• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranan kursus persiapan perkawinan terhadap kesadaran akan tanggung jawab calon pasangan suami-istri dalam membangun keluarga Kristiani di Kevikepan Daerah Istimewa Yogyakarta - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Peranan kursus persiapan perkawinan terhadap kesadaran akan tanggung jawab calon pasangan suami-istri dalam membangun keluarga Kristiani di Kevikepan Daerah Istimewa Yogyakarta - USD Repository"

Copied!
162
0
0

Teks penuh

(1)

PERANAN KURSUS PERSIAPAN PERKAWINAN TERHADAP KESADARAN AKAN TANGGUNG JAWAB

CALON PASANGAN SUAMI-ISTRI

DALAM MEMBANGUN KELUARGA KRISTIANI DI KEVIKEPAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Oleh

Martinus Mujijayanto NIM: 071124003

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

iv

PERSEMBAHAN

Skripsi ini dipersembahakan kepada

(5)

v MOTTO

“Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.”

(6)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 30 Agustus 2012 Penulis,

(7)

vii

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama : Martinus Mujijayanto

NIM : 071124012

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, penulis memberikan wewenang bagi Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah penulis yang berjudul

PERANAN KURSUS PERSIAPAN PERKAWINAN TERHADAP

KESADARAN AKAN TANGGUNG JAWAB CALON PASANGAN SUAMI-ISTRI DALAM MEMBANGUN KELUARGA KRISTIANI DI KEVIKEPAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian penulis memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin maupun memberikan royalti kepada penulis, selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini penulis buat dengan sebenarnya.

Yogyakarta, 30 Agustus 2012 Yang menyatakan,

(8)

viii ABSTRAK

Judul skripsi PERANAN KURSUS PERSIAPAN PERKAWINAN

TERHADAP KESADARAN AKAN TANGGUNG JAWAB CALON

PASANGAN SUAMI-ISTRI DALAM MEMBANGUN KELUARGA

KRISTIANI DI KEVIKEPAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA dipilih berdasarkan pada fakta bahwa kehidupan keluarga kristiani sedang mengalami banyak tantangan dan persoalan yang mengakibatkan kurang harmonisnya kehidupan berkeluarga. Pada kenyataannya, peran keluarga dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya masih mengalami kendala dan hambatan. Karena belum mendapatkan bekal atau persiapan sebelum memasuki jenjang pernikahan, banyak pasangan yang akhirnya mengalami kebingungan dan bahkan sampai pada situasi kritis yang berakhir pada rusaknya relasi suami-istri. Bertitik tolak pada kenyataan tersebut, maka skripsi ini dimaksudkan untuk membantu para keluarga kristiani di Kevikepan Daerah Istimewa Yogyakarta dalam menghadapi situasi, tantangan dan persoalan hidup berkeluarga.

Persoalan pokok pada skripsi ini adalah bagaimana mempersiapkan keluarga-keluarga katolik sedini mungkin dalam menghadapi situasi dan tantangan zaman sekarang ini yang semakin menjauhkan diri dari cara hidup keluarga yang harmonis. Untuk mengkaji masalah ini diperlukan data yang akurat. Oleh karena itu dibagikan kuesioner kepada para calon keluarga muda atau peserta kursus persiapan perkawinan untuk memperoleh data dimaksud. Selain itu studi pustaka juga diperlukan untuk membantu memperoleh pemikiran-pemikiran guna direfleksikan, sehingga diperoleh gagasan-gagasan untuk mempersiapkan dan membangun hidup keluarga yang dicita-citakan.

(9)

ix ABSTRACT

The title of this thesis is THE ROLE OF MARRIAGE PREPARATION

COURSE TOWARD IN AWARENESS OF RESPONSIBILITY OF

CANDIDATES OF MARRIAGE COUPLE IN BUILDING CHRISTIAN FAMILY IN APOSTOLIC VICARIATE OF YOGYAKARTA. It was chosen based on the fact of Christian families life of the present moment which is facing many challenges and problems are lack of family life harmony. In fact, the role of the family in carrying out their duties and responsibilities is still having problems and obstacles. Since having not enough or preparation before marriage, many couples eventually experience confusion and even leat to the critical situation that have ended in the destruction of the relationship of husband and wife. Based on the fact, this thesis is intended to assist Christian families in Apostolic Vicariate of Yogyakarta in facing the situation, challenges and problems of family life.

The key issue in this thesis is how to prepare Catholic families as early as possible in facing the increasingly situations and challenges of today. Therefore the questionnaires were distributed to prospective young family or marriage preparation course participants to acquire the data needed. Literary study was also needed to help getting the ideas for reflection, to obtain ideas for preparing and building a family life that aspired.

(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kepada Allah Bapa, Putra dan Roh Kudus yang selalu menyertai dan menuntun pikiran, hati juga hidup penulis sampai saat akhir penyelesaian skripsi yang berjudul PERANAN KURSUS PERSIAPAN PERKAWINAN TERHADAP KESADARAN AKAN TANGGUNG JAWAB CALON PASANGAN SUAMI-ISTRI DALAM MEMBANGUN KELUARGA KRISTIANI DI KEVIKEPAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA.

Skripsi ini lahir dari suatu keprihatinan atas keluarga-keluarga katolik yang mengalami banyak permasalahan sehingga berujung pada perceraian. Sikap penyelesaian masalah yang mereka ambil belum memberikan solusi atas permasalahan mereka. Selain itu persiapan yang mereka terima masih belum cukup untuk bekal membangun hidup berkeluarga. Kurangnya perhatian dan ego yang tinggi menyebabkan relasi antara pasangan suami-istri menjadi renggang. Hidup berkeluarga tidak berhenti pada prosesi sakramental di Gereja saja, namun terus berkelanjutan dan harus terus menerus dipupuk sehingga keluarga menjadi rumah yang nyaman bagi semua yang tinggal di dalamnya dan yang ada di sekitarnya.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini dapat terselesaikan berkat keterlibatan berbagai pihak baik yang langsung maupun yang tidak langsung dengan pendampingan, motivasi, bimbingan serta kritik yang membangun. Maka dari itu penulis mengucapkan banyak terimakasih dan penghargaan yang tulus kepada:

(11)

menyelesai-xi kan skripsi ini.

2. Bapak Yoseph Kristianto, SFK, M.Pd., selaku dosen pembimbing utama, yang selalu mendampingi dan membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 3. Rm. Drs. M. Sumarno Ds., S.J., M.A., selaku dosen Penguji II sekaligus Dosen

Pembimbing Akademik, yang telah memberikan banyak perhatian dan mendukung penulis selama proses belajar di Prodi IPPAK.

4. Ibu Dra. Yulia Supriyati, M.Pd., selaku dosen penguji III, yang telah berkenan mendampingi penulis dalam penelitian serta memberikan semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Segenap Bapak, Ibu, Romo dosen dan seluruh staf karyawan prodi IPPAK Universitas Sanata Dharma yang secara tidak langsung selalu memberikan dorongan dan semangat kepada penulis.

6. Keluarga tercinta Bapak dan Ibu Iyan Paulus, Mujimah Veronika, Renilda Aphua Mujijayanti, Yolanda Atia Handayani yang selalu memberikan penghiburan, doa, semangat dan dorongan dalam menyelesaikan perkuliahan.

7. Angkatan 2007 Prodi IPPAK terkasih yang selalu ada dan berjuang bersama-sama juga memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan perkuliahannya. 8. Dedimus Berangka yang selalu membantu dan mendorong penulis selama proses

pembelajaran di kampus IPPAK.

9. Oktavia Triya Sinta yang selalu mendukung dan memberikan semangat kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.

(12)

xii

mendukung, membantu, menyemangati, menghibur, mengingatkan penulis dalam menjalani studi di kampus IPPAK ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis terbuka akan saran dan kritik yang bersifat membangun demi perbaikan skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang berkepentingan.

Yogyakarta, 30 Agustus 2012 Penulis,

(13)

xiii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI... xiii

DAFTAR SINGKATAN ... xvii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah... 4

C. Tujuan Penulisan... 5

D. Manfaat Penulisan... 5

E. Metode Penulisan... 6

F. Sistematika Penulisan ... 6

BAB II. KELUARGA KRISTIANI DALAM PANDANGAN GEREJA KATOLIK DAN PERSIAPANNYA... 8

A. Keluarga Kristiani Dalam Pandangan Gereja Katolik ... 8

1. Hakikat Perkawinan ... 9

a. Perkawinan merupakan persekutuan hidup dan cinta ... 9

b. Perkawinan merupakan lembaga sosial... 10

c. Perkawinan merupakan lembaga hukum Negara ... 10

d. Perkawinan antara dua orang yang dibaptis merupakan Sakramen ... 10

2. Dasar Perkawinan... 11

(14)

xiv

4. Ciri-ciri Perkawinan Kristiani ... 14

5. Peranan Keluarga Kristiani ... 15

6. Fungsi Keluarga ... 16

7. Tugas Suami-Istri ... 17

8. Tanggung Jawab dalam Membangun Hidup Berkeluarga Kristiani... 19

9. Doa keluarga ... 20

B. Keluarga Bahagia... 20

1. Hubungan Perkawinan yang Ideal... 20

2. Cinta Kasih sebagai Asas dan Kekuatan Persatuan ... 22

3. Kebahagiaan Perkawinan ... 23

C. Konflik Keluarga/Masalah dalam Keluarga ... 25

1. Konflik di Bidang Sosio-Ekonomi... 26

2. Konflik di Bidang Seksualitas... 27

3. Konflik di Bidang Komunikasi ... 28

4. Konflik di Bidang Pendidikan Anak ... 29

D. Kursus Perkawinan ... 31

1. Pengertian Kursus Perkawinan... 34

2. Kepentingan dan Alasan Kursus Persiapan Perkawinan... 35

3. Peran Kursus Persiapan Perkawinan ... 40

4. Tujuan/Manfaat Kursus Perkawinan ... 41

5. Persiapan Perkawinan Berdasarkan Jangka Waktu... 43

6. Berbagai Aspek yang Perlu Disiapkan... 44

7. Materi Kursus Persiapan Perkawinan ... 46

BAB III. PERANAN KURSUS PERSIAPAN PERKAWINAN BAGI CALON PASANGAN SUAMI-ISTRI DALAM MEMBANGUN KELUARGA KRISTIANI DI KEVIKEPAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA ... 58

