada penulis baik selama penelitian maupun penyusunan laporan akhir

4. Agatha Budi Susiana Lestari, M.Si., Apt. selaku dosen penguji yang telah

memberikan masukan, kritik dan saran kepada penulis.

5. Yustina Sri Hartini, M.Si., Apt yang telah meluangkan waktunya selaku dosen

(8)

viii

6. Keluarga (Bapak, Ibu, mbak Yuli, mbak Heni, dan mbak Ari) dan

saudara-saudariku yang telah memberi dukungan, semangat, dan doa

7. Bunga Mahardhika Nasrani yang selalu menjadi sumber inspirasi, semangat

dan harapanku, terimakasih karena kau mau menjadi bagian dalam hidupku

8. Kelompok skripsiku Ong dan Vanny atas kerjasama dan bantuannya selama

mengerjakan penelitian dan laporan skripsi ini; temanku Bayu dan Jovan atas

bimbingannya dalam menyelesaikan laporan ini; teman-teman kelompok

PKM asam jawa (Rio, Ade, Dissa, dan Ong lagi) dan Bu Rini Dwiastuti,

S.Farm., skripsiku dimulai dari sini; Teman-teman angkatan 2005, khususnya

teman-teman FST 05 dan teman-teman ex kelas B.

9. Ni Ketut Candra dan segenap tim dosen Laboratorium Mikrobiologi

Politeknik Kesehatan Yogyakarta Jurusan Analis Kesehatan yang telah

bersedia memberikan bakteri uji

10.Segenap laboran (Mas Agung, Pak Musrifin, Mas Wagiran, Mas Sigit, Mas

Sarmanto, Mas Bimo, Mas Ottok, Mas Iswandi) atas bantuan selama penulis

menyelesaikan penelitian ini

11.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu

Penulis menyadari bahwa dalam laporan akhir ini masih terdapat banyak

kesalahan dan kekurangan. Untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang

membangun dari semua pihak. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat

bermanfaat bagi masyarakat dan perkembangan ilmu pengetahuan.

(9)

ix

(10)

x

INTISARI

Penelitian mengenai optimasi formula sediaan antiacne ekstrak daun belimbing wuluh (Averrhoa billimbi, L.) dengan gelling agent carbopol 940 dan

humectant gliserol bertujuan untuk memperoleh komposisi optimum dari carbopol 940 dan gliserol, dan mengetahui faktor dominan antara carbopol 940, gliserol, dan interaksi keduanya terhadap sifat fisik (daya sebar dan viskositas) dan stabilitas fisik gel (pergeseran viskositas).

Penelitian ini menggunakan rancangan eksperimental dengan variabel eksperimental ganda (desain faktorial) dengan dua faktor yaitu carbopol 940– gliserol serta menggunakan dua level yaitu level tinggi – rendah. Tiap formula diuji sifat fisik dan stabilitas fisiknya. Data dianalisis menggunakan perhitungan desain faktorial dan analisis statistik menggunakan Yate’s Treatment dengan taraf kepercayaan 95%.

Dari hasil penelitian tidak diperoleh area optimum komposisi carbopol 940 dan gliserol yang meliputi sifat fisik dan stabilitas fisik gel, dengan daya sebar optimal antara 5-7 cm; viskositas 150-250 dPa.s; dan pergeseran viskositas <10%. Carbopol 940 menghasilkan efek yang dominan pada respon daya sebar, viskositas, dan pergeseran viskositas.

(11)

xi

ABSTRACT

The study of formula optimization of antiacne gel from belimbing wuluh leaves (Averrhoa bilimbi, L.) extract with gelling agent carbopol 940 and humectant glycerol intended to get the optimum composition of carbopol 940 and glycerol, and to determined the dominant factor among carbopol 940, glycerol, and its interaction on the physical characteristics (spreadability and viscosity) and physical stabilities of gel (viscosity shift).

The research used a experimental design with double experimental variables (factorial design) with two factors carbopol 940-glycerol, and two levels which were high level-low level. Each formula was tested its physical characteristics and physical stability. The data were analyzed statistically using factorial design calculation and statistical analysis used the Yate's treatment with 95% level of confidence.

From this research, wasn’t gained an optimum area compotition of carbopol 940 and glycerol, with optimal spreadability was 5-7 cm; viscocity 150-250 dPa.s; and viscocity friction <10 %. Carbopol 940 was dominant on determining spreadability, viscosity and viscosity friction respon.

(12)

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN... v

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vi

PRAKATA ... vii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... ix

INTISARI ... x

ABSTRACT ... xi

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

BAB 1. PENGANTAR ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 3

C. Keaslian Penelitian... 3

D. Manfaat Penelitian ... 4

1. Manfaat teoritis ... 4

(13)

xiii

E. Tujuan Penelitian ... 5

1. Tujuan umum ... 5

2. Tujuan khusus ... 5

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA... 6

A. Jerawat ... 6

1. Staphylococcus aureus dan Staphylococcus epidermidis ... 7

2. Propionibacterium acne... 8

B. Tanaman Belimbing Wuluh ... 8

1. Sistematika tumbuhan ... 8

2. Morfologi ... 8

3. Kandungan kimia ... 9

4. Kegunaan ... 9

C. Flavonoid ... 10

D. Maserasi ... 11

E. Deklorofilasi ... 11

1. Klorofil ... 12

2. Elektrokoagulasi ... 13

F. Pengujian Aktivitas Antibakteri ... 14

G. Gel ... 15

H. Gelling Agent ... 16

I. Humectant ... 17

J. Desain Faktorial ... 18

(14)

xiv

L. Hipotesa ... 21

BAB III. METODE PENELITIAN... 22

A. Jenis Rancangan Penelitian ... 22

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 22

1. Variabel penelitian ... 22

2. Definisi operasional ... 22

C. Bahan dan Alat Penelitian ... 24

1. Bahan penelitian... 24

2. Alat penelitian ... 24

D. Tata Cara Penelitian ... 24

1. Pembuatan ekstrak daun belimbing wuluh ... 24

2. Uji potensi antibakteri (daya hambat) ekstrak daun belimbing wuluh dengan metode difusi sumuran ... 26

3. Optimasi formula gel ... 26

4. Uji sifat fisik dan stabilitas fisik gel ... 28

5. Uji potensi antibakteri gel ... 29

E. Optimasi dan Analisis Data ... 29

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 31

A. Pengumpulan Bahan ... 31

B. Pembuatan Serbuk Simplisia ... 32

C. Pembuatan Ekstrak Cair Daun Belimbing Wuluh ... 32

D. Deklorofilasi Ekstrak Cair Daun Belimbing Wuluh ... 34

(15)

xv

F. Sifat Fisik dan Stabilitas Fisik Gel... 38

1. Uji daya sebar ... 40

2. Uji viskositas ... 43

3. Pergeseran viskositas ... 46

G. Hasil Uji Potensi Antibakteri Gel Antiacne ... 51

H. Optimasi Formula Gel Antiacne ... 52

1. Daya Sebar ... 53

2. Viskositas ... 54

3. Pergeseran Viskositas ... 55

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 58

A. Kesimpulan ... 58

B. Saran ... 58

DAFTAR PUSTAKA ... 59

LAMPIRAN ... 63

(16)

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel I. Notasi Formula Desain Faktorial ... 19

Tabel II. Formula Desain Faktorial ... 27

Tabel III. Diameter Zona Hambat Ekstrak Daun Belimbing Wuluh terhadap

Bakteri Staphylococcus aureus dan Staphylococcus epidermidis ... 36

Tabel IV. Sifat Fisik dan Stabilitas Fisik Gel Antiacne ... 38

Tabel V. Efek Carbopol 940, Efek Gliserol, dan Efek Interaksi Keduanya ... 40

Tabel VI. Analisis Yate’s Treatment untuk Respon Daya Sebar Gel Antiacne .. 42

Tabel VII. Analisis Yate’s Treatment untuk Respon Viskositas Gel Antiacne.... 45

Tabel VIII. Analisis Yate’s Treatment untuk Respon Pergeseran Viskositas Gel

Antiacne ... 50

Tabel IX. Diameter Zona Hambat Gel Antiacne Daun Belimbing Wuluh

terhadap Bakteri Staphylococcus aureus dan Staphylococcus

(17)

xvii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kerangka Dasar Flavonoid Berserta Penomorannya ... 10

Gambar 2. Struktur Kimia Klorofil a, b, c1, c2, dan d (May, 2002) ... 12

Gambar 3. Deskripsi Metode Elektrokoagulasi ... 14

Gambar 4. Struktur Umum Carbopol (Anonim, 2001) ... 17

Gambar 5. Struktur Gliserol (Anonim, 1995) ... 18

Gambar 6. Grafik Hubungan Carbopol 940 (a) dan Gliserol (b) terhadap Daya Sebar Gel Antiacne ... 41

Gambar 7. Grafik Hubungan Carbopol 940 (a) dan Gliserol (b) terhadap Viskositas Gel Antiacne ... 44

Gambar 8. Grafik Viskositas Gel Tiap Minggu ... 47

Gambar 9. Grafik Pergeseran Viskositas Gel Tiap Minggu ... 48

Gambar 10 Grafik Hubungan Carbopol 940 (a) dan Gliserol (b) terhadap Pergeseran Viskositas Gel Antiacne (60) ... 49

