• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Penelitian Sejenis yang Relevan 1. Penelitian yang berjudul Alih kode dan Campur Kode Santri dan Ustad di - ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA TUTURAN GURU DAN SISWA DALAM PROSES PEMBELAJARAN BAHASA ARAB KELAS XI JURUSAN BAHASA DI SMA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Penelitian Sejenis yang Relevan 1. Penelitian yang berjudul Alih kode dan Campur Kode Santri dan Ustad di - ALIH KODE DAN CAMPUR KODE PADA TUTURAN GURU DAN SISWA DALAM PROSES PEMBELAJARAN BAHASA ARAB KELAS XI JURUSAN BAHASA DI SMA"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

8

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Penelitian Sejenis yang Relevan

1. Penelitian yang berjudul Alih kode dan Campur Kode Santri dan Ustad di Pondok Pesantren Al-Manshuriyah, Kabupaten Pemalang pada tahun 2008 oleh Linda Argiyanti dari Universitas Muhammadiyah Purwokerto.

Penelitian tersebut bertujuan untuk mendeskripsikan macam dan proses terjadinya alih kode dan campur kode. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa tuturan Santri dan Ustad di pondok pesantren Al- Manshuriyah Kabupaten Pemalang. Jenis penelitian ini termasuk penelitian deskriptif kualitatif. Pengumpulan data menggunakan metode simak, dengan teknik dasar berupa teknik sadap, dilanjutkan dengan teknik Simak Bebas Libat Cakap (SBLC). Teknik dasar data yang digunakan adalah teknik catat dan teknik catat sebagai teknik lanjutan. Data kemudian dianalisis berdasarkan jenis kode, macam alih kode, campur kode, faktor penyebab alih kode, campur kode tingkat tuturan bahasa Jawa dengan metode agih dan teknik dasar Bagi Unsur Langsung (BUL). Teknik analisis selanjutnya adalah teknik subsitusi untuk menganalisis data alih kode serta teknik sisip untuk menganalisis campur kode.

2. Penelitian dengan judul Alih Kode dan Campur Kode pada Tuturan Guru Bahasa Indonesia dan Matematika dalam Proses Belajar Mengajar Siswa Kelas VII di SMP Negeri 2 Kalibagor, Kecamatan Kalibagor Kecamatan Banyumas tahun pelajaran 2009 oleh Abdul Rokhmandari Universitas Muhammadiyah Purwokerto

(2)

9

deskriptif kualitatif. Data yang digunakan peneliti berupa tuturan guru bahasa Indonesia dan Matematika. Pengumpulan data menggunakan metode simak dengan teknik lanjut, yaitu Teknik Simak Bebas Libat Cakap (SBLC). Selanjutnya, data yang sudah terkumpul diklasifikasi berdasarkan bentuknya dan tahap terakhir menganalisa data yang sudah diklasifikasikan berdasarkan dialek dan ragam bahasa.

Berdasarkan beberapa kajian penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa penelitian ini berbeda dengan penelitian Linda Argiyanti dan Abdul Rokhman. Adapun perbedaannya terletak pada sumber data. Sumber data dalam penelitian Linda Argiyanti berupa tuturan yang mengandung alih kode dan campur kode bahasa Jawa antara santri dan ustad di pondok pesantren Al- Manshuriyah, sedangkan penelitian yang peneliti lakukan berupa tuturan yang mengandung alih kode dan campur kode pada tuturan guru dan siswa dalam proses pembelajaran Bahasa Arab kelas XI Jurusan Bahasa di SMA Islam Ta‟allumul Huda Bumiayu. Begitu pula sumber data dalam penelitian Abdul Rokhman berupa tuturan guru bahasa Indonesia dan Matematika dalam proses belajar mengajar siswa kelas VII di SMP Negeri 2 Kalibagor, Kecamatan Banyumas berbeda dengan penelitian yang peneliti lakukan.

B. Bahasa

1. Pengertian Bahasa

(3)

10

(2001: 1), yaitu bahasa adalah alat komunikasi antara masyarakat yang berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Menurut Chaer dan Agustina (2004: 11), bahasa adalah sebuah sistem, artinya bahasa itu dibentuk oleh sejumlah komponen yang berpola secara tetap dan dapat dikaidahkan. Nababan (1984:1), menjelaskan bahwa bahasa merupakan salah satu ciri khas manusia yang membedakannya dari makhluk-makhluk lain. Menurut Hermawan (2014: 8), bahasa adalah realitas yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan tumbuh kembangnya manusia pengguna bahasa itu. Realitas bahasa dalam kehidupan ini semakin menambah kuatnya eksistensi manusia sebagai makhluk berbudaya dan beragama.