A. Latar Belakang Penelitian ... 58

B. Metodologi Penelitian ... 60

1. Tujuan Penelitian... 60

(15)

xv

3. Tempat dan Waktu Penelitian ... 61

4. Responden Penelitian ... 62

5. Instrumen Penelitian... 62

6. Variabel Penelitian ... 63

C. Hasil Penelitian ... 64

1. Pandangan Gereja Mengenai Kepentingan dan Peranan Kursus Persiapan Perkawinan ... 64

2. Pemahaman dan Kesadaran akan Tanggung Jawab Para Keluarga Muda Kristiani... 67

3. Persoalan dalam Hidup Berkeluarga dan Pemecahannya ... 69

4. Bahan Pendampingan Lanjutan... 70

D. Pembahasan Hasil Penelitian ... 72

1. Pandangan Gereja Mengenai Kepentingan dan Peranan Kursus Persiapan Perkawinan ... 72

a. Peran Kursus Persiapan Perkawinan terhadap Kehidupan Keluarga Kristiani ... 72

b. Motivasi Mengikuti Kursus Persiapan Perkawinan ... 73

c. Peran Gereja dalam Mendukung Kegiatan Kursus Persiapan Perkawinan ... 74

2. Pemahaman dan Kesadaran akan Tanggung Jawab Para Keluarga Muda Kristiani ... 76

a. Hal Ikwal Keluarga Kristiani... 76

b. Pandangan Pasangan Muda Katolik Terhadap Tanggungjawab Kelurga Kristiani Berkaitan dengan Tugas Sebagai Pasutri ... 78

3. Persoalan dalam Hidup Berkeluarga dan Pemecahannya ... 81

a. Faktor yang Menghambat Pasangan Muda dalam Upaya Membangun Keluarga Kristiani ... 81

b. Faktor yang Mendukung Pasangan Muda dalam Upaya Membangun Keluarga Kristiani ... 82

4. Bahan Pendampingan Lanjutan... 83

a. Bentuk Program Lanjutan Kursus Persiapan Perkawinan yang Diharapkan ... 83

(16)

xvi

BAB IV. USULAN PROGRAM REKOLEKSI PENDAMPINGAN

KELUARGA DI KEVIKEPAN DAERAH ISTIMEWA

YOGYAKARTA ... 87

A. Latar Belakang Program Rekoleksi ... 87

B. Pengertian Program... 88

C. Tujuan Program ... 89

D. Program Rekoleksi... 89

E. Usulan Program Rekoleksi ... 91

F. Satuan Persiapan Kegiatan Rekoleksi... 96

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN... 134

A. Kesimpulan ... 134

B. Saran ... 135

DAFTAR PUSTAKA ... 137

LAMPIRAN... 139

Lampiran 1: Koesioner Penelitian ... (1)

(17)

xvii

DAFTAR SINGKATAN

A. Singkatan Kitab Suci

Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Kitab Suci Perjanjian Baru: dengan Pengantar dan Catatan Singkat. (Dipersembahkan kepada Umat Katolik Indonesia oleh Dirjen Bimas Katolik Departemen Agama Republik Indonesia dalam rangka PELITA IV). Ende: Arnoldus, 1984/1985, hal. 8.

B. Singkatan Dokumen Resmi Gereja

FC :Familiaris Consortio, Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II tentang Peranan Keluarga Kristen dalam Dunia Modern, 22 November 1994. GS :Gaudium Et Spes,Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II tentang Gereja

dalam Dunia Modern, 7 Desember 1965.

C. Singkatan Lain

DIY : Daerah Istimewa Yogyakarta dll : dan lain-lain

dsb : dan sebagainya hal : halaman

(18)

xviii

Kan : Kanon

KB : Keluarga Berencana

KBA : Keluarga Berencana Alamiah LCD :Liquid Crystal Display MAWI : Majelis Waligereja Indonesia ME :Marriage Encounter

(19)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebijakan mewajibkan calon pasangan muda-mudi yang akan menikah mengikuti kursus persiapan perkawinan, merupakan kebijakan yang diberlakukan di keuskupan-keuskupan di Indonesia yang pelaksanaannya diserahkan kepada paroki-paroki setempat. Di beberapa Paroki dalam wilayah kota Yogyakarta telah diterapkan kebijakan bahwa setiap calon pasangan muda-mudi yang akan melangsungkan pernikahan diwajibkan mengikuti kursus persiapan perkawinan dan salah satu penyelenggaranya adalah Kevikepan DIY.

(20)

jawabnya, mengasuh anak, mengatur ekonomi keluarga, dsb. Kursus persiapan perkawinan (kursus persiapan hidup berkeluarga) merupakan salah satu bentuk persiapan jangka pendek. Kursus Persiapan Perkawinan merupakan salah satu syarat untuk memasuki hidup berkeluarga bagi calon pasangan suami-istri katolik. Kursus Persiapan Perkawinan juga berusaha membantu pasangan muda untuk lebih mengenal kekasihnya: latar belakang budaya, pendidikan, usia, status sosial, status ekonomi dan agama. Dengan demikian mereka dapat saling mengenal satu sama lain sebagai pribadi. Pasangan mengetahui harapan kekasih, sifat yang baik dan yang jelek, masa lampau dan cita-citanya sehingga mereka mampu mengatasi persoalan yang ada dan berkomunikasi dalam menentukan masa depan, sebagai satu keluarga Kristiani. Selain itu kursus persiapan perkawinan berusaha membantu calon pasangan untuk mengenal visi mendasar tentang perkawinan katolik, memberikan motivasi kristiani untuk mensukseskan perkawinannya.

(21)

berkeluarga dan juga dapat meningkatkan kesadaran akan tanggung jawabnya dalam membangun keluarga kristiani yang harmonis dan bertanggungjawab. Banyak hal yang masih perlu mereka ketahui khususnya dalam hal kesehatan keluarga dan anak, bagaimana mengatur ekonomi rumah tangga, psikologi, pendidikan anak, komunikasi dalam mengatasi persoalan, dsb. Persaingan di antara saudara kandung, perkawinan yang terancam kerusakan, serta perjuangan anak-anak atau orang tua merupakan manifestasi dari hidup keluarga (Tim Pusat Pendampingan Keluarga “Brayat Minulyo”, 2007: 14). Tidak dipungkiri masalah ekonomi selalu menjadi penyebab terjadinya persoalan dalam keluarga, selain itu kurangnya komunikasi yang baik dengan pasangan juga dapat menyebabkan pertengkaran, kecemburuan yang berakhir pada rusaknya relasi antara pasangan suami dan istri. MAWI 1975 menyebutkan, ekonomi rumah tangga bukanlah tujuan melainkan sarana yang (harus) menunjang dan memungkinkan penghayatan iman (Gilarso, 2011: 152). Yang mau dicapai adalah kesejahteraan bagi semua orang serta peningkatan mutu hidup menurut kehendak Tuhan (Tim Pusat Pendampingan Keluarga “Brayat Minulyo”, 2007: 70).

(22)

berkembang, kesetiaan); perawatan mental, psikis (menyangkut kebutuhan dasar dan perawatan kesehatan); ekonomi dan finansial keluarga; relasi antara suami-istri serta orangtua dan anak-anak, dll.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk mengangkat

judul skripsi PERANAN KURSUS PERSIAPAN PERKAWINAN

TERHADAP KESADARAN AKAN TANGGUNG JAWAB CALON

PASANGAN SUAMI-ISTRI DALAM MEMBANGUN KELUARGA

KRISTIANI DI KEVIKEPAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA. Melalui judul ini, penulis ingin melihat sejauh mana kepentingan dan peranan kursus persiapan perkawinan dalam rangka mempersiapkan para calon pasangan suami-istri untuk memasuki kehidupan berkeluarga dan bagi keluarga-keluarga baru sebagai bekal untuk mempersiapkan diri membangun keluarga Kristiani yang penuh tanggung jawab.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka fokus penulis dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana pandangan Gereja mengenai kepentingan dan peranan Kursus Persiapan Perkawinan bagi calon suami-istri untuk membangun keluarga Kristiani?

2. Bagaimana pemahaman pasangan calon suami-istri mengenai peranannya dalam membangun keluarga kristiani yang harmonis dan bertanggung jawab berdasarkan bekal yang telah mereka terima?

(23)

istri dalam menghadapi permasalahan hidup perkawinan?

4. Materi/bahan apa yang perlu diberikan dalam kursus persiapan perkawinan agar dapat membantu para pasangan suami-istri muda untuk semakin mampu membangun keluarga beriman kristiani yang penuh tanggungjawab?

C. Tujuan Penulisan

Penulisan skripsi ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui pandangan Gereja mengenai kepentingan dan peranan kursus persiapan perkawinan yang diadakan dalam rangka mempersiapkan pasangan muda membangun keluarga beriman Kristiani.

2. Menguraikan pemahaman dan kesadaran akan tanggung jawab para keluarga muda Kristiani untuk membangun keluarga Kristiani yang harmonis melalui Kursus Persiapan Perkawinan.

3. Mengetahui persoalan-persoalan dalam hidup berkeluarga dan menemukan pemecahan atas persoalan itu sebagai bentuk usaha membangun keluarga Kristiani yang harmonis.

4. Memberikan sumbangan materi atau bahan pendampingan lanjutan kepada pasangan suami-istri agar semakin mampu menghayati hidup perkawinannya dengan penuh kesadaran dan tanggungjawab sehingga mampu membangun keluarga Kristiani yang harmonis dan sesuai dengan kehendak Allah.

