• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji efek antiinflamasi ekstrak herba rumput mutiara (Hedyotis corymbosa (L.) Lamk.) dengan metode Hen`s Egg Test Chorio Allantoic Membrane - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Uji efek antiinflamasi ekstrak herba rumput mutiara (Hedyotis corymbosa (L.) Lamk.) dengan metode Hen`s Egg Test Chorio Allantoic Membrane - USD Repository"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

i

UJI EFEK ANTIINFLAMASI EKSTRAK HERBA RUMPUT MUTIARA (Hedyotis corymbosa (L.) Lamk.) DENGAN METODE HEN’S EGG TEST

CHORIOALLANTOIC MEMBRANE

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh :

Edward Wijaya Setiawan

NIM : 088114100

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)

ii

UJI EFEK ANTIINFLAMASI EKSTRAK HERBA RUMPUT MUTIARA (Hedyotis corymbosa (L.) Lamk.) DENGAN METODE HEN’S EGG TEST

CHORIOALLANTOIC MEMBRANE

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh :

Edward Wijaya Setiawan

NIM : 088114100

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(3)
(4)
(5)

v

Halaman Persembahan

Kupersembahkan Karya ini untuk: Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria

Papa - Mama - Saudara-saudaraku Almamaterku

(6)
(7)
(8)

viii

PRAKATA

Puji Syukur dan terima kasih penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha

Esa atas segala berkat, rahmat, karunia dan penyertaan-Nya selama penelitian dan

penyusunan skripsi ini sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan

baik. Skripsi dengan judul: “Uji Efek Antiinflamasi Ekstrak Herba Rumput

Mutiara (Hedyotis corymbosa (L.) Lamk.) Dengan Metode Hen’s Egg Test

Chorioallantoic Membrane” ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Strata Satu Program Studi Ilmu Farmasi (S.Farm.) di

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, banyak dihadapi kesulitan. Namun,

dengan adanya bantuan dari berbagai pihak, baik berupa dukungan moril maupun

spirituil, maka pada akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan dengan sebaik

mungkin. Dengan penuh kerendahan hati, maka penulis ingin mengucapkan rasa

terima kasih kepada :

1. Ipang Djunarko M. Sc., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas

Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Yosef Wijoyo, M. Si. Apt., selaku dosen pembimbing yang dengan sabar

dan bijaksana selalu memberikan bimbingan dan pengarahan kepada

penulis, yang selalu ceria dengan canda tawanya ketika bimbingan.

3. Prof. Dr. C. J. Soegihardjo, Apt., selaku dosen penguji atas pengarahannya

serta kesediaannya meluangkan waktu untuk menjadi penguji.

4. Phebe Hendra, M.Si., Ph. D., Apt., selaku dosen penguji atas kesediaannya

(9)

ix

5. Sri Hartati Yulianti M.Si., Apt., atas pengarahannya serta kesediaannya

meluangkan waktu untuk memberikan masukan dan semangat pada saya.

6. Seluruh dosen Fakultas Farmasi USD, atas ilmu yang diberikan dan

kebersamaan selama kuliah di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.

7. Seluruh staf laboratorium, staf kebersihan, dan staf keamanan Fakultas

Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Terutama Mas Agung,

Pak Musrifin, Mas Iswandi, dan Mas Otok yang telah membantu kelancaran

penulis dalam menyelesaikan penelitian.

8. Rosita Secoadi, atas doa, dorongan, semangat, dan perhatiannya.

9. Teman Seperjuangan saya, Yuni Rogan, Elisa Aster, Franky Limawan, dan

Natalia Windari sahabat saya yang telah memberikan doa, dukungan,

bantuan, dan semangat serta pengalaman tak terlupakan selama penelitian

dan penyusunan skripsi. Terima kasih atas saran dan masukkan yang

diberikan.

10.Sahabat-sahabatku dan teman-temanku yang lain atas segala doa dan

dukungannya.

11.Teman-Teman angkatan 2008, khususnya teman-teman FST atas suka duka

dan kebersamaannya.

12.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu

penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan dan penyelesaian skripsi ini

masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan mengingat keterbatasan

(10)

x

kritik dan saran yang membangun dari semua pihak. Akhir kata, semoga laporan

ini dapat berguna bagi pembaca.

(11)

xi INTISARI

Herba rumput mutiara (Hedyotis corymbosa (L.) Lamk.) biasa digunakan untuk pengobatan tradisional. Herba rumput mutiara mengandung zat aktif golongan saponin yaitu steroid yang memiliki daya antiinflamasi. Inflamasi merupakan respon protektif jaringan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui daya antiinflamasi ekstrak herba rumput mutiara menggunakan metode Hen’s Egg

Test-Chorioallantoic Membrane (HET-CAM) dinyatakan dengan IC50.

Penelitian ini termasuk penelitian eksperimental murni. Penelitian diawali dengan determinasi simplisia, pembuatan serbuk, pembuatan ekstrak herba rumput mutiara dan standarisasi ekstrak. Metode HET-CAM menggunakan kontrol positif inflamasi SDS 1%, kontrol positif antiinflamasi hidrokortison asetat 1%, kontrol negatif aquabidest, konsentrasi ekstrak herba rumput mutiara 150, 300, dan 600 µg/ml. Hasilnya direkam selama 300 detik dicatat dalam satuan detik waktu koagulasi, lisis dan hemoragi pembuluh darah. Data digunakan untuk menentukan iritation score. Hasil irritation score dianalisis dengan uji Kruskal-Wallis, dilanjutkan uji Mann-Whitney dengan tingkat kepecayaan 95% untuk mengetahui beda tiap perlakuan. Daya antiinflamasi dilihat dari nilai IC50 yang

ditetapkan dengan regresi linear.

Hasil penelitian menunjukkan ekstrak herba rumput mutiara memiliki daya antiinflamasi sebanding dengan hidrokortison asetat pada konsentrasi 600 µg/ml. Analisis regresi linear diperoleh IC50 ekstrak herba rumput mutiara 311,65 µg/ml.

(12)

xii ABSTRACT

Pearl Grass herb (Hedyotis corymbosa (L.) Lamk.) is used for traditional medicine. It’s contains active substances which fraction steroids that have anti-inflammatory action. Inflammation is a response protectif tissues. This study aims to determine the action of antiinflammatory herb gotu kola extract using Hen's Egg Test-Chorioallantoic Membrane (HET-CAM) method and expressed by IC50.

This research was purely experimental. The research began determination plants, making powder, making extracts and standardized extracts. HET-CAM method uses a positive control inflammation SDS 1%, the positive control anti-inflammatory hydrocortisone acetate 1%, a negative control aquabidest, extract concentration of 150, 300, and 600 µg/ml. The results recorded during 300 seconds, recorded of time of coagulation, lysis and hemorrhage of blood vessels. Data used to determine iritation score (IS). It was analyzed by Kruskal-Wallis test, and then Mann-Whitney test to determine differences for each treatment. Antiinflammatory action is obtained from linear regretion.

Extract has anti-inflammatory action but not statistically significantly different compared with hydrocortisone acetate at concentration of 600 µg/ml. regression analysis of diamond flower herb extract obtained IC50 311,65 µg/ml.

(13)

xiii DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vii

PRAKATA ... viii

INTISARI ... xi

ABSTRACT ... xii

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

BAB I PENGANTAR ... 1

A. Latar Belakang ... 1

(14)

xiv

B. Rumput Mutiara (Hedyotis corymbosa L.Lamk.) ... 6

C. HETCAM ... 11

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 19

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 19

B. Variabel dan Definisi Operasional ... 19

1. Variabel penelitian ... 19

2. Definisi operasional ... 19

C. Bahan ... 21

D. Alat ... 21

E. Tata Cara Penelitian ... 21

1. Determinasi simplisia rumput mutiara ... 21

2. Pembuatan serbuk herba rumput mutiara ... 21

(15)

xv

4. Uji antiinflamasi ekstrak herba rumput mutiara ... 23

5. Analisis hasil ... 25

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 26

A. Determinasi Simplisia ... 26

B. Pembuatan Serbuk Herba Rumput mutiara ... 26

C. Ekstraksi Serbuk Herba Rumput mutiara ... 28

D. Hasil Uji HET-CAM ... 28

E. Hasil Uji Kruskal Wallis dan Mann Whitney ... 36

F. Penentuan IC50 ... 38

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 39

A. Kesimpulan ... 39

B. Saran ... 39

DAFTAR PUSTAKA ... 40

LAMPIRAN ... 41

(16)

xvi DAFTAR TABEL

Tabel I. Tabel hasil perlakuan ... 33

Tabel II. Hasil skor iritasi... 34

Tabel III. Hasil Uji Mann Whitney ... 36

(17)

xvii DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Respon tubuh terhadap antigen dan kerusakan jaringan ... 7

Gambar 2. Biosintesis prostaglandin ... 8

Gambar 3. Rumput mutiara ... 9

Gambar 4. Perkembangan embrio unggas ... 13

Gambar 5. Morfologi telur ... 14

Gambar 6. Struktur hidrokortison asetat ... 15

Gambar 7. Struktur Sodium Dodesil sulfat ... 16

Gambar 8. Pemberian kontrol negatif aquabidest ... 30

Gambar 9. Pemberian kontrol positif inflamasi ... 31

Gambar 10. Kontrol positif antiinflamasi (hidrokortison+SDS1%) ... 31

Gambar 11. Hubungan perlakuan vs irritation score ... 35

(18)

xviii DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat pengesahan simplisia ... 43

Lampiran 2. Penimbangan bahan ... 44

Lampiran 3. Perhitungan Irritation score ... 49

Lampiran 4. Hasil Pengamatan ... 57

(19)

1 BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang

Herba rumput mutiara (Hedyotis corymbosa (L.) Lamk.) merupakan

tanaman yang biasa digunakan untuk pengobatan tradisional dan dikenal memilki

efek antiinflamasi, hepatoprotektif dan antikanker (Cardenaz, Quesada, and

Medina, 2004). Rumput mutiara dikembangkan dan diteliti serta dijadikan ramuan

dalam berbagai obat tradisional.

