• Tidak ada hasil yang ditemukan

BIODETERIORASI TIGA JENIS KAYU CEPAT TUMBUH OLEH JAMUR PELAPUK INDRIANI SYAFITRI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BIODETERIORASI TIGA JENIS KAYU CEPAT TUMBUH OLEH JAMUR PELAPUK INDRIANI SYAFITRI"

Copied!
72
0
0

Teks penuh

(1)

INDRIANI SYAFITRI

DEPARTEMEN HASIL HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

RINGKASAN

Indriani Syafitri. Biodeteriorasi Tiga Jenis Kayu Cepat Tumbuh oleh Jamur Pelapuk. Dibawah bimbingan Ir. Trisna Priadi, M.Eng.Sc

Pertumbuhan penduduk di Indonesia yang cepat mengakibatkan kebutuhan kayu sangat tinggi. Salah satu alternatif penyelesaian masalah permintaan kayu yang tinggi adalah dengan pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI). HTI memperioritaskan penanaman pohon-pohon cepat tumbuh seperti mangium, pinus, sengon dan lain-lain. Penggunaan kayu seringkali mengalami penurunan penampilan dan sifat-sifat kayu (deteriorasi). Salah satu faktor biologis perusak kayu yang penting untuk dipelajari adalah jamur pelapuk. Kerusakan kayu yang disebabkan jamur pelapuk mengakibatkan pemanfaatan dan pengolahan kayu menjadi tidak efisien.

Tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui perubahan sifat fisis dan mekanis kayu Pinus merkusii, Acacia mangium, Paraserianthes falcataria oleh serangan jamur pelapuk (Schizophyllum commune dan Donkioporia expansa).

Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah bagian teras kayu pinus, mangium, dan sengon. Kayu dibuat contoh uji dengan ukuran 1 cm x 1 cm x 0,5 cm (penurunan berat kering kayu); 2 cm x 2 cm x 2 cm (perubahan volume dan berat jenis); 1 cm x 1 cm x 15 cm dan 2 cm x 2 cm x 30 cm (Modulus of Elasticity dan Modulus of Rupture); 2 cm x 2 cm x 0,5 cm (keteguhan tekan tegak lurus serat). Contoh uji disterilisasi dengan autoclave (121°C; 15 psi; 30 menit). Dilakukan pengumpanan contoh uji pada biakan murni jamur Schizophyllum commune dan Donkioporia expansa selama 4, 8, dan 12 minggu dalam botol kaca dan kotak plastik. Dilakukan pengujian kehilangan berat kering kayu, sifat fisis, dan mekanis kayu.

Penurunan sifat fisis dan mekanis kayu sengon yang diumpakan pada S. commune lebih besar secara nyata dibandingkan kayu mangium dan pinus. Sedangkan penurunan sifat fisis dan mekanis kayu mangium relatif sama dibandingkan kayu pinus. Penurunan sifat fisis dan mekanis kayu sengon yang diumpakan pada D. expansa lebih besar secara nyata dibandingkan kayu mangium dan pinus. Penurunan sifat fisis dan mekanis kayu mangium pun lebih besar secara nyata dibandingkan kayu pinus. D. expansa memiliki kemampuan mendegradasi kayu lebih tinggi dibandingkan S. commune. Setelah 12 minggu pengumpanan, kayu-kayu yang diumpankan pada S. commune menurunkan sifat fisis kayu berkisar antara 0,234% - 2,293% dan penurunan sifat mekanis kayu berkisar antara 29,622% - 38,100%. D. expansa menyebabkan penurunan sifat fisis kayu berkisar antara 2,473% - 53,56% dan penurunan sifat mekanis kayu berkisar antara 17,293% - 48,983%.

Kata Kunci: Pinus merkusii, Acacia mangium, Paraserianthes falcataria, Schizophyllum commune, Donkioporia expansa, biodeteriorasi.

(3)

BIODETERIORASI TIGA JENIS KAYU CEPAT TUMBUH

OLEH JAMUR PELAPUK

INDRIANI SYAFITRI

DEPARTEMEN HASIL HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada

(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul ”Biodeteriorasi Tiga Jenis Kayu Cepat Tumbuh oleh Jamur Pelapuk” adalah hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah dituliskan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi.

Bogor, Mei 2008

Indriani Syafitri

(5)

Judul Skripsi : Biodeteriorasi Tiga Jenis Kayu Cepat Tumbuh oleh Jamur Pelapuk

Nama Mahasiswa : Indriani Syafitri

NIM : E24103038

Menyetujui: Dosen Pembimbing,

Ir. Trisna Priadi, M.Eng.Sc. NIP. 132 045 535

Mengetahui:

Dekan Fakultas Kehutanan IPB,

Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr NIP. 131 578 788

(6)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillaahirabbil’alamin segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada

Allah SWT atas segala karunia-Nya

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Karya ilmiah hasil penelitian ini berjudul “Biodeteriorasi Tiga Jenis Kayu Cepat

Tumbuh oleh Jamur Pelapuk”.

Terima kasih dan penghargaan penulis ucapkan kepada Bapak Ir. Trisna Priadi,

M.Eng.Sc selaku pembimbing skripsi dan akademik yang telah memberikan arahan,

saran, motifasi, dan nasihat. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak

Dr. Ir. Basuki Wasis, MS dan Ibu Dr. drh. Erna Suzana, M.ScF atas saran dan

masukan yang diberikan selaku dosen penguji. Disamping itu, penghargaan juga

penulis sampaikan kepada staf Fakultas Kehutanan yang telah membantu selama

pengumpulan data. Terima kasih kepada Bapak, Mama, Uni Iffah, Abang Iqbal, Mas

Rizky dan seluruh keluarga yang telah memberikan doa, kasih sayang, nasihat,

motifasi, dan pengorbanannya kepada penulis. Ungkapan terima kasih juga penulis

sampaikan kepada rekan-rekan DHH ’40, Tri Regina, DKM ‘Ibaadurrahmaan, dan

semua pihak yang terkait serta tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh

karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk

kesempurnaan skripsi ini. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi yang

membutuhkan.

Bogor, Mei 2008

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kruenggeukueh (Aceh Utara) pada tanggal 20 Juni 1985.

Penulis adalah anak ketiga dari tiga bersaudara pasangan Asril Dahlan (Ayah) dan

Siti Rochmawati (Ibu).

Pada tahun 2003, penulis lulus dari SMU Negeri 1 Lhokseumawe dan pada

tahun yang sama diterima sebagai mahasiswa Program Studi Teknologi Hasil Hutan,

Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur

Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Tahun 2004 penulis mengambil Sub-Program

Studi Pengolahan Hasil Hutan dan pada tahun 2005 memilih Kayu Solid

(Peningkatan Mutu Kayu) sebagai bidang keahlian.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif mengikuti organisasi

kemahasiswaan, yaitu menjadi pasukan pengibar bendera IPB tahun 2003-2004,

anggota seksi konsumsi pada kegiatan Orientasi Mahasiswa Baru Fakultas Kehutanan

IPB tahun 2004, bendahara umum Ikatan Mahasiswa Tanah Rencong tahun

2004-2005, kepala Biro Media dan Informasi Departeman Informasi dan Komunikasi

Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Kehutanan IPB tahun 2004-2005,

anggota seksi kesekretariatan pada kegiatan Pekan Ilmiah Kehutanan Nasional III

tahun 2005, koordinator seksi kesehatan pada kegiatan

Forester Cup

, panitia pada

kegiatan Pelatihan Minitab dan SPSS, sekretaris 2 Himpunan Mahasiswa Hasil Hutan

tahun 2005-2006, staf DKM ‘Ibaadurrahman tahun 2005-2007. Penulis juga telah

melaksanakan Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di KPH Banyumas

Barat, KPH Banyumas Timur, KPH Ngawi dan KPH Randublatung tahun 2006.

Selain itu penulis juga telah melaksanakan Praktek Kerja Lapang di PT. Jaya

Cemerlang Industri, Tangerang, Banten tahun 2007.

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas

Kehutanan Institut Pertanian Bogor, penulis membuat karya ilmiah. Karya ilmiah

merupakan hasil penelitian yang berjudul ”Biodeteriorasi Tiga Jenis Kayu Cepat

Tumbuh oleh Jamur Pelapuk”,

di bawah

bimbingan Ir. Trisna Priadi, M.Eng.Sc.

(8)

Halaman DAFTAR ISI... i DAFTAR LAMPIRAN... ii BAB I PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Tujuan ... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 3

2.1 Deteriorasi Kayu ... 3

2.2 Jamur Pelapuk dan Serangannya pada Kayu ... 3

2.3 Donkioporia expansa... 6

2.4 Schizophyllum commune... 7

2.5 Kayu dan Keawetan Alami ... 8

2.6 Pinus (Pinus merkusii) ... 9

2.7 Mangium (Acacia mangium) ... 9

2.8 Sengon (Paraserianthes falcataria) ... 10

BAB III METODOLOGI... 12

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian... 12

3.2 Bahan dan Alat ... 12

3.3 Cara Kerja ... 12

3.3.1 Pembiakan Jamur... 12

3.3.2 Pembuatan Contoh Uji ... 14

3.3.3 Pengumpanan Contoh Uji... 14

3.3.4 Pengumpulan Data dan Cara Perhitungan Data ... 15

3.3.5 Pengolahan Data ... 18

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 19

4.1 Penurunan Berat Kering Kayu... 20

4.2 Perubahan Berat Jenis Kayu ... 24

4.3 Perubahan Volume Kayu ... 25

4.4 Modulus Lentur Kayu (Modulus of Elasticity) ... 26

4.5 Modulus Patah (Modulus of Rupture)... 29

4.6 Keteguhan Tekan Tegak Lurus Serat Kayu (Endwise Compression) 31 4.7 Perbandingan Metode Uji Sifat -Sifat Kayu dalam Mendeteksi Degradasi Kayu oleh Jamur... 33

(9)

DAFTAR PUSTAKA ... 38 LAMPIRAN... 41

(10)

No Halaman 1. Klasifikasi keawetan kayu terhadap jamur berdasarkan persentase

penurunan berat ... 21 2. Komponen kimia kayu ... 21 3. Kelas awet kayu setelah pengumpanan 12 minggu... 22 4. Penilaian tingkat degradasi jamur terhadap kayu berdasarkan seluruh

indikator pengujian ... 35 5. Kemampuan jamur mendegradasi kayu berdasarkan seluruh indikator

pengujian ... 35 6. Persentase penurunan sifat fisis dan mekanis kayu setelah 12 minggu

(11)

