• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VII RENCANA PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR CIPTA KARYA 7.1. Sektor Pengembangan Kawasan Permukiman - DOCRPIJM 1502193572BAB VII RENCANA PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR CIPTA KARYA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB VII RENCANA PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR CIPTA KARYA 7.1. Sektor Pengembangan Kawasan Permukiman - DOCRPIJM 1502193572BAB VII RENCANA PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR CIPTA KARYA"

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

BAB VII

RENCANA PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR CIPTA KARYA

7.1. Sektor Pengembangan Kawasan Permukiman

Berdasarkan UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan

Kawasan Permukiman, permukiman didefinisikan sebagai bagian dari

lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan

yangmempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai

penunjang kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan atau perdesaan.

Kegiatan pengembangan permukiman terdiri dari pengembangan

permukiman kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan.

Pengembangan permukiman kawasan perkotaan terdiri dari

pengembangan kawasan permukiman baru dan peningkatan kualitas

permukiman kumuh, sedangkan untuk pengembangan kawasan

perdesaan terdiri dari pengembangan kawasan permukiman perdesaan

yang terdiri atas permukiman nelayan dan permukiman adat

(kampung bajo).

7.1.1. Kondisi Eksisting Permukiman Kumuh Perdesaan

1. Kecamatan Lakudo

Berdasarkan hasil pengumpulan data Kecamatan Lakudo

terdiri dari 12 desa dan 3 Kelurahan. Dimana keberadaan permukiman

dengan jumlah bangunan yang terdata berjumlah 3325 rumah dengan

kondisi fisik bangunan permanen berjumlah 973 dan bangunan non

permanen 1407. Sebagian besar Kecamatan Lakudo sudah terlayani

baku air minum dari PDAM dan ada juga mata air yang digunakan

sebagai sumber air. Untuk keberdaan MCK di Kecamatan Lakudo

hampir semua desa yang ada telah memiliki MCK hanya saja pada desa

Wongko Matawine yang menggunakan MCK umum dan belum yang

memiliki lebih banyak dengan jumlah 155 dan 149. Dari data

(2)

ttinggi berada di Ibukota Kecamatan, dengan keteraturan bangun yang

terkontrol oleh jaringan jalan. Memiliki jangkauan jaringan jalan yang

melewati permukiman dengan kualitas jaringan jalan yang baik dan

telah terlayani oleh PDAM. Berdasarkan hasil pengolahan pada

Kecamatan Lakudo Memiliki dua kelas tingkat permukiman kumuh

yaitu pertama tingkat permukiman sedang seluas 173,02 ha dan kedua

tingkat permukiman kumuh dengan luas 7,04 ha yang berada pada

Desa Teluk Lasongko dan Desa Mone. Dilihat dari indikator yang

dikumpulkan, berdasarkan kondisi bangunan permukiman

menghadap jalan dan membelakangi laut, dengan tipe permukiman

non permanen dan daerah kumuh belum memiliki MCK dan

pengolahan sampah. Berikut data hasil Survey lapangan. Identifikasi

permukiman kumuh yang ada di Kabupaten Buton Tengah karena

spot-spot dari permukiman menyebar sepanjang pesisir pantai dan

teluk begitu juga yang ada di Kecamatan Lakudo. Lebih jelasnya

sebagaimana ditunjukan pada gambar dan tabel di bawah:

(3)
(4)

2. Kecamatan GU

Berdasarkan hasil pengumpulan data Kecamatan GU terdiri

dari 10 desa dan 2 Kelurahan. Dimana keberadaan permukiman

dengan jumlah bangunan yang terdata berjumlah 17107 rumah

dengan kondisi fisik bangunan permanen berjumlah 11050 dan

bangunan non permanen 6057. Sebagian besar Kecamatan GU sudah

terlayani baku air minum dari PDAM dan ada juga mata air yang

digunakan sebagai sumber air. Untuk keberdaan MCK di Kecamatan

GU hampir semua desa yang ada telah memiliki MCK tetapi pada Desa

Lowu-Lowu dan Desa Bantea yang tidak memiliki MCK lebih banyak

yaitu sebesar 157 dan 134 rumah. Dari data kepadatan permukiman

Kecamatan GU yang memiliki kepadatan ttinggi berada di Ibukota

Kecamatan, dengan keteraturan bangun yang terkontrol oleh jaringan

jalan. Memiliki jangkauan jaringan jalan yang melewati permukiman

dengan kualitas jaringan jalan yang baik dan telah terlayani oleh

PDAM. Dari hasil pengolahan pada Kecamatan GU Memiliki dua kelas

tingkat permukiman kumuh yaitu pertama tingkat permukiman

sedang seluas 169,14 ha dan kedua tingkat permukiman kumuh

dengan luas 19,00 ha yang berada pada Desa Bantea, Desa

Bombonawulu dan Desa Wadiabero. Dilihat dari indikator yang

dikumpulkan, berdasarkan kondisi bangunan permukiman

menghadap jalan dan membelakangi laut, dengan tipe permukiman

non permanen dan daerah kumuh belum memiliki MCK dan

pengolahan sampah. Berikut data hasil Survey lapangan. Identifikasi

permukiman kumuh yang ada di Kabupaten Buton Tengah karena

spot-spot dari permukiman menyebar sepanjang pesisir pantai dan

teluk begitu juga yang ada di Kecamatan GU. Sebagiaimana ditunjukan

(5)
(6)
(7)

3. Kecamatan Sangia Wambulu

Berdasarkan hasil pengumpulan data Kecamatan Sangia

Wambulu terdiri dari 5 desa dan 1 Kelurahan. Dimana keberadaan

permukiman dengan jumlah bangunan yang terdata berjumlah 1586

rumah dengan kondisi fisik bangunan permanen berjumlah 259dan

bangunan non permanen 1377. Sebagian besar Kecamatan Sangia

Wambulu sudah terlayani baku air minum dari PDAM dan ada juga

mata air yang digunakan sebagai sumber air. Untuk keberdaan MCk di

Kecamatan Sangia Wambulu hampir semua desa yang ada telah

memiliki MCK. Dari data kepadatan permukiman Kecamatan Sangi

Wambulu yang memiliki kepadatan tinggi berada di Ibukota

Kecamatan, dengan keteraturan bangun yang terkontrol oleh jaringan

jalan. Memiliki jangkauan jaringan jalan yang melewati permukiman

dengan kualitas jaringan jalan yang baik. Dari hasil pengolahan pada

Kecamatan Sangia Wambulu Memiliki tiga kelas tingkat permukiman

kumuh yaitu pertama tingkat permukiman rendah seluas 58,38 ha,

tingkat sedang seluas 10,03 ha dan ketiga tingkat permukiman kumuh

dengan luas 2,98 ha yang berada pada Kelurahan Tolandona. Dilihat

dari indikator yang dikumpulkan, berdasarkan kondisi bangunan

permukiman menghadap jalan dan membelakangi laut, dengan tipe

permukiman non permanen dan daerah kumuh belum memiliki MCK

dan pengolahan sampah. Berikut data hasil Survey lapangan.

Identifikasi permukiman kumuh yang ada di Kabupaten Buton Tengah

karena spot-spot dari permukiman menyebar sepanjang pesisir pantai

dan teluk begitu juga yang ada di Kecamatan Sangia Wambulu.

(8)
(9)
(10)

4. Kecamatan Mawasangka

Berdasarkan hasil pengumpulan data Kecamatan Mawasangka

terdiri dari 17 desa dan 2 Kelurahan. Dimana keberadaan permukiman

dengan jumlah bangunan yang terdata berjumlah 4917 rumah dengan

kondisi fisik bangunan permanen berjumlah 2152 dan bangunan non

permanen 2896. Sebagian besar Kecamatan Mawasangka sudah

terlayani baku air minum dari PDAM dan ada juga mata air yang

digunakan sebagai sumber air. Untuk keberdaan MCk di Kecamatan

Mawasangka hampir semua desa yang ada telah memiliki MCK. Dari

data kepadatan permukiman Kecamatan Mawasangka yang memiliki

kepadatan tinggi berada di Ibukota Kecamatan, dengan keteraturan

bangun yang terkontrol oleh jaringan jalan. Memiliki jangkauan

jaringan jalan yang melewati permukiman dengan kualitas jaringan

jalan yang baik. Dari hasil pengolahan pada Kecamatan Mawasangka

Memiliki tiga kelas tingkat permukiman kumuh yaitu pertama tingkat

permukiman rendah seluas 159,59 ha, tingkat sedang seluas 36,52 ha

dan ketiga tingkat permukiman kumuh dengan luas 11,86 ha yang

berada pada Desa Terapun dan Kelurahan Mawasangka. Dilihat dari

indikator yang dikumpulkan, berdasarkan kondisi bangunan

permukiman menghadap jalan dan membelakangi laut, dengan tipe

permukiman non permanen dan daerah kumuh belum memiliki MCK

dan pengolahan sampah. Berikut data hasil Survey lapangan.

Identifikasi permukiman kumuh yang ada di Kabupaten Buton Tengah

karena spot-spot dari permukiman menyebar sepanjang pesisir pantai

dan teluk begitu juga yang ada di Kecamatan Mawasangka.