Inflamasi adalah respon jaringan protektif terhadap cedera atau kerusakan

jaringan, yang berfungsi menghancurkan, mengurangi, atau mengurung baik agen

yang menyebabkan cedera maupun jaringan yang cedera itu. Ketika tubuh

mendapatkan stimulus dari luar maka tanda awal yang muncul adalah rubor

(memerah) disertai dengan kalor (panas), dolor (nyeri) dan pada akhirnya terjadi

tumor (bengkak) dan functio laesa (hilangnya fungsi) (Anonim, 1996). Kerusakan

sel akibat stimulus dari luar akan membebaskan mediator seperti histamin,

bradikinin, prostaglandin dan leukotrien dimana mediator-mediator tersebut

berperan dalam proses inflamasi (Mansjoer, 2003).

Dalam rumput mutiara, terdapat asam ursolat bersama asam oleanolat dan

zat-zat lain (Anonim, 2010). Asam ursolat adalah senyawa triterpenoid pentasiklik

yang termasuk dalam famili siklo-skualena, dan terdapat dalam berbagai tanaman

(20)

memiliki banyak khasiat seperti sebagai antibakteri, hepatoprotektor,

imunomodulator, antiproliferatif, antitumor, dan antiinflamasi (Anonim, 2010).

Berdasar keterangan diatas maka perlu diteliti mengenai aktivitas

antiinflamasi dari herba rumput mutiara sehingga dapat dikembangkan sebagai

obat herbal yang aman dan efektif dalam mengobati inflamasi. Rumput mutiara

yang kemudian dapat dikembangkan menjadi obat herbal yang diharapkan lebih

aman daripada obat sintetis dalam mengobati inflamasi.

Rumput mutiara ini diekstraksi menggunakan etanol sehingga

menghasilkan ekstrak kental rumput mutiara yang nantinya akan diuji aktivitas

antiinflamasinya. Penggunaan etanol ini dipilih berdasarkan kelarutan dari asam

ursolat yakni sebesar 5,1mg/ml (Schneider, Hosseiny, Szczotka, Jordan, and

Schlitter, 2008).

Uji aktivitas antiinflamasi dapat dilakukan dengan berbagai metode salah

satunya dengan metode HET-CAM (Hen’s Egg Test ChorioAllantoic Membrane).

Metode ini memiliki keuntungan yakni waktu pengamatan yang relatif singkat dan

dengan objek uji telur berembrio ini, dapat teramati secara langsung perubahan

pembuluh darah ketika terjadi inflamasi. Metode ini memiliki kelebihan, yaitu

cepat dan sensitif sehingga dapat juga digunakan untuk screening awal suatu

material yang memiliki aktivitas antiinflamasi.

Uji efek antiinflamasi ekstrak rumput mutiara (Hedyotis corymbosa)

menggunakan metode HET-CAM (Hen’s Egg Test ChorioAllantoic Membrane).

Metode ini menggunakan telur ayam yang telah dibuahi kemudian dipaparkan

(21)

terbentuk CAM. CAM ini terdapat pada lapisan mesodermis telur yang terdiri dari

pembuluh darah.

Berdasarkan latar belakang tersebut maka dapat dilakukan uji aktivitas

antiinflamasi untuk ekstrak herba rumput mutiara menggunakan metode

HET-CAM.

B. Perumusan Masalah

Apakah ekstrak etanol herba rumput mutiara (Hedyotis corymbosa

Herba) memiliki aktivitas antiinflamasi berdasarkan metode HET-CAM?

C. Tujuan

Mengetahui aktivitas antiinflamasi ekstrak etanol herba rumput mutiara

(Hedyotis corymbosa Herba) berdasarkan metode HET-CAM.

D. Manfaat

a. Manfaat teoritis

Dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

teoritis mengenai aktivitas anti inflamasi ekstrak Hedyotis corymbosa

Herba.

b. Manfaat metodologis

Penelitian ini diharapkan memberikan pengetahuan tentang

metode yang baik untuk uji aktivitas antiinflamasi ekstrak Hedyotis

(22)

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan sepengetahuan peneliti uji aktivitas antiinflamasi dari

ekstrak rumput mutiara (Hedyotis corymbosa) dengan metode HET-CAM belum

pernah dilakukan sebelumnya.

Penelitian mengenai rumput mutiara pernah dilakukan berkaitan dengan

aktivitas hepatoprotektif yang dilakukan oleh Alawiyah (2006) dengan hasil

rumput mutiara dapat menurunkan kadar SGPT dan SGOT tikus yang telah

diinduksi parasetamol dengan pemberian ekstrak dengan dosis 400mg/kgBB.

Pengujian terhadap rumput mutiara terhadap pengaruh fagositosis makrofag

pernah dilakukan oleh Azenda (2006). Penelitian mengenai efek antioksidan dan

antikarsinogenik pernah dilakukan oleh Susi Erdini (2011) dengan isolasi sel

kanker payudara MCF-7. Hasil Penelitian tersebut rumput mutiara memiliki

aktivitas antioksidan dan sitotoksik yang sangat tinggi.

Metode HET-CAM yang sama digunakan oleh Alfonsus Rudianto (2010)

untuk menguji aktivitas antiinflamasi dari ekstrak etanol pegagan. Pengujian

(23)

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Inflamasi

Inflamasi adalah respon jaringan protektif terhadap cedera atau

kerusakan jaringan, yang berfungsi menghancurkan, mengurangi, atau mengurung

baik agen yang menyebabkan cedera maupun jaringan yang cedera tersebut.

Tanda klasik radang akut yaitu nyeri (dolor), panas (kalor), kemerahan (rubor),

bengkak (tumor), dan hilangnya fungsi (functio laesa) (Anonim, 1996).

Inflamasi (radang) biasanya dibagi dalam 3 fase : inflamasi akut, repons

imun, dan inflamasi kronis. Inflamasi akut merupakan respon awal terhadap

cedera jaringan; hal tersebut terjadi melalui media rilisnya autacoid serta pada

umumnya didahului oleh pembentukan respon imun. Sejumlah autacoid yang

terlibat seperti histamin, serotonin, bradikinin, prostaglandin, dan leukotrien

(Katzung, 2001).

Respon imun terjadi bila sejumlah sel yang mampu menimbulkan

kekebalan diaktifkan merespon organisme asing atau substansi antigenik yang

terlepas selama respon terhadap inflamasi akut serta kronis. Inflamasi kronis

melibatkan keluarnya sejumlah mediator-mediator yang tidak menonjol dalam

respon akut. Beberapa diantaranya adalah interleukin-1, 2, 3, GM-CSF1, TNF-α,

interferon dan PDGF3 (Katzung, 2001).

Kerusakan jaringan bisa disebabkan oleh senyawa kimia,

(24)

agen penyebab rusaknya jaringan, inflamasi juga berfungsi untuk menginduksi

perbaikan jaringan yang rusak dan juga memproteksi adanya kerusakan jaringan

yang bisa menimbulkan efek yang lebih berbahaya. Inflamasi akut dan kronis

dibedakan berdasarkan durasi dan tipe sel inflamasi yang dilepaskan. Inflamasi

akut melibatkan perubahan pembuluh darah dalam detik yaitu adanya vasodilatasi

dan permeabilitas pembuluh darah. Vasodilatasi meningkatkan laju aliran darah

dan peningkatan suhu pada jaringan yang rusak sehingga tanda yang timbul akibat

adanya inflamasi adalah rubor dan kalor. Meningkatnya permeabilitas pembuluh

darah menyebabkan pelepasan protein plasma sehingga timbul tumor pada

jaringan. Selain itu, meningkatnya permeabilitas akan memicu pelepasan leukosit

(neutrofil) dan makrofag yang berfungsi untuk menghancurkan agen-agen

penyebab cedera (Pearson, 2010). Respon tubuh terhadap antigen yang dapat

menyebabkan kerusakan jaringan ditunjukkan pada Gambar 1.

Tubuh merespon adanya antigen yaitu mengaktifkan komplemen yang

menyebabkan vasodilatasi dan meningkatnya permeabilitas pembuluh darah. Efek

serupa juga ditimbulkan pada pelepasan mediator inflamasi yaitu brandikinin

(25)

Gambar 1. Respon tubuh terhadap antigen dan kerusakan jaringan (Harrison, 2010).