Gambar 11. Contour Plot Daya Sebar Gel Antiacne ... 53

Gambar 12. Contour Plot Viskositas Gel Antiacne ... 54

Gambar 13. Contour Plot Pergeseran Viskositas Gel Antiacne ... 55

(18)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Determinasi Tanaman ... 63

Lampiran 2. Uji Organoleptis Ekstrak ... 64

Lampiran 3. Perhitungan Rendemen dan Data Pengujian Ekstrak ... 65

Lampiran 4. Perhitungan Penimbangan Ekstrak Daun Belimbing Wuluh ... 66

Lampiran 5. Notasi Desain Faktorial dan Percobaan Desain Faktorial ... 67

Lampiran 6. Data Zona Hambat Gel ... 68

Lampiran 7. Data Sifat Fisis dan Stabilitas Fisis Gel ... 69

Lampiran 8. Perhitungan Desain Faktorial ... 72

Lampiran 9. Perhitungan Yate’s Treatment ... 78

(19)

1

BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang

Jerawat merupakan suatu proses peradangan kronik kelenjar-kelenjar

pilosebasea. Keadaan ini sering dialami oleh usia remaja dan dewasa muda, dan

akan menghilang secara spontan pada usia sekitar 20-30 tahun. Penyebaran

jerawat ini sesuai dengan daerah kelenjar pilosebasea meliputi wajah, punggung,

dada, dan leher (Price dan Wilson, 1985). Patogenesis jerawat ini meliputi banyak

faktor, diantaranya disebabkan oleh ganguan terhadap sekresi hormon androgen,

proses keratinisasi dan imunitas serta infeksi bakteri (Webster, 2001). Jerawat

biasanya ditandai dengan pembentukan komedo, terjadi inflamasi dan terdapat

bakteri Propionibacterium acnes, Staphylococcus epidermidis dan Staphylococcus

aureus dalam folikel rambut serta produksi sebum (Kumar, Javaveera, Kumar,

Sanjay, Swamy, Kumar, 2007).

Propionibacterium acnes merupakan suatu bakteri yang dapat

menyebabkan terjadinya inflamasi karena kemampuannya memetabolismekan

trigliserida menjadi asam lemak. Sebaliknya Staphylococcus epidermidis dan

Staphylococcus aureus merupakan suatu bakteri yang sering terlibat dalam infeksi

superficial pada unit sebasea. Bakteri Staphylococcus epidermidis dan

Staphylococcus aureus dapat menyebabkan terbentuknya nanah sehingga

menghasilkan inflamasi pada jerawat (Kumar et al, 2007).Staphylococcus aureus

(20)

menjadi target yang potensial untuk pengobatan jerawat. Propionibacterium

acnes, Staphylococcus aureus dan Staphylococcus epidermidis merupakan target

untuk obat-obat antiacne dengan kemampuan antibakteri.

Hasil penelitian Feralusiana (2001) dan Triwulan (2004) membuktikan

bahwa ekstrak etanol dari daun belimbing wuluh memiliki kemampuan sebagai

antibakteri terhadap Staphyloccocus aureus. Staphyloccocus aureus ini dikenal

paling patogen diantara bakteri Gram positif dan bakteri golongan Staphylococcus

lainnya. Jika senyawa antibakteri yang terdapat di dalam ekstrak etanol daun

belimbing wuluh dapat membunuh bakteri Staphyloccocus aureus, maka

kemungkinan juga memiliki kemampuan sebagai antibakteri terhadap

Propionibacterium acnes dan Staphylococcus epidermidis yang bersifat kurang

patogen. Hasil identifikasi ekstrak etanol daun belimbing wuluh ini menunjukkan

bahwa ekstrak mengandung senyawa flavonoid golongan flavon dimana senyawa

tersebut juga memiliki kemampuan sebagai antibakteri. Ekstrak etanol daun

belimbing wuluh ini berpotensi untuk dikembangkan menjadi suatu sediaan

farmasi untuk pengobatan jerawat. Penggunaan ekstrak untuk formulasi jauh lebih

ekonomis dan praktis daripada harus menggunakan isolat flavonoidnya.

Menjadi suatu hal yang menarik dan inovatif apabila dalam penelitian ini

dibuat suatu sediaan gel antiacne dari bahan alam menggunakan ekstrak daun

belimbing wuluh. Alasan dipilih sediaan gel karena sediaan gel memiliki

konsistensi lembut, mampu melekat dalam waktu lama, dan memberikan sensasi

dingin saat diaplikasikan pada kulit. Sediaan gel (hydrogel) tidak mengandung

(21)

pelembab dapat memperparah dan merangsang timbulnya jerawat (Price dan

Wilson, 1985). Adanya struktur koloid tiga dimensi pada gel dapat menjerat dan

melindungi senyawa aktif pada ekstrak daun belimbing wuluh. Dalam penelitian

ini akan dioptimasi komposisi carbopol 940 sebagai gelling agent dan gliserol

sebagai humectant menggunakan metode Desain Faktorial untuk mendapatkan

sediaan gel yang berkhasiat, serta memenuhi parameter sifat fisik dan stabilitas

fisik sediaan gel.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka rumusan

masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Manakah diantara faktor carbopol 940, gliserol, atau interaksi keduanya yang

lebih dominan dalam menentukan respon daya sebar, viskositas dan

pergeseran viskositas?

2. Apakah ditemukan area optimum dari komposisi carbopol 940 dan gliserol

yang dapat menghasilkan respon sifat fisik dan stabilitas fisik yang

diharapkan?

C. Keaslian Penelitian

Sejauh pengetahuan penulis, penelitian mengenai Optimasi Formula Gel

Antiacne Ekstrak Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi, L.) Menggunakan

Gelling agent Carbopol 940 dan Humectant Gliserol Aplikasi Metode Desain

(22)

Pengembangan Formulasi Sediaan Gel Antiacne serta Penentuan Konsentrasi

Hambat Minimum Ekstrak Daun Pepaya (Carica papaya A Linn.) (Ardina, 2007).

Sedangkan penelitian lain yang berhubungan yaitu Daya Antibakteri Ekstrak

Etanol dan Infus Daun Belimbing Wuluh (Averhoa bilimbi, L) terhadap

Staphylococcus aureus dan Salmonella typhi (Feralusiana, 2001) dan Potensi

Antibakteri Isolat Flavonoid Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L.)

Terhadap Staphylococcus aureus dan Escherichia coli (Triwulan, 2004).

D. Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian ini diharapkan diperoleh:

1. Manfaat teoritis

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah

ilmu pengetahuan serta dapat memberikan kontribusi terhadap pengembangan

sediaan gel antiacne menggunakan bahan alam.

2. Manfaat praktis

Dengan adanya sediaan gel antiacne ini masyarakat dapat

menggunakan sediaan gel dari bahan alam sebagai alternatif untuk mengatasi

(23)

E. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum

Penelitian ini ditujukan untuk membuat sediaan gel antiacne ekstrak daun

belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi l.) yang memenuhi karakteristik fisik tertentu

dan mempunyai potensi sebagai antiacne.

2. Tujuan khusus

a. Mengetahui pengaruh antara carbopol 940, gliserol, atau interaksi

keduanya yang lebih dominan dalam menentukan respon daya sebar,

viskositas dan pergeseran viskositas.

b. Mengetahui area optimum dari komposisi carbopol 940 dan gliserol yang

dapat menghasilkan respon sifat fisik dan stabilitas fisik yang

(24)

6

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Jerawat

Jerawat merupakan penyakit kulit yang disebabkan multifaktor, meliputi

ganguan proses keratinisasi, sekresi hormon dan imunitas. Kerusakan utama yang

ditimbulkan antara lain meliputi komedo, penyumbatan folikel sebagai hasil

pengelupasan tidak normal dari dinding folikel (Webster, 2001). Jerawat terjadi

karena penyumbatan pada pilosebasea dan peradangan yang umumnya dipicu

oleh bakteri Propionibacterium acnes, Staphylococcus epidermidis, dan

Staphylococcus aureus (Ardina, 2007) Penyebaran jerawat ini sesuai dengan

daerah kelenjar pilosebasea meliputi wajah, leher, dada, punggung dan bahu

(Price dan Wilson, 1985).

Timbulnya jerawat dimulai karena terjadi saluran sebum menuju

permukaan kulit mengalami penyumbatan sehingga sebum akan terakumulasi.

Bakteri, terutama Propionibacterium acnes ikut telibat dalam tahap ini.

Bakteri-bakteri yang terdapat pada folikel akan memetabolismekan trigliserida pada

sebum menjadi asam lemak bebas. Asam lemak yang terbentuk ini akan

menimbulkan terjadinya inflamasi jerawat. Neutrofil, monosit dan enzim yang

dapat menghancurkan dinding folikel akan ikut tertarik dan terakumulasi. Bakteri

akan terdegradisi lambat sehingga menyebabkan respon inflamasi bertahan lama

(25)

1. Staphylococcus aureus dan Staphylococcus epidermidis

Staphylococcus merupakan bakteri Gram positif yang selnya berbentuk

bola berukuran 0,5-1,5 µm; ditemukan dalam bentuk tunggal, berpasangan atau

bergerombol dengan susunan tidak teratur. Dapat tumbuh dalam lingkungan

anaerobik namun lebih bagus dalam lingkungan yang aerobik; tumbuh optimal

dalam temperatur 30-370C; koloninya keruh dengan warna putih dan terkadang kuning hingga oranye; sering ditemukan dalam kulit, membran mukosa dan

terkadang di dalam makanan, debu dan air (Holt, Krieg, Sneath, Staley, Williams,

2000).

