• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI DESKRIPTIF KONSEP DIRI REMAJA PELAKU TINDAK KRIMINAL DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN ANAK KUTOARJO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "STUDI DESKRIPTIF KONSEP DIRI REMAJA PELAKU TINDAK KRIMINAL DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN ANAK KUTOARJO"

Copied!
165
0
0

Teks penuh

(1)

DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN ANAK KUTOARJO

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

Disusun oleh :

Nama

: Octavia Dewi Alam Sari

NIM

: 009114131

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)

J ika bukan Tuhan yan g m en olon g aku,

n yaris aku diam di tem pat sun yi

Ketika aku berpikir :

“ kakiku goyan g, ”

m aka kasih setiaMu, ya Tuhan ,

m en yokon g aku

Apabila bertam bah ban yak pikiran

dalam batin ku,

pen ghiburan Mu m en yen an gkan jiwaku

(Mazm ur 94 : 17-19)

(5)

is one who st rengt hens you wit h prayers,

blesses you wit h love,

and encourages you wit h hope

Karya ini ku persembahkan kepada :

Tuhan Yesus yang menjadikan semuanya, sungguh amat baik !

Kekuatanku, Bapak dan Ibu yang tercinta

Kakak dan sahabatku, Indra Putri Wijayasari

Adik dan semangatku, Mesakh Ari Pamungkas

Sahabat terbaikku, Felly D. Wangkay

(6)

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya susun ini tidak memuat karya atau bagian karya lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya sebuah karya ilmiah.

Yogyakarta, 7 Juli 2007

Penulis

( Octavia Dewi Alam Sari)

(7)

Octavia Dewi Alam Sari (2007). Self concept in teenagers who come from criminal background at Lembaga Pemasyarakatan Anak Kutoarjo. Departement Of Psychology, Psychology School, Sanata Dharma University.

The purpose of studies to obtain a description of the self concept of teenagers who come from criminal background. The self observed, experienced by the person is his self concept.

The subject in the study were teenagers who come from criminal background and live in Lembaga Pemasyarakatan Anak Kutoarjo. Their age range from 13-21 years old. The subject of this research is 61 subjects.

Data on their self concept was collected using the self concept scale. The descriminate power used value limit rix > 0,30. on these scale there were 20 items being eliminated and 100 item were valid. The reliability coeficient was 0,9466. Percentages was computed to obtain a description of self concept profiles of teenagers from.

General the teenagers who come from criminal background have positive self concept, 13 (21,3%) out of 61 subjects of this study were categorized into very high self concept. 40 (65,6%) on high categoty, 8 subjects (13,1%) on low category and no one else person on very low category.

(8)

Octavia Dewi Alam Sari (2007). Konsep Diri Pelaku Tindak Kriminal di Lembaga Pemasyarakatan Anak Kutoarjo. Jurusan Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang konsep diri remaja pelaku tindak kriminal yang berada di Lembaga Pemasyarakatan Anak Kuotoarjo. Konsep diri adalah diri sebagaimana diamati dan dialami oleh orang tersebut.

Subjek penelitian ini adalah remaja pelaku tindak kriminal yang berada di Lembaga Pemasyarakatan Anak Kutoarjo. Batasan usia yang digunakan adalah 13-21 tahun. Subjek yang digunakan dalam penelitian sebanyak 61 orang.

Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah dengan menggunakan skala konsep diri. Daya diskriminasi dalam penelitian ini menggunakan batasan rix > 0,30. Pada skala konsep diri terdapat 20 aitem gugur dan 100 aitem yang sahih. Koefisien reliabilitas skala konsep diri sebesar 0,9466. Teknik analis deskriptif digunakan untuk menggambarkan konsep diri remaja peaku tidak kriminal yang berupa teknik statistik deskriptif presentase.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara umum subjek mempunyai konsep diri yang positif, 13 subjek (21,3%) dari 61 subjek penelitian berada pada kategori konsep diri yang sangat tinggi. 40 subjek (65,6%) berada pada kategori tinggi, 8 subjek (13,1%) berada pada kategori rendah dan tidak ada satupun subjek yang berada pada kategori sangat rendah.

(9)

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah yang penuh kasih, karena berkat kehendak dan rahmatNya akhirnya karya ini dapat terselesaikan. Dalam penulisan ini, penulis telah berusaha semaksimal mungkin agar karya ini dapat selesai dengan baik. Tetapi penulis menyadari bahwa penulisan ini bukanlah sesuatu yang sempurna.

Dalam penyusunan ini, penulis menyadari bahwa tanpa dukungan dan bantuan berbagai pihak karya ini tidak akan dapat selesai. Penulis mengucapkan banyak-banyak terima kasih atas dukungan baik dalam bentuk doa maupun moral kepada berbagai pihak yang telah membantu kelancaran penulisan karya ini, terutama penulis ucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si. selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan perijinan penelitian bagi penulis.

2. Ibu Sylvia Carolina MYM., S.Psi., M.Si selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberi masukan, ide, nasihat dan juga semangat kepada penulis.

3. Ibu Agnes Indar E., S.Psi., M.Si., Psi selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberi dukungan selama penulis menjadi mahasiswa.

4. Bapak Y. Agung Santoso, S.Psi yang telah memberi masukan, ide, nasihat dan juga semangat kepada penulis terutama bila penulis mengalami kesulitan pada statistik.

(10)

6. Mbak Nanik, Mas Muji, Mas Donni, Pak Gik, dan biro administrasi Universitas Sanata Dharma yang memperlancar proses pengurusan surat-surat penelitian.

7. Bapak Nur Salim, Bc.IP, S.Pd, Msi selaku Kepala Lembaga Pemasyarakatan Anak Kutoarjo yang telah menyediakan waktu dan tempat bagi peneliti untuk mengadakan penelitian.

8. Bapak Paiman beserta staff Lembaga Pemasyarakatan Anak Kutoarjo yang membantu proses penelitian.

9. Segenap responden khususnya teman-teman di Lembaga Pemasyarakatan Anak Kutoarjo yang menyediakan waktu untuk mengisi kuisioner.

10.Bapak dan Ibu-ku yang merupakan sumber kekuatan penulis dalam menyelesaikan karya ini, matur sembah nuwun untuk segenap cinta dan motivasi yang tidak pernah habis buat penulis.

11.Kakakku, Indra yang merupakan kakak dan juga sahabatku, terima kasih buat dukungannya. Buat adikku, Mesakh yang menyemangatiku selalu. Juga untuk Mbak Har, A’ Udin, iparku Lina, dan Edo terima kasih buat doanya.

12.Keluarga di Solo : Pakde Nano, Budhe, Mbak Endang, Mas Agus, Mbak Puji, Mbak Widho, Mbak Merry serta sepupuku : Adi, Aryo, Ayu, dan Irna atas semangat dan doanya.

(11)

Thank you, bos!!

14.Keluarga besar Yayasan Joy Fellowship yang memberikan pelajaran iman kepada penulis.

15.Sahabat imanku : Mr. Kyong sekeluarga, Bu Peggy, Mas Barkah, Mbak Yayuk, Bang Nuan, Kak Annie, Kak Ifa, Danger, Vonny, Yeri, Mbak Riana, Usi Flo. Terima kasih buat pelajaran memimpin yang kreatif dan iman yang sama kepada Yesus.

16.Keluarga keduaku : San-san, Devita, Marhan, Samuel, Kiki, Nova, Bang Dedes, Masda, Bunga, Philip, Ellin, Bang Heru, Febri, Rona, Lanny, Benny, Irma, Yoel, Ricky, Vano, Esti dan K’ Ibeth, terima kasih atas cinta dan doanya.

17.Sahabatku : Hendra ‘Sorong’, Sigit, Era, Dina, Icha, Sintha ‘Enthong’ ma Didi, Keke ‘thayank’ ma Pouly, Venta ‘si bungsu’, Ayu, Hananto, Wahyu

‘krete’, Yudhi, Mas Seto, Agus, Yuni, Om Welly, Pakde Agus, Mas Bertus, Soni, Lyra, Restu, Uyee, K’ Ila, Nian, K’Fina, Lena, Nora, Radit, Linda, Tomi, Aini, Ridez, Bang Fatah, Pika, Fla, juga Melky ‘Suroto’. Aku bersyukur karena bisa mendapat banyak hati yang mau peduli dengan egoku.

18.Teman-teman di PIN Creative : Mas Anto, K’ Mega, Mbak Denny, ‘Bos’, Lexy ‘botak’, Lea ’der’, Nonny ‘Kupang”, Itho ‘Spears??’, Koko Onald,

(12)

19.Semua pihak yang tidak dapat di sebutkan satu persatu, terima kasih untuk dukungannya.

Akhir kata penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat dan menjadi tambahan pengetahuan untuk semua yang membacanya.

