• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. KELUARGA KRISTIANI DALAM PANDANGAN GEREJA

A. Keluarga Kristiani Dalam Pandangan Gereja Katolik

Keluarga kristiani merupakan keluarga yang dibangun atas dasar iman kristiani. Menurut Konseng & Tukan (1991: 36) dalam paham Gereja Katolik inti perkawinan katolik adalah perkawinan katolik bersifat sakramental, berdasarkan sakramen nikah, dengannya mereka melambangkan dan mengambil bagian dalam misteri kesatuan dan cinta yang subur antara Kristus dan Gereja (Ef 5:32), para suami-istri saling membantu dalam hidup keluarga dan dalam menerima dan mendidik anak ke arah kekudusan. Dengan demikian mereka memiliki anugerah khas, dalam status dan martabat hidupnya di tengah umat Allah (1 Kor 7: 7). Karena dari perkawinan ini muncullah keluarga, di dalamnya dilahirkan warga baru masyarakat manusia, yang dengan rahmat Roh Kudus dijadikan putra-putri Allah dalam permandian, guna melambangkan umat Allah sepanjang zaman. Di dalam Gereja rumah ini (rumah sebagai Gereja mini) para orang tua harus menjadi pewarta iman pertama bagi anak-anaknya dengan kata-kata dan teladan. Perkawinan katolik adalah persekutuan hidup antara pria dan wanita atas dasar ikatan cinta kasih total dengan persetujuan bebas dari keduanya yang tidak dapat ditarik kembali dengan tujuan kelangsungan bangsa, perkembangan pribadi dan kesejahteraan keluarga. Menurut Gilarso (2011: 9-14) perkawinan dalam

pandangan Gereja Katolik berbicara mengenai hakikat perkawinan, dasar perkawinan, tujuan perkawinan, ciri-ciri perkawinan kristiani, peranan keluarga kristiani, fungsi keluarga, tugas suami-istri, tanggung jawab dalam membangun hidup berkeluarga kristiani, dan doa keluarga.

1. Hakikat perkawinan

Perkawinan adalah persekutuan hidup antara seorang pria dan seorang wanita, atas dasar ikatan cinta kasih yang total, dengan persetujuan bebas dari keduanya yang tidak dapat ditarik kembali, dengan tujuan kelangsungan bangsa, perkembangan pribadi dan kesejahteraan. Perkawinan dapat dipandang dari empat sudut pandang yaitu perkawinan merupakan persekutuan hidup dan cinta, perkawinan merupakan lembaga sosial, perkawinan merupakan lembaga hukum negara, dan perkawinan antara dua orang yang dibaptis merupakan sakramen.

a. Perkawinan merupakan persekutuan hidup dan cinta.

Menurut Gilarso (2011: 9) perkawinan merupakan persekutuan hidup yang menyatukan seorang pria dan wanita atas dasar persetujuan bebas. Mereka bersekutu membentuk suatu keluarga atas dasar cita kasih yang tulus dalam kesatuan lahir-batin yang mencangkup seluruh hidupnya. Persetujuan bebas merupakan syarat mutlak untuk terjadinya dan sahnya perkawinan. Cinta mensyaratkan kebebasan serta tanggung jawab, tidak ada cinta yang dipaksa atau terpaksa dan ini harus dinyatakan secara jelas di depan saksi-saksi yang sah. Unsur pokok dalam cinta perkawinan adalah kesetiaan kepada pasangannya dalam untung dan malang dan bertanggung jawab dalam segala hal.

b. Perkawinan merupakan lembaga sosial

Menurut Gilarso (2011: 10) dalam masyarakat umumnya perkawinan dipandang sebagai satu-satunya lembaga yang mengizinkan persekutuan pria dan wanita, hubungan seks dan mendapatkan keturunan. Maka dari itu perkawinan dilindungi dan diatur oleh hukum adat dan hukum negara. Perkawinan juga melibatkan masyarakat luas, baik sanak-saudara maupun tetangga dan kenalan. Keluarga adalah sel masyarakat, sebab masyarakat ikut ambil bagian dalam urusan perkawinan karena mereka ikut berperan dalam keutuhan kehidupan keluarga.

c. Perkawinan merupakan lembaga hukum negara

Menurut Gilarso (2011: 10) perkawinan adalah ikatan resmi dan harus disahkan. Perkawinan bukan ikatan bebas menurut selera sendiri melainkan soal masyarakat, soal sosial, soal keluarga, dan masa depan bangsa. Maka dari itu negara ikut campur tangan dalam masalah perkawinan warganya. Negara mengatur perkawinan sebagai lembaga hukum resmi.