Staphylococcus aureus merupakan bakteri golongan Staphylococcus yang

paling patogen; memiliki sifat koagulase positif; diameter berukuran 0,8-1,0 µm;

koloni berwarna kuning hingga oranye; tumbuh dalam lingkungan aerobik dan

anaerob fakultatif. Bakteri ini dapat diisolasi dari nanah; habitat pertumbuhannya

pada membran mukosa dan kulit (folikel rambut) (Holt et al., 200 dan Tortora et

al., 2002). Staphylococcus epidermidis merupakan bakteri bersifat koagulase

negatif; memiliki koloni berwarna putih dengan ukuran sel 0,5-06 µm; tumbuh

dalam lingkungan aerobik dan anaerob fakultatif dengan temperatur optimal 370C (Breed, Murray, Smith, 1957). Staphylococcus aureus dan Staphylococcus

epidermidis sering terlibat dalam infeksi superficial pada unit sebaseus (pada

kulit). Kedua bakteri ini diketahui sebagai bakteri yang menyebabkan timbulnya

(26)

2. Propionibacterium acne

Propionibacterium merupakan bakteri Gram positif yang memiliki bentuk

batang pleomorfi dengan ukuram 0,5-0,8 x 1-5 µm; ditemukan dalam bentuk sel

tunggal, berpasangan atau membentuk rantai yang pendek; bersifat anaerob

fakultatif (tumbuh lemah dalam lingkungan aerobik) namun tumbuh baik dalam

lingkungan anaerob dengan temperatur optimal 370C; sering ditemukan pada kulit manusia. Propionibacterium acne memiliki habitat pertumbuhan pada jerawat,

kulit dan folikel rambut (Holt et al., 2000 dan Breed et al., 1957). Dapat

menyebabkan timbulnya nanah dan inflamasi pada jerawat (Kumar et al. 2007)

B. Tanaman Belimbing Wuluh 1. Sistematika tumbuhan

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledonae

Bangsa : Geraniales

Suku : Oxalidaceae

Marga : Averrhoa

Jenis : Averhoa bilimbi, L.

(Becker dan Van den Brink, 1965)

2. Morfologi

Pohon belimbing wuluh mempunyai tinggi mencapai 5-10 meter. Daunnya

(27)

bertangkai pendek berbentuk bulat telur sampai jorong, ujung runcing, pangkal

membundar, tepi rata dengan panjang 2-10 cm dan lebar 1-3 cm. Warna daun

hijau dengan bagian permukaan bawah berwarna hijau muda. Bunganya berupa

malai berbentuk kecil serupa bintang, berkelompok, keluar dari batang atau

percabangan yang besar dan berwarna ungu kemerahan. Buahnya bulat lonjong

persegi dengan panjang 4-6,5 cm, berwarna hijau kekuningan, berair banyak dan

terasa asam. Biji belimbing wuluh berbentuk elips, umumnya 2-3 setiap ruang,

tanpa selaput biji dan ukurannya 6-7 mm. Tanaman ini dapat tumbuh alami di

daratan asia beriklim tropis, lembab dan biasanya ditanam pada ketinggian kurang

dari 500 meter dpl (Sudarsono, 2002).

3. Kandungan kimia

Daun, buah, batang mengandung saponin, flavonoid, disamping itu

daunnya mengandung tanin, batangnya mengandung alkaloid dan polifenol

(Perry,1980).

4. Kegunaan

Buah belimbing wuluh dapat digunakan untuk obat tradisional yaitu

bagian bunganya untuk penyakit obat batuk dan sariawan. Daunnya dapat untuk

mengobati reumatik, sakit perut, gondongan. Buahnya dapat digunakan untuk

batuk rejan, gusi berdarah, sariawan, sakit gigi berlubang, jerawat, panu, tekanan

darah tinggi, kelumpuhan radang rektum, memperbaiki fungsi pencernaan (Sandi

dan Andriani,2006). Flavonoid yang terdapat pada daun dapat berfungsi sebagai

(28)

C. Flavonoid

Flavonoid merupakan senyawa fenol yang terdapat dalam tumbuhan.

Flavonoid mengandung 15 atom karbon dalam inti dasarnya yang tersusun

sebagai C6-C3-C6. Cincin tersebut diberi tanda dengan huruf A, B, dan C. Atom

karbon dinomori menurut sistem penomoran yang menggunakan angka biasa

untuk cincin A dan C, serta angka beraksen untuk cincin B (Markham,1988)

O

O

A C

B

5 6 7

8

4 3

1' 6'

5' 4' 3' 2'

Gambar 1. Kerangka Dasar Flavonoid Berserta Penomorannya

Flavonoid terdapat dalam tumbuhan dalam bentuk campuran, jarang sekali

dijumpai hanya flavonoid tunggal dalam tumbuhan. Flavonoid terutama berupa

senyawa yang larut dalam air. Sebagian besar flavonoid terdapat dalam vakuola,

yang umumnya bersifat hidrofilik, sehingga ekstraksi dilakukan dengan

menggunakan pelarut air atau pelarut-pelarut alchoholic. Pelarut universal yang

umumnya digunakan untuk mengekstraksi flavonoid pada semua tipe jaringan

tumbuhan adalah metanol atau etanol yang berkadar 70-80%. Flavonoid berupa

senyawa fenol. Flavonoid umumnya larut dalam pelarut polar seperti etanol,

metanol, butanol, aseton, dimetil sulfoksida, dimetil formamida, air. Flavonoid

dapat digunakan untuk menghambat pendarahan, antimikroba, antivirus, pengatur

(29)

D. Maserasi

Maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana. Maserasi dilakukan

dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Cairan penyari

akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat

aktif, zat aktif akan larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan

zat aktif di dalam sel dengan yang diluar sel, maka larutan terpekat didesak keluar.

Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara

larutan di luar sel dan di dalam sel. Pengadukan perlu dilakukan untuk meratakan

konsentrasi di luar butir serbuk simplisia. Kelebihan cara maserasi ini adalah cara

pengerjaan dan peralatannya sangat sederhana dan mudah diusahakan, sedangkan

Kekurangannya adalah pengerjaannya membutuhkan waktu lama dan hasil

penyarian kurang sempurna. Cara penyarian ini dapat dipercepat dengan

menggunakan mesin pengaduk yang terus-menerus berputar sehingga

mempercepat waktu maserasi menjadi 6-24 jam (Anonim, 1986).

E. Deklorofilasi

Pada produk alam dari tanaman, terutama dari bagian daun, juga akan

mengandung klorofil yang merupakan pigmen tanaman. Secara umum, klorofil ini

harus dihilangkan dari ekstrak agar metabolit sekunder yang diperoleh dalam

bentuk murni. Proses penghilangan klorofil disebut dengan deklorofilasi. Proses

deklorofilasi dapat dilakukan dengan cara ekstraksi pelarut, kromatografi kolom

(30)

1. Klorofil

Klorofil ditemukan di dalam kloroplas tanaman hijau dan membuat

tanaman berwarna hijau. Struktur dasar molekul klorofil adalah cincin porfirin,

koordinat dengan atom sentral. Strukturnya sangat mirip dengan heme yang

terdapat pada hemoglobin, kecuali atom sentral pada heme adalah besi, sedangkan

pada klorofil adalah magnesium (May, 2002).

(31)

Ada 4 macam tipe klorofil yaitu a, b, c (1, 2) dan d. Namun kandungan

klorofil yang paling banyak dalam tanaman adalah klorofil a dan klorofil b. Kedua

tipe klororfil ini merupakan fotoreseptor yang sangat efektif karena mereka

mengandung jaringan ikatan tunggal dan rangkap yang bergantian. Poliena yang

terlokalisir memiliki absorpsi yang sangat kuat pada spektrum visible, sehingga

tanaman dapat mengabsorpsi energi dari cahaya matahari (May, 2002). Klorofil

yang diekstraksi dari daun akan menyerap cahaya dan mengemisikan kembali

cahaya yang diterminya. Klorofil menyerap cahaya pada panjang gelombang

warna biru dan merah, tetapi klorofil akan terkihat berwarna hijau karena tidak

menyerap warna tersebut (Anonim, 1999).

2. Elektrokoagulasi

Elektrokoagulasi merupakan suatu teknik elektrokimia dimana dapat

menghilangkan secara efektif berbagai partikel terlarut dan bahan tersuspensi,

baik organik maupun anorganik, dari suatu larutan dengan cara elektrolisis

(Jumpatong et al., 2006). Elektrokoagulasi adalah teknik elektrokimia yang akan

meningkatkan koagulasi, dengan pembentukan ion metal secara in-situ oleh

reaktor kimia, yang akan membentuk kompleks metal oksida atau hidroksida

untuk menghilangkan impurities (Ghosh, Medhi, Solanki, Purkait, 2008).

