• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. PERANAN KURSUS PERSIAPAN PERKAWINAN BAGI

A. Latar Belakang Penelitian

Kebijakan mewajibkan calon pasangan muda-mudi yang akan menikah mengikuti kursus persiapan perkawinan, merupakan kebijakan yang diberlakukan di keuskupan-keuskupan di Indonesia yang pelaksanaannya diserahkan kepada paroki-paroki setempat. Di beberapa Paroki dalam wilayah kota Yogyakarta telah diterapkan kebijakan bahwa setiap calon pasangan muda-mudi yang akan melangsungkan pernikahan diwajibkan mengikuti kursus persiapan perkawinan dan salah satu penyelenggaranya adalah Kevikepan DIY.

Membangun keluarga membutuhkan suatu persiapan. Persiapan perkawinan dalam Gereja Katolik bukanlah hal yang baru, bahkan sejak Gereja berdiri telah terdapat persiapan perkawinan. Di zaman yang penuh gejolak, tak mengherankan bahwa beberapa keluarga mengalami kesulitan dalam menjalani kehidupan perkawinan. Salah satu penyebabnya karena kurang mendapatkan “bekal” yang cukup, sehingga banyak hal yang masih belum mereka ketahui dalam menjalani hidup perkawinan dan bagaimana tanggung jawabnya baik sebagai pribadi maupun sebagai pasangan suami-istri dalam membangun keluarga yang harmonis. Menghadapi kenyataan hidup berkeluarga tidaklah mudah, maka banyak hal yang perlu dipersiapkan agar dapat menjadi bekal dalam menghadapi persoalan hidup perkawinan. Khususnya dalam hal komunikasi, tugas dan tanggung

jawabnya, mengasuh anak, mengatur ekonomi keluarga, dsb. Kursus persiapan perkawinan (kursus persiapan hidup berkeluarga) merupakan salah satu bentuk persiapan jangka pendek. Kursus Persiapan Perkawinan merupakan salah satu syarat untuk memasuki hidup berkeluarga bagi calon pasangan suami-istri katolik. Kursus Persiapan Perkawinan juga berusaha membantu pasangan muda untuk lebih mengenal kekasihnya: latar belakang budaya, pendidikan, usia, status sosial, status ekonomi dan agama. Dengan demikian mereka dapat saling mengenal satu sama lain sebagai pribadi. Pasangan mengetahui harapan kekasih, sifat yang baik dan yang jelek, masa lampau dan cita-citanya sehingga mereka mampu mengatasi persoalan yang ada dan berkomunikasi dalam menentukan masa depan, sebagai satu keluarga Kristiani. Selain itu kursus persiapan perkawinan berusaha membantu calon pasangan untuk mengenal visi mendasar tentang perkawinan katolik, memberikan motivasi kristiani untuk mensukseskan perkawinannya.

Menanggapi hal ini Gereja terpanggil untuk mempersiapkan umatnya dalam menjalankan kehidupan perkawinan sebagaimana dirumuskan secara jelas dalam (KHK, kan. 1063) Para gembala umat berwajib mengusahakan agar komunitas gerejani masing-masing memberikan bantuan kepada umat beriman kristiani, supaya hidup perkawinan dipelihara dalam semangat kristiani serta berkembang dalam kesempurnaan. Tim Pusat Pendampingan Keluarga “Brayat Minulyo” (2007: 9) mengatakan bahwa “Kursus persiapan hidup berkeluarga begitu penting bagi calon pasangan suami-istri Katolik guna mempersiapkan dan membekali diri dalam membangun hidup berkeluarga yang manusiawi dan kristiani”. Dengan adanya program kursus persiapan diharapkan mampu membantu dan memberikan bekal bagi keluarga-keluarga muda khususnya dalam membangun hidup

