• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemodelan Sistem Pengertian Pemodelan Sistem

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemodelan Sistem Pengertian Pemodelan Sistem"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

2.1. Pemodelan Sistem

2.1.1. Pengertian Pemodelan Sistem

Purnomo (2005) menyatakan bahwa pemodelan sistem adalah sebuah pengetahuan dan seni. Pengetahuan karena dalam sistem dibangun logika yang jelas dengan urutan yang logis, sedangkan pemodelan merupakan seni karena mencakup bagaimana menuangkan gagasan manusia atas dunia nyata dengan segala keunikannya dalam sebuah model.

Sistem sendiri dapat diartikan sebagai gugus atau kumpulan dari komponen yang saling terkait dan terorganisasi dalam rangka mencapai suatu tujuan atau gugus tujuan tertentu (Hartrisari (2007). Suatu sistem dapat terdiri dari beberapa subsistem. Hartrisari (2007) juga menyatakan bahwa sistem dapat digolongkan menjadi dua jenis yaitu sistem terbuka (open system) dan sistem tertutup (closed system). Sistem terbuka merupakan sistem yang outputnya merupakan tanggapan dari input, namun output yang dihasilkan tidak memberikan umpan balik terhadap input. Sedangkan sistem tertutup, output memberikan umpan balik terhadap input.

Teori sistem erat hubungannya dengan sibernetika dan dinamika sistem (system

dynamics), yaitu model-model yang terdiri dari jaringan peubah yang berubah

menurut waktu. Sibernetika (cybernetics) yaitu studi tentang organisasi, komunikasi dan kontrol dalam sistem kompleks dengan berfokus pada umpan balik. Teori sistem digunakan dalam sain-sain kompleksitas (sciences complexity). Sedangkan analisis sistim (system analysis) merupakan aplikasi dari prinsip-prinsip sistem untuk membantu pengambilan keputusan.

Purnomo (2005) menjelaskan bahwa pemodelan merupakan aspek penting dari teori sistem, terutama berhubungan dengan pemanfaatan teori sistem dalam aspek yang lebih praktis. Model merupakan abstraksi dari sebuah sistem. Sedangkan sistem adalah dunia nyata, dan model merupakan kegiatan membawa dunia nyata ke dalam dunia tak nyata tanpa kehilangan sifat-sifat utamanya. Model dapat digunakan untuk melakukan beragam percobaan atau perlakuan. Dampak dari percobaan tersebut dapat diprediksi sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan.

(2)

Model yang dibangun harus diuji sensitivitasnya terhadap stimulus yang diberikan terhadap model tersebut. Jika hasil uji sensitivitas terhadap model utuh maupun terhadap masing-masing variabel kunci menunjukkan bahwa ada perubahan kinerja model apabila diberikan suatu stimulus, maka dapat dikatakan model yang dibangun tersebut sensitif (Muhammadi et al. 2001). Selain uji sensitivitas, menurut Purnomo (2005), sebelum model digunakan harus dilakukan evaluasi model dengan cara pengamatan kelogisan model, pengamatan perilaku model dan membandingkan dengan konseptualisasi model, serta membandingkan perilaku model dengan data yang didapat dari system (dunia nyata).

2.1.2. Penelitian Pemodelan Sistem Dinamik

Sistem bersifat dinamis. Dalam sistem, antar komponen berubah menurut waktu. Purnomo (2005) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan dinamika sistem adalah studi mengenai perubahan sistem menurut waktu dengan memperhatikan umpan balik. Sedangkan pemodelan sistem dinamik merupakan kegiatan membawa dunia nyata ke dalam dunia tak nyata tanpa kehilangan sifat-sifat utamanya, serta model tersebut bersifat dinamis berubah menurut waktu.

Telah banyak dilakukan penelitian mengenai pemodelan sistem dinamik, tetapi belum ada pemodelan sistem dinamik yang menggambarkan sistem perkotaan dengan permasalahan pulau bahang kota yang mengaitkan antara sumber-sumber emisi CO2,

albedo, dinamika perubahan luas berbagai jenis penutupan lahan, serta dampaknya terhadap iklim mikro perkotaan khususnya suhu udara.

Fong et al. (2006) melakukan penelitian menggunakan model sistem dinamik baru terbatas untuk menduga konsumsi energi di perkotaan. Model terdiri dari empat sub model, yaitu sub model perumahan, komersial, industri, dan transportasi. Berdasarkan simulasi model, diketahui bahwa pendorong utama terjadinya peningkatan konsumsi energi adalah adanya peningkatan pertumbuhan ekonomi dan tingkat konsumsi energi oleh industri, konsumsi energi oleh penduduk di perumahan, dan konsumsi energi aktivitas komersial.

Anand et al. (2005) melakukan penelitian lebih spesifik yaitu memprakirakan emisi CO2 dengan menggunakan pendekatan sistem dinamik untuk menghitung dan

melakukan mitigasi terhadap emisi CO2 dari aktivitas industri semen di India. Anand

at al. (2005) memprediksi emisi CO2 dua puluh tahun ke depan dengan baseline

(3)

sangat mempengaruhi permintaan dan produksi semen. Semakin meningkat jumlah manusia, maka semakin meningkat pula permintaan akan semen, dan menyebabkan emisi CO2 semakin meningkat pula. Dengan kondisi saat ini, diperkirakan emisi CO2

pada tahun 2020 adalah sebanyak 396,89 juta ton. Dengan menggunakan skenario mitigasi emisi CO2 yang terdiri dari intervensi kebijakan untuk menstabilkan

pertumbuhan penduduk, pembatasan kelebihan produksi semen, melakukan manajemen struktural, efisiensi energi, akan dapat menurunkan emisi CO2 pada tahun

2020 hingga mencapai 42%.

Model sistem dinamik juga digunakan Lee (2005) untuk memprakirakan penyebab dan dampak dari emisi gas rumah kaca di Kota New York. Lee (2005) membuat model sistem dinamik berdasarkan data emisi gas rumah kaca yang dikeluarkan oleh Kota New York. Variabel aktivitas sumber emisi CO2 dalam model

tersebut terdiri dari konsumsi listrik, konsumsi bahan bakar fosil untuk pemanas udara, serta konsumsi bahan bakar transportasi. Simulasi model dibuat untuk memprakirakan emisi gas CO2 25 tahun ke depan yaitu dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2030.

Emisi gas rumah kaca di Kota New York pada tahun 2005, diperkirakan 58,8 juta metric ton equivalent (mt CO2e). Berdasarkan prakiraan model sistem dinamik,

pada tahun 2030 emisi gas CO2 meningkat menjadi 73 juta metric ton. Dengan

membuat skenario efisiensi energi dan penurunan konsumsi energi pada level moderat, diperkirakan emisi CO2 tahun 2005 sebanyak 58 mt CO2e, sedangkan pada tahun

2030 diperkirakan menurun menjadi 54 mt CO2e. Apabila menggunakan skenario

yang lebih ketat, maka emisi CO2 dapat ditekan menjadi 43 mt CO2e pada tahun 2005,

dan 40 mt CO2e pada tahun 2030.

Dahlan (2007) melakukan penelitian mengenai kebutuhan luas hutan kota yang berfungsi sebagai sink gas CO2 antropogenik. Berdasarlan simulasi model, Dahlan

(2007) menjelaskan bahwa kebutuhan luas hutan kota di Kota Bogor dengan jenis vegetasi berdaya sink tinggi yaitu berkisar 5500 – 6500 ha. Dalam kurun waktu sampai tahun 2100, diperkirakan lahan terbangun yang dibutuhkan untuk menampung penduduk yaitu 8.032,11 ha (67,78%) dengan bangunan dua lantai, sedangkan luas hutan kota yang dibutuhkan yaitu 1.278,81 ha (10,79%).

(4)

2.2. Kota Hijau (Green City) 2.2.1. Kawasan Perkotaan

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penye-lenggaraan Penataan Ruang, dijelaskan bahwa kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

2.2.2. Kota Hijau

a. Pengertian Kota Hijau

Menurut Wildsmith (2009), green city (kota hijau) juga dapat disebut sustainable city (kota yang berkelanjutan) atau eco-city (kota berbasis ekologi), yaitu kota yang dalam melaksanakan pembangunan didesain dengan mempertimbangkan lingkungan sehingga fungsi dan manfaatnya dapat berkelanjutan. Green city dapat terwujud jika masyarakat yang tinggal di dalamnya melakukan penghematan (minimisasi) pemanfaatan energi dan air. Selain itu juga melakukan minimisasi buangan penyebab panas, serta melakukan pencegahan pencemaran air dan udara. Selain elemen-elemen tersebut Wildsmith (2009) juga menambahkan elemen sosial dan budaya. Sehingga green city merupakan kota yang melakukan pembangunan berkelanjutan secara ekonomi, sosial, dan ekologi sehingga tercipta keseimbangan diantara manusia dan alam.

