• Tidak ada hasil yang ditemukan

Harai Kiyome di Kuil Takekoma

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Harai Kiyome di Kuil Takekoma "

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

HARAI-KIYOME DI KUIL TAKEKOMA TAKEKOMA JINJA DE NO HARAI-KIYOME

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat

ujian Sarjana dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang

Oleh:

M. BRAWIJAYA NIM: 140708100

PROGRAM STUDI SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

HARAI-KIYOME DI KUIL TAKEKOMA TAKEKOMA JINJA DE NO HARAI-KIYOME

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat

ujian Sarjana dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang

OLEH: M. BRAWIJAYA

NIM: 140708100

Pembimbing

Drs. Amin Sihombing.M.Si NIP. 19600403 199103 1 001

PROGRAM STUDI SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Disetujui Oleh : Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan

Medan, 09 April 2019

Program Studi Sastra Jepang Ketua,

(4)

PENGESAHAN

Diterima Oleh :

Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana Dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang Pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

Pada : Pukul 13.00 WIB Tanggal : 09 April 2019

Hari : Selasa

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Dekan,

Dr. Budi Agustono, M.S Nip. 19600805 198703 1 001

Panitia Ujian :

No. Nama Tanda Tangan

1. Drs. Amin Sihombing, M.Si (...)

2. Prof. Hamzon Situmorang, M.S, Ph.D (...)

(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT karena dengan rahmat dan hidayah-Nya penulis diberikan kesehatan selama mengikuti perkuliahan hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Usaha yang diiringi dengan doa merupakan dua hal yang membuat penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.

Penulisan skripsi yang berjudul “HARAI-KIYOME DI KUIL TAKEKOMA” ini penulis susun sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar sarjana pada Departemen Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan skripsi ini penulis tidak terlepas dari bimbingan, dukungan, dorongan serta bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr. Budi Agustono, M.S selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Hamzon Situmorang, M.S, Ph.D., selaku ketua Program Studi Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Drs. Amin Sihombing.,M.Si selaku dosen pembimbing sekaligus Dosen Penasehat Akademik, yang telah ikhlas memberikan dorongan dan meluangkan banyak waktu, pikiran, serta tenaga dalam membimbing penulis sehingga skripsi ini dapat penulis selesaikan dengan baik.

(6)

sumber-sumber data untuk penulis sehingga skripsi ini dapat penulis selesaikan dengan baik.

5. Dosen Penguji Ujian Skripsi yang telah menyediakan waktu untuk membaca dan menguji skripsi ini.

6. Para dosen pengajar beserta staf pegawai di Fakultas Ilmu Budaya, khususnya pada program studi Sastra Jepang yang telah memberikan ilmu dan pendidikan kepada penulis selama perkuliahan sampai penulisan skripsi ini.

7. Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada orang tua yang sangat penulis cintai. Ayah saya Alm. Edi Mukthar dan Mamak saya Risdiana Pohan, atas kasih sayang, kesabaran, dan tidak pernah lelah mendidik dan memberikan cinta yang tulus ikhlas kepada penulis sejak kecil sampai sekarang. Tanpa kedua orang tua penulis, penulis tidak akan mampu menjadi seperti sekarang ini. Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan mereka. Juga terima kasih kepada kakak Mega, kakak Dela dan adik saya Muhamad Yasin yang selalu menghibur dan memberi semangat dikala saya merasa jenuh.

(7)

stambuk 2014 yang tidak bisa penulis sebutkan namanya satu-persatu. Terima kasih untuk 4 tahun lebih ini.

9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan doa serta bantuan dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Untuk itu penulis mengharapkan adanya kritik dan saran dari pembaca. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat, khususnya bagi penulis sendiri dan bagi para mahasiswa Sastra Jepang.

Medan, 09 April 2019 Penulis,

(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...i

DAFTAR ISI...iv

BAB I PENDAHULUAN...1

1.1 Latar Belakang Masalah...1

1.2 Rumusan Masalah...6

1.3 Ruang Lingkup Masalah...8

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori...8

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian...12

1.6 Metode Penelitian...13

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HARAI-KIYOME DAN KUIL TAKEKOMA...15

2.1 Harai-Kiyome...15

2.1.1 Defenisi Harai-Kiyome...15

2.1.2 Sejarah Harai-Kiyome...16

2.1.3 Jenis-Jenis Harai-Kiyome...18

2.1.4 Peralatan yang digunakan...20

2.2 Kuil Takekoma...23

2.3 Pandangan Tentang Kekotoran...26

2.3.1 Kegare...26

2.3.2 Tsumi...34

BAB III PELAKSANAAN DAN FUNGSI HARAI-KIYOME DI KUIL TAKEKOMA...37

(9)

3.1.1 Pelaksanaan Harai...37

3.1.2 Pelaksanaan Kiyome...44

3.2 Fungsi Harai-Kiyome...48

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN...52

4.1 Kesimpulan...52

4.2 Saran...53 DAFTAR PUSTAKA

(10)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Harae atau harai adalah istilah lama untuk banyak hal dari upacara

penyucian Shinto atau penebusan dosa yang datang dari kata kerja harau (祓う atau 払 う) yang artinya membersihkan, menyucikan, atau mengusir roh jahat. Sekarang ini orang lebih banyak mengucapkan sebagai harai. Harae adalah salah satu upacara terpenting dalam Shinto dan berbagai bentuk telah berkembang, namun pada umumnya ada 3 metode dasar dari harae, yaitu Yang pertama dan bentuk biasa yang paling umum diselenggarakan oleh seorang pendeta Shinto dengan cara mengibaskan tongkat penyucian (Haraigushi) di atas kepala dari kiri ke kanan dan kembali ke kiri. Kadang-kadang ranting kecil dari pohon sakral sakaki ( 榊 ) maupun onusa digunakan sebagai pengganti haraigushi atau lebih dikenal dengan Shubatsu. Yang kedua disebut misogi (禊). Ini lebih umum dihubungkan kepada kessai, yang berarti penyucian dengan air. Penyucian ini dijalankan melalui aktivitas yang mendalam seperti latihan pernapasan, berdiri di bawah air terjun atau membenamkan tubuh di laut atau sungai. Yang ketiga imi (忌 み). Ini kontras dengan kedua tipe penyucian yang telah disebutkan, yang mana memerlukan pembersihan dari kekotoran atau kenajisan dengan sebuah tindakan penyucian yang sebenarnya atau secara simbolik.

(11)

menyucikan diri yang dilakukan oleh penganut shinto maupun pendeta Shinto sebelum melaksanakan suatu ritual upacara keagaman atau festival, seperti melakukan misogi (menyiramkan air keseluruh tubuh/mandi), kessai (menjauhkan diri dari kekotoran yang dilakukan oleh pendeta sebelum melaksanakan ritual dan festival) dan temizu (mencuci tangan dan mulut di kuil). Harai-kiyome adalah istilah untuk penyucian diri yang dilakukan oleh penganut agama Shinto baik pendeta kuil maupun masyarakat di Jepang.

Dalam ajaran Shinto, penyucian diri dianggap sesuatu yang sangat penting, karena dapat menghilangkan semua kegare (kekotoran) dan tsumi (dosa), maka kesucian jasmani dan rohani dapat dipulihkan kembali. Harai-kiyome dilakukan ketika mengunjungi kuil. Masyarakat percaya bahwa dengan menjadi suci sesuai dengan ajaran agama yang mereka yakini.

Agama adalah kepercayaan dan ritual yang berkaitan dengan keberadaan supranatural, kekuasaan, dan kekuatan. Supranatural disini biasa disebut dengan nama dewa, Tuhan, atau hal-hal yang berkaitan dengan gaib. Agama dapat dipandang sebagai suatu sistem kepercayaan yang terpadu, yang berhubungan dengan hal-hal yang sakral (Sacred things). Yaitu hal-hal yang terpisah dan terlarang (E.Durkheim 1912 :44 ).

(12)

kehendak Dewa. hal tersebut muncul dalam perjalanan berabad-abad karena berbagai pengaruh etnis dan budaya, baik dari dalam maupun dari luar, menyatu dan negara mencapai satu kesatuan dibawah keluarga Kekaisaran.

Shinto berkembang seiring dengan pertumbuhan masyarakat pertanian dan didasarkan atas pemujaan pada dewa padi dan roh nenek moyang. Sebagai agama, Shinto tidak memiliki pendiri, tidak punya kitab suci, dan tidak memiliki ajaran yang terorganisir. Agama ini mendasarkan diri pada mitologi, cerita-cerita kuno yang dianggap otoritatif dan memberi dasar sejarah dan spiritual. Istilah bahasa Jepang untuk mite adalah Shinwa yang berarti “Kisah Mengenai Para Dewa”.

Bahan untuk menyusun mitologi Jepang pada umumnya bersumber dari Kojiki (712 M) dan Nihongi atau Nihon Shoki (720M). Kedua buku ini dianggap sebagai dasar bagi agama Shinto. Menurut Kojiki, kepulauan Jepang diciptakan oleh Izanagi no Mikoto dan Izanami no Mikoto, bersamaan dengan penciptaan banyak Dewa, termasuk Amaterasu Omi Dewa (dewa matahari). Selain Kojiki dan Nihon Shoki, juga dipergunakan sumber lain yaitu Koga Shui (807M); antropologi puisi dari abad ke-8 Manyoshu; dan Norito, atau liturgi keagamaan dari keraton, yang dikumpulkan pada akhir abad ke-19 di dalam buku Engi Shiki ( 延喜式) atau prosedur-prosedur dari era Engi (Danandjaja, 1997 : 70-71).