berkeluarga dan juga dapat meningkatkan kesadaran akan tanggung jawabnya dalam membangun keluarga kristiani yang harmonis dan bertanggungjawab. Banyak hal yang masih perlu mereka ketahui khususnya dalam hal kesehatan keluarga dan anak, bagaimana mengatur ekonomi rumah tangga, psikologi, pendidikan anak, komunikasi dalam mengatasi persoalan, dsb. Persaingan di antara saudara kandung, perkawinan yang terancam kerusakan, serta perjuangan anak-anak atau orang tua merupakan manifestasi dari hidup keluarga (Tim Pusat Pendampingan Keluarga “Brayat Minulyo”, 2007: 14). Tidak dipungkiri masalah ekonomi selalu menjadi penyebab terjadinya persoalan dalam keluarga, selain itu kurangnya komunikasi yang baik dengan pasangan juga dapat menyebabkan pertengkaran, kecemburuan yang berakhir pada rusaknya relasi antara pasangan suami dan istri. MAWI 1975 menyebutkan, ekonomi rumah tangga bukanlah tujuan melainkan sarana yang (harus) menunjang dan memungkinkan penghayatan iman (Gilarso, 2011: 152). Yang mau dicapai adalah kesejahteraan bagi semua orang serta peningkatan mutu hidup menurut kehendak Tuhan (Tim Pusat Pendampingan Keluarga “Brayat Minulyo”, 2007: 70).

Bagus Irawan (2007: 15) melihat masalah keluarga sebagai suatu konflik. Konflik merupakan suatu kejadian atau peristiwa yang tidak dapat dielakkan. Konflik dalam keluarga dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: konflik antara pasangan suami-istri dan konflik antara orang tua dan anak-anak. Selain itu kondisi apa pun yang dialami oleh keluarga berpotensi menimbulkan masalah keluarga. Hal itu mencakup: penerusan keluarga (menyangkut kesepakatan mengenai jumlah anak, siapa yang bertanggungjawab pada pendidikan anak); komitmen keluarga (di mana masing-masing anggota berhak tumbuh dan

berkembang, kesetiaan); perawatan mental, psikis (menyangkut kebutuhan dasar dan perawatan kesehatan); ekonomi dan finansial keluarga; relasi antara suami-istri serta orangtua dan anak-anak, dll.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk mengangkat

judul skripsi PERANAN KURSUS PERSIAPAN PERKAWINAN

TERHADAP KESADARAN AKAN TANGGUNG JAWAB CALON

PASANGAN SUAMI-ISTRI DALAM MEMBANGUN KELUARGA

KRISTIANI DI KEVIKEPAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA. Melalui judul ini, penulis ingin melihat sejauh mana kepentingan dan peranan kursus persiapan perkawinan dalam rangka mempersiapkan para calon pasangan suami-istri untuk memasuki kehidupan berkeluarga dan bagi keluarga-keluarga baru sebagai bekal untuk mempersiapkan diri membangun keluarga Kristiani yang penuh tanggung jawab.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka fokus penulis dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana pandangan Gereja mengenai kepentingan dan peranan Kursus Persiapan Perkawinan bagi calon suami-istri untuk membangun keluarga Kristiani?

2. Bagaimana pemahaman pasangan calon suami-istri mengenai peranannya dalam membangun keluarga kristiani yang harmonis dan bertanggung jawab berdasarkan bekal yang telah mereka terima?

istri dalam menghadapi permasalahan hidup perkawinan?

4. Materi/bahan apa yang perlu diberikan dalam kursus persiapan perkawinan agar dapat membantu para pasangan suami-istri muda untuk semakin mampu membangun keluarga beriman kristiani yang penuh tanggungjawab?

C. Tujuan Penulisan

Penulisan skripsi ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui pandangan Gereja mengenai kepentingan dan peranan kursus persiapan perkawinan yang diadakan dalam rangka mempersiapkan pasangan muda membangun keluarga beriman Kristiani.

2. Menguraikan pemahaman dan kesadaran akan tanggung jawab para keluarga muda Kristiani untuk membangun keluarga Kristiani yang harmonis melalui Kursus Persiapan Perkawinan.

