• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI DESKRIPTIF SELF ESTEEM REMAJA DELINKUEN DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS IIA ANAK BLITAR SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "STUDI DESKRIPTIF SELF ESTEEM REMAJA DELINKUEN DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS IIA ANAK BLITAR SKRIPSI"

Copied!
181
0
0

Teks penuh

(1)

i  

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh : Rr. Lita Ratna Yustiasari

NIM : 049114110

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

iv  

Kesuksesan adalah milik orang yang amat gigih

mengubah dirinya dan tidak akan terjadi perubahan

kecuali pada orang yang berani melihat

kekurangannya sendiri..

Kegagalan biasanya disebabkan oleh satu kelemahan

manusia,

yaitu tidak adanya keseimbangan antara keinginan

dan

(5)

v  

Karya ini kupersembahkan untuk :

Allah SWT yang selalu mendampingiku,

Keluargaku yang selalu memberiku semangat dan dukungan,

Sahabat-sahabatku yang senantiasa membantu

dan menyemangatiku,

My spirit “Ayah”,

(6)

vi  

tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 9 April 2010

Penulis,

(7)

vii  

Rr. Lita Ratna Yustiasari

ABSTRAK

Self-esteem adalah salah satu faktor psikologis yang ikut mempengaruhi kepribadian dan perilaku individu dalam kehidupan sehari-hari. Penelitian ini dilakukan di Lapas Klas IIA Anak Blitar karena di sana merupakan wadah bagi anak yang melakukan suatu pelanggaran norma-norma sosial, agama, dan hukum yang telah ditetapkan oleh pengadilan. Selama berada di Lapas remaja delinkuen mendapatkan berbagai macam pembinaan yang bermanfaat dan yang nantinya diharapkan dapat menjadi manusia yang seutuhnya, menyadari kesalahannya dan tidak akan mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat serta pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan self-esteem remaja delinkuen tersebut. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang bertujuan untuk mendeskrisikan self-esteem pada remaja delinkuen di Lapas Klas IIA Anak Blitar. Subjek penelitian dipilih dengan menyesuaikan kriteria subjek penelitian yaitu remaja delinkuen yang berada di Lapas Anak dan berusia antara 13 – 18 tahun berjumlah 3 orang. Metode yang digunakan adalah wawancara semi terstruktur dan pertanyaannya merupakan pertanyaan terbuka. Analisis data dilakukan dengan tahap menulis transkrip hasil wawancara, membaca transkrip hasil wawancara, mengkoding setiap indikator self-esteem yang terpenuhi, membuat tabel analisis data dan menginterpretasikan data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

self-esteem remaja delinkuen di Lapas Klas IIA Anak Blitar adalah rendah. Secara

umum self-esteem yang rendah dikarenakan keadaan keluarga dan pengaruh

lingkungan yang memiliki peran yang sangat besar dalam pembentukan self-esteem

remaja delinkuen. Walaupun sudah ada pembinaan untuk meningkatkan self-eteem, ternyata pembinaan yang diberikan belum memadai dan adanya stigma negatif dari masyarakat membuat self-esteem remaja delinkuen masih rendah.

(8)

viii  

Rr. Lita Ratna Yustiasari

ABSTRACT

Self-esteem is a psychological factor which has influence upon individual personality and behaviour. The higher a person perceive his or her self-esteem, the better he or she has personality and behaviour. Self-esteem needs to be built through education and supervision. This research explores the self-esteem amongst the delinquent juvenile in prison. This research is done in Blitar Class IIA Juvenile Prison as this prison can be a treatment place for juvenile who commit crime by breaking the rule, religious norms and social code of conduct. During their staying at this prison, they get various useful treatment and education. This treatment and education will make them aware of their mistake. Hopefully, they do not break the law and rules anymore, and they can be accepted by the society. Finally the treatment and education in prison can increase their self-esteem. This descriptive research is aimed at describing the self-esteem of delinquent juvenile in Blitar Class IIA Juvenile Prison. The subject of the research is three delinquent juvenile of 13-18 years of age. The method used in this research is semi-structured interview and using open question. The data analysis is done by these following steps : writing the interview transcript, reading the interview transcript, coding the indicators of self-esteem, and interpreting the data. The result of these research shows that the delinquent juvenile’s self-esteem at this prison is low. This is because of the situation of the family, their environmental influence, and the social stigma. Although the treatment and education have been given to this juvenile, still they have low self-esteem.

(9)

ix  

Yang bertandatangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma : Nama : Rr. Lita Ratna Yustiasari

NIM : 049114110

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, say amemberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta karya ilmiah saya yang berjudul :

STUDI DESKRIPTIF SELF-ESTEEM REMAJA DELINKUEN DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS IIA ANAK BLITAR beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Universitas Sanata Dharma Yogyakarta hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikan di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal : 9 April 2010 Yang menyatakan,

(10)

x  

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas perlindungan dan karunia yang telah diberikan selama proses penyusunan skripsi ini hingga dapat menyelesaikan dengan baik.

Skripsi dengan judul “ Studi Deskriptif Self-Esteem Remaja Delinkuen di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Anak Blitar ” ini disusun untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Psikologi. Dalam proses penyusunan skripsi ini telah banyak pihak yang berperan secara aktif dan pasif untuk membantu penulis. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada :

1. Allah Subhanallahu Wata’Ala yang telah mendampingi perjalananku, mendengarkan doaku dan membantu menunjukkan serta mewujudkan apa yang menjadi cita-citaku dengan segala karunia dan hidayahnya.

2. Ibu Dr. Christina Siwi Handayani Selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah membantu dalam proses penyelesaian skripsi.

(11)

xi  

5. Ibu Agnes Indar Etikawati, S.Psi., Psi., M.Si. selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan masukan dan kritik kepada penulis.

6. Ibu P. Henrietta P. D. A. D. S., S.Psi. selaku dosen pembimbing akademik yang telah membimbing dan memberi masukan selama masa studi.

7. Bapak Y. Heri Widodo, M. Psi. yang pernah menjadi dosen pembimbing akademik selama 2 semester yang telah membimbing dan memberi masukan yang sangat berarti bagi penyusunan skripsi dan kehidupan penulis.

8. Ibu ML. Anantasari, S. Psi., M. Si. yang selalu mendukung dan memberi semangat untuk menyelesaikan kuliah dan masalah yang sedang dan selalu penulis hadapi. Love you, Bunda..

9. Mba Nanik, Mas Gandung, Pak Gi, Mas Doni dan Mas Muji yang telah banyak membantu kegiatan akademik penulis dengan senyuman ramah. 10. Bunda Budi Andayani yang telah membantu, memberi semangat dalam

proses penyusunan skripsi dan bersedia mendengarkan curhat penulis. Thanx Bunda..

11. Segenap pegawai Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Jawa Timur atas perijinan melakukan penelitian.

12. Segenap pegawai Balai Pemasyarakatan Klas I Surabaya atas masukan dan pengarahannya sebelum penelitian dimulai.

(12)

xii  

mengumpulkan data dan berbagi cerita serta pengalaman hidup. Jangan pernah menyerah dan putus asa dalam menjalani hidup! Raihlah semua mimpi dan cita-cita kalian!

15. Keluarga R. Nohantoro, S.H., Papa Nohan, Mama Tatik, Mba Lisa dan Mas Fredy serta malaikat kecilnya Aurel, Mas Mada, Yuk Yem yang sangat sabar, tak bosan dan tak henti-hentinya selalu memberiku doa, semangat, masukan dan omelan yang membangun. Walaupun kita jarang bertemu dan berkumpul, kalian selalu aku rindukan, sayangi dan selalu ada di hatiku. I love you all… 16. Kekasihku, Agung Andwiyono yang selalu menyayangi, melindungi,

memberi semangat, mengajari aku banyak hal dan bersabar menghadapi aku yang sering bad mood. Maci ya yah dah jadi air disaat aku jadi api. You are my best…

17. Mba Wiwit yang telah membantu mengurus dan memperlancar proses perijinan penelitian di Kanwil Hukum dan HAM Jawa Timur dan pelaksanaan penelitian di Lapas Klas IIA Anak Blitar. Tak lupa untuk Mba Wit sekeluarga, Mas Anang, Puput dan Ivy, yang bersedia memberi tumpangan selama penulis berada di Surabaya. Dari kalian aku banyak belajar tentang arti keluarga bahagia dan seutuhnya.

(13)

xiii  

menyelesaikan skripsi. I miss you all…

20. Keluarga Besar Humas Sanata Dharma, Bapak Tatang Iskarna, S.S., M.Hum. (my grand pa), Mas Tjahjo, Mbak Atik dan teman-teman seperjuanganku Bunga, Dicky, Yosef, Yosi, Ratih, Putu, Kadek, Intan, Bertha, Theo, Rakhma, Albert, Yunika, Sheila, Shasha, Fhery, Ivana, dan Melani yang telah menjadi rekan kerja, teman, sahabat, saudara, keluarga yang sangat harmonis. Aku selalu ingat dan merindukan saat-saat kita Expo bersama kalian.

21. Keluarga Besar BAA, Bu Asih, Mas Kris, Mas Heru, Pak Pri, Mas Devi, Mbak Ruth dan Mbak Wira serta Bapak Drs. L. Bambang Harnoto, M.Si. (Kepala BAA periode 2004–2009) yang telah menjadi rekan selama proses penerimaan mahasiswa baru angkatan 2008 dan 2009 dan telah memberikan pelajaran dan pengetahuan baru.