Bila dalam suatu elektrolit ditempatkan dua elektroda dan dialiri arus

listrik searah, maka akan terjadi reaksi elektrokimia. Reaksi ini merupakan gejala

dekomposisi elektrolit, yaitu ion positif (kation) bergerak ke katoda dan menerima

elektron yang direduksi dan ion negatif (anion) bergerak ke anoda dan

(32)

Gambar 3. Deskripsi Metode Elektrokoagulasi

pelepasan Al3+ dari plat elektroda (anoda) sehingga membentuk flok Al(OH)3

yang mampu mengikat senyawa yang mengandung logam. Proses

elektrokoagulasi dilakukan pada bejana elektrolisis yang di dalamnya terdapat dua

penghantar arus listrik searah yang disebut elektroda, yang tercelup dalam larutan

sebagai elektrolit (Sunardi, 2007).

F. Pengujian Aktivitas Antibakteri

Senyawa antibakteri adalah senyawa yang digunakan untuk membasmi

bakteri dan khususnya bakteri yang merugikan. Terdapat senyawa antibakteri

yang memiliki sifat menghambat pertumbuhan bakteri (bacteriostatic) dan ada

yang bersifat membunuh bakteri (bactericide). Pengukuran aktivitas antibakteri

secara in vitro dapat dilakukan dengan metode difusi dan dilusi (Jawetz et al.,

1986).

Prinsip pemeriksaan antibakteri dengan metode difusi ini adalah dengan

pengukuran diameter hambatan obat, berdasarkan kemampuan obat untuk

(33)

mengandung antibiotika atau zat uji diletakkan di atas atau apabila dengan cara

sumuran zat tersebut dimasukkan ke dalam sumuran. Besarnya daerah difusi

sesuai dengan hambatan bakteri uji dan sebanding dengan kadar yang diberikan

Jawetz et al., 1986).

G. Gel

Gel didefinisikan sebagai suatu sistem setengah padat yang terdiri dari

suatu dispersi yang tersusun baik dari partikel anorganik yang kecil atau molekul

organik yang besar dan saling diresapi cairan (Ansel, 1989). Beberapa sistem gel

biasanya transparan, tetapi ada juga yang keruh karena ada bahan-bahan yang

terdispersi koloidal (Allen, 2002). Konsistensi dari sediaan gel disebabkan oleh

adanya gelling agent (thickening agent) yang pada umumnya merupakan suatu

polimer yang membentuk suatu jaringan tiga dimensi. Gaya intermolekuler akan

mengikat molekul-molekul pelarut dengan jaringan antar polimer sehingga akan

mengurangi mobilitas dari molekul-molekul pelarut yang akhirnya akan

menyebabkan meningkatnya viskositas sistem (Paye, Barel, Maibach, 2006). Gel

bersifat tiksotropik yaitu berbentuk semipadat dengan pendiaman namun

berbentuk cair pada saat diaplikasikan. Gel pada umumnya memiliki sifat

rheology pseudoplastik (Zatz dan Kushla, 1996).

Gel digolongkan berdasarkan 2 sistem klasifikasi. Sistem klasifikasi

pertama membagi gel kedalam inorganik dan organik. Inorganik gel pada

umumnya berupa sistem 2 fase, sedangkan organik gel berupa sistem 1 fase.

(34)

mengandung bahan-bahan yang terdispersi sebagai koloid atau larut dalam air,

sedangkan organogel mengandung pelarut non aqueous sebagai fase kontinyu.

Hydrogel bersifat hidrofil yang sebagian besar (85%-95%) tersusun atas air atau

suatu campuran alchoholic dengan gelling agent (Zatz dan Kushla, 1996; Paye et

al., 2006).

Setelah diaplikasikan pada kulit, hydrogel akan menghasilkan efek dingin

yang disebabkan oleh penguapan dari pelarutnya. Akan tetapi jika diaplikasikan

dalam waktu yang lama akan menyebabkan kulit menjadi kering, oleh karena itu

perlu adanya penambahan humectant seperti gliserol (Paye et al., 2006).

Polimer yang digunakan dalam hydrogel terhidrolisis lambat dan secara

bertahap melepaskan obat bebas. Banyak polimer untuk tujuan ini telah disintesis

(Zatz dan Kushla, 1996). Hydrogel cocok sebagai salep tidak berlemak untuk kulit

dengan fungsi kelenjar sebasea yang berlebihan. Setelah kering, hydrogel akan

meninggalkan suatu lapisan tipis transparan elastis dengan daya lekat tinggi, tidak

menyumbat pori kulit, tidak mempengaruhi respirasi kulit, dan dapat mudah

dicuci dengan air (Voigt, 1994).

H. Gelling Agent

Suatu sistem gel memerlukan sejumlah polimer (gelling agent) untuk

menunjang stuktur jaringan tiga dimensinya. Suatu senyawa polimer organik

seperti contohnya asam poliakrilat (Carbopol), digunakan sebagai gelling

(thickening) agent pada sediaan farmasi atau kosmetik (Zatz dan Kushla, 1996;

(35)

H2 C

H C

COOH n

Gambar 4. Struktur Umum Carbopol (Anonim, 2001)

Carbopol (carbomer) merupakan polimer sintetik asam akrilat BM tinggi

dengan 56-68% terdiri atas gugus karboksilat (COOH), berupa serbuk putih

dengan bau yang khas, sangat mudah terion, sedikit asam, serta bersifat

higroskopis. Dalam bentuk netral, carbopol larut dalam air, alkohol, dan gliserin

serta akan membentuk gel yang jernih dan stabil. Pada larutan asam (pH 3,5-4,0)

dispersi carbopol menujukkan viskositas yang rendah hingga sedang dan pada pH

5,0-10,0 akan menunjukkan viskositas yang optimal (Anonim, 2001). Carbomer

1% mempunyai pH 3. Senyawa-senyawa yang dapat menetralkan carbomer antara

lain: NaOH, KOH, Na2CO3, borax, asam amino, trietanolamin (Anonim, 1983).

I. Humectant

Humectant merupakan bahan kosmetik yang ditujukan untuk

meningkatkan kandungan air pada permukan kulit. Humectant merupakan

senyawa higroskopis yang umumnya larut dalam air. Gliserol sering digunakan

sebagai humectant dalam produk-produk perawatan pribadi. Kegunaan umum

gliserol adalah sebagai pelarut, plasticizer, pemanis, pengawet, lubricant, agen

tonisitas. Gliserol berupa cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau, rasa manis,

dan stabil pada suhu rendah; dapat bercampur dengan air dan alkohol, sedikit larut

(36)

HO OH

OH

Gambar 5. Struktur Gliserol (Anonim, 1995)

Gliserol telah diketahui memiliki tolerabilitas yang tinggi terhadap kulit,

tidak mengiritasi dan tidak menimbulkan efek samping pada kulit yang kering

(Rowe et al., 2006).

J. Desain Faktorial

Desain faktorial digunakan untuk mencari efek dari berbagai faktor atau

kondisi terhadap hasil penelitian. Desain faktorial adalah desain pilihan untuk

menentukan secara serentak efek dari beberapa faktor sekaligus interaksinya.

Desain faktorial merupakan aplikasi persamaan regresi yaitu teknik untuk

memberikan model hubungan antara variabel respon dengan satu atau lebih

variabel bebas (Bolton, 1990).

Perencanaan percobaan secara faktorial juga dinyatakan sebagai

perencanaan percobaan faktorial (desain faktorial), merupakan suatu metode

rasional untuk menyimpulkan dan mengevaluasi secara objektif efek besaran yang

berpengaruh terhadap kualitas produk. Dengan model ini dapat dilakukan

percobaan untuk mengoptimasi formula (Voigt, 1994). Desain faktorial

merupakan aplikasi persamaan regresi yaitu teknik untuk memberikan model

hubungan antara factorial respons dengan satu atau lebih faktorial bebas. Model

yang diperoleh dari analisis tersebut berupa persamaan matematika (Bolton,

(37)

Desain faktorial mengandung beberapa pengertian, yaitu faktorial, level,

efek, dan respon. Faktor dimaksudkan sebagai setiap besaran yang mempengaruhi

harga kebutuhan produk pada prinsipnya dapat dibedakan antara faktor kuantitatif

dan kualitatif (Voigt, 1994). Level merupakan nilai atau tetapan untuk faktor.

Pada percobaan dengan desain faktorial perlu ditetapkan level yang diteliti yang

meliputi level rendah dan level tinggi. Efek adalah perubahan respon yang

disebabkan variasi tingkat faktor. Efek faktor atau interaksi merupakan rata-rata

respon pada level tinggi dikurangi rata-rata respon pada level rendah. Respon

merupakan sifat atau hasil percobaan yang diamati. Respon yang diukur harus

dapat dikuantitatifkan (Bolton, 1990).

Desain faktorial dua faktor dan dua level berarti ada dua faktor (faktor A

dan B) yang masing-masing faktor diuji pada level yang berbeda, yaitu level

rendah dan level tinggi. Dengan desain faktorial dapat didesain percobaan untuk

mengetahui faktor yang dominan berpengaruh secara signifikan terhadap suatu

respon.