3. Mengetahui persoalan-persoalan dalam hidup berkeluarga dan menemukan pemecahan atas persoalan itu sebagai bentuk usaha membangun keluarga Kristiani yang harmonis.

4. Memberikan sumbangan materi atau bahan pendampingan lanjutan kepada pasangan suami-istri agar semakin mampu menghayati hidup perkawinannya dengan penuh kesadaran dan tanggungjawab sehingga mampu membangun keluarga Kristiani yang harmonis dan sesuai dengan kehendak Allah.

D. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat yang diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Memberikan sumbangan pengetahuan bagi para pendamping kursus persiapan perkawinan dalam memberikan bahan bagi para calon keluarga muda dalam mempersiapkan mereka untuk membangun keluarga Kristianai yang harmonis 2. Bagi para pasangan yang akan menikah, diharapkan dapat dijadikan rujukan

atau referensi dan bahan masukan yang berguna dalam membina keluarga beriman Kristiani.

3. Menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis akan peranan kursus persiapan perkawinan dalam membangun keluarga Kristiani yang bertanggung jawab.

4. Memberikan sumbangan ilmu pengetahuan di bidang perkawinan sehingga membantu keluarga-keluarga muda dalam membangun keluarga Kristiani yang harmonis.

E. Metode Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan penelitian kualitatif dengan metode deskriptif analisis. Metode deskriptif analitis adalah metode yang menggambarkan dan menganalisis data-data yang diperoleh dari hasil penelitian melalui penyebaran angket dan wawancara yang didukung dengan studi pustaka.

F. Sistematika Penulisan

Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai penulisan ini. Penulis akan menyampaikan pokok gagasan sistematika penulisannya sebagai berikut:

Bab I menguraikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.

Bab II membahas mengenai peranan kursus persiapan perkawinan dalam mempersiapkan keluarga muda untuk membangun keluarga Kristiani. Bab ini menjelaskan mengenai empat hal. Pertama, keluarga kristiani dalam pandangan Gereja Katolik meliputi hakikat perkawinan, dasar perkawinan, tujuan perkawinan, ciri-ciri perkawinan kristiani, peranan keluarga kristiani, fungsi keluarga, tanggung jawab dalam membangun hidup berkeluarga kristiani, doa keluarga. Kedua, keluarga bahagia meliputi hubungan perkawinan yang ideal, cinta kasih sebagai asas dan kekuatan persatuan, Kebahagiaan Perkawinan. Ketiga, konflik keluarga/masalah dalam keluarga meliputi konflik di bidang sosio-ekonomi, konflik di bidang seksualitas, konflik di bidang komunikasi, konflik di bidang pendidikan. Keempat, kursus perkawinan meliputi pengertian kursus perkawinan, kepentingan dan alasan kursus persiapan perkawinan, peranan kursus persiapan perkawinan, tujuan/manfaat kursus perkawinan, persiapan perkawinan berdasarkan jangka waktu, berbagai aspek yang perlu disiapkan, dan materi kursus persiapan perkawinan.

Bab III menguraikan peranan kursus persiapan perkawinan bagi calon pasangan suami-istri dalam membangun keluarga di Kevikepan Daerah Istimewa Yogyakarta dan penelitian kepada para calon keluarga muda berkaitan dengan peranan kursus persiapan perkawinan untuk persiapan diri dan persiapan membangun kelurga kristiani juga laporan hasil dan pembahasan penelitian.

Bab IV Berisikan usulan progam pendampingan lanjutan berdasarkan hasil penelitian.

Bab V Penulis menyampaikan tentang kesimpulan yang terdiri dari kesimpulan dan saran.