(13)

Izanagi kemudian menyusul Izanami ke Yomi no Kuni dan berharap agar Izanami mau kembali ke dunia orang hidup. Tetapi, disana Izanagi mendapatkan jenazah istrinya yang sudah penuh ulat. Melihat hal tersebut, Izanagi kemudian lari, dan kembali ke dunia orang hidup. Istrinya merasa dipermalukan akibat tindakan sumainya tersebut, lalu bersumpah bahwa setiap hari ia akan mencekik seribu orang dari dunia orang hidup. Sang suami juga bereaksi dan menjawab dengan mengatakan bahwa ia setiap hari akan mendirikan 1.500 gubuk bagi orang melahirkan anak, sehingga dapat melahirkan 1.500 bayi.

Karena merasa dirinya kotor dalam perjalanan ke dunia orang mati, Izanagi kemudian menyucikan dirinya dengan cara misogi (mandi) di Awagihara, prefektur Miyazaki saat ini. Melalui ritual misogi tersebut, lahirlah beberapa dewa penting di antaranya adalah Amaterasu Omi Dewa yang diyakini sebagai nenek moyang kaisar, dan dewa sentral ajaran Shinto.

Kepercayaan Shinto menurut Noma Seiroku (1967 : 13) berkaitan erat dengan keharmonisan pada alam dan dengan perlahan-lahan berkembang menjadi tradisi berdasarkan keindahan. Menurut agama Shinto, kebersihan atau kesucian adalah hal yang utama, hal-hal tanpa tipu daya adalah suci. Kesucian bisa dilakukan dengan cara melakukan kegiatan ibadah ke kuil.

(14)

Setiap pengunjung yang datang ke kuil awalnya harus bersuci dengan cara membasuh tangan dan mulutnya terlebih dahulu di tempat yang sudah disediakan bernama temizusha (tempat bersuci) sebelum berdoa. Tujuannya adalah menyucikan jasmani dan rohani sebelum berdoa kepada Dewa (dewa). Setelah melakukan temizu untuk menjadi lebih suci dan dapat mendekatkan diri kepada dewa maka bisa dilakukan dengan penyucian diri seperti mandi (misogi).

Salah satu kuil Shinto yang ada di Jepang adalah Kuil Takekoma yang terletak di kota Iwanuwa prefektur Miyagi. Dari kota Sendai, Ibukota prefektur Miyagi perjalanan menuju Kuil Takekoma dapat ditempuh menggunakan kereta listrik dan memakan waktu sekitar 30 menit. Berbeda dengan kuil pada umumnya yang terletak di atas perbukitan, Kuil Takekoma terletak di daerah datar sama dengan lokasi tempat tinggal masyarakat biasa.

Kuil Takekoma termasuk Inari-kuil terbesar ke-3 di Jepang setalah Fushimi-inari-kuil di Prefektur Kyoto, Kasama-inari-kuil di Prefektur Ibaraki. Inari-kuil adalah kuil yang mengabdikan Dewa pertanian. Tugas Dewa pertanian adalah menjaga tanaman tumbuh subur sehingga menghasilkan panen yang berlimpah. Jumlah Inari-kuil di Jepang sekitar 2924 buah, menempati urutan ke-4 setelah Hachiman, Ise, dan Tenjin.

(15)

Di kuil Takekoma sebelum melakukan ritual penyucian kepada para peserta yang ingin melakukan penyucian diri maka para pendeta akan melakukan ritual menyucikan diri terlebih dahulu seperti kessai (berpuasa), misogi (mandi).

Selain dari ritual bersuci (kiyome), harai, kessai, dan Misogi yang dilakukan secara individu seperti tersebut di atas, masih terdapat ritual bersuci lainnya yang dilaksanakan secara berjamaah dua kali dalam setahun yaitu pada akhir Juni dan akhir Desember. Ritual bersuci pada akhir Juni disebut dengan Nagoshi Oharai, sedangkan ritual bersuci pada akhir Desember disebut

Toshikoshi Oharai. Nagoshi Oharai dan Toshikoshi Oharai bertujuan untuk

menyucikan segala kekotoran (kegare) yang melekat pada setiap orang setiap enam bulan.

Fenomena bersuci seperti ini tidak hanya terlihat dilakukan oleh pengunjung saja, tetapi juga dilakukan oleh para pendeta di kuil yang bekerja sebagai penghubung antara pengunjung dengan dewa. Menurut Alimansyar (2017), para pendeta Shinto di Kuil Takekoma juga melakukan ritual penyucian diri yang disebut dengan harai, kessai dan misogi.

Berdasarkan gambaran diatas, dapat diketahui bahwa penyucian diri sangat penting dalam ajaran Shinto. Untuk mengetahui secara rinci masing-masing ritual yang dilakukan baik secara individu dan berjamaah tersebut,penulis merasa tertarik untuk membahas dan mengangkatnya menjadi tema skripsi dengan judul “Harai-Kiyome di Kuil Takekoma”.

1.2 Rumusan Masalah

(16)

dari agama Politheisme adalah segala hal yang memiliki pengaruh besar pada kehidupan manusia dapat dianggap sebagai Dewa. Contohnya, yang berhubungan dengan alam, Dewa Hujan, Dewa Gunung, Dewa Laut, Dewa Halilintar adalah dewa alam yang mereka yakini. Dengan demikian setiap objek dibatasi pada objek-objek yang memiliki pengaruh besar dan hubungan yang erat dalam kehidupan manusia.

Kusunoki Masahiro (dalam Situmorang, 2005 : 28) mengatakan konsep kepercayaan mereka, Tuhan atau dewa bersifat Functional God. Bersifat fungsional dalam hal ini dapat diartikan sebagai hubungan yang mendatangkan manfaat atau keuntungan bagi kedua belah pihak. Kebanyakan dewa memiliki karakteristik tidak menyukai pencemaran dari kematian,kotor, dan darah.

Dalam Shinto, kebersihan fisik dan kesucian batin dihargai sebagai fondasi yang penting. Polusi, yang memiliki makna tubuh yang kotor seperti halnya sifat iblis dianggap sangat menjijikan. Itulah alasannya mengapa upacara penyucian dilaksanakan.

Masyarakat Jepang memandang penting melaksanakan penyucian di sepanjang hidupnya. Penyucian berarti tidak hanya membersihkan tubuh seseorang tetapi juga merupakan langkah yang baik yang diambil seseorang. Awalnya bermula dari membersihkan fisik atau bagian luar kemudian berlanjut dengan membersihkan mental yang berarti kesucian batin.

(17)

1. Bagaimana Pelaksanaan Harai-Kiyome di kuil Takekoma ?

2. Bagaimana Fungsi Harai-Kiyome bagi penganut ajaran Shinto di kuil Takekoma ?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Berdasarkan masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, maka penulis menganggap perlu adanya pembatasan masalah karena dalam setiap penelitian diperlukan agar pembahasan tidak terlalu melebar sehingga penulis dapat lebih fokus terhadap pembahasan dalam masalah tersebut dan agar tidak menyulitkan pembaca dalam memahami pokok permasalahan yang dibahas.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis membatasi ruang lingkup pembahasan penelitian yang difokuskan pada pelaksanaan ritual Harai-kiyome, Sejarah singkat kuil Takekoma, pandangan kekotoran dalam Shinto, alat-alat yang digunakan dalam ritual harai-kiyome, pelaksanaan ritual dan fungsi harai-kiyome di kuil Takekoma.

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori

1.4.1 Tinjauan Pustaka

(18)

Menurut C. Kluckhon (dalam Koentjaraningrat,1990 : 203-204), unsur-unsur kebudayaan universal dalam kebudayaan dunia ada tujuh unsur-unsur universal, yaitu: bahasa, sistem teknologi, mata pencaharianhidup atau ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan, religi, dan kesenian. Harae merupakan suatu bentuk kebudayaan dalam hal religi masyarakat Jepang.

Pengertian akan kesucian dan kekotoran (kegare) serta cara melaksanakan upacara penyucian (Harae/Misogi) di Jepang memiliki pengaruh yang luar biasa dan telah menyebar sebagai suatu kebudayaan yang utuh (Aoki, 1994 : 204). Upacara tradisional di kuil Shinto (Kuil) seperti upacara mencuci tangan dan mulut sebagai simbolis akan kesucian sebelum masuk ke kuil dan melakukan komunikasi dengan Dewa.

Sumber internet http://www.unification.net menyatakan kata bijak milik Dewa Hachiman:

“Though I had nothing to eat but a red-hot ball of iron, I will never

accept the most savory food offered by a person with an impure mind.

Though I were sitting upon a blazing fire hot enough to melt copper,

I will never go to visit the place of a person with a polluted mind”.

Terjemahannya:

“Meskipun saya tidak memiliki apapun untuk dimakan kecuali bola api

yang panas, saya tidak akan menerima makanan yang paling lezat yang

ditawarkan oleh seseorang yang pikirannya tidak murni / kotor.Meskipun saya

duduk diatas api berkobar yang cukup untuk melelehkan tembaga, saya tidak

(19)

Dari pernyataan diatas dianalogikan bahwa tidak hanya kebersihan fisik tapi juga menekankan pikiran yang bersih pada waktu berkomunikasi / menyembah Dewa. Pelaksanaan harae sendiri tidak terlepas dari pemahaman yang benar masyarakat Jepang penganut Shinto tentang kegare (kekotoran) dan tsumi (dosa). Kegare atau dalam bahasa Indonesianya yaitu kekotoran atau kecemaran. Konsep tercemar (kegare) dalam kepercayaan rakyat Jepang tidak sama dengan kotor (dirty) dalam arti umum juga tidak sama dengan arti tercemar dari agama Hindu dan Buddha (Danandjaja, 1997 : 181).