(11)
(12)
(13)

5. Kecamatan Mawasangka Tengah

Berdasarkan hasil pengumpulan data Kecamatan Mawasangka

Tengah terdiri dari 9 desa dan 1 Kelurahan. Dimana keberadaan

permukiman dengan jumlah bangunan yang terdata berjumlah 2413

rumah dengan kondisi fisik bangunan permanen berjumlah 725 dan

bangunan non permanen 1668. Sebagian besar Kecamatan

Mawasangka sudah terlayani baku air minum dari PDAM dan ada juga

mata air yang digunakan sebagai sumber air. Untuk keberdaan MCk di

Kecamatan Mawasangka Tengah hampir semua desa yang ada telah

memiliki MCK hanya saja Desa Morikana yang memiliki MCK lebih

sedit dari pada yang memiliki MCK. Dari data kepadatan permukiman

Kecamatan Mawasangka Tengah yang memiliki kepadatan tinggi

berada di Ibukota Kecamatan, dengan keteraturan bangun yang

terkontrol oleh jaringan jalan. Memiliki jangkauan jaringan jalan yang

melewati permukiman dengan kualitas jaringan jalan yang baik Dari

hasil pengolahan pada Kecamatan Mawasangka Tengah hanya

Memiliki satu tingkatan kelas yaitu rendah dengan luas 57,20 ha dan

tidak memiliki wilayah yang masuk dalam kategori kumuh. Dilihat dari

indikator yang dikumpulkan, berdasarkan kondisi bangunan

permukiman menghadap jalan dan membelakangi laut, dengan tipe

permukiman non permanen dan daerah kumuh belum memiliki MCK

dan pengolahan sampah. Berikut data hasil Survey lapangan.

Identifikasi permukiman kumuh yang ada di Kabupaten Buton Tengah

memiliki spot-spot dari permukiman yang menyebar sepanjang pesisir

pantai dan teluk begitu juga yang ada di Kecamatan Mawasangka

Tengah. Sebagiaimana ditunjukan pada gambar dan tabel berikut:

(14)
(15)
(16)

6. Kecamatan Mawasangka Timur

Berdasarkan hasil pengumpulan data Kecamatan Mawasangka

Timur terdiri dari 8 desa. Dimana keberadaan permukiman dengan

jumlah bangunan yang terdata berjumlah 1708 rumah dengan kondisi

fisik bangunan permanen berjumlah 322 dan bangunan non permanen

1262. Sebagian besar Kecamatan Mawasangka Timur sudah terlayani

baku air minum dari PDAM dan ada juga mata air yang digunakan

sebagai sumber air. Untuk keberdaan MCk di Kecamatan Mawasangka

Timur hampir semua desa yang ada telah memiliki MCK. Dari data

kepadatan permukiman Kecamatan Mawasangka yang memiliki

kepadatan tinggi berada di Ibukota Kecamatan, dengan keteraturan

bangun yang terkontrol oleh jaringan jalan. Memiliki jangkauan

jaringan jalan yang melewati permukiman dengan kualitas jaringan

jalan yang baik. Dari hasil pengolahan pada Kecamatan Mawasangka

Timur Memiliki dua kelas tingkat permukiman kumuh yaitu pertama

tingkat permukiman rendah seluas 58,05 ha, tingkat kumuh tinggi

seluas 4,97 ha yang berada pada Desa Wambulolu dan Desa. Dilihat

dari indikator yang dikumpulkan, berdasarkan kondisi bangunan

permukiman menghadap jalan dan membelakangi laut, dengan tipe

permukiman non permanen dan daerah kumuh belum memiliki MCK

dan pengolahan sampah. Berikut data hasil Survey lapangan.

Identifikasi permukiman kumuh yang ada di Kabupaten Buton Tengah

memiliki spot-spot dari permukiman yang menyebar sepanjang pesisir

pantai dan teluk begitu juga yang ada di Kecamatan Mawasangka

(17)
(18)
(19)

7. Kecamatan Talaga Raya

Berdasarkan hasil pengumpulan data Kecamatan Talaga Raya

terdiri dari 2 kelurahan dan 8 desa. Dimana keberadaan permukiman

dengan jumlah bangunan yang terdata berjumlah 2336 rumah dengan

kondisi fisik bangunan permanen berjumlah 1125 dan bangunan non

permanen 940. Sebagian besar Kecamatan Talaga Raya sudah terlayani

baku air minum dari PDAM baik yang Swakelola Masayrakat dan

Swasta dan ada juga mata air yang digunakan sebagai sumber air.

Untuk keberdaan MCK di Kecamatan Talaga Raya hampir semua desa

yang ada telah memiliki MCK terkecuali Desa Kokoe hampir sebagian

permukiman tidak memilik MCK. Dari data kepadatan permukiman

Kecamatan Talaga Raya yang memiliki kepadatan tinggi berada di

Ibukota Kecamatan, dengan keteraturan bangun yang terkontrol oleh

jaringan jalan. Memiliki jangkauan jaringan jalan yang melewati

permukiman dengan kualitas jaringan jalan yang baik. Dari hasil

pengolahan pada Kecamatan Talaga Raya Memiliki dua kelas tingkat

permukiman kumuh yaitu pertama tingkat permukiman rendah seluas

50,33 ha, tingkat kumuh tinggi seluas 19,53 ha yang berada pada Desa

Kokoe, Desa Wulu, Kelurahan Talaga 1, Desa Pagilia dan Desa Talaga

Besar. Dilihat dari indikator yang dikumpulkan, berdasarkan kondisi

bangunan permukiman menghadap jalan dan membelakangi laut,

dengan tipe permukiman non permanen dan daerah kumuh belum

memiliki MCK dan pengolahan sampah. Berikut data hasil Survey

lapangan. Identifikasi permukiman kumuh yang ada di Kabupaten

Buton Tengah karena spot-spot dari permukiman menyebar sepanjang

pesisir pantai dan teluk begitu juga yang ada di Kecamatan Talaga

(20)
(21)
(22)

Berdasarkan uaraian kondisi diatas, maka luas pemukiman

kumuh menurut lampiran Surat Keputusan Bupati Buton Tengah

tentang Luasan permukiman kumuh Kabupaten Buton Tengah Tahun

2016, sebagaimana ditunjukan pada tabel berikut

Tabel 7.8

Luas permukiman kumuh perdesaan menurut kecamatan Kabupaten Buton Tengah Tahun 2016

No. Kecamatan Kelurahan/Desa

Luas

Kelurahan Talaga 1 18580.85

Pangilia 17270.32

Talaga Besar 12426.75

2 Lakudo Teluk Lasongko 60092.90 7.74

Mone 17332.41

3 Mawasangka

Timur

Wambuloli 3006.31 4.97

Inulu 46763.13

4 Mawasangka Kelurahan

Mawasangka

9700.77 11.87

Terapung 108999.20

5 Sangia Wambulu Kelurahan Tolandona 29869.75 2.98

6 Gu Bantea 116012.26 20.91

Bombonawulu 93119.26

Total 66.64

(23)

7.1.2. Kondisi Eksisting Permukiman Perdesaan dan Perkotaan

Berdasarkan hasil survey Tahun 2016, kondisi permukiman

eksisting, jumlah kepala keluarga dan rumah di kabupaten Buton

Tengah sebagaimana ditunjukan pada tabel berikut

Tabel 7.9

Jumlah Rumah, KK yang memiliki dan belum memiliki rumah menurut kecamatan Kabupaten Buton Tengah Tahun 2016

No Kecamatan

Sumber data : Data olah hasil survey Tahun 2016

Berdasarkan data di atas terdapat 4.346 kepala keluarga yang belum

memiliki rumah, sedangkan kepala keluarga yang memiliki rumah

berjumlah 22.949 atau 81% dari keseluruhan jumlah kepala keluarga.

Untuk itu upaya penyediaan rumah yang layak huni menjadi perhatian

bersama yang harus di barengi dengan upaya pemerintah daerah

membuka kawasan prmukiman baru.

A. Kawasan Permukiman Perkotaan Kabupaten

Kondisi umum lingkungan perumahan dan permukiman

perkotaan baru di Kecamatan Lakudo sebagai Ibukota Kabupaten

Buton Tengah, tersebar di sepanjang pesisir Pantai ataupun teluk,

(24)

permukiman linear berada pada kiri kanan jalan. Sedangkan sebaran

permukiman ke arah darat relatif masih sangat rencah.

Sebaran perumahan mengikuti pesisir pantai mempunyai

nilai sejarah tersendiri dimana sejak dahulu masyarakat yang

mendiami pesisir ini bermata pencaharian sebagai nelayan. Hasil

observasi sementara menunjukan bahwa tingkat kepadatan

perumahan relatif cukup tinggi khususnya di lingkungan permukiman

pesisir, wajah permukiman semrawut, dan relatif terbatas layanan

sarana dan prasarana dan utilitas umum. Seperti pada gambar

berikut:

Gambar 7.8. Kondisi lingkungan permukiman perkotaan Kec. Lakudo

Selama ini penyediaan perumahan di Kabupaten Buton

Tengah tidak hanya dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat

(25)

Kec. Gu. Selengkapnya kondisi RSH di Kabupaten Buton Tengah tersaji

pada Tabel dibawah ini :

Tabel 7.10

Data Kondisi RSH di Kabupaten Buton Tengah Tahun 2013

No.