D. Manfaat Penulisan

(24)

1. Memberikan sumbangan pengetahuan bagi para pendamping kursus persiapan perkawinan dalam memberikan bahan bagi para calon keluarga muda dalam mempersiapkan mereka untuk membangun keluarga Kristianai yang harmonis 2. Bagi para pasangan yang akan menikah, diharapkan dapat dijadikan rujukan

atau referensi dan bahan masukan yang berguna dalam membina keluarga beriman Kristiani.

3. Menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis akan peranan kursus persiapan perkawinan dalam membangun keluarga Kristiani yang bertanggung jawab.

4. Memberikan sumbangan ilmu pengetahuan di bidang perkawinan sehingga membantu keluarga-keluarga muda dalam membangun keluarga Kristiani yang harmonis.

E. Metode Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan penelitian kualitatif dengan metode deskriptif analisis. Metode deskriptif analitis adalah metode yang menggambarkan dan menganalisis data-data yang diperoleh dari hasil penelitian melalui penyebaran angket dan wawancara yang didukung dengan studi pustaka.

F. Sistematika Penulisan

Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai penulisan ini. Penulis akan menyampaikan pokok gagasan sistematika penulisannya sebagai berikut:

(25)

Bab II membahas mengenai peranan kursus persiapan perkawinan dalam mempersiapkan keluarga muda untuk membangun keluarga Kristiani. Bab ini menjelaskan mengenai empat hal. Pertama, keluarga kristiani dalam pandangan Gereja Katolik meliputi hakikat perkawinan, dasar perkawinan, tujuan perkawinan, ciri-ciri perkawinan kristiani, peranan keluarga kristiani, fungsi keluarga, tanggung jawab dalam membangun hidup berkeluarga kristiani, doa keluarga. Kedua, keluarga bahagia meliputi hubungan perkawinan yang ideal, cinta kasih sebagai asas dan kekuatan persatuan, Kebahagiaan Perkawinan. Ketiga, konflik keluarga/masalah dalam keluarga meliputi konflik di bidang sosio-ekonomi, konflik di bidang seksualitas, konflik di bidang komunikasi, konflik di bidang pendidikan. Keempat, kursus perkawinan meliputi pengertian kursus perkawinan, kepentingan dan alasan kursus persiapan perkawinan, peranan kursus persiapan perkawinan, tujuan/manfaat kursus perkawinan, persiapan perkawinan berdasarkan jangka waktu, berbagai aspek yang perlu disiapkan, dan materi kursus persiapan perkawinan.

Bab III menguraikan peranan kursus persiapan perkawinan bagi calon pasangan suami-istri dalam membangun keluarga di Kevikepan Daerah Istimewa Yogyakarta dan penelitian kepada para calon keluarga muda berkaitan dengan peranan kursus persiapan perkawinan untuk persiapan diri dan persiapan membangun kelurga kristiani juga laporan hasil dan pembahasan penelitian.

Bab IV Berisikan usulan progam pendampingan lanjutan berdasarkan hasil penelitian.

(26)

8 BAB II

KELUARGA KRISTIANI DALAM PANDANGAN GEREJA KATOLIK DAN PERSIAPAN

A. Keluarga Kristiani dalam Pandangan Gereja Katolik

(27)

pandangan Gereja Katolik berbicara mengenai hakikat perkawinan, dasar perkawinan, tujuan perkawinan, ciri-ciri perkawinan kristiani, peranan keluarga kristiani, fungsi keluarga, tugas suami-istri, tanggung jawab dalam membangun hidup berkeluarga kristiani, dan doa keluarga.

1. Hakikat perkawinan

Perkawinan adalah persekutuan hidup antara seorang pria dan seorang wanita, atas dasar ikatan cinta kasih yang total, dengan persetujuan bebas dari keduanya yang tidak dapat ditarik kembali, dengan tujuan kelangsungan bangsa, perkembangan pribadi dan kesejahteraan. Perkawinan dapat dipandang dari empat sudut pandang yaitu perkawinan merupakan persekutuan hidup dan cinta, perkawinan merupakan lembaga sosial, perkawinan merupakan lembaga hukum negara, dan perkawinan antara dua orang yang dibaptis merupakan sakramen.

a. Perkawinan merupakan persekutuan hidup dan cinta.

(28)

b. Perkawinan merupakan lembaga sosial

Menurut Gilarso (2011: 10) dalam masyarakat umumnya perkawinan dipandang sebagai satu-satunya lembaga yang mengizinkan persekutuan pria dan wanita, hubungan seks dan mendapatkan keturunan. Maka dari itu perkawinan dilindungi dan diatur oleh hukum adat dan hukum negara. Perkawinan juga melibatkan masyarakat luas, baik sanak-saudara maupun tetangga dan kenalan. Keluarga adalah sel masyarakat, sebab masyarakat ikut ambil bagian dalam urusan perkawinan karena mereka ikut berperan dalam keutuhan kehidupan keluarga.

c. Perkawinan merupakan lembaga hukum negara

Menurut Gilarso (2011: 10) perkawinan adalah ikatan resmi dan harus disahkan. Perkawinan bukan ikatan bebas menurut selera sendiri melainkan soal masyarakat, soal sosial, soal keluarga, dan masa depan bangsa. Maka dari itu negara ikut campur tangan dalam masalah perkawinan warganya. Negara mengatur perkawinan sebagai lembaga hukum resmi.

d. Perkawinan antara dua orang yang dibaptis merupakan sakramen

(29)

berlangsung terus-menerus selama hidup mereka berdua. Maka Tuhan sendiri berkenan hadir di dalam keluarga mereka. Rahmat yang mereka terima adalah rahmat yang menguduskan mereka berdua, rahmat yang menyempurnakan cinta dan mempersatukan mereka, dan rahmat yang membantu dan membimbing mereka dalam hidup berkeluarga, hingga semakin dekat dengan Tuhan.

2. Dasar Perkawinan

Menurut Adi Hardana (2010: 11) dasar dari sebuah perkawinan adalah cinta kasih yang tampak jelas dalam persetujuan bebas dari kedua calon mempelai. Persetujuan bebas dari kedua calon mempelai ini merupakan keputusan yang diambil tanpa adanya paksaan dan sekaligus menjadi prasyarat dari sebuah perjanjian perkawinan yang sah. Menurut Gaudium Et Spes artikel 49 dikatakan bahwa, sabda Ilahi mengundang para mempelai dan suami-istri untuk terus memelihara dan memupuk janji setia dengan cinta yang murni dan perkawinan dengan kasih yang tak terbagi sebab Tuhan sendiri telah berkenan menyehatkan, menyempurnakan, dan mengangkat cinta kasih itu dengan karunia istimewa rahmat dan kasih sayang. Cinta seperti ini memadukan segi manusiawi dan Ilahi, serta mengantarkan suami-istri kepada serah diri bebas dan timbal balik yang dibuktikan dengan perasaan dan tindakan mesra, dengan demikian mereka mampu untuk meresapi seluruh hidup mereka sebagai satu kesatuan di hadapan Allah.

(30)

Penting untuk terus menerus memupuk rasa cinta agar keharmonisan dapat tercapai. Maka keluarga perlu dibangun dengan ikatan penuh cinta kasih sebagai pegangan atau pedoman hidup. Cinta kasih secara istimewa diungkapkan dan disempurnakan melalui tindakan khas dalam hidup perkawinan. Tindakan mesra dan murni yang mempersatukan suami-istri perlu dipandang luhur dan terhormat, tindakan itu menandakan dan memupuk penyerahan diri timbal balik. Kesatuan perkawinan yang dikukuhkan oleh Tuhan tampak dalam kesamaan martabat pribadi antara suami dan istri yang tampil dalam kasih sayang timbal balik dan penuh untuk selamanya. Cinta kasih menjadi dasar perkawinan dan merupakan Rahmat dan kasih sayang Tuhan.

3. Tujuan Perkawinan

Menurut Gilarso (2011: 11-12) perkawinan dapat dilaksanakan dengan tujuan yang berbeda-beda. Tujuan yang layak dikejar oleh suami-istri ialah pengembangan dan pemurnian cinta kasih suami-istri, kelahiran dan pendidikan anak, pemenuhan kebutuhan seksual, dan lain-lain.

a. Pengembangan dan pemurnian cinta kasih suami-istri

(31)

b. Kelahiran dan pendidikan anak

Menurut Gilarso (2011: 11) perkawinan adalah satu-satunya lembaga yang sah untuk pemenuhan keinginan mempunyai anak. Suami-istri yang normal mempunyai kerinduan untuk memiliki keturunan. Perlu disadari bahwa anak adalah anugerah Tuhan. Bila Tuhan belum memberikan anak, perkawinan tidak kehilangan artinya. Menurut Adi Hardana (2010: 14) cinta kasih suami-istri tidak hanya tertuju pada diri mereka sendiri, tetapi juga kepada orang lain dalam hal ini tertuju kepada kelahiran anak. Karena itulah, dengan bantuan rahmat Allah, suami-istri dipanggil oleh Allah untuk bekerja sama dalam penerusan generasi baru dengan sikap keterbukaan untuk menerima karunia (hidup baru) yang diberikan Tuhan.

c. Pemenuhan kebutuhan seksual

Menurut Gilarso (2011: 12) pria dan wanita yang dewasa dan normal merasakan kebutuhan seksual. Kebutuhan itu layak dipenuhi melalui hubungan seks antara suami-istri dalam lembaga perkawinan yang sah. Gereja menolak dengan tegas setiap hubungan seks di luar lembaga perkawinan yang resmi. Itu berarti bahwa persetubuhan diadakan dengan kesadaran dan tanggung jawab penuh, sehingga kebutuhan itu terpenuhi dalam suasana cinta kasih, dan disertai kerelaan untuk menerima hidup baru sebagai hasil perpaduan cinta kasih mereka.

d. Lain-lain

(32)

keamanan; demi ketenangan, nama baik, kerukunan keluarga; jaminan nafkah atau ekonomi, sah dan sehatnya keturunan, dsb.