Dalam buku Telaah Pranata Masyarakat Jepang II (Situmorang, 2005 : 37) menyatakan bahwa:“Dalam pandangan tradisional Jepang, pada umumnya mengenal dua macam kegare (kekotoran) yaitu akufuju (darah) dan kurofuju (kematian). Tetapi menurut Ikegami, di berbagai daerah seperti Okinawa dibedakan atas tiga jenis, yaitu shirofuju (kelahiran), akafujo (haid), dan kurofuju (kematian) (Ikegami 1959:75). Menurut Sasaki (1998:168), dalam kepercayaan tradisional Jepang yang kotor adalah mayat, kelahiran, dan pendarahan”.

Konsep kekotoran tercakup dalam sebuah karya Shinto yang sangat terkenal pada era Tokugawa berjudul Warongo atau Bunga Rampai Jepang (Bellah, 1992 : 89) yang menyatakan:“Bahwa Tuhan tidak menyukai yang kotor, sama dengan mengatakan bahwa seseorang yang hatinya tidak suci tidak menyenangkan Tuhan”.

(20)

menstruasi wanita, dan kematian. Maka prinsip itu dipegang teguh oleh masyarakat Jepang.

1.4.2 Kerangka Teori

Kerangka teori menurut Koentjaraningrat dalam Siregar (2017:10) berfungsi sebagai pendorong proses berpikir deduktif yang bergerak dari bentuk abstrak kedalam bentuk yang nyata. Dalam mengerjakan penelitian ini, pendekatan yang digunakan oleh penulis menggunakan pendekatan religi dan fungsional.

Konsep religi menurut Koentjaraningrat (1974 : 127) yaitu sistem kepercayaan yang mengandung keyakinan dan bertujuan mencari hubungan antara manusia dengan Tuhan, dewa-dewa atau makhluk halus yang mendiami alam gaib.

Selain itu penulis menggunakan pendekatan fungsional. Menurut Malinowski dalam Ihromi (2006:59) pandangan fungsionalisme terhadap kebudayaan mempertahankan bahwa setiap pola kelakuan yang sudah menjadi kebiasaan, setiap kepercayaan dan sikap yang merupakan bagian dari kebudayaan dalam suatu masyarakat, memenuhi beberapa fungsi mendasar dalam kebudayaan bersangkutan. Fungsi dari satu unsur budaya adalah kemampuannya untuk memenuhi beberapa kebutuhan dasar atau beberapa kebutuhan yang timbul dari kebutuhan dasar yaitu kebutuhan sekunder dari para warga suatu masyarakat.

(21)

masyarakat. Konsep tersebut dirumuskan kedalam tingkatan abstraksi mengenai fungsi aspek kebudayaan, yakni :

1. Saling keterkaitannya secara otomatis, pengaruh dan efeknya terhadap aspek lainnya.

2. Konsep oleh masyarakat yang bersangkutan.

3. Unsur-unsur dalam kehidupan sosial masyarakat yang terintegrasi secara fungsional.

4. Esensi atau inti dari kegiatan /aktifitas tersebut tak lain adalah berfungsi untuk pemenuhan kebutuhan dasar “biologis” manusia.

Melalui tingkatan abstraksi tersebut Malinowski kemudian mempertegas inti dari teorinya dengan mengasumsikan bahwa segala kegiatan/aktifitas manusia dalam unsur-unsur kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri mahluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya. Kelompok sosial atau organisasi sebagai contoh, awalnya merupakan kebutuhan manusia yang suka berkumpul dan berinteraksi, perilaku ini berkembang dalam bentuk yang lebih solid dalam artian perkumpulan tersebut dilembagakan melalui rekayasa manusia.

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.5.1 Tujuan Penelitian

(22)

1), Untuk mendeskripsikan Pelaksanaan Harae-kiyome di Kuil Takekoma

2). Untuk mendeskripsikan Fungsi Harae-kiyome di Kuil Takekoma

1.5.2 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah :

1). Untuk menambah pengetahuan bagi penulis dan pembaca mengenai metode-metode Harae-kiyome di kuil Takekoma

2). Untuk menambah wawasan mengenai fungsi Harae-kiyome di kuil Takekoma

3). Bagi peneliti dan pembaca diharapkan dapat digunakan sebagai referensi bila meneliti masalah yang berhubungan dengan penelitian ini.

1.6 Metode Penelitian

(23)
(24)

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI HARAI-KIYOME DAN KUIL TAKEKOMA

2.1 HARAI-KIYOME

2.1.1 Definisi Harai-Kiyome

Dilihat dari kamus kanji modern harai (祓) memiliki arti menyucikan atau mengusir setan atau roh jahat. Harae atau harai (祓 atau 祓 い) adalah istilah umum untuk ritual penyucian di Shinto. Harae adalah salah satu dari empat elemen penting yang terlibat dalam upacara Shinto. Tujuannya adalah menghilangkan atau membersihkan dosa (tsumi) dan kekotoran (kegare). Ini juga termasuk untuk menghilangkan nasib buruk dan penyakit. Harae sering digambarkan sebagai penyucian, tetapi juga dikenal sebagai pengusiran setan sebelum dilakukan penyembahan. Dalam ritual harae umumnya tidak membutuhkan air sebagai alat penyuciannya. Harae yang sering dilakukan di awal sebelum melakukan festival atau ritual keagamaan dalam Shinto adalah Shubatsu. Sedangkan ritual harae yang paling besar yang dilakukan setahun 2 kali

yang dikenal dengan ritual Nagoshi oharai dan Toshikoshi Oharai.

(25)

Shinto, penyucian diri yang menggunakan air seperti misogi, kessai dan temizu lebih dikenal dengan sebutan kiyome. Harai-kiyome merupakan penggabungan dan bermakna penyucian.

2.1.2 Sejarah Harai-Kiyome

Pada zaman dahulu, harae berarti menghilangkan kegare (kekotoran) dan tsumi (dosa) dengan mempersembahkan sesuatu kepada dewa. Pada saat itu,

mempersembahkan sesuatu dipandang sebagai sebuah hukuman untuk menebus kejahatan dan kelakuan buruk seseorang. Seiring dengan berjalannya waktu, fungsi penghukuman dalam harae menghilang dan saat ini harae hanya merupakan ritual penyucian (Ishikawa, 1986: 110).

Pada zaman Heian oharae dilaksanakan untuk mendoakan kemakmuran keluarga kaisar, dan meredam meluasnya wabah penyakit menular, pertikaian dan malapetaka. Pada awalnya, oharae dilaksanakan setiap kali terjadi malapetaka, tetapi sejak terbentuknya sistem pemerintahan ritsuryo, maka ritual ini menjadi agenda pemerintah, dan akhirnya dilaksanakan 2 kali dalam 1 tahun. (Alimansyar 2017 : 120 ).

Oharae adalah salah satu ritual keagamaan yang dilaksanakan pada zaman

kuno dan zaman pertengahan. Tujuan dilaksanakan oharae adalah agar terhindar dari bencana atau malapetaka dengan cara membersihkan diri dari kekotoran (kegare) dan dosa (tsumi) yang tanpa sadar diperbuat (Namiki, 1994:225).

(26)

sake. Penyucian diri yang dilakukan dengan menggunakan air disebut juga misogi Dalam Kojiki dikisahkan bahwa Izanami meninggal karena terbakar sewaktu melahirkan dewa api, sehingga harus pindah ke Yomi no Kuni (dunia orang mati). Izanagi kemudian menyusul Izanami ke Yomi no Kuni dan berharap agar Izanami mau kembali ke dunia orang hidup. Tetapi, disana Izanagi mendapatkan jenazah istrinya yang sudah penuh ulat. Melihat hal tersebut, Izanagi kemudian lari, dan kembali ke dunia orang hidup. Istrinya merasa dipermalukan akibat tindakan suaminya tersebut, lalu bersumpah bahwa setiap hari ia akan mencekik seribu orang dari dunia orang hidup. Sang suami juga bereaksi dan menjawab dengan mengatakan bahwa ia setiap hari akan mendirikan 1.500 gubuk bagi orang melahirkan anak, sehingga dapat melahirkan 1.500 bayi.

Karena merasa dirinya kotor dalam perjalanan ke dunia orang mati, Izanagi kemudian menyucikan dirinya dengan cara misogi (mandi) di Awagihara, prefektur Miyazaki saat ini. Melalui ritual misogi tersebut, lahirlah beberapa dewa penting di antaranya adalah Amaterasu Omi Dewa yang diyakini sebagai nenek moyang kaisar, dan dewa sentral ajaran Shinto. Misogi yang dilakukan pertama kali ini menjadi cikal bakal orang jepang melakukan misogi.

Ishikawa (1986: 110-111) mengemukakan bahwa pada zaman dahulu, misogi merupakan sebuah pemikiran yang memiliki arti yang berbeda tergantung

(27)

peremajaan ini berkembang menjadi sebuah ritual penyucian dengan menggunakan air yang dilakukan sebelum menyambut kedatangan dewa ke tengah-tengah mereka.

Membersihan diri merupakan suatu kegiatan yang dilakukan sebelum melakukan ritual keagamaan. Masyarakat Jepang melakukan penyucian diri dari segala jenis kotoran. Ini berdasarkan kepercayaan yang mereka yakini, bahwa Dewa tidak mau menghampiri jiwa yang kotor. (Abdullah, 1987:133)

2.1.3 Jenis-Jenis Harai-Kiyome

A. Harai

1. Shubatsu, yaitu ritual penyucian yang dilakukan oleh pendeta agama Shinto sebelum memulai upacara besar. sebelum memulai ritual shubatsu, pendeta Shinto harus menyucikan diri sebelum hari pelaksanaan festival skala besar dan menengah, atau pada hari yang sama dengan pelaksanaan festival skala kecil. Selama waktu penyucian diri, mereka harus membersihkan tubuh mereka dengan air, memakai pakaian bersih, tinggal di ruangan khusus, menahan diri dari makan dan minum, berfikir, berbicara dan berprilaku dengan benar dan tidak bersentuhan dengan kotoran.