Sumber: Hasil Wawancara Lapangan Tahun 2016

B. Permukiman Perdesaan

Kondisi eksisting permukiman perdesaan Kabupaten Buton

Tengah umumnya berada di kawasan pesisir pantai, sebagaimana

dijabarkan pada uraian berikut

1. Kecamatan Gu

Kondisi umum lingkungan perumahan dan permukiman di

Kecamatan Gu tidak jauh berbeda dengan Kecamatan lakudo, dimana

kondisi eksisting tersebar di sepanjang pesisir pantai ataupun teluk,

disamping itu tersebar mengikuti jaringan jalan utama sehingga

terbentuk pola permukiman grid berada pada kiri kanan jalan dan

persebaran permukiman ke arah darat relatif sudah mulai

berkembang.

Sebaran perumahan mengikuti pesisir pantai mempunyai

nilai sejarah tersendiri dimana sejak dahulu masyarakat yang

mendiami pesisir ini bermata pencaharian sebagai nelayan. Hasil

observasi sementara menunjukan bahwa tingkat kepadatan

perumahan relatif cukup tinggi khususnya di lingkungan permukiman

pesisir, wajah permukiman semrawut, dan terjadi reklamasi untuk

pengembangan permukiman ke arah laut. Seperti ditunjukan pada

(26)

Gambar 7.9. Kondisi lingkugan permukiman perdesaan Kec. Gu

2. Kecamatan Sangia Wambulu

Kondisi umum lingkungan perumahan dan permukiman di

Kecamatan Sangia Wambulu tidak jauh berbeda dengan 2 (dua)

kecamatan sebelumnya, dimana kondisi eksisting tersebar di

sepanjang pesisir pantai ataupun teluk, disamping itu pula tersebar

mengikuti jalan lokal yang berada di sepenjang pesisir. sehingga

terbentuk pola permukiman linear berada pada kiri kanan jalan. dan

persebaran permukiman ke arah darat relatif sudah mulai berkembang

sebab lahan yang tersedia di pesisir kecenderungan sudah terbatas.

Sebaran perumahan mengikuti pesisir pantai mempunyai

nilai sejarah tersendiri dimana sejak dahulu masyarakat yang

(27)

perumahan relatif cukup tinggi khususnya di lingkungan permukiman

ke arah darat, wajah permukiman semrawut (relatif jarak antar

bangunan terbatas). Seperti pada gambar berikut:

Gambar 7.10. Kondisi lingkungan permukiman perdesaan Kec. Sangia Wambulu

3. Kecamatan Mawasangka Timur

Kondisi umum lingkungan perumahan dan permukiman di

Kecamatan Mawasangka timur, tersebar di sepanjang pesisir pantai

ataupun teluk, tersebar membentuk pola grid yang mengikuti kiri

kanan jalan lingkungan permukiman. Dan persebaran permukiman ke

arah darat relatif sudah mulai berkembang.

Hasil observasi sementara menunjukan bahwa tingkat

kepadatan perumahan relatif tergolong menengah khususnya di

lingkungan permukiman pesisir, wajah permukiman semrawut, dan

(28)

air bersih dan kondisi permukaan jalan yang belum teraspal. Seperti

pada gambar berikut:

Gambar 7.11. Kondisi lingkungan permukiman perdesaan Kec. Mawasangka Timur

4. Kecamatan Mawasangka Tengah

Kondisi lingkungan perumahan dan permukiman di

Kecamatan Mawasangka tengah, umumnya tersebar di sepanjang jalan

utama dan jalan lingkungan permukiman. Dan persebaran

permukiman ke arah darat relatif sudah mulai berkembang dengan

pola linear mengikuti kiri kanan jalan.

Hasil observasi sementara menunjukan bahwa tingkat

kepadatan perumahan relatif tergolong rendah, terdapat kerteraturan

bangunan, kondisi permukaan jalan yang belum teraspal. Dan berlaku

hukum adat bagi kepemilikan lahan perumahan. Kondisi tersebut

(29)

Gambar 7.12. Kondisi lingkungan permukiman perdesaan Kec. Mawasangka Tengah

5. Kecamatan Mawasangka

Kondisi umum lingkungan perumahan dan permukiman di

Kecamatan Mawasangka tidak jauh berbeda dengan Kecamatan Gu di

atas, dimana kondisi eksisting tersebar di sepanjang pesisir pantai,

disamping itu tersebar mengikuti jaringan jalan lingkungan

permukiman sehingga terbentuk pola permukiman grid berada pada

kiri kanan jalan dan persebaran permukiman ke arah darat relatif

masih rendah perkembangannya

Sebaran perumahan mengikuti pesisir pantai mempunyai

nilai sejarah tersendiri dimana sejak dahulu masyarakat yang

mendiami pesisir ini bermata pencaharian sebagai nelayan. Hasil

observasi sementara menunjukan bahwa tingkat kepadatan

(30)

permukiman ke arah laut oleh masyarakat adat suku Bajo. Seperti

ditunjukan pada gambar berikut:

Gambar 7.13. Kondisi lingkungan permukiman perdesaan Kec. Mawasangka

6. Kecamatan Talaga Raya

Kondisi umum lingkungan perumahan dan permukiman di

Kecamatan Talaga Raya tidak jauh berbeda dengan Kecamatan

lainnya, dimana kondisi eksisting tersebar di sepanjang pesisir dan

pulau kecil, disamping itu tersebar mengikuti jaringan jalan

lingkungan permukiman sehingga terbentuk pola permukiman grid

berada pada kiri kanan jalan dan persebaran permukiman ke arah

darat relatif sudah cukup pesat perkembangannya.

Hasil observasi sementara menunjukan bahwa tingkat

(31)

reklamasi untuk pengembangan permukiman ke arah laut. Seperti

ditunjukan pada gambar berikut:

Gambar 7.14. Kondisi lingkungan permukiman perdesaan Kec. Talaga Raya

Kondisi permukiman perdesaan di Kabupaten Buton Tengah,

diprioritaskan pada pembangunan:

 Penyehatan dan perbaikan lingkungan permukiman kumuh

 Peningkatan aksesbilitas ke wilayah-wilayah belakang melalui

pengembangan jaringan jalan.

 Peningkatan ketersedian sarana dan prasarana produksi bagi

kawasan pertanian, perkebunan dan perikanan.

 Penetapan pusat-pusat pengumpul/akumulasi bagi hasil-hasil

pertanian.

(32)

7.1.3. Permasalahan dan Tantangan Pengembangan Permukiman

Permasalahan dan tantangan pengembangan permukiman

pada tingkat nasional antara lain Permasalahan pengembangan

permukiman diantaranya:

1) Masih luasnya kawasan kumuh sebagai permukiman tidak layak

huni sehingga dapat menyebabkan terjadinya degradasi

lingkungan, dan pelayanan infrastruktur yang masih terbatas.

2) Masih terbatasnya prasarana sarana dasar pada daerah

tertinggal, pulau kecil, daerah terpencil, dan kawasan perbatasan.

3) Belum berkembangnya Kawasan Perdesaan Potensial.

Tantangan pengembangan permukiman diantaranya:

1) Percepatan peningkatan pelayanan kepada masyarakat

2) Pencapaian target/sasaran pembangunan dalam Rencana

Strategis Ditjen Cipta Karya sektor Pengembangan Permukiman.

3) Pencapaian target MDG’s 2015, termasuk didalamnya pencapaian

Program-Program Pro Rakyat (Direktif Presiden)

4) Perhatian pemerintah daerah terhadap pembangunan bidang

Cipta Karya khususnya kegiatan Pengembangan Permukiman

yang masih rendah

5) Memberikan pemahaman kepada pemerintah daerah bahwa

pembangunan infrastruktur permukiman yang saat ini sudah

menjadi tugas pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota.

6) Penguatan Sinergi RP2KP/RTBL KSK dalam Penyusunan RPI2JM

bidang Cipta Karya pada Kabupaten/Kota.

Kabupaten Buton Tengah dengan potensi sumberdaya yang

terus melakukan pembangunan dengan pertumbuhan dan

perkembangan ekonomi yang terus meningkat, telah mengundang

migrasi dan pertambahan penduduk. Dengan motif perbaikan

ekonomi, migrasi penduduk terus meningkat sementara sarana dan

(33)

sederhana yang terbatas ketersediaan sarana dan prasarana

pemukimannya seperti air bersih, sanitasi, drainase dan pengelolaan

sampah dan limbah.

Adapun permasalahan dan tantangan pengembangan permukiman

yang ada di Kabupaten Buton Tengah dapat dilihat pada tabel dibawah

ini :

Tabel 7.11

Identifikasi Permasalahan dan Tantangan

Pengembangan Permukiman di Kabupaten Buton Tengah

(34)
(35)

 Permasalahan

7.1.4. Evaluasi Program-Program Sektor Pengembangan Kawasan

Permukiman

Beberapa hasil identifikasi kegiatan pengembangan

permukiman yang ada selama masih meliputi kegiatan pengembangan

permukiman kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan.

Pengembangan permukiman kawasan perkotaan terdiri dari :

1) pengembangan kawasan permukiman baru dalam bentuk

penyediaan perumahan baru oleh developer yang masih terbatas

baik lokasi dan jumlah yang terbangun, bahkan tercatat dari

sumber data sekunder berjumlah 1(satu) kawasan, serta

2) pembukaan dan pembangunan jaringan jalan baru Kecamatan

(36)

Sedangkan untuk pengembangan kawasan perdesaan terdiri dari:

1) pengembangan kawasan permukiman perdesaan masih sebatas

penyediaan perumahan melalui kegiatan bantuan stimulan

perumahan swadaya (BSPS) oleh Kementerian Perumahan Rakyat

di Kecamatan Lakudo pada tahun 2014 yang lalu.