Dari beberapa pendapat ahli di atas, penulis menyimpulkan bahwa bahasa adalah alat komunikasi yang dipakai oleh manusia, yang berupa simbol-simbol bunyi, yang dihasilkan alat ucap manusia. Bahasa itu bersistem menjadi ciri manusia yang membedakannya dari makhluk lain. Bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang bersifat arbitrer atau bebas dan terbentuk dari sejumlah komponen berpola tetap serta dapat dikaidahkan. Bahasa digunakan untuk berinteraksi dengan anggota masyarakat. Bahasa memudahkan seseorang dalam berkomunikasi.

2. Fungsi Bahasa

(4)

11

a. Dilihat dari sudut penutur, bahasa itu berfungsi personal atau pribadi. Maksudnya, penutur menyatakan sikap terhadap apa yang dituturkannya. Penutur bukan hanya mengungkapkan emosi lewat bahasa, tetapi juga memperlihatkan emosi sewaktu menyampaikan tuturannya dan pendengar juga dapat menduga penutur sedih, marah, atau gembira.

b. Dilihat dari segi pendengar atau lawan bicara, bahasa itu berfungsi direktif, yaitu mengatur tingkah laku pendengar. Bahasa tidak hanya membuat seseorang melakukan sesuatu, tetapi melakukan kegiatan yang sesuai dengan yang diinginkan pembicara.

c. Dilihat dari segi kode yang digunakan, bahasa berfungsi metalingual atau metalinguistik, yakni bahasa itu digunakan untuk membicarakan bahasa itu

sendiri.

d. Dilihat dari segi amanat (message) yang akan disampaikan bahasa itu bersifat imajinatif. Fungsi imajinatif ini biasanya berupa karya seni (puisi, cerita, dongeng, lelucon) yang digunakan untuk kesenangan penutur maupun pendengarnya.

(5)

12

3. Tinjauan Umum tentang Bahasa Arab

Bahasa Arab adalah salah satu jenis bahasa Semit, yaitu bahasa Arab kuno yang sudah termasyhur berada di Jazirah ujung Asia barat. Bahasa Arab berasal dari keturunan Sam bin Nuh yang bersumber di ujung Asia Barat, kemudian berkembang dan tersebar luas ke seluruh penjuru bumi ini melalui dua cara, yaitu: (1) melalui peperangan, kekerasan, pertengkaran, pembunuhan, perkosaan, dan (2) melalui penyebaran agama, ilmu pengetahuan pendidikan, pengajaran, moral, perdamaian, perekonomian, perdagangan (Shadry, 1980:7). Bahasa Arab adalah bahasa yang memiliki kesatuan utuh dan kuat (Hermawan, 2014: 71). Dalam bahasa Arab biasanya akar suatu kata akan melahirkan banyak kata yang lain. Bahasa Arab berdiri kokoh dan tidak mudah tergoyahkan. Ini menunjukkan bahwa bahasa Arab bersifat dinamis. Dinamika dan kekuatan bahasa Arab ditopang oleh standar yang keabsahannya dapat dipertanggungjawabkan sampai kini. Standar itu tiada lain, yaitu Alquran. Bahasa Alquran tidak pernah lapuk ditelan waktu, tidak lekang dimakan zaman, dan tidak pernah berubah walaupun berbeda tempat.

Bahwa bahasa Arab sangat penting bagi manusia, kiranya tidak perlu diragukan lagi. Hal ini dapat dibuktikan dengan menunjukkan pemakaian bahasa Arab dalam aktivitas sehari-hari atau dalam pelaksanaan ibadah seperti halnya shalat. Dalam proses belajar mengajar, bahasa Arab juga dipakai oleh semua guru. Dalam membuka pelajaran biasanya guru menggunakan bahasa Arab, yakni ketika mengucapkan salam. Semua itu merupakan suatu tanda bahwa bahasa Arab sangatlah penting untuk kita pelajari dan kita lafalkan.

(6)

13

komunikasi. Setiap bahasa memiliki karakteristik tersendiri yang membedakannya dari bahasa yang lain. Karakteristik merupakan kekuatan yang bahkan dalam hal tertentu tidak ada tandingannya. Demikian juga dengan bahasa Arab. Bahasa Arab memiliki sejumlah karakteristik yang membedakannya dari bahasa lain. Karakter tersebut adalah sebagai berikut:

a. Jumlah abjad yang sebanyak 28 huruf dengan makhrijul (tempat keluarnya huruf) tidak ada pada bahasa yang lainnya.

b. I‟rab, yakni sesuatu yang mewajibkan keberadaan akhir kata pada keadaan tertentu, baik itu rafa‟, nashab, jazm, dan jar yang terdapat pada isim (kata benda)

dan juga fi‟il (kata kerja).

c. Ilmu Arudl (ilmu notasi syair) yang mana dengan ilmu ini sya‟ir berkembang dengan sempurna.