(28)

melintasi sebuah lingkaran besar yang sakral yang disebut chinowa yang terbuat dari alang-alang yang disimpul dengan tidak terlalu kuat, dibangun di depan honden (kuil utama) . Ritual ini dilaksanakan di halaman kuil, tetapi bila turun hujan maka akan dialihkan ke dalam gedung. Sama seperti ritual Nagoshi-oharae, Toshikoshi oharai dilaksanakan pada tanggal 31 Desember yang diikuti oleh ribuan orang dan dilaksanakan di halaman kuil. tetapi dalam pelaksaan ini tidak memakai chinowa.

B . Kiyome

1. Kessai adalah penyucian diri lahir dan batin yang dilakukan sebelum memulai ritual penting. Kessai bisa dikatakan mirip dengan berpuasa untuk menghindar hawa nafsu dan menghindari tsumi. Kessai adalah kegiatan menjauhkan diri dari kekotoran (kegare) yang dilakukan oleh seorang pendeta sebelum melaksanakan ritual dan festival, dan bersuci guna membersihkan fisik dan mental agar dapat memenuhi syarat sebagai seorang pendeta yang bertugas melaksanakan ritual dan festival. Tsushiro dalam Alimansyar (2017:75).

(29)

2. Misogi, ritual penyucian diri yang dilakukan dengan air sebagai elemen utama. Misogi dilakukan dengan metode pembenaman diri ke dalam air sebagai perlambang Izanagi yang menyucikan diri di sungai setelah pergi ke dunia kematian.

Misogi adalah ritual bersuci dengan cara menyiramkan air ke seluruh tubuh, dan membersihkan hal-hal buruk, noda dan kekotoran yang melekat di tubuh (Nishioka dalam Alimansyar 2017:79).

2.1.4 Peralatan yang Digunakan

1. Ōnusa

Ōnusa (大麻 atau 大幣) adalah salah satu alat untuk ritual harae dalam Shinto. Alat ini dibuat dari ranting pohon sakaki atau tongkat dari kayu shiraki. Pada salah satu ujung ōnusa dipasang shide atau asao (麻苧) (tali rami). Ōnusa yang dibuat dari kayu shiraki disebut haraegushi. Istilah ōnusa berasal dari kata nusa yang berarti persembahan untuk dewa atau barang yang dipakai untuk menyucikan. Pada umumnya, ōnusa dibuat dari kain kasar dari rami atau yū, dan kemudian diganti dengan kain atau kertas. Oleh karena itu, kain dan kertas yang dipakai untuk ritual Shinto disebut ōnusa.

Ōnusa digerakkan ke kiri, kanan, kiri di atas benda atau kepala orang yang

(30)

Gambar Pendeta menggunakan onusa https://www.britannica.com/topic/harai-gushi)

2. Air

Air digunakan sebagai salah satu bentuk penyucian karena air mempunyai kekuatan yang besar untuk mengusir roh jahat. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Schumacher (2007), bahwa air digunakan sebagai salah satu bentuk penyucian. Hal ini dikarenakan bahwa air dianggap sebagai air mata dewa sehingga memiliki kekuatan yang besar untuk mengusir roh jahat. Penyucian diri yang dilakukan dengan menggunakan air disebut juga misogi, temizu dan kessai yang akan di bahas pada bab selanjutnya.

3. Garam

(31)

Dalam arakan-arakan Mikoshi, garam ditaburkan dijalan yang akan dilalui oleh mikoshi karena garam memiliki fungsi untuk menyucikan segala kekotoran, sehingga jalanan diluar kuil harus terlebih dahulu disucikan dengan cara menaburkan garam. (Alimansyar : 2017 : 140 )

Menurut Picken ( 1994: 174), garam juga dipergunakan sebagai salah satu alat penyucian. Hal ini dikarenakan karena garam memiliki kekuatan yang lebih besar apabila dibandingkan dengan air biasa. Garam juga dipergunakan sebagai persembahan dan diletakkan di altar Shinto bersamaan dengan air dan nasi. Selain garam Schumacher (2007) mengatakan bahwa api, air biasa, dan juga sake juga digunakan sebagai alat penyucian atau Oharai.

Gambar Garam (http://ashleyjewelt.blogspot.com/2013/)

4.Kinpei

(32)

kekotoran dan dosa. Kinpei terletak dekat persemayaman Dewa (dewa). (Alimansyar 2017: 112 )

Gambar Kinpei (https://store.shopping.yahoo.co.jp/yamakoshowten/kinpei tyu.html#&gid=itemImage&pid=1)

5. Harae no Kotoba

Salah satu norito (doa) yang berfungsi untuk membersihkan manusia dari dosa (tsumi) dan kekotoran (kegare) (Alimansyar 2017 : 97 ). Isi doa -doa tersebut mengungkapkan rasa terima kasih kepada dewa serta memohon kepada dewa dengan tujuan untuk meminta kesejahteraan atau perlindungan kepada dewa.

2.2 Kuil Takekoma

(33)

Kasamainari-kuil di Prefektur Ibaraki. Inari-kuil adalah kuil yang mengabadikan Dewa pertanian. Tugas dewa pertanian adalah menjaga tanaman tumbuh subur sehingga menghasilkan panen yang berlimpah. Jumlah Inari-kuil di Jepang sekitar 2924 buah, menempati urutan ke-4 setelah Hachiman, Ise, dan Tenjin.Kuil Takekoma dibangun pada tahun 842 pada masa pemerintahan kaisarke 54 Ninmyo (810-850). Dewa yang diabadikan di Kuil Takekoma berjumlahtiga yaitu: 1) Ukano-mitama, 2) Ukemochi, 3) wakumusuhi. Pada awalnya Inari Odewa dipercaya sebagai dewa pertanian saja, tetapi seiring dengan berkembangnya dunia industri dan perdagangan, sejak zaman pertengahan hinggazaman modern, Inari-Odewa bukan hanya disembah oleh petani saja, tetapi jugaoleh para penguasa, pedagang, nelayan dan lain-lain. Para jamaah yang datangpada saat hatsumode (kunjungan pertama awal tahun), festival besar, menengahdan kecil, serta ritual harian lainnya.

Pendeta Shinto yang bekerja di Kuil Takekoma berjumlah 15 orang. Terdiri dari 1 orang guji (kepela pendeta), 1 orang gon-guji (wakil kepala pendeta), 2 orang negi, 9 orang gon-negi, dan 2 orang shusshi. Selain itu ada 7 orang miko yang sehari-hari membantu tugas pendeta dalam melaksanakan ritual dan festival di kuil (lihat table 1). Kuil adalah badan hukum layaknya sebuah perusahaan. Sehingga seorang pendeta memiliki tugas ganda, melaksanakan ritual dan festival serta melaksanakan tugas-tugas administrasi. Di Kuil Takekoma, terdapat 4 divisi kerja.

(34)

2. Divisi Dakwah. Divisi ini melaksanakan tugas yang berkaitan dengan dakwah, menghitung jumlah pengunjung, membuat selebaran dan iklan festival dan sebagainya.

3. Divisi Humas. Divisi ini melaksanakan tugas sebagai penghubung pihak kuil dengan pihak lain.

4. Divisi keuangan. Divisi ini melaksanakan tugas yang berkaitan dengankeuangan.

Selain 15 orang pendeta dan 7 orang miko, terdapat beberapa orang pekerja yang tidak memiliki kualifikasi sebagai pendeta atau miko. Mereka adalah pekerja biasa seperti, petugas kebersihan, perlengkapan dan lain-lain.

Tabel 1. Jumlah serta jabatan pendeta Shinto di Kuil Takekoma.

Nama Jabatan Jumlah Jenis Kelamin Keterangan

Guji 1 Laki-laki Kouta 1 orang

Gon-guji 1 Laki-laki Kouta 1 orang

Negi 2 Laki-laki Kouta 2 orang

Gon-negi 9 8 laki-laki 1 perempuan Kouta tidak ada

Shusshi 2 Laki-laki Kouta tidak ada

Sumber : disertasi Alimansyar, SS., M.A., Ph.D

2.3 Pandangan Shinto Tentang Kekotoran 2.3.1 Kegare(穢れ)

(35)

hari “hare” orang-orang merasakan bebas dari pekerjaan sehari-hari dan kehidupan itu sendiri. Mereka memakai kostum spesial yang cantik, kimono, yang disebut “haregi” yang artinya kimono untuk hari “hare”, dan makan malam spesial untuk merayakan hari-hari sebagai salah satu festival.

Perayaan keagamaan setiap tahun dirayakan di hari -hari “hare” oleh kuil Shinto, jadi hari-hari “hare” ini adalah hari bagi urusan-urusan dewa yang dipotong dari hari-hari biasa dan dilihat sebagai “hari -hari suci”, dimana manusia dan dewa ( 神 ) berhubungan dekat. Sebagai contoh hari-hari di tahun baru, festival-festival untuk mengucapkan syukur setelah panen padi, dan sebagainya. Ada juga hari-hari ”hare” untuk perseorangan seperti shichigosan (festival bagi anak umur tiga, lima, dan tujuh tahun).

Perayaan ulang tahun ke-20 dan menikah, sebagai contoh, juga merupakan hari-hari “hare”. Jadi hari-hari “hare” dihubungkan dengan kebahagiaan manusia, sesuatu yang baik diharapkan. Ini fakta yang luar biasa bahwa festival-festival atau upacara-upacara ini dimonopoli untuk dirayakan oleh kuil-kuil Shinto dibandingkan dengan kuil-kuil Buddha. Dibandingkan dengan “hare”, hari-hari "ke" dikenal sebagai kehidupan yang biasa. "ke" artinya sesuatu yang biasa-biasa

(36)

masyarakat di dalam folklor bangsa Jepang, baik “hare” maupun "ke", harus diperkenalkan sebagai kategori lain. Dia mengkategorikannya sebagai "kegare" yang artinya kekotoran, sesuatu yang najis. Maksud pengkategorian pemikiran "kegare" sebagai area bebas folklor Jepang, juga digolongkan sebagai hari-hari

spesial dibandingkan dengan hari-hari "ke". Di hari-hari kegare tak ada yang dikerjakan dengan sukacita atau urusan-urusan dewa dalam suasana upacara.