Yogyakarta, 15 Juni 2007 Penulis

(13)

Halaman

HALAMAN JUDUL ……….……….. i

HALAMAN PENGESAHAN ……….... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ………... iii

HALAMAN MOTTO ..………... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ………... v

HALAMAN PERNYATAAN .……….. vi

ABSTRACT ……….………... vii A.Latar Belakang Masalah ……… 1

B.Rumusan Masalah ………. 6

B. Tujuan Penelitian ……….. 6

C. Manfaat Penelitian ……… 7

BAB II LANDASAN TEORI A.Masa Remaja 1. Definisi Remaja ………... 8

2. Ciri-Ciri Remaja ………. 9

3. Tugas Perkembangan Masa Remaja ………... 13

B. Tindak Pidana 1. Kriminalitas ………... 14

2. Pengadilan Anak ……… 17

3. Lembaga Pemasyarakatan Anak/LAPAS Anak … 21 4. Tindak Kriminal Remaja ………... 24

5. Penyebab Kriminalitas ………... 28

6. Akibat Kriminalitas ………... 31

C. Konsep Diri 1. Pengertian Konsep Diri ………. 32

2. Penggolongan Konsep Diri ……… 33

3. Aspek-Aspek Konsep Diri ………. 36

4. Faktor_faktor Yang Mempengaruhi Konsep Diri . 41 5. Perkembangan Konsep Diri Remaja ……….. 45 D. Konsep Diri Pada Remaja Pelaku Tindak Kriminal …. 46

(14)

D.Subjek Penelitian ………... 52

E.Metode Pengumpulan Data ………... 53

F. Instrumen Penelitian ………. 53

G.Validitas Reliabilitas ………. 58

H.Analisis Data ………. 63

BAB IV PEMBAHASAN A. Orientasi Kancah ……….. 65

B. Pelaksanaan Penelitian ……….. 66

C. Hasil Penelitian 1. Uji Normalitas……… 67

2. Deskriptif Data Penelitian ………. 67

3. Kategorisasi Konsep Diri Remaja Pelaku Tindak Kriminal ………. 68

4. Dimensi Dan Sub Dimensi Konsep Diri …………... 70

D. Pembahasan 77 BAB V KESIMPULAN A. Kesimpulan ………... 86

B. Saran ………. 86 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

(15)

Tabel 1 : Distribusi Item Pra Uji Coba Skala Konsep Diri menurut Aspek dan Sifat favorable / unfavorable

58 Tabel 2 : Hasil rix Skala Konsep Diri 61 Tabel 3 : Hasil Analisis Uji Coba Skala Konsep Diri 61 Tabel 4 : Distribusi Item Uji Coba Skala Konsep Diri menurut

Aspek dan Sifat favorable / unfavorable

62

Tabel 5 : Deskriptif Statistik 68

Tabel 6 : Kategorisasi Skala Konsep Diri 69 Tabel 7 : Kategorisasi Konsep Diri 70 Tabel 8 : Statistik Deskriptif Dimensi Internal Konsep Diri 71 Tabel 9 : Statistik Deskriptif Sub Dimensi Diri Identitas 71 Tabel 10 : Statistik Deskriptif Sub Dimensi Diri Penilaian 72 Tabel 11 : Statistik Deskriptif Sub Dimensi Diri Pelaku 72 Tabel 12 : Statistik Deskriptif Dimensi Eksternal Konsep Diri 73 Tabel 13 : Statistik Deskriptif Sub Dimensi Diri Fisik 73 Tabel 14 : Statistik Deskriptif Sub Dimensi Diri Pribadi 74 Tabel 15 : Statistik Deskriptif Sub Dimensi Diri Sosial 74 Tabel 16 : Statistik Deskriptif Sub Dimensi Diri Keluarga 75 Tabel 17 : Statistik Deskriptif Sub Dimensi Diri Moral 75 Tabel 18 : Statistik Deskriptif Sub Dimensi Diri Akademi 76 Tabel 19 : Hasil Statistik Deskriptif Pada Setiap Dimensi 76

(16)

Lampiran C. Data Penelitian Skala Konsep Diri

Lampiran D. Hasil Analisis Uji Normalitas, Linearitas, Uji-t Lampiran E. Skala Uji Coba Penelitian

Lampiran F. Angket Penelitian Lampiran G. Surat Ijin Penelitian

(17)

A. Latar Belakang Masalah

Kerawanan sosial terutama tindak kriminal menjadi suatu persoalan yang besar untuk dihadapi oleh bangsa Indonesia. Fenomena peningkatan angka kriminalitas di Jakarta menurut Polda Metro Jaya pada tahun 2002 misalnya,

kasus perjudian naik 61,29 persen dari 248 kasus pada tahun 2001 menjadi 400 kasus pada tahun 2002. Kasus narkotika naik 44,29 persen dari 1.831 kasus pada tahun 2001 menjadi 2.642 kasus pada tahun 2002. Kasus pemerkosaan naik dari 89 kasus pada tahun 2001 menjadi 107 kasus pada tahun 2002 atau naik 20,22 persen. Jumlah tindak pidana tahun 2002 dibanding tahun 2001 mengalami kenaikan dari 33.284 kasus pada tahun 2001 menjadi 34.270 kasus pada tahun 2002 atau naik 2,96 persen. Kasus lain yang juga meresahkan masyarakat adalah kasus bentrokan massa, anarkis massa dalam aksi main hakim sendiri, kejahatan di jalan, ancaman maupun peledakan bom (Tempo, Kamis 22 April 2004).

(18)

Remaja yang melakukan tindak kriminal biasanya dikenakan sanksi berupa hukuman pidana (pemenjaraan). Moeljatno (1982) mengatakan bahwa perbuatan pidana dapat diberi arti perbuatan yang dilarang atau diancam hukuman pidana. Proses pembuatan putusan perkara pidana oleh hakim dilakukan dengan melihat apakah perbuatan terdakwa memenuhi unsur-unsur dalam suatu pasal hukum pidana atau tidak. Hakim juga akan meneliti apakah terdakwa dapat bertanggung jawab atas perbuatan pidana yang dilakukannya. Jika hakim memandang perbuatan pidana sesuai dengan unsur-unsur dalam pasal perkara pidana dan terdakwa dapat bertanggung jawab atas perbuatannya maka terdakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan pidana yang didakwakan kepadanya (Rahayu,1995).

Hukuman penjara yang sangat lama amat ditakuti oleh para penjahat sebab kehidupan dalam penjara itu memiliki kebudayaan sendiri (Kartono, 2003). Kebudayaan tersebut tercermin dari adanya norma-norma, hukum-hukum, kontrol dan sanksi sosial yang diterapkan oleh kalangan narapidana. Disana juga ada bahasa dengan logat dan kode-kode tersendiri, ada pengelompokan-pengelompokan stratifikasi yang heterogen sifatnya, juga banyak konflik-konflik sosial (konflik terbuka) dan konflik-konflik batiniah yang serius.

(19)

dengan bertambahnya waktu pemenjaraan. Keadaan ini akan membuat kecenderungan-kecenderungan austistik (menutup diri secara total) dan usaha melarikan diri dari realitas yang traumatik sifatnya; terutama pada narapidana yang baru masuk dalam penjara (3) Praktek-praktek homoseksual berkembang. Korbannya adalah narapidana-narapidana yang ”ayu” dan lemah. (4) Para narapidana mengembangkan reaksi-reaksi yang stereotype, yaitu: cepat curiga, lekas marah, cepat membenci dan mendendam; serta (5) Mendapat stempel “tidak bisa dipercaya” dan “tidak bisa diberi tanggung jawab”. Mereka akan sulit untuk mendapatkan pekerjaan setelah mereka keluar dari penjara sehingga banyak diantara mereka yang lebih suka menetap di dalam penjara. Mereka dianggap sebagai warga masyarakat yang tuna-susila, dan kurang mampu memberikan partisipasi sosial (Kartono, 2003).

Pemberian lebel negatif dari masyarakat, isolasi yang lama di penjara dan juga konflik batin yang hebat dapat membuat remaja menjadi putus asa dan merasa tidak berguna. Kegagalan dalam menjalankan peran di masyarakat dan kegagalan sebagai pribadi akan mempengaruhi penerimaan diri remaja yang nantinya akan mempengaruhi keberhasilan remaja dalam penyesuaian diri dan juga pembentukan konsep diri mereka.

(20)

merasa malu akan keadaan dirinya, menempatkan dirinya sebagaimana manusia yang lain sehingga individu lain dapat menerima dirinya, bertanggung jawab atas segala perbuatannya, menerima pujian atau celaan atas dirinya secara objektif, mempercayai prinsip-prinsip atau standar-standar hidupnya tanpa harus diperbudak oleh opini individu-individu lain, tidak mengingkari atau merasa bersalah atas dorongan-dorongan dan emosi-emosi yang ada pada dirinya (Sheerer dalam Sari, 2002).

Sebaliknya bila individu mempunyai penerimaan diri negatif, mereka cenderung untuk menyalahkan lingkungan apabila ada sesuatu yang salah, melihat dunia sebagai suatu perlawanan yang kompetitif, menyalahkan diri sendiri, memiliki hubungan sosial yang buruk, dan sangat depresi (Riechard’s dalam Sari, 2002).

Dari penjelasan diatas tampak bahwa penerimaan diri terkait erat dengan penyesuaian diri individu terhadap lingkungannya. Individu yang mempunyai penerimaan diri yang baik, mampu beradaptasi secara objektif. Sebaliknya individu yang tidak dapat menerima keadaan dirinya akan sukar untuk melihat secara objektif lingkungan sekitarnya, mereka biasanya menarik diri dari interaksi sosial serta mempunyai perasaan tidak berharga lagi karena tidak mampu memberikan sumbangan apapun dibandingkan mereka yang berhasil.

(21)

lingkungan sekitar akan mempengaruhi konsep diri individu. Rogers (dalam Byron dan Bryrne,1994) mengatakan bahwa konsep diri merupakan salah satu aspek kepribadian yang paling penting. Konsep diri adalah kerangka kognitif yang mengorganisir bagaimana kita mengetahui diri kita dan bagaimana kita memproses informasi-informasi yang relevan dengan diri. Konsep diri, termasuk harga diri merupakan aspek yang sangat penting dalam berfungsinya manusia, sebagian karena manusia memang sangat memperhatikan berbagai hal tentang diri, termasuk siapa dirinya, seberapa positif atau negatif seorang individu memandang dirinya, bagaimana citra yang ditampilkan pada orang lain, dan lain-lain.