Tabel I. Notasi Formula Desain Faktorial

Formula A B Interaksi

1 - - +

A + - -

B - + -

AB + + +

Persamaan umum untuk desain faktorial adalah :

Y = b0 + b1XA + b2XB + b12XAXB (1) Keterangan :

Y = respon hasil atau sifat yang diamati

(38)

b0, b1, b2, b12 = koefisien, dapat dihitung dari hasil percobaan

Besarnya efek dapat dihitung dengan mengurangkan rata-rata respon pada

level tinggi dengan rata-rata respon pada level rendah (Bolton, 1990)

Efek Faktor A =

{

} {

}

2 ) 1 ( + − +a b ab

(2)

Efek Faktor B =

{

} {

}

2 ) 1 ( + − +b a ab

(3)

Efek faktor interaksi =

{

} {

}

2

) 1

( +aba+b

(4)

(Bolton, 1990)

K. Landasan Teori

Menurut Ardina (2007) dan Kumar et.al.(2007) jerawat terjadi karena

penyumbatan pada pilosebasea dan peradangan yang umumnya dipicu oleh

bakteri Propionibacterium acnes, Staphylococcus epidermidis, dan

Staphylococcus aureus. Bakteri tersebut dapat dijadikan sebagai target untuk

pengobatan.

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Feralusiana (2001) dan

Triwulan (2004) membuktikan bahwa ekstrak etanol dari daun belimbing wuluh

senyawa yang diduga mengandung senyawa flavonoid mampu digunakan untuk

membunuh bakteri Staphyloccocus aureus. Ekstrak etanol dari daun belimbing

wuluh ini berpotensi untuk dikembangkan menjadi suatu sediaan farmasi untuk

pengobatan jerawat.

Diperlukan suatu bentuk sediaan farmasi yang memenuhi persyaratan

(39)

masyarakat dengan mudah, praktis, nyaman dan manjur. Pada penelitian ini

dipilih sediaan topikal dengan bentuk gel untuk membawa agen antibakteri dari

ekstrak daun belimbing wuluh. Alasan pemilihannya karena gel memiliki

beberapa kelebihan dibandingkan sediaan semisolid-liquid lainnya. Kelebihannya

antara lain yaitu karena konsistensinya yang lembut, daya lekat pada kulit lama,

nyaman digunakan, memberikan sensasi dingin, dan menarik. Untuk tujuan

antiacne sediaan gel (hydrogel) juga tidak memperparah kondisi jerawat karena

tidak mengandung komposisi yang berminyak dimana adanya minyak di dalam

make up atau lotion dapat merangsang timbulnya jerawat.

Di dalam sediaan gel ini gelling agent akan membentuk struktur tiga

dimensi yang dapat menjerat air dan zat aktif pada ekstrak. Gelling agent dan

humectant diperkirakan berpengaruh terhadap respon sifat fisik dan stabilitas fisik

gel. Untuk mendapatkan sediaan gel dengan parameter-parameter yang

dikehendaki, perlu dilakukan optimasi komposisi dari kedua faktor tersebut. Dua

faktor yang diteliti dengan metode desain faktorial adalah carbopol 940 sebagai

gelling agent dan gliserol sebagai humectant.

L. Hipotesis

Diduga terdapat pengaruh yang bermakna dari komposisi carbopol 940

sebagai gelling agent dan gliserol sebagai humectant dalam formula gel antiacne

ekstrak daun belimbing wuluh pada level yang diteliti terhadap respon daya sebar,

viskositas dan pergeseran viskositas. Diduga dapat ditemukan area komposisi

(40)

22

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Rancangan Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam penelitian eksperimental murni yang

bersifat eksploratif dengan variabel eksperimental ganda (desain faktorial).

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 1. Variabel penelitian

a. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah variasi dan level dari gelling agent dan humectant yaitu:

1) Carbopol 940 : 2,10 g (level rendah) dan 2,70 g (level tinggi)

2) Gliserol : 30,0 g (level rendah) dan 60,0 g (level tinggi)

b. Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah daya sebar, viskositas dan pergeseran viskositas.

c. Variabel pengacau terkendali dalam penelitian ini adalah lama penyimpanan (24 jam setelah pembuatan dan 2 bulan), lama (7 menit) dan

kecepatan pengadukan (500 rpm), diameter lubang sumuran (6 mm).

d. Variabel pengacau tak terkendali adalah suhu saat pengujian, suhu penyimpanan dan kelembaban ruangan.

2. Definisi operasional

a. Ekstrak daun belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi, L.) merupakan ekstrak

(41)

billimbi, L. menggunakan pelarut etanol 70% (juga disebut ekstrak etanol)

yang kemudian dideklorofilasi dan dikeringkan.

b. Deklorofilasi adalah proses penghilangan atau meminimalisasi senyawa

klorofil yang terdapat pada ekstrak daun belimbing wuluh, pada penelitian

ini dilakukan dengan metode elektrokoagulasi (penggumpalan dengan

prinsip elektrokimia).

c. Gel antiacne ekstrak daun belimbing wuluh adalah sediaan semisolid yang

dibuat dari ekstrak daun belimbing wuluh, gelling agent (carbopol 940),

humectant (gliserol) dan bahan lain sesuai dengan formula yang telah

ditentukan dalam penelitian ini.

d. Sifat fisik gel adalah parameter yang digunakan untuk mengetahui kualitas

fisik gel yang meliputi daya sebar gel, viskositas dan pergeseran viskositas

setelah penyimpanan 2 bulan.

e. Contour plot adalah grafik yang merupakan hasil dari respon sifat fisik

tertentu dengan persamaan desain faktorial yang dapat digunakan untuk

memprediksi area optimum formula gel.

f. Contour plot superimposed adalah grafik yang diperoleh dengan

menggabungkan garis–garis dan area optimum dari semua contour plot

yang telah ditentukan pada uji daya sebar, viskositas dan pergeseran

viskositas.

g. Area optimum adalah area komposisi carbopol 940 dan gliserol yang

menghasilkan gel dengan daya sebar 5-7 cm, viskositas 150 sampai 250

(42)

C. Bahan dan Alat Penelitian 1. Bahan penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini daun belimbing wuluh,

carbopol 940, gliserol, etanol 96%, aquadest dan metil paraben yang digunakan

dalam pembuatan gel. Bahan lainnya meliputi etanol 70%, nutrient agar (Oxoid),

nutrient broth (Oxoid), Staphylococcus aureus dan Staphylococcus epidermidis.

2. Alat penelitian

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah

glasswares (Pyrex-Germany), neraca analitik, mixer, Viscometer seri VT 04

(Rion-Japan), seperangkat alat maserasi, oven, seperangkat alat elektrokoagulasi

(modifikasi, Farmasi USD), hotplate, magnetic stirer merk Cenco Instrumen b.v.,

autoklaf, spektrofotometer UV-Vis seri GenesysTM 6 (Thermospectronic-USA), pipet mikro 5-100 µl, inkubator dan Laminar Air Flow (LAF).

D. Tata Cara Penelitian 1. Pembuatan ekstrak daun belimbing wuluh

a. Pengumpulan dan pembuatan serbuk daun belimbing wuluh. Daun belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi, L.) diperoleh dari daerah Karangmojo,

Gunungkidul. Daun dicuci dengan air mengalir untuk menghilangkan kotoran

yang menempel pada daun. Daun yang telah dicuci diangin-anginkan kemudian

dikeringkan menggunakan oven pada suhu 40ºC sampai daun benar-benar kering,

ditandai dengan mudah dipatahkan atau hancur bila diremas. Simplisia yang sudah

(43)

b. Pembuatan ekstrak cair daun belimbing wuluh

c.

. Sebanyak kurang lebih 12

g serbuk daun belimbing wuluh dimasukkan ke dalam erlenmeyer (300 ml)

bertutup, dan ditambahkan larutan penyari etanol 70% sebanyak 100 ml.

Kemudian erlenmeyer diletakkan pada shaker. Proses maserasi dilakukan selama

2x24 jam menggunakan penggojogan dengan kekuatan 160 rpm. Setelah 48 jam,

ekstrak keruh disaring dengan kertas saring hingga diperoleh ekstrak cair daun

belimbing wuluh.

Deklorofilasi ekstrak cair daun belimbing wuluh

d.

. Sebanyak 500 mL

ekstrak cair daun belimbing wuluh dimasukkan ke dalam bejana elektrokoagulasi

500 mL. Kemudian dimasukkan sepasang lempeng aluminium berukuran 15 x 3

cm sedalam 7 cm kedalam larutan ekstrak cair. Jarak antar kedua lempeng

aluminium diatur 1,5 cm. Kemudian larutan ekstrak cair diaduk dengan

menggunakan magnetic stirer dengan kecepatan 150 rpm. Selanjutnya

ditambahkan NaCl ke dalam ekstrak cair sebagai elektrolit pendukung. Tegangan

listrik dialirkan secara langsung dari power supply DC ke dua buah elektroda,

tegangan yang digunakan yaitu 25 volt (Pribadi, 2009). Proses deklorofilasi ini

dilakukan hingga diperoleh ekstrak dengan warna yang diinginkan. Ekstrak

kemudian disaring untuk memisahkannya dari endapan klorofil.