8 BAB II

KELUARGA KRISTIANI DALAM PANDANGAN GEREJA KATOLIK DAN PERSIAPAN

A. Keluarga Kristiani dalam Pandangan Gereja Katolik

Keluarga kristiani merupakan keluarga yang dibangun atas dasar iman kristiani. Menurut Konseng & Tukan (1991: 36) dalam paham Gereja Katolik inti perkawinan katolik adalah perkawinan katolik bersifat sakramental, berdasarkan sakramen nikah, dengannya mereka melambangkan dan mengambil bagian dalam misteri kesatuan dan cinta yang subur antara Kristus dan Gereja (Ef 5:32), para suami-istri saling membantu dalam hidup keluarga dan dalam menerima dan mendidik anak ke arah kekudusan. Dengan demikian mereka memiliki anugerah khas, dalam status dan martabat hidupnya di tengah umat Allah (1 Kor 7: 7). Karena dari perkawinan ini muncullah keluarga, di dalamnya dilahirkan warga baru masyarakat manusia, yang dengan rahmat Roh Kudus dijadikan putra-putri Allah dalam permandian, guna melambangkan umat Allah sepanjang zaman. Di dalam Gereja rumah ini (rumah sebagai Gereja mini) para orang tua harus menjadi pewarta iman pertama bagi anak-anaknya dengan kata-kata dan teladan. Perkawinan katolik adalah persekutuan hidup antara pria dan wanita atas dasar ikatan cinta kasih total dengan persetujuan bebas dari keduanya yang tidak dapat ditarik kembali dengan tujuan kelangsungan bangsa, perkembangan pribadi dan kesejahteraan keluarga. Menurut Gilarso (2011: 9-14) perkawinan dalam

pandangan Gereja Katolik berbicara mengenai hakikat perkawinan, dasar perkawinan, tujuan perkawinan, ciri-ciri perkawinan kristiani, peranan keluarga kristiani, fungsi keluarga, tugas suami-istri, tanggung jawab dalam membangun hidup berkeluarga kristiani, dan doa keluarga.

1. Hakikat perkawinan

Perkawinan adalah persekutuan hidup antara seorang pria dan seorang wanita, atas dasar ikatan cinta kasih yang total, dengan persetujuan bebas dari keduanya yang tidak dapat ditarik kembali, dengan tujuan kelangsungan bangsa, perkembangan pribadi dan kesejahteraan. Perkawinan dapat dipandang dari empat sudut pandang yaitu perkawinan merupakan persekutuan hidup dan cinta, perkawinan merupakan lembaga sosial, perkawinan merupakan lembaga hukum negara, dan perkawinan antara dua orang yang dibaptis merupakan sakramen.

a. Perkawinan merupakan persekutuan hidup dan cinta.

Menurut Gilarso (2011: 9) perkawinan merupakan persekutuan hidup yang menyatukan seorang pria dan wanita atas dasar persetujuan bebas. Mereka bersekutu membentuk suatu keluarga atas dasar cita kasih yang tulus dalam kesatuan lahir-batin yang mencangkup seluruh hidupnya. Persetujuan bebas merupakan syarat mutlak untuk terjadinya dan sahnya perkawinan. Cinta mensyaratkan kebebasan serta tanggung jawab, tidak ada cinta yang dipaksa atau terpaksa dan ini harus dinyatakan secara jelas di depan saksi-saksi yang sah. Unsur pokok dalam cinta perkawinan adalah kesetiaan kepada pasangannya dalam untung dan malang dan bertanggung jawab dalam segala hal.

b. Perkawinan merupakan lembaga sosial

Menurut Gilarso (2011: 10) dalam masyarakat umumnya perkawinan dipandang sebagai satu-satunya lembaga yang mengizinkan persekutuan pria dan wanita, hubungan seks dan mendapatkan keturunan. Maka dari itu perkawinan dilindungi dan diatur oleh hukum adat dan hukum negara. Perkawinan juga melibatkan masyarakat luas, baik sanak-saudara maupun tetangga dan kenalan. Keluarga adalah sel masyarakat, sebab masyarakat ikut ambil bagian dalam urusan perkawinan karena mereka ikut berperan dalam keutuhan kehidupan keluarga.