4. Ciri-ciri Perkawinan Kristiani

Menurut Adi Hardana (2010: 13-14) perkawinan yang baik harus memiliki dan memperjuangkan ciri-ciri seperti monogami, tak-terceraikan, dan Perkawinan sebagai sakramen.

a. Monogami

Menurut Adi Hardana (2010: 13) perkawinan monogami adalah bentuk perkawinan yang diadakan antara satu pria dengan satu wanita, dan sebaliknya. Seorang suami selayaknya hanya mempunyai satu istri, begitu juga dengan istri mempunyai satu suami saja. Jenis perkawinan semacam ini menjamin pemberian cinta yang utuh dan tak terbagi di antara keduanya. Ciri monogami ini menolak perkawinan yang poliandri (satu perempuan dengan dua atau lebih laki-laki) atau poligami (satu laki-laki dengan dua atau lebih perempuan), baik secara hukum maupun moral.

b. Tak-terceraikan

(33)

terceraikan ini mengandung makna lebih dalam yaitu perjuangan untuk memupuk kesetiaan terhadap pasangan dalam segala aspek kehidupan. Perceraian merupakan bukti kegagalan suami-istri dalam mengembangkan cinta yang sejati.

c. Perkawinan sebagai sakramen

Dalam (KHK, kan. 1061) ciri-ciri hakiki (proprietates) perkawinan ialah unitas (kesatuan) dan indissolubilitas (sifat tak-dapat-terputuskan), yang dalam perkawinan kristiani memperoleh kekukuhan khusus atas dasar sakramen. Ciri-ciri hakiki yang menjadi Ciri-ciri khas setiap perkawinan adalah kesatuan (unitas) dan tak-terceraikan (indissolubilitas). Kesatuan atau unitas ini menunjuk unsur unitif dan monogami perkawinan. Menurut Rubiyatmoko (2011: 21) unsur unitif dimaksudkan sebagai unsur yang menyatukan suami-istri secara lahir dan batin. Sedangkan, unsur monogam menyatakan bahwa perkawinan hanya sah jika dilaksanakan hanya antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Menurut Rubiyatmoko (2011: 21) yang dimaksudkan dengan tak-terceraikan atau indissolubilitas adalah bahwa perkawinan yang telah dilangsungkan secara sah menurut tuntutan hukum, mempunyai akibat tetap dan tidak dapat diceraikan atau diputuskan oleh kuasa mana pun kecuali oleh kuasa kematian.

5. Peranan Keluarga Kristiani

(34)

agama (meskipun itu juga penting) tetapi lebih pada sikap atau penghayatan agama, yang diwujudkan dalam usaha untuk menjaga suasana kedamaian, kerja sama dan kerukunan dalam keluarga. Dengan demikian, Tuhan sendiri akan hadir di tengah-tengah keluarga untuk membawa keselamatan dan rahmat-Nya.

6. Fungsi Keluarga

Menurut Konseng & Tukan (1991: 52) fungsi keluarga dibagi menjadi dua bagian yaitu fungsi dasar dan fungsi yang mendesak.

a. Fungsi Dasar

Menurut Konseng & Tukan (1991: 52) dalam masyarakat, keluarga mempunyai fungsi dasar, antara lain sebagai basis dukungan bagi kebutuhan emosional, di mana masing-masing anggota keluarga dapat mengalami kebersamaan hidup, dalam suka dan duka. Bersedia menikmati kegembiraan dan menanggung kesedihan secara bersama-sama. Sebagai tempat di mana masing-masing anggota saling membantu dan memberikan dukungan dalam pengembangan kepribadian. Sebagai basis bagi kelanjutan keturunan, di mana orangtua melahirkan, membesarkan dan mendidik anak. Sebagai tempat bernaung di mana tercipta kondisi bagi perkembangan dan rasa aman. Sebagai basis untuk mempersiapkan anggota-anggota masyarakat yang baik.

b. Fungsi yang Mendesak

(35)

mendesak, antara lain sebagai unit ikatan cinta antara suami dan istri, bapak dan ibu, orangtua dan anak. Sebagai wadah pencipta rasa aman dan rasa diterima bagi masing-masing anggota keluarga. Sebagai wadah di mana masing-masing anggota keluarga menemukan kepuasan hidup yang sangat mendasar dan perasaan bahwa hidupnya punya tujuan. Sebagai wadah penjamin kesinambungan persahabatan. Sebagai wadah pemberi garansi akan identias seseorang dan sosialisasinya dalam masyarakat. Sebagai wadah pengontrol dan penanaman rasa tentang kebenaran bagi masing-masing anggota keluarga.

7. Tugas Suami-istri

Menurut Gilarso (2011: 13) Perkawinan memberi hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu kepada suami dan istri. Suami dan istri Kristiani diberi tugas suci oleh Gereja (dan negara) untuk membangun keluarga penuh cinta kasih, mendidik generasi muda, ikut membangun masyarakat, dan ikut membangun gereja.

a. Membangun keluarga penuh cinta kasih

(36)

b. Mendidik generasi muda

Menurut Gilarso (2011: 14) agar dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, anak-anak perlu bimbingan orang dewasa. Suami-istri hendaknya bersedia dan mampu untuk mendidik generasi muda, terutama anak-anak mereka sendiri. Orangtua adalah pendidik pertama dan utama bagi putra-putrinya terutama berkaitan dengan nilai-nilai dasar (kejujuran, kesopanan, ketulusan, kesabaran, pengampunan, dll); nilai-nilai religius (cinta akan Tuhan dan alam ciptaan-Nya, kebiasaan berdoa, membaca atau merenungkan sabda Tuhan, menghadiri perayaan Ekaristi, penerimaan Sakramen pengampunan, bersyukur kepada Tuhan, serta pasrah pada kehendak-Nya). Demikian juga dalam pendidikan formal, orangtua tetap adalah pendidik pertama dan utama, artinya mereka tidak bisa melepaskan diri dari tangung jawab ini. Orangtua tetap berperan dalam pendampingan anak-anak juga dalam hal pendidikan formal dengan memberikan perhatian, waktu bagi anak-anak, serta mengikuti setiap langkah perkembangan mereka.

c. Ikut membangun masyarakat

(37)

Kristiani ikut ambil bagian dalam membangun masyarakat menjadi masyarakat yang sehat.

d. Ikut membangun Gereja

Menurut Gilarso (2011: 15) umat terdiri dari keluarga-keluarga maka suami-istri Kristiani terpanggil untuk ikut ambil bagian dalam membangun umat (Jemaat). Mereka diharapkan aktif meneguhkan iman mereka sendiri dengan membina hidup rohani keluarganya. Ikut aktif dalam kegiatan umat beriman khususnya di Gereja atau lingkungan, serta mendidik anak-anak dengan contoh atau teladan dan nilai-nilai iman Katolik yang benar. Dengan bertindak demikian, keluarga-keluarga Kristiani akan mampu menjadi saksi Kristus untuk mewartakan injil keselamatan bagi masyarakat sekitarnya sehingga semakin banyak orang yang mendengar, menerima kabar gembira itu dan akhirnya mengimani Kristus sebagai Sang Juru Selamat.

8. Tanggung Jawab dalam Membangun Hidup Berkeluarga Kristiani

(38)

saling pengertian, saling mengampuni, serta saling mendukung satu sama lain dalam hal-hal yang baik akan muncul dalam keluarga.

9. Doa keluarga

Banyak cara yang diusulkan untuk mengatasi konflik dalam keluarga. Semua cara tersebut adalah usaha manusia untuk memperbaiki kehidupan keluarga dengan memakai akal budi yang telah diberikan oleh Tuhan kepada manusia. Namun perlu diperhatikan bahwa perkawinan terjadi antara seorang suami dan seorang istri dalam Tuhan. Akal budi belum mencukupi untuk menyelesaikan konflik keluarga, Kekuatan manusia sangat terbatas. Manusia membutuhkan kekuatan dari luar manusia yaitu Tuhan. Oleh karena itu doa harus menjadi pusat kehidupan keluarga. Keluarga yang selalu berdoa bersama akan tetap hidup bersatu. Orang beriman akan menyelesaikan konflik keluarga dengan terang dari kehendak Allah (Gabriella & Tukan, 1991: 76). Menurut Adi Hardana (2010: 206) doa adalah makanan rohani sehari-hari, maka keluarga perlu memberi tempat dan waktu secukupnya dalam kegiatan sepanjang hari. Masing-masing orang dapat berdoa sendiri-sendiri, tetapi doa bersama mempunyai suatu daya yang lebih di hadapan Tuhan.

B. Keluarga Bahagia

1. Hubungan Perkawinan yang Ideal

(39)

a. Ignorance

Menurut Sidhartani (1985: 35) banyak orang tidak tahu apa yang menyebabkan kebahagiaan. Karena itu pula mereka tidak dapat memberikan kebahagiaan. Ini banyak terjadi, karena hubungan itu hanya terdorong kebutuhan sesaat saja.

b. Konsep/Ide yang utopis

Menurut Sidhartani (1985: 35) banyak orang terpengaruh cerita atau film yang berahir dengan kebahagiaan hidup atau perkawinan “untuk selama-lamanya”. Karena pengaruh itu kebahagiaan perkawinan dianggap bukan merupakan hasil dari sesuatu usaha, tetapi dengan sendirinya (tanpa usaha). Mereka beranggapan bahwa, seiring dengan berjalannya waktu kebahagiaan akan datang dengan sendirinya.

c. Perbedaan kepribadian terlalu menyolok

Menurut Sidhartani (1985: 35) perbedaan kepribadian itu termasuk di dalamnya perbedaan dalam pendidikan, cita-rasa, status-sosial, ekonomis, ras dan agama. Hal ini membuat perbedaan cara pandang dalam penyelesaian masalah maupun dalam pengambilan keputusan. Perbedaan yang terlalu mencolok ini dapat dengan mudah menimbulkan konflik, bahkan masalah-masalah kecil dapat menjadi masalah besar.

d. Kepribadian yang tidak matang

(40)

mempermudah timbulnya konflik dan ketegangan, walaupun sebenarnya persoalan itu tidak perlu menimbulkan ketegangan. Hal ini merupakan akibat dari kepribadian yang tidak matang, sehingga hal kecilpun dipermasalahkan.