Pembuatan ekstrak kering daun belimbing wuluh. Ekstrak cair hasil

deklorofilasi diuapkan menggunakan vacuum rotary evaporator dengan

(44)

2. Uji potensi antibakteri (daya hambat) ekstrak daun belimbing wuluh dengan metode difusi sumuran

Dibuat seri konsentrasi ekstrak etanol daun belimbing wuluh 15, 20, 25,

30, 35 mg/ml dalam aquadest steril. Bakteri Staphylococcus aureus dan

Staphylococcus epidermidis ditanam pada nutrient agar padat (Oxoid) diinkubasi

selama 24 jam pada temperatur kamar. Dari biakan tersebut diambil 2-4 ose

koloni ke dalam 5 ml media nutrient broth. Diukur OD (Optical Density)

menggunakan spektrofotometer visibel pada panjang gelombang 600 nm hingga

diperoleh absorbansi pada kisaran 0,4-0,6. Dari suspensi bakteri tersebut diambil

sebanyak 50 µl dan diinokulasikan pada nutrient agar plate. Media yang sudah

ditanami bakteri uji dibuat 6 lubang sumuran untuk diberi seri 5 konsentrasi

ekstrak dengan 1 kontrol aquadest steril. Volume untuk sekali penetesan 25 µl,

kemudian diinkubasi pada suhu 370C selama 24 jam. Hasil daya hambat ekstrak diukur menggunakan jangka sorong (Feralusiana, 2001).

3. Optimasi formula gel a. Formula.

Clindamycin USE clindamycin phosphate 11,90 g

Carbopol 941 2,00 g

Propylene glycol 50,00 g

Polyethylene glycol 50,00 g

Metil paraben 1,50 g Sebagai eksipien dipilih basis yang digunakan untuk sediaan gel

dengan mengacu pada Handbook of Pharmaceutical Manufacturing Formulation

(45)

NaOH 10% solution for pH adjustment q.s.

Water purified q.s. to 1 kg

Optimasi formula dilakukan dengan mengganti beberapa komposisi dari formula

gel di atas sehingga diperoleh formula sebagai berikut:

Ekstrak daun belimbing wuluh 5,56 g

Carbopol 940 2,10 g - 2,70 g

Gliserol 30,0 g - 60,0 g

Etanol 96% 30 g

Metil paraben 0,45 g

Aquadest 216 g

NaOH 10% hingga pH 5-6

Tabel II. Formula Desain Faktorial

Formula Carbopol 940 (g) Gliserol (g)

1 2,10 30,0

a 2,70 30,0

b 2,10 60,0

ab 2,70 60,0

b. Pembuatan gel. Kembangkan carbopol 940 dalam 100 g aquadest dengan

cara menaburkan carbopol 940 di atas aquadest (campuran 1). Pengembangan

dilakukan selama 24 jam. Larutkan ekstrak kering dalam campuran etanol dan

aquadest sisa (campuran 2). Tambahkan gliserol dan metil paraben ke dalam

campuran (2) dan aduk kuat menggunakan mixer dengan kecepatan putar ±500

rpm selama 1 menit. Sementara pencampuran berlangsung, tambahkan campuran

(1) secara perlahan. Aduk dengan mixer selama 1 menit pada suhu kamar sampai

(46)

NaOH 10% hingga mencapai pH 5. Cek pH dengan kertas pH indikator universal.

Aduk hingga homogen selama 3 menit.

4. Uji sifat fisik dan stabilitas fisik gel

a. Uji Daya Sebar.

b.

Uji daya sebar sediaan gel antiacne ekstrak daun

belimbing wuluh diukur 48 jam setelah pembuatan. Gel ditimbang seberat 1,0 g,

diletakkan di tengah kaca bulat berskala. Di atas gel diletakkan kaca bulat lain dan

pemberat sehingga berat kaca bulat dan pemberat 125 g, didiamkan selama 1

menit, kemudian dicatat penyebarannya (Garg, Aggarwal, Garg, Singla, 2002).

Pengujian dan pengukuran dilakukan pada keempat formula sebanyak 4 kali.

Uji Viskositas.

% pergeseran viskositas =

Pengukuran viskositas menggunakan alat Viscometer

Rion seri VT 04. Cara: Alat disiapkan dan dipasang pada rotornya, diatur supaya

jarum penunjuk tepat. Digunakan rotor pada skala no. 2. Sediaan dituang ke dalam

cup viskotester hingga mencapai tanda pada rotor. Viskotester dihidupkan dan

rotor akan berputar. Biarkan beberapa saat hingga jarum penunjuk stabil. Baca

viskositas pada skala (dPa.s) dari sediaan yang diuji. Uji ini dilakukan dua kali,

yaitu (1) segera setelah gel selesai dibuat dan (2) setelah disimpan selama 2 bulan

dalam wadah yang tertutup rapat. Masing-masing formula diuji sebanyak 4 kali.

Stabilitas sediaan gel ditunjukkan dengan nilai pergeseran viskositas yang

dihitung dengan rumus :

100% |

awal viskositas

n penyimpana setelah

viskositas awal

viskositas

(47)

5. Uji potensi antibakteri gel

Pengujian daya antibakteri gel menggunakan metode yang sama seperti

pengujian daya antibakteri ekstrak daun belimbing wuluh. Sampel yang diuji

adalah gel antiacne ekstrak daun belimbing wuluh yang telah dibuat. Sebanyak

100 mg gel untuk masing-masing formula dimasukkan ke dalam lubang sumuran

berdiameter 6 mm menggunakan sendok besi steril, diusahakan gel tepat menutup

sumuran. Kontrol negatif yang digunakan adalah blanko gel dari formula yang

diuji. Pengujian dan pengukuran dilakukan pada keempat formula sebanyak 4 kali

pengujian.

E. Optimasi dan Analisis Data

Data sifat fisik dan stabilitas fisik gel yang diperoleh dianalisis sesuai

dengan metode perhitungan desain faktorial untuk mengetahui efek dari carbopol

940, gliserol dan interaksinya. Dengan pendekatan desain faktorial untuk

menghitung koefisien b0, b1, b2, b12 sehingga didapatkan persamaan Y = b0 + b1

X1 + b2 X2 + b12 X1X2. Dari persamaan ini kemudian dapat dibuat contour plot

sifat fisik gel antiacne ekstrak daun belimbing wuluh. Dari masing-masing

contour plot digabungkan menjadi contour plot superimposed untuk mengetahui

area komposisi optimum carbopol 940 dan gliserol, terbatas pada level yang

diteliti.

Analisis data secara Yate’s Treatment dilakukan untuk mengetahui tingkat

signifikansi dari kedua faktor dan interaksi dalam menentukan respon sifat fisik

(48)

alternatif (Hi) menyatakan adanya perbedaan respon yang dihasilkan dari kedua

faktor (carbopol 940 dan gliserol) maupun interaksinya. Hipotesis null (H0)

merupakan negasi dari Hi yang menyatakan tidak ada perbedaan respon yang

dihasilkan dari kedua faktor maupun interaksinya. Nilai F yang didapatkan dari

perhitungan Yate’s Treatment (F hitung) dibandingkan dengan nilai F tabel. Hi

diterima apabila nilai F hitung lebih besar dai F tabel, dengan taraf kepercayaan

yang digunakan adalah 95%. F tabel diperoleh dari Fα (numerator, denominator).

Derajat bebas dan interaksi (experiment) sebagai numerator yaitu 1. Derajat bebas

experimental error sebagai denominator yaitu 12. Diperoleh harga F tabel untuk

(49)

31

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pengumpulan Bahan

Tanaman belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi, L.) yang digunakan pada

penelitian ini dikumpulkan dari daerah Karangmojo, Gunungkidul. Determinasi

tanaman dilakukan sebelumnya untuk memastikan kebenaran spesies tanaman

yang akan digunakan dalam penelitian. Determinasi dilakukan dengan

mencocokkan morfologi tanaman dengan kunci determinasi (Van Steenis dan

Bloembergen, 1987) serta dari hasil wawancara dengan masyarakat sekitar lokasi

pengambilan tanaman. Dari hasil determinasi dinyatakan bahwa tanaman yang

digunakan adalah Averrhoa bilimbi, L.

Pengumpulan bahan dilakukan pada awal bulan Februari 2009, diambil

pada waktu dan tanaman yang sama (digunakan satu tanaman) untuk

mendapatkan keseragaman hasil. Pengumpulan dilakukan pada sore hari dimana

diharapkan kandungan senyawa aktif daun dalam keadaan optimal. Untuk

mendapatkan daun dengan kualitas yang sama setiap panen, maka pengumpulan

daun dilakukan pada waktu yang sama tiap harinya. Bahan yang diperoleh berupa

daun segar yang dipilih berdasarkan warna dan ukuran yaitu berwarna hijau tanpa

bercak serta dengan panjang daun 4-6 cm dan lebar 2-3 cm. Sortasi basah

dilakukan dengan mencuci daun menggunakan air yang mengalir yang bertujuan

untuk meminimalkan atau menghilangkan serangga, debu, tanah dan

(50)

dicuci, daun diangin-anginkan untuk menghilangkan air sisa pencucian.