2) pembukaan dan pembangunan jaringan jalan baru di lingkungan

permukiman perdesaan guna mendorong terbentuknya kawasan

permukiman baru, khususnya daerah pesisir

3) desa tertinggal dengan program PPIP dan RIS PNPM.

Selain kegiatan fisik di atas program/kegiatan pengembangan

permukiman dapat berupa kegiatan non-fisik seperti penyusunan

RP2KP dan RTBL KSK ataupun review bilamana diperlukan.

Pengembangan Kawasan Permukiman Perkotaan

• Infrastruktur kawasan permukiman kumuh

• Infrastruktur permukiman RSH

• Rusunawa beserta infrastruktur pendukungnya

Pengembangan Kawasan Permukiman Perdesaan

• Infrastruktur kawasan permukiman perdesaan potensial

(Agropolitan/Minapolitan)

• Infrastruktur kawasan permukiman rawan bencana

• Infrastruktur kawasan permukiman perbatasan dan pulau kecil

• Infrastruktur pendukung kegiatan ekonomi dan sosial (PISEW)

• Infrastruktur perdesaan PPIP

• Infrastruktur perdesaan RIS PNPM

Kegiatan pengembangan permukiman Kabupaten Buton Tengah sesuai

Renstra dari SKPD Terkait terdiri – dari :

1. Program Pengembangan Perumahan

a) Fasilitasi dan stimulasi Perumahan Masyarakat

(37)

c) Survey dan Pendataan Perumahan Rumah Tidak Layak

Huni (RTLH)

d) Penyusunan Rencana dan Strategi Pembangunan

Perumahan

e) Kerjasama Lembaga Bidang Perumahan

f) Pembangunan Rusunawa

g) Bantuan Stimulan Pembangunan Swadaya (BSPS)

h) Sosialisasi Peraturan Perundang-undangan Perumahan

i) Pengawasan Pembangunan Perumahan

j) Penanganan Lingkungan Perumahan Kumuh Berbasis

Kawasan (PLP2K-BK)

k) Pembangunan Stimulan Prasarana, Sarana dan Utilitas

Perumahan dan Permukiman

2. Program Lingkungan Sehat Perumahan

a) Pembangunan Sarana dan Prasarana Lingkungan

b) Pembangunan Sarana dan Prasarana Kawasan dan

Lingkungan Siap Bangun (KASIBA – LISIBA)

c) Penyediaan Sarana Sanitasi Dasar di Kawasan Kumuh

d) Pembangunan Sarana Air Bersih di Kawasan Kumuh

e) Penyusunan Pedoman Pengawasan Lingkungan Sehat

Perumahan

f) Penataan Kawasan Kumuh

g) Peningkatan Peran Serta masyarakat dalam Pelestarian

Lingkungan Permukiman

h) Penyediaan sarana air bersih dan sanitasi dasar terutama

bagi masyarakat miskin

3. Program Penataan Lingkungan Permukiman

a) Penyehatan Lingkungan Permukiman

b) Penataan jalan dalam lingkungan permukiman khususnya

permukiman kumuh

(38)

4. Usulan dan Program Kegiatan

a) Usulan Program dan Kegiatan Pengembangan Permukiman

Setelah melalui tahapan analisis kebutuhan untuk mengisi

kesenjangan antara kondisi eksisting dengan kebutuhan

maka perlu disusun usulan program dan kegiatan. Namun

usulan program dan kegiatan terbatasi oleh waktu dan

kemampuan pendanaan pemerintah Kabupaten Buton

Tengah. Sehingga untuk jangka waktu perencanaan lima

tahun dalam RPI2JM dibutuhkan suatu kriteria untuk

menentukan prioritasi dari tahun pertama hingga kelima.

b) Usulan Pembiayaan Pembangunan Permukiman

Pembiayaan usulan program terdiri-dari pembiayaan dari

Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, Pemerintah

Kabupaten, Swadaya masyarakat, dan pihak swasta. Dana

dari Pemerintah Kabupaten merupakan dana pendamping

atau dana sharing yang diwajibkan oleh Pemerintah Pusat.

Berdasarkan kondisi eksisting, tantangan dan permasalahan

pngembangan kawasan permukiman serta evaluasi program

kegiatan/proyek pengembangan permukiman, maka Matriks Rencana

Program Investasi Jangka Menengah (RPIJM) Bidang Cipta Karya

Kabupaten Buton Tengah Tahun 2016 – 2020 bidang Pengembangan

Permukiman dengan menggunakan analisis sistem informasi geografis,

ditunjukan pada tabel berikut.

Tabel 7.12

Matriks sektor pengembangan kawasan permukiman

No Uraian sasaran

(39)

2

Kawasan Permukiman Perdesaan

1.373,28 274.656 274.656 274.656 274.656 274.656

3 Kawasan Permukiman Khusus, terdiri atas : Permukiman

pesisir/nelayan 448,37 89.674 89.674 89.674 89.674 89.674

Permukiman

pulau 79,40 15.88 15.88 15.88 15.88 15.88

Permukiman perkotaan (Kel. Lakudo)

61,65 12.33 12.33 12.33 12.33 12.33

Sumber: Rencana sektor pengembangan kawasan permukiman Tahun 2016

Berdasarkan tabel di atas bahwa program pengembangan

permukiman perdesaan menjadi sasaran utama gunan meminimalisir

pertumbuhan permukiman kumuh di samping pnguatan program

pengentasan kawasan permukiman kumuh itu sendiri gunan

(40)

7.2. Sektor Penataan Bangunan Dan Lingkungan

Agenda Nasional di bidang penataan bangunan dan lingkungan,

salah satunya adalah program membangun melalui pinggiran, yaitu

Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri, sebagai wujud

kerangka kebijakan yang menjadi dasar acuan pelaksanaan program –

program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan

masyarakat. Agenda Nasional lainnya adalah Pemenuhan Standar

Pelayanan Minimal (SPM) bidang Pekerjaan Umum dan Penataan

Ruang, khususnya untuk sektor PBL yang mengamanatkan

terlayaninya masyarakat dalam pengurusan IMB di Kab/Kota dan

tersedianya pedoman harga Standar Bangunan Gedung Negara

(HSBGN) di Kab/Kota.

Berdasarkan agenda – agenda tersebut maka isu strategis

tingkat nasional bidang PBL dapat dirumuskan sebagai berikut:

a) Pengendalian pemanfaatan ruang melalui RTBL;

b) PBL mengatasi tingginya frekuensi kejadian kebakaran di

perkotaan;

c) Pemenuhan kebutuhan ruang terbuka publik dan ruang terbuka

hijau (RTH) di perkotaan;

d) Revitalisasi dan pelestarian lingkungan permukiman tradisional

dan bangunan bersejarah berpotensi wisata untuk menunjang

tumbuh kembangnya ekonomi lokal;

e) Peningkatan kualitas lingkungan dalam rangka pemenuhan

standar pelayanan minimal;

f) Pelibatan Pemerintah daerah dan swasta serta masyarakat dalam

penataan bangunan dan lingkungan.

Arahan penataan bangunan dan lingkungan berdasarkan

Permen PU No. 6 Tahun 2007 tentang pedoman Umum Rencana Tata

(41)

lingkungan, serta memuat materi pokok ketentuan program bangunan

dan lingkungan, rencana umum dan panduan rancangan, rencana

investasi, ketentuan pengendalian rencana, dan pedoman

pengendalian pelaksanaan pengembangan lingkungan/kawasan.

Materi pokok dalam Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan meliputi:

a) Program bangunan dan lingkungan;

b) Rencana Umum dan Panduan Rancangan;

c) Rencana Investasi;

d) Ketentuan pengendalian Rencana;

e) Pedoman pengendalian pelaksanaan.

7.2.1. Peraturan Daerah tentang Bangunan Gedung dan NSPK di

Bidang Penataan Bangunan Dan Lingkungan

Dalam rancangan peraturan daerah tentang bangunan gedung

di Kabupateh Buton tengah, beberapa persyaratan menyangkut

penataan bangunan dan lingkungan, yaitu:

a) Bangunan gedung harus diselenggarakan sesuai dengan

peruntukan lokasi yang telah ditetapkan dalam RTRW Kabupaten

Buton dan/atau RDTR dan/atau RTBL dari lokasi yang

bersangkutan.

b) Pemerintah Daerah memberikan informasi mengenai rencana tata

ruang dan tata bangunan dan lingkungan kepada masyarakat

secara cuma-cuma.

c) Informasi berisi keterangan mengenai peruntukan lokasi, intensitas

bangunan yang terdiri dari kepadatan bangunan, ketinggian

bangunan, dan garis sempadan bangunan.

d) Bangunan gedung yang dibangun di atas prasarana dan sarana

umum, di bawah prasarana dan sarana umum, di bawah atau

diatas air, di daerah jaringan transmisi listrik tegangan tinggi, di

daerah yang berpotensi bencana alam, dan di kawasan

(42)

dengan peraturan perundang-undangan dan memperoleh

pertimbangan serta persetujuan dari pemerintah daerahdan/atau

instansi terkait lainnya.

e) Dalam hal terjadi perubahan RTRW Kabupaten Buton Tengah

dan/atau RDTR dan/atau RTBL yang mengakibatkan perubahan

peruntukan lokasi, maka fungsi bangunan gedung yang tidak

sesuai dengan peruntukan yang baru harus disesuaikan.