No Halaman

1. Biakan murni D. expansa (a) dan S. commune (b) pada cawan petri ... 12

2. Warna kayu pada kontrol dan yang diumpankan selama 12 minggu pada Schizophyllum commune serta Donkioporia expansa... 19

3. Rata-rata penurunan berat kering kayu ... 20

4. Contoh uji kehilangan berat yang diumpankan pada D. expansa (a) dan S. commune (b) setelah 12 minggu ... 23

5. Rata-rata perubahan berat jenis kayu ... 24

6. Rata-rata perubahan volume kayu... 25

7. Rata-rata modulus lentur (MOE) pada contoh uji 1 cm x 1 cm x 15 cm ... 26

8. Rata-rata modulus lentur (MOE) pada contoh uji 2 cm x 2 cm x 30 cm ... 28

9. Rata-rata moduus patah (MOR) pada contoh uji 1 cm x 1 cm x 15 cm... 29

10.Rata-rata modulus patah (MOR) pada contoh uji 2 cm x 2 cm x 30 cm... 30

11.Rata-rata keteguhan tekan tegak lurus serat kayu ... 32

(12)

No Halaman 1 Hasil rancangan percobaan pada penurunan berat kering kayu... 42 2 Hasil uji lanjut Duncan untuk interaksi jenis jamur dan jenis kayu pada

penurunan berat kering kayu... 43 3 Hasil uji lanjut Duncan untuk kelompok lamanya waktu inkubasi pada

penurunan berat kering kayu... 44 4 Hasil rancangan percobaan pada perubahan berat jenis kayu... 45 5 Hasil uji lanjut Duncan untuk faktor jenis kayu pada perubahan berat jenis

kayu... 46 6 Hasil uji lanjut Duncan untuk kelompok lama waktu inkubasi pada

perubahan berat jenis kayu ... 47 7 Hasil rancangan percobaan pada penyusutan volume kayu... 48 8 Hasil uji lanjut Duncan untuk faktor jenis kayu pada penyusutan volume

kayu... 49 9 Hasil rancangan percobaan pada modulus lentur (MOE) ukuran contoh uji

1 cm x 1 cm x 15 cm... 50 10 Hasil uji lanjut Duncan untuk interaksi perlakuan dan jenis kayu pada

modulus lentur (MOE) ukuran contoh uji 1 cm x 1 cm x 15 cm ... 51 11 Hasil rancangan percobaan pada modulus lentur (MOE) ukuran contoh uji

2 cm x 2 cm x 30 cm... 52 12 Hasil uji lanjut Duncan untuk interaksi perlakuan dan jenis kayu pada

modulus lentur (MOE) ukuran contoh uji 2 cm x 2 cm x 30 cm ... 53 13 Hasil rancangan percobaan pada modulus patah (MOR) contoh uji

1 cm x 1 cm x 15 cm... 54 14 Hasil Uji lanjut Duncan untuk interaksi perlakuan dan jenis kayu pada

modulus patah (MOR) contoh uji 1 cm x 1 cm x 15 cm... 55 15 Hasil rancangan percobaan pada modulus patah (MOR) contoh uji

2 cm x 2 cm x 30 cm... 56 16 Hasil uji lanjut Duncan untuk interaksi perlakuan dan jenis kayu pada

modulus patah (MOR) contoh uji 2 cm x 2 cm x 30 cm... 57 17 Hasil rancangan percobaan pada keteguhan tekan tegak lurus serat ... 58 18 Hasil uji lanjut Duncan untuk interaksi perlakuan dan jenis kayu pada

keteguhan tekan tegak lurus arah serat ... 59 19 Hasil rancangan percobaan pada contoh uji kontrol ... 60

(13)

1.1 Latar Belakang

Pertumbuhan penduduk di Indonesia yang cepat, mengakibatkan kebutuhan dan konsumsi kayu sangat tinggi. Saat ini jumlah penduduk Indonesia sebanyak 227 juta jiwa, dengan pertumbuhan penduduk sekitar 1,3 % per tahun (Koalisi 2007). Pada tahun 2000 konsumsi kayu untuk perumahan mencapai 2,2 juta m3 per tahun (Rudi 2002). Pada tahun 2007 konsumsi kayu untuk perumahan dan gedung naik hingga 8,9 juta m3 per tahun (Masud 2007). Selama ini kebutuhan kayu di Indonesia sebagian besar dipenuhi dari hutan alam produksi. Eksploitasi hutan alam yang terus menerus dan kurang menerapkan sistem pengelolaan hutan lestari, mengakibatkan luas hutan dan produksi kayu berkurang. Salah satu alternatif penyelesaian masalah permintaan kayu yang tinggi dan pasokan bahan baku kayu yang rendah, adalah dengan pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI). HTI memprioritaskan penanaman pohon-pohon cepat tumbuh seperti mangium, pinus, sengon, dan lain-lain.

Kayu dalam penggunaannya seringkali mengalami penurunan penampilan dan sifat-sifat kayu (deteriorasi) akibat faktor lingkungan yang mempengaruhinya. Menurut Tambunan dan Nandika (1989), ada empat faktor perusak kayu, yaitu faktor biologis, fisis, mekanis maupun kimia. Dari kempat faktor perusak kayu, menurut Damanik (2003) yang paling banyak menimbulkan kerusakan terhadap kayu adalah faktor biologis. Faktor-faktor biologis perusak kayu yang terpenting adalah jamur, bakteri, serangga, dan binatang laut.

Iklim tropis di Indonesia yang hangat, lembab, dan curah hujan yang tinggi serta tanah yang subur, mendukung kehidupan berbagai jenis organisme perusak kayu. Salah satu faktor biologis perusak kayu yang penting untuk dipelajari adalah jamur. Jamur merusak kayu karena mereka menjadikan kayu sebagai makanan atau tempat tinggalnya.

Kerusakan kayu yang disebabkan jamur pelapuk mengakibatkan pemanfaatan dan pengolahan kayu menjadi tidak efisien. Jamur pelapuk dapat

(14)

menyebabkan penurunan kekuatan kayu dan perubahan sifat-sifat kayu lainnya. Hal ini juga menyebabkan kerugian ekonomi dan menjadi beban bagi masyarakat. Pemahaman sifat keawetan dan pengawetan kayu sangat penting untuk mendukung efisiensi pengolahan dan pemanfaatan kayu. Sehubungan dengan itu dirancang sebuah penelitian mengenai biodeteriorasi kayu cepat tumbuh oleh jamur pelapuk. Dari penelitian ini diharapkan diperoleh data dan informasi perubahan sifat kayu cepat tumbuh yang disebabkan jamur pelapuk yang sering menyerang komponen kayu bangunan.

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan sifat fisis dan mekanis tiga jenis kayu cepat tumbuh (pinus, mangium, sengon) oleh serangan dua jenis jamur pelapuk (Schizophyllum commune dan Donkioporia expansa).

(15)

2.1 Deteriorasi Kayu

Deteriorasi hasil hutan (kayu) adalah semua proses dan akibat yang menyebabkan menurunnya kualitas dan kuantitas hasil hutan. Terjadinya deteriorasi hasil hutan diakibatkan oleh berbagai penyebab (causing agents), yaitu karena faktor-faktor biologis (hama dan penyakit) dan faktor-faktor fisik (Tarumingkeng 2007).

Tanda-tanda kerusakan yang terjadi pada kayu oleh faktor-faktor perusak dapat terlihat dengan adanya cacat-cacat berupa lobang gerek (bore holes), pewarnaan (staining), pelapukan (decay), rekahan (brittles), pelembekan (softing), dan lain-lain. Setiap tanda-tanda kerusakan yang terlihat merupakan gejala dari salah satu faktor penyebab kerusakan kayu. Di lain pihak kondisi serangan merupakan kriteria kayu terserang hama, penyakit atau penyebab lainnya (Tarumingkeng 2007).

Penyebab utama deteriorasi hasil hutan (kayu) dapat dibagi dalam dua bagian, yaitu: penyebab yang berasal dari unsur-unsur hayati (faktor biologis) dan penyebab yang berasal dari unsur-unsur alami (faktor fisik) (Tarumingkeng 2007). Faktor-faktor biologis perusak kayu yang terpenting adalah jamur, bakteri, serangga, dan binatang laut (Tambunan dan Nandika 1989).

2.2 Jamur Pelapuk dan Serangannya pada Kayu

Jamur ialah makhluk hidup yang sebagian besar merupakan mikroba yang tergolong dalam dunia Fungi (jamur sejati), Chromista (jamur semu), dan Protoctista (jamur protozoa). Dunia Fungi terdiri dari empat filum, yaitu Chytridiomycota, Zygomycota, Ascomycota, dan Basidiomycota; dunia Chromista terdiri atas dua filum, yaitu Oomycota dan Labyrinthulomycota; dan dunia Protoctista terdiri atas tiga filum, yaitu Dictyosteliomycota, Myxomycota, dan Plasmodiophoromycota (Gunawan et al. 2004).

(16)

Jamur adalah tumbuhan tingkat rendah yang tidak mempunyai zat hijau (klorofil). Untuk kelangsungan hidupnya mereka berperan sebagai parasit atau saprofit. Sel-selnya seperti benang halus, tebalnya lebih kecil dari 2 mikron sehingga tidak dapat dilihat dengan mata biasa (Tambunan dan Nandika 1989).

Jamur perusak kayu dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu jamur pembusuk kayu dan jamur pewarna kayu. Jamur pembusuk kayu merupakan penyebab utama kerusakan kayu. Jenis jamur ini merusak dinding sel kayu sehingga mengubah sifat fisik dan sifat kimia kayu (Duljapar 1996).

Terdapat dua jenis jamur pembusuk kayu yaitu pembusuk coklat dan pembusuk putih. Jamur pembusuk coklat secara selektif menyerang selulosa dan hemiselulosa. Jamur ini juga meninggalkan residu berwarna kecoklatan. Akibatnya kayu yang terserang berubah warnanya menjadi kecoklat-coklatan atau kemerah-merahan. Di samping itu, akibat serangan pembusuk coklat, kayu menjadi retak-retak tegak lurus terhadap arah serat kayu. Berbeda dengan jamur pembusuk coklat, jamur pembusuk putih mempunyai kemampuan untuk merusak kayu lebih dahsyat. Akibat serangan jamur jenis ini kayu menjadi berwarna lebih muda (pucat) dibandingkan warna kayu normal (Duljapar 1996).

