BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kesehatan jiwa menurut World Health Organization (WHO) adalah
berbagai karateristik positif yang menggambarkan keselarasan dan
keseimbangan kejiwaan yang mencerminkan kedewasaan kepribadian
(WHO, 2011).
(WHO, 2011) mendefinisikan kesehatan sebagai keadaan sehat fisik,
mental, dan sosial, bukan semata-mata keadaan tanpa penyakit. Orang
yang memiliki kesejahteraan emosional, fisik, dan sosial dapat memenuhi
tanggung jawab kehidupan, berfungsi dengan efektif dalam kehidupan
sehari-hari, dan puas dengan hubungan interpersonal dan diri mereka
sendiri (Videbeck, 2008).
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, sehat adalah dalam keadaan
bugar dan nyaman seluruh tubuh dan bagian-bagiannya. Bugar dan
nyaman adalah bersifat relatif karena bersifat subjektif sesuai dengan
orang yang merasakannya. Dalam hal ini kesehatan jiwa merupakan suatu
kondisi sehat emosional, pesikologis, dan sosial yang terlihat dari
hubungan interpersonal yang memuaskan, perilaku koping yang efektif,
kondisi dari yang positif, serta kesetabilan emosional (Jhonson, 2007
Kesehatan Jiwa adalah suatu keadaan sejahtera di kaitkan dengan
kebahagiaan, kegembiraan, kepuasan, pencapaian, optimis, atau harapan.
bagaimanapun juga istilah ini sulit untuk di definisikan, dan makna dapat
berubah apa bila dihubungkan dengan orang lain dan situasi kehidupan
tertentu. Beberapa pendapat menyatakan bahwa kesehatan jiwa bukanlah
konsep yang sederhana atau hanya tentang satu aspek dari perilaku.
Sebaliknya, kesehatan jiwa melibatkan sejumlah kriteria yang terdapat
dalam suatu rentang. Walaupun tidak ada yang mencapai ideal dalam
memenuhi semua kriteria, kebanyakan orang dapat mendekati optimal.
Kriteria sehat jiwa berikut ada enam kriteria sebagai indikator sehat jiwa:
Sikap positif terhadap diri sendiri, berkembang, aktualisasi diri dan
ketahanan diri, integrasi, otonomi, persepsi sesuai realitas, penguasaan
lingkungan, sikap positif terhadap diri sendiri meliputi penerimaan diri
sendiri dan kesadaran diri. Seseorang harus memiliki objektifitas tentang
dirinya dan aspirasi yang realistis dan perlu berubah sesuai usia. Orang
yang sehat juga harus mempunyai perasaan tentang identitas, kebutuhan,
rasa, memiliki, rasa aman dan kebermaknaan (Keliat, Suart & Pasaribu,
2016)
Jiwa yang sehat sulit didefinisikan dengan tepat. Meskipun demikin,
ada beberapa indicator untuk menilai kesehatan jiwa. Menniger (2010)
mendefinisikan orang yang sehat jiwanya adalah orang yang mempunyai
Patrick (2010) mendefinisikan orang yang sehat jiwa adalah orang yang
bebas dari gejala gangguan psikis, serta dapat berfungsi optimal sesuai apa
yang ada padanya. Clasuen (2010) mengatakan bahwa orang yang sehat
jiwa adalah orang yang dapat mencegah gangguan mental akibat berbagai
setresor, serta di pengaruhi oleh besar kecilnya stresor, intensitas, makna,
budaya, kepercayaan, agama, dan sebagainya. Kesehatan jiwa ini mulai
berkembang pesat karena menggunakan metode pelayanan public health
service, dalam hal ini peran perawat pembantu menjadi peran aktif dalam
tim kesehatan untuk mengobati (Farida, 2010).
Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi perasaan sejahtera secara
subjektif, suatu penilaian diri tentang perasaan mencangkup aspek konsep
diri, kebugaran dan kemampuan mengendalikan diri (Riyadi, Suyono dan
Teguh, 2009).
perilaku di tunjukan oleh individu dengan gangguan jiwa tentu tidak
sesuai dengan perilaku yang sewajarnya seperti pada individu normal pada
umumnya gangguan jiwa yang sering di alami oleh individu yaitu
skozofrenia dimana penyebabnya yaitu faktor genetik, virus, auto antibody
dan malnutrisi (Yosep, 2011)
Berdasarkan penelitian yang di lakukan oleh Dominingues et al (2009)
pasien skozofrenia mengalami gejala positif dan gejala negatif. Gejala
positif meliputi halusinasi, delusi, bicara dan perilaku tidak teratur, mereka
sosial, kondisi yang demikian menyebabkan gangguan fungsi diberbagai
segi.