22. Keluarga besar Adi Wibowo, Dady Boy, Mama Lisa, Gery, Kis-kis, Opa Poeng, Oma Evie, Eyang Tun (Alm), Aunty Diaz, Uncle Ampi, Uncle Pipas, Uncle Avied ‘n Aunty Lia dan Aunty Dewi yang pernah mengisi hari-hariku penuh warna. Terimakasih atas dukungan dan kasih sayang kalian.

(14)

xiv  

dapat berguna dan bermanfaat bagi pembacanya.

Penulis,

(15)

xv  

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. TujuanPenelitian ... 4

D. Manfaat Penelitian ... 5

1. Secara Teoritis ... 5

2. Secara Praktis ... 5

BAB II LANDASAN TEORI ... 6

(16)

xvi  

3. Faktor Yang Mempengaruhi Self-Esteem ... 10

B. Remaja Delinkuen ... 14

1. Remaja ... 14

2. Delinkuen ... 18

3. Remaja Delinkuen ... 19

C. Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Anak Blitar ... 34

1. Sejarah Berdirinya Lapas Klas IIA Anak Blitar ... 34

2. Gambaran Umum Lapas Klas IIA Anak Blitar ... 35

3. Pembinaan Anak di Lapas Klas IIA Anak Blitar ... 37

4. Bentuk-Bentuk Pembinaan ... 38

5. Tujuan Pembinaan ... 41

D. Self-Esteem Remaja Delinkuen Di Lapas Klas IIA Anak Blitar ... 42

E. Alur Pemikiran Psikologis ... 45

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 46

A. Jenis Penelitian ... 46

B. Variabel Penelitian ... 46

C. Definisi Operasional ... 46

D. Subjek Penelitian ... 48

E. Metode Pengumpulan Data ... 48

F. Metode Analisis Data ... 52

(17)

xvii  

B. Deskripsi Subjek Penelitian ... 55

C. Pembahasan ... 71

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 81

A. Kesimpulan ... 81

B. Saran ... 83

DAFTAR PUSTAKA ... 84

(18)

xviii  

A. Tabel Coding ... 87

1. Subjek 1 (Ssn) ... 87

2. Subjek 2 (Ars) ... 101

3. Subjek 3 (Erv) ... 114

B. Transkrip Wawancara (Verbatim) ... 131

1. Subjek 1 (Ssn) ... 131

2. Subjek 2 (Ars) ... 141

3. Subjek 3 (Erv) ... 149

C.Cross Check Data ... 159

D.Surat Permohonan Pengambilan Data ... 161

E.Surat Ijin Penelitian ... 162

(19)

BAB I PENDAHULUAN

A.LATAR BELAKANG

Self-esteem merupakan salah satu aspek kepribadian yang mempunyai peran penting dan berpengaruh besar terhadap sikap dan perilaku individu. Sesuai dengan pendapat Branden (1987) yang menyatakan bahwa self-esteem

merupakan aspek kepribadian yang paling penting dalam proses berpikir, tingkat emosi, keputusan yang diambil, nilai-nilai yang dianut serta penentuan tujuan hidup. Pentingnya self-esteem bagi remaja salah satunya adalah untuk meyakinkan diri sendiri akan kelebihan yang dimilikinya sehingga dapat menentukan pencapaian prestasi yang dia dan orang lain harapkan. Pada gilirannya, keyakinan itu akan memotivasi remaja tersebut untuk sungguh-sungguh mencapai apa yang diinginkan.

Berbagai macam alasan atau pengalaman yang membuat remaja beresiko memiliki self-esteem yang rendah. Misalnya keadaan keluarga dimana orangtua melakukan praktik pola asuh yang salah seperti perlindungan yang berlebihan, penolakan terhadap anak, perfeksionis dan terlalu menuntut anaknya untuk tampil sempurna dan terlalu otoriter terhadap anaknya. Adanya pengalaman menyakitkan dimana remaja menerima pesan-pesan negatif dari apa yang mereka lakukan dan lihat pada masa kanak-kanak maupun remaja. Selain itu, lingkungan sekitar yang kurang memperhatikan keberadaan remaja bahkan penolakan dan pandangan miring terhadap remaja dan rendahnya tingkat

(20)

perekonomian keluarga yang membuat mereka kurang mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan ketrampilan yang dapat diterima oleh masyarakat. Beberapa hal tersebut mempengaruhi self-esteem remaja menjadi rendah sehingga mereka berusaha mengkompensasikannya dengan tindakan atau perilaku yang salah atau kenakalan yang seolah-olah dapat meningkatkan

self-esteem mereka.

Perilaku negatif yang dimunculkan remaja dengan self-esteem rendah ini berbagai macam, salah satunya adalah kenakalan remaja atau juvenile delinquency. Perilaku kenakalan remaja itu misalnya perkelahian, pengeroyokan antar remaja yang mengakibatkan orang lain yang tidak berdosa menjadi korban, perampasan, pencurian, mabuk-mabukan, perampokan, penganiayaan dan penyalahgunaan obat-obatan seperti psikotropika, yang dapat berujung kematian (Amna, 2004). Secara psikologis, juvenile delinquency merupakan wujud dari konflik-konflik yang tidak terselesaikan dengan baik pada masa kanak-kanak maupun remaja para pelakunya seperti trauma masa lalu karena perlakuan kasar dan kondisi ekonomi yang rendah. Pada awal masa kanak-kanak kita mulai menciptakan internal image dimana dalam masa pembentukan ini bila kita menerima sinyal-sinyal dan pesan-pesan negatif kita akan mengalami low self-esteem pada masa dewasa (Valencia, 2006).

(21)

melakukan tindak pidana (Anak Pidana), anak yang diserahkan kepada Negara untuk dididik (Anak Negara) dan anak atas permintaan dari orangtua atau walinya (Anak Sipil) yang telah memperoleh penetapan dari pengadilan ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak (Lapas Anak) dan akan mendapatkan pembinaan, misalnya seperti di Lapas Klas IIA Anak Blitar. Lapas Klas IIA Anak Blitar merupakan satu-satunya Lapas khusus anak yang ada di Jawa Timur. Beberapa kegiatan yang ada di Lapas Klas IIA Anak Blitar adalah memberikan berbagai macam pembinaan yang bermanfaat dan kesempatan untuk meningkatkan self-esteem mereka. Diharapkan dalam pembinaan tersebut nantinya dapat menjadikan remaja delinkuen menjadi manusia yang seutuhnya, menyadari kesalahannya dan tidak akan mengulangi kenakalan yang pernah diperbuat sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat. Harapan lainnya adalah dapat secara mandiri melakukan atau melanjutkan kehidupan mereka sesuai dengan norma sosial yang berlaku secara normal.

(22)

dari orang lain atau lingkungan terhadap apa yang terjadi pada remaja mengakibatkan remaja merasa tidak berarti. Adanya perfeksionisme, kekerasan, menerima kritik yang terlalu tajam, ditertawakan, diabaikan, atau dibodoh-bodohi oleh orang lain juga dapat mempengaruhi self-esteem-nya menjadi rendah (Valencia, 2006). Oleh karena itu, stigma negatif masyarakat tersebut dapat mempengaruhi self-esteem remaja delinkuen ini menjadi rendah. Kondisi bahwa remaja delinkuen yang tinggal di Lapas Klas IIA Anak Blitar memperoleh stigma negatif dari masyarakat dan memperoleh pembinaan dari Lapas Klas IIA Anak Blitar sehingga mereka mempunyai kemampuan yang bermanfaat untuk menghadapi kehidupan yang lebih baik di luar Lapas Klas IIA Anak Blitar, menarik peneliti untuk melihat atau mendeskripsikan

self-esteem para remaja yang berada di Lapas Klas IIA Anak Blitar.

B.RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, penelitian ini ingin mengetahui bagaimana self-esteem remaja delinkuen yang berada di Lapas Klas IIA Anak Blitar.

C.TUJUAN PENELITIAN

(23)

D.MANFAAT PENELITIAN 1. Secara Teoritis :

Penelitian ini dapat menyumbangkan suatu pengetahuan baru mengenai bagaimana self-esteem remaja delinkuen dalam Lapas Klas IIA Anak Blitar, terutama dalam bidang psikologi perkembangan.

2. Secara Praktis :

(24)

BAB II LANDASAN TEORI

A.SELF-ESTEEM

1. Definisi Self-Esteem

Self-esteem merupakan salah satu aspek kepribadian yang mempunyai peran penting dan berpengaruh besar terhadap sikap dan perilaku individu. Menurut Branden (1987) self-esteem merupakan aspek kepribadian yang paling penting dalam proses berpikir, tingkat emosi, keputusan yang diambil, nilai-nilai yang dianut serta penentuan tujuan hidup. Self-esteem

mencakup dua komponen yaitu perasaan akan kompetisi pribadi dan perasaan akan penghargaan diri pribadi. Seseorang akan menyadari dan menghargai dirinya jika ia mampu menerima diri pribadinya.

Self-esteem adalah penilaian individu terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisa seberapa jauh perilaku memenuhi ideal dirinya atau yang dicita-citakannya. Dapat disimpulkan bahwa self-esteem

menggambarkan sejauhmana individu tersebut menilai dirinya sebagai orang yang memiliki kemampuan, keberartian, berharga, dan kompeten (Calhoun, 1990; Stuart dan Sundeen, 1991). Sama halnya dengan pendapat Coopersmith (1976) dan Walgito (1991) yang mengatakan bahwa self-esteem merupakan suatu proses penilaian yang dilakukan oleh seseorang terhadap dirinya sendiri. Karena berkaitan dengan dirinya sendiri, penilaian tersebut biasanya mencerminkan penerimaan atau penolakan terhadap

(25)

dirinya, menunjukkan seberapa jauh individu percaya bahwa dirinya mampu, penting, berhasil serta berharga. Bagaimana seseorang menilai tentang dirinya akan mempengaruhi perilaku dalam kehidupannya sehari– hari.