Deteriorasi oleh jamur dimulai ketika spora jamur menempel pada permukaan kayu karena terbawa udara, air, serangga atau bahan-bahan yang sudah terkena infeksi. Apabila keadaan lingkungan sesuai, spora tersebut akan berkembang dan membentuk struktur mikroskopis seperti benang, yang secara individual disebut hifa (hyphae) atau secara kolektif disebut miselium. Pada deteriorasi tingkat permulaan (incipient stage), hifa dapat tersebar ke seluruh kayu dalam segala arah, bertitik tolak dari tempat infeksinya lewat dari sel ke sel melalui lubang, yang dibuatnya di tempat-tempat pertemuan antara hifa itu dengan dinding sel kayu, atau melewati lubang-lubang alami kayu (noktah - noktah). Hifa dapat berkembang juga pada permukaan kayu, yang biasanya berwarna putih kecoklatan, dan mudah dilihat dengan mata telanjang (Tambunan dan Nandika 1989).

Kondisi yang diperlukan untuk perkembangan jamur pembusuk kayu ada empat: (a) sumber-sumber energi dan bahan makanan yang cocok, (b) kadar air kayu di atas titik jenuh serat kayu, (c) persediaan oksigen yang cukup, dan (d)

(17)

suhu yang cocok. Kekurangan dalam salah satu persyaratan ini, akan menghalangi pertumbuhan suatu jamur, meskipun jamur tersebut telah berada di dalam kayu (Hunt dan Garratt 1986).

Kebutuhan-kebutuhan gizi optimal dari mikroorganisme bervariasi, tetapi semua spesies dapat hidup dengan apa yang tersedia di dalam kayu. Bahan-bahan pembentuk sel bagi organisme itu dipenuhi oleh fraksi karbohidrat yang terdiri dari holoselulosa, pati, dan gula, serta untuk beberapa organisme oleh fraksi lignin. Nitrogen dan mineral-mineral tersedia meskipun dalam jumlah yang terhitung kecil. Sejumlah kecil thiamin dan vitamin B1 diperlukan oleh

kebanyakan jamur (Scheffer 1973).

Jamur-jamur pembusuk kayu sangat berbeda-beda dalam kebutuhan kelembabannya. Hanya sedikit yang dapat membusukkan kayu pada kadar air di bawah titik jenuh serat (kadar air 25% sampai 30% dari berat kayu). Pada titik ini rongga-rongga sel (lumen) dianggap sama sekali tidak mengandung air sedang dinding selnya masih jenuh air. Kadar air yang lebih tinggi dibutuhkan oleh kebanyakan jamur untuk kecepatan perusakannya yang optimum. Paling tidak sedikit air bebas (cairan) harus ada dalam rongga sel untuk dijadikan medium difusi bagi enzim ekstraseluler dari jamur itu dan hasil degradasi dari kayu tempat jamur itu memperoleh makanannya. Tanpa medium ini, enzim-enzim tidak dapat masuk ke dalam penyusun-penyusun dinding sel, dan pembusukan kayu dapat dicegah (Hunt dan Garratt 1986).

Oksigen sangat penting untuk pertumbuhan jamur perusak kayu. Dalam kondisi biasa jumlah oksigen di dalam dan sekitar kayu dalam pemakaian atau dalam penyimpanan sudah cukup. Bagian-bagian dalam dari pohon dan kayu-kayu besar yang tidak dikeringkan biasanya mengandung cukup udara dalam sel-sel untuk memungkinkan perkembangan jamur bila kondisi-kondisi lainnya menguntungkan. Persedian oksigen di dalam tanah makin ke bawah permukaan makin berkurang, dan pada kedalaman 5 sampai 6 kaki mungkin tidak cukup untuk pembusukan terutama karena kekurangan oksigen. Tumpukan kayu di bawah permukaan air, tidak banyak terserang jamur dan dapat terpakai selama ratusan tahun (Hunt dan Garratt 1986).

(18)

Menurut Damanik (2003), pengaruh serangan jamur terhadap sifat-sifat kayu secara umum adalah:

• Penurunan berat. Penurunan berat diduga oleh hilangnya sebagian selulosa dan lignin karena dirombak oleh jamur. Bila presentase penyerangan jamur ini tinggi, maka kayu menjadi semakin ringan.

• Penurunan kekuatan. Serangan jamur dapat mempengaruhi sifat keteguhan pukul, keteguhan lengkung, keteguhan tekan, kekerasan serta elastisitasnya dan mengakibatkan kekuatan kayu akan berkurang.

• Peningkatan kadar air. Kayu yang lapuk akan menyerap air lebih banyak dari pada kayu yang segar sehat.

• Penurunan kalori. Nilai kalori ada hubungannya dengan intensitas serangan. Apabila intensitas pelapukan semakin tinggi maka nilai kalori semakin kecil. • Perubahan warna. White-rot menimbulkan warna putih, brown-rot

menimbulkan warna coklat, sedangkan blue-stain menimbulkan warna hitam kebiru-biruan.

• Perubahan bau. Umunya kayu lapuk baunya berbeda dengan kayu yang sehat. Kayu lapuk baunya lebih menyengat.

• Perubahan struktur mikroskopis. White-rot menyebabkan dinding sel kayu makin lama- makin tipis dan akhirnya habis. Brown-rot menyerang selulosa kayu. Soft-rot hanya menyerang dinding sekunder dan bila dilihat dengan mikroskop polarisasi maka terlihat lubang-lubang spiral yang memanjang.

2.3 Donkioporia expansa

Donkioporia expansa (Desm.) Kotl. & Pouzar, termasuk dalam genus Donkioporia, family Fomitopsidaceae, ordo Polyporales, kelas Basidiomycetes, filum Basidiomycota, kingdom Fungi (GBIF 2007). D. expansa adalah jenis jamur pelapuk putih (Moore dan Fuller 1998). Nama jamur mengacu pada kemampuan jamur untuk menyebabkan area berwarna lebih terang pada pohon (Anonim 1999).

Seperti halnya jamur kayu lainnya, D. expansa tidak tahan pada lingkungan kering dan tumbuh dengan sangat baik pada kayu yang lembab (Moore dan Fuller

(19)

1998). Kelembaban kayu yang tinggi akan meningkatkan pertumbuhan D. expansa (Schmidt 2006).

Badan buah awalnya berwarna putih, kemudian berubah menjadi kuning tua, kemudian berubah lagi menjadi abu-abu gelap, akhirnya berubah menjadi coklat tembakau kemerah-merahan. Tebal badan buah 1 cm, melebar beberapa meter persegi dan tertanam dengan kuat. Dindingnya bergelombang seperti tangga dan biasanya berlapis-lapis. Bentuknya seperti silinder yang panjang. Terdiri dari 4-5 pori yang berbentuk sirkular hampir siku-siku permilimeternya. Mengeluarkan tetes-tetes getah berwarna kuning sawo dan meninggalkan bekas berwarna titik-titik hitam jika kering. Badan buahnya hanya berfungsi sebagai hiasan. Sporanya berbentuk elips dengan ukuran (4,5-7 x 3,2-3,7) µm (Schmidt 2006).

Jamur ini tidak hanya menyerang selulosa tapi juga menggunakan enzim oksidasi untuk merusak lignin. D. expansa pada umumnya menyerang kayu daun lebar (hard wood). Jamur ini menyebabkan kayu menjadi mudah dihancurkan (Anonim 1999).

2.4 Schizophyllum commune

Schizophyllum commune termasuk dalam kelas Basidiomycetes, dengan nama famili Schizophyllaceae. Jamur ini paling banyak dan tersebar luas, serta paling sering diteliti/dipelajari (Kuo 2003). Jamur ini hidup pada iklim sedang sampai tropis dan sebagian besar ditemui pada kayu daun lebar (hardwood) (Schmidt 2006).

Tubuh buahnya sangat kecil dan tidak punya batang. Jamur ini memiliki tubuh buah seperti “insang” pada bagian bawahnya (Kuo 2003). Fungsi “insang” tersebut adalah untuk memproduksi basidiospora pada permukaannya. “Insang-insang” tersebut muncul secara terpisah karena mereka dapat mengering dan mendapatkan air kembali (dengan cara membuka dan menutup) beberapa kali sepanjang perubahan musim. Tubuh buahnya dapat bertahan selama satu tahun atau lebih. Ini merupakan adaptasi yang luar biasa pada iklim dengan curah hujan sedang. Tak seperti jamur lain, miseliumnya hanya memproduksi satu kumpulan tubuh buah per tahun, yang dapat mengering dan mendapatkan air kembali dan tetap berfungsi. Ini merupakan strategi reproduksi yang luar biasa (Volk 2000).

(20)

Jamur ini merupakan jamur perusak kayu yang menyebabkan lapuk putih (white rot). S. commune juga telah diketahui dapat menyebabkan mycosis pada manusia, yang terkait dengan orang-orang immunoincompetent, khususnya anak-anak. Jamur ini dapat tumbuh melalui bagian atas di dalam rongga mulut pada anak-anak dan dapat membentuk tubuh buah (jamur) di dalam sinusnya (Volk 2000).

2.5 Kayu dan Keawetan Alami

Keawetan alami kayu adalah suatu ketahanan kayu secara alamiah terhadap serangan jamur dan serangga dalam lingkungan yang serasi bagi organisme yang bersangkutan (Duljapar 1996). Faktor utama yang menentukan keawetan alami kayu adalah zat ekstraktif yang bersifat fungisida, insektisida atau zat lain yang bersifat racun (Muslich dan Ginuk 2004).

Zat ekstaktif bukan merupakan penyusun utama dinding sel. Sebagian zat ekstraktif berada di dalam dinding sel bukan merupakan ikatan kimia dengan komponen-komponen utama penyusun dinding sel (Syafii 1996). Zat ekstraktif yang bersifat racun terhadap salah satu organisme perusak belum tentu bersifat racun terhadap organisme perusak lainnya. Keawetan alami kayu cenderung bersifat relatif, tergantung kepada organisme yang menyerang dan tergantung di mana kayu tersebut dipakai (Muslich dan Ginuk 2004).

Zat ekstraktif beracun biasanya termasuk dalam golongan tanin, resin, senyawa fenolik, dan asam-asam organik (Prawirohatmodjo 1997 diacu dalam Kuswantoro 2005). Menurut Tsoumis (1991) zat ekstraktif yang bersifat racun terhadap organisme perusak kayu, diantaranya alkaloid dan saponin.

Menurut Duljapar (1996) ada lima penggolongan kelas awet kayu, yaitu sebagai berikut:

1. Kelas awet I. Lama pemakaian kayu dapat mencapai 25 tahun. 2. Kelas awet II. Lama pemakaian kayu yaitu antara 15-25 tahun. 3. Kelas awet III. Lama pemakaian kayu yaitu antara 10-15 tahun. 4. Kelas awet IV. Lama pemakaian kayu yaitu antara 5-10 tahun. 5. Kelas awet V. Lama pemakaian kayu yaitu kurang dari 5 tahun.