Dilakukan tiga kali pengumpulan bahan dengan hasil kurang lebih 0,5 kg tiap

kali pengumpulan.

B. Pembuatan Serbuk Simplisia

Daun yang telah dibersihkan kemudian dikeringkan dalam oven dengan

suhu 400C selama satu hari hingga benar-benar kering. Pengeringan ini dilakukan untuk mengurangi kadar air dengan tujuan untuk mencegah kerusakan komponen

pada daun yang disebabkan kerena adanya pertumbuhan jamur, bakteri serta

menginaktifkan enzim-enzim yang dapat menimbulkan perubahan secara kimiawi.

Simplisia yang kering juga lebih mudah untuk diserbuk dan akan menghasilkan

serbuk yang lebih halus. Simplisia kering kemudian diserbuk menggunakan mesin

penyerbuk untuk memperkecil ukuran partikel. Dimana ukuran partikel yang

semakin kecil akan memperluas kontak permukaan antara simplisia dengan cairan

penyari sehingga proses ekstraksi akan berlangsung lebih maksimal. Dari 500 g

daun segar dapat diperoleh sekitar 200 g serbuk kering halus, berwarna hijau tua

dan berbau khas.

C. Pembuatan Ekstrak Cair Daun Belimbing Wuluh

Ekstrak daun Averrhoa bilimbi, L dibuat dengan cara menyari serbuk

daun belimbing wuluh dengan pelarut etanol 70% menggunakan metode maserasi.

Dipilih metode maserasi karena metode ini merupakan metode ekstraksi paling

(51)

yang tinggi jika dilakukan penyarian dengan pemanasan. Dipilih etanol 70%

sebagai cairan penyari karena senyawa flavonoid bersifat polar dan memiliki

banyak gugus OH sehingga senyawa flavonoid mudah larut dalam pelarut polar

seperti etanol 70% (Robinson, 1995). Kelebihan menggunakan pelarut penyari

etanol 70% yaitu dapat membunuh kontaminan bakteri dan jamur yang

kemungkinan terdapat pada simplisia. Metode maserasi menggunakan pelarut

etanol 70% ini juga disesuaikan dengan penelitian terdahulu mengenai aktivitas

antibakteri isolat flavonoid daun belimbing wuluh (Triwulan, 2004).

Pelarut etanol akan masuk ke dalam partikel-partikel simplisia dengan

menembus sel-sel daun dan akan melarutkan senyawa-senyawa polar yang ada.

Karena konsentrasi senyawa di dalam sel lebih besar daripada konsentrasi di luar

sel, maka senyawa yang terlarut akan berpindah dari konsentrasi tinggi menuju

pelarut dengan konsentrasi yang lebih rendah di luar sel. Supaya hasil yang

diperoleh dari setiap proses maserasi selalu reprodusibel maka dilakukan maserasi

dengan waktu dan jumlah pelarut penyari yang sama. Selain itu maserasi

dilakukan dengan memberikan penggojogan secara terus-menerus untuk

membantu memaksimalkan proses ekstraksi yaitu dengan menghindari kondisi

jenuh dari pelarut sehingga senyawa yang berada di dalam simplisia akan terus

berpindah ke dalam pelarut penyari. Untuk mendapatkan ekstrak yang cukup

untuk formulasi maka dilakukan maserasi untuk serbuk simplisia sebanyak 800 g.

Sebelum dilakukan tahap elektrokoagulasi, ekstrak cair yang diperoleh secara

(52)

D. Deklorofilasi Ekstrak Cair Daun Belimbing Wuluh

Ekstrak cair yang diperoleh dari maserasi dikumpulkan dan dilakukan

proses deklorofilasi. Pada tahap ini klorofil dari daun belimbing wuluh yang ikut

tersari dalam pelarut etanol 70% dihilangkan atau diminimalkan dengan proses

elektrokoagulasi. Tujuan deklorofilasi dalam ekstrak cair daun belimbing wuluh

yaitu untuk mendapatkan ekstrak dengan warna yang lebih cerah atau terang.

Adanya klorofil pada ekstrak dalam jumlah yang cukup besar akan membuat

ekstrak menjadi berwarna hijau gelap dan terlalu keruh, dan jika ekstrak tersebut

digunakan untuk formulasi sediaan gel maka akan didapat sediaan gel dengan

warna yang kurang menarik dan menghasilkan noda yang jelas saat diaplikasikan

pada kulit. Dengan kata lain tujuan deklorofilasi ekstrak cair secara

elektrokoagulasi ini adalah untuk meningkatkan nilai estetika dari sediaan gel

antiacne ini.

Berdasarkan penelitian Pribadi (2009), metode elektrokoagulasi seperti

yang digunakan pada penelitian ini sangat efektif dalam mengurangi jumlah

klorofil yang terkandung dalam ekstrak etanol (aquabidest : etanol = 50:50) dari

serbuk daun stevia yang sebelumnya telah dilakukan defatisasi dengan pelarut

hexan. Pada penelitian tersebut, metode elektrokoagulasi ini dapat menghasilkan

% deklorofilasi hingga lebih dari 90,90%. Pada proses elektrokimia akan terjadi

pelepasan Al3+ dari plat elektroda dan melalui suatu reaksi redoks akan terbentuk flok Al(OH)3 yang mampu mengikat senyawa yang mengandung logam (Sunardi,

2007). Flok Al(OH)3 inilah yang akan mengikat dan menggumpalkan klorofil

(53)

logam Mg pada cincin intinya. Pada senyawa flavonoid dilihat dari struktur

kimianya tidak mengandung logam sehingga senyawa ini tidak ikut terendapkan

atau kemungkinan hanya sebagian kecil dari senyawa ini yang ikut terkoagulasi.

Proses deklorofilasi ekstrak cair daun belimbing wuluh memerlukan

waktu 3 jam untuk tiap 500 ml ekstrak cair hingga warna hijau yang

mengindikasikan adanya klorofil dalam ekstrak telah hilang. Dari proses ini

diperoleh ekstrak dengan warna coklat kekuningan. Ekstrak cair yang pada

awalnya berwarna hijau kehitaman, setelah dilakukan deklorofilasi menjadi

berwarna coklat serta terdapat gumpalan yang mengapung dan endapan berwarna

hijau. Ekstrak kemudian diuapkan pelarutnya menggunakan oven. Untuk

mempercepat proses pengeringan, ekstrak cair terlebih dahulu diuapkan

pelarutnya menggunakan vacuum rotary evaporator selama 30 menit kemudian

dikeringkan di dalam oven dengan suhu 400C selama dua hari sehingga akan diperoleh ekstrak daun Averrhoa bilimbi, L dengan warna coklat, berbentuk padat

dan lengket, berbau khas dan berasa pahit.

E. Hasil Uji Antibakteri Ekstrak Daun Averrhoa bilimbi, L.

Uji aktivitas antibakteri ekstrak daun belimbing wuluh dilakukan secara

invitro dengan metode difusi menggunakan lubang sumuran. Uji aktivitas

antibakteri dilakukan terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan Staphyloccocus

epidermidis menggunakan 5 seri konsentrasi ekstrak etanol yaitu 20, 25, 30, 35,

40 mg/ml. Adanya potensi sebagai antibakteri ditandai dengan terbentuknya zona

(54)

menunjukkan bahwa tidak ada pertumbuhan bakteri uji pada zona tersebut. Daya

antibakteri ekstrak etanol sebanding dengan besarnya diameter hambatan

pertumbuhan bakteri. Hal ini berarti semakin besar diameter hambatnya maka

semakin besar pula daya antibakterinya.

Bakteri uji ditanam pada media nutrien agar plate menggunakan teknik

pour plate. Sumuran yang digunakan berdiameter 6 mm yang ditetesi dengan

senyawa uji pada seri konsentrasi tertentu. Aquadest steril yang digunakan pada

pengenceran untuk membuat seri konsentrasi ekstrak daun belimbing wuluh

digunakan sebagai kontrol negatif. Dilakukan pengujian duplo untuk semua seri

konsentrasi pada kedua bakteri uji. Setiap konsentrasi yang berbeda akan

menghasilkan zona hambat yang berbeda pula.

Dari uji daya antibakteri ekstrak daun belimbing wuluh diperoleh data

zona hambat seperti pada Tabel III. Dari data tersebut dipilih konsentrasi ekstrak

20 mg/ml untuk digunakan sebagai dasar pertimbangan untuk penentuan jumlah

ekstrak yang digunakan dalam formula standar gel antiacne.

Tabel III. Diameter Zona Hambat Ekstrak Daun Belimbing Wuluh terhadap Bakteri Staphylococcus aureus dan Staphylococcus epidermidis

Konsentrasi (mg/ml)

S. epidermidis (mm) S. aureus (mm)

Rep. 1 Rep. 2 Rata-rata Rep. 1 Rep. 2 Rata-rata 15 9 10 9,5 9 7 8,0

20 13 14 13,5 12 11 11,5

25 13 13 13,0 11 10 10,5 30 13 12 12,5 11 12 11,5

35 12 13 12,5 12 11 11,5

Pada konsentrasi 20 mg/ml diperoleh zona hambat yang paling baik pada

bakteri Staphylococcus epidermidis dan Staphylococcus aureus. Diameter zona

(55)

epidermidis dikatakan sudah memiliki efek antimikroba yang bagus (Kumar et al.,

2007). Selain itu pada peningkatan konsentrasi ekstrak didapatkan diameter zona

hambat yang sama atau bahkan lebih kecil dari zona hambat pada konsentrasi 20

mg/ml.