d. Bahasa Ammiyah dan Fush-ha, Ammiyah dipergunakan dalam interaksi jual beli atau komunikasi dalam situasi tidak formal, sedangkan fush-ha adalah bahasa sastra dan pembelajaran, bahasa resmi yang dipergunakan dalam percetakan. e. Adanya huruf “dhad” yang tidak ada pada bahasa yang lainnya.

f. Kata kerja dan bentuk gramatikal yang digunakan selalu berubah sesuai dengan subjek yang berhubungan dengan kata kerja tersebut.

g. Tidak adanya kata yang bersyakal dengan syakal yang sulit dibaca, seperti “fi-u-la”.

h. Tidak adanya kata yang mempertemukan dua huruf mati secara langsung. i. Sedikit sekali kata-kata yang terdiri dari dua huruf (al-alfadz al al tsuna‟iyyah). j. Tidak adanya empat huruf yang berharokat secara terus-menerus, disamping

(7)

14

4. Pembelajaran Bahasa Arab

Menurut Rahyubi (2012: 6), pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik supaya dapat terjadi proses pemerolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan kemahiran serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta didik. Pembelajaran juga dapat diartikan sebagai upaya membelajarkan siswa atau upaya membantu siswa dalam memperoleh informasi, ide, keterampilan, nilai, cara berpikir, sarana untuk mengekspresikan diri, dan cara-cara bagaimana belajar yang baik. Dalam proses pembelajaran yang baik perlu adanya penciptaan sistem lingkungan yang mendukung. Penciptaan sistem lingkungan berarti menyiapkan kondisi lingkungan yang kondusif bagi peserta didik. Kondisi ini dapat berupa sejumlah tugas-tugas yang harus dikerjakan siswa, persoalan yang menuntut supaya siswa memecahkannya, dan seperangkat keterampilan yang perlu dikuasai siswa. Termasuk di dalamnya ada sejumlah informasi dan pengetahuan serta keterampilan yang perlu dikuasai peserta didik.

(8)

15

Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik supaya dapat terjadi proses pemerolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta didik. Dengan kata lain, pembelajaran adalah proses untuk membantu peserta didik supaya dapat belajar dengan baik. Proses pembelajaran dialami manusia sepanjang hayat, serta berlaku dimana pun dan kapan pun. Jadi, pembelajaran terjadi adanya interaksi antara guru dengan peserta didik. Menurut Suharsono dan Retnoningsih (2008: 23), pembelajaran berasal dari kata dasar “ajar” yang ditambah dengan awalan “pe-” dan akhiran “-an”

menjadi pembelajaran yang berarti proses, perbuatan, cara mengajar atau mengajarkan sehingga anak didik mau belajar. Menurut Bahaudin (dalam Hermawan, 2014: 32), pembelajaran adalah proses untuk membantu peserta didik supaya dapat belajar dengan baik. Hamalik (2007: 57) mengungkapkan pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi mencapai tujuan pembelajaran.

(9)

16

Sejalan dengan pengertian pembelajaran di atas, Hermawan (2014: 32) menyatakan bahwa pembelajaran Bahasa Arab adalah upaya yang dilakukan guru supaya terjadi proses pembelajaran pada siswa yang memungkinkan terjadinya pemerolehan pengetahuan dan kemahiran berbahasa Arab. Dalam upaya membelajarkan siswa kepada bahasa Arab, guru sebagai fasilitator bertugas mengorganisasikan berbagai unsur untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Fasilitator disini berperan sebagai pendidik dengan segala persyaratan yang harus dimilikinya dan kasih sayang serta kepedulian yang harus dilimpahkan kepada peserta didiknya sehingga melahirkan kreativitas dan prodiktivitas (Hermawan, 2014: 32). Selain sebagai fasilitator, guru juga berperan sebagai contoh penggunaan bahasa Arab. Penggunaan bahasa dalam proses pembelajaran antara lain menerapkan dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Arab dengan tujuan supaya siswa bisa memahami tuturan guru selama proses pembelajaran berlangsung. Bila guru tidak menggunakan secara bergantian atau mencampurkan bahasa Indonesia dengan bahasa Arab, siswa merasa kesulitan dalam memahami tuturan guru tersebut. Oleh karena itu, alih kode dan campur kode sangat diperlukan dalam interaksi belajar mengajar.