Hubungan perkawinan yang ideal tentu saja bebas dari kelemahan-kelemahan di atas. Dalam perkawinan terjadi proses pembauran kepribadian. Dua pribadi atau individu yang berbeda menjadi satu kesatuan. Keduanya akan memiliki perasaan satu, perasaan dimengerti. Perasaan ini lain dari perasaan memiliki. Sebab yang seorang merasa menjadi bagian dari yang lain. Tidak ada rasa ketakutan kehilangan diri sendiri juga kehilangan orang lain. Setiap pihak perlu mementingkan kepentingan yang lain, karena dirinya bukan lagi pribadi sendiri melainkan telah menjadi bagian dari yang lain. Ada keinginan untuk mau berbagi satu sama lain. Ada keterbukaan yaitu tanpa menyimpan atau menyembunyikan sesuatu dari yang lain.

2. Cinta Kasih sebagai Asas dan Kekuatan Persatuan

(41)

persekutuan pribadi. Manusia tidak dapat hidup tanpa cinta tetapi dengan adanya cinta manusia dapat berbagi.

3. Kebahagiaan Perkawinan

Menurut Tukan (1988: 48-50) perkawinan merupakan panggilan dan sebagai panggilan, perkawinan pertama-tama adalah ciptaan Tuhan. Menghayati perkawinan sesuai dengan kehendak Tuhan akan mendatangkan kebahagiaan, berarti kebahagiaan perkawinan tidak datang dengan sendirinya. Ada 6 (enam) kunci yang perlu diperhatikan untuk mencapai kebahagiaan perkawinan yaitu kematangan pribadi, ketaatan, cinta, komunikasi, doa dan Kristus.

a. Kematangan pribadi

Menurut Tukan (1988: 48) kematangan pribadi diungkapkan atau nampak dalam sikap tidak mementingkan diri sendiri, mampu memberikan diri seutuhnya untuk orang lain, terlebih pada pasangannya. Hidup perkawinan adalah suatu dialog, yang di dalamnya terdapat aksi dan reaksi. Semakin luas wilayah kegiatan, makin besar kemungkinan konflik. Hanya mereka yang sudah cukup matang pribadinya dapat mengatasi berbagai konflik dalam hidup perkawinannya.

b. Ketaatan

(42)

Tidak ada yang berkuasa dan tidak ada yang menjadi bawahan, semua adalah sama.

c. Cinta

Menurut Tukan (1988: 49) perkawinan Katolik bukan kontrak hidup bersama dengan syarat-syarat tertentu yang dapat diakhiri jika syarat-syarat itu tidak dapat dipenuhi lagi. perkawinan Kristiani mengungkapkan perjanjian cinta Tuhan kepada manusia. Kita dapat membayangkan betapa gersang dan mengerikan bila perkawinan itu tanpa cinta Kristiani. Apabila itu yang terjadi rumah akan berubah menjadi hotel.

d. Komunikasi

Menurut Tukan (1988: 49) komunikasi merupakan sarana utama dalam usaha membina relasi personal. Apa bila perkawinan dimengerti sebagai “komunitas personal”, maka komunikasi harus dapat tempat yang utama. Pertengkaran mulut dan salah pengertian yang terjadi dalam rumah tangga sering kali terjadi sebagai akibat dari lemahnya komunikasi.

e. Doa

(43)

f. Kristus

Menurut Tukan (1988: 49) Kristus memainkan peranan yang menentukan dalam perkawinan Kristiani. Terlepas dari Dia perkawinan mustahil menjadi “realitas keselamatan”. Bila masing-masing pribadi memelihara relasi yang akrab dengan Kristus dan dengan demikian juga secara bersama-sama mengikat diri pada Kristus, Kristus hadir di sana. Kristus menjadi “Emanuel” dan perkawinan sungguh menjadi komunitas personal, menjadi realitas keselamatan.

Hidup dan cinta merupakan misteri besar dalam hidup setiap orang, sebagai misteri ia tidak akan habis digali. “Dan di atas semuanya itu: kenakanlah Kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan. Hendaklah damai sejahtera Kristus memerintah dalam hatimu, karena untuk itulah kamu telah dipanggil menjadi Satu Tubuh. Dan bersyukurlah” (Kol 3: 14-15).

C. Konflik dalam Keluarga.

(44)

1. Konflik di bidang Sosio-Ekonomi

Menurut Gabriella & Tukan (1991: 68-69) bidang-bidang yang dapat mendatangkan konflik di bidang sosio-ekonomi antara lain: keuangan, perumahan, pekerjaan, waktu luang dan pendidikan anak. Terjadinya konflik karena suami-istri cenderung tidak membicarakan persoalan-persoalan ini secara terbuka seperti masalah keuangan, masalah perumahan, dan masalah pekerjaan.

a. Masalah keuangan

Menurut Gabriella & Tukan (1991: 68) masalah keuangan perlu dibicarakan sungguh-sungguh dengan pasangannya. Apakah pendapatan suami-istri seimbang dengan anggaran pengeluaran keluarga? Apakah suami-istri benar-benar mengetahui tentang anggaran belanja keluarga? Apakah suami-istri telah menetapkan cara-cara untuk mengelola keuangan keluarga? Apakah suami-istri memperhatikan hutang yang belum dilunasi? Apakah suami-istri dapat mengatur cara-cara menyimpan atau menabung uang? Apakah suami-istri telah sepakat tentang cara membantu orang tua, ipar dan sanak saudara lainnya? Apakah suami-istri mampu membedakan secara tajam kebutuhan pokok, kebutuhan tambahan, kebutuhan tak terduga dan dana hari suram?

b. Masalah perumahan

(45)

perlengkapan rumah? Apakah suami-istri memperhatikan ruang “privacy? Membangun rumah idaman membutuhkan perencanaan yang matang, tanpa perencanaa hasilnya tidak akan memuaskan.

c. Masalah pekerjaan

Menurut Gabriella & Tukan (1991: 69) pasangan suami-istri perlu membicarakan mengenai pekerjaan yang akan diambil. Apakah suami-istri telah sepakat dengan tugas dan jabatan masing- masing, tentang kesempatan yang tepat untuk mengunjungi dan menjalin relasi dengan orang lain? Apakah suami-istri merasa aman dalam menjalankan tugasnya? Apakah suami mau menerima dengan iklas bahwa istrinya bekerja? Apabila suami-istri bersedia segera membicarakan masalah tersebut maka konflik dapat dicegah atau dicarikan jalan pemecahannya.

2. Konflik di bidang Seksualitas

(46)

memaafkan satu sama lain, suami-istri saling mengucapkan terimakasih satu sama lain, suami-istri saling menyatakan cinta mereka, suami-istri saling memperbaharui janji perkawinannya, suami-istri saling membangun komunikasi, suami-istri membuat hidup lebih dihayati satu sama lain, suami-istri saling menentramkan dan menolong satu sama lain, suami-istri saling melepaskan kecemasan dan kemarahan mereka dan hubungan seks sebagai cara untuk meneruskan keturunan. Dapat dikatakan bahwa seks dalam perkawinan mempunyai aspek personal, aspek cinta, aspek sosial dan aspek prokreatif.

3. Konflik di Bidang Komunikasi.

Menurut Gabriella & Tukan (1991: 72-73) suami-istri masuk ke dalam perkawinan dengan masing-masing membawa serta latar belakang sosio-kultural dan perbedaan karakteristik. Di sisi lain masalah dari luar keluarga dapat pula mempercepat terjadinya konflik suami-istri seperti pandangan tentang perkawinan dari masyarakat sekitar, pengaruh media massa, masyarakat permisif dan campurtangan famili. Suami-istri dituntut untuk terbuka dan menciptakan waktu untuk membicarakan masalah-masalah tersebut. Supaya komunikasi dapat berhasil, maka suami-istri perlu memperhatikan sepuluh hukum.

a. Sepuluh Hukum untuk Suami

(47)

istri Anda. Keenam, berikan kepada istri anda rasa aman. Ketujuh, perhitungkan arus perasaan istri anda. Kedelapan, selalu bekerjasama denga istri dan anak dalam segala usaha membangun perkawinan. Kesembilan, perhatikan dan penuhi kebutuhan-kebutuhan pribadi istri anda. Kesepuluh, berilah pujian atas pekerjaan yang telah istri anda kerjakan.

b. Sepuluh Hukum untuk Istri

Gabriella & Tukan (1991: 73) ada sepuluh hukum yang perlu diperhatikan oleh istri. Pertama, belajar mencintai suami secara riil. Kedua, tanggalkan impian tentang “perkawinan yang sempurna” dan usahakan “perkawinan yang baik”. Perkawinan yang baik itu berkembang, diasah melalui saat-saat panjang penuh bingung dan kecewa, penyesuaian dan kompromi. Ketiga, perhatikan dan penuhi kebutuhan-kebutuhan pribadi dan unik dari suami anda. Keempat, tinggalkan segala bentuk ketergantungan pada orang tua anda segala macam kritik mereka. Kelima, berikan pujian dan penghargaan sebelum terlambat. Keenam, atasilah rasa memiliki dan cemburu. Ketujuh, sambutlah suami anda dengan kehangatan, bukan dengan keluhan dan tuntutan. Kedelapan, tinggalkan impian anda untuk mengubah suami anda melalui kritikan dan cacian tajam. Kesembilan, tumbuhkembangkan kebanggaan menjadi ratu rumahtangga. Kesepuluh, berdoa-lah mohon kesabaran.