Dalam pemanfaatan lahan dalam pendirian bangunan gedung

didasarkan pada ketentuan penetapan koefisien dasar bangunan

(KDB), koefisien dasar hijau (KDH) dan ketinggian bangunan.

Penetapan KDB didasarkan pada luas kapling/persil,

peruntukan atau fungsi lahan, dan daya dukung lingkungan, dengan

ketentuan sebagai berikut:

1) bangunan gedung fungsi hunian, KDB sebesar 70% (tujuh puluh

(enam puluh persen);

5) bangunan gedung fungsi khusus, KDB sebesar 60% (enam puluh

persen);

6) bangunan gedung lebih dari satu fungsi, KDB sebesar 60% (enam

puluh persen).

Sedangkan penetapan Koefisien Dasar Hijau (KDH) ditentukan atas

dasar kepentingan pelestarian lingkungan/resapan air permukaan

yang disesuaikan dengan RTRW Kabupaten Buton Tengah atau sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,

(43)

tidak ditentukan, maka besarnya KDH minimum adalah 30% (tiga

puluh persen).

Ketinggian bangunan gedung meliputi ketentuan mengenai JLB dan

KLB yang dibedakan dalam KLB tinggi, sedang dan rendah. Dengan

persyaratan teknis, yaitu:

a) Ketinggian bangunan gedung tidak boleh mengganggu lalu lintas

penerbangan.

b) Ketinggian bangunan disesuaikan dengan RTRW Kabupaten Buton

atau RDTR atau yang diatur dalam RTBL atau sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

c) Untuk masing-masing lokasi yang belum dibuat tata ruangnya,

ketinggian maksimum bangunan gedung ditetapkan oleh instansi

terkait dengan mempertimbangkan lebar jalan, fungsi bangunan,

keselamatan bangunan, serta keserasian dengan lingkungannya.

d) Bangunan gedung dapat dibuat bertingkat ke bawah tanah

sepanjang memungkinkan untuk itu dan tidak bertentangan

dengan ketentuan perundang undangan.

e) Ketinggian bangunan deret maksimum 4 (empat) lantai dan

selebihnya harus berjarak dengan persil tetangga.

Selanjutnya, arahan garis sempadan dalam pengaturan

mendirikan bangunan gedung, pengaturan garis sempadan bangunan

gedung mengacu pada RTRW Kabupaten Buton atau RDTR atau yang

diatur dalam RTBL, atau sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Penetapan garis sempadan

bangunan didasarkan pada pertimbangan keamanan, kesehatan,

kenyamanan dan keserasian dengan lingkungan dan ketinggian

bangunan, dengan persyaratan teknis, yaitu:

a) GSB terluar yang sejajar dengan as jalan (rencana jalan)/tepi

sungai/tepi pantai ditentukan berdasarkan lebar jalan/rencana

jalan/lebar sungai/kondisi pantai, fungsi jalan dan peruntukan

(44)

lain adalah separuh dari Daerah Milik Jalan (Damija) dihitung dari

tepi jalan/pagar.

b) Letak GSB terluar untuk daerah pantai, bilamana tidak ditentukan

lain adalah 100 (seratus) meter dari garis pasang tertinggi ke arah

darat pantai yang bersangkutan.

c) Untuk lebar sungai yang kurang dari 5 (lima) meter, letak garis

sempadan adalah sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) meter dihitung

dari tepi jalan/pagar.

d) Letak GSB terluar pada bagian samping yang berbatasan dengan

tetangga bilamana tidak ditentukan lain adalah minimal 2,5 (dua

koma lima) meter dari batas kapling atau atas dasar kesepakatan

dengan tetangga yang saling berbatasan.

e) Letak GSB terluar pada bagian belakang yang berbatasan dengan

tetangga bilamana tidak ditentukan lain adalah minimal 2,5 (dua

koma lima) meter dari batas kapling atau atas dasar kesepakatan

dengan tetangga yang saling berbatasan.

f) Garis sempadan pagar terluar yang berbatasan dengan jalan

ditentukan berhimpit dengan batas terluar Ruang Milik Jalan

(RUMIJA).

g) Garis pagar di sudut persimpangan jalan ditentukan dengan

serongan/lengkungan atas dasar fungsi dan perempatan jalan.

h) Tinggi pagar yang berbatasan dengan jalan ditentukan paling tinggi

1,5 (satu koma lima) meter dari permukaan halaman/trotoar

dengan bentuk transparan atau tembus pandang.

i) Garis sempadan jalan masuk ke kapling bilamana tidak ditentukan

lain adalah berhimpit dengan batas terluar garis pagar.

j) Apabila GSB ditetapkan berhimpit dengan garis sempadan pagar,

cucuran atap suatu tritis/overstek harus diberi talang dan pipa

talang harus disalurkan sampai ke tanah.

(45)

sementara dengan berpedoman pada peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi setelah mendengar pertimbangan Tim

Ahli Bangunan Gedung (TABG).

Sedangkan pengaturan jarak bebas bangunan, dengan persyaratan

teknis, yaitu:

a) Jarak bebas bangunan gedung yang ditetapkan untuk setiap lokasi

harus sesuai dengan peruntukannya.

b) Setiap bangunan gedung yang dibangun tidak boleh melanggar

ketentuan minimal jarak bebas bangunan gedung yang ditetapkan

dalam RTRW Kabupaten Buton Tengah atau RDTR atau yang diatur

dalam RTBL.

c) Ketentuan jarak bebas bangunan gedung ditetapkan dalam bentuk:

 garis sempadan bangunan gedung dengan as jalan, tepi sungai,

tepi pantai, dan/atau jaringan listrik tegangan tinggi, dengan

mempertimbangkan aspek keselamatan dan kesehatan;

 jarak antara bangunan gedung dengan batas persil, jarak antar

bangunan, dan jarak antara as jalan dengan pagar halaman

yang diberlakukan per kapling/per persil dan/atau per

kawasan pada lokasi bersangkutan dengan mempertimbangkan

aspek keselamatan, kesehatan, kenyamanan dan kemudahan.

 Setiap bangunan hunian jarak antar massa/blok bangunan

satu lantai yang satu dengan yang lainnya dalam satu kapling

atau antara kapling minimum adalah 4 (empat) meter.

 Setiap bangunan umum harus mempunyai jarak massa/blok

bangunan dengan bangunan sekitarnya sekurang-kurangnya 6

(enam) meter dan 3 (tiga) meter dengan batas kapling.

 Penetapan jarak bebas bangunan gedung atau bagian

bangunan gedung yang dibangun di bawah permukaan tanah

didasarkan pada pertimbangan keberadaan atau rencana

(46)

NSPK lainnya berkenaan adalah dengan izin mendirikan

bangunan. Setiap orang atau badan wajib mengajukan permohonan

IMB kepada Bupati untuk melakukan kegiatan:

a) pembangunan dan/atau prasarana bangunan gedung;

b) rehabilitasi/renovasi bangunan gedung dan/atau prasarana

gedung meliputi perbaikan/perawatan, perubahan,

perluasan/pengurangan; dan

c) pemugaran/pelestarian dengan berdasarkan pada surat

keterangan rencana kota (advis planning) untuk lokasi yang

bersangkutan.

Penyelenggaraan Bangunan Gedung di lokasi tertentu, terdiri

atas :

a) Bangunan Gedung di Lokasi Pantai, dengan persyaratan teknis,

yaitu

 Penyelenggaraan bangunan gedung di lokasi pantai perlu

memperhatikan tata air, budaya lokal serta kepentingan umum.

 Penyelenggaraan bangunan gedung di wilayah yang memiliki

potensi budidaya perikanan harus memperhatikan

keberlangsungan dan kepentingan kegiatan budidaya

perikanan yang ada di wilayah tersebut.

 Penyelenggaraan bangunan gedung di lokasi pantai harus

memenuhi standar persyaratan kesehatan, kenyamanan,

keamanan, ketertiban, keindahan dan berwawasan lingkungan.

 Bangunan gedung di lokasi pantai harus memperhitungkan

pengaruh angin, tsunami, dan gempa.

 Penyelenggaraan bangunan gedung di lokasi pantai harus

memperhatikan potensi bencana yang mungkin terjadi.

 Pada bangunan gedung di lokasi pantai yang sudah berdiri

(47)

 Penempatan perumahan nelayan baru disesuaikan dengan

potensi sumber daya sekitar dan tempat pemasaran hasil

budidaya perikanan.

b) Penyelenggaraan Bangunan Gedung dilokasi pegunungan,

mengikuti persyaratan, sebagai berikut:

 Penyelenggaraan bangunan gedung di lokasi pegunungan harus

memenuhi standar persyaratan kesehatan, kenyamanan,

keamanan, ketertiban, keindahan dan berwawasan lingkungan.

 Penyelenggaraan bangunan gedung di lokasi pegunungan harus

memperhitungkan pengaruh gempa

 Perlu pengaturan perencanaan, pelaksanaan, juga pengawasan

dan pemeliharaan bangunan di lokasi pegunungan.