(21)

2.6 Pinus (Pinus merkusii)

Pinus termasuk dalam famili Pinaceae dan species Pinus merkusii Jungh et de Vries. Pinus sinonim dengan P. sumatrana Jungh.; P. finlaysoniana Wallich; P. latteri Mason; P. merkiana Gordon. Pinus merkusii memiliki nama lokal tusam (Indonesia.); uyam (Aceh); son song bai (Thai); merkus pine (perdagangan); mindoro pine (Philipina); tenasserim pine (Inggris) (Hidayat et al. 2001).

Persyaratan tempat tumbuh P. merkusii menurut Dephut (2000) adalah memiliki ketinggian tempat antara 200-1700 m dpl dengan rata-rata curah hujan 2000-4000 mm. Suhu yang dibutuhkan untuk pertumbuhan antara 17 ºC - 27 ºC. Tanah yang lembab tidak cocok untuk jenis ini. Pohon pinus memerlukan tanah yang porous.

Ciri umum P. merkusii untuk warna terasnya sukar dibedakan dengan gubalnya kecuali pada pohon berumur tua terasnya berwarna kuning kemerahan sedangkan gubalnya berwarna putih krem. Permukaan radial dan tangensialnya mempunyai corak yang disebabkan karena perbedaan struktur kayu awal dan kayu akhirnya sehingga terkesan ada pola dekoratif. Riap tumbuh agak jelas terutama untuk pohon-pohon yang berumur tua, pada penampang lintang kelihatan seperti lingkaran-lingkaran memusat. Tekstur agak kasar dan serat lurus tapi tidak rata (Mandang dan Pandit 2002).

Berat jenis kayu pinus adalah 0,55 (0,40-0,75) dan termasuk kelas kuat III. Kayu tusam termasuk ke dalam kelas awet IV, tetapi berdasarkan percobaan kuburan keawetannya masuk ke dalam kelas awet III-IV. Daya tahannya terhadap rayap kayu kering termasuk kelas V. Kayu pinus dapat digunakan untuk konstruksi ringan, bangunan perumahan, lantai, mebel, korek api dan tusuk gigi, papan wol kayu, dan kayu lapis. Getahnya dipakai untuk bahan minyak terpentin dan damar. Kayu ini juga sebagai tanaman penghijauan (Martawijaya et al. 1989).

2.7 Mangium (Acacia mangium)

Klasifikasi secara lengkap Acacia mangium Willd. menurut National Research Council (1983) adalah termasuk sub-kingdom Embryophyta, filum Tracheophyta, sub-filum Pteropsida, kelas Angiospermae, sub-kelas

(22)

Dycotyledone, famili Leguminoceae, sub-famili Mimosaidae, species Acacia mangium Willd.

A. mangium merupakan salah satu jenis tanaman cepat tumbuh (fast growing species) dan mudah tumbuh (adaptive) pada kondisi lahan yang kurang subur. Tidak memerlukan persyaratan tumbuh yang tinggi. Dapat tumbuh pada lahan dengan pH rendah, tanah berbatu, serta tanah yang telah mengalami erosi. Karena kelebihan yang dimilikinya tersebut, jenis ini banyak digunakan dalam kegiatan HTI, rehabilitasi hutan dan lahan Indonesia (PPPBPH 2003).

Ciri umum dari A. mangium adalah memiliki teras berwarna coklat tua, coklat zaitun sampai coklat kelabu, batasnya tegas dengan gubal berwarna kuning pucat sampai kuning jerami. Coraknya polos atau berjalur-jalur berwarna gelap dan terang bergantian pada bidang radial. Teksturnya halus sampai agak kasar dan merata. Arah seratnya halus, kadang-kadang berpadu. Permukaannya agak mengkilap dan memiliki kesan raba yang licin. Kekerasannya agak keras sampai keras. A. mangium memiliki berat jenis rata-rata 0,61 (0,43-0,66), dengan kelas awet III dan kelas kuat II-III (Mandang dan Pandit 2002).

Kegunaannya adalah sebagai bahan konstruksi ringan sampai berat, rangka pintu dan jendela, perabot rumah tangga (a.l. lemari), lantai, papan dinding, tiang, tiang pancang, gerobak dan rodanya, pemeras minyak, gagang alat, alat pertanian, kotak dan batang korek api, papan partikel, papan serat, vinir dan kayu lapis, pulp dan kertas; selain itu baik juga untuk kayu bakar (Mandang dan Pandit 2002).

2.8 Sengon (Paraserianthes falcataria)

Sengon tergolong dalam famili Leguminoceae, merupakan jenis tanaman cepat tumbuh, tidak membutuhkan kesuburan tanah yang tinggi, dapat tumbuh pada tanah-tanah kering, tanah lembab, dan bahkan tanah-tanah yang mengandung garam serta dapat bertahan terhadap kekurangan oksigen (Pamoengkas 1992).

Ketinggian tempat yang optimal untuk tanaman sengon antara 0-800 m dpl. Walaupun demikian tanaman sengon ini masih dapat tumbuh sampai ketinggian 1.500 m di atas permukaan laut. Sengon termasuk jenis tanaman tropis, sehingga untuk tumbuhnya memerlukan suhu sekitar 18 º - 27 ºC (Banner 2001).

(23)

Nama daerah untuk pohon sengon meliputi jeunjing, sengon laut (Jawa), tedehu pute (Sulawesi), wahagon (Papua). Tinggi pohon ini sudah sangat luas meliputi Jawa, Maluku, Sulawesi Selatan, Papua. Tinggi pohon bisa mencapai 40 m, dengan batang bebas cabang 10-30 m, diameter batang bisa mencapai 80 cm, kulit luar berwarna putih atau kelabu, tidak mengelupas dan tidak berbanir (Martawijaya et al.1989).

Sengon (jeunjing) mempunyai berat jenis 0,33 (0,24-0,49) dan termasuk kelas kuat IV-V. Kayu sengon termasuk kelas awet IV/V. Daya tahannya terhadap rayap kayu kering termasuk kelas III, sedangkan terhadap jamur pelapuk kayu termasuk kelas II-IV. Berdasarkan percobaan kuburan jenis kayu ini termasuk kelas awet IV-V. Keterawetan kayu sengon termasuk kelas sedang. Kayu sengon selama pengeringan dapat diserang jamur biru dan kapang (mold), terutama apabila peredaran udaranya kurang lancar (Martawijaya et al. 1989). Kayu sengon berguna untuk bahan bangunan perumahan terutama di pedesaan, peti, papan partikel, papan serat, papan wol semen, pulp dan kertas, kelom, dan barang kerajinan (Mandang dan Pandit 2002).

(24)

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Penyakit Hutan, Laboratorium Anatomi dan Fisika Kayu, Laboratorium Keteknikan Kayu, Laboratorium Kimia Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Waktu penelitian dilaksanakan selama 8 bulan terhitung sejak bulan April 2007 – November 2007.

3.2 Bahan dan Alat

Jenis kayu yang digunakan adalah bagian teras dari kayu pinus (Pinus

merkusii); mangium (Acacia mangium); sengon (Paraserianthes falcataria). Jenis

jamur pelapuk yang digunakan untuk pengujian adalah Schizophyllum commune

dan Donkioporia expansa. Selain itu juga diperlukan bahan untuk menumbuhkan

biakan murni jamur yaitu, Potatose Dextrose Agar (PDA), alkohol 70%, kapas,

tissue, aluminium foil, plastik kemas (cling wrap), aquadest, klorin (cairan

pemutih pakaian), kertas label, dan lakban bening.

Peralatan yang digunakan berupa circular saw, kaliper, oven, vakum, alat

uji mekanis kayu (Amsler dan Instron), timbangan, erlenmeyer, botol kaca, kotak plastik (ukuran panjang 37 cm; lebar 29,5 cm; tinggi 7 cm), cawan petri, spatula,

pinset, penyaring, lampu bunsen, masker, gelas ukur, pengaduk, autoclave, ruang

laminar (laminar airflow), dan kamera digital.

3.3 Cara Kerja

3.3.1 Pembiakan Jamur

Media yang digunakan untuk pembiakan jamur adalah PDA (Potatoes

Dextrose Agar). Komposisi bahan untuk menghasilkan 1 liter PDA terdiri dari

kentang sebanyak 200 gram, dextrose sebanyak 20 gram, agar-agar bubuk sebanyak 16 gram. Proses pembuatan media PDA adalah dengan mencuci bersih

(25)

kentang dan tanpa mengupas kulitnya. Kentang diiris dan dibuat kubus dengan ukuran ± 1 cm x 1 cm x 1 cm. Kentang dicuci kembali sampai bersih dan direbus sampai lunak. Kentang yang telah lunak disaring dan diambil air rebusannya. Cairan rebusan kentang didihkan kembali dan ditambahkan agar (16 gram), diaduk sampai larut (sampai mendidih) kemudian ditambahkan dextrose (20 gram) dan antibiotik kloramfenikol (250 mg). Cairan (larutan) yang telah direbus ditampung ke botol-botol kaca setinggi 1-2 cm dan erlenmeyer. Botol-botol kaca tersebut kemudian ditutup dengan penutupnya dan erlenmeyer disumbat dan

ditutup dengan kapas dan aluminium foil. Media disterilisasi dengan autoclave

pada suhu 121°C, tekanan 15 psi, selama 30 menit.

(a) (b)

Gambar 1 Biakan murni D. expansa (a) dan S. commune (b) pada cawan

petri

Pembiakan jamur dilakukan pada wadah cawan petri (Gambar 1), botol kaca dan kotak plastik yang telah terisi media PDA. Peralatan yang digunakan untuk sterilisasi terlebih dahulu dicuci dengan alkohol 70%. Inokulasi jamur pada setiap wadah dilakukan dalam ruang laminar.

Inkubasi dilakukan pada kondisi suhu ruangan. Selama waktu inkubasi, pertumbuhan jamur dalam media diamati setiap hari untuk memastikan tidak terjadinya kontaminasi. Inkubasi dilakukan sampai media PDA pada setiap wadah tertutup oleh hifa jamur dan dihasilkan biakan murni jamur.

(26)

3.3.2 Pembuatan Contoh Uji

Bagian teras kayu pinus, mangium dan sengon dipotong dan dibuat contoh

uji dengan circular saw. Penelitian ini menggunakan 5 macam ukuran contoh uji.