C. Kedwibahasaan

(10)

17

secara populer merupakan kemampuan berbicara dua bahasa oleh seseorang. Menurut Mackey (dalam Pranowo, 1996: 7-8), kedwibahasaan adalah pemakaian yang bergantian dari dua bahasa atau lebih. Menurut Tarigan (1988: 2), kedwibahasaan adalah orang yang dapat berbicara dalam dua bahasa, seperti bahasa nasional dan bahasa asing, bahasa daerah dan bahasa nasional, dan sebagainya. Menurut Overbeke (dalam Tarigan, 1988: 4), kedwibahasaan adalah komunikasi dua arah yang efisien antara dua atau lebih yang berbeda menggunakan dua sistem linguistik yang berbeda. Jadi, dengan mengetahui pendapat dari beberapa ahli tentang kedwibasaan dapat disimpulkan bahwa kedwibahasaan adalah kemampuan seseorang dalam menggunakan dua bahasa untuk berinteraksi dengan orang lain.

D. Alih Kode

1. Pengertian Alih Kode

(11)

18

dan terjadi pada tataran klausa atau kalimat. Menurut Nababan (1991: 31), alih kode merupakan suatu kejadian ketika seorang penutur beralih dari suatu ragam fungsiolek ke ragam lain, atau dari satu dialek ke dialek lain.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa alih kode merupakan peristiwa pergantian dari satu kode ke kode yang lain dalam suatu tindak tutur. Kode tersebut bisa berupa bahasa, dialek dan ragam. Peristiwa alih kode dilakukan oleh seorang penutur dalam berkomunikasi karena adanya situasi dan maksud tertentu. Dengan adanya maksud dan situasi tertentu penutur akhirnya beralih kode dengan tujuan supaya lawan tutur lebih memahaminya. Pergantian atau peralihan tersebut dapat disadari atau tidak disadari oleh penutur. Seorang penutur berpindah dari satu kode kepada kode yang lain, bergonta-ganti secara relatif cepat dan terjadi pada tataran klausa atau kalimat. Untuk lebih memperjelas tentang pengertian alih kode maka peneliti mencantumkan contoh tuturan alih kode, yaitu sebagai berikut:

(1) Guru : “Minggu kemarin kita sudah mempelajari tentang perkenalan.” (2) Siswa : “Ya Abi! Jumat lalu Ikbal dan Ica melakukan perkenalan Abi.” (3) Siswa : “Iya Abi! katanya sih mau dijodohkan, sebentar lagi ada yang

mau nikah ini ha ha ha.” (4) Guru : “Usqotu!

“Diam!‟‟

(5) Guru : “Ija‟l kalimah ismu tafdil!” „Buatlah kalimat kata sifat!‟

(12)

19

2. Macam-Macam Alih Kode

Suwito (1995: 81), menyebutkan bahwa alih kode ada dua macam, yaitu alih kode intern dan alih kode ekstern. Alih kode intern, yaitu alih kode yang berlangsung antara bahasa sendiri seperti dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa atau sebaliknya. Alih kode ekstern, yaitu alih kode yang terjadi antara bahasa sendiri dengan bahasa asing.

a. Alih kode intern

Alih kode intern yaitu alih kode yang berlangsung antara bahasa daerah dalam suatu bahasa nasional yaitu bahasa Indonesia, antar bahasa daerah, atau antara beberapa ragam dan gaya terdapat dalam suatu dialek. Seperti dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa atau sebaliknya. Masyarakat Indonesia sering kali menggunakan alih kode intern dalam berkomunikasi, yaitu dari bahasa Indonesia ke bahasa daerah atau sebaliknya. Hal itu disebabkan masyarakat Indonesia umumnya masyarakat bilingual. Alih kode tersebut digunakan oleh penutur tergantung pada situasi dan kondisi tertentu. Untuk memperjelas tentang pengertian alih kode intern maka peneliti mencantumkan contoh alih kode intern, yaitu sebagai berikut:

(1) Guru : “Coba Ayu buat kalimat ismu tafdil! (2) Siswa : “Pulpen lebih mahal daripada tas.”

(3) Guru : “Ya pulpene luwih larang pulpene 30 jutaan, tase tas kresek dadi murah.

„Ya pulpennya lebih mahal, pulpen harga 30 juta, tasnya kantong plastik jadi murah.”

(13)

20

yaitu “ya mungkin pulpene luwih larang pulpene 30 jutaan tase tas kresek dadi murah.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa arah alih kode yang ada dalam tuturan tersebut adalah dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa.

b. Alih Kode Ekstern

Alih kode ekstern yaitu alih kode yang terjadi antara bahasa daerah asli (daerah/Indonesia) dengan bahasa asing (Suwito, 1995: 81). Selain itu, Hymes (dalam Rahadi, 2001: 20), juga menjelaskan bahwa alih kode ekstern terjadi antara bahasa asli dengan bahasa asing, seperti alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris, Arab dan Bahasa asing lainnya. Masyarakat Indonesia sering kali menggunakan alih kode ekstern dalam berkomunikasi, terutama penutur yang menguasai bahasa asing di

samping menguasai bahasa Indonesia. Alih kode tersebut digunakan oleh penuturnya tergantung pada situasi dan kondisi tertentu. Jika alih kode intern berlangsung antara bahasa sendiri, seperti dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa atau sebaliknya, maka alih kode ekstern berlangsung antara bahasa sendiri dan bahasa asing, seperti dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris atau sebaliknya. Untuk memperjelas tentang pengertian alih kode ekstern maka peneliti mencantumkan contoh alih kode ekstern, yaitu sebagai berikut.