Self-esteem adalah sesuatu yang dimiliki oleh seseorang tetapi tidak dibagikan pada orang lain, kecuali bila orang tersebut merupakan orang yang merasa bahwa self-esteem mereka sangat tinggi. Seseorang tidak dapat menentukan self-esteem orang lain, tetapi bagaimana seseorang menerima orang lain dapat mempengaruhi self-esteem (Webster’s New World Dictionary, 1982).

Berne dan Savary (1988) mendefinisikan self-esteem sebagai penopang rasa percaya diri sehingga seseorang dapat membina hubungan yang sehat dengan orang lain, melihat diri mereka sebagai orang yang berhasil dan memperlakukan orang lain tanpa kekerasan. Sejalan dengan pendapat Berne dan Savary, Hurlock (1999) berpendapat bahwa self-esteem

merupakan evaluasi diri yang dibuat dan dipertahankan oleh seseorang yang berasal dari interaksi sosial dalam keluarga serta penghargaan, perlakuan dan penerimaannya dari orang lain.

Dari beberapa sumber di atas dapat disimpulkan bahwa self-esteem

(26)

mempengaruhi perilaku sehari-harinya dan pada akhirnya juga dapat membina hubungan yang sehat, mendapatkan penghargaan, pelakuan, dan penerimaan dari orang lain.

2. Aspek-Aspek Self-Esteem

Coopersmith (1976) membagi self-esteem ke dalam empat aspek, yaitu :

a. Kekuasaan (power)

Aspek ini meliputi kemampuan untuk mengontrol diri sendiri, mengendalikan dan mempengaruhi orang lain, mengorganisasi suatu kelompok dengan maksud untuk mencapai tujuan. Adanya pengaruh dan wibawa juga merupakan hal-hal yang menunjukkan adanya aspek ini pada orang lain. Bila memiliki kemampuan ini biasanya akan menunjukkan sifat-sifat asertif dan explanatory actions yang tinggi. Kemampuan ini ditandai adanya pengakuan dan rasa hormat yang diterima individu dari orang lain. Namun bila tidak memiliki kemampuan ini kemungkinan akan merasa tidak berdaya karena berada di bawah pengaruh orang lain yang dianggap lebih berkuasa.

b. Keberartian (significance)

(27)

individu dari orang lain atau lingkungannya maka individu tersebut merasa semakin berarti. Namun bila keberartian ini tidak atau jarang mendapatkan stimulus positif dari orang lain, kemungkinan besar akan merasa ditolak dan kemudian akan mengisolasikan diri dari pergaulan. c. Kebajikan (virtue)

Aspek ini merupakan ketaatan mengikuti standar moral dan etika, ditandai oleh ketaatan untuk menjauhi tingkah laku yang tidak diperbolehkan, kesesuaian diri dan kecemasan dalam mengemukakan tentang dirinya. Kesesuaian diri dengan moral dan standar etika diadaptasi individu dari nilai-nilai yang ditanamkan orangtua. Permasalahan nilai ini pada dasarnya berkisar pada persoalan benar dan salah. Batasan tentang kebajikan juga tidak akan lepas dari segala pembicaraan mengenai peraturan dan norma di dalam masyarakat, juga hal-hal yang berkaitan dengan nilai-nilai kemanusiaan, serta ketaatan dalam beragama. Namun bila kebajikan ini negatif maka kemungkinan akan lebih senang menghadapi hal-hal yang sudah dikenal dengan baik serta menyenangi hal-hal yang tidak penuh dengan tuntutan.

d. Kemampuan (competence)

(28)

beradaptasi dengan lingkungan secara baik. Kemampuan ini juga meliputi tentang bagaimana individu melakukan inisiatif dengan baik dan kemampuan atau performansi untuk mencapai prestasi. Aspek ini dapat dipengaruhi oleh penampilan yang prima dalam upaya meraih kesuksesan dan keberhasilan. Dalam hal ini penampilan yang prima ditunjukkan dengan adanya skill atau kemampuan yang merata untuk semua usia. Dengan kemampuan yang cukup akan merasa yakin untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Dengan kompetensi yang bagus akan membuat individu merasa bahwa setiap orang memberi dukungan padanya dan merasa mampu mengatasi setiap masalah yang dihadapinya serta mampu menghadapi lingkungannya. Namun bila tidak maka akan cenderung tidak merasa yakin akan pemikiran-pemikiran serta perasaan yang dimilikinya, cenderung takut menghadapi respon dari orang lain, tidak mampu membina komunikasi yang baik dan cenderung merasa hidupnya tidak bahagia.

3. Faktor Yang Mempengaruhi Self-Esteem

Self-esteem seseorang tidak terbentuk begitu saja melainkan ada beberapa faktor yang mempengaruhinya.

Menurut Coopersmith, (1976) faktor-faktor yang melatarbelakangi

self-esteem yaitu : a. Pengalaman

(29)

meninggalkan kesan dalam hidup individu. (Yusuf, 2000). Seperti halnya kita mulai menciptakan internal image pada awal masa kanak-kanak dimana dalam masa pembentukan ini bila kita menerima sinyal-sinyal dan pesan-pesan negatif kita akan mengalami low self-esteem pada masa dewasa (Valencia, 2006). Pengalaman negatif seperti kelainan atau kecacatan yang tampak berbeda dari remaja lainnya membuat mereka merasa terlalu bodoh, terlalu jelek, terlalu pendek, dan lain-lain. Pengalaman negatif lain terjadi jika upaya agar diterima secara total dan kekaguman dari orang lain yang tidak diperoleh (Tjahjono, 1998; Page dan Page, 2000).

b. Pola asuh

(30)

mendapat feedback positif akan mengembangkan self-esteem yang rendah (Tjahjono, 1998; Page dan Page, 2000).

c. Lingkungan

(31)

d. Sosial ekonomi

Sosial ekonomi merupakan suatu yang mendasari perbuatan seseorang untuk memenuhi dorongan sosial yang memerlukan dukungan finansial yang berpengaruh pada kebutuhan hidup sehari-hari (Ali dan Asrori, 2004).

Prestasi juga dapat memperbaiki tingkat self-esteem remaja (Bednar, Wells, & Peterson, 1989). Sebagai contohnya, proses pengajaran keterampilan secara langsung untuk remaja sering mengakibatkan adanya prestasi yang meningkat, sehingga kemudian juga meningkatkan self-esteem. Self-esteem remaja meningkat menjadi lebih tinggi karena mereka mengetahui tugas-tugas apa yang penting untuk mencapai tujuannya, dan karena mereka telah melakukan tugas-tugasnya tersebut atau yang serupa dengan tugas-tugas tersebut. Self-esteem dapat juga meningkat ketika remaja menghadapi masalah dan berusaha untuk mengatasinya, bukan hanya menghindarinya (Bednar, Wells, & Peterson, 1989; Lazarus, 1991).

(32)

berupa dukungan finansial serta adanya prestasi yang diperoleh remaja menentukan apakah self-esteem-nya tinggi atau rendah.

Dari penjelasan secara keseluruhan tentang self-esteem di atas, dapat disimpulkan bahwa self-esteem merupakan evaluasi atau penilaian terhadap dirinya sendiri sebagai orang yang memiliki kepercayaan terhadap diri sendiri, kemampuan, keberartian, berharga, dan kompeten dan menganalisa seberapa jauh perilakunya memenuhi ideal dirinya atau yang dicita-citakannya sehingga dapat mempengaruhi perilaku sehari-harinya dan pada akhirnya juga dapat membina hubungan yang sehat, mendapatkan penghargaan, pelakuan, dan penerimaan dari orang lain. Adapun beberapa faktor yang dapat mempengaruhi

self-esteem antara lain adanya pengalaman masa lalu, pola asuh yang diberikan orangtua, keadaan lingkungan sosialnya, dan sosial ekonomi untuk memenuhi dorongan sosial individu. Beberapa aspek dari dari self-esteem seperti yang dikemukakan oleh Coopersmith (dalam Robinson dan Shaver, 1973; Burn, 1998) yaitu kekuasaan (power), keberartian (significance), kebajikan (virtue), dan kemampuan (competence).

B.REMAJA DELINKUEN 1. Remaja

(33)

remaja pertengahan, dan 18 – 21 tahun masa remaja akhir. Senada dengan pendapat Suryabrata (1981) membagi masa remaja menjadi tiga, masa remaja awal 12 – 15 tahun, masa remaja pertengahan 15 – 18 tahun dan masa remaja akhir 18 – 21 tahun. Berbeda dengan pendapat Hurlock (1999) yang membagi masa remaja menjadi dua bagian, yaitu masa remaja awal 13 – 16 tahun, sedangkan masa remaja akhir 17 – 18 tahun.

Batasan usia yang dipilih peneliti adalah 13 – 18 tahun yang sesuai dengan pendapat Hurlock karena sesuai dengan batasan usia maksimal remaja yang terdapat dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1977 tentang Pengadilan Anak dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang membatasi usia bahwa anak adalah belum berusia 18 tahun dan belum menikah.