Pertama, contoh uji penurunan berat kering kayu dengan ukuran 1 cm x 1 cm x

0,5 cm (tangensial x radial x longitudinal), berdasarkan The International

Research Group on Wood Preservation tahun 2004 (Zeen et al. 2004). Kedua, uji

sifat fisis dengan ukuran 2 cm x 2 cm x 2 cm. Ketiga dan keempat, uji modulus

lentur (Modulus of Elasticity = MOE) dan modulus patah (Modulus of Rupture =

MOR) dengan ukuran 2 cm x 2 cm x 30 cm dan 1 cm x 1 cm x 15 cm. Kelima, uji

keteguhan tekan tegak lurus serat (endwise compression) dengan ukuran 2 cm x 2

cm x 0,5 cm. Setiap macam ukuran contoh uji dan jenis kayu memiliki 4 ulangan, 3 macam waktu pengumpanan, dan 2 macam kontrol. Jumlah total contoh uji adalah 480 contoh uji.

3.3.3 Pengumpanan Contoh Uji

Metode pengujian pelapukan kayu terhadap serangan jamur yang digunakan yaitu metode Kolle-flash, sesuai dengan metode pelapukan kayu terhadap jamur, menurut standar DIN-52176 yang dimodifikasi (Scheffer 1973).

Pengujian penurunan berat kering kayu. Contoh uji dikeringkan pada oven (103±2ºC; 48 jam) dan ditimbang berat masing-masing contoh uji (BKO awal). Dilakukan perendaman contoh uji pada air selama 24 jam untuk membuat kayu menjadi lembab pada saat diumpankan pada jamur. Menurut Kollman (1968) dalam Tambunan dan Nandika (1989), kayu yang berkadar air 35-50% sangat disukai oleh jamur. Setelah dilakukan perendaman, contoh uji dibungkus

aluminium foil dan disterilisasi dengan autoclave (121°C; 15 psi; 30 menit).

Contoh uji diumpankan selama 4, 8, dan 12 minggu pada biakan murni jamur dalam botol kaca. Setiap botol terdiri dari 3 contoh uji yang berbeda jenis kayunya dan diletakkan pada bidang lintang kayu. Setelah masa pengumpanan selesai, contoh uji dibersihkan dari hifa jamur. Contoh uji dikeringkan pada oven (103±2ºC; 48 jam) dan ditimbang beratnya (BKO akhir).

(27)

Pengujian sifat fisis (perubahan berat jenis dan volume kayu). Contoh uji dikeringkan pada oven (103±2ºC; 48 jam) dan ditimbang berat masing-masing contoh uji (BKO awal). Dilakukan perendaman contoh uji pada air selama 24 jam dan divakum sampai contoh uji tenggelam. Diukur volume basah contoh uji dengan menggunakan prinsip Archimedes (volume basah awal). Contoh uji

dibungkus aluminium foil dan disterilisasi dengan autoclave (121°C; 15 psi; 30

menit). Dilakukan pengumpanan contoh uji selama 4, 8, dan 12 minggu pada biakan murni jamur dalam botol kaca. Setiap botol terdiri dari 3 contoh uji yang berbeda jenis kayunya dan diletakkan pada bidang lintang kayu. Setelah masa pengumpanan selesai, contoh uji dibersihkan dari hifa jamur. Contoh uji direndam dengan air selama 24 jam dan divakum sampai contoh uji tenggelam. Diukur volume basah contoh uji (volume basah akhir). Contoh uji dikeringkan dengan oven (103±2ºC; 48 jam) dan ditimbang berat masing-masing contoh uji (BKO akhir).

Pengujian mekanis (MOE, MOR, dan keteguhan tekan tegak lurus serat). Dilakukan perendaman contoh uji pada air selama 24 jam. Contoh uji dibungkus

alumunium foil dan disterilisasi dengan autoclave (121°C; 15 psi; 30 menit).

Dilakukan pengumpanan contoh uji pada biakan murni jamur dalam kotak plastik (MOE dan MOR) dan botol kaca (keteguhan tekan tegak lurus serat). Setiap kotak plastik berisi 12 contoh uji yang terdiri dari 3 jenis kayu dengan 4 ulangan dan diletakkan pada bidang radial atau tangensial kayu. Setiap botol terdiri dari 3 contoh uji yang berbeda jenis kayunya dan diletakkan pada bidang melintang kayu. Contoh uji diumpankan selama 4, 8, dan 12 minggu. Setelah masa pengumpanan selesai, contoh uji dibersihkan dari hifa jamur dan dikeringkan dengan oven (70°C; sampai berat kering kayu konstan). Untuk contoh uji MOE dan MOR ukuran (2 x 2 x 30) cm dilakukan pengujian mekanis pada mesin uji Amsler. Untuk contoh uji MOE dan MOR ukuran (1 x 1 x 15) cm dan keteguhan tekan tegak lurus serat dilakukan pada mesin uji Instron.

Setiap macam contoh uji memiliki kontrol yang tidak diumpankan pada jamur. Contoh uji kontrol ada 2, yaitu dengan dan tanpa sterilisasi. Perbandingan kedua kontrol tersebut untuk melihat ada atau tidaknya pengaruh sterilisasi terhadap sifat-sifat kayu.

(28)

3.3.4 Pengumpulan Data dan Cara Perhitungan Data

Data yang dikumpulkan pada uji penurunan berat kering kayu adalah berat kering oven sebelum dan setelah diumpankan pada jamur. Cara perhitungan persentase penurunan berat kering kayu adalah:

% 100 W ) W (W PB 1 2 1− × =

Dimana: PB = persentase penurunan berat kering kayu (%)

W1 = berat kering kayu sebelum diumpankan (g)

W2 = berat kering kayu setelah diumpankan (g)

Pada uji sifat fisis kayu, data yang dikumpulkan adalah berat kering oven sebelum dan setelah diumpankan, volume basah sebelum dan setelah diumpankan. Perubahan volume dihitung dengan rumus:

100% x awal Volume akhir) basah Volume -awal basah (Volume volume Perubahan =

Dimana: Perubahan volume = perubahan volume kayu (%)

Volume basah awal = volume basah sebelum diumpankan (g) Volume basah akhir = volume basah setelah diumpankan (g)

Penentuan berat jenis kayu basah dan perubahan berat jenis kayu basah, menggunakan rumus: air BJ basah Vol. BKO BJ= 100% x awal BJ akhir) BJ -awal (BJ BJ Perubahan =

(29)

Dimana: BJ = berat jenis kayu

BKO = berat kering oven (g)

Vol. basah = volume basah (g)

BJ air = berat jenis air

Perubahan BJ = perubahan berat jenis (%)

BJ awal = berat jenis kayu sebelum diumpankan (g)

BJ akhir = berat jenis kayu setelah diumpankan (g)

Pada uji modulus lentur (MOE) dan modulus patah (MOR), data yang diambil dari contoh uji adalah panjang jarak sangga (bentang balok), lebar, tebal, beban di bawah batas proporsi, beban maksimum pada arah radial, lenturan maksimum (defleksi). Dalam penentuan modulus lentur (MOE) dan modulus patah (MOR), menggunakan rumus:

3 3 h b Y 4 PL MOE ∆ ∆ = 2 max h b 2 L P 3 MOR=

Dimana: MOE = Modulus of Elasticity (kg/cm2)

MOR = Modulus of Rupture (kg/cm2)

∆P = selisish beban (kg) ∆Y = selisih defleksi (cm)

L = jarak sangga (cm)

Pmax = beban maksimum (kg)

b = lebar (cm)

h = tebal (cm)

Pada uji keteguhan tekan tegak lurus serat, data yang dikumpulkan adalah ukuran sisi penampang yang akan diberi beban (lebar dan tebal) dan beban maksimum pada arah radial. Rumus yang digunakan dalam pengujian ini adalah:

(30)

A P

δtk= max

Dimana: δtk⊥= keteguhan tekan tegak lurus serat (kg/cm2)

Pmax = beban maksimum (kg)

A = luas penampang yang diberi beban (cm2)

3.3.5 Pengolahan Data

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok Lengkap dengan 2 faktor. Faktor yang diujikan terdiri dari jenis jamur dan jenis

kayu. Jenis jamur terdiri dari 2 jenis yaitu, Schizophyllum commune dan

Donkioporia expansa. Jenis kayu terdiri dari 3 jenis yaitu, pinus (Pinus merkusii);

mangium (Acacia mangium), dan sengon (Paraserianthes falcataria). Waktu

inkubasi (4 minggu; 8 minggu; dan 12 minggu) menjadi kelompok dalam rancangan percobaan ini. Analisis ragam dilakukan untuk mengetahui pengaruh dari setiap faktor yang diujikan, sedangkan beda nilai tengah antar perlakuan dapat diketahui dengan uji lanjut Duncan. Pengolahan data dibantu dengan

menggunakan software SAS 9.1.

Model rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + ρk+ εijk

Dimana:

Yijk = nilai pengamatan pada taraf ke-i faktor A (jenis perlakuan), taraf ke-j

faktor B (jenis kayu), dan kelompok ke k (waktu inkubasi)

µ = rata-rata umum

αi = penyimpangan hasil dari nilai µ yang disebabkan oleh pengaruh

perlakuan faktor A taraf ke-i

βj = penyimpangan hasil dari nilai µ yang disebabkan oleh pengaruh

perlakuan faktor B taraf ke-j

(αβ)ij = penyimpangan hasil dari nilai µ yang disebabkan oleh pengaruh

interaksi faktor A taraf ke-i dan faktor B taraf ke-j

ρk = pengaruh dari kelompok ke-k

(31)

Biodeteriorasi kayu oleh jamur pelapuk dapat diukur berdasarkan penurunan berat kering kayu dan perubahan sifat-sifat kayu teras. Bagian teras dijadikan patokan karena mengandung zat ekstraktif kayu yang pada umumnya menjadi pelindung alami kayu dari serangan organisme perusak kayu seperti bakteri, jamur, serangga dan cacing laut. Keragaman tingkat keawetan kayu baik kayu lunak (soft wood) maupun kayu keras (hard wood), terutama dipengaruhi oleh jenis dan kuantitas zat ekstraktif yang dikandungnya. Untuk melihat ketahanan kayu dari pelapukan oleh jamur, diuji beberapa sifat kayu, antara lain sifat fisis (perubahan volume dan perubahan BJ) dan sifat mekanis kayu (modulus lentur, modulus patah dan keteguhan tekan tegak lurus serat). Kayu yang diserang jamur mengalami perubahan warna dan bau. Warna kayu menjadi lebih cerah dari warna kayu aslinya (Gambar 2), sedangkan bau kayu menjadi lebih menyengat.