Mori dan Christodoulou (2011), mengartikan kota hijau sebagai kota berkelanjutan. Yang dimaksud dengan kota berkelanjutan adalah sebuah kota yang dalam melakukan pembangunan berasaskan keadilan antara generasi saat ini dengan generasi yang akan datang. Pembangunan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan generasi yang akan datang. Seperti halnya Wildsmith (2009), Mori dan Christodoulou (2011) juga mensyaratkan keseimbangan biofisik, sosial dan ekonomi yang berkeseimbangan dalam pelaksanaan pembangunan kota berkelanjutan.

Roseland (1997) mendefinisikan green city sebagai eco-city, yaitu kota yang berbasis ekologi dengan beberapa upaya yang dapat dilakukan sebagai berikut : 1) merevisi penataan penggunaan lahan agar menjadi lebih memperhatikan kebutuhan akan ruang terbuka hijau dan kenyamanan di pusat-pusat permukiman dan area dekat

(5)

transportasi, 2) Perlu memperhatikan kebutuhan transportasi ramah lingkungan, 3) Merehabilitasi lingkungan perkotaan yang rusak (sungai, pantai, lahan basah), 4) Mendukung kegiatan penghijauan, pertanian masyarakat lokal, 5) Sosialisasi daur ulang limbah, teknologi inovatif tepat guna, 6) Menciptakan keadilan sosial dengan memberikan kesempatan pada wanita dan orang cacat untuk berperan serta menikmati pembangunan, 7) Mendorong pertumbuhan ekonomi yang berbasis ekologi yaitu dengan menurunkan limbah dan polusi, serta menggunakan bahan baku yang tidak berbahaya bagi lingkungan, 8) Mensosialisasikan penghematan pemanfaatan sumberdaya alam, 9) Meningkatkan kesadaran terhadap lingkungan melalui kegiatan pendidikan lingkungan.

b. Permasalahan dalam Mewujudkan Kota Hijau

Permasalahan lingkungan perkotaan yang menghambat terwujudnya kota hijau adalah disebabkan oleh tingginya laju pertumbuhan penduduk serta laju pertambahan luas lahan terbangun, semakin menurunnya ruang terbuka hijau, terjadinya pencemaran air, pencemaran udara, pencemaran tanah, dan terbentuknya pulau bahang kota.

Pulau bahang kota telah terjadi di beberapa kota di dunia, salah satunya adalah pulau bahang kota yang terjadi di Guangzhou. Weng dan Yang (2004) menjelaskan bahwa permasalahan lingkungan yang dihadapi Kota Guangzhou adalah terus meningkatnya luas suhu udara tinggi di area perkotaan. Luas suhu udara tinggi yang terus meningkat ini terkait dengan terus meningkatnya populasi penduduk sehingga meningkatkan luas lahan terbangun, industri dan transportasi, serta merubah tata kota dan lingkungan fisik Kota Guangzhou. Emisi CO2 dari berbagai aktivitas di

perkotaan serta semakin meningkatnya lahan terbangun dan menurunnya ruang terbuka hijau di Kota Guangzhou, menyebabkan terbentuknya pulau bahang kota.

Masalah pulau bahang kota juga disebabkan oleh adanya pengembangan kota yang tidak berdasarkan keberlanjutan ekologi perkotaan. Sektor ekonomi menjadi prioritas utama pembangunan, lingkungan hidup tidak menjadi perhatian penting. Berbagai aktivitas di perkotaan menyebabkan terus meningkatnya emisi CO2 dan

peningkatan suhu udara. Berdasarkan penelitian Wang (2009) di China mengenai analisis permasalahan perencanaan urban green space system. Masalah lingkungan di Cina diakibatkan karena kesalahan pada level perencanaan yang tidak mementingkan lingkungan sehingga pelaksanaan pembangunan perkotaan lebih fokus pada sektor

(6)

ekonomi sehingga menimbulkan berbagai masalah lingkungan hidup termasuk pemanasan di perkotaan.

c. Pengelolaan Kota dalam Mewujudkan Kota Hijau

Salah satu cara untuk mewujudkan kota hijau adalah dengan melakukan pembangunan berkelanjutan yang saat ini dikenal dengan pembangunan berbasis

green growth. World Wide Fund for Nature dan PricewaterhouseCoopers (2011),

mendefinisikan green growth sebagai sebuah konsep pembangunan yang dilaksanakan dengan mengupayakan keseimbangan ekonomi, sosial, budaya serta lingkungan hidup. Konsep pembangunan berbasis green growth menurut World Wide Fund for Nature (WWF) dan PricewaterhouseCoopers (PWC), dilaksanakan berdasar pada lima pilar penting berikut :

a. Pertumbuhan ekonomi b. Perbaikan kondisi sosial

c. Konservasi keanekaragaman hayati dan jasa lingkungan d. Kemampuan adaptasi terhadap perubahan iklim global e. Penurunan emisi gas rumah kaca.

Sektor ekonomi sangat penting dalam menggerakkan pembangunan perkotaan. Ekonomi yang sehat akan meningkatkan kondisi sosial ekonomi dan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di dalamnya. Pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya harus ditingkatkan. Selain sektor ekonomi dan kondisi sosial masyarakat, yang perlu menjadi perhatian adalah perlunya memberikan harga (value) tinggi pada sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang ada. Sumberdaya alam termasuk keanekaragaman hayati dan jasa lingkungan berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem perkotaan. Keanekeragaman hayati vegetasi ruang terbuka hijau mempunyai jasa lingkungan melalui perannya dalam mengabsorbsi dan mengadsorbsi berbagai polutan udara, memperbaiki iklim mikro perkotaan, meningkatkan estetika lingkungan, me-ngurangi kebisingan (Dahlan 2004). Oleh karena itu perlu dilakukan pemberdayaan masyarakat dalam upaya konservasi sumberdaya alam dan jasa lingkungan serta perbaikan habitat di perkotaan.

Agar sebuah kota dapat melakukan pembangunan berkelanjutan, maka selain melakukan perbaikan kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup, juga harus meningkatkan kemampuan adaptasi kota tersebut terhadap perubahan iklim global. Penurunan emisi gas rumah kaca harus dimasukkan dalam perencanaan dan

(7)

pelaksanaan pembangunan kota berbasis karbon rendah. Konsep pembangunan berkelanjutan atau pembangunan berbasis green growth tersebut disajikan pada Gambar 2.

Sumber : WWF dan PWC (2011)

Gambar 2 Pembangunan kota hijau berbasis green growth.

2.3. Pulau Bahang Kota (Urban Heat Island) 2.3.1. Pengertian Pulau Bahang Kota

Tursilowati (2002), Voogt (2002), Hidayati (1990), Santosa (1998) serta Weng dan Yang (2004) menyatakan bahwa pulau bahang kota atau urban heat island atau juga disebut dengan kubah kota terjadi ketika udara di atas perkotaan digambarkan seperti pulau udara dengan permukaan panas yang terpusat di area urban (kota), temperaturnya semakin menurun ke arah sub urban dan rural.

Irwan (2008) meneliti pulau bahang kota di Jakarta, Tangerang, Bekasi dan Bogor. Berdasarkan penelitian tersebut diketahui bahwa pulau bahang kota yang terjadi di Kota Jakarta menciptakan suhu maksimum di Jakarta Pusat dan Jakarta Utara. Secara bertahap, suhu udara menurun ke arah selatan (ke arah Bogor). Irwan (2008) juga menjelaskan bahwa pola pulau panas cenderung melebar ke arah Tangerang dan Bekasi bagian barat. Perbedaan suhu udara maksimum dan minimum antara Kota Jakarta dan Bogor mencapai 1 – 3 °C.