4. Konflik di bidang Pendidikan Anak

(48)

anak? Sebagai manusia dan sebagai orang tua terkadang kita bingung dalam menentukan yang terbaik bagi anak khususnya dalam menentukan pendidikan anak. Kita pasti menginginkan yang terbaik bagi keluarga, namun kita sering kali lupa bahwa standar yang kita tentukan dan harapan kita ke keluarga sering kali salah dan justru mengacaukan semuanya. Banyaknya penawaran program dan informasi tentang sekolah menjadi “angin segar” bagi para orang tua. Dengan mudah orang tua dapat memilih sekolah yang paling sesuai dengan keinginan. Tetapi di balik banyaknya pilihan dengan berbagai macam penawaran program menimbulkan kebingungan bagi orang tua. Orang tua terkadang tanpa disadari memaksakan keinginannya kepada anak. Beberapa hal-hal yang perlu diperhatikan oleh orang tua yaitu apakah suami-istri memiliki minat yang sama dalam pendidikan? Apakah suami-istri mempunyai kesamaan pandangan tentang pendidikan anak? Apakah suami-istri sudah membicarakan tempat pendidikan bagi anak sesuai dengan bakat dan kemampuan anak? Apakah suami-istri telah membicarakan metode dan teknik pendidikan yang memadai bagi anak-anak?

(49)

memang tidak semua masalah akan bisa diatasi secara memuaskan. Oleh karena itu, masa persiapan yang cukup juga akan menentukan. Yang dimaksud adalah masa pacaran sebagai upaya saling mengenal dengan lebih baik. Tanpa hal ini masalah akan terasa lebih berat karena belum sungguh saling mengenal. Selain itu, berhadapan masalah, penyelesaian secara hukum adalah alternatif yang terakhir. Yang lebih penting sebenarnya adalah usaha setiap pihak untuk mau berkomunikasi dan berkompromi. Tentu saja dengan pengandaian bahwa perkawinan adalah sebuah nilai yang patut dipertahankan. Jika tidak ada kemauan untuk berkomunikasi dan berkompromi, sulit dibayangkan langgengnya perkawinan. Dengan berkomunikasi masing-masing pihak mau mengungkapkan keluhan dan harapannya, dan terlebih mau mendengarkan pihak lain. Dengan saling mendengarkan, diharapkan ada upaya pembicaraan untuk mencari titik tengah.

Akhirnya, penting pula ditekankan bahwa perkawinan adalah sebuah perjuangan yang tidak selalu menyenangkan, tetapi justru dalam perjuangan itu nantinya ditemukan kebahagiaan. Perjuangan berdua akan menentukan keberhasilan, dan salah satu kuncinya adalah senantiasa mempertahankan nyala harapan, sekecil apa pun itu. Dengan kata lain, tidak mudah menyerah adalah salah satu kunci.

D. Kursus Persiapan Perkawinan

(50)

keduanya yang tidak dapat ditarik kembali dengan tujuan kelangsungan bangsa, perkembangan pribadi dan kesejahteraan keluarga (Gilarso, 1990: 13). Ajaran Konsili dan para Paus selalu mengingatkan perkawinan sebagai suatu panggilan. Perkawinan adalah sebuah sakramen, artinya menjadi tanda kehadiran Allah yang menyelamatkan. Perkawinan sebagai sakramen berarti bahwa hidup kesatuan suami-istri diserahkan, diselenggarakan dengan rahmat pertolongan Tuhan dan mereka atur sesuai dengan perintah-perintah Tuhan, supaya dipergunakan oleh Tuhan untuk memberikan rahmat dan kasih-Nya kepada orang yang menerima sakramen, Tuhan melindungi dan memberkati perkawinan Katolik (Tim Pusat Pendampingan Keluarga “Brayat Minulyo”, 2007: 18-19).

Kebahagiaan banyak orang sangat ditentukan oleh caranya dan keberhasilannya membina perkawinan. Melalui perkawinan Katolik suami – istri dipanggil untuk menjadi imam, nabi dan raja. Mereka saling menguduskan, saling mewartakan keselamatan satu sama lain dan saling membimbing. Keluarga sebagai bagian dari gereja mempunyai kewajiban untuk mengusahakan agar anak-anak, dan seluruh keluarga memiliki iman yang dalam, yang terwujud di dalam penghayatan hidup sebagai garam dan ragi (Mat 5:13), bahkan meluas di dalam perhatian dan keprihatinan terhadap masalah keluarga dan masalah-masalah sosial umumnya. Oleh karena itu kaum muda harus sungguh dipersiapkan untuk mampu mencintai pasangannya dalam perkawinan dan dengan demikian mereka dapat memikul tanggung jawabnya sebagai suami dan istri serta sebagai orang tua bagi anak-anaknya kelak. Membentuk keluarga membutuhkan suatu persiapan.

(51)

sejak Gereja berdiri telah terdapat persiapan perkawinan. Tiap zaman dan tiap tempat mempunyai cara yang khas dalam mempersiapkan perkawinan (Tukan, 1988: 10). Gereja terpanggil untuk mempersiapkan umatnya dalam menjalankan kehidupan perkawinan sebagaimana dirumuskan secara jelas dalam Kitab Hukum Kanonik, Kan. 1063 yaitu:

Para gembala umat berwajib mengusahakan agar komunitas gerejani masing-masing memberikan bantuan kepada umat beriman kristiani, supaya hidup perkawinan dipelihara dalam semangat kristiani serta berkembang dalam kesempurnaan. Bantuan itu terutama diberikan dengan khotbah, dengan persiapan pribadi untuk menikah supaya dengan itu mempelai disiapkan untuk kesucian dan tugas-tugas kedudukan yang baru.

(52)

Menurut Tukan (1988: 15-16) kursus persiapan perkawinan tidak menjanjikan kebahagiaan perkawinan tetapi kursus persiapan perkawinan berusaha membantu calon pasangan untuk mengenal visi mendasar tentang perkawinan Katolik. Kursus persiapan perkawinan memberikan kepada pasangan motivasi kristiani untuk menyukseskan perkawinannya. Kursus persiapan perkawinan merupakan persiapan jangka pendek atau persiapan jarak dekat yaitu persiapan khusus bagi para muda mudi yang akan mengahadapi kehidupan berkeluarga. Persiapan ini lebih terarah dan ditujukan untuk kehidupan berkeluarga dengan berbagai-bagai seginya.

Secara komprehensif, persiapan berkeluarga merupakan segala usaha dan sarana yang diarahkan untuk mematangkan dan memperkembangkan muda-mudi hingga dapat memenuhi panggilannya untuk hidup berkeluarga. Maka di samping bimbingan dan penerangan diperlukan juga pengalaman dan pengarahan. Oleh karena itu persiapan perkawinan membahas tujuh hal pokok diantaranya pengertian kursus perkawinan, kepentingan dan alasan kursus persiapan perkawinan, peran kursus persiapan perkawinan, tujuan/manfaat kursus perkawinan, persiapan perkawinan berdasarkan jangka waktu, berbagai aspek yang perlu disiapkan, dan materi kursus persiapan perkawinan.

1. Pengertian Kursus Perkawinan

(53)

secara menyeluruh menjelang memasuki jenjang perkawinan. Kursus perkawinan ini perlu dihayati bukan sebagai kewajiban atau syarat semata, tetapi sebagai suatu rekoleksi dan permenungan yang sederhana untuk mempersiapkan diri lebih baik dan memantapkan niat memasuki jenjang perkawinan. Kursus persiapan perkawinan perlu disadari sebagai kebutuhan bukan hanya sebagai formalitas belaka demi memenuhi syarat pernikahan. Diharapkan melalui kegiatan kursus ini para pasangan calon suami-istri sungguh-sungguh sadar akan manfaatnya.

2. Kepentingan dan Alasan Kursus Persiapan Perkawinan

Sebelum memasuki jenjang perkawinan dan hidup keluarga, pasangan membutuhkan persiapan-persiapan. Menurut Adi Hardana (2010: 6) keluarga yang baik perlu dipersiapkan dengan baik dan persiapan itu sering kali memerlukan waktu yang lama. Persiapan menjelang perkawinan itu sangat penting karena keadaan keluarga yang baik adalah faktor mutlak untuk tercapainya kesejahteraan (keselamatan) bagi orang perorangan, masyarakat umum maupun Gereja (GS, 47). Artinya: nilai-nilai luhur dan kebajikan-kebajikan yang ada dalam hidup keluarga dan yang menjiwai keluarga-keluarga Kristiani akan terpantul keluar serta akan menentukan pandangan hidup selanjutnya (Adi Hardana, 2010: 6).

(54)

a. Alasan Sosial

Menurut Adi Hardana (2010: 1) kursus persiapan perkawinan itu perlu karena kenyataan menunjukkan bahwa, beberapa keluarga mengalami kesulitan yang disebabkan kurangnya persiapan dalam perkawinan dan kurangnya pengetahuan mengenai perkawinan dan keluarga. Kesulitan ini masih diperbesar lagi karena dewasa ini telah terjadi pergeseran nilai-nilai dalam kehidupan dan perubahan pola-pola hidup berkeluarga. Selain itu banyak muda-mudi tergesa-gesa melangsungkan perkawinan tanpa bimbingan yang memadai sehingga sebagian dari mereka belum mendapat bekal yang cukup. perkawinan bukan hanya urusan perorangan melainkan urusan masyarakat (sosial), dan Gereja, masalah masa depan generasi, maka baik – buruknya perkawinan dan keluarga merupakan tanggung jawab masyarakat dan Gereja pula. Dalam hal ini partisipasi tanggung jawab Gereja dan masyarakat akan lebih jelas dalam pembinaan bersama dalam tim kursus persiapan perkawinan.

(55)

b. Alasan Pastoral

Menurut Tim Pusat Pendampingan Keluarga “Brayat Minulyo” (2007: 14) keluarga yang baik perlu dipersiapkan lama, sebab keluarga yang baik menjadi faktor utama keselamatan/kesejahteraan pribadi, masyarakat dan Gereja. Ini berati bahwa nilai-nilai dan hidup keluarga yang menjiwai anggota keluarga itu akan terpancar keluar dan akan menentukan pandangan hidup selanjutnya bagi seluruh anggota. Maka dari itu keadaan rukun, saling pengertian, dan penghargaan, kerjasama, dsb. Yang dialami dalam keluarga ini akan mempengaruhi perkembangan pribadi seseorang dan pandangan hidupnya. Integrasi keluarga adalah prasyarat bagi tercapainya integrasi masyarakat. Keluarga merupakan sel masyarakat dan Gereja banyak tergantung dari keadaan keluarga. Kegiatan, hidup dan berkembangnya Gereja sangat ditentukan juga dari semangat katolik yang ada di dalam keluarga-keluarga. Dengan demikian persiapan perkawinan itu berarti persiapan untuk keluarga dan masyarakat yang baik.