(1) Guru : “Kemarin siapa yah yang kecelakaan?” (2) Siswa : “Itu sih Pak, Gopar!”

(3) Guru : I know! „Saya tahu!‟ (4) Siswa : “Yes yes.”

(14)

21

beralih kode menggunakan bahasa Inggris, yaitu ”Yes yes”. Tuturan tersebut dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris.

3. Faktor Penyebab Timbulnya Alih Kode

Menurut Chaer dan Agustina (2004: 108), faktor penyebab timbulnya alih kode ada lima macam yaitu: (1) pembicara, (2) pendengar atau lawan tutur, (3) perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga, (4) perubahan dari formal ke informal, (5) perubahan topik pembicaran.

a. Pembicara

Seorang pembicara atau penutur seringkali melakukan alih kode untuk mendapatkan “keuntungan” atau “manfaat” dari tindakannya itu. Misal, Bapak A setelah beberapa saat berbicara dengan bahasa Indonesia kepada Bapak B yang mempunyai bahasa Ibu yang sama, dengan maksud supaya urusannya cepat selesai, penutur melakukan alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa daerahnya. Jika Bapak B ikut terpancing dan tetap menggunakan bahasa daerah, maka urusannya menjadi lancar. Tetapi, jika Bapak B tidak terpancing dan tetap menggunakan bahasa Indonesia kemungkinan urusannya tidak lacar. Rasa kesamaan satu masyarakat tutur tidak terbangun, maka menyebabkan tidak adanya rasa kesamaan satu masyarakat tutur. Dengan berbahasa daerah dalam bertutur akan lebih terasa keakrabannya daripada menggunakan bahasa Indonesia. Alih kode untuk mendapatkan “keuntungan” ini biasanya dilakukan oleh penutur dalam peristiwa dan mengharapkan

(15)

22

b. Pendengar atau Lawan Tutur

Lawan bicara atau lawan tutur dapat menyebabkan terjadinya alih kode, misalnya karena si penutur ingin mengimbangi kemampuan berbahasa si lawan tutur dalam hal ini biasanya kemampuan berbahasa lawan tutur kurang karena memang mungkin bukan bahasa pertamanya. Kalau lawan tutur itu berlatar belakang bahasa yang sama dengan penutur, maka alih kode yang terjadi hanya berupa peralihan varian, ragam, gaya, atau register. Kalau lawan tutur berlatar belakang bahasa yang tidak sama dengan lawan tutur, maka yang terjadi adalah alih bahasa. Sebagai contoh antara penjual baju di Malioboro dengan pembeli. Penjual kedatangan pembeli seorang turis asing yang mengajak bercakap-cakap dalam bahasa Indonesia, kemudian turis asing kehabisan kata-kata untuk terus berbicara dalam bahasa Indonesia, sehingga seorang penjual harus beralih kode dalam bahasa Inggris, akhirnya percakapan menjadi lancar kembali.

c. Perubahan Situasi dengan Hadirnya Orang Ketiga

(16)

23

d. Perubahan dari Formal ke Informal atau Sebaliknya

Status orang ketiga dalam alih kode juga menentukan varian yang harus digunakan. Misalkan, beberapa orang mahasiswa sedang duduk di depan ruang perkuliahan menggunakan bahasa santai. Datanglah Ibu Dosen dan ikut berbicara, maka mahasiswa beralih kode menggunakan bahasa Indonesia ragam formal. Dengan hadirnya orang ketiga yang berstatus dosen, mengharuskan mahasiswa untuk menggunakan ragam formal. Kecuali kalau dosen tersebut memulai dengan ragam santai, maka siswanya tidak mengharuskan menggunakan bahasa formal. Perubahan situasi bicara dapat menyebabkan terjadinya alih kode.

e. Perubahan Topik Pembicaraan.

Perubahan topik pembicaraan dapat juga menyebabkan terjadinya alih kode. Pada contoh percakapan antara sekretaris dan majikan, ketika topiknya tentang surat dinas maka percakapan itu berlangsung dalam bahasa Indonesia. Ketika topiknya bergeser pada pribadi orang yang dikirim surat, terjadilah alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa. Sebaliknya, ketika topik kembali lagi tentang surat dinas alih kode pun terjadi lagi dari bahasa Jawa ke bahasa Indonesia. Peristiwa alih kode tersebut, yaitu perpindahan topik yang menyebabkan terjadinya perubahan situasi dari situasi formal ke situasi situasi tidak formal.