Konsep diri dibentuk melalui proses belajar sejak masa pertumbuhan seorang manusia dari kecil hingga dewasa. Konsep diri berasal dan berkembang sejalan pertumbuhannya, terutama akibat dari hubungan individu dengan individu lainnya. Hubungan antara individu dengan lingkungan, pengalaman, dan pola asuh memberikan pengaruh yang signifikan terhadap konsep diri. Oleh sebab itu umpan balik dari lingkungan akan menjadi bahan informasi bagi remja untuk menilai dirinya.

(22)

Rangkaian uraian tersebut diatas mendorong penulis untuk meneliti tentang konsep diri remaja yang sedang menjalani masa hukuman di penjara karena melakukan tindak kriminal. Pemilihan penjara sebagai tempat penelitian dikarenakan secara kondisional remaja dihadapkan pada satu kegagalan peran di masyarakat dan berada pada tempat yang terisolasi, akses terhadap hiburan, materi belajar, serta orang-orang yang dipandang berpengaruh amat terbatas. Dengan mengetahui konsep diri mereka, maka akan lebih mudah untuk melakukan pembinaan dan memungkinkan untuk perencanaan terapi sehingga fungsi Lembaga Pemasyarakatan sebagai wadah pendidikan dan pembinaan untuk pengembalian narapidana pada masyarakat dapat terwujud.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana konsep diri remaja pelaku tindak kriminal di Lembaga Pemasyarakatan Anak Kutoarjo?

C. Tujuan Penelitian

(23)

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk pengembangan ilmu psikologi khususnya psikologi perkembangan yang terkait dengan bahasan mengenai konsep diri pada remaja yang berada dalam masa hukuman penjara.

2. Manfaat Praktis

(24)

A. Masa Remaja 1. Definisi Remaja

Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak kemasa dewasa. Namun masa remaja sering disebut sebagai masa adolescence. Santrock (2003) mengatakan bahwa remaja (adolescence) diartikan sebagai masa perkembangan trasnsisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis kognitif, dan sosial emosional. Hurlock (1980) mengatakan bahwa istilah adolescence, seperti yang dipergunakan saat ini, mempunyai arti yang sangat luas, mencakup kematangan mental emosional, sosial, dan fisik.

WHO pada tahun 1974 (Sarlito, 1989) mendefinisikan tentang remaja, yaitu remaja adalah suatu masa dimana :

a. Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksualnya. Seksual sekunder merupakan tanda-tanda kelamin sekunder, yaitu tanda jasmaniah yang tidak langsung berhubungan dengan persetubuhan dan proses reproduksi (Monks, 1989).

b. Individu mengalami perkembangan psikologik dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa.

(25)

Monks (1989) mengatakan bahwa Fase-fase masa remaja secara global berlangsung antara umur 12 sampai 21 tahun, dengan pembagian 12-15 tahun : masa remaja awal, 15-18 tahun : masa remaja pertengahan, 18-21 tahun : masa remaja akhir. Santrock (2003) mengatakan bahwa walaupun situasi budaya dan sejarah membatasi kemampuan kita untuk menentukan rentang usia remaja, di Amerika dan kebanyakan budaya lain sekarang ini, masa remaja dimulai kira-kira usia 10 sampai 13 tahun dan berakhir antara usia 18 dan 22 tahun.

Hamzah (dalam Dewi, 2002) menjelaskan bahwa dalam Undang-undang Hukum Pidana, arti dan kriteria seseorang dikatakan remaja sebagai berikut, remaja atau anak-anak adalah mereka yang belum berumur 21 tahun dan belum kawin. Bila seorang anak belum mencapai usia 21 tahun tetapi sudah menikah dan cerai, maka dia tidak dapat dikatakan sebagai remaja lagi. Ini berarti bahwa kriteria seorang yang dianggap remaja adalah seseorang yang belum mencapai usia 21 tahun dan belum menikah.

Berdasarkan beberapa definisi tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa masa remaja merupakan masa trasisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa dimana individu mengalami kematangan secara jasmani terutama seks sekunder, mental, emosional dan sosialnya.

2. Ciri-ciri Remaja

(26)

a. Masa remaja sebagai periode yang penting.

Pada masa remaja, ada periode yang penting karena akibat fisik dan psikologis. Perkembangan fisik yang cepat dan penting disertai dengan cepatnya perkembangan mental, menimbulkan perlunya penyesuaian mental dan perlunya membentuk sikap, nilai dan minat baru.

b. Masa remaja sebagai periode peralihan.

Masa remaja merupakan suatu periode peralihan di mana remaja bukan lagi seorang anak dan juga bukan orang dewasa. Hal tersebut menyebabkan status individu menjadi tidak jelas dan terdapat keraguan akan peran yang harus dilakukan. Namun di lain pihak, status remaja yang tidak jelas ini juga menguntungkan karena status memberi waktu kepadanya untuk mencoba gaya hidup yang berbeda dan menentukan pola perilaku, nilai dan sifat yang paling sesuai bagi dirinya.

c. Masa remaja sebagai periode perubahan.

Pada masa remaja, ada empat perubahan yang bersifat universal di mana tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku sejajar dengan tingkat perubahan fisik. Empat perubahan tersebut yakni :

1) Meningginya emosi, yang intensitasnya bergantung pada tingkat perubahan fisik dan psikologis yang terjadi.

2) Perubahan tubuh, minat dan peran yang diharapkan oleh kelompok sosial untuk diperankan, menimbulkan masalah baru.

(27)

4) Sebagian besar remaja bersikap ambivalen terhadap setiap perubahan, di mana mereka menuntut kebebasan tetapi takut untuk bertanggung jawab akan akibat yang ditimbulkannya.

d. Masa remaja sebagai usia bermasalah.

Masalah pada masa remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi, karena mereka merasa mandiri sehingga ingin mengatasi masalahnya sendiri dan menolak bantuan orang lain. Namun karena ketidakmampuan mereka untuk mengatasi sendiri masalahnya menurut cara yang mereka yakini, banyak remaja akhirnya menemukan bahwa penyelesaiannya tidak selalu sesuai dengan harapan mereka.

e. Masa remaja sebagai masa mencari identitas.

Pada awal masa remaja, penyesuaian diri dengan kelompok masih tetap penting. Namun lambat laun mereka mulai mendambakan identitas diri dan tidak puas lagi jika sama dengan teman-teman dalam segala hal, seperti sebelumnya. Salah satu cara untuk mencoba mengangkat diri sendiri sebagai individu adalah dengan menggunakan simbol status. Dengan cara ini, remaja menarik perhatian pada diri sendiri dan agar dipandang sebagai individu, sementara pada saat yang sama ia mempertahankan identitas dirinya terhadap kelompok sebaya.

f. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan.

(28)

membimbing dan mengawasi kehidupan remaja mudah takut bertanggung jawab dan bersikap tidak simpatik terhadap perilaku remaja yang normal. g. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik.

Remaja cenderung melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana yang ia inginkan dan bukan sebagaimana adanya, terlebih dalam hal cita-cita. Cita-cita yang tidak realistik ini, tidak hanya bagi dirinya sendiri tetapi juga bagi keluarga dan teman-temannya, menyebabkan meningginya emosi.

h. Masa remaja sebagai ambang dewasa.

Dengan semakin mendekatnya usia kematangan yang sah, para remaja menjadi gelisah untuk meninggalkan stereotip belasan tahun dan untuk memberikan kesan bahwa mereka sudah hampir dewasa. Oleh karena itu, remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa karena dianggap dapat memberikan citra yang mereka inginkan.

(29)

3. Tugas Perkembangan Masa Remaja

Nuryoto (1992) menyebutkan bahwa kematangan fisik dan sosial yang telah dicapai pada masa remaja akhir, juga akan diikuti oleh kematangan psikis yang ditandai dengan sikap :

a. Tidak lagi bersikap kekanak-kanakan b. Mampu bersikap objektif, tidak subjektif c. Mampu bersikap rasional, tidak egois

d. Dapat menerima kritikan yang kemudian diolah untuk dapat bertindak lebih lanjut

e. Bersikap konsekuen terhadap tindakan yang dilakukan f. Tidak melarikan diri dari tantangan yang dihadapi

Havighurt (dalam Nuryoto, 1992) mengatakan bahwa pada masa remaja ada tugas-tugas yang harus diselesaikan agar tidak mengganggu tugas perkembangan selanjutnya, tugas perkembangan remaja tersebut adalah :

a. Menerima kondisi fisiknya dan dapat menunjukkan peran jenisnya

b. Membentuk hubungan baru dengan teman sebaya baik laki-laki maupun perempuan

c. Mencapai kemandirian dalam bidang emosi, tidak tergantung lagi pada orang tuanya maupu orang dewasa lainnya

d. Mencapai kemandirian baik dalam bidang ekonomi e. Mempersiapkan diri untuk memilih suatu pekerjaan

(30)

g. Mampu bertingkah laku yang dapat dipertanggung jawabkan pada masyarakat

h. Mempersiapkan diri membentuk keluarga

i. Membangun nilai-nilai hidup yang harmonis sesuai dengan ilmu pengetahuan dan pendapat umum

Dari uraian diatas, maka apabila perkembangan pada masa remaja itu berjalan sesuai dengan normal tanpa adanya penyimpangan-penyimpangan maka seseorang telah memiliki kematangan dalam fisik, psikis, dan sosialnya. Sebaliknya, apabila perkembangan pada masa remaja tidak berjalan dengan baik maka remaja akan mengalami suatu krisis identitas yang selanjutnya akan berakibat pada terjadinya penyimpangan-penyimpangan perilaku remaja.