Berdasarkan penelitian Effendy (2007), dijelaskan bahwa pulau bahang kota (UHI) yang terjadi di Jakarta dipicu oleh meningkatnya kepadatan kendaraan (20%), penambahan ruang terbangun (19%), dan kepadatan populasi (17%). Sedangkan pulau

Green Growth

Emisi gas rumah kaca Pertumbuh-an rendah karbon Adaptasi terhadap perubahan iklim global Ekonomi Keanekaragam-an hayati dKeanekaragam-an jasa lingkungan Sosial dan pengurang-an kemiskinan Adaptasi dan mitigasi Pertumbuhan berkeseimba-ngan Nilai sumber-daya alam Pember-dayaan masyarakat & habitat

(8)

bahang kota yang terjadi di Bogor dipicu oleh meningkatnya semakin meluasnya ruang terbangun (15%), diikuti oleh menurunnya ruang terbuka hijau (14%), semakin padatnya kendaraan (14%), serta semakin padatnya populasi (13%). Selain Jakarta dan Bogor, Kota Tangerang juga sudah mengalami efek pulau bahang. Kontribusi terbesar terjadinya pulau bahang kota di Tangerang disebabkan oleh semakin menurunnya ruang terbuka hijau (23%), diikuti oleh perluasan ruang terbangun (22%0, padatnya populasi (19%), serta padatnya kendaraan (17%).

2.3.2. Sumber Permasalahan Pulau Bahang Kota

Hasil kajian pulau bahang kota yang dilakukan oleh Hidayati (1990), dan Santosa (1998) membuktikan bahwa dengan adanya pulau bahang kota menyebabkan suhu udara perkotaan lebih tinggi 0,02 – 1 °C dibandingkan daerah sekitarnya. Suhu udara yang lebih tinggi di perkotaan dibandingkan dengan perdesaan, disebabkan oleh tingginya emisi gas rumah kaca (CO2, N2O, CFC, CH4) dan persentase luas lahan

terbangun di perkotaan.

a. Emisi Gas Rumah Kaca

Pulau bahang kota yang terbentuk di area perkotaan diakibatkan oleh tingginya konsentrasi gas rumah kaca. Gas rumah kaca di perkotaan dihasilkan oleh adanya emisi gas-gas tersebut dari berbagai aktifitas antropogenik yang menggunakan bahan bakar fosil (minyak bumi, batubara). Menurut Soedomo ( 2001), pembakaran bahan bakar minyak bumi merupakan emisi terbesar dari gas rumah kaca. Urutan berikutnya adalah penggunaan biomassa kayu bakar dan limbah pertanian, dan kemudian penggunaan gas bumi.

Dahlan (2007) menyatakan bahwa rata-rata penggunaan bahan bakar per orang di Kota Bogor adalah 134,19 liter bensin/orang/tahun ; 33,55 liter solar/orang/tahun; 6,24 liter diesel/orang/tahu; 84,17 liter minyak tanah/orang/tahun; 5,14 kg LPG/orang/tahun; dan 0,28 m3 gas/orang/tahun. Berdasarkan simulasi model emisi gas CO2 di Kota Bogor, diperkirakan emisi pada tahun 2010 sebanyak 600,216 ton

dan meningkat menjadi 848,175 ton pada tahun 2100. Sedangkan Soedomo (2001) dengan menggunakan acuan tahun 1988 sebagai dasar, memperkirakan kontribusi per kapita dalam emisi gas rumah kaca per kapita adalah sebesar 1,15 ton /tahun.

Jumlah keseluruhan emisi gas rumah kaca absolut dari hasil kegiatan antropogenik (kegiatan yang dilakukan oleh manusia) di Indonesia disajikan pada

(9)

Tabel 1. Emisi gas absolut di Indonesia adalah sebesar 96,08 juta metrik ton pada tahun 1980; 154,016 juta metrik ton pada tahun 1985; dan 202,47 juta metrik ton pada tahun 1988. Karbon dioksida merupakan gas rumah kaca yang terbesar jumlah emisi absolutnya. Chloro fluoro carbon belum dapat diperkirakan secara pasti sehingga belum dimasukkan dalam perhitungan.

Pembakaran bahan bakar fosil (bensin, solar, batubara) menyebabkan emisi CO2

dan peningkatan suhu udara. Nowak dan McPherson (1993) menyatakan bahwa peningkatan CO2 di atmosfer akan menyebabkan peningkatan suhu udara melalui

pemanasan udara akibat adanya penyerapan radiasi gelombang panjang oleh CO2.

Trewartha dan Horn (1995) juga menyatakan bahwa pencemaran atmosfer di kawasan perkotaan akibat dari emisi polutan udara kendaraan bermotor dan industri, akan mengakibatkan terperangkapnya radiasi terestrial di troposfer sehingga menghambat lolosnya radiasi terestrial tersebut ke angkasa. Hal ini menyebabkan suhu udara menjadi meningkat. Suhu udara selain ditentukan oleh konsentrasi gas rumah kaca, juga dipengaruhi oleh variabilitas output total energi matahari. Variabilitas energi matahari menghasilkan perubahan-perubahan dalam intensitas surya yang diterima di puncak atmosfer bumi serta mengakibatkan variasi iklim termasuk suhu udara (Trewartha & Horn 1980).

Trewartha dan Horn (1980) juga menyatakan bahwa variasi iklim juga dipengaruhi oleh posisi matahari dan bumi. Jarak terjauh antara matahari dan bumi selama peredarannya (aphelion) dan jarak terdekat antara matahari dan bumi (perihelion), menentukan intensitas radiasi matahari dan suhu udara di permukaan bumi.

Meskipun suhu udara ditentukan oleh variabilitas output total radiasi matahari akibat aktivitas matahari serta posisi matahari dan bumi, tetapi suhu udara yang terukur di permukaan bumi sangat ditentukan oleh konsentrasi gas rumah kaca, termasuk gas CO2. Peningkatan konsentrasi CO2 menyebabkan kenaikan suhu udara

secara signifikan seperti yang disajikan pada Gambar 3 dan 4.

Efek pulau bahang yang terjadi di beberapa kota di dunia akan meningkatkan pemanasan global, begitu pula pemanasan global yang terjadi saat ini juga mempengaruhi proses pemanasan yang terjadi di perkotaan. Oleh karena itu perlu dilakukan mitigasi dan adaptasi lokal dari masing-masing kota agar pemanasan di tingkat lokal maupun global dapat dikendalikan.

(10)

Gambar 3 Rata-rata CO2 di Hawai.

Gambar 4 Hasil observasi temperatur global.

b. Pengaruh Penutupan Lahan terhadap Pulau Bahang Kota

Selain gas rumah kaca, faktor yang mempengaruhi pulau bahang kota adalah jenis penutupan lahan. Penutupan lahan yang ada di area perkotan menentukan neraca radiasi (termasuk pengaruh dari albedo) serta neraca energi di area perkotaan sehingga akan menentukan kondisi pulau bahang kota.

Tahun

Sumber : Keeling et al. 1989 dalam IPCC 2007

Sumber : Brohan et al. (2006), Smith and Reynolds (2005), Hansen et al., (2001) and Lugina et al. (2005) dalam IPCC (2007)

(11)

Neraca Radiasi dan Neraca Energi

Arya (2001) menyatakan bahwa neraca radiasi di suatu permukaan ditentukan oleh radiasi gelombang pendek dan radiasi gelombang panjang yang datang dan yang keluar. Radiasi neto merupakan radiasi yang datang dikurangi dengan radiasi yang keluar. Persamaan neraca radiasi dan neraca energi disajikan pada persamaan berikut :

RS↓ (1 – α) + RL↓ - RL↑ = RN = H + HL + HG + ΔHS

Keterangan : RS↓ : Radiasi gelombang pendek yang masuk

α : Albedo

RL↓ : Radiasi gelombang panjang yang datang

RL↑ : Radiasi gelombang panjang yang keluar

RN : Radiasi neto

H : Panas terasa (sensible heat) HL : Panas laten (latent heat)

HG : Flux panas permukaan

ΔHS : Perubahan panas tersimpan (energy storage)

Berdasarkan persamaan tersebut, radiasi neto dipengaruhi oleh albedo dari permukaan. Albedo merupakan perbandingan antara jumlah radiasi surya gelombang pendek (3-2 µm) yang dipantulkan oleh suatu permukaan dengan radiasi gelombang pendek yang diterima permukaan tersebut (Geiger et al. 1961). Energi dari radiasi neto terbagi menjadi beberapa energi yaitu energi panas terasa, panas laten, flux panas permukaan dan perubahan panas tersimpan.