Inflamasi akut melibatkan sel-sel dalam respon imun antara lain

makrofag dan neutrofil. Makrofag adalah komponen sel utama sistem imunitas

non spesifik yang memproduksi sitokin yaitu Tumour Necrosis Factor-α (TNF-α)

sebagai respon terhadap antigen (bakteri atau fragmen bakteri). TNF-α merupakan

kemoatraktan dimana terlibat dalam meningkatkan migrasi leukosit dan inflamasi

(26)

Fenomena inflamasi berkaitan dengan adanya pelepasan mediator nyeri

dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Biosintesis prostaglandin (Harrison, 2010).

Asam arakidonat merupakan komponen normal yang disimpan pada sel

dalam bentuk fosfolipid. Adanya stimulus menyebabkan asam arakidonat

dilepaskan dari sel penyimpan lipid oleh asil hidrolase sebagai respon inflamasi.

Asam arakidonat kemudian mengalami metabolisme menjadi dua alur. Alur

siklooksigenase yang membebaskan prostaglandin (PGE2, PGF2, PGD2),

prostasiklin, dan tromboksan dan alur lipooksigenase yang membebaskan

leukotrien. Leukotrien dan prostaglandin merupakan mediator nyeri yang

dilepaskan saat terjadi inflamasi (Mansjoer, 2003).

Secara in vitro terbukti bahwa prostaglandin E2 (PGE2) dan prostasiklin

(27)

peningkatan aliran darah lokal. Migrasi leukosit ke jaringan radang merupakan

aspek penting dalam proses inflamasi (Anonim, 1995a).

B. Rumput Mutiara (Hedyotis corymbosa L. Lamk.)

Gambar 3. Rumput mutiara

Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Ordo : Rubiales Famili : Rubiaceae Genus : Hedyotis

Spesies : Hedyotis corymbosa L. (Anonim, 2010)

Rumput mutiara (Hedyotis corymbosa L. Lamk.) tumbuh pada tanah

lembap. Rumput mutiara tumbuh setinggi 15 – 30 cm, memiliki batang bersegi,

daun berhadapan bersilang, tangkai daun pendek, panjang daun 2 – 5 cm,

berujung runcing, dan bertulang daun tunggal di tengah. Ujung daun mempunyai

rambut yang pendek. Bunga ke luar dari ketiak daun, bentuknya seperti payung

berwarna putih, berupa bunga majemuk 2-5, tangkai bunga (induk) keras seperti

(28)

asam ursolat, asam oleanolat, stigmasterol, beta-sitosterol, dan glikosida flavonoid

(Anonim, 2010).

Rumput rnutiara merupakan tanaman gulma termasuk genus

Rubiaceae-(Oldenlandia) berdaun kecil, bunga berwarna putih, berbatang dua atau lebih

berbentuk panjang, reproduksi dengan biji dan hidup pada tanah yang lembab.

Tanarnan ini dapat rnereduksi tumor, antiinflarnasi dan melindungi hati. Beberapa

hasil penelitian rnenunjukkan bahwa tanaman dari genus Hedyotis banyak

mengandung iridoid (Peng, Feng, and Liang, 1997).

Hedyotis rnengandung 10 senyawa iridoid yaitu asperulosid, skandosid

metil ester, asarn asperulosid, asam diasetil asperulosid, loganin, diasil

asperulosid, asetil skandosid rnetil ester, 6 beta-hldroksigenipin,

6'-asetilasperulosid dan 6'-6'-asetilasperulosid (Peng, Feng, and Liang, 1999).

Asam ursolat adalah golongan triterpenoid pentasiklik yang terdapat

dalam berbagai jenis tanaman. Penelitian tentang asam ursolat menemukan

aktivitas asam ursolat sebagai antikanker, anti mikroba, antiinflamasi,

hepatoprotektif, antihiperlipidemi, dan antiviral (Liu, 1995).

Asam oleanolat adalah golongan triterpenoid pentasiklik yang merupakan

isomer dari asam ursolat. Asam oleanolat memiliki aktivitas antitumor,

antiinflamasi, antihiperlipidemi, dan hepatoprotektif (Liu, 1995).

Iridoid diketahui mempunyai efek biologis yang bervariasi seperti

antimicrobial, antitumor, antihepatoksik, dan ernetik (Konno, Hirayama, Yasui,

(29)

Iridoid glikosida kutkoside dan picroside dapat bertindak sebagai

antioksidan dan memperbaiki efek hepatotoksik dari karbontetroklorida,

tioacetamide, galaktosarnin, dan paracetamol (Schuppan, Dong, Brinkhaus, and

Hahn, 1999).

C. HET-CAM

Metode HET-CAM pertaman kali dikemukakan oleh Luepke (1985),

menggunakan membran vaskuler dari fetus yaitu chorioallantoic membran dimana

merupakan gabungan antara Chorion dan allantois (Anonim, 2009).

HET-CAM digunakan untuk meneliti sifat antiiritasi dari ektrak larut air

pada tanaman yang pada akhirnya memiliki tujuan mencari substansi yang

bertanggung jawab terhadap efek antiiritasi tersebut. Metode ini mengukur waktu

onset dari tiga manifestasi iritasi pada membran yaitu hemoragi, lisis dan

koagulasi dan dibandingkan dengan kontrol positif yang sudah ada (Wilson and

Steck, 2000).

Metode pengujian dengan ChorioAllantoicMembrane/CAM merupakan

metode evaluasi subyektif dari perubahan vaskuler(hemoragi dan obstruksi) dan

nekrosis dari CAM, pembuluh vaskular dan membran respirasi yang berada di

bawah lapisan cangkang telur (Hayes, 2001).

ChorioAllantoicMembrane dari ayam merupakan jaringan yang terbentuk

setelah tujuh hari masa inkubasi yang merupakan gabungan dari chorion dan

allantois. Secara struktural lapisan terluar adalah lapisan epitelium yang terbentuk

(30)

CAM analogis dengan retina dan pembuluh darahnya. CAM ayam yang sudah

matang dapat dibagi menjadi beberapa lapisan yaitu : stratum primer, saluran

kapiler atau pembuluh darah dan lapisan stratum yang tipis yang tersusun dari sel

epitel yang memungkinkan adanya migrasi termasuk pertukaran gas dan absorbsi

kalsium (Leng, et al., 2004). Keuntungan dari uji CAM adalah biaya rendah,

simpel, dapat dipercaya, dan dapat digunakan untuk skrining dalam skala yang

besar (Ribatti, Vacca, Roncali, and Dammacco, 2000).

CAM merupakan membran vaskular respirasi yang mengelilingi

perkembangan embrio unggas. CAM tersusun atas lapisan ektodermal yang terdiri

atas epitelium yang berupa dua atau tiga inti sel, lapisan mesodermal yang terdiri

dari jaringan penghubung, ground substance, dan pembuluh darah dan juga

terdapat lapisan endodermal. Pembuluh darah berada pada lapisan mesodermal

CAM yang bercabang dari arteri dan vena embrio-allantoic (Anonim, 2003).

Pembuluh ini mengandung eritrosit dan leukosit yang dipercaya terlibat

dalam respon inflamasi oleh karena adanya paparan stimulus dari luar. Hal ini

diasumsikan bahwa efek akut diinduksi oleh zat uji pada pembuluh darah kecil

dan protein pada membran jaringan membran efeknya sama dengan efek yang

diinduksi dengan zat uji yang sama yang dipaparkan pada mata kelinci (Anonim,

(31)

Gambar 4. Perkembangan embrio unggas (Anonim, 2003)

Denaturasi (ditunjukkan sebagai koagulasi) digunakan sebagai indikator

efek pada sel dalam CAM. Perubahan pada pembuluh darah CAM dimaksudkan

untuk memprediksi keseluruhan toksisitas dan kerusakan conjuctiva pada mata

(Anonim, 2006).

Telur yang digunakan telah diinkubasi selama 10 hari kemudian dilakukan

peneropongan. Peneropongan bertujuan mengetahui apakah telur tersebut

berembrio dan menandai ruang udara pada telur. Pada saat inkubasi posisi ruang

udara berada di bagian atas. Telur yang digunakan berbobot 50-60 gram dan

(32)

Gambar 5. Morfologi telur (D’Arcy and Howard, 1966)

D. Hidrokortison Asetat

Hidrokortison asetat merupakan ester asetat dari hidrokortison.

Hidrokortison asetat merupakan obat kelompok kortikosteroid. Kortikosteroid

adalah kelompok obat yang memiliki aktivitas glukokortikoid dan

mineralokortikoid. Secara umum efeknya dibedakan atas efek retensi Na, efek

terhadap metabolisme karbohidrat (glukoneogenesis), dan efek antiinflamasi.

Umumnya efek antiinflamasi sejalan dengan efek terhadap metabolisme

karbohidrat sehingga pengelompokan kortikosteroid didasarkan atas potensi untuk

menimbulkan retensi Na (efek mineralkortikoid) dan efek antiinflamasi (efek

glukokortikoid). Khasiat antiinflamasi dan glukoneogenesis merupakan ciri

glukokortikoid (Anonim, 2000a).

Terapi menggunakan glukokortikoid menginduksi secara cepat

penyusutan inflamasi pada tikus yang diberi injeksi subkutan berupa karagenin.