c. Perkawinan merupakan lembaga hukum negara

Menurut Gilarso (2011: 10) perkawinan adalah ikatan resmi dan harus disahkan. Perkawinan bukan ikatan bebas menurut selera sendiri melainkan soal masyarakat, soal sosial, soal keluarga, dan masa depan bangsa. Maka dari itu negara ikut campur tangan dalam masalah perkawinan warganya. Negara mengatur perkawinan sebagai lembaga hukum resmi.

d. Perkawinan antara dua orang yang dibaptis merupakan sakramen

Menurut Gilarso (2011: 10) dengan dibaptis berarti ia telah bersatu secara pribadi dengan Kristus. Maka perkawinan antara dua pribadi yang dibaptis merupakan perayaan iman Gerejawi, yang membuahkan rahmat bagi kedua mempelai. Ikatan cinta setia yang mempersatukan mereka menjadi lambang, tanda, dan perwujudan kasih setia Kristus kepada Gereja dan saluran rahmat bagi mereka. Sakramen perkawinan tidak hanya sebatas upacara di Gereja saja tetapi

berlangsung terus-menerus selama hidup mereka berdua. Maka Tuhan sendiri berkenan hadir di dalam keluarga mereka. Rahmat yang mereka terima adalah rahmat yang menguduskan mereka berdua, rahmat yang menyempurnakan cinta dan mempersatukan mereka, dan rahmat yang membantu dan membimbing mereka dalam hidup berkeluarga, hingga semakin dekat dengan Tuhan.

2. Dasar Perkawinan

Menurut Adi Hardana (2010: 11) dasar dari sebuah perkawinan adalah cinta kasih yang tampak jelas dalam persetujuan bebas dari kedua calon mempelai. Persetujuan bebas dari kedua calon mempelai ini merupakan keputusan yang diambil tanpa adanya paksaan dan sekaligus menjadi prasyarat dari sebuah perjanjian perkawinan yang sah. Menurut Gaudium Et Spes artikel 49 dikatakan bahwa, sabda Ilahi mengundang para mempelai dan suami-istri untuk terus memelihara dan memupuk janji setia dengan cinta yang murni dan perkawinan dengan kasih yang tak terbagi sebab Tuhan sendiri telah berkenan menyehatkan, menyempurnakan, dan mengangkat cinta kasih itu dengan karunia istimewa rahmat dan kasih sayang. Cinta seperti ini memadukan segi manusiawi dan Ilahi, serta mengantarkan suami-istri kepada serah diri bebas dan timbal balik yang dibuktikan dengan perasaan dan tindakan mesra, dengan demikian mereka mampu untuk meresapi seluruh hidup mereka sebagai satu kesatuan di hadapan Allah.

Cinta kasih sebagai dasar perkawinan memiliki peranan besar dalam mensukseskan perkawinan. Cinta perlu disadari sebagai suatu keputusan pribadi untuk bersatu dan memberikan diri demi kebahagiaan bersama dan harus terus menerus dikembangkan dan dimurnikan agar dapat membawa kebahagiaan.

Penting untuk terus menerus memupuk rasa cinta agar keharmonisan dapat tercapai. Maka keluarga perlu dibangun dengan ikatan penuh cinta kasih sebagai pegangan atau pedoman hidup. Cinta kasih secara istimewa diungkapkan dan disempurnakan melalui tindakan khas dalam hidup perkawinan. Tindakan mesra dan murni yang mempersatukan suami-istri perlu dipandang luhur dan terhormat, tindakan itu menandakan dan memupuk penyerahan diri timbal balik. Kesatuan perkawinan yang dikukuhkan oleh Tuhan tampak dalam kesamaan martabat pribadi antara suami dan istri yang tampil dalam kasih sayang timbal balik dan penuh untuk selamanya. Cinta kasih menjadi dasar perkawinan dan merupakan Rahmat dan kasih sayang Tuhan.