Nishioka Kazuhiko (eos.kokugakuin.ac.jp/modules/xwords/entry.php? entryID=1212) menjelaskan sekelompok peneliti studi foklor melihat kegare berasal dari kata ke = ki ( 気) artinya tenaga dan kare (枯れ) artinya layu / mati , jika diterjemahkan menjadi suatu kondisi dimana suatu tenaga yang telah dilayukan / dihilangkan. Ini dihubungkan dekat dengan kematian dimana orang harus merasakan sesuatu yang tidak bahagia, sesuatu y ang jahat atau bersalah. Apa yang dibawa oleh kematian adalah kekotoran. Kategori-kategori yang masuk dalam kegare yaitu sesuatu yang jahat, penyakit, kematian, kesalahan, kecemaran, luka, dan lain lain (Hatakeyama, www.cca.org.hk/resources/ctc/ ctc01 04/ctc0104g.htm ) Kegare (pollution), atau dalam bahasa Indonesianya yaitu kekotoran atau kecemaran. Konsep tercemar (kegare) dalam kepercayaan rakyat Jepang tidak sama dengan kotor (dirty) dalam arti umum juga tidak sama dengan arti tercemar dari agama Hindu dan Buddha (Danandjaja, 1997 : 181).

(37)

1. Kategori pertama kegare termasuk sesuatu yang kotor dari suatu sudut pandang bersih. Sebagai contoh: kotoran tubuh manusia, sampah, bahan/ barang yang membusuk, air yang tersumbat, dan lain-lain.

2. Kategori kedua meliputi darah manusia. Ini mencakup berbagai macam kemungkinan dari penyebab pertumpahan darah atau mendatangkan luka-luka sampai pendarahan seperti melahirkan dan menstruasi.

3. Kategori ketiga meliputi apapun yang berhubungan dengan kematian. Ini tidak hanya meliputi kematian manusia tetapi juga kematian hewan. Membunuh atau melukai burung-burung dan binatang-binatang (buas), dan memasak mereka untuk makanan juga terdiri dari kegare.

4. Yang keempat, yang menjadi sasaran semua macam bencana alam juga dipandang sebagai bentuk kegare. Kategori ini meliputi kejadian dimana manusia dan ciptaan lainnya menderita luka karena bencana alam/ malapetaka, seperti digigit serangga atau ular, hewan-hewan piaraan diserang binatang-binatang buas, atau panen yang dirusak serangga-serangga berbahaya.

(38)

Dari sumber internet www2.kokugakuin.ac.jp, dalam agama Shinto, kegare dipandang sebagai kesialan, sumber ketidakbahagiaan dan kejahatan, dan halangan atau kesukaran kepada upacara keagamaan.

Konsep kekotoran tercakup dalam sebuah karya Shinto yang sangat terkenal pada era Tokugawa berjudul Warongo atau Bunga Rampai Jepang (Bellah, 1992 : 89) yang menyatakan: “Bahwa Tuhan tidak menyukai yang kotor, sama dengan mengatakan bahwa seseorang yang hatinya tidak suci tidak menyenangkan Tuhan”.Kebanyakan dewa memiliki karakteristik tidak menyukai kecemaran dari kematian, kotor, dan darah.

Para dewa tidak menyukai darah, khususnya darah yang berasal dari dalam diri manusia seperti kelahiran, menstruasi wanita, dan kematian. Maka prinsip itu dipegang teguh oleh masyarakat Jepang. Sejak jaman kuno sampai jaman Jepang modern, fenomena seputar kematian dan darah berada di “jantung” kegare.

Seperti yang ada di dalam buku Ilmu Kejepangan 1 (Situmorang, 2006 : 45), dua pendapat mengenai kekotoran: “Menurut Ikegami di berbagai daerah seperti Okinawa dibedakan atas tiga jenis, yaitu shirofuju (kelahiran), akafuju (haid), dan kurofuju (kematian).

(39)

Pandangan inilah yang menyebabkan para pendeta Shinto hanya mengabadikan dirinya untuk melayani dewa, melakukan sesuatu yang bersih dan tidak melibatkan dirinya dalam kegiatan upacara kematian atau pemakaman, karena itu akan menyentuh yang kotor. Pada zaman kuno, mereka melaksanakan upacara kematian dengan cara-cara Shinto tanpa dipimpin oleh kannushi ( 神 主 ). Sebagaimana dikemukakan oleh Sokyo Ono dalam bukunya yang berjudul “Shinto The Dewa Way” (1962 : 109), terdapat beberapa alasan mengapa pendeta Shinto tidak melibatkan dirinya dalam mengurus jenazah dan ritual pemakaman dalam suatu upacara kematian. Sebagai alasan pertama, kuil Shinto diperuntukkan hanya bagi pelayanan kepada dewa yang dipuja dan bukan untuk ritual yang lainnya. Alasan yang kedua adalah pendeta mengabdi sepenuhnya untuk melakukan pelayanan kepada dewa, pelaksanaan ritual keagamaan diluar dari memuja dewa adalah diluar tanggung jawab kuil dan pendeta.

(40)

dibuatpada awal jaman Heian (794 – 1192). Kitab tersebut cukup menarik, misalnya dalam kasus sebagaimana yang dikutip berikut ini

Aの家に死の穢れがあったとします。Bの家の者がA家を訪

問し、そこで着座して帰って来ます。するとB家の者は全員、

死穢に汚染されるのです。次に、C家の者がB家に来て着座

します。すると、この着座した者は汚染されますが、汚染者

は彼一人であって、他のC家の者は汚染されません。けれえ

ども、B家の者がC家に行って着座すれば、C家の全員に死

穢がつきます。ところが、この場合でも、D家の者がC家に

行って着座しても、もはや死穢に汚染されないのです。

Terjemahannya:

Bila ada salah satu anggota keluarga A yang meninggal, kemudian orang dari keluarga B datang melayat, maka seluruh anggota keluarga B akan menjadi kotor. Kemudian bila salah satu anggota keluarga C berkunjung ke rumah keluarga B (yang sudah terkontaminasi) dan si orang dari keluarga C pulang kerumahnya, maka seluruh anggota keluarga C tidak terkotori, hanya orang yang pergi saja yang terkotori oleh kematian. Tetapi bila salah satu anggota keluarga B berkunjung ke rumah keluarga C maka seluruh anggota keluarga C akan terkontaminasi oleh kotor. Namun bila ada salah satu anggota keluarga D yang datang berkunjung ke rumah keluarga C, maka anggota keluarga D yang datang berkunjung tidak akan terkontaminasi (Hiro, 1987 : 77).

(41)

ketika seorang kaisar meninggal dunia, sanak saudara dan pelayan-pelayannya kelihatan berkabung selama beberapa tahun. Masa berkabung diantara masyarakat umum di masa modern ini lebih singkat, dibanyak kasus 49 hari. Sepanjang masa tersebut, setiap individu harus menahan diri dari partisipasi dalam berhubungan dengan dewa, sebagai contoh mengunjungi kuil Shinto kebiasaannya juga mentabukan kecemaran akibat darah sama dengan kecemaran akibat kematian.

Di dalam buku “A Historical Study of the Religious Development of Shinto” (Katō, 1973 : 139) dijelaskan bahwa di dalam Engishiki ditentukan mereka yang dilarang atau ditabukan (mengambil bagian dalam upacara) selama tercemar adalah: “ Selama 30 hari sesudah berhubungan dengan mayat; selama tujuh hari saat melahirkan; selama lima hari setelah berhubungan dengan enam jenis hewan peliharaan; selama tiga hari setelah menyentuh hewan-hewan ini ketika mereka melahirkan (terkecuali hewan ayam betina); dan selama tiga hari setelah makan daging dari hewan-hewan ini. Mereka yang memimpin pemakaman dan mereka yang keguguran setelah lebih dari empat bulan mengandung, dan mereka yang keguguran kurang dari tiga bulan mengandung, ditabukan (partisipasi di dalam upacara) selama 30 hari dan 7 hari berturut-turut dalam upacara”.

(42)

tersebut dia atas pohon dan dia pergi mendaki gunung Ibuki dimana dia dikutuk oleh dewa gunung tersebut. Sebagai konsekuensinya dia akhirnya meninggal. Sesuatu benda yang bersentuhan dengan yang kotor (tercemar) maka akan ikut tercemar juga, oleh karena itu apabila ada benda-benda suci maka harus dijauhkan dari benda tercemar.

Pemikiran ini pula mengakibatkan lahir berbagai kebiasaan, misalnya memberikan sesajen ditempat yang tidak ada mayatnya, diberbagai daerah ada mengenal sistem dua kuburan yaitu satu kuburan tempat mayat dan satu lagi kuburan tempat roh atau tempat mengantarkann persembahanpersembahan, dan pada waktu di rumah ada mayat maka dewa dan dibungkus. Bahkan sampai sekarang terdapat kebiasaan di tempat-tempat terpencil di Jepang yang seorang wanita sepanjang periode menstruasinya, atau setelah melahirkan anak, tidak diijinkan mengambil makanan dan tinggal bersama dengan keluarganya, takut api yang digunakan untuk memasak telah tercemar olehdarah. Sebagai contoh di Jōmiya Desa Matsubara pedalaman Tsuruga Propinsi Echizen, disana terdapat bangunan rumah yang terpisah yang digunakan penduduk. Setiap penduduk wanita selama periode menstruasinya diharapkan tinggal di dalamrumah ini sendirian dan memasak makanannya selama satu minggu.