d. Perkawinan antara dua orang yang dibaptis merupakan sakramen

Menurut Gilarso (2011: 10) dengan dibaptis berarti ia telah bersatu secara pribadi dengan Kristus. Maka perkawinan antara dua pribadi yang dibaptis merupakan perayaan iman Gerejawi, yang membuahkan rahmat bagi kedua mempelai. Ikatan cinta setia yang mempersatukan mereka menjadi lambang, tanda, dan perwujudan kasih setia Kristus kepada Gereja dan saluran rahmat bagi mereka. Sakramen perkawinan tidak hanya sebatas upacara di Gereja saja tetapi

berlangsung terus-menerus selama hidup mereka berdua. Maka Tuhan sendiri berkenan hadir di dalam keluarga mereka. Rahmat yang mereka terima adalah rahmat yang menguduskan mereka berdua, rahmat yang menyempurnakan cinta dan mempersatukan mereka, dan rahmat yang membantu dan membimbing mereka dalam hidup berkeluarga, hingga semakin dekat dengan Tuhan.

2. Dasar Perkawinan

Menurut Adi Hardana (2010: 11) dasar dari sebuah perkawinan adalah cinta kasih yang tampak jelas dalam persetujuan bebas dari kedua calon mempelai. Persetujuan bebas dari kedua calon mempelai ini merupakan keputusan yang diambil tanpa adanya paksaan dan sekaligus menjadi prasyarat dari sebuah perjanjian perkawinan yang sah. Menurut Gaudium Et Spes artikel 49 dikatakan bahwa, sabda Ilahi mengundang para mempelai dan suami-istri untuk terus memelihara dan memupuk janji setia dengan cinta yang murni dan perkawinan dengan kasih yang tak terbagi sebab Tuhan sendiri telah berkenan menyehatkan, menyempurnakan, dan mengangkat cinta kasih itu dengan karunia istimewa rahmat dan kasih sayang. Cinta seperti ini memadukan segi manusiawi dan Ilahi, serta mengantarkan suami-istri kepada serah diri bebas dan timbal balik yang dibuktikan dengan perasaan dan tindakan mesra, dengan demikian mereka mampu untuk meresapi seluruh hidup mereka sebagai satu kesatuan di hadapan Allah.

Cinta kasih sebagai dasar perkawinan memiliki peranan besar dalam mensukseskan perkawinan. Cinta perlu disadari sebagai suatu keputusan pribadi untuk bersatu dan memberikan diri demi kebahagiaan bersama dan harus terus menerus dikembangkan dan dimurnikan agar dapat membawa kebahagiaan.

Penting untuk terus menerus memupuk rasa cinta agar keharmonisan dapat tercapai. Maka keluarga perlu dibangun dengan ikatan penuh cinta kasih sebagai pegangan atau pedoman hidup. Cinta kasih secara istimewa diungkapkan dan disempurnakan melalui tindakan khas dalam hidup perkawinan. Tindakan mesra dan murni yang mempersatukan suami-istri perlu dipandang luhur dan terhormat, tindakan itu menandakan dan memupuk penyerahan diri timbal balik. Kesatuan perkawinan yang dikukuhkan oleh Tuhan tampak dalam kesamaan martabat pribadi antara suami dan istri yang tampil dalam kasih sayang timbal balik dan penuh untuk selamanya. Cinta kasih menjadi dasar perkawinan dan merupakan Rahmat dan kasih sayang Tuhan.

3. Tujuan Perkawinan

Menurut Gilarso (2011: 11-12) perkawinan dapat dilaksanakan dengan tujuan yang berbeda-beda. Tujuan yang layak dikejar oleh suami-istri ialah pengembangan dan pemurnian cinta kasih suami-istri, kelahiran dan pendidikan anak, pemenuhan kebutuhan seksual, dan lain-lain.

a. Pengembangan dan pemurnian cinta kasih suami-istri

Menurut Gilarso (2011: 11) kasih yang ada masih harus dikembangkan dan dimurnikan, sehingga sungguh-sungguh dapat saling membahagiakan. Cinta adalah keputusan pribadi untuk bersatu dan rela menyerahkan diri demi kebahagiaan pasangannya, bukan semata-mata dorongan nafsu, rasa tertarik, rasa simpati atau asmara. Suami-istri bukan sekedar pasangan melainkan belahan jiwa serta teman seperjalanan.