 Penyelenggaraan bangunan gedung di lokasi pegunungan harus

memperhatikan potensi bencana yang mungkin terjadi seperti

tanah longsor.

 Penyelenggaraan bangunan gedung di lokasi pegunungan harus

memperhatikan tingkat kemiringan lereng yang aman untuk

pengembangan permukiman.

c) bangunan gedung di lokasi yang berpotensi bencana alam, dengan

persyaratan teknis, yaitu

 Penyelenggaraan bangunan gedung di lokasi yang berpotensi

bencana yang berasal dari laut harus sesuai dengan peraturan

zonasi untuk kawasan rawan gelombang pasang.

 Penyelenggaraan bangunan gedung di lokasi yang berpotensi

bencana gempa bumi harus sesuai dengan peraturan zonasi

untuk kawasan bencana alam geologi sebagaimana diatur

dalam Rencana Tata Fuang Wilayah Kabupaten Buton Tengah.

 Pemerintah Daerah dapat menetapkan suatu lokasi sebagai

daerah bencana khususnya daerah yang secara periodik dan

(48)

terbatas dengan pertimbangan keselamatan dan keamanan

demi kepentingan umum.

 Pemerintah Daerah dapat menetapkan persyaratan khusus tata

cara pembangunan bangunan gedung di lokasi yang berpotensi

bencana yang berasal dari laut apabila daerah tersebut dinilai

membahayakan.

7.2.2. Kondisi Bangunan dan Lingkungan Pada Kawasan

Perlindungan Setempat dan Kawasan Strategis Lainnya

Dalam rancangan peraturan daerah Kabupaten Buton Tengah

tentang rencana tata ruang wilayah (RTRW) Tahun 2016-2036, terdiri

atas:

a) sempadan pantai;

b) sempadan sungai;

c) kawasan sekitar danau;

d) kawasan sekitar mata air; dan

e) Ruang terbuka hijau (RTH.)

Sempadan pantai dengan penetapan batas sempadan pantai

dilakukan berdasarkan penghitungan batas sempadan pantai yang

mengikuti ketentuan:

a) perlindungan terhadap gempa dan/atau tsunami;

b) perlindungan pantai dari erosi atau abrasi;

c) perlindungan sumberdaya buatan di pesisir dari badai, banjir dan

bencana alam lainnya;

d) perlindungan terhadap ekosistem pesisir seperti lahan basah,

mangrove, terumbu karang, padang lamun, gumuk pasir, estuaria

dan delta;

e) pengaturan akses publik; dan

f) pengaturan untuk saluran air dan limbah.

(49)

a) Kecamatan Lakudo meliputi Pantai Katembe di Desa Madongka,

Pantai One Montete di Desa Onewaara, Pantai Bungi Moko di Desa

Moko, Pantai Gadis di Desa Lolibu dan Pantai Boneoge di Kelurahan

Boneoge;

b) Kecamatan Mawasangka Timur meliputi Pantai Watotohu di Desa

Inulu, Pantai Kaumeumele di Desa Lasori, Pantai Batubanawa di

Desa Batubanawa, Pantai Gu Bhahi di Desa Lasori dan Pantai

Bungi Wantopi di Desa Wantopi;

c) Kecamatan Mawasangka Tengah meliputi Pantai Maaobu di Desa

Lalibo, Pantai Sampuano Wewi di Desa Watorumbe Bata, Pantai

Wakomba di Desa Watorumbe Bata dan Pantai Bungi Lamunde di

Desa Gundu-gundu;

d) Kecamatan Mawasangka meliputi Pantai Lasaidewa di Desa

Gumanano, Pantai Labobo di Desa Balobone, Pantai Lagili di Desa

Wakambangura I, Pantai Maliaboro di Desa Balobone, Pantai

Kakobuta di Desa Gumanano dan Pantai Maanajiri di Desa

Oengkolaki;

e) Kecamatan Talaga Raya meliputi Pantai Bonemarambe di Desa

Talaga Besar, Pantai Bone Bontubontu di Desa Talaga Besar, Pantai

Bungi Talaga di Desa Panggilia, Pantai One Rua Tandano di

Kelurahan Talaga I, Pantai Tolando Di Desa Talaga Besar, Pantai

Kahona di Desa Kokoe, Pantai Buku Mabana di Desa Kokoe dan

Pantai Wamorapa di Desa Wuluh; dan

f) Kecamatan Gu meliputi Pantai Bintang di Kelurahan Watulea,

Pantai Kaliwuliwuto di Kelurahan Watulea, Pantai Tanjung Gadis di

Kelurahan Watulea dan Pantai Labutolo di Desa Lowulowu.

Sempadan sungai terdapat pada sepanjang sungai dan anak

sungai dalam DAS Mawasangka/Bula-bula, DAS Kalimbunga, DAS

Walaende, DAS Songalo, DAS Maliga, DAS Tawo, DAS Kokoe, DAS Wali

(50)

tersebar pada kawasan perkotaan dan perdesaan di daerah dengan

ketentuan:

a) garis sempadan pada sungai tidak bertanggul di dalam kawasan

perkotaan ditentukan:

b) paling sedikit berjarak 10 (sepuluh) meter dari tepi kiri dan kanan

palung sungai sepanjang alur sungai, dalam hal kedalaman sungai

kurang dari atau sama dengan 3 (tiga) meter;

c) paling sedikit berjarak 15 (lima belas) meter dari tepi kiri dan kanan

palung sungai sepanjang alur sungai, dalam hal kedalaman sungai

lebih dari 3 (tiga) meter sampai dengan 20 (dua puluh) meter; dan

d) paling sedikit berjarak 30 (tiga puluh) meter dari tepi kiri dan kanan

palung sungai sepanjang alur sungai, dalam hal kedalaman sungai

lebih dari 20 (dua puluh) meter.

e) garis sempadan pada sungai tidak bertanggul di luar kawasan

perkotaan terdiri atas:

 sungai besar dengan luas DAS lebih besar dari 500 (lima ratus)

kilometer persegi, ditentukan paling sedikit berjarak 100

(seratus) meter dari tepi kiri dan kanan palung sungai

sepanjang alur sungai; dan

 sungai kecil dengan luas DAS kurang dari atau sama dengan

500 (lima ratus) kilometer persegi, itentukan paling sedikit

berjarak 50 (lima puluh) meter dari tepi kiri dan kanan palung

sungai sepanjang alur sungai.

f) garis sempadan pada sungai bertanggul di dalam kawasan

perkotaan, ditentukan paling sedikit berjarak 3 (tiga) meter dari tepi

luar kaki tanggul sepanjang alur sungai;

g) garis sempadan sungai bertanggul di luar kawasan perkotaan

ditentukan paling sedikit berjarak 5 (lima) meter dari tepi luar kaki

tanggul sepanjang alur sungai; dan

(51)

huruf a sampai dengan huruf d, diukur dari tepi muka air pasang

rata-rata.

Selanjutnya pada kawasan sekitar danau dengan ketentuan

bahwa:

a) daratan dengan jarak 50 (lima puluh) meter sampai dengan 100

(seratus) meter dari titik pasang air danau tertinggi; atau

b) daratan sepanjang tepian danau atau waduk yang lebarnya

proporsional terhadap bentuk dan kondisi fisik danau atau waduk.

Arahan kawasan sekitar danau diarahkan pula untuk pengembangan

wisata danau/telaga, yaitu:

a) Kecamatan Mawasangka Timur meliputi Danau Pasi Bungi di Desa

Inulu, Danau Wampihompiho di Desa Lagili, Danau Oe Maamba

dan Oe Maamba II di Desa Bungi;

b) Kecamatan Mawasangka meliputi Telaga Fotu di Desa

Kanapa-napa, Telaga Anano Tei I, Telaga Anano Tei II dan Telaga Gumanano

di Desa Gumanano;

c) Kecamatan Talaga Raya meliputi Telaga Dhingi Bontobonto di Desa

Talaga Besar, Telaga Oe Lalo Labuea dan Telaga One Rua Tandono

di Kelurahan Talaga I;

d) Telaga Lakakoloto di Desa Rahia Kacamatan Gu; dan

e) Telaga Kauwe-uwe di Kelurahan Tolandona Kacamatan Sangia

Wambulu.

Kabupaten Buton Tengah yang terbentuk dengan struktur

geologi Karst, sehingga banyak dijumpai sumber-sumber mata air

bawah tanah pada daerah-daerah gua karst. Guna perlindungan maka

arahan kawasan sekitar mata air diatur dengan garis sempadan mata

berdiameter paling sedikit berjarak 200 (dua ratus) meter dari pusat

mata air.

(52)

a) luasan yang harus dipenuhi ditetapkan paling sedikit sebesar 30%

b) penetapan jenis dan lokasi RTH terdiri atas:

1) RTH eksisting berupa Taman di Kelurahan Boneoge Kecamatan

Lakudo; dan

2) rencana RTH terdiri atas:

 rencana RTH jalur hijau jalan;

 rencana RTH taman dan hutan kota terdiri atas:

 rencana taman desa/kelurahan di setiap kecamatan;

 rencana taman kota di Kecamatan Lakudo dan Gu;

 rencana hutan kota di Kecamatan Lakudo; dan

 rencana Bumi Perkemahan di Kecamatan Lakudo.