(33)

lebih tinggi dari 3 mg/kg/hari selama 3 hari menyebabkan penyusutan maksimum

(Hyun, Hideo, and Susumu, 1973).

Pengobatan pasien dengan inflamasi mempunyai 2 tujuan yang utama: 1)

meringankan rasa nyeri, yang seringkali merupakan gejala awal yang terlihat dan

keluhan utama yang terus-menerus dari pasien; 2) memperlambat atau (dalam

teori) membatasi proses perusakan jaringan. Glukokortikoid memiliki efek

antiinflamasi dan ketika pertama kali diperkenalkan dianggap sebagai jawaban

terakhir untuk pengobatan artritis yang beradang (Katzung, 2001). Glukokortikoid

bisa mempengaruhi respon peradangan oleh efek vaskularnya. Glukokortikoid

menyebabkan vasokonstriksi bila dioleskan langsung ke pembuluh darah

kemudian menurunkan permeabilitas kapiler (Katzung, 1989).

O

CH3 OH

CH3

OH

C O

CH2OCOCH3

(34)

E. Natrium Lauril Sulfat

Gambar 7. Struktur Natrium Lauril Sulfat

Sodium dodecyl sulphate atau natrium lauril sulfat merupakan surfaktan

anionik yang digunakan secara luas pada formulasi sediaan non parenteral dan

kosmetik. Sodium dodecyl sulphate (SDS) merupakan detergen dan wetting agent

yang efektif dalam kondisi asam atau basa. Digunakan dalam teknik analisis

elektroforesis SDS digunakan untuk analisis protein dan SDS digunakan untuk

meningkatkan selektifitas micellar electrokinetic chromatography (Rowe, 2006).

SDS memiliki kemampuan untuk menginduksi inflamasi pada uji

antiinflamasi menggunakan metode HET-CAM suatu alkaloid dari Adhatoda

vasica Neess. Indikasi terjadi inflamasi adanya pembuluh darah yang membentuk

bintang setelah diamati menggunakan kaca pembesaran (Chakraborty and

Brantner, 2001).

F. Ekstrak

Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi

senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut

yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau

serbuk yang tersisa diperlakukan hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan.

Ekstrak tumbuhan obat yang dibuat dari simplisia nabati dapat dipandang sebagai

bahan awal, bahan antara atau bahan produk jadi. Ekstrak sebagai bahan awal

(35)

diproses menjadi produk jadi. Ekstrak sebagai bahan antara berarti masih menjadi

bahan yang dapat diproses lagi menjadi fraksi-fraksi, isolat senyawa tunggal

ataupun tetap sebagai campuran dengan ekstrak lain. Ekstrak sebagai produk jadi

berati ekstrak yang berada dalam sediaan obat jadi siap digunakan oleh penderita

(Anonim, 2000b).

Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat

aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang

sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau

serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah

ditetapkan (Dirjen POM RI, 1995).

G. Landasan Teori

Inflamasi merupakan respon protektif tubuh terhadap adanya kerusakan

jaringan. Adanya mediator-mediator inflamasi seperti prostaglandin menyebabkan

rasa nyeri pada tubuh yang ditandai dengan adanya dolor, kalor, rubor, tumor dan

functio laesa. Asam arakidonat merupakan komponen normal yang disimpan pada

sel dalam bentuk fosfolipid. Adanya stimulus menyebabkan asam arakidonat

kemudian mengalami metabolisme menjadi dua alur. Alur sikloosigenase yang

membebaskan prostaglandin dan alur lipooksigenase yang membebaskan

leukotrien. Leukotrien dan prostaglandin merupakan mediator nyeri yang

dilepaskan saat terjadi inflamasi (Harrison, 2010)..

Asam ursolat memiliki khasiat seperti sebagai antibakteri,

(36)

anti-angiogenik. Dengan adanya efek antiinflamasi maka asam ursolat

dikembangkan sebagai penyembuh luka dan diharapkan dapat mengatasi efek

inflamasi yang muncul ketika luka terjadi (Liu, 1995).

Asam ursolat sendiri berada dalam berbagai tanaman, salah satunya

adalah rumput mutiara. Guna mendapatkan khasiat penyembuhan luka dari asam

ursolat maka dilakukan ekstraksi dari rumput mutiara dengan menggunakan

etanol.

HETCAM merupakan metode untuk meneliti efek iritasi dari suatu

ekstrak dengan menggunakan Chorio Allantoic Membrane dari embrio ayam.

CAM sendiri merupakan jaringan yang terbentuk setelah 7 hari masa inkubasi

yang terdiri dari chorion dan allantois dimana memiliki lapisan epitelium di

bagian terluar yang melapisi allantois (Wilson and Steck, 2000).

Metode pengujian efek iritasi suatu ekstrak dengan metode HET-CAM

memiliki keuntungan biaya yang rendah, simpel, dapat digunakan untuk skrining

dalam skala besar karena waktu yang dibutuhkan untuk sekali skrining relatif

cepat. Data yang didapat di penelitian ini adalah waktu pertama kali terjadinya

hemoragi, lisis, dan koagulasi yang dirumuskan dalam skor iritasi. Pengamatan

dilakukan selama 300 detik atau 5 menit.

H. Hipotesis

Ekstrak etanol herba rumput mutiara (Hedyotis corymbosa) memiliki

(37)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Merupakan penelitian eksperimental dengan rancangan acak lengkap

pola searah. Penelitian ini termasuk jenis penelitian eksperimental karena

dilakukan manipulasi terhadap subjek uji yaitu dengan pemberian ekstrak rumput

mutiara pada telur atau CAM dengan pemilihan subjek uji secara random atau

acak.

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

a. Variabel bebas

Sebagai variabel bebas dalam penelitian ini adalah: kadar ekstrak

etanol Herba rumput mutiara (Hedyotis Corymbosa).

b. Variabel tergantung

Sebagai variabel tergantung dalam penelitian ini adalah: waktu

hemoragi, waktu hemolisis, waktu koagulasi.

c. Variabel pengacau terkendali

Sebagai variabel pengacau terkendali dalam penelitian ini adalah:

varietas dan pengotor yang berasal dari udara, sterilitas alat, suhu dan

(38)

d. Variabel pengacau tak terkendali

Sebagai variabel pengacau tak terkendali dalam penelitian ini adalah

waktu dan lama pengeringan.

e. Definisi operasional variabel

1) Kadar ekstrak etanol rumput mutiara adalah jumlah ekstrak etanol

rumput mutiara yang terlarut dalam volume tertentu yang digunakan

dalam eksperimen.

2) Skor iritasi adalah nilai yang diperoleh dari perhitungan matematis yang

diperoleh dari data waktu koagulasi, waktu lisis dan waktu hemoragi

dalam detik menurut Spielmann (1995).

3) Inflamasi adalah perubahan pembuluh darah berupa hemoragi, hemolisis

dan koagulasi akibat induksi dari agen inflamasi.

4) Waktu hemoragi adalah pendarahan yang terjadi pada CAM, ditandai

dengan adanya bercak darah pada CAM.

5) Waktu hemolisis adalah pecahnya pembuluh darah pada CAM ditandai

dengan adanya aliran darah yang deras maupun terlihat putusnya

pembuluh darah.

6) Waktu koagulasi adalah penggumpalan protein pada telur akibat agen

penginflamasi yang kuat.

7) Perhitungan IC

50 dilakukan dengan cara analisis regresi linear, dimana

diperoleh melalui hubungan regresi konsentrasi vs persen penghambatan.

Nilai persen penghambatan 50% merupakan konsentrasi IC

(39)

C. Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi herba rumput

mutiara yang didapat disekitar kampus Universitas Sanata Dharma di Paingan,

etanol, telur ayam bebas antibiotik berumur 8-10 hari dari peternakan unggas di

Wirobrajan, aquabidest, SDS, hidrokortison asetat.

D. Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi pinset, pisau

kecil, spuit injeksi 1 ml, alat sokletasi, handycam, membran filter Whatman,

inkubator, rotary vacum evaporator dan seperangkat alat gelas yang lazim

digunakan di laboratorium analisis.

E. Tata Cara Penelitian 1. Deteminasi simplisia rumput mutiara

Determinasi simplisia rumput mutiara dilakukan dengan melihat

tanaman rumput mutiara kemudian dicocokan dengan kunci determinasi yang

ada pada buku Flora of Java volume VI karangan Backer and van den Brink

(1965).

2. Pembuatan serbuk herba rumput mutiara

(40)

b. Pembuatan serbuk. Herba rumput mutiara hasil sortasi dikeringkan di bawah sinar matahari secara tidak langsung. Setelah bahan kering,

diserbuk menggunakan alat serbuk (grinder).

3. Ekstraksi rumput mutiara

Sejumlah 20 g serbuk rumput mutiara dibungkus kertas saring

dimasukan ke alat sokhlet ditambah etanol p.a sampai 3 kali sirkulasi (150 ml)

kemudian dipanaskan sampai filtratnya jernih. Filtrat diuapkan menggunakan

rotary vacuum evaporator dengan pemanas waterbath suhu 700C kemudian

didapatkan ekstrak kental dan dituang ke dalam cawan porselin, kemudian

dikeringkan dengan cara dimasukan oven dengan suhu 500C dan didapatkan

ekstrak kental rumput mutiara.