Dengan adanya perkembangan dan perubahan yang terjadi, maka tugas utama yang diperlukan untuk menghadapi hal tersebut adalah dengan mengembangkan konsep diri yang merupakan gabungan keyakinan yang dimiliki orang langsung dari diri mereka sendiri, baik yang menyangkut segi positif maupun negatif dalam manentukan perilaku selanjutnya.

B. Tindak Pidana 1. Kriminalitas

(31)

kejahatan yang berbeda satu dengan yang lain sehingga tidaklah mudah untuk memahami kejahatan itu sendiri.

Crime atau kejahatan adalah tingkah laku yang melanggar hukum dan melanggar norma-norma sosial, sehingga masyarakat menentangnya. Di dalam perumusan pasal-pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) jelas tercantum : Kejahatan adalah semua bentuk perbuatan yang memenuhi perumusan ketentuan-ketentuan KUHP. Misalnya pembunuhan adalah perbuatan yang memenuhi perumusan pasal 338 KUHP, mencuri memenuhi bunyi pasal 362 KUHP, sedang kejahatan penganiayaan memenuhi pasal 351 KUHP (Kartono, 2003).

Sosiologi hukum menjelaskan kejahatan adalah perbuatan yang oleh hukum dilarang dan diancam dengan suatu sanksi, jadi yang menentukan bahwa suatu perbuatan itu kejahatan adalah hukum. Sutherland (dalam Santoso, 2002) menekankan bahwa ciri pokok dari kejahatan adalah perilaku yang dilarang oleh negara karena merupakan perbuatan yang merugikan negara dan terhadap perbuatan itu negara bereaksi dengan hukuman sebagai upaya pamungkas. Sedangkan pengertian secara yuridis membatasi kejahatan sebagai perbuatan yang telah ditetapkan oleh negara sebagai kejahatan dalam hukuman pidananya dan diancam dengan suatu sanksi. Sementara penjahat merupakan pelaku pelanggar hukum pidana tersebut dan telah diputuskan oleh pengadialan atas perbuatannya tersebut (Santoso, 2002).

(32)

bisa sebagai titipan kepolisisan, jaksa atau hakim. Dalam artian ini bisa dikatakan bahwa narapidana adalah orang yang telah terbukti melakukan tindak pidana. Berdasarkan status hukumnya, narapidana adalah orang yang dimasukkan ke dalam Lembaga Pemasyarakatan karena telah dijatuhi pidana dengan perampasan kemerdekaan (Kamus Peristilahan Hukum Dalam Praktek, 1985)

Hukum pidana sendiri sesungguhnya merupakan bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut; menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana telah dicantumkan; dan menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut (Moeljatno, dalam Atmasasmita, 1992).

(33)

Dari pengertian-pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa kejahatan adalah suatu perbuatan yang melanggar hukum dan norma sosial sehingga akan mendapatkan sanksi sesuai perbuatannya dan kejahatan sifatnya merugikan masyarakat.

2. Pengadilan Anak

(34)

Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh anak, disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain adanya dampak negatif dari pembangunan yang begitu cepat, arus globalisasi dibidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan gaya dan gaya hidup sebagian orang tua, telah membawa peubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak. Selain itu, anak yang kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan, bimbingan dan pembinaan dalam pengembangan sikap, perilaku, penyesuaian diri, serta pengawasan dari orang tua, wali, atu orang tua asuh akan mudah terseret dalam arus pergaulan masyarakat dan lingkungannya yang kurang sehat dan merugikan perkembangan pribadinya. Dalam menghadapi dan menanggulangi berbagai perbuatan dan tingkah laku Anak Nakal, perlu dipertimbangkan kedudukan anak dengan segala ciri dan sifatnya yang khas, walaupun anak telah dapat menentukan sendiri langkah perbuatannya berdasarkan pikiran, perasaan, dan kehendaknya, tetapi keadaan sekitar dapat mempengaruhi perilakunya. Oleh karena itu, dalam menghadapi masalah Anak Nakal, orang tua dan masyarakat sekelilingnya seharusnya lebih bertanggung jawab terhadap pembinaan, pendidikan, dan pengembangan perilaku anak tersebut.

(35)

tuanya. Apabila karena hubungan anatara orang tua dan anak kurang baik, atau karena sifat perbuatannya sangat merugikan masyarakat sehingga perlu memisahkan anak dari orang tuanya, hendaklah tetap dipertimbangkan bahwa pemisahan tersebut semata-mata demi pertumbuhan dan perkembangan anak secara sehat dan wajar.

Disamping pertimbangan tersebut diatas, demi pertumbuhan dan perkembangan mental anak, perlu ditentukan pembedaan perlakuan di dalam hukum acara dan ancaman hukuman pidanannya. Dalam hubungan ini pengaturan pengecualian dari ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara pidana yang lama pelaksanaan penahanannya ditentukan sesuai oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang penjatuhan pidanya ditentukan ½ (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana yang dilakukan oleh orang dewasa, sedangkan penjatuhan pidana mati dan pidana penjara seumur hidup tidak diberlakukan terhadap anak.

Pembedaan perlakuan dana ancaman yang diatur dalam Undang-Undang ini dimaksudkan untuk lebih melindungi dan mengayomi anak tersebut agar dapat menyosong masa depannya yang masih panjang. Selain itu, pembedaan tersebut dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada anak agar melalui pembinaan akan memperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab, dan berguna bagi diri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.

(36)

seperti dikembalikan kepada orang tuanya, ditempatkan pada organisasi sosial, atau diserahkan kepada Negara, sedangkan terhadap anak yang telah mencapai umur diatas 12 (dua belas) sampai 18 (delapan belas) tahun dijatuhkan pidana. Pembedaan perlakuan tersebut didasarkan atas pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial anak.

Mengingat ciri dan sifat yang khas pada anak dan demi perlindungan terhadap anak, maka perkara Anak Nakal, wajib disidangkan pada Pengadilan Anak yang berada di lingkungan Peradilan Umum. Dengan demikian, proses peradilan perkara Anak Nakal dari sejak ditangkap, ditahan, diadili, dan pembinaan selanjutnya, wajib dilakukan oleh pejabat khusus yang benar-benar memahami masalah anak.

Dalam penyelesaian perkara Anak Nakal, Hakim wajib mempertimbangkan laporan hasil penelitian kemasyarakatan yang dihimpun oleh Pembimbing Kemasyarakatan mengenai data pribadi maupun keluarga dari anak tersebut, diharapkan Hakim dapat memperoleh gambaran yang tepat untuk memberikan putusan yang seadil-adilnya bagi anak yang bersangkutan.

Putusan hakim akan mempengaruhi kehidupan selanjutnya dari anak yang bersangkutan, oleh sebab itu hakim harus yakin benar, bahwa putusan yang diambil akan dapat menjadi salah satu dasar yang kuat untuk mengembalikan masa depan yang baik untuk mengembangkan dirinya sebagai warga yang bertanggung jawab bagi kehidupan keluarga, bangsa dan negara.

(37)

Lembaga Pemasyarakatan Anak, berbagai pertimbangan tersebut di atas serta dalam rangka mewujudkan peradilan yang memperhatikan perlindungan dan kepentingan anak, maka perlu diatur ketentuan-ketentuan mengenai penyelenggaraan pengadilan yang khusus bagi anak dalam lingkungan Peradilan Umum.

Dengan demikian, Pengadilan Anak diharapkan memberikan arah yang tepat dalam pembinaan dan perlindungan terhadap anak (Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak).

3. Lembaga Pemasyarakatan Anak / Lapas Anak

Mulyadi (2005) menjelaskan bahwa Lembaga Pemasyarakatan Anak / Lapas Anak adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan. Warga binaan Pemasyarakatan adalah Narapidana, Klien Pemasyarakatan, dan Anak Didik Pemasyarakatan.

Narapidana adalah seorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Klien Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut klien adalah seseorang yang berada dalam bimbingan BAPAS (Balai Pemasyarakatan). Anak didik Pemasyarakatan adalah:

a. Anak Pidana yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di Lapas Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun; b. Anak Negara yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan

(38)

c. Anak Sipil yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di Lapas Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.

Lembaga Pemasyarakatan Anak berfungsi untuk tempat pendidikan dan pembinaan bagi Anak Didik Pemasyarakatan yakni Anak Pidana, Anak Negara dan Anak Sipil. Lapas Anak mempunyai ciri, kekhasan dan motivasi tertentu seperti Lapas Wanita, Lapas Remaja, Lapas Narkotika yang rencananya sebentar lagi akan dibangun. Pada dasarnya, pembinaan Anak Didik Pemasyarakatan ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak yang harus terpisah dari orang dewasa.

Sebagai tempat yang berfungsi untuk pendidikan dan pembinaan bagi Anak Didik Pemasyaraktan maka Lapas Anak dibatasi jangka waktu pendidikan dan pembinaannya. Ketentutan Pasal 61, 62 UU 3/1997 menyebutkan bahwa seorang anak tidak berada di Lapas Anak bila :

a. Telah selesai menjalankan pidananya ;

b. Belum selesai menjalankan pidananya akan tetapi telah berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum mencapai 21 (dua puluh satu) tahun dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan yang penempatan secara terpisah dari orang yang telah mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun ;

(39)

pengawasan Jaksa dan Pembimbing Kemasyaraktan yang dilaksanakan oleh Balai Pemasyarakatan dan pengamatan serta Tim Pengamat Pemasyarakatan.

Sedangkan terhadap Anak didik Pemasyarakatan lainnya (Anak Negara) apabila telah menjalani masa pendidikannya dalam Lapas Anak paling sedikit 1 (satu) tahun dan berkelakuan baik sehingga tidak memerlukan pembinaan, kepala Lembaga Pemasyarakatan dapat mengajukan permohonan izin kepada Mentri Kehakiman agar anak tersebut dapat dikeluarkan dari Lapas Anak tanpa syarat umum dan khusus.