Berdasarkan persamaan neraca radiasi dan neraca energi (Arya 2001), maka area yang didominasi oleh vegetasi akan menyebabkan nilai HL (energi yang digunakan

untuk evapotranspirasi) dan ΔHS (energi yang digunakan untuk fotosintesis) tinggi,

sedangkan nilai H dan HG, sehingga suhu udara menjadi rendah. Sebaliknya area

area yang didominasi oleh lahan terbangun menyebabkan nilai H dan HG tinggi

karena radiasi neto digunakan untuk memanaskan permukaan dan memanaskan udara (panas terasa). Kondisi ini menyebabkan suhu udara tinggi.

Masing-masing jenis penutupan lahan yang ada di perkotaan mempunyai kemampuan memantulkan dan menyerap radiasi surya (albedo) yang berbeda-beda. Semakin banyak radiasi surya yang dipantulkan, maka radiasi neto (RN) akan semakin

tinggi sehingga mengakibatkan suhu permukaan tersebut serta suhu udara di sekitarnya rendah. Sebaliknya, semakin sedikit radiasi yang dipantulkan, maka radiasi

(12)

neto akan semakin tinggi (sebagai contoh benda berwarna hitam) sehingga suhu permukaan dan udara di sekitarnya semakin tinggi.

Radiasi neto yang diserap suatu benda akan dikonduksikan (HG), sehingga

kapasitas panas suatu benda akan sangat menentukan suhu benda tersebut. Dengan energi yang sama dari radiasi surya yang sampai pada suatu permukaan, akan mengakibatkan peningkatan suhu permukaan yang berbeda, karena suatu benda mempunyai nilai albedo, konduktivitas dan kapasitas panas yang berbeda-beda. Permukaan berupa tanah, rumput, ataupun aspal dan beton mempunyai konduktivitas panas dan kapasitas panas yang berbeda. Radiasi surya yang jatuh pada permukaan tersebut akan menyebabkan variasi suhu yang berbeda. Radiasi yang jatuh pada permukaan berupa aspal dan beton menyebabkan suhu udara di sekitarnya lebih tinggi dibandingkan jenis permukaan yang lain karena kapasitas panas pada aspal dan beton lebih rendah (Mather 1974).

Area perkotaan modern, biasanya memiliki lahan terbangun (bangunan-bangunan beton serta jalan-jalan beraspal) yang mendominasi area tersebut. Karakteristik kota seperti ini akan mempengaruhi keseimbangan energi dan kondisi suhu udara perkotaan. Atap yang gelap, bangunan beton, dan jalan-jalan beraspal di perkotaan, memiliki albedo yang rendah sehingga lebih banyak menyerap radiasi surya. Penyerapan radiasi surya menyebabkan peningkatan suhu udara, sehingga area perkotaan memiliki suhu udara yang relatif lebih tinggi dibandingkan area perdesaan yang masih didominasi oleh ruang terbuka hijau.

Penelitian Xiao dan Weng (2007) mengenai pengaruh jenis penutupan lahan serta perubahan penutupan lahan terhadap suhu udara di Kota Guiyang, Anshun, Qingzheng, dan Pingba County, menunjukkan bahwa peningkatan lahan terbangun di empat kota tersebut yang terjadi dari tahun 1991 sampai 2001, menyebabkan peningkatan suhu udara dan berakibat semakin lebarnya perbedaan suhu udara antara area perkotaan (area dengan dominansi lahan terbangun) dengan perdesaan (area yang didominasi ruang terbuka hijau). Perbedaan suhu udara antara area perkotaan dengan perdesaan yang signifikan terdapat di Kota Guiyang dan Qingzheng karena kedua kota tersebut mengalami peningkatan lahan terbangun dengan laju yang lebih tinggi dibandingkan dua kota yang lain.

Hasil penelitian Akbari (2008) di Amerika Serikat menunjukkan bahwa pada siang hari di musim panas, suhu udara di kota bisa mencapai 2,5 Kelvin (K) lebih tinggi. Hal ini disebabkan karena lebih banyak lahan terbangun dan jalan-jalan

(13)

dibandingkan daerah sekelilingnya. Peningkatan suhu sebesar 1 K saja menyebabkan permintaan listrik untuk energi pendingin udara meningkat 2-4 %.

Kaitan antara perluasan lahan terbangun dengan peningkatan suhu udara juga ditemukan dalam penelitian Tursilowati (2002) yang menunjukkan adanya perluasan pulau bahang kota di beberapa kota di Indonesia akibat adanya peningkatan luas lahan terbangun. Di Bandung teramati pulau bahang kota (daerah dengan suhu tinggi 30-35 °C) pada kawasan terbangun di pusat kota mengalami perluasan kira-kira 12.606 ha atau 4.47% per tahun, sedangkan di Semarang 12.174 ha atau 8,4% per tahun, dan di Surabaya 1.512 ha atau 4,8% per tahun. Pertumbuhan kawasan terbangun di Bandung per tahun kurang lebih 1.029 ha (0,36%), Semarang 1.200 ha (0,83%), dan Surabaya 531,28 ha (1,69%).

Penelitian lain mengenai pulau bahang kota adalah yang dilakukan oleh Weng dan Yang (2004) di Kota Guangzhou, Cina Selatan. Berdasarkan analisis peng-inderaan jauh, didapat informasi bahwa penutupan lahan sangat berpengaruh terhadap terbentuknya pulau bahang kota. Berdasarkan analisis data suhu permukaan pada tanggal 29 Agustus 1997, terukur suhu permukaan terendah terdapat pada penutupan lahan hutan (29,88 °C), diikuti dengan lahan pertanian (30,96 °C) dan suhu per-mukaan tertinggi terukur pada tanah tandus (32,94 °C). Hasil penelitian Weng dan Yang (2004) juga menyebutkan bahwa akibat perkembangan kota dan peningkatan lahan terbuka, menyebabkan suhu udara perkotaan meningkat dari 22,50 °C pada tahun 1989 menjadi 34,75 °C pada tahun 1997.

Sarkar (2004) juga meneliti kaitan fenomena pulau bahang kota dengan perubahan dan kerapatan tutupan lahan dengan menggunakan remote sensing dan GIS (Geographic Information System). Tutupan lahan yang dijadikan variabel bebas adalah vegetasi, bangunan, jalan, lahan basah dan lahan terbuka. Nilai tutupan lahan ditentukan oleh nilai sampel dari gambar satelit. Urban heat island dianalisis dengan menggunakan composite band (6 red, 4 green dan 4 blue). Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa urban heat island (pulau bahang kota) merupakan masalah yang timbul akibat adanya perkembangan kota yang diakibatkan adanya peningkatan luas lahan terbangun dan semakin berkurangnya ruang terbuka hijau.

Penelitian serupa juga dilakukan oleh Effendy (2007) yang mengkaji keterkaitan antara ruang terbuka hijau dengan urban heat island di wilayah JABOTABEK (Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi). Variabel yang dianalisis adalah perubahan indeks kenyamanan dan neraca energi permukaan khususnya terhadap fluks LE (latent

(14)

heat flux) dan H (sensible heat flux). Berdasarkan penelitian tersebut disimpulkan bahwa titik kritis pengurangan ruang terbuka hijau untuk Kota Jakarta, Kota dan Kabupaten Bogor adalah sebesar 30%, artinya setiap pengurangan ruang terbuka hijau yang melampaui batas tersebut maka akan mengakibatkan kenaikan suhu udara dengan laju dua kali lipat dibandingkan dengan pengurangan ruang terbuka hijau di bawah 30%. Hal sama berlaku untuk Kota dan Kabupaten Tangerang yang mempunyai batas kritis pengurangan ruang terbuka hijau yang lebih kecil yaitu 15 dan 20%, sementara Kota dan Kabupaten Bekasi pada batas kritis yang lebih besar hingga 35%. Rata-rata wilayah JABOTABEK (Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi) mempu-nyai titik kriitis pengurangan ruang terbuka hijau sebesar 28%

Evaporasi dan Evapotranspirasi Berbagai Jenis Penutupan Lahan

Evaporasi adalah transfer massa uap air dan energi dari suatu permukaan ke atmosfer (penguapan). Sedangkan transpirasi adalah kehilangan air dari vegetasi melalui proses penguapan. Evapotranspirasi adalah kombinasi diantara evaporasi dan transpirasi (Mather 1974). Evaporasi dan transpirasi selain ditentukan oleh faktor iklim (radiasi, suhu udara, kelembaban udara, perbedaan tekanan udara, angin) juga ditentukan oleh jenis vegetasi.