(34)

a. Perubahan fisik

Perubahan fisik berhubungan dengan aspek anotomi dan aspek fisiologis, di masa remaja kelenjar hipofesa menjadi masak dan mengeluarkan beberapa hormon, seperti hormon gonotrop yang berfungsi untuk mempercepat kemasakan sel telur dan sperma, serta mempengaruhi produksi hormon kortikortop berfungsi mempengaruhi kelenjar suprenalis, testosteron, estrogen, dan suprenalis yang mempengaruhi pertumbuhan anak sehingga terjadi percepatan pertumbuhan (Monks dkk, 1999). Dampak dari produksi hormon tersebut menurut Atwater, (1992) adalah :

1) ukuran otot bertambah dan semakin kuat;

2) testosteron menghasilkan sperma dan estrogen memproduksi sel telur sebagai tanda kemasakan;

3) munculnya tanda-tanda kelamin sekunder seperti membesarnya payudara, berubahnya suara, ejakulasi pertama, tumbuhnya rambut-rambut halus disekitar kemaluan, ketiak dan muka.

b. Perubahan Emosional

(35)

tekanan (Hurlock, 1999). Bila pada akhir masa remaja mampu menahan diri untuk tidak mengeksperesikan emosi secara ekstrem dan mampu mengekspresikan emosi secara tepat sesuai dengan situasi dan kondisi lingkungan dan dengan cara yang dapat diterima masyarakat, dengan kata lain remaja yang mencapai kematangan emosi akan memberikan reaksi emosi yang stabil (Hurlock, 1999). Nuryoto (1992) menyebutkan ciri-ciri kematangan emosi pada masa remaja yang ditandai dengan sikap sebagai berikut:

1) tidak bersikap kekanak-kanakan; 2) bersikap rasional;

3) bersikap objektif;

4) dapat menerima kritikan orang lain sebagai pedoman untuk bertindak lebih lanjut;

5) bertanggung jawab terhadap tindakan yang dilakukan; 6) mampu menghadapi masalah dan tantangan yang dihadapi. c. Perubahaan sosial

(36)

dimiliki. Kondisi ini membuat remaja sangat rentan terhadap pengaruh teman dalam hal minat, sikap penampilan dan perilaku. Perubahan yang paling menonjol adalah hubungan heteroseksual. Remaja akan memperlihatkan perubahan radikal dari tidak menyukai lawan jenis menjadi lebih menyukai. Remaja ingin diterima, diperhatikan dan dicintai oleh lawan jenis dan kelompoknya.

Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan atau perkembangan baik secara fisik, emosional, ekonomi, psikologis, dan kognitif yang berada diusia antara 13 – 18 tahun.

2. Delinkuen

Delinquent berasal dari bahasa latin “delinquere” yang berarti terabaikan, mengabaikan, yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, nakal, anti sosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat ribut, pengacau, peneror, durjana dan lain sebagainya (Kartono, 2003).

(37)

Fuad Hasan (dalam Sudarsono, 1990) sendiri mendefinisikan delinkuen sebagai perbuatan asosial yang dilakukan oleh anak remaja yang apabila perbuatan tersebut dilakukan oleh orang dewasa, perbuatan tersebut disebut sebagai tindak kejahatan.

Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa delinkuen adalah tindakan yang dilakukan anak remaja yang bersifat melawan hukum, anti sosial, anti susila, dan menyalahi norma-norma agama yang dapat mengakibatkan kerugian dan kerusakan baik terhadap dirinya sendiri maupun orang lain dan bila dilakukan oleh orang dewasa, perbuatan tersebut disebut sebagai tindak kejahatan.

3. Remaja Delinkuen a. Definisi

Menurut Gold dan Petronio (1980), remaja delinkuen adalah seseorang yang belum dewasa yang sengaja melanggar hukum dan yang diketahui oleh anak itu sendiri bahwa jika perbuatan itu sempat diketahui oleh petugas hukum ia bisa dikenai hukuman.

Remaja delinkuen dijelaskan oleh Sudarsono (1997) bahwa apabila seorang anak masih berada dalam fase-fase usia remaja kemudian melakukan pelanggaran terhadap norma-norma hukum, sosial, susila dan agama.

(38)

hukum, sosial, susila, dan agama dan jika perbuatan tersebut diketahui oleh petugas hukum dapat dikenai sanksi.

b. Karakteristik Remaja Delinkuen

Menurut Kartono (2003), remaja nakal itu mempunyai karakteristik umum yang sangat berbeda dengan remaja tidak nakal. Perbedaan itu mencakup :

1) Perbedaan struktur intelektual

Pada umumnya inteligensi mereka tidak berbeda dengan inteligensi remaja yang normal, namun jelas terdapat fungsi-fungsi kognitif khusus yang berbeda. Biasanya remaja delinkuen ini mendapatkan nilai lebih tinggi untuk tugas-tugas prestasi daripada nilai untuk keterampilan verbal (tes Wechsler). Mereka kurang toleran terhadap hal-hal yang ambigius biasanya mereka kurang mampu memperhitungkan tingkah laku orang lain bahkan tidak menghargai pribadi lain dan menganggap orang lain sebagai cerminan dari diri sendiri.

2) Perbedaan fisik dan psikis

(39)

bereaksi terhadap stimulus kesakitan dan menunjukkan ketidakmatangan jasmaniah atau anomali perkembangan tertentu.

3) Ciri karakteristik individual

Remaja delinkuen ini mempunyai sifat kepribadian khusus yang menyimpang, seperti :

a) Rata-rata remaja delinkuen ini hanya berorientasi pada masa sekarang, bersenang-senang dan puas pada hari ini tanpa memikirkan masa depan.

b) Kebanyakan dari mereka terganggu secara emosional.

c) Mereka kurang bersosialisasi dengan masyarakat normal, sehingga tidak mampu mengenal norma-norma kesusilaan, dan tidak bertanggung jawab secara sosial.

d) Mereka senang menceburkan diri dalam kegiatan tanpa berpikir yang merangsang rasa kejantanan, walaupun mereka menyadari besarnya risiko dan bahaya yang terkandung di dalamnya.

e) Pada umumnya mereka sangat impulsif dan suka tantangan dan bahaya.

f) Hati nurani tidak atau kurang lancar fungsinya.

g) Kurang memiliki disiplin diri dan kontrol diri sehingga mereka menjadi liar dan jahat.

(40)

yang kurang. Sifat-sifat tersebut mendukung perkembangan konsep diri yang negatif.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa remaja delinkuen biasanya berbeda dengan remaja yang tidak delinkuen. Remaja delinkuen biasanya lebih ambivalen terhadap otoritas, percaya diri, pemberontak, mempunyai kontrol diri yang kurang, tidak mempunyai orientasi pada masa depan dan kurangnya kemasakan sosial, sehingga sulit bagi mereka untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial.

c. Faktor-faktor Yang Menyebabkan Remaja Delinkuen

Faktor-faktor kenakalan remaja menurut Santrock, (1996) lebih rinci dijelaskan sebagai berikut :

1) Identitas

Menurut teori perkembangan yang dikemukakan oleh Erikson (dalam Santrock, 1996) masa remaja ada pada tahap di mana krisis identitas versus difusi identitas harus diatasi. Perubahan biologis dan sosial memungkinkan terjadinya dua bentuk integrasi terjadi pada kepribadian remaja :

a) terbentuknya perasaan akan konsistensi dalam kehidupannya, dan b) tercapainya identitas peran, kurang lebih dengan cara

menggabungkan motivasi, nilai-nilai, kemampuan dan gaya yang dimiliki remaja dengan peran yang dituntut dari remaja.

(41)

kedua, yang melibatkan aspek-aspek peran identitas. Ia mengatakan bahwa remaja yang memiliki masa balita, masa kanak-kanak atau masa remaja yang membatasi mereka dari berbagai peranan sosial yang dapat diterima atau yang membuat mereka merasa tidak mampu memenuhi tuntutan yang dibebankan pada mereka, mungkin akan memiliki perkembangan identitas yang negatif. Beberapa dari remaja ini mungkin akan mengambil bagian dalam tindak kenakalan, oleh karena itu bagi Erikson, kenakalan adalah suatu upaya untuk membentuk suatu identitas, walaupun identitas tersebut negatif.

2) Kontrol diri

(42)

mempunyai peranan penting dalam kenakalan remaja. Pola asuh orangtua yang efektif di masa kanak-kanak (penerapan strategi yang konsisten, berpusat pada anak dan tidak aversif) berhubungan dengan dicapainya pengaturan diri oleh anak. Selanjutnya, dengan memiliki ketrampilan ini sebagai atribut internal akan berpengaruh pada menurunnya tingkat kenakalan remaja.

3) Usia

Munculnya tingkah laku anti sosial di usia dini berhubungan dengan penyerangan serius nantinya di masa remaja, namun demikian tidak semua anak yang bertingkah laku seperti ini nantinya akan menjadi pelaku kenakalan, seperti hasil penelitian dari McCord (dalam Kartono, 2003) yang menunjukkan bahwa pada usia dewasa, mayoritas remaja nakal tipe terisolir meninggalkan tingkah laku kriminalnya. Paling sedikit 60% dari mereka menghentikan perbuatannya pada usia 21 sampai 23 tahun.