Gambar 2 Warna kayu pada kontrol dan yang diumpankan selama 12 minggu pada Schizophyllum commune serta

Donkioporia expansa

Pinus Mangium Sengon

Kontrol

Schizophyllum commune Donkioporia expansa

(32)

Dalam penelitian digunakan jenis jamur pelapuk putih yaitu Schizophyllum commune dan Donkioporia expansa. Jenis-jenis jamur ini sering ditemukan pada komponen kayu bangunan. Menurut Schmidt (2006), D. expansa lebih sering dijumpai daripada tipe jamur pelapuk putih lainnya dan dalam ukuran tubuh jamur yang lebih besar. Sementara menurut Kuo (2003) S. commune merupakan jamur yang paling banyak dan tersebar luas, serta paling sering diteliti/dipelajari.

4.1 Penurunan Berat Kering Kayu

Pelapukan dapat memberikan pengaruh pada penurunan berat kering kayu. Penurunan berat kayu disebabkan oleh hilangnya sebagian selulosa dan lignin karena dirombak oleh jamur. Bila persentase penyerangan jamur ini tinggi, maka kayu menjadi semakin ringan (Tambunan dan Nandika 1989).

Proses pelapukan dimulai dari hifa-hifa jamur yang masuk ke dalam noktah-noktah pada dinding sel. Hifa tersebut mengeluarkan enzim yang menyerang ikatan antar gula yaitu selulosa dan hemiselulosa. Hal ini dapat menyebabkan terbebasnya ikatan antar gula dan membuat jamur tersedia makanan. Enzim ini tidak dapat mencapai permukaan kayu dan tidak dapat membebaskan gula tanpa adanya air. Air sebagai media transportasi bagi jamur (Anonim 1998).

Kehilangan Berat (Weight Loss)

0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 33 36 39 42 45

pinus mangium sengon pinus mangium sengon

Schizophyllum commune Donkioporia expansa

Jenis Jamur dan Jenis Kayu

K e h il a n g a n B e r a t (% ) 4 minggu 8 minggu 12 minggu

(33)

Berdasarkan grafik pada Gambar 3, semakin lama waktu pengumpanan kayu pada jamur, semakin besar rata-rata penurunan berat kering kayu. Hal ini menunjukkan bahwa kayu-kayu yang diserang jamur, semakin lama semakin banyak terdegradasi. Kayu-kayu yang diumpankan selama 12 minggu pada jamur, mengalami penurunan berat kering kayu lebih besar daripada kayu yang diumpankan selama 4 minggu. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 3) menyatakan bahwa penurunan berat kering kayu pada waktu pengumpanan 12 minggu berbeda nyata dengan waktu pengumpanan 4 minggu.

Tabel 1 Klasifikasi keawetan kayu terhadap jamur berdasarkan persentase penurunan berat

Kelas Keawetan Penurunan Berat (%)

I sangat tahan <1

II Tahan 1−5

III Sedang 5−10

IV Buruk 10−30

V sangat buruk >30

Sumber: Findlay (1938) diacu dalam Martawijaya et al. (1989)

Pengumpanan kayu pada jamur selama 12 minggu sesuai dengan metoda DIN 52176 atau metoda kolleflask. Untuk menetapkan daya tahan kayu terhadap jamur penguji digunakan klasifikasi berdasarkan persentase penurunan berat menurut Findlay (1938) diacu dalam Martawijaya et al. (1989) (Tabel 1).

Tabel 2 Komponen kimia kayu

Komponen Kimia (%) Jenis Kayu

Pinus (a) Mangium (b) Sengon (a)

Selulosa 54,90 50,53 49,40 Lignin 24,30 29,03 26,80 Pentosan 14,00 17,60 15,60 Kelarutan dalam: Alkohol-benzena 6,30 4,38 3,40 NaOH 1% 11,10 18,94 19,60 Air dingin 0,40 4,50 3,40 Air panas 3,20 5,43 4,30

(34)

Pada umumnya kayu yang memiliki tingkat keawetan tinggi mempunyai kandungan zat ekstraktif lebih tinggi dibandingkan dengan kayu yang memiliki tingkat keawetan rendah (Syafii 2000a). Ekstraktif kayu meliputi sejumlah besar senyawa yang berbeda yang dapat diekstraksi dari kayu dengan menggunakan pelarut polar dan non polar. Dalam arti yang sempit ekstraktif merupakan seyawa-senyawa yang larut dalam pelarut organik (Fengel dan Wegener 1995). Banyaknya zat ekstraktif yang dapat diekstrak dalam kayu tergantung dari berbagai faktor, antara lain: jenis kayu, jenis pelarut, proses ekstraksi, ukuran serbuk, dan kadar air serbuk (Syafii 2000b).

Tabel 3 Kelas awet kayu setelah pengumpanan 12 minggu

Jenis Kayu Jenis Jamur

Schizophyllum commune Donkioporia expansa

Pinus II II

Mangium II V

Sengon II IV

Tingkat penurunan berat kering kayu pinus, mangium, dan sengon setelah diumpankan pada S. commune selama 12 minggu relatif sama (Gambar 3). Berdasarkan Tabel 3 kayu pinus, mangium, dan sengon yang diumpankan pada S. commune termasuk ke dalam kelas awet II. Hal ini dibuktikan oleh uji lanjut Duncan (Lampiran 2), dimana kayu pinus, mangium dan sengon memiliki penurunan bobot yang tidak berbeda nyata. Dapat disimpulkan bahwa pengujian keawetan kayu pada S. commune memberikan tingkat keawetan yang sama (kelas awet II) pada kayu pinus, mangium, dan sengon.

Penurunan berat kering kayu tertinggi setelah diumpankan pada D. expansa selama 12 minggu adalah kayu mangium, diikuti oleh kayu sengon dan pinus (Gambar 3). Pengumpanan kayu-kayu pada D. expansa memiliki kelas awet yang beragam (Tabel 3). Hal ini dibuktikan oleh uji lanjut Duncan (Lampiran 2), dimana kayu mangium dengan penurunan berat tertinggi berbeda keawetannya dengan kayu sengon dan kayu pinus. Kayu sengon berbeda keawetannya dengan kayu pinus yang memiliki penurunan berat terendah. Diduga kayu pinus dengan tingkat keawetan yang tinggi dikarenakan adanya komponen ekstraktif yang

(35)

mampu menahan degradasi D. expansa. Komponen ekstraktif tersebut adalah yang tidak larut dalam alkohol-benzena. Komponen eksraktif yang tidak larut dalam alkohol-benzena tertinggi dimiliki oleh kayu pinus, diikuti oleh mangium, dan sengon (Tabel 2). Menurut Anonim (1996) dalam Wardhani et. al.(2004) zat ekstraktif yang larut dalam alkohol benzena antara lain lilin, lemak, resin, minyak, dan tanin, serta komponen tertentu yang tidak larut dalam eter. Diduga adanya resin pada kayu pinus dapat menyulitkan hifa jamur dalam mendegradasi kayu pinus. Menurut Prawirohatmodjo 1997 diacu dalam Kuswantoro 2005, zat ekstraktif beracun biasanya termasuk dalam golongan tanin, resin, senyawa fenolik, dan asam-asam organik.

Gambar 4 Contoh uji kehilangan berat yang diumpankan pada D. Expansa (a) dan S. Commune (b) setelah 12 minggu

Keawetan kayu pinus pada D. expansa tidak berbeda dengan kayu pinus, mangium dan sengon yang diumpankan pada S. commune (Lampiran 2). Hal ini juga terlihat pada pengklasifikasian kelas awet kayu (Tabel 2), dimana kayu pinus yang diumpankan pada D. expansa termasuk kelas awet II sama seperti kayu pinus, mangium dan sengon yang diumpankan pada S. commune. Diduga D. expansa dan S. commune tidak menyukai kayu pinus yang mengandung resin. Menurut Cartwright dan Findlay (1958) kayu yang tahan terhadap suatu jenis jamur pelapuk belum tentu tahan terhadap jenis jamur pelapuk lainnya. Karena bisa jadi suatu jenis jamur mampu mentolerir zat-zat beracun tertentu yang ada pada kayu sehingga ia dapat mendegradasi kayu dengan baik.

(36)

Kayu mangium memiliki kadar selulosa lebih tinggi daripada kayu sengon dan lignin paling tinggi dibandingkan kayu pinus dan sengon (Tabel 2). Menurut Anonim (1999) D. expansa pada umumnya menyerang kayu daun lebar (hard wood) dan tidak hanya menyerang selulosa tapi juga menggunakan enzim oksidasi untuk merusak lignin. Diduga hal ini juga mendukung besarnya penurunan berat kering kayu mangium setelah diumpankan pada D. expansa.

4.2 Perubahan Berat Jenis Kayu

Berat jenis dipengaruhi oleh berat kayu dan volume kayu. Perubahan berat jenis kayu ditentukan berdasarkan selisih berat jenis kayu sebelum dengan setelah pengumpanan, dan dibagi dengan berat jenis kayu sebelum pengumpanan.

Perubahan Berat Jenis Kayu

-8 -4 0 4 8 12 16 20 24 28 32 36 40 44 48 52 56

pinus mangium sengon pinus mangium sengon

Schizophyllum commune Donkioporia expansa

Jenis Jamur dan Jenis Kayu

P e nur un a n B J ( % ) 4 minggu 8 minggu 12 minggu

Gambar 5 Rata-rata perubahan berat jenis kayu

Berdasarkan grafik pada Gambar 5, terdapat perubahan berat jenis kayu yang telah diumpankan pada Schizophyllum commune dan Donkioporia expansa. Kayu yang diumpankan pada D. expansa mengalami penurunan berat jenis terbesar pada kayu sengon, diikuti oleh kayu mangium dan pinus. Berdasarkan uji lanjut Duncan (Lampiran 5), penurunan berat jenis kayu sengon berbeda nyata dengan kayu pinus dan mangium. Penurunan berat jenis kayu pinus tidak berbeda nyata dengan kayu mangium.

(37)

Semakin lama D. expansa mendegradasi kayu, semakin tinggi pula penurunan berat jenis yang terjadi. Berdasarkan uji lanjut Duncan (Lampiran 6), penurunan berat jenis kayu pada waktu pengumpanan 12 minggu tidak berbeda nyata dengan waktu pengumpanan 8 minggu tetapi berbeda nyata dengan waktu pengumpanan 4 minggu. Perubahan berat jenis kayu pada waktu pengumpanan 8 minggu tidak berbeda nyata dengan waktu pengumpanan 4 minggu.