Vegetasi mempengaruhi suhu udara selain karena mempunyai nilai albedo tersendiri yang menentukan pemantulan dan penyerapan radiasi surya, juga karena vegetasi melakukan proses evapotranspirasi. Area perdesaan dengan persentase ruang terbuka hijau yang masih tinggi, maka radiasi surya yang sampai permukaan selain dikonduksikan juga digunakan untuk evapotranspirasi sehingga suhu permukaan serta suhu udara di sekitarnya lebih rendah. Oleh karena itu vegetasi memainkan peranan yang signifikan dalam mengurangi jumlah radiasi balik termal ke atmosfir, menurunkan suhu udaradan terbukti efektif menekan efek pulau bahang.

Vegetasi memiliki peran penting dalam menurunkan suhu udara. Sebaliknya lahan terbangun dan lahan terbuka menyebabkan peningkatan suhu udara. Hal ini didukung oleh pendapat Trewartha dan Horn (1995) yang menyatakan bahwa kawasan perkotaan umumnya sangat kurang vegetasi. Kondisi ini menyebabkan evaporasi rendah, dan mengakibatkan sebagian besar energi radiasi yang diterima dikonduksikan ke permukaan serta digunakan untuk memanaskan udara sehingga suhu udara meningkat.

(15)

2.4. Ruang Terbuka Hijau

2.4.1. Pengertian Ruang Terbuka Hijau

Ruang terbuka hijau sangat menentukan kondisi pulau bahang kota, terutama berperan dalam mengurangi gas CO2 melalui proses fotosintesis, serta dalam proses

evapotranspirasi yang mempunyai pengaruh positif dalam menurunkan suhu udara perkotaan. Pengertian ruang terbuka hijau berdasarkan UU Republik Indonesia No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Berdasarkan PP Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008, dijelaskan bahwa salah satu strategi pengendalian perkembangan kegiatan budidaya agar tidak melampaui daya dukung adalah dengan penetapan ruang terbuka hijau minimal 30% dari luas kawasan perkotaan. Sedangkan kawasan perkotaan menurut UU RI No. 26 Tahun 2007 adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

2.4.2. Hutan Kota sebagai Bagian dari Ruang Terbuka Hijau

Hutan kota adalah bagian dari ruang terbuka hijau. Hutan kota menurut Irwan (2008) adalah komunitas vegetasi berupa pohon dan asosiasinya yang tumbuh di lahan kota atau sekitar kota, berbentuk jalur, menyebar, atau bergerombol (menumpuk) dengan struktur menyerupai hutan alam, membentuk habitat yang memungkinkan kehidupan bagi satwa dan menimbulkan lingkungan sehat, nyaman dan estetis. Sedangkan Grey dan Deneke (1978), hutan kota merupakan kawasan vegetasi berkayu yang luas, terbuka bagi masyarakat umum, mudah dijangkau oleh penduduk kota, dan dapat memenuhi fungsi perlindungan kelestarian tanah, tata air, ameliorasi iklim, penangkal polusi udara, kebisingan dan lain-lain. Peraturan Pemerintah No.63 Tahun 2002 tentang hutan kota, dinyatakan bahwa luasan hutan kota sekurang-kurangnya 10% dari luas kota.

Menurut Dahlan (1992), hutan kota mempunyai fungsi dan peranan sebagai sebagai identitas kota, pelestarian plasma nutfah, penahan dan penyaring partikel padat dari udara, penyerap dan penjerap partikel timbal, penyerap dan penjerap debu, peredam kebisingan, mengurangi bahaya hujan asam, penyerap karbon monoksida, penyerap karbon dioksida dan penghasil oksigen, penahan angin, penyerap dan

(16)

penapis bau, mengatasi penggenangan, mengatasi intrusi air laut, ameliorasi iklim, pengelolaan sampah (sebagai penyerap dan penyekat bau, pelindung tanah dari dekomposisi sampah, penyerap zat berbahaya), pelestarian air tanah, penapis cahaya silau. Selain itu hutan kota berperan dalam meningkatkan keindahan, sebagai habitat burung, mengurangi stres, mengamankan pantai terhadap abrasi, meningkatkan industri pariwisata dan sebagai hobi dan pengisi waktu luang.

Bentuk dan Struktur Hutan Kota

Hutan kota dapat dikelompokkan berdasarkan bentuk dan strukturnya. Bentuk hutan kota dibedakan berdasarkan bentuk sebarannya yaitu bergerombol, menyebar, dan memanjang (jalur). Menurut Irwan (2008), berdasarkan bentuknya hutan kota dibedakan menjadi tiga yaitu :

1. Bentuk bergerombol atau menumpuk, yaitu vegetasi yang terkonsentrasi pada satu areal dengan jarak tanam rapat dan tidak beraturan.

2. Bentuk menyebar, adalah hutan kota yang tidak mempunyai pola tertentu, vegetasi tumbuh menyebar, terpencar-pencar dalam bentuk rumpun atau gerombol-gerombol kecil.

3. Bentuk jalur, vegetasi tumbuh pada lahan yang berbentuk jalur lurus atau melengkung mengikuti bentukan sungai, jalan, pantai, saluran dan sebagainya.

Selain berdasarkan bentuknya, hutan kota dikelompokkan berdasarkan strukturnya yang dibedakan menurut strata (lapisan) tajuk (Irwan 2008). Menurut strukturnya, hutan kota dibedakan menjadi dua kelompok yaitu :

1. Hutan kota berstrata dua, yaitu komunitas tumbuh-tumbuhan yang terdiri dari pepohonan dan rumput atau penutup tanah lain.

2. Hutan kota berstrata banyak, komunitas tumbuh-tumbuhan yang terdiri dari pepohonan dan rumput, juga terdapat semak, terna, liana, epifit, ditumbuhi banyak anakan dan penutup tanah, jarak tanaman rapat tidak beraturan dengan strata, serta komposisi mengarah meniru komunitas tumbuh-tumbuhan hutan alam.

Fakuara (1987) memperkirakan kebutuhan luas hutan kota, menggunakan metode jumlah O2 yang diperlukan oleh manusia dan kendaraan bermotor. Selain itu

(17)

O2, sehingga dengan menghitung kemampuan vegetasi dalam menghasilkan O2 per

satuan luas, maka didapat kebutuhan luas hutan kota sesuai dengan kebutuhannya terhadap O2.

Dahlan (2007) menganalisis kebutuhan hutan kota berdasarkan perannya sebagai sink gas CO2 anthropogenik dari bahan bakar minyak dan gas di Kota Bogor

dengan pendekatan sistem dinamik. Model yang dibuat didasarkan pada emisi CO2

yang dihasilkan Kota Bogor dari tahun ke tahun, dan didasarkan atas daya rosot gas CO2 vegetasi. Dari model ini Dahlan (2007) dapat memprediksi kebutuhan luas hutan

kota sampai tahun 2100.

2.4.3. Fungsi Ruang Terbuka Hijau

Proses fotosintesis yang terjadi pada vegetasi, selain memerlukan air (H2O) dan

radiasi matahari serta klorofil, juga membutuhkan CO2. Dalam proses fotosintesis

dihasilkan karbohidrat yang kemudian disebarkan serta tersimpan di seluruh bagian vegetasi (daun, batang, ranting, akar, bunga, buah). Proses penyimpanan (penimbunan) karbohidrat (C6H12O6) yang terdiri dari karbon ini disebut dengan

proses sekuestrasi (C-sequestration). Oleh karena itu ruang terbuka hijau termasuk hutan kota, mempunyai fungsi sebagai rosot karbon (penyimpan karbon). Bernatzky (1978) menjelaskan, bahwa satu hektar areal yang ditanami pohon, semak dan rumput dengan luas daun kurang lebih 5 hektar, dapat menyerap 900 kg CO2 dari udara dan

melepaskan 600 O2 dalam waktu 2 jam.

Dahlan (2004) menyatakan bahwa dengan membangun kota kebun bernuansa hutan kota, dapat meningkatkan kesehatan lingkungan. Kualitas lingkungan akan meningkat karena vegetasi mempunyai fungsi sebagai penyerap dan penjerap partikel logam dari industri, penyerap dan penjerap partikel timbal dari kendaraan bermotor dan penyerap dan penjerap debu semen. Selain itu vegetasi juga dapat menyerap gas beracun dan gas karbon dioksida. Brack (2002) menyatakan bahwa hutan kota berfungsi sebagai kontrol refleksi (silau) dari radiasi yang sampai permukaan perkotaan, peredam kebisingan, absorbsi polutan udara, serta dapat menjadi habitat satwaliar.