(43)

2.3.2 Tsumi(罪)

Ketika para penerjemah menggunakan kata bahasa Inggris “sin” (dosa) untuk istilah bahasa Jepang tsumi, masyarakat menghubungkannya dengan konsep dosa milik Yahudi atau Kristiani. Hal ini sangat mudah membuat orang tersesat dalam memahami tsumi. Dosa dalam Kristiani dikaitkan dengan “dosa asal” (sin of origin), dan ini meliputi pemikiran yang sangat spesifik terhadap pelanggarankehendak Tuhan (will of God). Pemikiran dosa asal atau melanggar perintah Tuhan tidak ada dalam Shinto.

Bagi Shinto tsumi merupakan kekotoran praktek penyucian dalam Shinto sepanjang perjalanannya sebagai agama sebagian besar membidik pada pembersihan fisik atau kekotoran luar (lahiriah) dan sedikit memperhatikan penyucian batiniah (luar). Oleh karena itu konsep dosa hanya pada fisik atau keadaan luar dan belum ada konsep dosa yang berasal dari kesadaran batiniah atau kesalahan kata hati. Jadi baik dosa surgawi (heavenly sins) dan dosa duniawi (earthly sins) seperti yang tertulis pada liturgi terkenal Shinto dalam Engishiki dekat pada semua dosa lahiriah (material) dan bukan pada dosa batiniah (immaterial).

(44)

menunjukkan petir. Sama halnya dengan disengat serangga juga dipandang sebagai suatu dosa.

Meskipun fakta bahwa manusia tidak bisa menghindar dari kejadian-kejadian ini, peristiwa tersebut dipandang sebagai dosa. Sebagai akibatnya dari sudut kepercayaan alam, Shinto di jaman ini memandang semua kejadian-kejadian diatas sebagai dosa walaupun tidak diakui sebagai dosa dari sudut agama lain. Banyak dosa yang tercatat dalam institusi-institusi Engi shiki yang mengklasifikasikan dosa dalam dua macam, yaitu:

a) Amatsu-tsumi atau dosa-dosa surgawi (yang dilakukan di surga). Amatsu-tsumi merupakan kejahatan besar karena mengganggu pengolahan pertanian. Dikatakan bahwa perbuatan-perbuatan ini dilakukan oleh Susanoo Mikoto di surga. Menurut tradisi, Susanoo Mikoto melakukan berbagai tindakan bengis terhadap sawah suci milik Amaterasu Omidewa dan ia juga mengotori istana suci milik Amaterasu Omidewa, yang diharapkan suci dan bersih dengan sempurna, dengan kotoran badan dan menguliti belang seekor anak kuda jantan (piebald colt) ketika dia baru saja merayakan pesta hasil pertamanya. Tindakan-tindakan ini tentu saja Tindakan-tindakan jahat yang sah.

(45)

burung-burung berbahaya, serangga, termasuk kunitsu tsumi. Dalam kasus ini masyarakat Jepang mencoba menyeka unsur-unsur buruk dengan mengadakan upacara keagamaan. Ini artinya bahwa semua perbuatan manusia dan bahaya yang dari alam yang mengancam kelanjutan komunitas masyarakat dipandang sebagai dosa duniawi. Shinto percaya upacara penyucian berguna untuk menenangkan unsur-unsur negatif yang ada di manusia dan alam, serta menguatkan unsur positif untuk membangun masyarakat yang lebih baik.

BAB III

PELAKSANAAN DAN FUNGSI HARAI-KIYOME DI KUIL TAKEKOMA

3.1 Pelaksanaan Harai-kiyome

3.1.1 Pelaksanaan Harai A. Shubatsu

Shubatsu adalah kegiatan penyucian diri yang dilakukan diawal

(46)

Tata tertib pelaksanaan Shubatsu dalam setiap ritual :

1. Seorang pendeta membacakan doa (harae-kotoba) kemudian pendeta lain mengibaskan kertas suci yang disebut o-nusa sebanyak tiga kali diatas kepala para peserta ritual.

2. Seorang pendeta lain mendekati para peserta dengan membawa ranting pohon sasaki dan air garam, lalu memercikkannya. Tetapi, dalam ritual untuk kepentingan pribadi percikan air garam sering dihilangkan. 3. Para jemaat atau peserta yang disucikan menundukkan kepala selama

shubatsu menggunakan onusa berlangsung. Penyucian ini dimulai dari

pendeta, kemudian seluruh peserta.

4. Setelah selesai melakukan shubatsu ke peserta, kemudian pendeta meletakkan kembali onusa ke tempat yang sudah disediakan. Dan para peserta boleh mengangkat kembali kepala dan melanjutkan ritual berikutnya.

Tujuan dilakukannya Shubatsu adalah agar para peserta yang hadir maupun lokasi ritual menjadi suci sekaligus mengusir roh-roh jahat. Agar dapat mengundang datangnya dewa.

B. Nagoshi-oharai

Nagoshi-oharae dilaksanakan di Kuil Takekoma pada tanggal 30 Juni

pukul 15:00 setiap tahun. Nagoshi-oharae adalah ritual penyucian berskala besar karena diikuti oleh ribuan orang.

(47)

pemberitahuan penyelenggaraan ritual Nagoshi-oharae kepada seluruh jemaah (baik tetap maupun tidak tetap ) di seluruh negeri melalui pos. Pada lembaran pemberitahuan tercantum anjuran untuk mengikuti ritual Nagoshi-oharae, waktu dan tempat pelaksanaan. lembaran penyucian berbentuk manusia dan kendaraan dilengkapi dengan tata cara penggunaannya :

a. Tulis nama dan usia tepat di tengah-tengah gambar manusia, kemudian hembuskan nafas sebanyak 3 kali ke gambar tersebut, lalu usapkan ke seluruh tubuh sambil mengucapkan "bersihkan dan sucikan" sebanyak tiga kali.

b. Untuk kendaraan, tulis nomor polisi pada gambar, kemudian usapkan ke surat izin mengemudi dan stir mobil sambil mengucapkan "bersihkan dan sucikan" sebanyak tiga kali.

Bagi mereka yang dapat hadir dan mengikuti ritual membawa langsung gambar ( manusia atau kendaraan) dan biayannya. lalu menyerahkan ke kuil sebelum ritual berlangsung. tetapi bagi mereka yang berhalangan hadir dan tidak dapat mengikuti ritual dapat mengirimkan gambar manusia dan kendaraan yang telah digunakan melalui pos, dan biayanya ditransfer melalui bank, Bagi mereka yang tidak mendapatkan pemberitahuan, dapat langsung melakukan pendaftaran dan mengikuti ritual pada hari pelaksanaannya.

(48)

didominasi oleh kaum perempuan adalah karena ritual ini merupakan kegiatan tahunan yang harus diikuti oleh komunitas perempuan kuil takekoma, sedangkan alasan lebih banyak para lanjut usia adalah karena mereka rentan dengan persoalan hidup, dan ingin mencari ketenangan.

a. Pelaksanaan Ritual Nagoshi-oharae

Beberapa hari sebelum dimulainya Pelaksanaan Ritual Nagoshi-oharae di halaman kuil sudah dipasang chi-no-wa. Pada hari pelaksanaan, sebelum ritual berlangsung dua orang pendeta muda (shusshi) menyiapkan altar ritual didepan chi-no-wa. Altar ini adalah tempat meletakkan onusa dan kirinusa yang akan

digunakan dalam ritual. Menjelang pukul 15:00 sekitar para pendeta mulai bergerak dari kantor kuil menuju tempat ritual dilangsungkan.

Ten-gi (pendeta yang membawakan acara) membuka acara dengan

mengatakan bahwa ’’nagoshi-oharae akan dimulaí". Pertama-tama adalah melakukan ritual penyucian shubatsu. Kirinusa-shuyaku mengambil kotak berisi kantong kirinusa yang terletak di altar lalu membagikannya kepada seluruh pendeta yang mengikuti ritual. Para pendeta yang menerima kantong berisi kirinusa tersebut dan menyimpannya di kantong pakaian.

(49)

adalah peti berisi gambar manusia dan kendaraan yang terletak di samping altar. Cara menyucikannya adalah dengan mengibaskan onusa di atas peti. Selanjutnya adalah penyucian terhadap saishu, dan seluruh pendeta. Pada waktu yang bersamaan, kirinusa-shuyaku menaburkan kirinusa ke arah peti, selanjutnya kepada saishu, dan seluruh pendeta. Terakhir, onusa-shuyaku menghampiri seluruh peserta yang hadir dan melakukan penyucian. Pada waktu yang bersamaan, kirinusa-shuyaku juga menaburkan kirinusa kepada seluruh perserta yang hadir.

Onusa-shuyaku mengumpulkan kembali kantong kirinusa yang

dibagikan kepada seluruh pendeta dan meletakkannya di altar. Dua orang pendeta lalu memasukkan kantong kirinusa tersebut ke dalam peti. Dengan demikian ritual nagoshi-oharae berakhir.

Setelah ritual berakhir, diawali oleh saishu dan seluruh pendeta, para peserta ritual melakukan ritual mengelilingi chi-no-wa sebanyak 3 kali. Tata cara mengelilingi chi-no-wa:

1) Berdiri di depan chi-no-wa dan memberi hormat. Kemudian melangkahi chi-no-wa dengan kaki kiri, lalu mengelilinginya dan memutar ke arah kiri

kembali ke tempat semula.

2) Memberi hormat di depan chi-no-wa, kemudian melangkahinya dengan kaki kanan, lalu mengelilinginya dan memutar ke arah kanan kembali ke tempat semula.