3. Tujuan Perkawinan

Menurut Gilarso (2011: 11-12) perkawinan dapat dilaksanakan dengan tujuan yang berbeda-beda. Tujuan yang layak dikejar oleh suami-istri ialah pengembangan dan pemurnian cinta kasih suami-istri, kelahiran dan pendidikan anak, pemenuhan kebutuhan seksual, dan lain-lain.

a. Pengembangan dan pemurnian cinta kasih suami-istri

Menurut Gilarso (2011: 11) kasih yang ada masih harus dikembangkan dan dimurnikan, sehingga sungguh-sungguh dapat saling membahagiakan. Cinta adalah keputusan pribadi untuk bersatu dan rela menyerahkan diri demi kebahagiaan pasangannya, bukan semata-mata dorongan nafsu, rasa tertarik, rasa simpati atau asmara. Suami-istri bukan sekedar pasangan melainkan belahan jiwa serta teman seperjalanan.

b. Kelahiran dan pendidikan anak

Menurut Gilarso (2011: 11) perkawinan adalah satu-satunya lembaga yang sah untuk pemenuhan keinginan mempunyai anak. Suami-istri yang normal mempunyai kerinduan untuk memiliki keturunan. Perlu disadari bahwa anak adalah anugerah Tuhan. Bila Tuhan belum memberikan anak, perkawinan tidak kehilangan artinya. Menurut Adi Hardana (2010: 14) cinta kasih suami-istri tidak hanya tertuju pada diri mereka sendiri, tetapi juga kepada orang lain dalam hal ini tertuju kepada kelahiran anak. Karena itulah, dengan bantuan rahmat Allah, suami-istri dipanggil oleh Allah untuk bekerja sama dalam penerusan generasi baru dengan sikap keterbukaan untuk menerima karunia (hidup baru) yang diberikan Tuhan.

c. Pemenuhan kebutuhan seksual

Menurut Gilarso (2011: 12) pria dan wanita yang dewasa dan normal merasakan kebutuhan seksual. Kebutuhan itu layak dipenuhi melalui hubungan seks antara suami-istri dalam lembaga perkawinan yang sah. Gereja menolak dengan tegas setiap hubungan seks di luar lembaga perkawinan yang resmi. Itu berarti bahwa persetubuhan diadakan dengan kesadaran dan tanggung jawab penuh, sehingga kebutuhan itu terpenuhi dalam suasana cinta kasih, dan disertai kerelaan untuk menerima hidup baru sebagai hasil perpaduan cinta kasih mereka.

d. Lain-lain

Menurut Gilarso (2011: 12) perkawinan juga mempunyai maksud atau tujuan antara lain, misalnya: kesejahteraan keluarga, jaminan perlindungan dan

keamanan; demi ketenangan, nama baik, kerukunan keluarga; jaminan nafkah atau ekonomi, sah dan sehatnya keturunan, dsb.

4. Ciri-ciri Perkawinan Kristiani

Menurut Adi Hardana (2010: 13-14) perkawinan yang baik harus memiliki dan memperjuangkan ciri-ciri seperti monogami, tak-terceraikan, dan Perkawinan sebagai sakramen.

a. Monogami

Menurut Adi Hardana (2010: 13) perkawinan monogami adalah bentuk perkawinan yang diadakan antara satu pria dengan satu wanita, dan sebaliknya. Seorang suami selayaknya hanya mempunyai satu istri, begitu juga dengan istri mempunyai satu suami saja. Jenis perkawinan semacam ini menjamin pemberian cinta yang utuh dan tak terbagi di antara keduanya. Ciri monogami ini menolak perkawinan yang poliandri (satu perempuan dengan dua atau lebih laki-laki) atau poligami (satu laki-laki dengan dua atau lebih perempuan), baik secara hukum maupun moral.