Stress dan gangguan jiwa kini tengah melanda calon legislatif. Menurut
beberapa ahli ilmu jiwa, stress tersebut terjadi karena seorang individu
gagal memaknai kehidupan. Kita akan sehat jiwa jika kita memiliki jati
diri sebagai bangsa, bahkan ahli jiwa moderen menyarankan agar bangsa
tidak meninggalkan sifat-sifat religiusitas dan agama agar jiwa kita selalu
sehat. Akibat dari halusinasi pasien skozofrenia sering menyebabkan
terjadinya kemunduran dalam melakukan aktifitas sehari-hari, hilangnya
motivasi dan tanggung jawab, menghindari dari kegiatan dan hubungan
sosial. Halusinasi yang mengancam dapat beresiko menimbulkan perilaku
kekerasan. Faktor presipitasi halusinasi dapat berupa biologis, sosial
budaya, sedangkan waktu munculnya halusinasi dapat pagi, siang sore,
maupun malam hari (Abdul, 2012).
Skizofrenia di alami oleh banyak orang di dunia. Ada sekitar 28 juta
orang di dunia yang menderita skizofrenia di seluruh dunia (WHO, 2016).
Di Indonesia sendiri, ada sekitar 6% penduduk di Indonesia berusia 15-24
tahun mengalami gangguan jiwa skizofrenia pada tahun 2016. Angka
kejadian gangguan jiwa berat di Jawa Tengah lebih tinggi dari angka
tersebut, yaitu sebanyak 2,3 per 1.000 penduduk. Hai ini menunjukkan,
angka kejadian gangguan jiwa berat di Jateng cukup tinggi (Sidakaton,
Data rekam medis rumah sakit jiwa Banyumas di Ruang Nakula saja
pada tahun 2016 schizofrenia terinci merupakan diagnosa pertama terbesar
setelah schizofrenia paranoid dengan jumlah kasus mencapai atas 311
pasien untuk halusinasi dan untuk perilaku kekerasan sendiri mencapai
306, isolasi sosial mencapai 13 pasien, dan harga diri rendah mencapai 9
pasien (Rekam Medik RSUD Banyumas).
RSUD Banyumas merupakan rumah sakit sayang jiwa, kesehatan jiwa
merupakan bagian dari kesehatan secara menyeluruh. Bukan sekadar
terbebas dari gangguan jiwa, tetapi pemenuhan kebutuhan perasaan
bahagia, sehat, serta mampu menangani tantangan hidup.
Dari data yang didapatkan penulis di atas, jumlah pasien dengan
gangguan persepsi sensori: halusinasi di Ruang Nakula RSUD Banyumas
cukup tinggi yaitu sebanyak 311 kasus atau jika di prosentasikan mencapai
30 %, sehingga penulis tertarik untuk lebih mendalami tentang pemberian
asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan persepsi sensori:
halusinasi agar nantinya dapat memberikan asuhan keperawatan secara
optimal kepada klien.
Berdasarkan data dan permasalahan diatas dengan melihat akibat yang
lebih dalam dari meningkatnya angka kejadian penderita skizofrenia yang
antara lain berpengaruh terhadap gangguan persepsi sensori: halusinasi
pendengaran, maka dengan ini penulis tertarik untuk melakukan Asuhan
pendengaran di Ruang Nakula Instansi Jiwa Rumah Sakit Daerah
Banyumas.
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan umum
Tujuan umum ini adalah untuk melaporkan kasus Asuhan
Keperawatan Pada Ny.S dengan gangguan persepsi sensori
halusinasi pendengaran di ruang Nakula Instansi Jiwa Rumah Sakit
Umum Daerah Banyumas.