Secara teori semakin besar konsentrasi senyawa antibakteri maka

diameter zona hambat atau aktivitas antibakterinya juga akan semakin besar.

Karena pada konsentrasi yang lebih tinggi jumlah senyawa antibakteri yang

dilepaskan menuju media juga akan semakin banyak sehingga dapat membunuh

lebih banyak bakteri. Berdasarkan data pada Tabel III tidak sesuai dengan teori

karena dengan peningkatan konsentrasi tidak menunjukkan peningkatan zona

hambat. Hal ini kemungkinan dapat disebabkan adanya hubungan dengan

kelarutan ekstrak pada aquadest. Dimana konsentrasi 25, 30 dan 35 mg/ml jumlah

ekstrak yang harus dilarutkan lebih banyak dibandingkan pada konsentrasi 20

mg/ml yang kemungkinan pada konsentrasi 25, 30 dan 35 mg/ml kelarutan

ekstrak dalam pelarut air telah melewati kelarutan jenuhnya sehingga senyawa

aktifnya sudah tidak dapat larut dan berdifusi menuju media. Hal ini diketahui dari

adanya partikel-partikel ekstrak yang tidak larut dalam pelarut air pada seri

konsentrasi di atas 20 mg/ml. Untuk kontrol negatif (aquadest) tidak ditemukan

adanya zona hambat pertumbuhan disekelilingnya. Hal ini membuktikan bahwa

pelarut tidak memberikan efek antibakteri. Kekurangan uji antibakteri ekstrak

daun belimbing wuluh ini tidak dilakukan uji kontrol positif dan uji statistik untuk

(56)

F. Sifat Fisik dan Stabilitas Fisik Gel

Sifat fisik dan stabilitas merupakan unsur yang menentukan kualitas suatu

sediaan farmasetis karena berhubungan dengan penggunaannya di masyarakat.

Oleh karena itu sediaan gel antiacne ekstrak daun belimbing wuluh harus

memenuhi beberapa parameter sifat fisik gel meliputi daya sebar dan viskositas

serta stabilitas fisik gel yang diamati dengan pergeseran viskositas selama 2 bulan

penyimpanan. Dari hasil pengujian gel antiacne ekstrak daun belimbing wuluh

diperoleh data yang tercantum pada Tabel IV.

Tabel IV. Sifat Fisik dan Stabilitas Fisik Gel Antiacne Ekstrak Daun Belimbing Wuluh

Formula Daya Sebar Viskositas Awal (dPa.s)

Pergeseran Viskositas (%) (1) 6,95±0,27 101,00±1,15 47,52±0,57

a 5,69±0,23 258,75±2,50 13,05±1,01 b 8,08±0,05 90,00±1,63 55,00±0,58 ab 5,76±0,17 250,00±4,08 18,00±0,29

Dari keempat formula gel antiacne, formula dengan carbopol level rendah

(formula (1) dan b) memiliki respon daya sebar yang paling besar terutama pada

formula b; viskositas yang paling kecil terutama formula b; dan pergeseran

viskositas yang paling besar terutama formula dengan jumlah gliserol tinggi

(formula b). Sebaliknya formula dengan carbopol level tinggi (formula a dan ab)

memiliki respon daya sebar yang kecil; viskositas yang lebih rendah; dan

pergeseran viskositas yang paling kecil.

Faktor dominan dari Carbopol 940, Gliserol, atau interaksi antar keduanya

(57)

sediaan gel antiacne ekstrak belimbing wuluh diketahui dari grafik efek faktor,

perhitungan desain faktorial dan analisis statistik dengan Yate’s Treatment.

1. Intepretasi grafik hubungan respon-carbopol 940 dan grafik hubungan

respon-gliserol.

2. Perhitungan efek rata-rata dari setiap faktor maupun interaksinya secara

desain faktorial untuk melihat pengaruh tiap faktor dan interaksinya terhadap

besarnya respon. Efek dengan nilai positif menunjukkan bahwa faktor

tersebut mempengaruhi peningkatan respon (daya sebar, viskositas dan

pergeseran viskositas). Efek dengan nilai negatif menunjukkan bahwa faktor

tersebut mempengaruhi penurunan respon.

3. Yate’s Treatment yaitu suatu teknik analisis secara statistik untuk menilai

secara obyektif signifikansi pengaruh relatif dari berbagai faktor dan interaksi

terhadap respon. Analisis ini bertujuan untuk menegaskan faktor yang

dominan dalam menentukan respon. Hipotesis alternatif (Hi) menyatakan

bahwa faktor tersebut benar-benar berpengaruh terhadap respon, sedangkan

Hipotesis null (H0) adalah negasi dari Hipotesis alternatif. Hi dapat diterima

apabila nilai F yang diperoleh (F hitung) dari perhitungan dengan Yate’s

Treatment lebih besar dari nilai F tabel yang ditentukan. F tabel yang

digunakan pada penelitian ini diperoleh dari nilai Fα(numerator, denominator)

dengan taraf kepercayaan 95%, dimana derajat bebas faktor dan interaksi

sebagai numerator yaitu 1, dan derajat bebas experimental error sebagai

(58)

pada semua respon adalah F0,05(1,12) dengan nilai 4,75. Perhitungan ini tidak

menunjukkan arah respon.

Hasil perhitungan efek secara desain faktorial dari masing-masing faktor

dan interaksi dalam dalam mempengaruhi respon daya sebar, viskositas, dan

pergeseran viskositas dari gel antiacne adalah seperti pada Tabel V.

Tabel V. Efek Carbopol 940, Efek Gliserol, dan Efek Interaksi Keduanya dalam Menentukan Sifat Fisik dan Stabilitas Fisik Gel Antiacne

Efek Daya Sebar Viskositas Pergeseran Viskositas Carbopol 940 │-1,79│ 458,88 │-35,74│

Gliserol 0,60 │-9,88│ 6,22 Interaksi │-0,53│ 1,13 │-1,27│

1. Uji daya sebar

Daya sebar merupakan parameter fisik yang cukup penting dari sediaan

semisolid karena menggambarkan pemerataan gel dan kemampuan menyebarnya

saat gel tersebut diaplikasikan pada kulit. Sediaan topikal harus mudah untuk

diratakan pada permukaan kulit supaya nyaman ketika digunakan dan dapat

memberikan efek yang optimal.

Berdasarkan Tabel V diketahui bahwa faktor dominan (nilai mutlak dari

efek yang paling besar) yang berpengaruh dalam menentukan respon daya sebar

gel antiacne adalah carbopol 940. Efek carbopol 940 dan interaksi antara carbopol

dengan gliserol bernilai negatif, artinya kedua faktor tersebut berpengaruh dalam

menurunkan respon daya sebar. Efek gliserol bernilai positif yang berarti gliserol

berpengaruh dalam meningkatkan respon daya sebar, namun efek gliserol ini

(59)

Pengaruh penggunaan carbopol 940 dan gliserol terhadap respon daya

sebar gel antiacne dapat dilihat pada Gambar 6. Semakin besar jumlah carbopol

940 yang digunakan dalam formula pada penggunaan gliserol level rendah

maupun level tinggi akan men

Gambar

Tabel IV. Sifat Fisik dan Stabilitas Fisik Gel Antiacne
Gambar 1. Kerangka Dasar Flavonoid Berserta Penomorannya
Gambar 2. Struktur Kimia Klorofil a, b, c1, c2, dan d (May, 2002)
Gambar 3. Deskripsi Metode Elektrokoagulasi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan capaian hasil belajar siswa tersebut penulis yang juga sebagai guru kelas 2 SD Negeri Mojoagung 01 Kecamatan Trangkil menyadari adanya masalah dalam

[r]

Berdasarkan data tersebut, semua responden yang menyatakan bahwa pengembangan karir pegawai harus didasarkan pada kompetensi, yaitu sebanyak 158 orang (100%) berpendapat bahwa perlu

bahwa guna kelancaran pelaksanaan Pengelolaan Bantuan Tambahan Penghasilan Bagi Aparat Pemerintah Desa perlu membentuk Peraturan Bupati tentang Pedoman Pengelolaan Bantuan

Pejabat yang membidangi kepegawaian paling rendah eselon III Sekretariat Direktorat Jenderal yang membidangi pengendalian ekosistem hutan kepada Sekretaris Direktorat

Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1997 tentang Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor

Biaya reproduksi adalah sama dengan jumlah uang atau pembayaran lainnya yang dibutuhkan untuk memperoleh suatu aktiva yang identik dengan aktiva yang sudah

9 Saya merasa puas karena saat ini saya bekerja sesuai dengan bidang keahlian saya. 10 Saya merasa puas dengan sistem kompensasi yang diterapkan ditempat saya bekerja saat