Menurut Suwito (1995: 85), faktor-faktor penyebab alih kode adalah sebagai berikut: (1) penutur, (2) lawan tutur, (3) hadirnya penutur ketiga, (4) pokok pembicaraan, (5) membangkitkan rasa humor, dan (6) sekedar bergengsi.

1) Penutur

(17)

24

melakukan alih kode antara lain yakni, situasi formal yang terikat ruang dan waktu. Misalnya mengubah situasi yang resmi menjadi situasi tidak resmi ataupun sebaliknya. Misalnya apabila seorang siswa berbicara di kelas dengan guru (dalam situasi resmi), seharusnya mereka berbahasa Indonesia. Namun kenyataannya tidaklah demikian. Seorang siswa nampak berusaha untuk sedapat mungkin beralih kode dengan bahasa daerahnya. Usaha demikian dilakukan dengan maksud mengubah situasi, yaitu dari situasi resmi ke situasi tidak resmi.

2) Lawan Tutur

Setiap penutur pada umumnya ingin mengimbangi bahasa yang dipergunakan oleh lawan tuturnya. Di dalam masyarakat multilingual, seorang penutur mungkin harus beralih kode sebanyak lawan tutur yang dihadapinya. Ketika menghadapi lawan tutur, golongan alih kode mungkin berwujud alih varian, alih ragam, alih gaya atau alih register. Golongan alih kode tersebut mungkin terjadi dari bahasa daerah ke bahasa daerah lain yang dikuasainya, dari bahasa daerah ke bahasa nasional atau mungkin pula dari keduanya ke bahasa asing tertentu. Perubahan lawan tutur dapat menyebabkan terjadinya alih kode.

3) Hadirnya Penutur Ketiga

(18)

25

kemudian hadir orang ketiga yang menggunakan bahasa Indonesia, maka dua orang pertama tersebut akan beralih kode menggunakan bahasa Indonesia. Dengan tujuan untuk menghormati hadirnya orang ketiga saat melakukan percakapan.

4) Pokok Pembicaraan (Topik)

Pokok pembicaraan atau topik merupakan faktor yang termasuk dominan dalam menentukan terjadinya alih kode. Pokok pembicaraan dibedakan menjadi dua, yaitu: (1) pokok pembicaraan yang bersifat formal, misalnya masalah kedinasan, ketatanegaraan, keilmuan, kependidikan dan sebagainya. Topik pembicaraannya biasanya diungkapkan dengan bahasa baku dan disampaikan secara serius; (2) pokok pembicaraan yang bersifat informal misalnya, masalah kekeluargaan, persaudaraan, kesetiakawanan dan sebagainya. Topik pembicaraan disampaikan dengan bahasa tidak baku, gaya sedikit emosional dan serba seenaknya.

5) Membangkitkan Rasa Humor

(19)

26

6) Sekedar Bergengsi

Sebagian penutur ada yang beralih kode sekedar untuk bergengsi. Meskipun faktor situasi, lawan bicara, topik, dan faktor-faktor sosio-situasional tidak mendukung adanya alih kode, alih kode tetap dilakukan sehingga dalam percakapan tersebut tampak adanya pemaksaan, tidak wajar, dan cenderung tidak komunikatif. Alih kode demikian biasanya didasari oleh penilaian penutur bahwa bahasa yang satu lebih tinggi nilai sosialnya daripada bahasa yang lain. Misalnya, kebiasaan yang dilakukan anak-anak remaja pada saaat berbicara dan bergaul. Guru saat melakukan pembelajaran dengan menggantikan atau mecampurkan bahasa Inggris dengan tujuan supaya menjadi lebih bergengsi dalam bertutur.

Faktor penyebab alih kode menurut Subyakto (dalam Suwandi, 2008: 87) adalah sebagai berikut:

a. Keinginan untuk melibatkan orang lain dalam pembicaraan. Misalnya, ketika A dan B sedang berbicara dengan bahasa Jawa datanglah si C yang tidak bisa menggunakan bahasa Jawa. Karena A dan B ingin melibatkan C, mereka menggunakan bahasa Indonesia supaya dapat dipahami juga oleh si C.

b. Keinginan untuk mengelakkan penggunaan tingkat tutur tertentu (misal dalam bahasa Jawa) sehingga digunakan bahasa Indonesia yang dianggap netral.

c. Untuk menciptakan suasana yang lebih formal, seperti interaksi di kantor dan di sekolah, kita lebih suka menggunakkan bahasa Indonesia daripada bahasa daerah.