2. Tujuan khusus
Tujuan khusus dari penulisan laporan ini adalah untuk
menggambarkan :
a) Mengetahui informasi pengkajian biografi mencangkup nama :
alamat, umur, jenis kelamin, pekerjaan, tingkat pendidikan,
catatan masuk, tanggal masuk, rujukan, cara masuk, & diagnosis,
pada Ny.S dengan gangguan persepsi sensori: halusinasi
pendengaran di ruang Nakula Rumah Sakit Umum Daerah
Banyumas.
b) Mendeskripsikan pengkajian mencangkup riwayat pasien
keluhan utama, riwayat kesehatan/keperawatan saat ini, riwayat
kesehatan/ riwayat kesehatan masa lalu dan kesehatan saat ini
termasuk kebiasaan riwayat keluarga, dan riwayat perkawinan,
halusinasi pendengaran di Ruang Nakula Rumah Sakit Umum
Daerah Banyumas.
c) Mendeskripsikan rencana tindakan Keperawatan pada Ny.S
dengan gangguan persepsi sensori: halusinasi pendengaran di
Ruang Nakula Rumah Sakit Umum Daerah Banyumas.
d) Mendeskripsikan implementasi keperawatan pada Ny.S dengan
gangguan persepsi sensori: halusinasi pendengaran di Ruang
Nakula Rumah Sakit Umum Daerah Banyumas.
e) Mendeskripsikan evaluasi implementasi keperawatan di lakukan
pada Ny.S dengan gangguan persepsi sensori: halusinasi
pendengaran di Ruang Nakula Rumah Sakit Umum Daerah
Banyumas.
C. Manfaat penulis
Hasil laporan kasus ini di harapkan dapat memberikan manfaat praktis
dalam keperawatan yaitu sebagai panduan perawat dalam pengelolaan kasus
Ny.S dengan gangguan persepsi sensori: halusinasi pendengaran, juga di
harapkan menjadi informasi bagi tenaga kesehatan lain terutama dalam
D. Pengumpulan data
Metode pengumpulan data untuk menyusun laporan ini di gunakan cara
sebagai berikut :
1. Observasi partisipasi
Pengumpulan data di lakukan dengan melakukan observasi lingkungan
sekitar, dan terhadap klien secara langsung.
2. Wawancara
Pengumpulan data di lakukan dengan cara tanya jawab yang berkaitan
dengan masalah yang di hadapi klien atau menganamnesis. Data yang
terkumpul berupa data primer yang berasal dari pasien dan data sekunder
yang berasal dari orang terdekat atau keluarga pasien. Tujuan wawancara
adalah untuk memperoleh data terutama kesehatan dan masalah pasien
serta untuk menjalin hubungan antara perawat dengan pasien.
3. Studi literatur
Pengumpuln data di lakukan dengan cara mengenali sumber-sumber
pengetahuan melalui buku-buku atau jurnal terkini dengan cara membaca
dan mempelajari bahan yang ada hubungannya dengan gangguan persepsi
sensori: halusinasi pendengaran di Ruang Nakula Rumah Sakit Umum
Daerah Banyumas.
4. Studi dokumentasi
Pengumpulan data di lakukan dengan cara mencatat kegiatan-kegiatan
dokumentasi maupun yang terdapat pada rekam medis di Ruang Nakula
Rumah Sakit Umum Daerah Banyumas.
E. Tempat dan Waktu
Asuhan keperawatan pada Ny.S dengan gangguan persepsi sensori:
Halusinasi pendengaran di lakukan di ruang Nakula Rumah Sakit Umum
Daerah Banyumas. Dari mulai pengkajian tanggal 22 Mei 2017 pengkajian
sampai evaluasi.
F. Sistematika Penulisan
Ssistematika penulisan untuk penyusunan tugas akhir ini adalah :
BAB I : PENDAHULUAN
Membahas tentang latar blakang masalah, tujuan penulisan,
pengumpulan data, tempat dan waktu, manfaat penulisan,
serta sistematika penulisan.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Membahas tentang pengertian, membahas tentang
pustaka-pustaka yang terkait dengan masalah pemecahnya.
BAB III : TINJAUAN KASUS
Membahas tentang asuhan keperawatan yang di berikan
kepeda klien meliputi pengkajian terhadap pasien, diagnosa
keperawatan, rencana tindakan, implemantasi dan evaluasi.
BAB IV : PEMBAHASAN
Membahas tentang pembahasan kasus. Pembahasan yang
keperawatan dalam hal pengkajian, diagosa keperawatan,
rencana tindakan keperawatan, implemantasi dan evaluasi,
serta alternatif pemecahannya.
BAB V : PENUTUP
Penutup berisi tentang kesimpulan dan saran. Kesimpulan
merupakan ringkasan dari pembahasan masalah dan saran
yang diberikan untuk berbagai pihak yang terkait dengan