4. Uji antiinflamasi ekstrak herba rumput mutiara a. Penyiapan telur

Telur ayam ayam kampung yang telah dibuahi dimasukkan dalam

inkubator yang telah dibersihkan terlebih dahulu dengan suhu 37 0C. Pastikan

rongga udara telur berada disebelah atas. Pada hari ke sepuluh telur

diteropong, telur yang tidak dibuahi atau tidak mengandung embrio hidup

dibuang. Rongga udara telur ditandai. Telur yang telah berumur sepuluh hari

kemudian ditimbang dan hanya telur dengan berat 50,0 – 60,0 g yang

digunakan.

b. Pengaturan inkubator telur

Inkubator diatur temperatur dan kelembapan suhu yaitu untuk suhu

(41)

kelembaban inkubator pada bagian bawah inkubator terdapat tampungan air

yang berfungsi untuk mengatur kelembaban inkubator. Air yang digunakan

untuk mengisi tampungan adalah air steril.

c. Pengujian HET-CAM

1. Kelompok perlakuan. Menggunakan lima telur untuk setiap kelompok perlakuan. Kelompok perlakuan dibagi menjadi:

1. Kontrol positif antiinflamasi (Hidrokortison asetat 1 %). Hidrokortison asetat ditimbang seksama kurang lebih sebanyak 0,01 gram

dimasukkan dalam tabung Eppendorf selanjutnya timbang SDS 0,01 gram

dan dimasukkan ke dalam tabung Eppendorf tersebut ditambah dengan

aquabidest steril hingga 1,0 ml.

2. Kontrol negatif (aquabidest). Aquabidest yang digunakan untuk kontrol negatif adalah aquabidest steril. Kemudian aquabidest

ditambahkan dalam tabung Eppendorf hingga volume 1,0 ml.

3. Kontrol positif inflamasi (SDS 1%). Sodium dodecyl sulphate

(SDS) sebanyak ditimbang seksama kurang lebih 0,01 gram kemudian

dilarutkan dengan 1,0 ml aquabidest steril.

(42)

kemudian diencerkan 10 kali lalu ditambah dengan 0,01 g SDS dalam Masing-masing bahan yang telah dibuat kemudian diambil sebanyak 0,2

ml dengan menggunakan spuit. Suntikan pada daerah pada membran yang

dekat dengan pembuluh darah. Amati perubahan pembuluh darah yang

terjadi.

3. Pengamatan. Pengamatan reaksi CAM dilakukan selama 300 detik. Pengamatan dilakukan pada CAM dan dicatat saat timbul

gejala-gejala inflamasi. Gejala-gejala yang diamati adalah hemoragi

(pendarahan), vascular lysis (disintregasi pembuluh darah), koagulasi

(denaturasi protein ekstra dan intra vaskular).

Hemorhage time, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk terjadinya

pendarahan pada CAM dihitung dari saat injeksi. Lysis time, yaitu waktu

yang dibutuhkan untuk terjadinya pendarahan dari pembuluh darah pada

CAM dihitung dari saat injeksi. Coagulation time, yaitu waktu yang

dibutuhkan untuk pembentukan koagulan pada CAM dihitung dari saat

(43)

5. Analisis Hasil

Data yang didapat adalah waktu pertama kali terjadinya hemoragi,

lisis, dan koagulasi. Pengamatan dilakukan selama 300 detik atau 5 menit.

Skor iritasi dihitung dengan mengikuti rumus:

300[IS] = 5[301-H] + 7[301-L] + 9[301-C]

Dimana : IS = skor iritasi

H = waktu mulainya terjadi reaksi hemoragi pada CAM L = waktu mulainya terjadi lisis pembuluh darah pada CAM C = waktu mulai terjadinya koagulan pada CAM

Kriteria iritasi berdasarkan nilai skor iritasi menurut Luepke (1985)

No Skor iritasi HET-CAM Kategori iritasi

1 ≤ 0,9 Tidak mengiritasi 2 1,0 – 4,9 Iritan lemah 3 5,0 – 8,9 Iritan moderat 4 9,0 – 21 Iritan kuat

Data Iritation Score (IS) untuk semua perlakuan dan replikasi diuji

dengan uji Kruskal Wallis, dilanjutkan Mann Whitney dengan tingkat

kepercayaan 95% untuk mengetahui beda tiap perlakuan. Daya antiinflamasi

dilihat dari nilai IC

(44)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Determinasi Simplisia

Dalam pelaksanaan penelitian menggunakan suatu simplisia, langkah

awal yang dilakukan adalah determinasi simplisia. Tujuan dari determinasi

simplisia ini adalah untuk menjamin dan memastikan simplisia yang digunakan

benar-benar simplisia yang dimaksud. Simplisia herba rumput mutiara yang

digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari sekitar kampus Universitas Sanata

Dharma, Yogyakarta. Simplisia herba merupakan keseluruhan bagian tanaman di

atas tanah dari rumput mutiara. Oleh karena itu, simplisia ini dapat digunakan

sebagai pelengkap untuk determinasi sesuai acuan (Backer dan Bakhuizer van den

Brink, 1965) setelah dibandingkan dengan tanaman rumput mutiara asal simplisia

ini. Dari hasil determinasi, telah dibuktikan bahwa tanaman yang digunakan untuk

penelitian adalah rumput mutiara (Hedyotis corymbosa (L.) Lamk.).

Pembuktian dikuatkan dengan surat determinasi tanaman (Lampiran 1)

yang dikeluarkan oleh Laboratorium Kebun Tanaman Obat Fakultas Farmasi

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

B. Pembuatan Serbuk Herba Rumput Mutiara

Herba rumput mutiara yang telah dikumpulkan selanjutnya dilakukan

sortasi kering. Tujuan dari sortasi kering ialah memisahkan simplisia dari material

(45)

tidak baik seperti simplisia ditumbuhi jamur atau membusuk. Kondisi yang tidak

baik dari simplisia dapat mempengaruhi mutu simplisia itu sendiri.

Herba rumput mutiara yang telah lolos sortasi kering selanjutnya

dikeringkan kembali. Tujuan dari pengeringan adalah untuk mengurangi kadar air

yang terkandung dalam herba rumput mutiara. Adanya kandungan air yang cukup

banyak dapat mengakibatkan herba rumput mutiara cepat membusuk karena

proses enzimatis yang berlangsung jika kandungan air dalam simplisia cukup

tinggi. Pengeringan dilakukan dengan cara dimasukan ke dalam oven dengan suhu

600 C hingga herba rumput mutiara menunjukan kerapuhan yang baik yang dapat

untuk dibuat menjadi serbuk.

Simplisia yang telah kering selanjutnya diserbuk menggunakan alat

penyerbuk (grinder). Tujuan dari pembuatan serbuk ialah untuk memperkecil

ukuran simplisia sehingga saat penyarian akan memperluas area spesifik yang

kontak dengan pelarut sehingga diharapkan proses ekstraksi lebih aktivitastif dan

efisien. Semakin kecil ukuran partikel suatu serbuk maka luas area spesifiknya

akan meningkat. Kesempatan partikel untuk terbasahi sempurna akan tinggi tetapi

dalam proses penyarian ukuran partikel serbuk yang terlalu kecil dapat

menyebabkan kohesifitas partikel serbuk meningkat sehingga partikel akan

tersedimentasi di dasar dan hasil proses penyarian akan kurang optimal.

Serbuk simplisia herba rumput mutiara kemudian disimpan dalam wadah

yang kering dan tertutup rapat dengan diberi silica gel untuk mencegah absorpsi

(46)

C. Ekstraksi Serbuk Herba Rumput Mutiara

Serbuk rumput mutiara kemudian diekstraksi dengan metode sokhletasi

dengan suhu 700C dengan penyari etanol 96%. Sokhletasi dipilih karena metode

ini cukup aktivitastif dimana penyarian dilakukan berulang dan dapat menghindari

terjadinya kejenuhan dengan jumlah penyari yang terbatas. Proses ekstraksi ini

dihentikan ketika larutan dalam tabung ekstaksi menjadi bening. Hal ini

menunjukan sudah tidak adanya proses penyarian sehingga sokhletasi dihentikan.

Setelah didapatkan ekstrak rumput mutiara kemudian ekstrak tersebut dikentalkan

dengan rotari vakum evaporator dengan suhu 700C. Rotari vakum evaporator ini

memiliki prinsip kerja menguapkan pelarut dengan menurunkan tekanan dengan

dibantu pompa vakum. Setelah itu kemudian dioven pada suhu 600 C dan didapat

ekstrak rumput mutiara berupa pasta atau berupa ekstrak kental. Tujuan dari

pengentalan ekstrak ini adalah membuang larutan penyari semaksimal mungkin

agar ketika ekstrak diaplikasikan dapat meminimalkan pengaruh dari penyari

terhadap objek uji. Ekstrak yang terbentuk secara organoleptis berwarna hijau

kental dengan aroma khas.

D. Uji HET-CAM

Pada penelitian ini digunakan metode yang disusun oleh Spielmann tanpa

dilakukan modifikasi dimana metode ini memiliki kelebihan:

1. Sederhana, berarti alat dan bahan-bahan yang dibutuhkan tidak

banyak dan perlakuan terhadap telur relatif mudah dilakukan.