Kehidupan dalam penjara itu mempunyai kebudayaan sendiri. Di kalangan para narapidana terdapat norma-norma, hukum-hukum , kontrol, dan sanksi-sanksi sosial sendiri sehingga ada pengelompokan-pengelompokan dan stratifikasi yang heterogen sifatnya sehingga memungkinkan banyaknya konflik-konflik sosial (konflik terbuka) dan konflik-konflik batiniah yang serius (Kartono, 2003).

Di Lapas Anak, narapidana hanya dapat bebas selama kurang lebih 5 jam sehari ketika diadakan olah raga pagi, apel, mengambil air untuk keperluan kamar mandi, atau ketika waktu bimbingan belajar, selebihnya mereka berada dalam tahanan yang berukuran 5 x 10 meter dengan 22 tahanan lainnya. Pendidikan yang diberikan dalam Lapas juga jauh dari standar pendidikan pada umumnya, terlebih lebel yang diberikan masyarakat membuat ijasah Lapas menjadi hal yang tidak berguna.

(40)

a. Dari penjahat kecil-kecilan, mereka bisa menjadi penjahat yang lebih ’lihai’ dengan keterampilan tinggi dan perilaku yang lebih kejam karena mendapatkan pelajaran tambahan dari sesama narapidana.

b. Sering timbul konflik-konflik batin yang serius, terutama pada narapidana yang baru pertama kali masuk penjara. Terjadi semacam trauma / luka psikis; atau berlangsung kejutan jiwani, sehingga mengakibatkan disintegrasi kepribadian bahkan dapat menimbulkan gangguan kejiwaan (gila).

c. Penjahat-penjahat individual dan situasional banyak sekali mengalami patah mental yang disebabkan oleh isolasi dalam penjara. Mereka merasa di kucilkan dan dikutuk oleh masyarakat penjara dan masyarakat dari luar pada umumnya.

Dari uraian diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kehidupan penjara mempunyai peraturan dan kebudayaan sendiri dimana kenyamanan dan kemerdekaan menjadi masalah yang kompleks di kalangan para narapidana. Hukuman pemenjaraan yang lama sangat ditakuti oleh para penjahat sebab sukar sekali untuk merehabilitasi mental mereka karena pada umumnya mereka mempunyai rasa rendah diri yang hebat (Kartono, 2003). Selain itu, kontak yang minim dengan dunia luar karena lamanya isolasi mengakibatkan kemungkinan mendapatkan kepercayaan dari masyarakat juga sedikit.

4. Tindak Kriminal Remaja

(41)

sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka itu mengembangkan bentuk tingkah laku yang menyimpang. Delinquency selalu mempunyai konotasi serangan, pelanggaran, kejahatan dan keganasan yang dilakukan oleh anak-anak muda di bawah usia 22 tahun.

Pada umumnya jumlah anak laki-laki yang melakukan kejahatan dalam kelompok gang-gang diperkirakan 50 kali lipat daripada gang anak perempuan; sebab anak perempuan pada umumnya lebih banyak melakukan tindak pelacuran, promiskuitas (bergaul bebas dan seks bebas dengan banyak pria) dan menderita gangguan mental, serta perbuatan minggat dari rumah atau keluarganya.

Gejala kejahatan dalam diri remaja merupakan akibat dari proses pengembangan pribadi anak yang mengandung unsur dan usaha: (1) kedewasaan seksual; (2) pencarian suatu identitas kedewasaan (Erikson dalam Kartono, 2002); (3) adanya ambisi materiil yang tidak terkendali; serta (4) kurang atau tidak adanya disiplin diri.

Wujud perilaku delinquency yang biasa dilakukan oleh remaja adalah : a. Kebut-kebutan di jalanan yang mengganggu keamanan lalu lintas, dan

membahayakan jiwa sendiri dan orang lain.

(42)

c. Perkelahian antar gang, antar kelompok, antar sekolah, antar suku, sehingga kadang-kadang membawa korban jiwa.

d. Membolos sekolah lalu bergelandangan sepanjang jalan, atau bersembunyi di tempat-tempat terpencil sambil melakukan eksperimen bermacam-macam kedurjanaan dan tindak a-susila.

e. Kriminalitas anak, remaja, dan adolesens antara lain berupa perbuatan mengancam, intimidasi, memeras, menjambret, menyerang, merampok, menggarong, melakukan pembunuhan dengan cara menyembelih korbannya, mencekik, meracun, tindak kekerasan, dan pelanggaran lainnya.

f. Berpesta pora sambil mabuk-mabukan, melakukan hubungan seks bebas, atau orgi (mabuk-mabukan dan menimbulkan keadaan yang kacau balau) yang mengganggu lingkungan.

g. Pemerkosaan, agresivitas seksual dan pembunuhan dengan motif seksual, atau didorong oleh reaksi-reaksi kompensatoris dari perasaan inferior, menuntut pengakuan diri, depresi hebat, rasa kesunyian, emosi balas dendam, kekecewaan ditolak cintanya oleh seorang wanita dan lain-lain.

h. Kecanduan dan ketagihan bahan narkotika

i. Tindak-tindak imoril seksual secara terang-terangan, tanpa tedeng aling-aling, tanpa rasa malu dengan cara yang kasar.

j. Homoseksualitas, erotisme anal dan oral, dan gangguan seksual lain pada anak remaja disertai tindakan sadistis.

(43)

l. Komersialisasi seks, pengguguran janin oleh gadis-gadis delikuen, dan pembunuhan bayi oleh ibu-ibu yang tidak dinikahi pasangannya.

m. Tindakan radikal dan ekstrim dengan cara kekerasan, penculikan dan pembunuhan yang dilakukan anak-anak remaja.

n. Perbuatan a-sosial dan anti-sosial lain disebabkan oleh gangguan kejiwaan pada anak-anak dan remaja psikopatik, psikotik, neurotik, dan menderita gangguan-gangguan jiwa lainnya.

o. Tindak kejahatan yang disebabkan oleh penyakit tidur (encephalitis lethargical), dan ledakan meningitis serta post-encephalitics; juga luka di kepala dengan kerusakan mental, sehingga orang yang bersangkutan tidak mampu melakukan kontrol diri.

p. Penyimpangan tingkah laku disebabkan oleh kerusakan pada karakter anak yang menuntut kompensasi, hal ini disebabkan adanya organ-organ yang inferior ( Adler dalam Kartono, 2002).

(44)

5. Penyebab Kriminalitas

Meningkatnya angka kriminalitas dikalangan remaja memiliki akar persoalan yang kompleks, tidak semata-mata lemahnya aparat kepolisian, tetapi beberapa faktor seperti tekanan ekonomi, pergaulan dengan teman sebaya, keluarga yang memiliki patologis sosial, dan perubahan dalam diri remaja itu sendiri juga memberi andil yang cukup besar di dalamnya.

Kartono (2002) menjelaskan ada empat penyebab kejahatan remaja yang merupakan penyimpangan dan patologis secara sosial, yaitu :

a. Teori biologis

Teori ini berpendapat bahwa tingkah laku sosiopatik atau delinkuen pada anak-anak dan remaja dapat muncul karena faktor-faktor fisologis dan struktur jasmaniah seseorang, juga dapat disebabkan oleh cacat jasmaniah yang dibawa sejak lahir. Teori ini hampir sama dengan Body types theories

dimana bentuk-bentuk fisik seperti bentuk wajah, ukuran tubuh, tinggi badan berkorelasi dengan delinquency. Bukti lain dari teori ini adalah berkembangnya disfungsi otak dan cacat neurologis secara umum ditemukan pada mereka yang menggunakan kekerasan secara berlebihan dibanding pada orang pada umumnya. Banyak pelaku kejahatan kekerasan kelihatannya memiliki cacat di dalam otaknya yang berhubungan dengan terganggunya self-control. Delinquent cenderung memiliki problem

(45)

b. Teori psikogenis (psikologis dan psikiatris)

Teori psikogenis menekankan sebab-sebab tingkah laku delinkuen anak-anak dari aspek psikologis atau isi kejiwaannya. Argumen sentral dari teori ini ialah sebagai berikut : delinkuen merupakan “ bentuk penyelesaian” atau kompensasi dari masalah psikologis dan konflik batin dalam menanggapi stimuli eksternal sosial dan pola-pola hidup keluarga patologis. Anak-anak delinkuen itu melakukan banyak kejahatan didorong oleh konflik batin sendiri. Jadi mereka mempraktekan konflik batinnya untuk mengurangi beban tekanan jiwa sendiri lewat tingkah laku agresif, impulsif dan primitif. Karena itu kejahatan mereka pada umumnya erat berkaitan dengan temperamen, konstitusi kejiwaan yang galau semrawut, konflik batin dan frustasi yang akhirnya ditampilkan secara spontan keluar.

c. Teori sosiogenis

(46)

d. Teori subkultur

Menurut teori subkultur ini, sumber juvenile delinquency ialah : sifat-sifat suatu struktur sosial dengan pola budaya (subkultur) yang khas dari lingkungan familial, tetangga dan masyarakat yang didiami oleh para remaja delinkuen tersebut. Sifat-sifat masyarakat tersebut antara lain ialah: 1) Punya populasi yang padat,

2) Status sosial-ekonomis penghuninya rendah, 3) Kondisi fisik perkampungan yang sangat buruk,

4) Banyak disorganisasi hubungan keluarga dan sosial yang sangat buruk Fakta juga menunjukkan, bertambahnya jumlah delinkuensi terjadi pada masyarakat dengan kebuadayaan konflik tinggi, dan terdapat di negara-negara yang mengalami banyak perubahan sosial yang serba cepat. Daerah yang mengalami proses perubahan cepat itu antara lain ialah : daerah pelabuhan, basis militer, kawasan industri, pusat perdagangan, ibu kota, pangkalan udara dan laut, dan sebaginya. Karena itu negara-negara yang sangat maju secara ekonomis dan teknologi juga mempunyai tingkat delinkuensi remaja paling tinggi di dunia.