b. Tak-terceraikan

Menurut Adi Hardana (2010: 14) dalam perkawinan, suami dan istri telah mempersatukan diri secara bebas untuk seumur hidup, bahkan disatukan oleh rahmat Tuhan sendiri. Maka, cinta kasih mereka pun harus bercirikan kesetiaan seumur hidup. Sebagaimana cinta kasih Allah kepada umat-Nya adalah kekal abadi, demikianlah juga hendaknya cinta kasih antara suami-istri. Sifat tak

terceraikan ini mengandung makna lebih dalam yaitu perjuangan untuk memupuk kesetiaan terhadap pasangan dalam segala aspek kehidupan. Perceraian merupakan bukti kegagalan suami-istri dalam mengembangkan cinta yang sejati.

c. Perkawinan sebagai sakramen

Dalam (KHK, kan. 1061) ciri-ciri hakiki (proprietates) perkawinan ialah unitas (kesatuan) dan indissolubilitas (sifat tak-dapat-terputuskan), yang dalam perkawinan kristiani memperoleh kekukuhan khusus atas dasar sakramen. Ciri-ciri hakiki yang menjadi Ciri-ciri khas setiap perkawinan adalah kesatuan (unitas) dan tak-terceraikan (indissolubilitas). Kesatuan atau unitas ini menunjuk unsur unitif dan monogami perkawinan. Menurut Rubiyatmoko (2011: 21) unsur unitif dimaksudkan sebagai unsur yang menyatukan suami-istri secara lahir dan batin. Sedangkan, unsur monogam menyatakan bahwa perkawinan hanya sah jika dilaksanakan hanya antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Menurut Rubiyatmoko (2011: 21) yang dimaksudkan dengan tak-terceraikan atau indissolubilitas adalah bahwa perkawinan yang telah dilangsungkan secara sah menurut tuntutan hukum, mempunyai akibat tetap dan tidak dapat diceraikan atau diputuskan oleh kuasa mana pun kecuali oleh kuasa kematian.

5. Peranan Keluarga Kristiani

Menurut Gilarso (2011: 13) keluarga Kristiani sebagai “Gereja mini” artinya adalah persekutuan dasar iman dan tempat persemaian iman sejati. Maka dalam keluarga Katolik, pertama-tama diharapkan agar berkembanglah iman yang menghangatkan suasana. Iman di sini bukan pertama-tama berarti pengetahuan

agama (meskipun itu juga penting) tetapi lebih pada sikap atau penghayatan agama, yang diwujudkan dalam usaha untuk menjaga suasana kedamaian, kerja sama dan kerukunan dalam keluarga. Dengan demikian, Tuhan sendiri akan hadir di tengah-tengah keluarga untuk membawa keselamatan dan rahmat-Nya.

6. Fungsi Keluarga

Menurut Konseng & Tukan (1991: 52) fungsi keluarga dibagi menjadi dua bagian yaitu fungsi dasar dan fungsi yang mendesak.

a. Fungsi Dasar

Menurut Konseng & Tukan (1991: 52) dalam masyarakat, keluarga mempunyai fungsi dasar, antara lain sebagai basis dukungan bagi kebutuhan emosional, di mana masing-masing anggota keluarga dapat mengalami kebersamaan hidup, dalam suka dan duka. Bersedia menikmati kegembiraan dan menanggung kesedihan secara bersama-sama. Sebagai tempat di mana masing-masing anggota saling membantu dan memberikan dukungan dalam pengembangan kepribadian. Sebagai basis bagi kelanjutan keturunan, di mana orangtua melahirkan, membesarkan dan mendidik anak. Sebagai tempat bernaung di mana tercipta kondisi bagi perkembangan dan rasa aman. Sebagai basis untuk mempersiapkan anggota-anggota masyarakat yang baik.

b. Fungsi yang Mendesak

Pada zaman teknologi dan industrialisasi ini, menurut Konseng & Tukan (1991: 52) ada beberapa penjabaran dari fungsi dasar di atas yang dianggap

mendesak, antara lain sebagai unit ikatan cinta antara suami dan istri, bapak dan ibu, orangtua dan anak. Sebagai wadah pencipta rasa aman dan rasa diterima bagi masing-masing anggota keluarga. Sebagai wadah di mana masing-masing anggota

Dokumen terkait