(20)

27

maksud-maksud tertentu, dan melakukan praktik berbahasa dengan adanya pengaruh untuk sekedar bergengsi. Peristiwa alih kode merupakan akibat dari keberadaan masyarakat yang dwibahasa atau dalam masyarakat multibahasa. Dalam masyarakat yang demikian, besar kemungkinan bahasa yang digunakan penutur dipengaruhi adanya unsur bahasa lain yang juga dikuasainya. Kondisi yang demikian juga dapat membawa akibat adanya hubungan saling ketergantungan antara bahasa satu dengan bahasa lain pada masyarakat tutur. Artinya, tidak akan mungkin seorang penutur dalam masyarakat tutur hanya akan menggunakan satu bahasa secara murni, dan tidak terpengaruh oleh bahasa lainnya.

E. Campur Kode

1. Pengertian Campur kode

(21)

28

yang berbicara dengan kode utama bahasa asing, yang memiliki fungsi keotonomiannya, mencampur bahasanya tersebut dengan unsur bahasa Indonesia yang berupa serpihan-serpihan tanpa fungsi atau keotonomian sebagai sebuah kode. Demikian pula sebaliknya. Menurut Suwandi (2008: 87), campur kode ialah penggunaan dua bahasa atau lebih atau ragam bahasa secara santai antara orang-orang yang kita kenal dengan akrab.

Jadi dapat disimpulkan bahwa campur kode merupakan suatu penggunaan dua bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak bahasa tanpa ada situasi bahasa tersebut. Dalam pencampuran dua bahasa atau lebih tersebut terdapat beberapa kode, yaitu kode utama sebagai kode dasar dan kode tambahan sebagai kode pendukung. Dalam hal ini tidak ada sesuatu dalam situasi berbahasa yang menuntut terjadinya campur kode. Campur kode dapat berupa pemakaian kata, klausa, idiom, sapaan, dan sebagainya. Untuk lebih memperjelas tentang pengertian campur kode maka peneliti mencantumkan contoh tuturan campur kode, yakni sebagai berikut:

(1) Guru : “Anda jangan menjadi orang yang kajogan.” „Anda jangan menjadi orang yang menyesal‟ (2) Siswa : “Iya Pak.”

(3) Guru : “Nanti menyesal kedepannya.”

(4) Guru : “Susan, sudah menunjukkan jam 9 kamu menulis di papan tulisnya sudah lanjutkan besok.”

(5) Siswa : “Na‟am Abi, istai qitu tinggal seditik lagi.” „Ya Abi, tunggu sebentar tinggal sedikit lagi!”

(22)

29

2. Macam-Macam Campur Kode

Berdasarkan unsur-unsur kebahasaan yang terlibat di dalamnya, Suwito (1985: 78), membedakan campur kode menjadi beberapa jenis yaitu sebagai berikut:

a. Penyisipan unsur-unsur yang berupa kata, adalah penyisipan unsur kata ke dalam sebuah kalimat. Kata adalah satuan gramatikal bebas yang terkecil (Ramlan, 1990: 7). Misalnya pada tuturan “pancen sering kali ana kata-kata seolah-olah Bahasa Arab itu kurang penting.” Kata “pacen” mempunyai makna padahal, sedangkan “ana” yang berarti „ada‟. Tuturan tersebut mengandung campur kode berupa penyisipan unsur yang berwujud kata. Pada tuturan “pancen sering kali ana kata-kata seolah-olah bahasa Arab itu kurang penting” terjadi campur kode berupa penyisipan unsur berwujud kata bahasa Jawa tingkat tutur ngoko ke dalam kode utama, yaitu bahasa Indonesia. Penyisipan yang berwujud kata, yaitu

“…pancen…” dan “ …ana…”

b. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud frasa, adalah penyisipan frasa ke dalam sebuah kalimat yang merupakan kode utama. Menurut Ramlan (2005: 138), frasa merupakan satuan gramatik yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak melampaui batas fungsi unsur klausa. Misalnya, pada tuturan “nah bel berbunyi saatnya kita mengakhiri pembelajaran hari ini.” Sampai ketemu pada “next day anak-anakku.” Tuturan tersebut terjadi campur kode berupa penyisipan unsur bahasa asing, yaitu bahasa Inggris berwujud frasa dalam tuturan bahasa Indonesia. Frasa, tersebut, yaitu“…next day…” Penutur dalam berbahasa Indonesia menyelipkan unsur bahasa Inggris. Hal tersebut disebabkan penutur tidak dapat secara tetap menggunakan bahasa Indonesia pada saat melakukan tuturan.

c. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud perulangan kata, adalah penyisipan unsur perulangan kata ke dalam sebuah kalimat sehingga kata tersebut mempunyai makna yang jelas. Perulangan kata adalah sebuah kata, sama halnya dengan kata-kata polimorfemis lainnya. Kata-kata-kata polimorfemis adalah sebuah kata-kata, maka antara kedua unsurnya tidak terdapat jeda. Kedua unsur itu diucapkan serangkai. Itulah sebabnya di dalam ejaan cara penulisannya perlu dirangkaikan dengan tanda hubung (Chaer, 1993: 101). Misalnya, “Saya tadi malam jam 9 backing-backingan orang”. Pada tuturan tersebut terdapat perulangan kata, yaitu pada kata “backing-backingan” merupakan kode dari bahasa Inggris yang mempunyai arti “membelakangi”.