Kondisi perkotaan dengan konsentrasi polutan udara dan suhu yang tinggi dapat ditanggulangi dengan penanaman vegetasi berupa ruang terbuka hijau termasuk hutan kota. Vegetasi berfungsi dalam mengintersepsi radiasi matahari sehingga dapat menurunkan intensitas radiasi matahari di dekat permukaan. Intensitas radiasi yang

(18)

rendah di dekat permukaan akan menyebabkan pemanasan udara juga menurun sehingga suhu udara juga akan turun.

Chang et al. (2007) melakukan pengukuran suhu udara di 61 titik di Kota Taipei. Hasil pengukuran itu menunjukkan bahwa suhu udara di ruang terbuka hijau 0,81 K lebih rendah dibandingkan dengan area terbuka tanpa vegetasi. Fungsi vegetasi dalam penurunan suhu udara juga dibuktikan oleh Nichol dan Wong (2005) dalam penelitiannya dengan menggunakan 3D virtual reality model di Kota Hongkong. Berdasarkan penelitian tersebut diketahui bahwa area perkotaan yang didominasi oleh gedung-gedung yang rendah, suhu udaranya 6 °C lebih tinggi dibandingkan dengan area perkotaan bervegetasi. Dalam penelitian ini juga dibandingkan suhu udara di area yang mendapat bayangan (naungan) dari gedung-gedung tinggi. Suhu udara di area yang ternaungi gedung tinggi tersebut tetap lebih tinggi jika dibandingkan dengan area bervegetasi. Nichol dan Wong (2005) menyimpulkan bahwa penurunan suhu udara lebih ditentukan oleh vegetasi daripada naungan gedung-gedung tinggi.

Kemampuan vegetasi khususnya hutan kota dalam menurunkan suhu udara, dipengaruhi oleh bentuk dan struktur dari hutan kota tersebut. Irwan (2008), menyatakan bahwa hutan kota dengan komunitas vegetasi berstrata dua yang berbentuk jalur, dapat menurunkan suhu udara sebesar 1,43 % dan menaikkan kelembaban udara 1,77 %, sedangkan yang berbentuk menyebar menurunkan suhu udara 3,60 % dan menaikkan kelembaban udara 4,77 % , dan yang berbentuk bergerombol menurunkan 3,18 % dan menaikkan kelembaban udara 2,20 %. Irwan (2008) juga menyebutkan bahwa hutan kota berstrata banyak dengan bentuk menyebar, dapat menurunkan suhu udara sebesar 2,28 % dan menaikkan kelembaban udara 4,77 % , sedangkan yang berbentuk bergerombol menurunkan suhu udara 3,04 % dan kelembaban udara 2,20 %.

Effendy (2007) menyatakan bahwa model persamaan ruang terbuka hijau dan suhu udara mempunyai hubungan terbalik dimana setiap laju pengurangan ruang terbuka hijau menyebabkan peningkatan suhu udara dan sebaliknya. Hal ini membuktikan bahwa ruang terbuka hijau mempunyai fungsi menurunkan suhu udara sehingga dapat memperbaiki iklim mikro (ameliorasi iklim).

(19)

2.4.4. Manfaat Ruang Terbuka Hijau

Manfaat dari ruang terbuka hijau menurut Brack (2002) yaitu dapat menjaga kondisi iklim ekstrim perkotaan, menanggulangi pulau bahang kota, meningkatkan kenyamanan, kesehatan, keindahan, kualitas udara, mengurangi konsumsi listrik untuk pemanasan dan pendinginan, meningkatkan nilai properti, mempunyai nilai ekonomi, serta dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat perkotaan. Brack (2002) melakukan penelitian mengenai manfaat hutan kota di dataran Canberra, Australia. Pembangunan hutan kota di dataran Canberra dengan penanaman secara besar-besaran yang dilakukan sejak tahun 1911 yang sebelumnya merupakan area terbuka akibat pembukaan lahan untuk ternak domba, telah memberikan manfaat meningkatkan nilai estetika dan memperbaiki kondisi iklim ekstrem. Brack (2002) menghitung nilai ekonomi pohon dengan mengestimasi ukuran pohon selama Komitmen Kyoto periode 5 tahun ke depan dengan menggunakan metode Decision

Information System for Managing Urban Trees (DISMUT). Dari perhitungan tersebut

diperkirakan 400.000 pohon di area tersebut mempunyai nilai karbon sebesar US $ 20-67 juta selama periode 2008-2012 atau $ 66 - $ 223/penduduk.

2.5. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat

Manusia sebagai bagian dari ekosistem sangat menentukan kondisi keseimbangan ekosistem perkotaan. Hal ini dijelaskan oleh Chiras (1985) yang menyatakan bahwa kondisi lingkungan ditentukan oleh beberapa faktor diantaranya : jumlah penduduk, konsumsi perkapita sumberdaya alam, teknologi, sosial, ekonomi, politik dan kebijakan. Kondisi sosial ekonomi masyarakat sangat menentukan kondisi lingkungan. Kondisi sosial dan tingkat ekonomi yang tinggi disertai pola konsumsi modern yang boros mengakibatkan masalah lingkungan lebih berat. Kearifan tradisional yang menempatkan manusia sebagai bagian dari ekosistem sudah bukan menjadi budaya masyarakat perkotaan. Hal ini mengakibatkan berbagai aktivitas manusia hanya terfokus pada pemanfaatan sumberdaya alam tanpa mempertimbangkan kelestarian fungs dan manfaatnya.

Chiras (1985) juga menyatakan bahwa kondisi sosial ekonomi masyarakat mempengaruhi permintaan (demand) akan sumberdaya alam termasuk kebutuhan akan energi bahan bakar fosil (batubara, minyak, gas). Semakin tinggi kondisi sosial ekonomi masyarakat cenderung akan semakin meningkatkan kebutuhan perkapita akan sumberdaya alam serta meningkatkan limbah dan pencemaran lingkungan.

(20)

Untuk mewujudkan sebuah kota menjadi kota hijau, harus diselaraskan antara peningkatan kondisi sosial ekonomi masyarakat dengan lingkungan. Oleh karena itu dibutuhkan pemahaman, persepsi dan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kondisi lingkungan.

Pernyataan Chiras (1985) ini didukung oleh Tashiro (2009) yang menyatakan bahwa untuk mewujudkan kota hijau perlu kerjasama dengan membuat jaringan yang baik dengan melibatkan masyarakat serta mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi, budaya, estetika serta aspek mental msayarakat. Hal ini berarti bahwa dalam pelaksanaannya perlu mendengar masukan serta peran masyarakat agar kota hijau dapat terlaksana dengan baik.

2.6. Kebijakan Kota Hijau 2.6.1. Analisis Kebijakan

Perencanaan dan pelaksanaan pembangunan kota sering tanpa dasar analisis kebijakan yang berorientasi pada akar masalah yang dihadapi kota tersebut sehingga kebijakan yang diterapkan tidak dapat menyelesaikan masalah dengan baik. Dunn (2003) memperkenalkan analisis kebijakan yang berorientasi pada masalah agar kebijakan yang dibuat sesuai sasaran. Tahapan analisis kebijakan menurut Dunn (2003) yaitu : perumusan masalah (definisi) untuk menghasilkan informasi mengenai kondisi-kondisi yang menimbulkan masalah kebijakan. Berikutnya adalah peramalan (prediksi) yaitu informasi mengenai konsekuensi dimasa datang dari penerapan alternatif kebijakan. Kemudian rekomendasi (preskripsi) yang merupakan informasi mengenai nilai atau kegunaan relatif dari konsekuensi dimasa depan dari suatu pemecahan masalah. Ketika kebijakan dilaksanakan, perlu dilakukan pemantauan (deskripsi) yang merupakan informasi tentang konsekuensi sekarang dan masa lalu dari diterapkannya alternatif kebijakan. Komponen penting lainnya adalah evaluasi yaitu informasi mengenai nilai atau kegunaan dari konsekuensi pemecahan masalah.

Hampir sama dengan pendapat Dunn (2003), Parsons (2001) juga menyatakan bahwa analisis kebijakan terdiri dari analisis determinasi kebijakan, analisis isi kebijakan, monitoring dan evaluasi, informasi untuk kebijakan dan advokasi kebijakan. Determinasi kebijakan adalah analisis yang berkaitan dengan pembuatan kebijakan (mengapa, kapan, dan untuk siapa kebijakan dibuat). Isi kebijakan merupakan deskripsi kebijakan termasuk perbaikan dan kaitan dengan kebijakan terdahulu. Monitoring dan evaluasi merupakan penilaian kinerja kebijakan yang

(21)

terkait dengan tujuan dan dampak kebijakan. Informasi untuk kebijakan adalah hasil analisis untuk memberikan informasi yang terkait dengan aktivitas pembuatan kebijakan. Sedangkan advokasi kebijakan merupakan hasil riset dan argumen yang digunakan untuk menentukan agenda kebijakan.