(50)

4) Memberi hormat di depan chi-no-wa, kemudian melangkahi chi-no-wa dengan kaki kiri, lalu mengelilinginya, lalu berjalan menuju kuil. Di depan ruang ibadah memberi hormat dua kali, tepuk tangan dua kali dan hormat satu kali.

Setelah ritual mengelilingi chi-no-wa berakhir, saishu, dan seluruh pendeta kembali ke kantor kuil, dan para peserta membubarkan diri. Ritual nagoshi-oharae dinyatakan selesai, tetapi belum sempurna. Karena, setelah itu

ryu-iki-shuyaku akan membawa peti berisi barang yang disucikan dan membuangnya ke

sungai. Sungai yang dimaksud adalah Sungai Abukuma yang terletak tidak begitu jauh dari Kuil Takekoma. Membuang barang yang disucikan dalam ritual ke sungai adalah salah satu bagian penting dalam rangkaian ritual nagoshi-oharae. Karena, barang yang dibuang di sungai akan mengalir ke laut, dan terbenam di dasar laut. Menurut kepercayaan Shinto, Dewa (dewa) yang tinggal di dasar laut selanjutnya akan menyucikan benda-benda tersebut.

Tujuan dilakukannya ritual nagoshi-oharae adalah untuk menghilangkan dosa dan kekotoran yang melekat di dalam diri dari bulan Januari sampai bulan Juni.

C. Toshikoshi-oharai

Toshikoshi oharai dilaksanakan di Kuil Takekoma pada tanggal 31

(51)

b. Pelaksanaan Ritual Toshikoshi oharai

Beberapa hari sebelum dimulainya Pelaksanaan Ritual Toshikoshi oharai di halaman kuil sudah disediakan altar. Altar ini adalah tempat meletakkan onusa dan kirinusa yang akan digunakan dalam ritual. Menjelang pukul 15:00 sekitar para pendeta mulai bergerak dari kantor kuil menuju tempat ritual dilangsungkan. Ten-gi membuka acara dengan mengatakan bahwa Toshikoshi oharai

akan dimulaí". Pertama-tama adalah melakukan ritual penyucian shubatsu. Kirinusa-shuyaku mengambil kotak berisi kantong kirinusa yang terletak di altar

lalu membagikannya kepada seluruh pendeta yang mengikuti ritual. Para pendeta yang menerima kantong berisi kirinusa tersebut dan menyimpannya di kantong pakaian.

(52)

bersamaan, kirinusa-shuyaku juga menaburkan kirinusa kepada seluruh perserta yang hadir.

Onusa-shuyaku mengumpulkan kembali kantong kirinusa yang

dibagikan kepada seluruh pendeta dan meletakkannya di altar. Dua orang pendeta lalu memasukkan kantong kirinusa tersebut ke dalam peti. Dengan demikian ritual Toshikoshi oharai berakhir.

. Ritual Toshikoshi oharai dinyatakan selesai, tetapi belum sempurna. Karena, setelah itu ryu-iki-shuyaku akan membawa peti berisi barang yang disucikan dan membuangnya ke sungai. Sungai yang dimaksud adalah Sungai Abukuma yang terletak tidak begitu jauh dari Kuil Takekoma. Membuang barang yang disucikan dalam ritual ke sungai adalah salah satu bagian penting dalam rangkaian ritual Toshikoshi oharai. Karena, barang yang dibuang di sungai akan mengalir ke laut, dan terbenam di dasar laut. Menurut kepercayaan Shinto, Kami (dewa) yang tinggal di dasar laut selanjutnya akan menyucikan benda-benda tersebut.

Ritual Toshikoshi oharai hampir sama seperti dengan ritual Nagoshi Oharai yaitu sama-sama sebagai upacara terbesar yang diselenggarakan setiap 1

tahun 2 kali di setiap kuil termasuk di kuil Takekoma , tetapi di Toshikoshi oharai pesertanya adalah kalangan umum yang ingin ikut dalam Toshikoshi oharai ini. Selain itu pada ritual Toshikoshi oharai ini tidak menggunakan chi no wa.

Tujuan dari Toshikoshi oharai adalah untuk menghilangan kekotoran dan dosa yang ada dari bulan Juni sampai Desember sekaligus menyambut tahun baru dengan keadaan suci.

(53)

A. Temizu

Temizu yaitu upacara penyucian dengan cara membersihkan mulut dan

tangan sebelum masuk ke kuil. Ini dilakukan di halaman kuil dengan menggunakan air. Setiap pengunjung yang ingin berdoa di depan bangunan utama, akan singgah di temizusha untuk mencuci tangan dan mulut menggunakan air. Tata cara melakukan temizu adalah sebagai berikut :

a) Ambil centong dengan tangan kanan, isi dengan air dan cuci kaki kiri. b) Pindahkan centong ke tangan kiri dan cuci tangan kanan.

c) Pindahkan centong kembali ke tangan kanan, lalu tuangkan air ke tangan kiri dan membilas mulut.

d) Cuci tangan kiri sekali lagi karena mulut menyentuh tangan kiri saat membilas mulut. Terakhir, biarkan sisa air mengalir ke pegangan centong sehingga bisa membersihkannya untuk orang yang menggunakannya setelah itu.

Hal ini dilakukan agar kesucian tetap terjaga serta menyucikan tubuh dan pikiran seseorang sebelum menghadap dewa.

B. Kessai

(54)

terbagi dua, bagian depan tempat mengganti pakaian, dan ruang di belakangnya tempat mandi. Di dinding ruangan bagian belakang di tempel tata cara pelaksanaan kessai.

Tata cara pelaksanaan kessai adalah sebagai berikut:

1. Bertepuk dua kali ke arah yang di tamping 2. Menyiramkan air hangat dari pundak 3. Membasuh muka

4. Membasuh kaki kanan dan kiri

5. Membasuh bagian paha kaki kanan dan kaki kiri 6. Membasuh tangan

7. Membasuh pundak

8. Membasuh muka dan mulut 9. Membasuh kepala

10. Bertepuk dua kali ke arah air yang di tamping

Tujuan di laksanakannya kessai oleh pendeta agar terhindar dari segala kekotoran fisik, maupun dosa sebelum melakukan ritual keagamaan maupun festival.

C. Misogi

(55)

misogi tidak diwajibkan, tetapi hanya disarankan bagi pendeta yang mau

melaksanakannya.

a. Persiapan Misogi

Persiapan pelaksanaan misogi (mandi) dilakukan sore hari sebelumnya. Persiapan dilakukan oleh pendeta paling muda yang disebut Shusshi. Adapun yang dipersiapkan adalah sebagai berikut:

1) Membersihkan tempat pelaksanaan misogi (misogi-ba). 2) Mengisi bak air

3) Menyiapkan gayung

4) Menyiapkan kin-pei (onusa berwarna keemasan yang digunakan dalam ritual penyucian, shubatsu)

(56)

3.2 Fungsi Harai-Kiyome

1. Bagi para penganut agama shinto dengan melakukan Harai-kiyome di kuil maka dosa maupun kekotoran yang ada dalam tubuh maupun diluar tubuh akan dimurnikan dan menjadikan diri kembali suci. Selain itu Harai-Kiyome juga berfungsi sebagi pengusir roh-roh jahat yang ada di

(57)

segala bahaya maupun malapetaka dari dewa. Karena masyarakat Jepang dalam kehidupannya senantiasa berusaha untuk menjaga dan melestarikan alam dengan cara selalu berdoa dan berkontak dengan dewa dalam keadaan suci karena dewa-lah yang menciptakan alam juga yang bermanifestasi ke dalam alam. Manusia akan selalu membutuhkan berkat dari dewa untuk manusia dan juga alam semesta dan harai dilakukan tidak lain adalah untuk tetap menjaga kesucian sebelum menghadap kepada dewa (para dewa). Karena pada dasarnya para dewa itu suci dan membenci hal-hal yang kotor.

2. Untuk para pendeta yang bertugas sebagai penghubung antara manusia dan dewa, para pendeta di kuil selalu menyucikan diri setiap harinya dan melakukan ritual penyucian diri terlebih dahulu sebelum menyucikan orang-orang yang datang ke kuil untuk menghilangkan dosa maupun kekotoran yang ada pada mereka dan berdoa kepada dewa. Karena pada dasarnya para pendeta di kuil harus selalu suci dan terhindar dari yang namanya kekotoran maupun dosa. Maka terlebih dahulu para pendeta harus menyucikan diri baik secara fisik dan mentalnya seperti melakukan misogi (mandi), kessai (berpuasa) agar dapat melaksanakan tugas-tugas sebagai pendeta di kuil.

(58)

yang sama dengan kesalahan. Tindakan tertentu, situasi tertentu, atau hal yang tidak terduga dapat menyebabkan kekotoran. Bahkan kejadian seperti penyakit yang disebabkan alam disebut sebagai dosa.

Untuk menghilangkan kekotoran ini maka masyarakat Jepang menyucikan diri mereka dan benda-benda yang mereka anggap tercemar dengan melakukan Harai-kiyome di kuil. Dengan begitu manusia yang awalnya tercemar atau tidak

suci dapat kembali menjadi suci. Dan mereka dapat melakukan aktifitas seperti biasa kembali. Karena pada hakikatnya manusia terlahir dalam keadaan suci dan baik, tetapi seiring berjalannya waktu dalam kehidupan manusia kesucian itu perlahan tercemar melalui darah, kematian, perbuatan buruk, penyakit dan bencana.

(59)

kami, menyembah kami, dan melestarikan alam karena kami juga bermanifestasi

ke dalam alam. Oleh karena itu masyarakat Jepang melakukan penyucian terhadap diri mereka dan juga seluruh negeri Jepang. Agar dapat memuja dewa dan tidak membuat dewa murka atau marah yang dapat mengakibatkan bencana alam ataupun bencana lainnya yang dapat merusak alam dan kehidupan mereka.