b. Kelahiran dan pendidikan anak

Menurut Gilarso (2011: 11) perkawinan adalah satu-satunya lembaga yang sah untuk pemenuhan keinginan mempunyai anak. Suami-istri yang normal mempunyai kerinduan untuk memiliki keturunan. Perlu disadari bahwa anak adalah anugerah Tuhan. Bila Tuhan belum memberikan anak, perkawinan tidak kehilangan artinya. Menurut Adi Hardana (2010: 14) cinta kasih suami-istri tidak hanya tertuju pada diri mereka sendiri, tetapi juga kepada orang lain dalam hal ini tertuju kepada kelahiran anak. Karena itulah, dengan bantuan rahmat Allah, suami-istri dipanggil oleh Allah untuk bekerja sama dalam penerusan generasi baru dengan sikap keterbukaan untuk menerima karunia (hidup baru) yang diberikan Tuhan.

c. Pemenuhan kebutuhan seksual

Menurut Gilarso (2011: 12) pria dan wanita yang dewasa dan normal merasakan kebutuhan seksual. Kebutuhan itu layak dipenuhi melalui hubungan seks antara suami-istri dalam lembaga perkawinan yang sah. Gereja menolak dengan tegas setiap hubungan seks di luar lembaga perkawinan yang resmi. Itu berarti bahwa persetubuhan diadakan dengan kesadaran dan tanggung jawab penuh, sehingga kebutuhan itu terpenuhi dalam suasana cinta kasih, dan disertai kerelaan untuk menerima hidup baru sebagai hasil perpaduan cinta kasih mereka.

d. Lain-lain

Menurut Gilarso (2011: 12) perkawinan juga mempunyai maksud atau tujuan antara lain, misalnya: kesejahteraan keluarga, jaminan perlindungan dan

keamanan; demi ketenangan, nama baik, kerukunan keluarga; jaminan nafkah atau ekonomi, sah dan sehatnya keturunan, dsb.

4. Ciri-ciri Perkawinan Kristiani

Menurut Adi Hardana (2010: 13-14) perkawinan yang baik harus memiliki dan memperjuangkan ciri-ciri seperti monogami, tak-terceraikan, dan Perkawinan sebagai sakramen.

a. Monogami

Menurut Adi Hardana (2010: 13) perkawinan monogami adalah bentuk perkawinan yang diadakan antara satu pria dengan satu wanita, dan sebaliknya. Seorang suami selayaknya hanya mempunyai satu istri, begitu juga dengan istri mempunyai satu suami saja. Jenis perkawinan semacam ini menjamin pemberian cinta yang utuh dan tak terbagi di antara keduanya. Ciri monogami ini menolak perkawinan yang poliandri (satu perempuan dengan dua atau lebih laki-laki) atau poligami (satu laki-laki dengan dua atau lebih perempuan), baik secara hukum maupun moral.

b. Tak-terceraikan

Menurut Adi Hardana (2010: 14) dalam perkawinan, suami dan istri telah mempersatukan diri secara bebas untuk seumur hidup, bahkan disatukan oleh rahmat Tuhan sendiri. Maka, cinta kasih mereka pun harus bercirikan kesetiaan seumur hidup. Sebagaimana cinta kasih Allah kepada umat-Nya adalah kekal abadi, demikianlah juga hendaknya cinta kasih antara suami-istri. Sifat tak

terceraikan ini mengandung makna lebih dalam yaitu perjuangan untuk memupuk kesetiaan terhadap pasangan dalam segala aspek kehidupan. Perceraian merupakan bukti kegagalan suami-istri dalam mengembangkan cinta yang sejati.

c. Perkawinan sebagai sakramen

Dalam (KHK, kan. 1061) ciri-ciri hakiki (proprietates) perkawinan ialah unitas (kesatuan) dan indissolubilitas (sifat tak-dapat-terputuskan), yang dalam perkawinan kristiani memperoleh kekukuhan khusus atas dasar sakramen. Ciri-ciri hakiki yang menjadi Ciri-ciri khas setiap perkawinan adalah kesatuan (unitas) dan tak-terceraikan (indissolubilitas). Kesatuan atau unitas ini menunjuk unsur unitif dan monogami perkawinan. Menurut Rubiyatmoko (2011: 21) unsur unitif dimaksudkan sebagai unsur yang menyatukan suami-istri secara lahir dan batin. Sedangkan, unsur monogam menyatakan bahwa perkawinan hanya sah jika dilaksanakan hanya antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Menurut Rubiyatmoko (2011: 21) yang dimaksudkan dengan tak-terceraikan atau indissolubilitas adalah bahwa perkawinan yang telah dilangsungkan secara sah menurut tuntutan hukum, mempunyai akibat tetap dan tidak dapat diceraikan atau diputuskan oleh kuasa mana pun kecuali oleh kuasa kematian.