(23)

30

e. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud klausa, adalah penyisipan unsur klausa ke dalam sebuah kalimat sehingga kalimat tersebut mempunyai makna yang jelas. Klausa adalah satuan gramatikal berupa kelompok kata yang sekurang-kurangnya terdiri dari subjek dan predikat, serta mempunyai potensi untuk menjadi kalimat (Kridalaksana, 1993: 110). Misalnya pada tuturan “Pemimpin sing bener ora

bakal korupsi, Itulah pemimpin yang kita harapkan”, yang mempunyai makna

„Pemimpin yang benar tidak mungkin korupsi, itulah pemimpin yang kita harapkan.‟ Unsur yang disisipkan terdiri dari S dan P. Kata “itulah” merupakan unsur S, sedangkan unsur P berupa “Pemimpin yang kita harapkan.” Pada tuturan tersebut terjadi campur kode berupa penyisipan unsur bahasa Indonesia berwujud klausa ke dalam tuturan bahasa Jawa. Pada kutipan tersebut penutur dalam berbahasa Jawa menyelipkan bahasa Indonesia. Hal tersebut disebabkan tidak dapat secara tetap menggunakan bahasa Jawa pada saat melakukan tuturan.

3. Faktor Penyebab Terjadinya Campur Kode

Suwito (1995: 90-91), mengemukakan beberapa alasan faktor terjadinya campur kode, yaitu antara lain: (a) identifikasi peranan, (b) identifikasi ragam, (c) keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan. Adapun faktor-faktor tersebut akan dijelaskan secara rinci sebagai berikut.

a. Identifikasi Peranan

(24)

31

Ukuran edukasional, maksudnya penggunaan campur kode untuk menunjukkan tingkat pendidikan penutur dan mitra tutur.

b. Identifikasi Ragam

Identifikasi ragam ditentukan oleh bahasa yang digunakan oleh penutur pada waktu melakukkan campur kode, yang akan menempatkannya pada hierarki status sosial tertentu. Misalnya, antara majikan dan pesuruh di lingkungan masyarakat Jawa. Dalam berkomunikasi dengan majikan, pesuruh menggunakan ragam bahasa yang lebih tinggi yaitu menggunakan tingkat tutur krama. Sebaliknya majikan akan berbicara pada pesuruh dengan ragam tingkat tinggi. Tahap ini merupakan upaya peneliti menangani data berupa macam dan faktor penyebab terjadinya alih kode dan campur kode yang terdapat pada tuturan guru dan siswa dalam proses pembelajaran Bahasa Arab kelas XI Jurusan Bahasa di SMA Islam Ta‟allulmul Huda Bumiayu.

c. Keinginan untuk Menjelaskan dan Menafsirkan

Referensi

Dokumen terkait

Musim tanam merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi hasil dalam usaha budidaya tanaman padi, penggunaan varietas unggul baru yang adaptif merupakan salah satu

Analisis kinerja jaringan WLAN (Wireless Local Area Network) di RS Surya Asih menekankan pada proses monitoring dan pengukuran parameter jaringan pada infrastruktur jaringan seperti

Faktor-faktor yang mempengaruhi penurunan pengrajin keset dan sapu ijuk di Desa Plosokandang Kecamatan Kedungwaru Kabupaten Tulungagung adalah bahan baku karena

Dari basil pengamatan dan pengukuran yang dilakukan diperoleh kesimpulan berikut, yaitu bahwa secara umum dapat dikatakan bah',a setelah beroperasi selama 10 tahun temyata

Perbedaan pendekatan audit berpeduli risiko dengan pendekatan audit konvensional adalah pada metodologi yang digunakan dimana auditor mengurangi perhatian pada pengujian transaksi

H0 adalah hipotesis yang menyatakan bahwa tidak ada perbedaan pada kadar profil lipid pada pasien penyakit ginjal diabetik dan penyakit ginjal non-diabetik

Diketahui oleh umum bahwa etnis Tionghoa yang tinggal di Indonesia tersebar di semua wilayah republik Indonesia, tetapi etnis Tionghoa yang tinggal di Jawa Timur

kemiskinan.Sehubungan dengan itu maka urgensi pelatihan ini adalah: (1) Meletakkan masyarakat sebagai penggerak pembangunan di tingkat desa dengan menggunakan modal yang