(56)

media dan percampuran kebudayaan, dirasakan oleh kaum muda sebagai suatu masa yang kabur dan membingungkan. Perubahan nilai-nilai sangat mempengaruhi pandangan mengenai perkawinan, kehidupan seksual. Perubahan dari kebudayaan agraris menjadi industrial mengubah struktur sosial dan mental masyarakat , yang terpancar dalam mode, cara hidup dan pergaulan terlebih semakin hebatnya teknologi komunikasi berupa hand phone dengan SMS nya, bahkan terjadi plesetan terhadap singkatan SMS sebagai Sarana Menuju Selingkuh. Dalam masa transisi di mana norma-norma lama tidak dihargai lagi dan norma-norma baru belum terdapat secara lengkap, muda-mudi sangat membutuhkan pedoman dan arah yang jelas dan pasti. Oleh karena itu dalam kursus persiapan perkawinan, merupakan pengarahan kepada arti perkawinan yang sesungguhnya. Kepada peserta diingatkan bahwa sifat perkawinan katolik adalah tak terceraikan dan monogam.

Banyak pasangan muda memiliki iman yang masih dangkal. Kehidupan katolik belum menjadi tradisi. Kursus persiapan perkawinan merupakan sarana dan cara untuk mempertebal iman. Kepada mereka disampaikan tujuan utama perkawinan katolik yaitu pria dan wanita saling mencintai dalam untung dan malang (unitas) serta melahirkan dan mendidik anak (procreation).

c. Alasan Praktis

(57)

sehingga sulit bagi seorang pastor untuk menentukan jadwal kursus persiapan perkawinan yang memadai bagi mereka. Calon-calon mempelai datang bergantian sepasang demi sepasang, sehingga banyak waktu yang harus dicurahkan oleh seorang pastor untuk melayani kursus persiapan perkawinan. Tidak jarang seorang pastor terpaksa merangkap tugas di dalam kursus persiapan perkawinan itu sebagai ekonom, psikolog, dokter dan moralis sekaligus, hal mana kadang-kadang bukan merupakan kompetensinya. Bagi para calon mempelai bekal untuk hidup berkeluarga tidak hanya moral dan teologi perkawinan melainkan juga hal-hal yang praktis, seperti: kesehatan, ekonomi rumah tangga, psikologi, pendidikan anak, hubungan intern keluarga dsb.

Meningkatnya usia harapan hidup bagi manusia sebagai akibat perkembangan ilmu gizi membuat usia perkawinan berlangsung menjadi lebih lama sehingga mencapai 50 tahun atau lebih. Kebosanan dapat menimpa keluarga. Apakah orang dapat tetap hidup bersatu selama 50 tahun perkawinan? Motivasi apa yang dapat menguatkan cinta perkawinan? Dalam kursus persiapan perkawinan, calon pengantin diingatkan untuk tetap mencintai pasangannya dalam untung dan malang.

(58)

adalah masalah yang umumnnya timbul dalam suatu perkawinan. Semuanya tergantung kesiapan psikologis masing-masing. Bisa saja saat pacaran semuanya tampak baik-baik saja, tetapi ketika perkawinan berlangsung beberapa tahun, muncul masalah akibat berbagai perbedaan.

Semua masalah tersebut memperkuat alasan pentingnya kursus persiapan perkawinan. Dalam kursus persiapan perkawinan pasangan calon pengantin mendapatkan wawasan dan pengetahuan serta pedoman dalam mencegah dan mengatasi masalah-masalah yang muncul dalam kehidupan berkeluarga, sehingga kemudian hari pasangan suami-istri mampu bersikap dengan bijaksana dalam menghadapi masalah perkawinan.

3. Peran Kursus Persiapan Perkawinan

Menurut Adi Hardana (2010: 5-6) relevansi kursus di masyarakat adalah sebagai tanggapan terhadap kebutuhan masyarakat dan Gereja, Sebagai biro konsultan perkawinan yang jarang ada di masyarakat, dan sebagai pembaruan terhadap pastoral keluarga.

a. Sebagai tanggapan terhadap kebutuhan masyarakat dan Gereja

(59)

b. Sebagai biro konsultan perkawinan yang jarang ada di masyarakat

Menurut Adi Hardana (2010: 5) dalam arti luas, kursus persiapan perkawinan dapat menjadi tempat untuk memperoleh keterangan atau informasi yang lengkap mengenai perkawinan katolik. Karena itu, materi yang disajikan dalam kursus ini sedapat mungkin diharapkan mampu menjawab persoalan-persoalan kehidupan keluarga.

c. Sebagai pembaruan terhadap pastoral keluarga

Menurut Adi Hardana (2010: 5) salah satu aspek dari pastoral keluarga yang sering dilupakan adalah pembinaan bagi para calon pasangan suami-istri. Hidup berkeluarga adalah persoalan penting dan mendasar dan karena itu masyarakat memerlukan bantuan berupa kursus persiapan perkawinan. Diharapkan dengan pemberian kursus persiapan perkawinan yang direncanakan, kita memberikan pendampingan secara terpadu kepada para calon pasutri. Melalui kursus persiapan perkawinan diharapkan dapat memberikan bantuan kepada para pasangan calon suami-istri. Kursus pendampingan ini dapat menjadi salah satu bentuk pembaharuan terhadap pastoral keluarga.

4. Tujuan/Manfaat Kursus Perkawinan

(60)

a. Mempersiapkan muda-mudi yang akan menikah/hidup berkeluarga

Menurut Adi Hardana (2010: 2) persiapan itu diberikan dalam bentuk kursus persiapan perkawinan sebagai langkah persiapan bagi muda-mudi untuk membangun hidup berkeluarga yang baik dan sebagai bekal dalam membangun keluarga katolik. Dalam persiapan tersebut, mereka dibekali pengetahuan teologi tantang hakikat perkawinan, psikologi, moral, seksualitas, kesehatan, ekonomi rumah tangga, dsb, terutama yang berhubungan erat dengan hidup berkeluarga. Di samping itu untuk memberikan pedoman/pegangan dalam mengambil tindakan dan mengatur hidupnya sendiri menurut azas dan moral Kristiani.

b. Memberikan penerangan bagi mereka tentang hal-hal yang berhubungan dengan masalah perkawinan dan kehidupan keluarga

Menurut Adi Hardana (2010: 3) kursus persiapan perkawinan memberikan informasi secara luas dan mendalam mengenai berbagai macam hal yang berhubungan dengan masalah hidup berkeluarga. Kursus persiapan perkawinan memberikan tambahan wawasan dan pengetahuan muda-mudi mengenai moral, teologi perkawinan, hukum gereja, kesehatan reproduksi, Keluarga Berencana, ekonomi keluarga, pengelolaan keuangan rumah tangga, masalah keluarga, dll. Melalui materi ini diharapkan dapat membantu para calon pasangan suami-istri dalam membangun keluarga Kristiani.

c. Menanamkan benih panggilan Kristiani melalui keluarga-keluarga

(61)

(bapak/ibu/anak-anak), tetapi juga membangun keluarga Kristiani dalam arti luas, yaitu membangun Keluarga Allah-membangun Kerajaan Allah. Perlu ditekankan pentingnya membuka wawasan baru dan luas sehingga mereka mampu melihat adanya panggilan hidup lain (hidup sebagai imam, suster, bruder) selain panggilan hidup berkeluarga dan setiap orang Katolik bertanggung jawab untuk menumbuhkembangkan panggilan itu. Melalui doa bersama dalam keluarga, anak-anak terdorong untuk aktif mengikuti kegiatan rohani di Gereja dan sekaligus memperkenalkan panggilan hidup lain kepada anak-anak selain hidup berkeluarga. Para calon suami-istri yang nantinya akan menjadi orangtua bagi anak-anaknya mempunyai peranan penting dalam mempersiapkan anak-anak mereka untuk menjawab panggilan Tuhan baik sebagai imam, bruder, suster, maupun sebagai awam yang tangguh dan bangga sebagai orang katolik. Partisipasi aktif dalam kegiatan-kegiatan kerohanian diharapkan dapat menumbuhkan panggilan sebagai imam, bruder, dan suster.

5. Persiapan Perkawinan Berdasarkan Jangka Waktu

Menurut waktu persiapannya, kursus persiapan perkawinan dibagi menjadi dua persiapan berdasarkan jangka waktu yaitu persiapan jangka panjang dan persiapan jangka pendek.

a. Persiapan Jangka Panjang

(62)

lingkungan, pergaulan, kegiatan sosial, home-industri, ketrampilan, pekerjaan, kondisi fisik dan mental serta kehidupan rohani/religiositas. Persiapan jangka panjang tidak terbatas waktunya. Suasana keluarga yang sehat dapat menjadi salah satu bentuk persiapan jangka panjang. Keluarga yang sehat akan memberikan pelajaran kepada anak tentang keutuhan keluarga.

b. Persiapan Jangka Pendek atau Persiapan Jarak dekat

Menurut Adi Hardana (2010: 7) persiapan jarak dekat yaitu persiapan khusus bagi para muda-mudi yang akan menjalani hidup berkeluarga. Persiapan ini lebih terarah dan ditujukan untuk hidup berkeluarga dengan berbagai-bagai seginya. Persiapan ini berupa pendidikan praktis seperti mengenai kesejahteraan keluarga, kesehatan, ekonomi rumah tangga, moral perkawinan, seksualitas, psikologi keluarga, sakramen perkawinan. Di samping berupa pendidikan praktis berupa kursus persiapan perkawinan, dilakukan pula seminar persiapan perkawinan serta pemeriksaan kanonik yang dilakukan oleh Pastor Paroki.