Prediksi merupakan salah satu tahapan analisis kebijakan yang diperkenalkan Dunn (2003). Tujuan dari prediksi adalah untuk mendapatkan informasi tentang perubahan di masa depan beserta konsekwensi atas kebijakan yang diterapkan sehingga dapat merencanakan dan menetapkan kebijakan terbaik dari beberapa alternatif kebijakan yang ada. Dunn (2003) juga menyatakan bahwa model sistem dinamik dapat digunakan untuk memprediksi kondisi di masa depan.

2.6.2. Pelaksanaan Kebijakan Kota Hijau 2.6.2.1. Kebijakan Kota Hijau di Swedia

Elander dan Lundgren (2005) menginformasikan bahwa kebijakan kota hijau telah diterapkan di kota-kota di Swedia (Stockholm, Goteborg, Malmo, dan Orebro). Kota-kota tersebut telah mengadopsi kebijakan kota hijau (green policy), termasuk kebijakan pentingnya konservasi keanekaragaman hayati. Dalam pelaksanaannya, pemerintah lokal Swedia membentuk jaringan kerjasama diantara instansi pemerintah, politikus, dan lembaga swadaya masyarakat. Dengan kerjasama ini dihasilkan prioritas masalah yang harus segera ditangani untuk dapat diputuskan sebagai kebijakan pemerintah daerah.

Permasalahan yang dihadapi kota-kota di Swedia adalah semakin menurunnya luas ruang terbuka hijau akibat berubah menjadi bangunan, jalan, dan lahan terbangun lain yang merupakan dampak dari semakin meningkatnya jumlah penduduk. Pencemaran udara dan material tutupan lahan perkotaan menyebabkan peningkatan abosorbsi energi panas sehingga meningkatkan suhu udara, keawanan, dan presipitasi. Sebaliknya menyebabkan menurunnya kelembaban udara serta kecepatan angin (Elander dan Lundgren 2005).

Kota Stockholm

Stockholm merupakan merupakan kota terbesar di Swedia yang mengalami defisit perumahan sehingga permintaan akan tempat tinggal serta tekanan terhadap lahan untuk memenuhi kebutuhan akan perumahan tinggi. Untuk mengatasinya, pemerintah daerah mewajibkan intitusi pemerintah melakukan pembangunan dengan

(22)

berdasar pada green policy. Pemerintah daerah juga mengangkat tenaga profesional yang kompeten di bidang ekologi yang disebar pada beberapa institusi. Selain itu juga untuk mengevaluasi kebijakan yang telah dan sedang dilaksanakan, pemerintah daerah juga menjaring masukan melalui pertemuan-pertemuan dan seminar-seminar dengan para ahli dan NGOs (Non Governmental Organization). Untuk mendapatkan dukungan masyarakat, selain melakukan sosialisasi program, juga dengan cara membuat beberapa kompetisi misalnya kompetisi halaman warga terbaik dengan kriteria keanekaragaman tanaman yang ditanam di halaman. Kompetisi ini merupakan kerjasama diantara pemerintah daerah dengan perusahaan perumahan.

Kota Goteborg

Goteborg merupakan kota terbesar kedua di Swedia, merupakan kota dagang dan industri. Di kota ini masih banyak sabuk hijau (green belt) dan taman-taman. Tetapi Kota Goteborg juga mengalami masalah mengenai penurunan luas ruang terbuka hijau akibat meningkatnya lahan terbangun termasuk meningkatnya kebutuhan akan jalan. Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah daerah mewajibkan program kota hijau untuk menjadi kebijakan beberapa institusi pemerintah daerah. Kantor perencanaan perkotaan; kantor konservasi lingkungan hidup; kantor museum, taman dan sumberdaya alam, telah memasukkan konsep kota hijau dalam perencanaan dan pelaksanaan programnya. Bahkan perusahaan real estate dan partai dalam kampanye-kampanyenya telah memasukkan konsep kota hijau. Organisasi voluntary (suka rela) di Kota Goteborg, bersama-sama kelompok masyarakat yang peduli terhadap lingkungan hidup, membentuk kerjasama permanen dan ad hoc pada saat muncul masalah lingkungan yang dihadapi kota tersebut.

Kota Malmo

Malmo adalah kota ketiga terbesar di Swedia. Kota tersebut disebut sebagai kota taman, di perbatasan kota dikelilingi area pertanian. Pembangunan terus berjalan dengan memperhatikan keberadaan ruang terbuka hijau. Ruang terbuka hijau dikembangkan menurut karaktaristik kondisi alam daerah setempat. Daerah (district) membuat peta derajat kelangkaan species di daerah masing-masing, tetapi pelaksanaan kebijakan daerah masih belum memenuhi harapan. Diskusi mengenai isu hijau (green issues) antara masyarakat, NGOs, dengan pemerintah daerah, hanya bersifat sporadis dan konsep hijau tidak menjadi fokus debat dalam kampanye politik.

(23)

Banyak perkantoran dan juga partai kekurangan ahli lingkungan hidup. Meskipun demikian, pemerintah saat ini mempunyai target untuk mewujudkan Kota Malmo sebagai kota kebun (the city gardener).

Kota Orebro

Orebro merupakan kota ketujuh terbesar di Swedia. Sekeliling kota terdapat area pertanian lahan datar serta hutan yang tersisa berupa hutan berdaun lebar serta hutan yang saat-saat tertentu menggugurkan daun. Kota Orebro sebelumnya merupakan sebuah kota kecil industri, berkembang menjadi pusat perdagangan, pendidikan, rumah sakit, dan transportasi. Pemerintah daerah bersama dewan kota meletakkan konsep hijau dalam penyusunan perencanaan pembangunan. Dengan demikian semua perkantoran pemerintah daerah mengimplementasikan kebijakan tersebut. Saat ini pemerintah kota mengembangkan perencanaan hijau terhadap lansekap kota, mendukung konsep kota hijau berdasarkan tiga dasar yaitu sosial, budaya dan ekologi. Departemen yang bertanggungjawab terhadap pelaksanaan konsep hijau yaitu Departemen Teknik dan Departemen Perencanaan Kota. Dalam proses penyusunan perencanaan, ahli ekologi dan ahli biologi, pada tahun 2997 ditransfer dari Kantor Jasa Lingkungan Hidup ke Departemen Perencanaan Kota. Non Governmental Organization sangat aktif berperan dalam penyusunan perancanaan. Masyarakat merasakan manfaat dan menghargai nilai dari lingkungan yang dikelola dengan baik.

Secara umum keempat kota di Swedia (Stockholm, Goteborg, Malmo,Orebro) mempunyai sistem perencanaan hijau (green policy), melaksanakan pembangunan hijau, serta mempunyai peraturan legal serta personil untuk mendukung pelaksanaan pembangunan hijau meskipun pada masing-masing kota mempunyai variasi kebijakan yang berbeda-beda.

2.6.2.2. Kebijakan Kota Hijau di Kota Guangzhou, Cina

Pemerintah Daerah Kota Guangzhou telah mengadopsi konsep kota hijau dalam melaksanakan pembangunan. Untuk mewujudkan kota hijau, pemerintah daerah membuat green policy untuk mengatasi masalah utama yang dihadapi yaitu adanya pulau bahang kota (urban heat island). Weng dan Yang (2004) menyatakan bahwa masalah yang dihadapi Kota Guangzhou adalah terjadinya pulau bahang kota (urban

heat island) akibat terus meningkatnya lahan terbangun. Pada tahun 1960, lahan

(24)

tahun 1984. Selama 24 tahun, lahan terbangun meningkat sebesar 95,4 km2 atau 149%. Tahun 1989, lahan terbangun terus mengalami peningkatan menjadi 194,8 km2, dan pada tahun 1997 menjadi 295,2 km2 atau mengalami peningkatan 51,5% dalamwaktu delapan tahun. Akibat peningkatan lahan terbangun menyebabkan area urban heat

island dengan perbedaan suhu udara di pusat kota dengan area perdesaan berkisar

antara 0,2 sampai dengan 4,7 °C tergantung kondisi cuaca.