Dalam Pelaksanaan harai-kiyome di kuil Takekoma bertujuan untuk menghilangkan kekotoran dan dosa yang ada dalam setiap diri manusia yang datang untuk menyucikan diri dengan bantuan para pendeta kuil. Dengan menyucikan diri maka mereka percaya bahwa mereka telah menjadi suci dan terhindar dari kekotoran maka dapat menyembah maupun berdoa kepada dewa. Karena untuk bisa berdoa ataupun memuja dewa maka seseorang harus dalam keadaan suci fisik maupun jiwanya. Masyarakat Jepang percaya bahwa dewalah yang mewujudkan dan memberkati seluruh alam, tetapi dewa bisa bertindak tanpa diprediksi sebelumnya. Dewa juga bisa mengacaukan sistem alam sehingga kehidupan akan menjadi tidak stabil (Hartz 2009, 84).

(60)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan

Disini penulis akan menyimpulkan beberapa hal yang telah dibicarakan pada pembahasan sebelumnya, antara lain :

1. Penyucian diri dianggap sesuatu yang sangat penting oleh penganut Shinto karena dapat menghilangkan semua kegare (kekotoran) dan tsumi (dosa), untuk menghilangkan semua itu maka mereka melakukan penyucian diri yang dilakukan oleh masyarakat maupun pendeta yang melaksanakan ritual penyucian diri yang lebih dikenal dengan harai-kiyome.

(61)

dari shubatsu, nagoshi oharai, toshikoshi oharai, temizu, kessai dan misogi. Tujuan dilakukannya harai-kiyome di kuil Takekoma bertujuan

untuk menghilangkan kekotoran dan dosa yang ada dalam setiap diri manusia yang datang untuk menyucikan diri dengan bantuan para pendeta kuil. Karena untuk bisa berdoa ataupun memuja dewa maka seseorang harus dalam keadaan suci fisik maupun jiwanya. Masyarakat Jepang percaya bahwa dewalah yang mewujudkan dan memberkati seluruh alam, tetapi dewa bisa bertindak tanpa diprediksi sebelumnya. Dewa juga bisa mengacaukan sistem alam sehingga kehidupan akan menjadi tidak stabil. Oleh karena itu masyarakat menjadi takut akan kemarahan dewa yang bisa merusak harmoni seluruh alam. Agar alam semesta tetap berada dalam harmoni, maka manusia tetap memuja dewa dan terus melakukan ibadah. Dalam shinto, sifat dewa adalah suci. Untuk dapat berkontak dengan dewa, maka manusia dituntut untuk suci lahir dan batin. Kegare dan tsumi adalah hal dari luar yang bisa membuat manusia

tercemar dan bisa menghalangi manusia untuk berkontak dengan dewa. Oleh karena itu, masyarakat melakukan ritual penyucian diri untuk menyucikan diri dari kekotoran supaya bisa berkontak dengan para dewa (dewa) karena pada dasarnya dewa itu suci dan tidak menyukai kekotoran.

4.2 Saran

(62)

1. Diharapkan kepada para pembaca agar lebih melihat sisi positif dari bentuk-bentuk upacara penyucian yang dilakukan bangsa Jepang atas dasar kebersihan/kesucian adalah hal utama; kekotoran sangat dibenci oleh dewa, kekotoran membuat mereka merasakan sesuatu yang tidak bahagia, sesuatu yang jahat atau bersalah.

(63)

DAFTAR PUSTAKA

Alimansyar. 2017. Shinto Agama Asli Orang Jepang. Medan: Usu Press 2017. 2017. Kuil Takekoma to Shinsosai wo Chushin ni (Telaah Keagamaan Tentang Kegare Dalam Ajaran Shinto : Fokus Pada Kuil Takekoma dan Upacara Kematian.Disertasi. Univ.Tohoku

Aoki, Eiichi. 1994. JAPAN, Profile of A Nation. Tokyo: Kodansha International Ltd

Danandjaja, James. 1997. Foklor Jepang Dilihat Dari Kacamata Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti

Durkheim, Emile. 1912. The Elementary Forms of Religious Life. IRCiSoD Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta:

PT .Gramedia Pustaka Utama

Koenjaraningrat. 1990. Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta:PT. Gramedia Pustaka Umum

Koentjaraningrat. 1976. Metode metode Penelitian Masyarakat. Jakarta:PT.Gramedia

Luxemburg, Jan Van, Mieke Bal, William G. Weststeijn. 1992. Pengantar Ilmu Sastra, terj. Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia

Picket, Stuart D. B. 1984. Shinto. The Japan’s Spiritual Roots. New York: Kodansha Internasional.

Picken, Stuart D.B 1994. Essential of Shinto, London: Greenwood Press

Ridwan, Yosian. 2011. Dewa Dalam Agama Shinto Skripsi. Padang: Universitas Bung Hatta

Rosidi, Ajip. 1981. Mengenal Jepang. Jakarta.

Situmorang, Hamzon. 2005. Telaah Pranata Masyarakat Jepang II (diktat). Medan: Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara

Sinaga, Abdullah. Makna Agama Terhadap Alam Fikir Manusia. Medan: Penerbit Rimbow (Anggota IKAPI)

Sumber Website

(64)

(http://ichihararc.jp/ichihararccom/ichihararc.com/schedule/weekly/

weekly_weekly/0506/2058-180202/2058.html) Diakses pada tanggal 11 November 2018

(https://www.google.com/url?

sa=i&rct=j&q=&esrc=s&source=images&cd=&cad=rja&uact=8&ved=2ahUKEw i3s87M1p7eAhWReisKHaaKDYYQjRx6BAgBEAU&url=https%3A%2F

%2Fwww.foap.com%2Fphotos%2Fjapanese-shrine-in-shiga-3851d794-1cf2-

4a61-bb51-5bc3e0ee2412&psig=AOvVaw0w4Stmv3D-gtzU8fbiAqQK&ust=1540456522069134) Diakses pada tanggal 3 Maret 2019

(http://www.namesdir.net/s/kiyome) Diakses pada tanggal 4 Maret 2019 (https://en.wikipedia.org/wiki/Harae) Diakses pada tanggal 5 Maret 2019 (https://piktag.com/tag/kiyome) Diakses pada tanggal 5 February 2019 ( https://janarusaja.wordpress.com/2012/06/22/analisis-makna-kanji-dengan-bushu-%E6%B0%B5-dalam-buku-kanji-o-graphix/) Diakses pada tanggal 5 Maret 2019

(http://thesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2007-3-00264-JP%20Bab%202.pdf) Diakses pada tanggal 7 Maret 2019

(http://studykeagamaan.blogspot.com/2015/12/agama-shinto.html) Diakses pada tanggal 15 Maret 2019

( https://docplayer.info/48706121-Bab-3-analisis-data-dalam-bab-ini-saya-akan-menganalisis-pengaruh-konsep-shinto-yang-terdapat.html) Diakses pada tanggal 15 Maret 2019

(http://library.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2HTML/2008200351JPBab2/ page9.html) Diakses pada tanggal 5 April 2019

(65)

Lampiran

Gambar 1. Kuil Takekoma bagian depan (https://www.facebook.com/ miyagidmoth/photos/pcb.726969104346865/726968741013568/?type=3&theater)

(66)

Gambar 3. Kuil Takekoma (https://www.pixtastock.com/photo/38005734)

(67)

Gambar 5. Pendeta Melewati Chi-no wa dalam ritual Nagoshi oharai (https:// photo-ac.com/tw/photo/534688/%E5%9C%A8%E5%A4%8F%E5%AD%A3%EF

%BC%8C%E4%B8%80%E5%90%8D%E7%89%A7%E5%B8%AB %E7%B6%93%E9%81%8E%E4%BA%86cha

%E5%86%89%E5%86%89%E3%80%82)

(68)

Gambar

Gambar Pendeta menggunakan onusa https://www.britannica.com/topic/harai-
Gambar Garam (http://ashleyjewelt.blogspot.com/2013/)
Tabel 1. Jumlah serta jabatan pendeta Shinto di Kuil Takekoma.
Gambar 2 . Kuil Takekoma (httpstravel.navitime.comenareajpspot02301-2600476)
+4

Referensi

Dokumen terkait

Atas dasar audit yng dilaksanakan terhadap laporan keuangan historis suatu entitas, auditor menyatakan suatu  pendapat mengenai apakah laporan keungan tersebut menyajikan

Permasalahan membuka peluang bagi peneliti untuk membuat sebuah sistem yang dengan cepat dan mudah dalam pengambilan keputusan pada mahasiswa yang layak

Dari hasil wawancara dengan Ibu Zamratul Aini selaku dosen sekaligus alumni dari prodi Bimbingan Konseling Islam bahwa pendidikan itu harus terus menerus

Rumah sakit ini memiliki beberapa jenis pelayanan kesehatan yang dilaksanakan dalam tiga bentuk pelayanan seperti pelayanan di rawat inap yang terdiri dari 16

Dari penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa algoritma dan teknik watermarking yang diimplementasikan menunjukkan bahwa kualitas citra watermarked masih dalam keadaan baik

(Employee Stock Ownership Plan) yaitu program kepemilikina saham oleh pegawai perusahaan, dengan denikian akan didapat perhatian dan komitmen lebih tinggi dalam mencapai

Dengan tidak mengurangi ketentuan dalam pasal 4 ayat (6) Penetapan Presiden Nomor 6 tahun 1959 (disempurnakan) dan pasal 5 sub b Peraturan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi

Dengan Flyover KH noer Ali dan jalan yang lebar sebagai akses utama yang menghubungkan Bekasi bagian Utara dan Selatan dan hadirnya Summarecon Mal Bekasi telah menjadikan