6. Berbagai aspek yang perlu disiapkan

Menurut Tukan (1988: 30) ada beberapa hal yang harus dipersiapkan oleh calon pasangan suami-istri, seperti persiapan fisik, persiapan mental, persiapan finansial dan persiapan secara sosial.

a. Persiapan Fisik.

(63)

suami-istri yaitu Membangun dan membina kebiasaan pola hidup sehat melalui makanan sehat dan menjaga kebugaran dan kesegaran fisik. Selain itu penting untuk menjaga kemurnian/keperawanan sebagai bentuk persiapan diri.

b. Persiapan Mental

Menurut Konseng & Tukan (1991: 28) persiapan mental melalui pemahaman dan kesadaran akan sifat-sifat Psikologis. Memahami bahwa setiap pribadi memiliki sifat dan karakter yang berbeda, namun mampu berusaha menyatukan perbedaan yang ada dan melengkapi kekurangan masing-masing pasangan. Selain itu penting juga memiliki pemahaman tentang perbedaan Psikologis Pria dan Wanita sehingga lebih mengenal pribadi pasangannya. Visi yang baik tentang perkawinan dan keluarga sejahtera, sejak anak-anak dan remaja. Pemahaman akan nilai-nilai moral dan nilai agama secara benar. Memahami nilai-nilai budaya calon pasangan hidup berkeluarga. Pergaulan/berpacaran secara sehat dengan landasan cinta yang tulus dan murni akan membawa pada kebahagiaan.

c. Persiapan Finansial

(64)

d. Persiapan secara Sosial

Menurut Konseng & Tukan (1991: 30) persiapan itu melalui perkawinan yang sah secara hukum dan agama. Perkawinan merupakan persekutuan hidup antara pria dan wanita atas dasar ikatan cinta kasih yang total dengan persetujuan bebas dari keduanya. Tanpa adanya paksaan dan diterima dengan iklas oleh kedua orang tua, sehingga mampu membangun keluarga kecil bahagia dan sejahtera. Untuk itu yang harus mereka usahakan untuk membangun keluarga bahagia dan sejahtera adalah mengikuti kursus persiapan perkawinan sebagai bekal dalam memasuki hidup berkeluarga.

7. Materi Kursus Persiapan Perkawinan

Menurut Tukan (1988: 17) dalam upaya menjawab harapan serta tujuan diadakannya kursus persiapan perkawinan, maka materi kursus persiapan perkawinan meliputi: Tujuan Perkawinan Kristiani, sakramen perkawinan, moral perkawinan, mengenal pribadi pasangan, psikologi Pria dan Wanita, komunikasi suami-Istri, pendidikan anak, seksualitas manusiawi, biologi pembiakan manusia, keluarga berencana alamiah, pengaturan ekonomi keluarga, prosedur perkawinan.

a. Tujuan Perkawinan Kristiani

(65)

1) Mempersiapkan muda-mudi yang akan menikah atau hidup berkeluarga

Menurut Adi Hardana (2010: 2) persiapan calon pasutri diberikan dalam bentuk kursus perkawinan sebagai langkah persiapan dan sebagai usaha untuk memberikan bekal bagi muda-mudi untuk membangun hidup berkeluarga yang baik. Melengkapi kebutuhan mereka dalam pengetahuan tologi, psikologi, moral, seksualitas, kesehatan, ekonomi, dll, yang berkaitan erat dengan hidup berkeluarga. Selain itu memberikan pegangan bagi mereka untuk mengambil tindakan dan mengatur hidupnya sendiri menurut azas dan moral Kristiani.

2) Memberikan penerangan bagi mereka tentang hal-hal yang berhubungan dengan masalah perkawinan dan kehidupan keluarga

Menurut Adi Hardana (2010: 3) kursus perkawinan memberikan informasi mendalam mengenai berbagai macam hal yang berkaitan dengan masalah hidup berkeluarga. Karena itu, kursus persiapan perkawinan hendaknya diselenggarakan oleh tim yang terdiri dari beberapa orang dengan keahlian yang berbeda sehingga informasi yang disampaikan akan menjadi luas.

3) Menanamkan benih panggilan Kristiani melalui keluarga-keluarga

(66)

menumbuhkembangkan panggilan itu. Keluarga-keluarga ikut berperan serta dalam menumbuhkan panggilan hidup sebagai imam, suster, bruder melalui kegiatan-kegiatan kerohanian mulai dari usia dini.

b. Sakramen Perkawinan

Menurut Konseng & Tukan (1991: 36) inti pokok perkawinan katolik adalah bahwa perkawinan katolik bersifat sakramental. Berdasarkan sakramen ini, mereka melambangkan dan mengambil bagian dalam misteri kesatuan dan cinta yang subur antara Kristus dan Gereja. Perkawinan adalah tanda keselamatan. Dengan sakramen perkawinan maka suami-istri bersedia menghayati perkawinan kristiani. Dalam perkawinan katolik terdapat tiga pribadi yang terlibat: suami-istri dan Tuhan. Oleh karena itu suami-istri Kristiani dikuatkan dan bagaikan dikuduskan untuk tugas-kewajiban maupun martabat status hidup mereka dengan sakramen yang khas.

c. Moral Perkawinan

(67)

menjadi satu. Kesatuan antara suami dan istri harus dibangun setiap hari, dengan saling memperhatikan, keterbukaan, dan kerelaan berkomunikasi dan saling menerima apa adanya, dengan kasih sayang, kelembutan dan kesabaran, dengan kerelaan berkorban dan saling membantu, maaf-memaafkan, doa bersama, dan saling menanggung beban. Segala sesuatu yang mendukung, menunjang, mewujudkan, atau memperkuat kesatuan suami-istri, adalah baik. Segala sesuatu yang merusak, melanggar, mengancam, atau meretakkan kesatuan itu, adalah tindakan tidak baik

d. Psikologi Pria dan Wanita

(68)

e. Komunikasi Suami-Istri

Komunikasi merupakan kuci dalam membangun relasi. Apabila suami-istri semula berusaha untuk tetap berkomunikasi, segala persoalan akan dapat dihadapi bersama. Menurut Tim Pusat Pendampingan Keluarga “Brayat Minulyo” (2007: 30) komunikasi adalah suatu proses antara dua orang yang memberikan informasi/isyarat dan yang lain menerima informasi tersebut sehingga terjadi kesatuan pemahaman. Agar komunikasi bisa berlangsung, yang pertama-tama perlu diusahakan adalah suasana yang mendukung, yaitu relasi dengan istri/suami dinomorsatukan di atas segalanya. Cinta itu lebih dari sekedar perasaan tetapi suatu keputusan untuk tetap setia. Dalam keluarga katolik sangat penting diadakan doa malam bersama. Masalah-masalah yang menyangkut kepentingan keluarga mesti dirundingkan bersama sampai tercapai mufakat, atau paling tidak saling pengertian. Hendaknya kedua belah pihak, minimal sehari sekali, saling mengucapkan sepatah kata manis atau kata pujian. Komunikasi dalam keluarga menjadi mutlak dan harus selalu dibina terus menerus.

f. Pendidikan Anak

(69)

g. Keluarga Berencana Alamiah

Menurut Tim Pusat Pendampingan Keluarga “Brayat Minulyo” (2007: 61) secara psikologis, hubungan seks merupakan ungkapan cinta dan penyerahan diri antara suami-istri, tetapi secara biologis, dimaksudkan untuk mendapatkan keturunan. Jika tidak menginginkan anak, suami-istri jangan mengadakan hubungan seks tepat pada waktu istri dalam masa subur. Di luar waktu itu, hubungan seks tetap dilakukan sebagai ungkapan cinta satu sama lain.

1) Metode Kalender

Menurut Tim Pusat Pendampingan Keluarga “Brayat Minulyo” (2007: 63) metode ini melakukan pencatatan panjang dan pendeknya sirklus haid selama 1 tahun terus-menerus, atau minimal 6 bulan. Dari hasil pencatatan ini dapat ditentukan berapa hari sirklus terpanjang dan berapa hari sirklus terpendek, misalnya, sirklus terpanjang 30 hari dan sirklus terpendek 28 hari. Masukkan ke dalam rumus: sirklus terpendek – (dikurangi) 18 hari, dan sirklus terpanjang – (dikurangi) 11 hari. Hari pertama subur: 28-18 = hari ke-10, dan hari terahir subur 30-11= hari ke-19. Maka, ovulasi dapat terjadi antara hari ke-10 sampai dengan hari ke-19.

2) Metode Suhu Basal

(70)

suhu basal tubuh lebih tinggi dari 6 hari sebelumnya, berarti masa subur telah lewat. Pada masa ini dikatakan bahwa wanita sedang tidak subur.

3) Metode Keef

Menurut Tim Pusat Pendampingan Keluarga “Brayat Minulyo” (2007: 63) untuk metode ini, melakukan autopalpasi pada cervix. Apabila cervix lunak, kenyal seperti bibir, dan mulut rahim terbuka disertai lendir cervix yang encer, jernih, licin, dan mulur menunjukkan perkiraan sekitar ovulasi.

4) Metode Simto-Termal

Menurut Tim Pusat Pendampingan Keluarga “Brayat Minulyo” (2007: 64) metode ini merupakan gabungan dari metode suhu basal dan gejala-gejala yang ada. Pada metode ini buatlah grafik seperti pada metode suhu basal. Langkah selanjutnya yaitu melakukan pencatatan akan gejala-gejala yang terjadi, misalnya, perubahan lendir, perubahan cervix, dsb. Selain itu perhatikanlah lonjakan suhu. Pelaksanaan metode ini membutuhkan perhatian yang besar dan menuntut kedisiplinan dalam melakukan pencatatannya.

5) Metode Ovulasi Billings (metode yang dianjurkan)

Gambar

NoTabel 1Variabel-variabel
Tabel 2: Peran Kursus Persiapan Perkawinan terhadap
Tabel 3: Motivasi Mengikuti Kursus Persiapan Perkawinan (N = 66)
Tabel 4: Peran Gereja dalam Mendukung Kegiatan
+6

Referensi

Dokumen terkait