3) rencana RTH fungsi tertentu terdiri atas:

 rencana jalur hijau jaringan listrik tegangan tinggi di

Kecamatan Gu dan Sangia Wambulu;

 rencana RTH sempadan sungai;

 rencana RTH sempadan pantai di Teluk Lasongko dan Teluk

Liana Banggai;

 rencana RTH pengaman sumber air baku berupa mata air,

danau dan telaga; dan

 rencana RTH pemakaman di setiap kecamatan

Selanjutnya kawasan lainnya yaitu berkaitan dengan

penyelenggaraan bangunan gedung negara pada kawasan perkantoran

(53)

a) arahan perencanaan penataan bangunan dan lingkungan

perkantoran Labungkari sebagai pusat pemerintahan baru

Kabupaten Buton Tengah

b) pembangunan bangunan gedung negara secara terpadu

c) pengelolaan limbah, persampahan dan ruang terbuka hijau dan

non hijau.

Disamping itu arahan ainnya berdasarkan RTRW di atas, yaitu

perencanaan penataan bangunan dan lingkungan pada kawasan

pengembangan permukiman baru perkotaan, kawasan pariwisata

daerah dan kawasan jasa dan perdagangan skala Kabupaten. Ketiga

kawasan ini merupakan potensi pertumbuhan ekonomi baru yang

diprediksi memberikan dampak social dan ekonomi serta dampak

lainnya yang berkaitan dengan pembangunan sarana dan prasarana

pendukung kegiatan didalamnya. Untuk itu perencanaan

kawasan-kawasan ini sangat diperlukan agar pengendalian pemanfaatan ruang

serta proses kegiatan yang berkembang dapat dikendalikan dengan

baik serta keberlanjutan lingkungan hidup dapat terjaga.

7.2.3. Potensi dan Tantangan Penataan Bangunan dan Lingkungan

Berdasarkan arahan-arahan kawasan budidaya dalam RTRW

Kabupaten Buton Tengah, diantaranya meliputi kawasan permukiman,

pemerintahan, kawasan pariwisata, kawasan jasa dan perdangan dan

kawasan lainnya, memiliki sejumlah potensi potensi dan tantangan

baik secara positif maupun negatif, beberapa hal yang terkait dengan

kedua hal ini, sebagai berikut:

1) Potensi Penataan Bangunan dan Lingkungan

Beberapa poin yang menjadi potensi sektor PBL di Kabupaten

Buton Tengah berdasarkan RTRW maupun isu-isu pengembangan

(54)

a) Potensi pariwisata daerah, dimana Kabupaten Buton Tengah

merupakan wilayah kepulauan, dimana wilayahnya terdiri

atas wilayah laut dan daratan.

b) Potensi geologi, dimana Kabupaten Buton Tengah tersusun

atas struktur geologi karst, sehingga menghasilkan gua-gua

karst dan potensi sumber mata air bawah tanah, yang

mendukung pengembangan ekowisata dan geowisata.

c) Potensi wilayah secara geografis, dimana Kabupaten Buton

Tengah diapit dua wilayah pengembangan strategis yakni Kota

Baubau dan Kabupaten Muna.

d) Potensi pertambagan, dimana Kabupaten Buton Tengah

memiliki potensi bahan batuan dalam hal ini batu kapur dan

bahan mineral dalam hal ini nikel.

e) Potensi perikanan dan kelautan, dimana Kabupaten Buton

tengah sebagian besar masyarakatnya bermata pencahariaan

nelayan dan memiliki potensi perikanan hasil laut relatif

cukup besar sebagai komoditi ekspor.

2) Tantangan Penataan Bangunan dan Lingkungan

Beberapa poin yang menjadi tantangan sektor PBL di

Kabupaten Buton Tengah berdasarkan kondisi eksisting kawasan

budidaya maupun kawasan lindung dalam RTRW Kabupaten Buton

Tengah, diantaranya, yaitu:

a) Potensi-potensi di atas belum memiiliki data dan informasi

yang akurat sebagai potensi unggulan daerah serta

kecenderungan berkembang secara alami;

b) Prasarana dan sarana umum kawasan perkotaan dan

perdesaan masih sangat terbatas;

c) Jaringan prasarana wilayah, yaitu transportasi laut dan darat

belum memberikan ekses yang siginifikan bagi pertumbuhan

(55)

7.2.4. Usulan Program Penataan Bangunan Dan Lingkungan

Dalam rangka pengelolaan potensi kawasan agar berhasilguna

dan berdayaguna serta tantangan yang ada diharapkan menjadi

peluang pengembangan ekonomi baru secara optimal serta dalam

dalam rangka pengawasan dan pengaturan bangunan gedung dalam

mengendalikan pemanfaatan ruang, maka beberapa usulan program

dan kegiatan Penataan Bangunan dan Lingkungan di Kabupaten Buton

Tengah, sebagaimana pada tabel di bawah ini:

Tabel 7.13

Matriks Sektor Penataan Bangunan dan Lingkungan Kabupaten Buton Tengah Tahun 2016

Sumber: Dokumen RTRW Kabupaten Buton Tengah dan Data IMB Kabupaten Buton Tahun 2016

(56)

7.3. Sistem Penyediaan Air Minum

7.3.1. Kondisi Eksisting Sistem Pelayanan Air Minum (SPAM)

Sistem penyediaan air minum di Kabupaten Buton Tengah

terdiri atas 2 (dua) sistem jaringan, yaitu : sistem jaringan non

perpipaan, dan sistem jaringan perpipaan.

A. Jaringan Perpipaan

Dalam pengembangan sistem penyediaan air minum di

Kabupaten Buton Tengah digunakan sumber air tanah yang berasal

dari mata air dan sungai-sungai bawah tanah yang cukup banyak

terdapat wilayah karst. Seperti yang dijelaskan pada bab sebelumnya,

sumber-sumber air baku yang ada di Kabupaten Buton Tengah ini

cukup potensial untuk dikembangkan sebagai sumber baku air bersih

untuk pengembangan sistem PAM maupun non PDAM. Berdasarkan

hasil survey sumber air baku yang ada di Kabupaten Buton Tengah

ada beberapa mata air yang menjadi sumber air baku oleh PDAM

sudah tercemar oleh aktivitas masyarakat seperti yang terjadi di mata

air Desa Wakeakea Kecamatan Sangia Wambulu, dimana lokasi

tersebut dijadikan sebagai tempat mencuci dan mandi oleh

masyarakat setempat. Selain itu, saat ini terdapat beberapa mata air

yang telah dimanfaatkan sebagai sumber air baku untuk beberapa

IKK dan jaringan. Adapun beberapa sumber yang telah dimanfaatkan

saat ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini

Tabel 7.14

(57)

Lakudo Matawine 80 10 10 Pompanis

Sumber: Kantor PDAM Kabupaten Buton di Baubau Tahun 2016

B. Jaringan Non Perpipaan

Sistem penyediaan air minum non perpipaan di Kabupaten

Buton Tengah saat ini dilayani dari berbagai sumber air yang

umumnya berasal dari sumur bor, sumur gali, dan bak penampung air

hujan. sebagai sumber air alternatif bagi masyarakat di Kabupaten

Buton Tengah tingkat pelayanan air bersih sudah cukup baik. Khusus

masyarakat yg berada di kepulauan dengan kondisi rawan air seperti

Talaga, sumber air non perpipaan berupa PAH (Penampung Air Hujan)

yaitu penyediaan air menggunakan bak yang berfungsi sebagai tempat

menampung air hujan, untuk kemudian di salurkan ke rumah-rumah

warga. Sedangkan masyarakat yang berada di wilayah daratan Muna

tingkat pelayanan kurang, masih ada daerah yang belum terlayani air

bersih hal ini disebabkan kurangnya sumber mata air dan sarana dan

prasarana sehingga masyarakat mengunakan air sumur.

Tabel 7.15

Sumber Air Baku yang Dapat Menjadi Alternatif

No Alternatif Sumber Lokasi Sumber Debit (L/Det)

1 Mata Air Gua Koo Desa Lakorua 10

2 Mata Air Owe Bou Desa Wasilomata 10

3 Mata Air Waburense Desa Waburense 10

(58)

Lanjutan Tabel 7.16

Sumber Air Baku yang Dapat Menjadi Alternatif

No Alternatif Sumber Lokasi Sumber Debit (L/Det)

4 Mata Air Oengkusali Desa Kanapa Napa 10

5 Mata Air Metere Desa Metere 10

6 Mata Air Labungkari Kota Labungkari 10

7 Mata Air Mefaaheno Desa Lagili 5

Sumber: Hasil survey lapangan 2016

7.3.2. Cakupan Pelayanan Air Minum Perkecamatan

Secara umum, pengembangan sumber air bersih untuk

Kabupaen Buton Tengah meliputi optimalisasi terhadap sumber

eksisting dan pengembangan terhadap sumber-sumber air baku air

bersih yang ada di Kabupaten Buton Tengah. Sumber-sumber air

baku air bersih yang potensial cukup banyak dari segi Kuantitas dan

dari segi Kontinyunitasnya dengan segi kualitas air yang baik.

Berdasarkan sumber air terdekat yang dapat mensuplai air bersih ke

dareah layanan, maka daerah pelayanan dibagi atas beberapa sistem.