5. Peranan Keluarga Kristiani

Menurut Gilarso (2011: 13) keluarga Kristiani sebagai “Gereja mini” artinya adalah persekutuan dasar iman dan tempat persemaian iman sejati. Maka dalam keluarga Katolik, pertama-tama diharapkan agar berkembanglah iman yang menghangatkan suasana. Iman di sini bukan pertama-tama berarti pengetahuan

agama (meskipun itu juga penting) tetapi lebih pada sikap atau penghayatan agama, yang diwujudkan dalam usaha untuk menjaga suasana kedamaian, kerja sama dan kerukunan dalam keluarga. Dengan demikian, Tuhan sendiri akan hadir di tengah-tengah keluarga untuk membawa keselamatan dan rahmat-Nya.

6. Fungsi Keluarga

Menurut Konseng & Tukan (1991: 52) fungsi keluarga dibagi menjadi dua bagian yaitu fungsi dasar dan fungsi yang mendesak.

a. Fungsi Dasar

Menurut Konseng & Tukan (1991: 52) dalam masyarakat, keluarga mempunyai fungsi dasar, antara lain sebagai basis dukungan bagi kebutuhan emosional, di mana masing-masing anggota keluarga dapat mengalami kebersamaan hidup, dalam suka dan duka. Bersedia menikmati kegembiraan dan menanggung kesedihan secara bersama-sama. Sebagai tempat di mana masing-masing anggota saling membantu dan memberikan dukungan dalam pengembangan kepribadian. Sebagai basis bagi kelanjutan keturunan, di mana orangtua melahirkan, membesarkan dan mendidik anak. Sebagai tempat bernaung di mana tercipta kondisi bagi perkembangan dan rasa aman. Sebagai basis untuk mempersiapkan anggota-anggota masyarakat yang baik.

b. Fungsi yang Mendesak

Pada zaman teknologi dan industrialisasi ini, menurut Konseng & Tukan (1991: 52) ada beberapa penjabaran dari fungsi dasar di atas yang dianggap

mendesak, antara lain sebagai unit ikatan cinta antara suami dan istri, bapak dan ibu, orangtua dan anak. Sebagai wadah pencipta rasa aman dan rasa diterima bagi masing-masing anggota keluarga. Sebagai wadah di mana masing-masing anggota keluarga menemukan kepuasan hidup yang sangat mendasar dan perasaan bahwa hidupnya punya tujuan. Sebagai wadah penjamin kesinambungan persahabatan. Sebagai wadah pemberi garansi akan identias seseorang dan sosialisasinya dalam masyarakat. Sebagai wadah pengontrol dan penanaman rasa tentang kebenaran bagi masing-masing anggota keluarga.

7. Tugas Suami-istri

Menurut Gilarso (2011: 13) Perkawinan memberi hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu kepada suami dan istri. Suami dan istri Kristiani diberi tugas suci oleh Gereja (dan negara) untuk membangun keluarga penuh cinta kasih, mendidik generasi muda, ikut membangun masyarakat, dan ikut membangun gereja.

a. Membangun keluarga penuh cinta kasih

Menurut Gilarso (2011: 14) cinta menjadi dasar dalam hidup berkeluarga demi tercapainya kebahagiaan. Cinta menjadikan relasi dalam keluarga semakin akrab, maka cinta kasih perlu ditanamkan dalam keluarga mulai dari diri sendiri dan anak-anak sejak dini, juga menjadi dasar dalam berrelasi dengan sesama seperti sanak-saudara, tetangga, lingkungan di sekitar dan kepada semua orang. Melalui pernikahan, suami-istri membangun suatu persekutuan cinta yang kita sebut keluarga Kristiani.