(47)

tuntutan-tuntutandari dalam maupun dari luar dirinya ini sangat dipengaruhi oleh kematangan pribadi individu.

6. Akibat Kejahatan

Kartono (2003) mengatakan bahwa kejahatan merupakan tantangan berat bagi para anggota masyarakat. Sebabnya ialah :

a. Kejahatan yang bertubi-tubi itu memberikan efek yang mendemoralisir / merusak terhadap orde sosial.

b. Menimbulkan rasa tidak aman, kecemasan, ketakutan dan kepanikan ditengah masyarakat.

c. Banyaknya materi dan energi terbuang dengan sia-sia oleh gangguan kriminalitas.

d. Menambah beban ekonomis yang semakin besar kepada sebagian warga masyarakatnya.

Namun, disamping pengaruhnya yang merusak itu, ada juga fungsi sosial dari kejahatan, yang memberikan beberapa efek positif, yaitu memperjelas “tujuan-tujuan sosial’ yang bermanfaat, dan diungkapkan dalam bentuk aktivitas sebagai berikut :

a. Menumbuhkan rasa solidaritas dalam kelompok-kelompok yang tengah diteror oleh penjahat.

(48)

c. Orang berusaha memperbesar kekuatan hukum, dan menambah kekuatan fisik lainnya untuk memberantas kejahatan.

Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa kejahatan merupakan perilaku anti sosial; namun juga merupakan gejala sosial yang universal yang biasanya mengakibatkan dampak hilangnya materi serta dampak psikologis bagi para korbannya.

C. Konsep Diri

1. Pengertian Konsep Diri

Rogers (dalam Byron dan Bryrne,1994) mengatakan bahwa konsep diri merupakan salah satu aspek kepribadian yang paling penting. Konsep diri adalah kerangka kognitif yang mengorganisir bagaimana kita mengetahui diri kita dan bagaimana kita memproses informasi-informasi yang relevan dengan diri. Konsep diri, termasuk harga diri merupakan aspek yang sangat penting dalam berfungsinya manusia, sebagian karena manusia memang sangat memperhatikan berbagai hal tentang diri, termasuk siapa dirinya, seberapa positif atau negatif seorang individu memandang dirinya, bagaimana citra yang ditampilkan pada orang lain, dan lain-lain.

(49)

sebaliknya, jika ia selalu berpikiran negatif tentang dirinya sendiri berarti konsep dirinya negatif.

Hardy (dalam Soenarji,1988) mengatakan bahwa konsep diri merupakan pengetahuan mengembangkan sikap terhadap dirinya sendiri dan perilakunya. Konsep diri ini menurut Hardy terbagi menjadi dua yaitu :

a. Citra diri (self image) dimana bagian ini merupakan deskripsi sederhana misalnya : saya seorang pelajar, saya seorang pemain bulu tangkis, dan sebagainya.

b. Harga diri (self esteem) bagian ini meliputi suatu penilaian, suatu perkiraan mengenai pantas diri misalnya : saya pandai, saya cantik, dan sebagainya. Berdasarkan pendapat diatas dapat diketahui bahwa konsep diri merupakan pandangan seseorang mengenai gambaran dan penilaian terhadap dirinya sendiri yang meliputi seluruh keyakinan, perasaan, dan kecenderungan seseorang dalam bersikap atau berperilaku serta mengingat segala hal yang telah ia peroleh dari pengalamannya membangun relasi dengan lingkungannya.

2. Penggolongan Konsep Diri

Konsep diri digolongkan ke dalam dua bagian, yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif. Setiap konsep diri memiliki ciri yang khas dan memiliki sifat yang berkebalikan.

a. Konsep diri positif

(50)

salah satu aspek dalam konsep diri yaitu penilaian terhadap diri sendiri, maka orang-orang dengan konsep diri yang positif akan membentuk konsep diri yang positif juga. Seorang yang mempunyai konsep diri yang positif akan menyukai dirinya, meyukai pekerjaan dan segala sesuatu yang ada dalam hidupnya dinilai menyenangkan, orang-orang seperti ini bisa menerima diri mereka sendiri dan dapat menerima orang lain. Orang-orang dengan konsep diri yang positif akan dapat memahami dan menerima sejumlah fakta yang bermacam-macam tentang dirinya.

Rakhmat (1999) mengatakan bahwa orang yang memiliki konsep diri positif ditandai dengan lima hal, yaitu:

1) Ia yakin akan kemampuannya mengatasi masalah; 2) Ia merasa setara dengan orang lain;

3) Ia menerima pujian tanpa rasa malu;

4) Ia menyadari, bahwa setiap orang mempunyai berbagai perasaan, keinginan dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui masyarakat; 5) Ia mampu memperbaiki dirinya karena ia sanggup mengungkapkan

aspek-aspek kepribadian yang tidak disenanginya dan berusaha mengubahnya.

b. Konsep diri negatif

(51)

sebagai usaha untuk menjatuhkan harga dirinya. Dalam konteks komunikasi, orang yang memiliki konsep diri negatif cenderung menghindari dialog yang terbuka, dan bersikeras mempertahankan pendapatnya dengan justifikasi atau dengan logika yang keliru.

Kedua, orang yang memiliki konsep diri negatif, responsif sekali terhadap pujian. Walaupun ia mungkin berpura-pura menhindari pujian, ia tidak dapat menyembunyikan antusiasmenya pada waktu menerima pujian. Buat orang-orang seperti ini, segala embel-embel yang menunjang harga dirinya mejadi pusat perhatiaannya. Bersamaan dengan kesenangannya terhadap pujian, merekapun besikap hiperkritis terhadap orang lain. Ia selalu mengeluh, mencela, atau meremehkan apapun dan siapapun. Mereka tidak pandai dan tidak sanggup mengungkapakan penghargaan pada kelebihan orang lain. Inilah sifat yang ketiga, sikap hiperkritis.

Keempat, orang yang konsep dirinya negaitf, cenderung merasa tidak disenangi orang lain. Ia merasa tidak diperhatikan. Karena itualah ia bereaksi pada orang lain sebagai musuh, sehingga tidak dapat melahirkan kehangatan dan keakraban persahabatan. Ia tidak akan pernah mempersalahkan dirinya, tetapi akan mengganggap dirinya sebagai korban dari sisten sosial yang tidak beres.

(52)

Dari uraian diatas dapat di simpulkan bahwa konsep diri adalah kerangka kognitif yang mengorganisir bagaimana kita mengetahui diri kita dan bagaimana kita memproses informasi-informasi yang relevan dengan diri. Konsep diri, termasuk harga diri, merupakan salah satu aspek kepribadian yang paling penting dalam berfungsinya manusia karena manusia memang sangat meperhatikan berbagai hal tentang diri, temasuk seberapa positif dan negatif seorang individu memandang dirinya, bagaimana citra yang ditampilkan pada orang lain, dan lain-lain.

3. Aspek-Aspek Konsep Diri

Acocella dan Calhoun (dalam Sari, 2005) mengatakan bahwa konsep diri disebut juga dengan potret diri mental, pandangan seseorang tentang dirinya sendiri. Konsep diri tersebut memiliki beberapa aspek, yaitu aspek pengetahuan tentang diri sendiri, aspek pengharapan tentang diri sendiri, dan aspek tentang diri sendiri.

a. Aspek pengetahuan

(53)

bersifat objektif, misalnya : usia, jenis kelamin, kebangsaan, suku, pekerjaan.

b. Aspek pengharapan

Rogers (dalam Calhoun dan Acocella, 1990) menyatakan bahwa pada saat seseorang mempunyai satu set pandangan tentang siapa dirinya, maka orang tersebut juga mempunyai pandangan lain tentang kemungkinan orang tersebut menjadi apa di masa datang. Pandangan ini akan mengakibatkan orang tersebut mempunyai pengharapan bagi dirinya sendiri.

c. Aspek evaluasi

Konsep diri adalah penilaian individu terhadap dirinya sendiri (self acceptance), serta penilaian terhadap harga dirinya sendiri (self esteem). Setiap hari individu selalu memberikan penilaian terhadap dirinya sendiri, apakah saya dapat melakukan seperti saya mengharapkan dan apakah saya bisa memenuhi yang menjadi standar saya.

(54)

dirinya. Diri pelaku merupakan persepsi seseorang terhadap tingkah lakunya atau cara bertindak. Dimensi eksternal terdiri dari sub-dimensi, diri fisik, diri etik-moral, diri personal, diri keluarga, diri sosial, diri akademi/kerja. Diri fisik merupakan persepsi seseorang terhadap keadaan fisik. Kesehatan, penampilan diri dan gerakan motoriknya. Diri etik-moral merupakan persepsi individu tentang dirinya ditinjau dari standar pertimbangan nilai-nilai moral dan etika. Diri personal merupakan perasaan individu terhadap nilai-nilai pribadi, terlepas dari keadaan fisik dan hubungannya dengan orang lain dan sejauh mana individu merasa adekuat sebagai pribadi. Diri keluarga merupakan perasaan dan harga diri individu sebagai anggota keluarga dan teman-teman dekatnya. Diri sosial merupakan penilaian individu terhadap dirinya dalam interaksi dengan orang lain dalam lingkungan yang lebih luas. Diri akademi/kerja merupakan penilaian yang berkaitan dengan penilaian keterampilan prestasi akademik.