Setiap sistem dapat melayani satu atau lebih kecamatan. Hal ini

(59)

sumber air minum. Adapun pembagian daerah pelayanan dapat

dilihat pada Tabel dan gambar Peta Rencana Daerah Pelayanan SPAM

Tabel 7.17

Rencana Daerah Pelayanan SPAM di Kabupaten Buton Tengah

No Rencana

Daerah Pelayanan

Kecamatan Mata Air

(60)

Gumanano, Kacembungi MA Owe Bou Wasilomata

MA

6 Wahumbia Mawasangka

Timur

Dengan demikian wilayah pelayanan untuk SPAM ini adalah

seluruh wilayah administrative kabupaten Buton Tengah. Adapun

persentase pelayanan yang dimaksud dalam tingkat pelayanan air

bersih Kabupaten Buton Tengah merupakan jumlah/total dari ke

tujuh sistem SPAM tersebut yaitu diharapkan dapat mencapai 80%

pada akhir tahun 2037 sesuai dengan data RTRW 2016. Proyeksi

kebutuhan air bersih dihitung berdasarkan proyeksi jumlah

penduduk yang akan dilayani hingga akhir tahun perencanaan dan

standar kebutuhan air minum untuk semua jenis pelanggan. Adapun

peta wilayah pelayanan SPAM Kabupaten Buton Tengah dapat dilihat

(61)
(62)

7.3.3. Kinerja PDAM

Secara kelembagaan saat ini PDAM yang ada di kabupaten

Buton Tengah masih menjadi pengelolaan dan di bawah manajemen

PDAM Kabupaten Buton, selain itu belum dilaksanakan pula

penyerahan asset-aset PDAM pasca pemekaran wilayah. Untuk itu

secara garis besar kinerja PDAM Kabupaten Buton Tengah belum bias

terukur baik dari sisi keuangan, sumber pendanaan, perencanaan dan

pemabngunan ke depan.

Saat ini, sumber air baku yang dimanfaatkan oleh PDAM

Kabupaten Buton Tengah berasal dari sumber air, yaitu:

a. PDAM Unit Kecamatan Lakudo

Prasarana IPA Matawine dengan kapasitas produksi 10 liter/detik

meliputi bak penampung, pipa transmisi dari Mata Air Matawine,

dan jaringan pipa distribusi

b. PDAM Unit Kecamatan Gu

Prasarana IPA Walondo dengan kapasitas produksi 20 liter/detik

meliputi bak penampung, pipa transmisi dari Mata Air Walondo,

dan jaringan pipa distribusi

c. PDAM Unit Kecamatan Sangia Wambulu

Prasarana IPA Wadiabero meliputi bak penampung, pipa transmisi

dari sumber mata air dan jaringan pipa distribusi bersumber dari

Mata Air Cio di Desa Wadiabero Kecamatan Sangia Wambulu

d. PDAM Unit Kecamatan Mawasangka

Prasarana IPA Kamundo-Mundo dengan kapasitas produksi 10

liter/detik bersumber dari Mata Air Kamundo-Mundo di Desa

Waburense Kecamatan Mawasangka meliputi bak penampung,

pipa transmisi dari sumber mata air dan jaringan pipa distribusi

dan Prasarana IPA Waburense dengan kapasitas produksi 5

(63)

e. PDAM Unit Kecamatan Mawasangka Tengah

Prasarana IPA Lantongau meliputi bak penampung, pipa transmisi

dari Mata Air Koo, dan jaringan pipa distribusi

2. Jaringan Pipa

Jumlah panjang jaringan pipa PDAM yang sudah terpasang sampai dengan tahun 2011 adalah pipa transmisi 26.450 m’ dan pipa

distribusi 312.886 m’.

3. Sistem Pengolahan Air PDAM

Peningkatan dan optimalisasi kinerja PDAM sangat dipengaruhi oleh

salah satu faktor antara lain adalah kondisi sarana dan prasarana yang

ada saat ini, baik kualitas maupun kuantitasnya

a. Bangunan Pengambilan (Intake)

b. Instalasi Pengolahan Air Baku (Raw Water Treatment Plant)

c. Bak Penampung Air (Reservoir)

d. Pompa, Rumah Pompa dan Pompa Booster

Dalam memenuhi kebutuhan pelayanan pada pelanggan, PDAM.

mengoperasikan beberapa pompa terutama untuk melayani pelanggan

yang mempunyai jarak maupun ketinggian tidak mungkin lagi

dijangkau dengan sistem gravitasi.

Struktur organisasi harus dapat menggambarkan aktivitas

utama dalam sistem pengelolaan, pola kerja yang jelas dan

mempunyai fungsi perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian,

serta pengawasan dengan menguraikan tugas, wewenang dan

tanggung jawabnya. Untuk organisasi SPAM di Kabupaten/Kota,

penyelenggara harus bertanggung jawab kepada Bupati atau Wali

(64)

Gambar 7.16. Struktur organisasi penyelenggaraan SPAM di Kabupaten

Struktur organisasi pengelolan SPAM menurut UPTD dapat

dilihat pada gambar 9.2 sebagai berikut:

Gambar 7.17 Struktur Organisasi Pengelolaan SPAM menurut UPTD

7.3.4. Potensi dan tantangan Pengembangan SPAM

A. Potensi

1. Air permukaan

Ketersediaan air dalam pengertian sumber daya air pada

dasarnya terdiri atas tiga jenis, yaitu air hujan, air permukaan, dan

air tanah. Air hujan pada umumnya hanya berkontribusi untuk

(65)

rumah tangga. Sumber air yang berpotensi besar untuk dimanfaatkan

adalah sumber air permukaan dalam bentuk air di sungai, saluran,

danau, dan tampungan lainnya.

Penggunaan air tanah yang kenyataannya sangat membantu

pemenuhan air baku maupun irigasi pada daerah yang sulit

mendapatkan air permukaan seperti Kabupaten Buton Tengah harus

dijaga agar pengambilannya tetap berada dibawah debit aman (Safe

yield) (Irfan dan Waluyo, 2005). Ketersediaan air dapat didefinisikan

dalam berbagai cara. Dalam hal lokasi, ketersediaan air dapat berlaku

pada suatu titik misalnya pada suatu lokasi pos duga air, bendung

tempat pengambilan air irigasi dan sebagainya (satuan: m3/dt atau

l/dt), banyaknya air yang tersedia dapat juga dinyatakan berlaku

dalam suatu areal tertentu, misalnya pada suatu wilayah sungai,

daerah pengaliran sungai, daerah irigasi, dan sebagainya (satuan :

juta meter kubik per tahun atau milimeter per hari). Analisis

ketersediaan air menghasilkan perkiraan ketersediaan air di suatu

wilayah sungai atau sistem tata air, secara spasial maupun dalam

waktu.

Berdasarkan data RTRW Kabupaten Buton Tengah, diperoleh

bahwa beberapa potensi air baku permukaan di Kabupaten Buton

Tengah yaitu sungai dan danau. Di Kabupaten Buton Tengah tidak

terdapat banyak sungai, karena geologinya yang berasal dari Formasi

Wapulaka. Namun diperkirakan banyak sungai-sungai bawah tanah

yang dibuktikan sangat banyaknya gua yang berisi air pada daerah

karts. Sungai terbesar di wilayah ini adalah Sungai Mawasangka yang

terdapat pada perbatasan dengan wilayah Kab. Muna Barat.

Sungai-sungai sedang dan kecil tersebar di setiap kecamatan. Sedangkan

danau yang terdapat di Kabupaten Buton Tengah satu-satunya hanya

di wilayah Kecamatan Mawasangka Timur yaitu Danau Pasibungi,

Gambar

Gambar 7.1. Kondisi lingkugan permukiman kumuh Kec. Lakudo
Gambar 7.2. Kondisi lingkugan permukiman kumuh Kec. Gu
Gambar 7.3. Kondisi lingkugan permukiman kumuh  Kec. Sangia Wambulu
Gambar 7.4. Kondisi lingkugan permukiman kumuh Kec. Mawasangka
+7

Referensi

Dokumen terkait

• EIS adalah sistem berbasis komputer untuk mendukung manajer puncak dalam mengakses informasi (dalam dan luar) secara mudah dan relevan dengan CSF (Critical Success Factor)

Bupati/Walikota sudah membentuk lembaga yang menangani rehabilitasi hutan dan lahan (misalnya Dinas yang mengurusi kehutanan atau Kelompok Kerja RHL), maka lembaga ini

besaran pembayaran kontribusi tetap dan pembagian keuntungan hasil Kerjasama Pemanfaatan atas barang milik daerah ditetapkan dari hasil perhitungan Tim yang dibentuk

Oleh karena itu, menarik untuk mengamati secara empiris bagaimana tanggung jawab sosial (yang sering disebut kinerja sosial) yang telah dilakukan di dalam

Dari permasalahan-permasalahan tersebut di atas, maka rumusan masalahnya adalah mendesain suatu suatu sistem yang berbasis komputer untuk membagi beban kerja dosen

Abstrak — Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) pengaruh penerapan e-modul berbasis metode pembelajaran problem based learning pada mata pelajaran pemrograman

Pengiriman ikan bawal putih ke pabrik oleh pedagang pengumpul tidak harus melalui pedagang besar, namun untuk pengiriman ke pabrik sesuai dengan kecocokan harga

Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Lampung sebagai instansi pemerintah memiliki posisi strategis dalam pengembangan dakwah Islam. Salah satu hal yang menjadi