4) Jenis kelamin

(43)

5) Harapan terhadap pendidikan dan nilai-nilai di sekolah

Remaja yang menjadi pelaku kenakalan seringkali memiliki harapan yang rendah terhadap pendidikan di sekolah. Mereka merasa bahwa sekolah tidak begitu bermanfaat untuk kehidupannya sehingga biasanya nilai-nilai mereka terhadap sekolah cenderung rendah. Mereka tidak mempunyai motivasi untuk sekolah. Riset yang dilakukan oleh Janet Chang dan Thao N. Lee (2005) mengenai pengaruh orangtua, kenakalan teman sebaya, dan sikap sekolah terhadap prestasi akademik siswa di Cina, Kamboja, Laos, dan remaja Vietnam menunjukkan bahwa faktor yang berkenaan dengan orangtua secara umum tidak mendukung banyak, sedangkan sikap sekolah ternyata dapat menjembatani hubungan antara kenakalan teman sebaya dan prestasi akademik.

6) Proses keluarga

Faktor keluarga sangat berpengaruh terhadap timbulnya kenakalan remaja. Kurangnya dukungan keluarga seperti kurangnya perhatian orangtua terhadap aktivitas anak, kurangnya penerapan disiplin yang efektif, kurangnya kasih sayang orangtua dapat menjadi pemicu timbulnya kenakalan remaja.

(44)

yang penting dalam menentukan munculnya kenakalan remaja. Perselisihan dalam keluarga atau stress yang dialami keluarga juga berhubungan dengan kenakalan. Faktor genetik juga termasuk pemicu timbulnya kenakalan remaja, meskipun persentasenya tidak begitu besar.

7) Pengaruh teman sebaya

Memiliki teman-teman sebaya yang melakukan kenakalan meningkatkan resiko remaja untuk menjadi nakal. Pada sebuah penelitian Santrock (1996) terhadap 500 pelaku kenakalan dan 500 remaja yang tidak melakukan kenakalan di Boston, ditemukan persentase kenakalan yang lebih tinggi pada remaja yang memiliki hubungan reguler dengan teman sebaya yang melakukan kenakalan. 8) Kelas sosial ekonomi

Ada kecenderungan bahwa pelaku kenakalan lebih banyak berasal dari kelas sosial ekonomi yang lebih rendah dengan perbandingan jumlah remaja nakal di antara daerah perkampungan miskin yang rawan dengan daerah yang memiliki banyak privilege

(45)

sosial yang lebih rendah, dan status seperti ini sering ditentukan oleh keberhasilan remaja dalam melakukan kenakalan dan berhasil meloloskan diri setelah melakukan kenakalan.

9) Kualitas lingkungan sekitar tempat tinggal

Komunitas juga dapat berperan serta dalam memunculkan kenakalan remaja. Masyarakat dengan tingkat kriminalitas tinggi memungkinkan remaja mengamati berbagai model yang melakukan aktivitas kriminal dan memperoleh hasil atau penghargaan atas aktivitas kriminal mereka. Masyarakat seperti ini sering ditandai dengan kemiskinan, pengangguran, dan perasaan tersisih dari kaum kelas menengah. Kualitas sekolah, pendanaan pendidikan, dan aktivitas lingkungan yang terorganisir adalah faktor-faktor lain dalam masyarakat yang juga berhubungan dengan kenakalan remaja. Selain itu, adanya stigma negatif atau komentar-komentar yang menusuk atau penerimaan kritik yang terlalu tajam, perfeksionisme, kekerasan, ditertawakan, diabaikan, atau dibodoh-bodohi oleh orang lain atau lingkungan terhadap apa yang terjadi pada remaja mengakibatkan remaja merasa tidak berarti dan melakukan kenakalan (Tjahjono, 1998; Page dan Page, 2000; Valencia, 2006).

(46)

yang berhubungan dengan penyerangan serius nantinya di masa remaja, harapan yang rendah terhadap pendidikan, kurangnya dukungan dari keluarga, adanya pengaruh teman sebaya yang melakukan kenakalan, kurangnya kesempatan remaja dari kelas sosial rendah untuk mengembangkan ketrampilan yang diterima oleh masyarakat, kualitas lingkungan sekitar tempat tinggal dengan tingkat kriminalitas tinggi dan kenakalan remaja ini lebih banyak dilakukan oleh remaja laki-laki daripada perempuan.

d. Bentuk-bentuk Delinkuen

Bentuk-bentuk kenakalan remaja menurut Kartono (2003) dibagi menjadi empat yang didasarkan pada tingkat kenakalan remaja yang dilakukan, yaitu :

a. Kenakalan terisolir (Delinkuensi terisolir)

Kelompok ini merupakan jumlah terbesar dari remaja delinkuen. Pada umumnya mereka tidak menderita kerusakan psikologis. Perbuatan delinkuen mereka didorong oleh faktor-faktor berikut : a) Keinginan meniru dan ingin konform dengan “gang”nya, jadi tidak

ada motivasi, kecemasan atau konflik batin yang tidak dapat diselesaikan.

(47)

bergabung. Remaja merasa diterima, mendapatkan kedudukan hebat, pengakuan dan prestise tertentu.

c) Pada umumnya remaja berasal dari keluarga berantakan, tidak harmonis, dan mengalami banyak frustrasi. Sebagai jalan keluarnya, remaja memuaskan semua kebutuhan dasarnya di tengah lingkungan kriminal. “Gang” remaja delinkuen memberikan alternatif hidup yang menyenangkan.

d) Remaja dibesarkan dalam keluarga tanpa atau sedikit sekali mendapatkan supervisi dan latihan kedisiplinan yang teratur, sebagai akibatnya dia tidak sanggup menginternalisasikan norma hidup normal. Ringkasnya, delinkuen terisolasi itu mereaksi terhadap tekanan dari lingkungan sosial, mereka mencari panutan dan rasa aman dari kelompok “gang”nya, namun pada usia dewasa, mayoritas remaja delinkuen ini meninggalkan perilaku kriminalnya, paling sedikit 60% dari mereka menghentikan perilakunya pada usia 21 – 23 tahun. Hal ini disebabkan oleh proses pendewasaan dirinya sehingga remaja menyadari adanya tanggung jawab sebagai orang dewasa yang mulai memasuki peran sosial yang baru.

b. Kenakalan neurotik (Delinkuensi neurotik)

(48)

selalu tidak aman, merasa bersalah dan berdosa dan lain sebagainya. Ciri-ciri perilakunya adalah :

1) Perilaku delinkuennya bersumber dari sebab-sebab psikologis yang sangat dalam, dan bukan hanya berupa adaptasi pasif menerima norma dan nilai subkultur “gang” yang kriminal itu saja.

2) Perilaku kriminal mereka merupakan ekspresi dari konflik batin yang belum terselesaikan, karena perilaku jahat mereka merupakan alat pelepas ketakutan, kecemasan dan kebingungan batinnya. 3) Biasanya remaja ini melakukan kejahatan seorang diri, dan

mempraktekkan jenis kejahatan tertentu, misalnya memperkosa kemudian membunuh korbannya, kriminal dan sekaligus neurotik. 4) Remaja delinkuen ini banyak yang berasal dari kalangan

menengah, namun pada umumnya keluarga mereka mengalami banyak ketegangan emosional yang parah, dan orangtuanya biasanya juga neurotik atau psikotik.

5) Remaja memiliki ego yang lemah, dan cenderung mengisolir diri dari lingkungan.

6) Motif kejahatannya berbeda-beda.

7) Perilakunya menunjukkan kualitas kompulsif (paksaan). c. Kenakalan psikotik (Delinkuensi psikopatik)

(49)

oknum kriminal yang paling berbahaya. Ciri tingkah laku mereka adalah :

a) Hampir seluruh remaja delinkuen psikopatik ini berasal dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang ekstrim, brutal, diliputi banyak pertikaian keluarga, berdisiplin keras namun tidak konsisten, dan orangtuanya selalu menyia-nyiakan mereka, sehingga mereka tidak mempunyai kapasitas untuk menumbuhkan afeksi dan tidak mampu menjalin hubungan emosional yang akrab dan baik dengan orang lain.

b) Mereka tidak mampu menyadari arti bersalah, berdosa, atau melakukan pelanggaran.

c) Bentuk kejahatannya majemuk, tergantung pada suasana hatinya yang kacau dan tidak dapat diduga. Mereka pada umumnya sangat agresif dan impulsif, biasanya mereka residivis yang berulang kali keluar masuk penjara, dan sulit sekali diperbaiki.

d) Mereka selalu gagal dalam menyadari dan menginternalisasikan norma-norma sosial yang umum berlaku, juga tidak peduli terhadap norma subkultur “gang”nya sendiri.

(50)

moral, selalu mempunyai konflik dengan norma sosial dan hukum. Mereka sangat egoistis, anti sosial dan selalu menentang apa dan siapapun, sikapnya kasar, kurang ajar dan sadis terhadap siapapun tanpa sebab.

d. Kenakalan defek moral (Delinkuensi defek moral)

Defek (defect, defectus) artinya rusak, tidak lengkap, salah, cedera, cacat, kurang. Delinkuensi defek moral mempunyai ciri-ciri : selalu melakukan tindakan anti sosial, walaupun pada dirinya tidak terdapat penyimpangan, namun ada disfungsi pada inteligensinya. Kelemahan para remaja delinkuen tipe ini adalah mereka tidak mampu mengenal dan memahami tingkah lakunya yang jahat, juga tidak mampu mengendalikan dan mengaturnya, mereka selalu ingin melakukan perbuatan kekerasan, penyerangan dan kejahatan, rasa kemanusiaannya sangat terganggu, sikapnya sangat dingin tanpa afeksi jadi ada kemiskinan afektif dan sterilitas emosional. Terdapat kelemahan pada dorongan instinktif yang primer, sehingga pembentukan super egonya sangat lemah. Impulsnya tetap pada taraf primitif sehingga sukar dikontrol dan dikendalikan. Mereka merasa cepat puas dengan prestasinya, namun perbuatan mereka sering disertai agresivitas yang meledak.