Beberapa contoh uji yang diumpankan selama 12 minggu ada yang mengalami perubahan berat jenis lebih kecil dan bernilai negatif. Hal ini diduga karena adanya hifa-hifa jamur yang terhitung sebagai berat kering dan volume kayu, sehingga berat jenis kayu bertambah (bernilai negatif).

4.3 Perubahan Volume Kayu

Perubahan volume kayu ditentukan berdasarkan selisih volume basah sebelum dan setelah pengumpanan, dibagi dengan volume basah sebelum pengumpanan. Berdasarkan grafik pada Gambar 6, kayu sengon mengalami penurunan volume kayu yang paling besar, diikuti oleh kayu mangium dan pinus.

Berdasarkan rancangan percobaan (Lampiran 7), faktor jenis kayu menunjukkan nilai perubahan volume kayu yang berbeda nyata pada α = 0,05. Oleh karena itu dapat dilakukan uji lanjut untuk jenis kayu.

Perubahan Volume Kayu

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

pinus mangium sengon pinus mangium sengon

Schizophyllum commune Donkioporia expansa

Jenis Jamur dan Jenis Kayu

P e r u ba ha n V o lu m e (% ) 4 minggu 8 minggu 12 minggu

(38)

Degradasi kedua jamur memberikan penurunan volume yang nyata pada kayu sengon. Berdasarkan uji lanjut Duncan (Lampiran 8), penurunan volume kayu sengon lebih besar secara nyata dibandingkan kayu pinus dan mangium. Penurunan volume kayu mangium lebih besar tetapi tidak nyata dibandingkan kayu pinus.

Beberapa contoh uji yang diumpankan selama 12 minggu ada yang mengalami penurunan volume lebih kecil. Hal ini diduga karena adanya hifa-hifa jamur yang terhitung sebagai volume kayu.

4.4 Modulus Lentur Kayu (Modulus of Elasticity)

Kekakuan lentur atau Modulus of Elasticity (MOE) adalah suatu nilai yang konstan dan merupakan perbandingan antara tegangan dan regangan dibawah batas proporsi. Tegangan didefinisikan sebagai distribusi gaya per unit luas, sedangkan regangan adalah perubahan panjang per unit panjang bahan. MOE berkaitan dengan regangan, defleksi, dan perubahan bentuk yang terjadi. Besarnya defleksi dipengaruhi oleh besar dan lokasi pembebanan, panjang dan ukuran balok, serta MOE kayu itu sendiri. Makin tinggi MOE akan semakin berkurang defleksi balok dan semakin tahan terhadap perubahan bentuk (Haygreen dan Bowyer 1989).

Modulus Lentur (MOE) 1 cm x 1 cm x 15 cm

0.000 20000.000 40000.000 60000.000 80000.000 100000.000 120000.000 Schizophyllum commune Donkioporia expansa Kontrol Jenis Jamur M O E ( k g/ c m 2) pinus mangium sengon

Gambar 7 Rata-rata modulus lentur (MOE) pada contoh uji 1 cm x 1 cm x 15 cm

(39)

Kayu yang mengalami kerusakan karena jamur kekuatannya menurun, terutama pada kerusakan tingkat lanjut (Padlinurjaji 1979). Berdasarkan grafik pada Gambar 7, kayu-kayu berukuran 1 cm x 1 cm x 15 cm yang diumpankan pada Schizophyllum commune dan Donkioporia expansa selama 12 minggu rata-rata mengalami penurunan nilai MOE.

Berdasarkan rancangan percobaan (Lampiran 9), interaksi antara faktor jenis jamur dan faktor jenis kayu menunjukkan nilai MOE yang berbeda nyata pada α = 0,05. Oleh karena itu tidak dapat dilihat pengaruh dari masing-masing faktor tersebut. Interaksi faktor jenis jamur dan jenis kayu dapat dilakukan uji lanjut.

S. commune menurunkan nilai MOE terbesar pada kayu sengon, diikuti oleh kayu pinus dan mangium. Berdasarkan uji lanjut Duncan (Lampiran 10), kayu sengon yang diumpankan pada S. commune memiliki nilai MOE lebih kecil tetapi tidak nyata dibanding kontrolnya. Kayu pinus dan mangium yang diumpankan pada S. commune memiliki nilai MOE lebih kecil secara nyata dibanding kontrolnya. Dapat disimpulkan bahwa pengumpanan kayu-kayu berukuran 1 cm x 1 cm x 15 cm pada S. commune memberikan penurunan nilai MOE yang nyata pada kayu mangium dan pinus tetapi tidak nyata pada kayu sengon.

D. expansa menurunkan nilai MOE terbesar pada kayu mangium, diikuti oleh kayu sengon. Berdasarkan uji lanjut Duncan (Lampiran 10), kayu mangium yang diumpankan pada D. expansa memiliki nilai MOE lebih kecil secara nyata dibanding kontrolnya. Kayu sengon yang diumpankan pada D. expansa memiliki nilai MOE lebih kecil tetapi tidak nyata dibanding kontrolnya. Dapat disimpulkan bahwa pengumpanan kayu-kayu berukuran 1 cm x 1 cm x 15 cm pada D. expansa memberikan penurunan nilai MOE yang nyata pada kayu mangium tetapi tidak nyata pada kayu sengon.

Berdasarkan grafik pada Gambar 8, kayu-kayu yang diumpankan pada Schizophyllum commune dan Donkioporia expansa selama 12 minggu rata-rata mengalami penurunan nilai MOE. Hal ini menandakan bahwa kayu yang diserang jamur mengalami penurunan kekuatan lentur.

Berdasarkan rancangan percobaan (Lampiran 11), interaksi antara faktor jenis jamur dan faktor jenis kayu menunjukkan nilai yang berbeda nyata pada α =

(40)

0,05. Oleh karena itu tidak dapat dilihat pengaruh dari masing-masing faktor tersebut. Interaksi faktor jenis jamur dan jenis kayu dapat dilakukan uji lanjut.

Modulus Lentur (MOE) 2 cm x 2 cm x 30 cm

0.000 20000.000 40000.000 60000.000 80000.000 100000.000 120000.000 Schizophyllum commune

Donkioporia expansa Kontrol

Jenis Jamur MO E ( k g/ cm 2 ) pinus mangium sengon

Gambar 8 Rata-rata modulus lentur (MOE) pada contoh uji 2 cm x 2 cm x 30 cm

S. commune menurunkan nilai MOE terbesar pada kayu sengon diikuti oleh kayu mangium. Berdasarkan uji lanjut Duncan (Lampiran 10), kayu sengon dan mangium yang diumpankan pada S. commune memiliki nilai MOE lebih kecil tetapi tidak nyata dibanding kontrolnya. Dapat disimpulkan bahwa pengumpanan kayu-kayu berukuran 2 cm x 2 cm x 30 cm pada S. commune memberikan penurunan nilai MOE yang tidak nyata pada kayu mangium dan sengon.

D. expansa menurunkan nilai MOE terbesar pada kayu sengon, diikuti oleh kayu mangium dan pinus. Berdasarkan uji lanjut Duncan (Lampiran 10), kayu sengon dan mangium yang diumpankan pada D. expansa memiliki nilai MOE lebih kecil tetapi tidak nyata dibanding kontrolnya. Dapat disimpulkan bahwa pengumpanan kayu-kayu berukuran 2 cm x 2 cm x 30 cm pada D. expansa memberikan penurunan nilai MOE yang tidak nyata pada kayu sengon dan mangium.

Nilai MOE kayu pinus ukuran contoh uji 2 cm x 2 cm x 30 cm yang diumpankan pada jamur tidak dapat dibandingkan dengan kontrolnya. Hal ini dikarenakan kontrol kayu pinus memiliki nilai MOE yang lebih rendah dibandingkan kayu pinus yang diumpankan pada S. commune dan D. expansa. Diduga adanya cacat miring serat pada kayu, yang menyebabkan nilai MOE lebih

(41)

rendah daripada yang diumpankan pada jamur. Kayu pinus yang diumpankan pada S. commune memiliki nilai MOE yang lebih kecil dibandingkan kayu pinus yang diumpankan pada D. expansa. Diduga S. commune dapat menurunkan nilai MOR kayu pinus lebih besar dibanding D. expansa.

Degradasi S. commune dan D. expansa pada kayu-kayu berukuran 2 cm x 2 cm x 30 cm selama 12 minggu tidak memberikan penurunan nilai MOE yang nyata. Diduga S. commune dan D. expansa memerlukan waktu lebih dari 12 minggu dalam mendegradasi kayu berukuran 2 cm x 2 cm x 30 cm untuk memberikan pengaruh yang nyata pada penurunan nilai MOE kayu.

4.5 Modulus Patah (Modulus of Rupture)

Modulus of Rupture (MOR) merupakan sifat mekanis kayu yang berhubungan dengan kekuatan kayu. Kekuatan kayu adalah ukuran kemampuan kayu untuk menahan beban atau gaya luar yang bekerja padanya. Sifat mekanis ini cenderung merubah bentuk dan ukuran kayu tersebut (Kollman dan Cote 1968). MOR dihitung dari beban maksimum dalam uji keteguhan lentur dengan menggunakan pengujian yang sama untuk MOE (Haygreen dan Bowyer 1989).

Modulus Patah (MOR) 1cm x 1cm x 15cm

0.000 200.000 400.000 600.000 800.000 1000.000 1200.000 1400.000 1600.000 1800.000 Schizophyllum commune Donkioporia expansa Kontrol Jenis Jamur M O R ( k g/ cm 2) pinus mangium sengon

Gambar 9 Rata-rata moduus patah (MOR) pada contoh uji 1 cm x 1 cm x 15 cm

Berdasarkan grafik pada Gambar 9, kayu-kayu yang diumpankan pada Schizophyllum commune dan Donkioporia expansa selama 12 minggu rata-rata

(42)

mengalami penurunan nilai MOR. Hal ini menandakan bahwa kayu yang diserang jamur mengalami penurunan kekuatan patah kayu dalam menahan beban.

S. commune menurunkan nilai MOR terbesar pada kayu sengon, diikuti oleh kayu pinus dan mangium. Berdasarkan uji lanjut Duncan (Lampiran 14), kayu sengon yang diumpankan pada S. commune memiliki nilai MOR lebih kecil tetapi tidak nyata dibanding kontrolnya. Kayu pinus dan mangium yang diumpankan pada S. commune memiliki nilai MOR lebih kecil secara nyata dibanding kontrolnya. Dapat disimpulkan bahwa pengumpanan kayu-kayu berukuran 1 cm x 1 cm x 15 cm pada S. commune memberikan penurunan nilai MOR yang nyata pada kayu mangium dan pinus tetapi tidak nyata pada kayu sengon.