Penelitian Weng dan Yang (2004) mengenai kaitan antara jenis penutupan lahan dengan suhu udara yang dilakukan pada tahun 1997, dijelaskan bahwa jenis penutupan lahan berupa hutan menciptakan suhu udara yang paling rendah dibandingkan jenis penutupan lahan lainnya. Suhu udara di area hutan pada tahun 1997 adalah 23,82 °C; suhu udara di area perairan 24,02 °C, tanaman pertanian 25,17 °C; tanah terbuka (tanah gundul) 26,06 °C; dan lahan terbangun 27,07 °C.

Untuk mewujudkan kota hijau, Pemerintah Daerah Kota Guangzhou membuat kebijakan dengan target Kota Guangzhou sebagai kota bunga serta telah menambah ruang terbuka hijau dari 37,36 km2 pada tahun 1978, meningkat menjadi 83,5 km2 pada tahun 1999. Tetapi ruang terbuka hijau yang diutamakan adalah berupa taman dengan beraneka macam bunga, ruang terbuka hijau berupa pohon sangat kurang sehingga kebijakan ini tidak efektif dalam mengatasi masalah pulau bahang kota. Berdasarkan penelitian Weng dan Yang (2004) disarankan agar kebijakan Pemerintah Daerah Kota Guangzhou dapat diperbaiki agar lebih mengembangkan hutan kota karena lebih efektif dan efisien dalam mengatasi pulau bahang kota.

2.6.2.3. Kebijakan Kota Hijau di Kota Canberra, Australia

Canberra merupakan ibu kota Australia. Awal mula daerah ini merupakan hutan, yang mulai tahun 1820 peternak membuka hutan dan hanya menyisakan hutan yang tidak luas. Berdasarkan laporan Brack (2002) disebutkan bahwa sejak tahun 1990 pemerintah membuat kebijakan penanaman secara besar-besaran pada area terbuka dengan menanam sebanyak 400.000 bibit pohon. Pemerintah juga membuat model sebagai dasar pengambilan keputusan yaitu program Decision Information System for Managing Urban Trees (DISMUT) yang merupakan panduan dalam manajemen hutan kota. Program DISMUT berisi prakiraan pertumbuhan jenis-jenis tanaman, penentuan lokasi dan waktu penanaman yang sesuai, cara melakukan pemangkasan dan pemeliharaan pohon. Selain itu DISMUT juga dapat digunakan untuk memprediksi

(25)

nilai dari hutan kota serta prakiraan kemampuan hutan kota dalam menurunkan gas rumah kaca.

Program DISMUT berupa modelling sehingga dapat digunakan untuk menentukan kebijakan dan keputusan pemerintah dari beberapa pilihan kebijakan. Bahkan dalam model DISMUT dapat diprakirakan keuntungan dari manajemen hutan kota dari mitigasi polusi udara dan sequestrasi karbon oleh hutan kota sehingga dapat dihitung keuntungan dari penurunan konsumsi energi untuk pendinginan (AC) dan pemanas ruangan di musim dingin. Lebih dari 50% hutan kota di Canberra berupa hutan yang selalu hijau (evergreen), melalui kemampuannya dalam mengintersepsi radiasi surya serta evapotranspirasi menyebabkan pengaruh positif menurunkan suhu udara sehingga menurunkan biaya konsumsi enrgi untuk meningkatkan kenyamanan lingkungan. Berdasarkan program DISMUT dapat diperkirakan keuntungan mengelola hutan kota akan dapat menghemat biaya selama periode tahun 2008 sampai dengan tahun 2012, adalah sebesar US$ 20 sampai dengan 67 juta.

2.6.2.4. Kebijakan Kota Hijau di Kota Lisbon, Portugal

Alcoforado et al. (2009) menyatakan bahwa untuk menciptakan pembangunan kota berkelanjutan (kota hijau), diperlukan pengetahuan tentang iklim dalam proses penyusunan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan kota. Pengetahuan akan iklim sangat penting untuk menangani permasalahan perkotaan terutama masalah urban heat island (UHI) dan staganasi aliran udara. Metode yang digunakan adalah dengan melakukan pemetaan tutupan lahan Kota Lisbon dengan menggunakan sistem informasi geografi, memetakan kekasaran permukaan, kepadatan bangunan, serta menganalisis arah dan kecepatan angin.

Berdasarkan penelitian Alcoforado et al. (2009), diketahui bahwa rata-rata perbedaan suhu udara akibat UHI sebesar 3 °C. Suhu udara tertinggi terdapat di pusat kota dengan lahan terbangun yang padat dan luas. Aliran massa udara yang buruk di perkotaan meningkatkan efek buruk UHI. Efek negatif ini yaitu meningkatkan ketidaknyamanan, menimbulkan masalah kesehatan, menimbulkan polusi oksidan, seta meningkatkan konsumsi energi dan air.

Pemerintah Daerah Kota Lisbon membuat kebijakan pengelolaan lingkungan untuk mengatasi masalah UHI dan penataan ventilasi udara kota dengan membuat pedoman pengelolaan lingkungan secara sederhana agar mudah dipahami dan dilaksanakan. Pedoman disusun berdasarkan kepadatan lahan terbangun, kekasaran

(26)

permukaan kota, serta topografi. Penataan kota Lisbon adalah sebagai berikut : 1) Mencegah peningkatan lahan terbangun di area lembah, 2) Rasio antara tinggi (H) bangunan dengan lebar (W) jalan tidak lebih dari 1, 3) Memaksimalkan pengembangan ruang terbuka hijau termasuk taman atap, 4) Apabila melakukan renovasi bangunan diusahakan menggunakan warna terang serta bahan bangunan dengan absorbsi termal yang rendah, 5) membangun jalur ventilasi berupa jalur hijau di sepanjang jalan raya serta di sekeliling batas kota 6) mencegah pendirian bangunan tinggi yang paralel dengan pantai karena menahan pendinginan udara oleh penetrasi aliran udara dari arah pantai.

Secara umum kebijakan Pemerintah Daerah Kota Lisbon dapat disimpulkan bahwa pengelolaan lingkungan untuk mengatasi UHI dan stagnasi aliran udara dapat dilakukan dengan : 1) Mempertahankan ruang terbuka hijau yang telah ada, 2) Membangun ruang terbuka hijau semaksimal mungkin dengan memanfaatkan ruang kosong yang ada, 3) ruang terbuka hijau yang dibangun sebaiknya terdiri dari vegetasi yang beraneka ragam (keanekaragaman hayati tinggi) serta memepertimbangkan kondisi biofisik, sosial dan budaya, 4) sebaiknya memperhatikan struktur ruang terbuka hijau (kolam, hamparan rumput, tanaman semak, pohon tinggi). Pengelolaan lingkungan demikian akan menciptakan kondisi iklim mikro yang baik serta memperbaiki kondisi atmosfer kota.

Gambar

Gambar 2  Pembangunan kota hijau berbasis green growth.
Gambar 4  Hasil observasi temperatur global.

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Matz (1998) konsep dasar mengenai syarat membentuk dan mempertahankan sistem akuntansi pertanggungjawaban : a) Titik awal dari sistem akuntansi

seleksi umum untuk pekerjaanpengadaan barang dan jasa yang diusulkan oleh Bagian Teknis terkait dan anggarannya telah disetujui Direksi, sesuai dengan prosedur dan ketentuan

Melalui sistem informasi sport science, data nilai performa kesehatan fisik pemain sepakbola yang dihasilkan dari banyak variabel yang tersebar secara keseluruhan dapat

Kegiatan pengendalian gulma melalui pengaturan frekuensi dan pemberian dosis nitrogen yang berbeda memberikan pengaruh yang nyata pada komponen pertumbuhan tanaman ubi jalar

bergantung pada buku teks. Selain itu media Pop- Up Book praktis untuk digunakan, mudah dibawa, tampilan berbentuk dua dan tiga dimensi yang dapat menambah semangat belajar

Berdasarkan tabel 5.11 dapat diketahui hasil uji ANOVA atau uji F dapat dilihat dari nilai F hitung sebesar 2.270 dengan probabilitas sebesar 0.020. Karena probabilitas

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di beberapa desa di Kecamatan Batang Gansal seperti Desa Talang Lakat, Desa Usul dan Desa Siambul menyangkut beberapa hal tentang

Skripsi ini adalah hasil dari sebuah penelitian yang di dalamnya menjelaskan tentang efektifitas kegiatan Baca Tulis Al-Qur’an dalam rangka meningkatkan