2. Cepat, berarti metode ini membutuhkan waktu pengamatan yang

(47)

inflamasi dan aktivitas antiinflamasi dari suatu senyawa dapat segera

teramati.

3. Sensitif, berarti adanya rangsangan inflamasi dari luar akan segera

memberikan respon perubahan pembuluh darah.

4. Relatif murah, berarti terkait dengan penggunaan bahan dan alat yang

tidak banyak sehingga secara ekonomis metode ini relatif murah.

Metode HET-CAM ini selain digunakan sebagai metode pengujian

antiinflamasi dapat juga digunakan dalam simulasi bedah optik, pengujian iritasi,

dan uji anti angiogenesis berkaitan dengan obat antikanker. Metode HET-CAM

yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode berdasarkan Spielmann

(1996) menggunakan embrio telur dengan umur 10 hari dan hasil yang didapat

berupa skor iritasi. Kontrol positif inflamasi menggunakana natrium lauril sulfat

(Sodium Dodesyl Sulfat) sesuai dengan aturan dari National Institute of

Evironmental Health Sciences yakni sebesar 1%.

Uji yang dilakukan dengan menyuntikan sebanyak 200 µ l larutan uji ke

telur berembrio kemudian diamati waktu hemoragi, hemolisis dan koagulasi.

Kemudian hasilnya dihitung menggunakan rumus:

300[IS] = 5[301-H] + 7[301-L] + 9[301-C]

Dimana : IS = skor iritasi

H = waktu mulainya terjadi reaksi hemoragi pada CAM

L = waktu mulainya terjadi lisis pembuluh darah pada CAM

(48)

Dari rumus di atas dapat dilihat perbandingan nilai dari waktu

hemoragi:hemolisis :koagulasi adalah 5:7:9 maka dapat disimpulkan faktor yang

memiliki pengaruh terhadap skor iritasi primer berturut-turut dari yang paling

besar pengaruhnya adalah waktu koagulasi, waktu hemolisis kemudian waktu

hemoragi. Hal ini dapat dirumuskan terjadinya koagulasi dan lisis selalu diawali

dengan hemoragi terlebih dahulu. Begitu pula terjadinya koagulasi juga diawali

hemoragi dan hemolisis baru kemudian terjadi koagulasi.

Uji pertama yang dilakukan adalah kontrol negatif untuk mengetahui

apakah pelarut ini memiliki aktivitas inflamasi yang dapat mempengaruhi

terhadap hasil penelitian. Uji kontrol negatif yang dilakukan dipenelitian ini

adalah aquabidest. Hasil menunjukkan tidak terjadi perubahan pembuluh darah

berarti aquabidest tidak memiliki aktivitas inflamasi.

Sebelum pemberian aquabidest Sesudah pemberian aquabidest Gambar 8. Pemberian kontrol negatif aquabidest

Sebagai kontrol positif inflamasi digunakan SDS 1% dimana setelah

pemberian SDS 1% menunjukan terjadinya inflamasi yaitu perubahan pembuluh

darah pada membran allantoic. SDS 1% dipilih sesuai ketentuan pada

(49)

Identifying Ocular Corrosives and Severe Irritants : Hen’s Egg Test –

Chrioallantoic Membrane Test Method dimana kontrol positif inflamasi yang

digunakan adalah SDS dengan konsentrasi 0,1-1%.

Sebelum pemberian SDS 1% Setelah pemberian SDS 1% Gambar 9. Pemberian kontrol positif inflamasi

Keterangan :  menunjukkan adanya hemoragi dan lisis

Pemberian SDS 1% memberikan aktivitas inflamasi yang ditunjukkan

perubahan pembuluh darah berupa hemoragi dan lisis. Hemoragi ditunjukkan

dengan timbulnya warna merah di dalam membran sedangkan lisis adalah

pecahnya pembuluh darah.

Sebelum pemberian hidrokortison+SDS 1% Sesudah pemberian hidrokortison+SDS 1%

(50)

Pengujian kontrol positif antiinflamasi dilakukan dengan pemberian

hidrokortison asetat. Hidorkortison asetat merupakan obat golongan

glukokortikoid yang akan berikatan dengan protein reseptor menghasilkan

perubahan dalam sintesis protein. Protein inilah yang mengubah fungsi seluler

yaitu aktivitas glukogenesis dan aktivitas antiinflamasi (Anonim, 2000a). Setelah

pemberian hidrokortison asetat ditambah dengan SDS 1% ditunjukan tidak ada

perubahan pembuluh darah. Hal ini berarti aktivitas dari hidrokortison asetat

menghambat respon inflamasi yang ditimbulkan oleh SDS 1%.

Setelah dilakukan pengujian kontrol, pengujian dilanjutkan dengan

pengujian larutan uji berbagai tingkat konsentrasi ke CAM. Konsentrasi yang

digunakan 150 µg/ml, 300 µg/ml dan 600 µg/ml. Setelah dipaparkan pada CAM

kemudian dilakukan pengamatan seperti pada kontrol yaitu selama 300 detik dan

dicatat waktu hemoragi, hemolisi dan koagulasi yang kemudian dihitung skor

(51)

Berikut ini merupakan hasil dari perlakuan pada berbagai tingkat

konsentrasi:

Tabel I. Tabel Hasil Perlakuan Pemberian Ekstrak Herba Rumput Mutiara Konsentrasi

ekstrak Sebelum Sesudah

150 (µg/ml)

Ket :  lisis

300 (µg/ml)

Ket :  lisis, hemoragi

600 (µg/ml)

Dapat dilihat pada konsentrasi 150 µg/ml masih terlihat adanya darah

yang keluar cukup besar ditandai dengan adanya lisis pembuluh darah dan bercak

darah yang cukup banyak pada CAM. Kemudian pada konsentrasi 300 µg/ml

(52)

menunjukan sudah berkurangnya inflamasi dibanding dengan konsentrasi 150

µg/ml. Pada konsentrasi 600 µg/ml sudah tidak terjadi hemoragi, ini berarti sudah

tidak ada respon inflamasi pada CAM.

Dokumentasi hasil penelitian memberikan gambaran yang kurang jelas,

hal ini disebabkan karena pencahayaan yang kurang selama pengambilan gambar.

Pencahayaan yang baik didapat dengan melakukan pencahayaan dari bawah

cangkang telur sehingga ketika gambar diambil pada bagian atas atau pada bagian

permukaan telur didapat gambar yang bagus.

Pada penelitian ini digunakan 3 peringkat konsentrasi yang

masing-masing dilakukan dengan 5 replikasi. Hasil skor iritasi yang didapat kemudian

dikategorisasi seperti pada tabel 2.

Tabel II. Hasil Skor Iritasi Dari Telur Dengan Pemberian Perlakuan

No. Kelompok perlakuan Irritation score Kategori iritasi

1. Telur+Aquabidest 0 ± 0 Tidak mengiritasi 2. Telur+SDS 1% 10,5 ± 2,3 Iritasi kuat 3. Telur+SDS 1%+Hidrokortison 0 ± 0 Tidak mengiritasi 4. Telur+SDS 1%+Ekstrak 150µg/ml 8,7 ± 0,7 Iritasi sedang 5. Telur+SDS 1%+Ekstrak 300µg/ml 4,9 ± 1,0 Iritasi lemah 6. Telur+SDS 1%+Ekstrak 600µg/ml 0 ± 0 Tidak mengiritasi Keterangan :

Score pada HET-CAM Kategori iritasi

1. 0 – 0,9 Tidak mengiritasi atau praktis tidak mengiritasi 2. 1 – 4,9 Iritasi lemah

3. 5 – 8,9 atau 5 – 9,9 Iritasi sedang 4. 9 – 21 atau 10 – 21 Iritasi kuat

(Cazedey, Carvalho, Fiorentino, Gremião, Salgado, 2009).

Hasil penelitian menunjukkan SDS 1% memberikan aktivitas inflamasi

(53)

konsentrasi 600 µg/ml menunjukan penghambatan terhadap inflamasi yang paling

baik terlihat dengan tidak terjadinya inflamasi.

Hasil skor iritasi kemudian dibuat box plot hubungan antara perlakuan

dan hasil iritasi skor yang didapat seperti pada gambar 11.

Gambar 11. Hubungan perlakuan vs irritation score

Dari diagram di atas dapat dilihat skor iritasi menurun seiring dengan

peningkatan dosis ekstrak yang diberikan. Pada perlakuan SDS 1% terlihat box

plot pada 10,5 ± 2,3. Pada konsentrasi 150 µg/ml sudah menunjukan adanya

penghambatan inflamasi akan tetapi sangat kecil ditunjukan adanya penurunan

(54)

menghambat terjadinya inflamasi dengan baik dan setara dengan hidrokortison

asetat ditunjukan dengan box plot mendekati 0.

E. Uji Kruskal Wallis Dan Mann Whitney

Data irritation score yang didapat kemudian diolah menggunakan

metode statistik kruskal-wallis untuk mengetahui apakah ada perbedaan irritation

score tiap perlakuan. Dari hasil kruskal wallis didapat nilai α=0,000 dimana nilai

ini α <0,005. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan setidaknya ada dua kelompok

memiliki hasil irritation score yang berbeda bermakna. Kemudian setelah uji

Kruskal-wallis dilakukan uji post hoc yaitu uji Mann Whitney untuk mengetahui

perbedaan antar kelompok perlakuan.