Berdasarkan paparan beberapa pendapat diatas, maka peneliti cenderung menggunakan teori tentang aspek-aspek konsep diri menurut Fitts. Dengan pertimbangan karena aspek-aspek tersebut cukup mewakili beberapa pandangan dari beberapa ahli.

Konsep diri menurut Fitts (dalam Sari, 2005) dibedakan dalam dua dimensi, yaitu: 1. Segi dimensi internal (internal frame of reference), merupakan rangka acuan

(55)

a. Diri identitas

Yang dimaksud dengan identitas adalah kumpulan label dan simbol yang dipergunakan seseorang untuk menggambarkan dirinya. Diri identitas ini dapat dipengaruhi oleh cara pandang seseorang berinteraksi dengan lingkungan dan dengan diri sendiri.

b. Diri penilaian

Mempunyai fungsi bagaimana seseorang mengamati dan menilai, memberikan standar, memberikan perbandingan terhadap dirinya.

c. Diri pelaku

Merupakan persepsi atau pandangan seseorang terhadap tingkah lakunya atau caranya bertindak. Misalnya : “saya adalah orang yang cenderung gegabah dalam memutuskan suatu hal”.

2. Segi dimensi eksternal (external frame ofreference) merupakan rangka acuan eksternal yaitu tinjauan tentang diri sendiri yang didasarkan atas pandangan orang lain dalam hubungan dengan orang lain, meliputi :

a. Diri fisik

Bagaimana seseorang melihat dirinya dari segi fisik, kesehatan, penampilan luar, dan gerak motoriknya.

b. Diri pribadi atau personal

(56)

(sifat-sifat) dirinya dan perasaan adekuat (kemampuan) yang ada dalam dirinya sendiri.

c. Diri sosial

Bagaimana seseorang dalam melakukan interaksi sosial dengan orang lain. Serta bagaimana peran sosial yang dimainkan seseorang dan penilaian terhadap peran tersebut.

d. Diri keluarga

Bagaimana perasaan dan penilaian serta harga diri seseorang sebagai anggota keluarga.

e. Diri moral dan etika

Bagaimana perasaan seseorang mengenai hubungannya dengan Tuhan dan penilaian hal-hal yang dianggap baik dan buruk, meliputi nilai dan prinsip yang memberi arti serta arah bagi kehidupan seseorang.

f. Diri akademi

Bagaimana penilaian seseorang yang berkaitan dengan penilaian keterampilan dan prestasi akademik.

(57)

4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konsep Diri Remaja

Hurlock (1980) menyebutkan bahwa ada 8 kondisi yang mempengaruhi konsep diri remaja yaitu :

a. Usia kematangan

Remaja yang matang lebih awal, yang diperlakukan seperti orang yang hampir dewasa, mengembangkan konsep diri yang menyenangkan sehingga dapat menyesuaikan diri dengan baik. Remaja yang matang terlambat, yang diperlakukan seperti anak-anak, merasa salah dimengerti dan bernasib kurang baik sehingga cenderung berperilaku kurang dapat menyesuaikan diri.

b. Penampilan diri

Penampilan diri yang berbeda membuat remaja merasa rendah diri meskipun perbedaan yang ada menambah daya tarik fisik. Tetapi cacat fisik merupakan sumber yang memalukan yang mengakibatkan perasaan rendah diri. sebaliknya, daya tarik fisik menimbulkan penilaian yang menyenangkan tentang ciri kepribadian dan menambah dukungan sosial. c. Kepatutan seks

(58)

d. Nama dan julukan

Remaja peka dan merasa malu bila teman-teman sekelompok menilai namanya buruk atau bila mereka memberi nama julukan yang bernada cemoohan.

e. Hubungan keluarga

Seorang remaja yang mempunyai hubungan yang erat dengan seorang anggota keluarga akan mengidentifikasikan diri dengan orang ini dan ingin mengembangkan pola kepribadian yang sama. Bila tokoh ini sesama jenis, remaja akan tertolong untuk mengembangkan konsep diri yang layak untuk jenis seksnya.

f. Teman-teman sebaya

Teman-teman sebaya mempengaruhi pola kepribadian remaja dengan dua cara. Pertama, konsep diri remaja merupakan cerminan dari anggapan tentang konsep teman-teman tentang dirinya dan kedua, ia berada dalam tekanan untuk mengembangkan ciri-ciri kepribadian yang diakui oleh kelompok.

g. Kreativitas

(59)

h. Cita-cita

Bila remaja mempunyai cita-cita yang tidak realitik, ia akan mengalami kegagalan. Hal ini akan menimbulkan perasaan tidak mampu dan reaksi-reaksi bertahan dimana ia menyalahkan orang lain atas kegagalannya. Remaja yang realistik tentang kemampuaanya lebih banyak mengalami keberhasilan dari pada kegagalan. Ini akan menimbulkan kepercayaan diri dan kepuasan diri yang besar yang memberikan konsep diri yang lebih baik.

Argyle (dalam Soenarji, 1988) mengatakan bahwa terdapat 4 faktor yang turut berpengaruh dalam terbentuknya konsep diri ini, yaitu :

a. Reaksi dari orang lain

Konsep diri terbentuk dalam waktu yang lama dan pembentukan ini tidak dapat diartikan bahwa adanya reaksi yang tidak biasa dari seseorang akan dapat mengubah konsep diri. Apabila reaksi ini muncul karena orang lain yang memiliki arti atau orang-orang yang kita nilai seperti orang tua, teman, dan sebagainya, maka reaksi ini dapat berpengaruh terhadap perkembangan konsep diri.

b. Pembandingan dengan orang lain

(60)

pandai karena terus menerus membandingkan dirinya dengan salah seorang saudaranya yang lebih pandai.

c. Peranan seseorang

Setiap orang memainkan peran yang berbeda-beda. Disetiap peran tersebut dia diharapkan akan melakukan perbuatan-perbuatan dengan cara-cara tertentu. Misalnya : saya diharapkan dapat membedakan perbuatan saya dalam kemampuan saya sebagai supervisor dan sebagai seorang mahasiswa. Jadi harapan-harapan dan pengalaman-pengalaman yang berkaitan dengan peran yang berbeda mungkin berpengaruh terhadap konsep diri seseorang.

d. Identifikasi terhadap orang lain

Anak-anak khususnya akan mengagumi seorang yang dewasa. Mereka seringkali mencoba untuk menjadi pengikut orang dewasa tersebut antara lain dengan meniru nilai, keyakinan, dan perbuatan mereka. Proses identifikasi ini menyebabkan anak merasakan bahwa mereka telah memiliki beberapa sifat dari orang yang dikaguminya. Hal ini juga terjadi pada remaja, mereka mudah melakukan segala sesuatu yang dilakukan oleh model yang mereka anut. Model-model tersebut biasanya mereka ambil dari keluarga (orang tua, saudara, kerabat), lingkungan (orang-orang yang mereka ketahui misalnya guru mereka di sekolah), dan kelompok sebaya mereka.

(61)

remaja. Pada masa remaja, lingkungan mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan kepribadian mereka karena pada masa ini remaja mulai mengembangkan interaksi mereka bukan terbatas pada keluarga dan sekolah tetapi juga interaksi dengan lingkungan masyarakat. Remaja yang dapat menyesuaikan diri dengan baik akan mampu melewati masa remajanya dengan lancar dan diharapkan ada perkembangan kearah kedewasaan yang optimal serta dapat diterima oleh lingkungannya.

5. Perkembangan Konsep Diri Pada Remaja

Pujijogyanti (dalam Gunawan, 2002) mengatakan bahwa konsep diri terbentuk dari pengalaman individu yang berhubungan dengan individu lain. Dalam interaksinya, setiap individu akan menerima tanggapan yang kemudian akan dijadikan pandangan bagi individu untuk memandang dirinya.

Rini (e-psikologi.com, 2002) menambahkan bahwa konsep diri terbentuk melalui proses belajar sejak masa pertumbuhan seorang manusia dari kecil hingga dewasa. Lingkungan, pengalaman, dan pola asuh turut memberi pengaruh yang signifikan terhadap konsep diri yang terbentuk. Sikap atau respon orang tua dan lingkungan akan menjadi bahan informasi bagi anak untuk menilai siapa dirinya. Anak-anak yang tumbuh dan dibesarkan dalam pola asuh yang keliru dan negatif, ataupun lingkungan yang kurang mendukung cenderung mempunyai konsep diri yang negatif.

(62)

kebudayaan dan kerangka organisasi tersebut memberikan pengaruh yang ”memaksa”, sehingga tingkah laku individu menjadi konform / cocok dengan pola perilaku lokal; namun dianggap patologis oleh masyarakat luas. Anggapan negatif inilah yang kemudian akan dijadikan dasar untuk menilai dirinya sebagai pribadi yang negatif sehingga tumbuhlah konsep diri negatif (Kartono, 2003).

Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa konsep diri bukanlah sesuatu yang menetap sejak masa kanak-kanak sampai dewasa tetapi akan mengalami perubahan atau peninjauan kembali setelah masa remaja. Selain itu dalam perkembangannya, remaja juga dihadapkan pada tugas-tugas yang berkaitan dengan perkembangannya dimana jika remaja berhasil melaksanakan maka ia akan berhasil dalam tugas perkembangan lainnya. Jika berhasil hal tersebut akan meningkatkan konsep diri pada remaja menjadi lebih tinggi. Sedangkan kegagalan akan menghambat dalam pelaksanaan tugas perkembangan selanjutnya dan akan mempengaruhi konsep diri remaja.