(51)

antara para penjahat residivis remaja, kurang lebih 80% mengalami kerusakan psikis, berupa disposisi dan perkembangan mental yang salah, jadi mereka menderita defek mental. Hanya kurang dari 20% yang menjadi penjahat disebabkan oleh faktor sosial atau lingkungan sekitar.

(52)

antara lain kenakalan terisolir (Delinkuensi terisolir), kenakalan neurotik (Delinkuensi neurotik), kenakalan psikotik (Delinkuensi psikopatik), dan kenakalan defek moral (Delinkuensi defek moral).

C.LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS IIA ANAK BLITAR 1. Sejarah Berdirinya

Lembaga Pemasyarakatan Anak Blitar telah berdiri sejak lama. Pada masa pemerintahan Belanda, Lapas Klas IIA Anak Blitar merupakan pabrik minyak yang bernama “INSULINDE” milik pemerintahan Belanda. Selanjutnya oleh Belanda pabrik minyak Insulinde diubah fungsinya menjadi tempat untuk mendidik anak-anak pelanggar hukum, baik hukum pidana maupun hukum politik Belanda. Tempat ini kemudian dikenal dengan nama L.O.G. (Lands Opvoeding Gesticht) atau Rumah Pendidikan Negara (RPN). Anak didiknya dikenal dengan sebutan Anak Raja. Tujuan dari pendidikan anak pada waktu itu tentunya disesuaikan dengan tujuan politik Hindia Belanda dengan peraturan D.O.R. (Dwang Opvoeding Regeling) atau peraturan pendidikan paksa Stbl 1917 nomor 741. Pada masa penjajahan Jepang L.O.G. diganti nama menjadi “Konkai”. Fungsinya tetap sama yaitu untuk mendidik anak-anak nakal, dimana sistem pendidikannya keras seperti pendidikan militer.

(53)

mendidik anak-anak yang melanggar hukum pidana. Peraturan yang digunakan tetap D.O.R. dengan penyesuaian yang berorientasi pada alam kemerdekaan. Selanjutnya setelah bangunan diperbaiki, pada tanggal 12 Januari 1962 diadakan peresmian gedung dengan nama Rumah Pendidikan Negara oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia Prof. Dr. Sahardjo, SH. dan dihadiri oleh Kepala Jawatan Kepenjaraan dan pembesar-pembesar sipil dan militer.

Pada tanggal 27 April 1964 sistem kepenjaraan diubah ke sistem pemasyarakatan, maka nama Rumah Pendidikan Negara diganti dengan nama Lembaga Pemasyarakatan Khusus Anak Negara (LPC AN). Nama LPC AN ini diubah lagi menjadi Lembaga Pemasyarakatan Anak Negara berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor : T.S.4/6/5 tanggal 30 Juli 1977, tentang : Penetapan dan Klasifikasi Lembaga Pemasyarakatan dan Balai Bispa. Barulah pada tanggal 26 Februari 1985 nama Lembaga Pemasyarakatan Anak Negara diubah menjadi Lembaga Pemasyarakatan Anak Blitar atas dasar Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor : M.01.PR.07.03 tanggal 26 Februari 1985, tentang : Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemasyarakatan yang berlaku hingga saat ini.

2. Gambaran Umum

(54)

didik di Lapas Klas IIA Anak Blitar per tanggal 29 Juli 2009 adalah sekitar 159 anak. Lapas Klas IIA Anak Blitar memiliki luas lahan 111.593 m2 dan luas bangunan 25.172 m2. Kapasitas keseluruhannya adalah 400 orang, namun kapasitas saat ini 200 orang. Terdiri dari 4 blok namun 2 blok dinyatakan rusak. Di Lapas Klas IIA Anak Blitar dibagi dalam 4 blok, yaitu Wisma Bougenvile yang terdiri dari 12 kamar, Wisma Cempaka yang terdiri dari 6 kamar, Wisma Dahlia yang terdiri dari 5 kamar dan Wisma Melati yang terdiri dari 2 kamar yang digunakan untuk penghuni wanita, namun yang digunakan hanya 1 kamar. 20 kamar diantaranya adalah kamar berukuran besar.

Ada beberapa fasilitas yang disediakan seperti lapangan sepak bola, volley, dan tenis meja. Juga terdapat peralatan musik lengkap. Untuk sarana ibadah, terdapat masjid dan gereja yang berada di dalam Lapas Klas IIA Anak Blitar. Sedangkan untuk pendidikan umum terdapat ruang-ruang kelas untuk SD, SMP, dan SMU. Di sana juga ada sebuah ruang perpustakaan. Lapas Klas IIA Anak Blitar juga memiliki peralatan keterampilan seperti mesin jahit, pemintal keset sabut kelapa, dan alat untuk mengecat kerajinan tangan. Di samping itu disediakan ruangan khusus bagi anak-anak yang sakit. Sedangkan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan yang bersifat besar dapat dilakukan di dalam ruang aula yang cukup luas.

(55)

ruangan yang disediakan untuk membesuk atau berkunjung bagi para keluarga, sanak famili atau orang-orang tertentu lainnya.

3. Pembinaan Anak di Lapas Klas IIA Anak Blitar

Dalam melaksanakan pembinaan anak di Lapas Klas IIA Anak Blitar, terdapat suatu metode pembinaan atau bimbingan, yang meliputi :

a. Pembinaan berupa interaksi langsung yang bersifat kekeluargaan antara Pembina dengan yang dibina.

b. Pembinaan bersifat persuasif edukatif yang berusaha mengubah tingkahlakunya melalui keteladanan dan memperlakukan adil di antara sesama mereka sehingga menggugah hatinya untuk melakukan hal-hal terpuji. Menempatkan anak didik sebagai manusia yang memiliki potensi dan harga diri dengan hak-hak dan kewajibannya yang sama dengan manusia lainnya.

c. Pembinaan berencana, terus-menerus dan sistematis.

d. Pemeliharaan dengan peningkatan langkah-langkah keamanan yang disesuaikan dengan tingkat keadaan yang dihadapi.

e. Dalam rangka menumbuhkan rasa kesungguhan, keikhlasan dan tanggungjawab dalam melaksanakan tugas serta menanamkan kesetiaan dan keteladanan di dalam pengabdiannya terhadap Negara, hukum, dan masyarakat, para petugas jajaran pemasyarakatan perlu memiliki kode perilaku dan dirumuskan dalam bentuk etos kerja.

(56)

anak serta tahanan adalah bagaikan seorang guru dengan muridnya dan orangtua dengan anaknya.

Ruang lingkup yang diterapkan di LPA Blitar dibagi dalam dua bidang, yaitu :

a. Pembinaan kepribadian yang meliputi : 1) Pembinaan kesadaran beragama.

2) Pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara. 3) Pembinaan kemampuan intelektual (kecerdasan). 4) Pembinaan kesadaran hukum.

5) Pembinaan mengintegrasikan diri dengan masyarakat. b. Pembinaan kemandirian

Pembinaan kemandirian diberikan melalui program-program : 1) Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha mandiri. 2) Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha industry kecil. 3) Keterampilan disesuaikan dengan bakat masing-masing.

4) Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha industri dan kegiatan pertanian.

Pelaksanaan pembinaan kepribadian dan kemandirian berdasarkan atas asas pendidikan dan pembinaan.

4. Bentuk-bentuk Pembinaan

(57)

a. Pendidikan umum

Untuk pendidikan umum di Lapas Klas IIA Anak Blitar dilaksanakan setiap hari seperti sekolah umum lainnya di ruang kelas yang disediakan di dalam Lapas Klas IIA Anak Blitar. Pendidikan umum tersebut meliputi :

1) SD Istimewa III, yang pelaksanaannya berjalan lancar dan tertib. Tenaga pengajaran bekerjasama dengan Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan Kota Blitar.

2) SLTP Negeri, yaitu SMP Terbuka, tenaga pengajar dan kurikulum disesuaikan dengan SLTP Negeri 6 Blitar.

3) SMU, bekerjasama dengan SMU Wiyata Dharma Kesamben Blitar. Pelaksanaan pendidikan umum di dalam Lapas Klas IIA Anak Blitar ini sesuai dengan sistem pembinaan intramural, yaitu pembinaan di dalam Lapas yang meliputi pendidikan dan bimbingan berdasarkan Pancasila dan merupakan penerapan dari asas pendidikan.

b. Pendidikan keterampilan

(58)

komputer yang berstandart kursus bersertifikat dan kurangnya tenaga untuk memberikan pelatihan lainnya.

c. Pembinaan mental spiritual

Pembinaan ini berupa pelajaran agama, ceramah-ceramah, pesantren kilat, upacara bendera, peringatan hari besar nasional dan budi pekerti. Untuk pembinaan agama, dilaksanakan sesuai dengan agama masing-masing melalui kegiatan-kegiatan antara lain :

1) Ibadah bersama, untuk yang beraga Islam setiap Jumat diadakan sholat Jumat bersama. Sedangkan untuk yang beragama Nasrani, Lapas Klas IIA Anak Blitar bekerjasama dengan GKI Blitar setiap hari minggu selalu mengadakan kebaktian bersama.