D. expansa menurunkan nilai MOR terbesar pada kayu mangium, diikuti oleh kayu sengon. Berdasarkan uji lanjut Duncan (Lampiran 14), kayu mangium yang diumpankan pada D. expansa memiliki nilai MOR lebih kecil secara nyata dibanding kontrolnya. Kayu sengon yang diumpankan pada D. expansa memiliki nilai MOR lebih kecil tetapi tidak nyata dibanding kontrolnya. Dapat disimpulkan bahwa pengumpanan kayu-kayu berukuran 1 cm x 1 cm x 15 cm pada D. expansa memberikan penurunan nilai MOR yang nyata pada kayu mangium tetapi tidak nyata pada kayu sengon.

Modulus Patah (MOR) 2 cm x 2 cm x 30 cm

0.000 200.000 400.000 600.000 800.000 1000.000 1200.000 1400.000 1600.000 1800.000 Schizophyllum commune Donkioporia expansa Kontrol Jenis Jamur M O R (k g/cm 2) pinus mangium sengon

Gambar 10 Rata-rata modulus patah (MOR) pada contoh uji 2 cm x 2 cm x 30 cm

(43)

Berdasarkan grafik pada Gambar 10, kayu-kayu yang diumpankan pada Schizophyllum commune dan Donkioporia expansa selama 12 minggu rata-rata mengalami penurunan nilai MOR. Hal ini menandakan bahwa kayu yang diserang jamur mengalami penurunan kekuatan patah kayu dalam menahan beban.

Berdasarkan rancangan percobaan (Lampiran 15), interaksi antara faktor jenis jamur dan faktor jenis kayu menunjukkan nilai yang berbeda nyata pada α = 0,05. Oleh karena itu tidak dapat dilihat pengaruh dari masing-masing faktor tersebut. Interaksi faktor jenis jamur dan jenis kayu dapat dilakukan uji lanjut.

S. commune dan D. expansa menurunkan nilai MOR terbesar pada kayu sengon. Berdasarkan uji lanjut Duncan (Lampiran 16), kayu sengon yang diumpankan pada S. commune dan D. expansa memiliki nilai MOR lebih kecil tetapi tidak nyata dibanding kontrolnya. Dapat disimpulkan bahwa pengumpanan kayu sengon berukuran 2 cm x 2 cm x 30 cm pada S. commune dan D. expansa memberikan penurunan nilai MOR yang tidak nyata.

Nilai MOR kayu pinus ukuran contoh uji 2 cm x 2 cm x 30 cm yang diumpankan pada jamur tidak dapat dibandingkan dengan kontrolnya. Hal ini dikarenakan kontrol kayu pinus dan mangium memiliki nilai MOR yang lebih rendah dibandingkan kayu pinus yang diumpankan pada jamur. Diduga adanya cacat miring serat pada kayu, yang menyebabkan nilai MOR lebih rendah daripada yang diumpankan pada jamur. Kayu pinus yang diumpankan pada S. commune memiliki nilai MOR yang lebih kecil dibandingkan kayu pinus yang diumpankan pada D. expansa. Diduga S. commune dapat menurunkan nilai MOR kayu pinus lebih besar dibanding D. expansa.

4.6 Keteguhan Tekan Tegak Lurus Serat Kayu (Endwise Compression) Kekuatan tekan tegak lurus serat kayu diperlukan dalam pengetahuan karena dalam prakteknya pada balok penyangga atau bantalan rel kereta api. Balok penyangga dan bantalan rel kereta api berada di luar naungan. Hal ini memungkinkan kayu tersebut terkena hujan dan panas sinar matahari yang dapat menyebabkan kayu-kayu tersebut terserang jamur pelapuk. Selanjutnya mengalami penurunan kekuatan tekan kayu dalam menahan beban.

(44)

Keteguhan Tekan Tegak Lurus Serat 0.000 50.000 100.000 150.000 200.000 250.000 300.000 Schizophyllum commune Donkioporia expansa Kontrol Jenis Perlakuan T e ka n T e g a k L u r u s Se r a t (k g /c m 2 ) pinus mangium sengon

Gambar 11 Rata-rata keteguhan tekan tegak lurus serat kayu

Berdasarkan grafik pada Gambar 11, kayu-kayu yang diumpankan pada Schizophyllum commune dan Donkioporia expansa selama 12 minggu rata-rata mengalami penurunan nilai keteguhan tekan tegak lurus serat. Hal ini menandakan bahwa kayu yang diserang jamur mengalami penurunan kekuatan tekan tegak lurus serat kayu.

Berdasarkan rancangan percobaan (Lampiran 17), interaksi antara faktor jenis jamur dan faktor jenis kayu menunjukkan nilai yang berbeda nyata pada α = 0,05. Oleh karena itu tidak dapat dilihat pengaruh dari masing-masing faktor tersebut dan interaksi kedua faktor dapat dilakukan uji lanjut.

S. commune menurunkan nilai keteguhan tekan tegak lurus serat terbesar pada kayu sengon diikuti oleh kayu mangium. Berdasarkan uji lanjut Duncan (Lampiran 18), kayu sengon yang diumpankan pada S. commune memiliki nilai keteguhan tekan tegak lurus serat lebih kecil secara nyata dibanding kontrolnya. Kayu mangium yang diumpankan pada S. commune memiliki nilai keteguhan tekan tegak lurus serat lebih kecil tetapi tidak nyata dibanding kontrolnya. Dapat disimpulkan bahwa pengumpanan kayu-kayu pada S. commune memberikan penurunan nilai keteguhan tekan tegak lurus serat yang nyata pada kayu sengon tetapi tidak nyata pada kayu mangium.

D. expansa menurunkan nilai keteguhan tekan tegak lurus serat terbesar pada kayu sengon, diikuti oleh kayu mangium. Berdasarkan uji lanjut Duncan (Lampiran 18), kayu sengon dan mangium yang diumpankan pada D. expansa

(45)

memiliki nilai keteguhan tekan tegak lurus serat lebih kecil secara nyata dibanding kontrolnya. Dapat disimpulkan bahwa pengumpanan kayu-kayu pada D. expansa memberikan penurunan nilai keteguhan tekan tegak lurus serat yang nyata pada kayu sengon dan mangium.

Kayu pinus yang diumpankan pada jamur tidak dapat dibandingkan dengan kontrolnya. Hal ini dikarenakan kontrol kayu pinus memiliki nilai MOE yang lebih rendah dibandingkan kayu pinus yang diumpankan pada jamur. Diduga adanya cacat miring serat pada kontrol, yang menyebabkan nilai MOE lebih rendah daripada yang diumpankan pada jamur. Kayu pinus yang diumpankan pada S. commune memiliki nilai keteguhan tekan tegak lurus serat yang lebih tinggi dibandingkan kayu pinus yang diumpankan pada D. expansa. Diduga D. expansa dapat menurunkan keteguhan tekan tegak lurus serat kayu pinus lebih besar dibanding S. commune.

4.7 Perbandingan Metode Uji Sifat -Sifat Kayu dalam Mendeteksi Degradasi Kayu oleh Jamur

Berdasarkan seluruh indikator pengujian (Tabel 4; Halaman 35), Schizophyllum commune menurunkan sifat fisis dan mekanis kayu terbesar pada kayu sengon, diikuti oleh kayu mangium dan pinus. Penurunan sifat fisis dan mekanis kayu sengon yang diumpakan pada S. commune lebih besar secara nyata dibandingkan kayu mangium dan pinus. Penurunan sifat fisis dan mekanis kayu mangium relatif sama dibandingkan kayu pinus. Berdasarkan Tabel 6, kayu pinus rata-rata mengalami penurunan sifat fisis dan mekanis kayu sebesar 0,234%. Kayu mangium rata-rata menurunkan sifat fisis dan mekanis kayu sebesar 9,793%. Kayu sengon rata-rata menurunkan sifat fisis dan mekanis kayu sebesar 24,688%.

Donkioporia expansa menurunkan sifat fisis dan mekanis kayu terbesar pada kayu sengon, diikuti oleh kayu mangium dan pinus (Tabel 4). Penurunan sifat fisis dan mekanis kayu sengon yang diumpakan pada D. expansa lebih besar secara nyata dibandingkan kayu mangium dan pinus. Penurunan sifat fisis dan mekanis kayu mangium lebih besar secara nyata dibandingkan kayu pinus. Berdasarkan Tabel 6, kayu pinus rata-rata mengalami penurunan sifat fisis dan mekanis kayu sebesar 2,473%. Kayu mangium rata-rata menurunkan sifat fisis

Gambar

Gambar 1  Biakan murni D. expansa (a) dan S. commune (b) pada cawan   petri
Gambar 2  Warna kayu pada kontrol dan yang diumpankan selama           12 minggu pada Schizophyllum commune serta
Gambar 3  Grafik rata-rata penurunan berat kering kayu
Tabel 2  Komponen kimia kayu
+7

Referensi

Dokumen terkait

Media and Democratic Participation in Malaysia Cairo University and Departmentof Malaysian Studies 27-28 September. Pengendali Bengkel, Publishing Management Workshop UiTM

110% 1 Mening- katnya produksi Padi 1 Persentase peningkatan produksi padi 0.6 0,6 0,6 0,6 0,6 Meningkatka n Intensitas Pertanaman (IP) dan produktivitas Program peningkatan

Perencanaan perbaikan mutu tersebut adalah pelatihan-pelatihan khusus terhadap operator daiam hal proses produksi, pemanenan segera apabila buah sudah layak dipanen

berat; (b) kekerasan psikis yakni, perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan atau

Ada beberapa hal yang bisa kita analisis terhadap prinsip maskulinitas yang terinternalisir dalam diri feminisme dominan, diantaranya; feminisme liberal

Setelah diperoleh kondisi optimum untuk pro- duksi enzim pektinase, dilakukan produksi pektinase skala 1 L dan enzim ekstrak kasar yang diperoleh selanjutnya dipekatkan

Infeksi juga terjadi di laboratorium, pada peneliti yang bekerja dengan menggunakan hewan percobaan yang terinfeksi dengan toxoplasmosis atau melalui jarum suntik

Dalam kasus anak penderita autisme, komunikasi antarpribadi digunakan sebagai alat untuk membantu agar anak-anak dengan gangguan spektrum autisme secara perlahan-lahan