Hasil uji Mann Whitney disajikan dalam tabel III.

Tabel III. Hasil Uji Mann Whitney

Perlakuan TA TSDS THDK TE150 TE300 TE600 TSDS : Telur + SDS 1% btb: berbeda tidak bermakna (p>0,05) THDK : Telur + Hidrokortison asetat + SDS 1%

TE150 : Telur + ekstrak herba rumput mutiara 150µg/ml + SDS 1% TE300 : Telur + ekstrak herba rumput mutiara 300µg/ml + SDS 1% TE600 : Telur + ekstrak herba rumput mutiara 600µg/ml + SDS 1%

Nilai skor iritasi pada perlakuan kontrol positif inflamasi (SDS)

(55)

p<0,05 yang berarti skor iritasi antara kedua perlakuan berbeda signifikan secara

statistik.

Pada tabel di atas dapat dilihat skor iritasi antara perlakuan SDS dengan

perlakuan konsentrasi 150 µg/ml memiliki nilai p>0,05, yang berarti skor iritasi

yang dihasilkan dari kedua perlakuan tersebut berbeda namun tidak signifikan

secara statistik.

Perbedaan skor iritasi antara perlakuan SDS dengan 300 µg/ml memiliki

nilai p<0,05 yang berarti pada konsentrasi 300 µg/ml menunjukan penurunan skor

iritasi yang signifikan secara statistik dibandingkan dengan kontrol positif

inflamasi.

Pada perlakuan 600 µg/ml menunjukan penurunan skor iritasi secara

signifikan dibandingkan dengan kontrol positif inflamasi SDS. Penurunan skor

iritasi pada perlakuan 600 µg/ml merupakan yang paling baik dari ketiga

konsentrasi lainnya.

Pada perlakuan kontrol positif antiinflamasi yaitu hidrokortison asetat

dibandingkan dengan perlakuan 600 µg/ml memiliki nilai p>0,05. Hal ini berarti

skor iritasi antara kedua perlakuan berbeda tidak bermakna secara statistik. Dapat

dikatakan bahwa konsentrasi ekstrak 600 µg/ml memiliki aktivitas penghambatan

terhadap inflamasi setara dengan hidrokortison 1 %.

Pada konsentrasi 150 µg/ml dan 300 µg/ml nilai dari skor iritasi yang

dihasilkan dibandingkan dengan kontrol positif antiinflamasi memiliki nilai yang

lebih rendah dan menghasilkan p>0,05 yang berarti nilai skor iritasi berbeda

(56)

kedua konsentrasi masih lebih rendah dari kontrol positif antiinflamasiyaitu

hidrokortison asetat.

F. Penentuan IC50

PenentuanIC50menggunakanregresilinear yaitu dengan menghubungkan

konsentrasi ekstrak herba rumput mutiara dengan persentase penghambatan

inflamasi. Hubungan konsentrasi vs persentase penghambatan inflamasi sehingga

diperoleh hubungan kurva regresi linear. Persentase penghambatan dihitung

dengan cara:

ℎ = 100%

Keterangan:

ISK: skor iritasi kelompok perlakuan kontrol positif inflamasi

ISP: skor iritasi kelompok perlakuan berbagai konsentrasi ekstrak

Berikut adalah persen penghambatan dari tiap konsentrasi perlakuan:

Tabel IV. Skor Iritasi dan Persen Penghambatan

Perlakuan Skor Iritasi Persen penghambatan

Kontrol positif inflamasi (SDS 1%) 10,5 -

Konsentrasi 150 µg/ml 8,7 17,1%

Konsentrasi 300 µg/ml 4,9 53,3%

Konsentrasi 600 µg/ml 0 100%

Kemudian persen penghambatan yang didapat dibuat regresi linear antara

konsentrasi ekstrak dan persen penghambatan sehingga didapatkan persamaan

y=0,1803x-6,1905 dengan nilai r=0,9872. Persen penghambatan meningkat

seiring meningkatnya konsentrasi ekstrak hingga pada konsentrasi 600 µg/ml

(57)

Gambar 12. Kurva persentase penghambatan vs konsentrasi

Menggunakan kurva hubungan konsentrasi vs persentasi penghambatan

dapat ditentukan IC50 dari ekstrak herba rumput mutiara yaitu dengan mencari

nilai penghambatan 50% dari persamaan tersebut. IC50 ekstrak herba rumput

mutiara untuk antiinflamasi adalah 311,65 µg/ml

(58)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Ekstrak herba rumput mutiara memiliki daya antiinflamasi dengan nilai

IC50 sebesar 311,65 µg/ml

B. Saran

4. Perlu dilakukan penataan cahaya yang lebih optimal untuk dokumentasi hasil

sehingga diperoleh data-data dokumentasi yang lebih baik.

5. Perlu dilakukan uji inflamasi pada hewan uji sebagai tindak lanjut dari data

(59)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1996, Kamus Saku Kedokteran Dorland, 556, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta

Anonim, 2000a, Informatorium Obat Nasional Indonesia, 271-272, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta

Anonim, 2000b, Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat, 5, 13, 17 Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta

Anonim, 2003, Egg and Embryo Development,http://www.enchantedlearning.com / subjects/birds/info/chicken/egg.shtml diakses tanggal 9 April 2010

Anonim, 2006, Background Review Dokument Current Status of In Vitro Test Methods for Identifying Ocular Corrosives and Severe Irritants : Hen’s

Egg Test – Chrioallantoic Membrane Test Method, 6, National Institute of

Evironmental Health Sciences

Anonim, 2009, HerbEx Centella ExtractTM, http://www.biospectrum.com/, diakses tanggal 29 Agustus 2009

Anonim, 2010, Sumber: http://ccrcfarmasiugm. wordpress.com/ ensiklopedia/ ensiklopedia-tanaman-anti-kanker/r/rumput-mutiara/ diakses tanggal 20 Januari 2011

Anonim, 2011, Sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/ursolic_acid diakses tanggal 20 Januari 2011

Alawiyah, Lusiana, 2007, Ekstrak Etanol Rumput Mutiara (Hedyotis corymbosa(L.) Lam.) sebagai Antihepatotoksik pada Tikus Putih yang Diinduksi Parasetamol, skripsi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Backer, C. A., and van der Brink Jr, R.C.B., 1965, Flora of Java (Spermatophytes

Only), Vol.VI, N.V.P. Noordhoff-Groningen-The Netherlands,

Netherlands

Bedoui, S., Velkoska, E., Bozinovski, S., Jones, J.E., Anderson, G.P., and Morris, M.J., 2005, Unaltered TNF-α Production by Macrophages and Monocytes in Diet-Induced Obesity in The Rat, Journal of Inflammation

2:2, 1-8

Cardenaz, C., Quesada, A.R., and Medina M.A., 2004, Effects of ursolic acid on

different steps of the angiogenic process, 402, Biochemical and

(60)

Chakraborty, A., and Brantner, A.H., 2001, Study of Alkaloids from Adhatoda vasica Nees on their Antiinflammatory Activity, Phytother Res, 15, 532-534

Cazedey, E.C.L., Carvalho, F.C., Fiorentino, F.A.M, Gremião, M.P.D.G., Salgado, H. R.N., 2009, Corrositex®, BCOP and HET-CAM as Alternative Methods to Animal Experimentation, Braz J Pharm Sci, Vol 45, n.4, 759-766

D’Arcy, P.F. and Howard, E.M., 1966, A New Anti-inflammatory Test, Utilizing The Chorio-allantoic Membrane of The Chick Embryo, Br J Pharmacol

Chemother, 29, 378-387

Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan RI, 1995, Farmakope

Indonesia, jilid IV, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta,

pp 7.

Harrison, J.H., 2010, The Respon to Injury: Acute and Chronic Inflammation, http://www.mcl.tulane.edu/classware/pathology/medical_pathology/inflam mation/inflammation.swf, diakses tanggal 8 April 2010

Hayes, A. Wallace, 2001, Principle and Methods of Toxicology, fourth

edition,878-879, 895-896, Taylor and Francis, USA

Hyun, S.K., Hideo, N., Susumu, T., 1973, Rebound of Rat Carrageenin Granuloma Following Cessation of Anti-inflammatory Strroid Therapy,

Biochem Pharmacol, Vol 23, Issue 2, 381-387

Ikeda, Yasutaka, et al., 2007, Ursolic Acid: An Anti- and Pro-Inflamatory

Triterpenoid, Japan

Liu, J., 1995, Journal of Ethnopharmacology : Pharmacology of Oleanolic acid

and Ursolic acid, pp.49,57-68.

Luepke N. 1985. Hen's egg chorioallantoic membrane test for irritation potential.

Food Chem Toxic 23:287-291.

Katzung, B.G., 1989, Farmakologi Dasar and Klinik edisi III, 539, Buku Kedokteran EGC, Jakarta

Katzung, B.G., 2001, Farmakologi Dasar dan Klinik, 449-450, Salemba Medika, Jakarta

Konno K, Hirayama C, Yasui H, and Nakamura M. 1999. Enzymatic Activation of

(61)

Privet Tree. National Institute of Sericultural and Entomological Science. Ibaraki Japan.