2) Upacara keagamaan, misalnya upacara Perjamuan Kudus bagi mereka yang beragama Nasrani.

3) Peringatan hari besar keagamaan, misalnya perayaan Idul Fitri, Natal, Waisak, dan lain-lain.

4) Ceramah-ceramah keagamaan, misalnya ceramah-ceramah pada bulan suci Ramadhan.

Pembinaan ini sesuai dengan pembinaan intramural. d. Pembinaan sosial

(59)

Seperti beberapa saat lalu (16/4/2009) diadakan pentas Teater Tinta Emas dengan tujuan untuk menumbuhkembangkan apresiasi dan potensi serta sebagai media pembinaan dan terapi.

Pembinaan ini sesuai dengan pembinaan intramural. e. Rekreasi

Rekreasi ini diarahkan untuk pemupukan kesegaran jasmani dan rohani melalui kegiatan olah raga seperti volley ball, ping-pong, catur, senam pagi, menonton televisi, dan perpustakaan.

5. Tujuan Pembinaan

Pembinaan terhadap anak di Lapas Klas IIA Anak Blitar memiliki beberapa tujuan, antara lain :

a. Membangkitkan motivasi atau dorongan pada diri anak didik ke arah pencapaian tujuan pembinaan.

b. Memberi kesempatan bagi anak didik untuk meningkatkan pendidikan dan keterampilan guna mempersiapkan diri hidup mandiri di tengah masyarakat setelah bebas menjalani pidana.

c. Mendorong masyarakat untuk berperan serta secara aktif dalam penyelenggaraan pemasyarakatan.

(60)

diberikan di dalam Lapas Klas IIA Anak Blitar membangkitkan motivasi atau dorongan pada diri anak didik ke arah pencapaian tujuan pembinaan, memberi kesempatan bagi anak didik untuk meningkatkan pendidikan dan keterampilan guna mempersiapkan diri hidup mandiri di tengah masyarakat setelah bebas menjalani pidana serta mendorong masyarakat untuk berperan serta secara aktif dalam penyelenggaraan pemasyarakatan.

D.SELF-ESTEEM REMAJA DELINKUEN DI LAPAS KLAS IIA ANAK

BLITAR

(61)

menilai tentang dirinya akan mempengaruhi perilaku dalam kehidupannya sehari-hari.

Terbentuknya self-esteem remaja dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti faktor pengalaman yang merupakan suatu bentuk emosi, perasaan, tindakan, dan kejadian yang pernah dialami remaja pada masa kanak-kanan maupun remaja yang dirasakan bermakna dan meninggalkan kesan dalam hidupnya (Yusuf, 2000). Praktik pola asuh yang merupakan sikap orangtua dalam berinteraksi dengan remaja yang meliputi cara orangtua memberikan aturan-aturan, hadiah maupun hukuman, cara orangtua menunjukkan otoritasnya, dan cara orangtua memberikan perhatiannya serta tanggapan terhadap remaja (Shochih, 1998). Faktor lingkungan juga memberikan dampak besar kepada remaja melalui hubungan yang baik antara remaja dengan orangtua, teman sebaya, dan lingkungan sekitar sehingga menumbuhkan rasa aman dan nyaman dalam penerimaan sosial dan self-esteem-nya (Yusuf, 2000). Faktor sosial ekonomi merupakan suatu yang mendasari perbuatan seseorang untuk memenuhi dorongan sosial yang memerlukan dukungan finansial yang berpengaruh pada kebutuhan hidup sehari-hari (Ali dan Asrori, 2004).

(62)

mereka tidak berharga baik untuk diri sendiri maupun orang lain atau lingkungan. Mereka merasa bahwa lingkungan telah menolak mereka, keberadaan mereka serasa tidak disukai, diharapkan, atau diakui. Berawal dari perasaan seperti itu, mereka mengkompensasikannya dengan tindakan lain yang, seolah-olah, membuat self-esteem-nya lebih tinggi. Bisa juga remaja melakukan kenakalan yang disebabkan oleh perfeksionisme, kekerasan, menerima kritik yang terlalu tajam, ditertawakan, diabaikan, atau dibodoh-bodohi oleh orang lain sehingga mempengaruhi self-esteem-nya menjadi rendah (Valencia, 2006).

(63)

E

(64)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A.JENIS PENELITIAN

Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif.

B.VARIABEL PENELITIAN

Penelitian ini adalah studi deskriptif maka tidak ada kontrol terhadap variabelnya. Variabel dalam penelitian ini adalah self-esteem remaja delinkuen di Lapas Klas IIA Anak Blitar.

C.DEFINISI OPERASIONAL

Definisi operasional, secara singkat, memberikan batasan atau arti suatu variabel dengan merinci hal-hal yang harus dikerjakan oleh peneliti untuk mengukur variabel tersebut.

Self-esteem adalah suatu proses penilaian yang dilakukan oleh seseorang terhadap dirinya sendiri, karena berkaitan dengan dirinya sendiri, penilaian tersebut biasanya mencerminkan penerimaan atau penolakan terhadap dirinya, menunjukkan seberapa jauh individu percaya bahwa dirinya mampu, penting, berhasil serta berharga (Coopersmith, 1976). Self-esteem memiliki empat aspek yaitu :

(65)

1. Kekuasaan (power)

Kemampuan mengontrol diri sendiri, mengendalikan dan mempengaruhi orang lain, mengorganisasi suatu kelompok dengan maksud untuk mencapai tujuan yang didukung oleh pengaruh dan kewibawaan.

2. Keberartian (significance)

Kepedulian, penilaian individu terhadap keberartiannya, keberhargaannya termasuk penerimaan dan afeksi yang didapatkan dari keluarga dan lingkungan serta ketenaran. Bila keberartian ini tidak atau jarang mendapatkan stimulus positif dari orang lain, kemungkinan besar akan merasa ditolak dan kemudian akan mengisolasikan diri dari pergaulan. 3. Kebajikan (virtue)

Ketaatan mengikuti standar moral dan etika, ditandai oleh ketaatan untuk menjauhi tingkah laku yang tidak diperbolehkan dan kesesuaian diri dangan norma di dalam masyarakat, juga hal-hal yang berkaitan dengan nilai-nilai kemanusiaan, serta ketaatan dalam beragama. Permasalahan nilai ini pada dasarnya berkisar pada persoalan benar dan salah. Bila keberadaan standar moral dan etika tidak sesuai maka akan melakukan tindakan melawan aturan yang ada atau perilaku maladaptif.

4. Kemampuan (competence)

(66)

Self-esteem dalam penelitian ini diketahui melalui hasil wawancara. Tinggi rendahnya self-esteem diketahui dari banyak tidaknya kesesuaian jawaban dengan indikator self-esteem yang tinggi.

D.SUBJEK PENELITIAN

Subjek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah remaja yang berusia sekitar 13 – 18 tahun yang saat ini masih berada di dalam Lapas Klas IIA Anak Blitar. Adapun jumlah subjek yang diperoleh adalah 3 orang.

E.METODE PENGUMPULAN DATA

Dalam penilitian ini peneliti menggunakan teknik wawancara (interview) dengan jenis wawancara semi terstruktur. Jenis pertanyaan dalam wawancara merupakan pertanyaan terbuka atau pertanyaan yang dibuat sedemikian rupa dan jawabannya dan cara pengungkapannya dapat bermacam-macam sehingga diharapkan dapat memperkecil bias yang mungkin terjadi.

Dalam wawancara, peneliti mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada subjek yang bertujuan untuk mengetahui tinggi atau rendahnya self-esteem

(67)

Tabel 1 Pedoman wawancara

(68)

termasuk

(69)

di dalam moral dan etika di lingkungan masyarakat.

•Apakah mampu

menyesuaikan diri dengan standar moral dan etika di lingkungan

masyarakat? Merasa memiliki

ketaatan dalam beragama.

•Apakah merasa telah menjalankan

(70)

inisiatif dengan

•Apakah merasa yang pernah dicita-citakan dapat dikerjakan hingga berhasil dan mendapatkan suatu kesuksesan?

F.METODE ANALISIS DATA

Setelah peneliti memperoleh data, tahap-tahap selanjutnya yang dilakukan adalah menganalisis data tersebut. Adapun tahap-tahap yang dilalui dalam proses analisis data antara lain :

1. Menulis transkrip hasil wawancara. 2. Membaca transkrip hasil wawancara.

3. Memberi tanda centang (√) pada setiap indikator self-esteem yang terpenuhi. 4. Membuat tabel deskripsi penelitian.

(71)

G.KEABSAHAN DATA

Keabsahan data pada penelitian ini diperoleh dari proses triangulasi yang mengacu pada upaya mengambil sumber-sumber data yang berbeda, dengan cara berbeda, untuk memperoleh kejelasan mengenai suatu hal tertentu (dalam Poerwandari, 2005). Triangulasi data diperoleh dengan cara :

1. Menanya atau mengkonfirmasikan kembali data dan analisisnya atau memperjelas maksud dari jawaban subjek.

2. Mewawancarai beberapa teman subjek yang berada di Lapas dan Ibu Sri Rahayu, BA. selaku Sie. Binpaswar Lapas Klas IIA Anak Blitar untuk meng-cross-check data.