D. Konsep Diri Pada Remaja Pelaku Tindak Kriminal

Pada beberapa tahun terakhir ini banyak terjadi perilaku kekerasan di sekitar lingkungan masyarakat. Berbagai media baik elektronik maupun cetak mencoba memvisualisasikan kejahatan dalam bentuk tayangan maupun tulisan. Perilaku kejahatan ini dapat terjadi di mana saja, seperti di jalan-jalan, di komplek-komplek perumahan, bahkan disekolah. Perilaku tersebut dapat berupa perampokan, pencurian, perusakan, pemerkosaan dan pembunuhan, korupsi,

(63)

kejahatan cyber. Seiring perkembangannya, tindak kriminal dilakukan bukan hanya oleh orang dewasa saja melainkan juga dilakukan oleh remaja, contohnya pengedaran narkotika, aborsi, kasus pencurian dengan tindak kekerasan, kasus pembunuhan, dan beberapa kasus lain di masyarakat yang menujukkan semakin memprihatinkannya kondisi remaja saat ini.

Remaja yang melakukan tindak kriminal biasanya dikenakan sanksi berupa hukuman pidana (pemenjaraan). Pemberian sanksi berupa pemenjaraan didasarkan pada putasan hakim dengan pembuktian criminal act pada terdakwa yaitu dengan mencari keyakinan apakah terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya atau tidak, dan mencocokan tingkah laku yang didakwakan kepadanya dengan pasal-pasal hukum pidana.

Ada 3 fungsi penjara, (1) fungsi penjeraan sehingga diharapkan pelaku tindak kejahatan tidak mengulangi kesalahan mereka, (2) fungsi isolasi, yaitu menyingkirkan seseorang yang dianggap merugikan orang lain dari masyarakat umum, serta (3) mendidik yang bersangkutan sehingga dapat berperilaku lebih baik jika kembali kemasyarakat. Tetapi pada kenyataannya, kehidupan penjara tidaklah berjalan sesuai fungsinya. Penjara menjadi tempat yang terisolasi, akses terhadap hiburan, materi belajar, kesehatan, serta model (orang-orang yang dianggap berpengaruh) amat terbatas. Hubungan pertemanan dicampur dengan hubungan struktural dengan kekerasan, saling curiga, saling memanfaatkan jelas bukanlah hubungan yang secara sosial psikologis mendidik (Kompas, 2005).

(64)

mandi, atau ketika waktu bimbingan belajar, selebihnya mereka berada dalam tahanan yang padat (over crowded). Pendidikan yang diberikan dalam Lapas juga jauh dari standar pendidikan pada umumnya serta pemberian label negatif dari masyarakat, isolasi yang lama di penjara dan juga konflik batin yang hebat dapat membuat remaja menjadi putus asa dan merasa tidak berguna. Kegagalan dalam menjalankan peran di masyarakat dan kegagalan sebagai pribadi akan mempengaruhi penerimaan diri remaja yang nantinya akan mempengaruhi keberhasilan remaja dalam penyesuaian diri dan juga pembentukan konsep diri mereka.

Remaja yang dapat menerima perubahaan-perubahan berkaitan dengan proses isolasinya di penjara akan menerima kenyataan dengan hati yang lapang. Individu yang mempunyai penerimaan diri negatif cenderung untuk menyalahkan lingkungan apabila ada sesuatu yang salah, melihat dunia sebagai suatu perlawanan yang kompetitif, menyalahkan diri sendiri, memiliki hubungan sosial yang buruk, dan sangat depresi (Riechard’s dalam Sari, 2002).

(65)

Kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sendiri ditentukan oleh interaksi yang dibentuk antara individu dengan lingkungannya. Ini berhubungan dengan feed back atau umpan balik yang diberikan oleh orang-orang disekitarnya terhadap perilaku individu tersebut. Umpan balik yang diberikan orang di lingkungan sekitar akan mempengaruhi konsep diri individu. Rogers (dalam Byron dan Bryrne,1994) mengatakan bahwa konsep diri merupakan salah satu aspek kepribadian yang paling penting. Konsep diri adalah kerangka kognitif yang mengorganisir bagaimana kita mengetahui diri kita dan bagaimana kita memproses informasi-informasi yang relevan dengan diri. Konsep diri, termasuk harga diri merupakan aspek yang sangat penting dalam berfungsinya manusia, sebagian karena manusia memang sangat memperhatikan berbagai hal tentang diri, termasuk siapa dirinya, seberapa positif atau negatif seorang individu memandang dirinya, bagaimana citra yang ditampilkan pada orang lain, dan lain-lain.

Konsep diri dibentuk melalui proses belajar sejak masa pertumbuhan seorang manusia dari kecil hingga dewasa. Konsep diri berasal dan berkembang sejalan pertumbuhannya, terutama akibat dari hubungan individu dengan individu lainnya. Hubungan antara individu dengan lingkungan, pengalaman, dan pola asuh memberikan pengaruh yang signifikan terhadap konsep diri. Oleh sebab itu umpan balik dari lingkungan akan menjadi bahan informasi bagi remja untuk menilai dirinya.

(66)

membantu perkembangan konsep diri ke arah posistif. Tetapi jika umpan balik yang diberikan oleh orang-orang di lingkungannya menunjukkan penolakan maka individu akan merasa terasing, terabaikan, mempunyai harga diri rendah, dan akan membentuk konsep diri negatif.

(67)

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kuantitatif. Penelitian ini dimaksudkan mengangkat fakta, keadaan, variabel, dan fenomena-fenomena yang terjadi saat sekarang dan menyajikan apa adanya.

B. Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini adalah konsep diri remaja pelaku tindak kriminal.

C. Definisi Operasional Konsep diri

Konsep diri adalah keyakinan, pandangan atau penilaian individu terhadap dirinya sendiri yang meliputi identifikasi diri; penilaian tentang siapa dirinya; perasaan puas diri; tingkah lakunya sendiri yang dihubungkan dengan keadaan fisik, moral-etika, keluarga, kepribadian, lingkungan sosial dan prestasi.

(68)

D. Subjek Penelitian

Dalam penelitian ini, subjek penelitian yang digunakan adalah semua anak laki-laki dengan kriteria usia remaja yang berada di Lembaga Pemasyarakatan Anak Kutoarjo.

Ciri-ciri subjek penelitian yang akan digunakan adalah : 1. Remaja laki-laki

2. Remaja yang melakukan tindak pidana 3. Usia antara 13-21 tahun

4. Status tempat tinggal sekarang yaitu di Lembaga Pemasyarakatan Anak Kutoarjo

Pada subjek penelitian ini digunakan kriteria seperti di atas dengan maksud supaya subjek yang diteliti terbatas pada kriteria yang diuraikan dan tinggal menetap di Lembaga Pemasyarakatan Anak, bukan sebagai tahanan luar ataupun tahanan titipan.

(69)

E. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara menyebar skala kepada responden secara langsung yaitu remaja yang melakukan tindak kriminal di Lembaga Pemasyarakatan Anak Kutoarjo. Sebelum digunakan pada penelitian sebenarnya, skala diuji cobakan terlebih dulu untuk mengetahui nilai validitas dan reliabilitas alat ukur.

Skala diuji cobakan pada sekelompok responden yang digunakan dalam penelitian yaitu remaja yang melakukan tindak kriminalitas di Lembaga Pemasyarakatan Anak Kutoarjo. Penelitian ini menggunakan satu skala yaitu skala konsep diri. Jumlah responden yang digunakan untuk uji coba (try out) sebanyak 66 orang dan untuk penelitian sebanyak 61 orang.

F. Instrumen Penelitian

Skala konsep diri ini disusun berdasarkan beberapa aspek konsep diri dari Fitss (dalam Sari, 2005) sebagai berikut :

3. Segi dimensi internal (internal frame of reference), merupakan rangka acuan internal tentang dirinya sendiri, yaitu bagaimana seseorang menilai diri sendiri atas dasar dunia batinnya sendiri, termasuk disini tinjauan identifikasi, kepuasan diri, dan tinjauan tingkah lakunya sendiri.

a. Diri identitas

Gambar

Tabel 1
Tabel 2 Hasil rix Skala Konsep Diri
Tabel 4
Tabel 5
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari pelaksanaan program kerja PPL yang telah dilaksanakan dan hasil yang diperoleh, dapat dikatakan bahwa program PPL berjalan dengan baik. praktikan mendapat

Tujuan dalam penelitian ini untuk mengetahui pengaruh ergonomi exercise terhadap tingkat resiko nyeri musculosceletal disorder (MSDs) pada karyawan di Pabrik Pembalut

Sedangkan pada daging matang yang diberikan perlakuan penambahan dan pengganti secara signifikan menunjukan nilai expressible drip yang rendah atau memiliki daya ikat air

Akhir Ket Penilaian Produk teknik menendang menggunakan kaki bagian dalam Penilaian Produk teknik menendang menggunakan kaki bagian luar (Skor 4) Penilaian Produk teknik

Hasil penelitian (Kun Ismawati, 2015) menjelaskan bahwa variabel LDR tidak berpengaruh signifikan terhadap profabilitas kebangkrutan dan pengaruhnya prositif,

Namun, beliau tidak dapat mencatat kata-kata yang menghina pemerintah dalam buku ,jadi beliau hanya menyampaikan secara tidak langsung dan mewariskan kepada anak

Berkembangnya bisnis waralaba asing tersebut sejalan dengan lajunya pertumbuhan ekonomi, dan menjamurnya pemberi waralaba asing yang masuk ke Indonesia, untuk itu perlu

Penyidik dalam melakukan penyidikan terhadap tindak pidana pembunuhan yang dilakukan dengan cara mutilasi, berperan dalam melakukan serangkaian tindakan untuk mencari