Leng, T., Miller, J., M., Bilbao, K., Palanker, D., Huie, P., Blumenkranz, M., 2004, The Chick Chorioallantoic Membrane as a Model Tissue for

Surgical Retinal Research and Simulation, Retina, The Journal of Retinal

and Vitreous Diseases, volume 24, number 3

Mansjoer, S., 2003, Mekanisme Obat Anti Radang, library.usu.ac.id, Diakses pada tanggal 5 Juli 2011

Pearson, N.M., 2010, Acute Inflammation, www.homepage.montana.edu/~awmsg/ Acute%2520 Inflammation.ppt, diakses tanggal 19 April 2011

Peng, J.N., Feng, X.Z., Li, G.Y., and Liang, X.T., 1997, Chemical Investigation of Genus Hedyotis Identification of Iridoids from Hedyotis Chrysotricha.

Yao Xue Xue Bao. 12:908-913.

Peng, I.N., Feng, X.Z. and Liang, X.T., 1999, Two New Iridoids from Hedyotis Chrysotricha. J, Nat Prod 4: 611-612.

Ribatti, D., Vacca, A., Roncali, L., and Dammacco, F., 2000, The Chick Embryo Chorioallantoic Membrane as a Model for in Vivo Research on Anti-Angiogenesis.

Schuppan, D., Dong Jia, I., Brinkhaus, B., and Hahn, E.G., 1999, Herbal Product for Liver Diseases: a Therapeutic Challenge for the New Millennium.

Hepatology. 4: 1099-1104.

Spielmann H, 1995, HET-CAM Test. In: Methods in Molecular Biology Vol 43. In Vitro Toxicity Testing Protocols. (O'Hare S, Atterwill C, eds). Totowa:Hunana Press, 199-204.1996. Results of a validation study in

Germany on two in vitro alternatives to the Draize eye irritation test,

HET-CAM test and the T3 NRU cytotoxicity test. ATLA 24:741-858.

Rowe, R.C., Sheskey, P.J., Owen, S.C., 2006, Handbook of Pharmaceutical Excipients fifth edition, 687, Pharmaceutical Press and American Pharmacists Association, USA

(62)
(63)
(64)

Lampiran 2. Penimbangan bahan

SDS 1 % untuk ekstrak herba rumput mutiara

Gelas arloji 13,8002 14,3021 13,6219 14,1131 Gelas arloji + zat 13,8005 14,4524 13,7719 14,2634 Gelas arloji + sisa 13,6502 14,3022 13,6219 14,1132 Zat 0,1503 0,1502 0,1500 0,1502

SDS 1 % untuk ekstrak herba rumput mutiara

Bobot (g) Konsentrasi Ekstrak Herba Rumput

mutiara

150 μg 300 μg 450 μg 600 μg

(65)

Replikasi 3

SDS 1 % untuk ekstrak herba rumput mutiara

Gelas arloji 13,8002 14,3021 13,6219 14,1131 Gelas arloji + zat

13,8002 14,4524 13,7722 14,2633

Gelas arloji + sisa 13,6502 14,3022 13,6219 14,1132 Zat 0,1500 0,1502 0,1503 0,1501

SDS 1 % untuk ekstrak herba rumput mutiara

(66)

Replikasi 5

SDS 1 % untuk ekstrak herba rumput mutiara

Gelas arloji 13,8002 14,3021 13,6219 14,1131 Gelas arloji + zat

13,8003 14,4523 13,7722 14,2634

Gelas arloji + sisa

13,6502 14,3022 13,6219 14,1132

Zat 0,1501 0,1501 0,1503 0,1502

(67)

Lampiran 3. Penghitungan Irritation Score

= ( ) 5 + ( ) 7 + ( ) 9

Hemorrhage time : waktu terjadi hemoragi dalam satuan detik

Lysis time : waktu terjadi lisis dalam satuan detik

Coagulation time : waktu terjadi koagulasi dalam satuan detik

(68)

e. Replikasi 5

= ( ) 5 + ( ) 7 + ( ) 9

= ( ) 5 + ( ) 7 + ( ) 9

= 0

2. Telur + Hidrokortison asetat + SDS 1%

a. Replikasi 1

= ( ) 5 + ( ) 7 + ( ) 9

= ( ) 5 + ( ) 7 + ( ) 9

= 0

b. Replikasi 2

= ( ) 5 + ( ) 7 + ( ) 9

= ( ) 5 + ( ) 7 + ( ) 9

= 0

c. Replikasi 3

= ( ) 5 + ( ) 7 + ( ) 9

= ( ) 5 + ( ) 7 + ( ) 9

= 0

d. Replikasi 4

= ( ) 5 + ( ) 7 + ( ) 9

= ( ) 5 + ( ) 7 + ( ) 9

(69)

e. Replikasi 5

= ( ) 5 + ( ) 7 + ( ) 9

= ( ) 5 + ( ) 7 + ( ) 9

= 0

3. Telur + SDS 1%

a. Replikasi 1

= ( ) 5 + ( ) 7 + ( ) 9

= ( ) 5 + ( ) 7 + ( ) 9

= 8,89

b. Replikasi 2

= ( ) 5 + ( ) 7 + ( ) 9

= ( ) 5 + ( ) 7 + ( ) 9

= 8,45

c. Replikasi 3

= ( ) 5 + ( ) 7 + ( ) 9

= ( ) 5 + ( ) 7 + ( ) 9

= 10,02

d. Replikasi 4

= ( ) 5 + ( ) 7 + ( ) 9

= ( ) 5 + ( ) 7 + ( ) 9

(70)

e. Replikasi 5

= ( ) 5 + ( ) 7 + ( ) 9

= ( ) 5 + ( ) 7 + ( ) 9

=10,57

4. Telur + ekstrak 150μl + SDS 1%

a. Replikasi 1

= ( ) 5 + ( ) 7 + ( ) 9

= ( ) 5 + ( ) 7 + ( ) 9

= 7,84

b. Replikasi 2

= ( ) 5 + ( ) 7 + ( ) 9

= ( ) 5 + ( ) 7 + ( ) 9

= 8,55

c. Replikasi 3

= ( ) 5 + ( ) 7 + ( ) 9

= ( ) 5 + ( ) 7 + ( ) 9

= 8,76

d. Replikasi 4

= ( ) 5 + ( ) 7 + ( ) 9

= ( ) 5 + ( ) 7 + ( ) 9

(71)

e. Replikasi 5

= ( ) 5 + ( ) 7 + ( ) 9

= ( ) 5 + ( ) 7 + ( ) 9

=9,67

5. Telur + ekstrak 300μl + SDS 1%

a. Replikasi 1

= ( ) 5 + ( ) 7 + ( ) 9

= ( ) 5 + ( ) 7 + ( ) 9

= 4,20

b. Replikasi 2

= ( ) 5 + ( ) 7 + ( ) 9

= ( ) 5 + ( ) 7 + ( ) 9

= 4,45

c. Replikasi 3

= ( ) 5 + ( ) 7 + ( ) 9

= ( ) 5 + ( ) 7 + ( ) 9

= 5,48

d. Replikasi 4

= ( ) 5 + ( ) 7 + ( ) 9

= ( ) 5 + ( ) 7 + ( ) 9

Gambar

Tabel I.  Tabel hasil perlakuan ............................................................
Gambar 1. Respon tubuh terhadap antigen dan kerusakan jaringan
Gambar 2. Biosintesis prostaglandin (Harrison, 2010).
Gambar 3. Rumput mutiara
+7

Referensi

Dokumen terkait

Peningkatan konsentrasi isolat aktif dari ekstrak kloroform rumput mutiara. diduga dapat menurunkan pertumbuhan sel Hela

Hasil uji toksisitas fraksi-fraksi hasil fraksinasi dari fraksi larut etil asetat ekstrak kloroform rumput mutiara terhadap A.. Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa fraksi

“ PERTUMBUHAN DAN KANDUNGAN URSOLIC ACID RUMPUT MUTIARA ( HEDYOTIS CORYMBOSA ) PADA BERBAGAI FREKUENSI PENYIRAMAN DAN DOSIS PUPUK ORGANIK CAIR ” ini tidak terdapat karya

Salah satu tanaman yang telah dikenal luas adalah herba Hedyotis corymbosa atau dikenal sebagai Rumput Mutiara dapat digunakan dalam kemoterapi kanker payudara...

Berdasarkan hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa ekstrak etanol herba rumput mutiara tidak mempunyai efek sitotoksik terhadap HeLa cell line. Kata kunci : Herba Rumput mutiara,

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi proses digesti herba rumput mutiara yang dapat memberikan kadar triterpen total yang optimal pada level yang

Pada penelitian ini telah dilakukan uji efek analgesik dari bahan alam kombinasi Ekstrak Tapak Liman ( Elephantopus scaber L ) dan Rumput Mutiara ( Hedyotis corymbosa L )

Disimpulkan bahwa rumput mutiara ( Hedyotis corymbosa ) memiliki kemampuan untuk menghambat pertumbuhan mikroba yang dapat menyebabkan penyakit pada ternak unggas,