(72)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A.PELAKSANAAN PENGAMBILAN DATA

Pengambilan data berupa wawancara dengan subjek penelitian dilakukan selama dua hari di Lapas Klas IIA Anak Blitar. Hari pertama pengambilan data dilakukan pada hari Rabu tanggal 7 Oktober 2009 pukul 09.30 – 13.30 WIB di ruang TPP. Pada hari pertama peneliti mewawancarai 2 subjek, yaitu Ssn dan Ars. Hari kedua dilakukan pada tanggal 8 Oktober 2009 di ruang TPP. Subjek yang diwawancarai adalah Erv pada pukul 09.30 WIB.

Sebelumnya peneliti telah melakukan rapor dengan semua subjek penelitian hingga saling mengenal satu sama lainnya. Rapor ini dilakukan agar subjek dapat mempercayai peneliti dan dapat mengungkapkan data yang sebenarnya.

Hasil triangulasi data ini diperoleh dari hasil wawancara dengan subjek dimana peneliti menanyakan kembali atau mengkonfirmasi jawaban subjek, melakukan wawancara formal dan informal dengan teman-teman subjek penelitian yang berada di Lapas dan Ibu Sri Rahayu, BA. selaku Sie. Binpaswar Lapas Klas IIA Anak Blitar dan mencatat data informal setelah peneliti keluar dari Lapas Klas IIA Anak Blitar. Selain itu peneliti melihat dan melakukan pengecekan dokumen atau berkas mengenai subjek selama berada di Lapas Klas IIA Anak Blitar. Sebagian data Ibu Sri Rahayu tidak digunakan

(73)

karena ada beberapa data yang tidak sesuai baik dengan pernyataan subjek maupun teman-teman subjek yang berada di Lapas.

B.DESKRIPSI SUBJEK PENELITIAN

Seperti penghuni Lapas Klas IIA Anak Blitar lainnya, ketiga subjek penelitian memiliki profil yang hampir sama dengan penghuni Lapas Klas IIA Anak Blitar lainnya. Mereka berasal dari latarbelakang perekonomian keluarga menengah ke bawah sehingga untuk memenuhi kebutuhan atau keinginan diluar kebutuhan pokok agak sulit. Mereka pun memiliki latar belakang pendidikan yang rendah, misalnya mengalami putus sekolah karena keterbatasan dalam pemenuhan biaya sekolah. Adanya tuntutan dari luar dan dalam yang mendorong mereka untuk melakukan suatu tindakan untuk memenuhi apa yang menjadi kebutuhan dan tuntutan walaupun cara itu menyimpang atau menyalahi aturan atau norma-norma dalam masyarakat dan hukum. Hal inilah yang membuat sebagian besar penghuni Lapas Klas IIA Anak Blitar melakukan tindakan kriminal terutama pencurian.

(74)

Di bawah ini adalah deskripsi ketiga subjek penelitian. 1. Subjek 1

Nama : Ssn Umur : 18 tahun Asal : Kediri Lama di Lapas : 2 tahun 6 bulan

(75)

menambah pikiran ibunya. Subjek baru keluar dari Lapas Klas IIA Anak Blitar sekitar tahun 2012.

2. Subjek 2

Nama : Ars

Umur : 17 tahun

Asal : Lumajang

Lama di Lapas : 1 tahun 8 bulan

Wawancara pengambilan data dengan subjek dilakukan pada tanggal 7 Oktober 2009 di ruang TPP. Subjek adalah anak kedua dari dua bersaudara. Kedua orangtua subjek bekerja di Malaysia sebagai TKI dan pembantu rumah tangga. Di rumah subjek tinggal bersama kakak laki-lakinya. Subjek putus sekolah kelas 6 SD karena tidak dapat membayar uang sekolah, sehingga pihak sekolah tidak mengijinkan subjek untuk mengikuti ujian akhir nasional. Subjek terjerat kasus pencurian di counter handphone dalam keadaan mabuk bersama tiga orang temannya. Yang melaporkan tindakkannya itu adalah temannya yang juga ikut mencuri karena merasa mandapatkan pembagian hasil pencurian yang tidak merata. Subjek akan keluar dari Lapas Klas IIA Anak Blitar pada tahun 2011.

3. Subjek 3

(76)
(77)

Tabel 2

DESKRIPSI PENELITIAN SELF-ESTEEM

ASPEK INDIKATOR

cara mencari hal lain yang menyenangkan.

(78)

dan masih memerlukan bantuan orang lain untuk mengendalikan situasi.

Gagasan atau ide subjek tidak selalu atau hanya kadang-kadang diikuti atau saling berbagi dengan teman-temannya.

– Teman-teman dekatnya sering mengikuti ide

√ Kurang merasa disegani teman-temannya karena

√ Kurang merasa bahwa dirinya berpengaruh dan hanya disenangi

– Merasa keberadaannya memiliki pengaruh terhadap

(79)

terhadap orang lain.

untuk mengikuti subjek. oleh teman-teman dekatnya saja. bisa melakukan apa yang diinginkannya.

√ Merasa tidak memiliki kelebihan dibandingkan yang dimiliki sama saja dengan apa yang

– Tidak pernah terlibat dalam urusan keluarga terutama dengan orangtua.

(80)

pengambilan keputusan

Merasa terkenal, hal ini nampak pada perlakuan teman-teman subjek yang dekat dengannya.

√ Merasa terkenal atau popular di antara teman-temannya karena sudah lama berada di Lapas dan di lingkungan rumah pun sudah banyak yang mengenal subjek.

(81)

dihargai oleh teman-yang terlalu disiplin atau ketat baginya.

– Menyadari belum menaati semua peraturan yang ada dan

menaati peraturan karena adanya suatu hukuman.

– Menaati peraturan karena takut pada dengan norma yang ada namun masih belum mampu mengikuti norma tersebut dengan baik atau sesuai dengan kehendak

(82)

diri dengan standar moral dan etika yang berlaku di masyarakat.

sesuai dengan standar moral dan etika di lingkungan masyarakat.

sesuai dengan standar moral dan etika di lingkungan masyarakat

– Belum sepenuhnya menjalankan perintah agamanya.

– Belum sepenuhnya menjalankan perintah

√ Kurang peduli pada orang yang sedang

– Tidak memiliki prestasi yang baik dan kurang

(83)

Kemampuan karena merasa apa yang dipikirkan dan dikatakan tidak sama dan terkadang menyinggung perasaan orang yang sudah dekat dan terkadang membuat yang baik dan tidak membuat tersinggung sesuatu yang baru atau

merasa mudah beradaptasi bila sesuatu

yang baru tesebut

– Mudah menyesuaikan diri dengan situasi yang

baru untuk mendapatkan teman.

(84)

disukai.

√ Kurang berani membuat inisiatif atau ide untuk menyelesaikan

masalahnya dan lebih tergantung pada pendapat orang lain.

– Kurang berani membuat inisiatif atau ide untuk menyelesaikan

– Pernah berhasil dalam meraih atau menjadi apa yang diinginkan atau yang menjadi impiannya.

(85)

Dari hasil koding yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa subjek 1 (Ssn) memiliki significance yang tinggi dan power, virtue dan competence

yang rendah. Power yang rendah ditandai dengan adanya kekuasaan dalam mengontrol diri sendiri yang rendah dimana Ssn mudah terpengaruh dan terbawa emosi bila berada di situasi yang tidak kondusif, sehingga Ssn juga kurang mampu mengendalikan situasi atau orang lain. Hal tersebut juga ditandai dengan adanya gagasan atau idenya yang tidak selalu diikuti atau saling berbagi dengan teman-temannya. Rendahnya virtue atau kesadaran dalam menaati semua standar moral dan etika, norma, nilai-nilai kemanusiaan, serta ketaatan dalam beragama, disebabkan oleh kurang mendapatkan pengajaran dan pengarahan dari orangtuanya tentang pentingnya menaati standar moral dan etika, norma, dan ketaatan dalam beragama karena Ssn tidak tinggal bersama orangtuanya. Namun Ssn memiliki nilai-nilai kemanusiaan dimana ia senang membantu orang yang kesusahan karena selalu mengingat pesan orangtuanya.

Gambar

Tabel 1
DESKRIPSI PENELITIAN Tabel 2 SELF-ESTEEM

Referensi

Dokumen terkait

Dilihat dari segi ekonomi, wakaf tunai sangat potensial untuk dikembangkan di Indonesia, karena dengan model wakaf ini daya jangkau mobilisasinya akan jauh lebih

Hasil simluasi dari pengujian, sistem memberikan keputusan dari enam objek wisata diperoleh Pantai Marina untuk jenis objek Wisata Bahari dari titik pusat Batam

Kamis, 30 April 2015 pukul 09.00 wita bertempat dilapangan Kantor Walikota Bitung sejumlah perwakilan masyarakat Kota Bitung mengikuti apel segenap komponen masyarakat

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa Kepala Sekolah dalam meningkatkan mutu pembelajaran juga mendekatkan diri kepada guru dan staff-staff di sekolah tersebut

Berdasarkan Ketentuan Perpres nomor : 54 tahun 2010 dan Perpres nomor : 70 tahun 2012 beserta perubahannya dan Dokumen Pengadaan nomor :

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada mesin pendingin Split AC Panasonic dengan metode pemasangan evaporator seri,parallel,dan tunggal dapat disimpulkan

Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret-Juni 2012 di Laboratorium Boga, Jurusan Pendidikan Teknik Boga dan Busana Universitas Negeri Yogyakarta. Metode

Variabel bebas yang diteliti pada penelitian ini terdiri dari pengetahuan keuangan, sikap terhadap uang, faktor kepribadian sebagai prediktor perilaku berhutang dengan