b. Mendidik generasi muda

Menurut Gilarso (2011: 14) agar dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, anak-anak perlu bimbingan orang dewasa. Suami-istri hendaknya bersedia dan mampu untuk mendidik generasi muda, terutama anak-anak mereka sendiri. Orangtua adalah pendidik pertama dan utama bagi putra-putrinya terutama berkaitan dengan nilai-nilai dasar (kejujuran, kesopanan, ketulusan, kesabaran, pengampunan, dll); nilai-nilai religius (cinta akan Tuhan dan alam ciptaan-Nya, kebiasaan berdoa, membaca atau merenungkan sabda Tuhan, menghadiri perayaan Ekaristi, penerimaan Sakramen pengampunan, bersyukur kepada Tuhan, serta pasrah pada kehendak-Nya). Demikian juga dalam pendidikan formal, orangtua tetap adalah pendidik pertama dan utama, artinya mereka tidak bisa melepaskan diri dari tangung jawab ini. Orangtua tetap berperan dalam pendampingan anak-anak juga dalam hal pendidikan formal dengan memberikan perhatian, waktu bagi anak-anak, serta mengikuti setiap langkah perkembangan mereka.

c. Ikut membangun masyarakat

Menurut Gilarso (2011: 15) keluarga juga terpanggil untuk hidup bermasyarakat dengan sebaik-baiknya serta ikut membangun masyarakat dengan bertindak jujur, adil, berke-Tuhanan dan berperikemanusiaan. Keluarga Kristiani adalah bagian integral dari masyarakat. Karena itu, keluarga disebut sebagai sel terkecil dari masyarakat. Sama seperti tubuh manusia terdiri atas banyak sel, demikian juga halnya masyarakat. Keluarga Kristiani adalah satu di antara banyak sel masyarakat. Dengan bertumbuh menjadi sel yang sehat berarti keluarga

Kristiani ikut ambil bagian dalam membangun masyarakat menjadi masyarakat yang sehat.

d. Ikut membangun Gereja

Menurut Gilarso (2011: 15) umat terdiri dari keluarga-keluarga maka suami-istri Kristiani terpanggil untuk ikut ambil bagian dalam membangun umat (Jemaat). Mereka diharapkan aktif meneguhkan iman mereka sendiri dengan membina hidup rohani keluarganya. Ikut aktif dalam kegiatan umat beriman khususnya di Gereja atau lingkungan, serta mendidik anak-anak dengan contoh atau teladan dan nilai-nilai iman Katolik yang benar. Dengan bertindak demikian, keluarga-keluarga Kristiani akan mampu menjadi saksi Kristus untuk mewartakan injil keselamatan bagi masyarakat sekitarnya sehingga semakin banyak orang yang mendengar, menerima kabar gembira itu dan akhirnya mengimani Kristus sebagai Sang Juru Selamat.

8. Tanggung Jawab dalam Membangun Hidup Berkeluarga Kristiani

Menurut Gilarso (2011: 14) tanggung jawab dalam membagun keluarga kristiani antara lain: membangun keluarga penuh cinta kasih. Melalui pernikahan, suami-istri membangun suatu persekutuan cinta yang disebut keluarga Kristiani. Cinta itu pertama-tama harus diusahakan antara mereka berdua sendiri, kemudian kepada anak-anak, juga kepada sanak-saudara, tetangga, lingkungan-orang kecil dan miskin. Karena itu, segenap anggota keluarga terutama suami-istri harus berusaha dengan sekuat tenaga menumbuhkembangkan cinta kasih di dalam kehidupan mereka. Bila cinta kasih ada dalam keluarga, maka sikap keterbukaan,

saling pengertian, saling mengampuni, serta saling mendukung satu sama lain dalam hal-hal yang baik akan muncul dalam keluarga.

9. Doa keluarga

Banyak cara yang diusulkan untuk mengatasi konflik dalam keluarga. Semua cara tersebut adalah usaha manusia untuk memperbaiki kehidupan keluarga dengan memakai akal budi yang telah diberikan oleh Tuhan kepada manusia. Namun perlu diperhatikan bahwa perkawinan terjadi antara seorang suami dan seorang istri dalam Tuhan. Akal budi belum mencukupi untuk menyelesaikan konflik keluarga, Kekuatan manusia sangat terbatas. Manusia membutuhkan kekuatan dari luar manusia yaitu Tuhan. Oleh karena itu doa harus menjadi pusat kehidupan keluarga. Keluarga yang selalu berdoa bersama akan tetap hidup bersatu. Orang beriman akan menyelesaikan konflik keluarga dengan terang dari kehendak Allah (Gabriella & Tukan, 1991: 76). Menurut Adi Hardana (2010: 206) doa adalah makanan rohani sehari-hari, maka keluarga perlu memberi tempat dan waktu secukupnya dalam kegiatan sepanjang hari. Masing-masing orang dapat berdoa sendiri-sendiri, tetapi doa bersama mempunyai suatu daya yang lebih di hadapan Tuhan.

Dokumen terkait