BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian
Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar). Klien memberi persepsi atau pendapat tentang lingkungannya tnpa ada objek atau rangsangan yang nyata (Direja, 2011)
Halusinasi adalah salah satu gangguan sensori persepsi yang dialami oleh pasien gangguan jiwa.Pasien merasakan sensasi berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan, atau penghidupan tanpa stimulus nyata (Keliat, 2005).
Halusinasi penglihatan adalah stimulus penglihatan dalam bentuk pancaran cahaya, gambaran geometris, gambar kartun, dan gambar atau panorama yang luas dan kompleks. Penglihatan dapat berupa sesuatu yang menyenangkan atau menakutkan (Stuart, 2007).
B. Penyebab
1. Faktor Predisposisi menurut Yosep (2011)
a. Faktor perkembangan
Perkembangan klien yang terganggu misalnya kurangnya mengontrol emosi dan keharmonisan keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri sejak kecil, mudah frustasi dan hilan percaya diri
b. Faktor sosiologi
Seseorang yang merasa tidak diterima dilingkungannya sejak bayi akan membekas diingatannya sampai dewasa dan ia akan merasa disingkirkan kesepian dan tidak percaya pada lingkungannya. c. Faktor biokimia
Adanya stress yang berlebihan yang dialami oleh seseorang maka didalam tubuhnya akan dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia buffofenom dan dimetytranfenaze sehingga terjadi keseimbangan acetrycolin dan dofamine.
d. Faktor psikologis
e. Faktor genetik dan pola asuh
Hasil studi menunjukan bahwa factor keluarga menunjukan hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini.
2. Faktor Presipitasi
Faktor – faktor penyebab dari halusinasi menurut Stuart (2007) adalah sebagai berikut:
a. Biologis
Gangguan dalam berkomunikasi dan putaran baik otak , yang mengatur proses informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi stimulus.
b. Stress dan lingkungan
Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap stressor lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.
c. Sumber koping
C. Proses Terjadinya Masalah
Halusinasi berkembang melalui empat fase, menurut Direja (2011), yaitu sebagai berikut :
1. Fase pertama
Disebut juga sebagai fase comforting yaitu fase yang menyenangkan.Pada tahap ini msuk dalam golongan nonpsikkotik. Karateristik: klien mengalami stress, cemas, perasaan perpisahan, rasa bersalah, kesepian yang memuncak, dan tidak dapat diselesaikan. Klien mulai melamun dan memikirkan hal-hal yang menyenangkan, cara ini hanya menolong sementara.
Perilaku klien: tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai menggerakan bibir tanpa suara, pergerakan mata cepat, respon verbal yang lambat jika sedang asyik dengan halusinasinya, dan suka menyendiri.
2. Fase kedua
Disebut dengan fase condemming atau ansietas berat yaitu halusinasi menjadi menjijikan, termasuk dalam psikotik ringan. Karateristik: pengalaman sensori menjijikan dan menakutkan, kecemasan meningkat, melamun, dan berfikir sendiri jadi dominan. Mulai dirasakan ada bisikan yang tidak jelas.nklien tidak ingin orang lain tahu, dan ia tetap mengontrolnya.
3. Fase ketiga
Adalah fase controlling atau ansietas berat yaitu pengalaman sensori menjadi berkuasa.Termsuk dalam gangguan psikotik. Karateristik: bisikan, suara, isi halusinasi semakin menonjol, menguasai dan mengontrol klien. Klien menjadi terbiasa dan tidak berdaya terhadap halusinasinya.
Perilaku klien: kemauan dikendalikan halusinasi, rentang perhatian hanya beberapa menit atau detik. Tanda-tanda fisik berupa klien berkeringat, tremor dan tidak mematuhi perintah.
4. Fase keempat
Adalah fase conquering atau panic yaitu klien lebur dengan halusinasinya.Termasuk dalam psikotik berat. Karateristik: halusinasinya berubah menjadi mengancam, memerintah, dan memarahi klien. Klien menjadi takut, tidak berdaya, hilang control, dan tidak dapat berhubungan secara nayat dengan orang lain di lingkungan.
D. Psikopatologi
Proses terjadinya halusinasi menurut Stuart (2007) :
a. Faktor predisposisi : faktor risiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah sumber yang dapat digunakan individu untuk mengatasi stres b. Stressor presipitasi : stimulus yang dipersepsikan oleh individu
sebagai tantangan, ancaman, atau tuntutan dan yang membutuhkan energi ekstra untuk koping
c. Penilaian terhadap stresor : evaluasi tentang makna stressor bagi kesejahteraan individu yang didalamnya stresor memiliki arti, intensitas, dan kepentingan
d. Sumber koping : evaluasi terhadap pilihan koping dan strategi individu e. Mekanisme koping : tiap upaya yang ditujukan untuk penatalaksanaan
stres, termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan ego yang digunakan untuk melindungi diri.
f. Rentang respon koping- rentang : respon manusia yang adaptif sampai maladaptif
Faktor predisposisi
Biologis Psikologi lingkungan Sosial budaya
Stressor Persepsi Halusinasi
Biologi Pemicu gejala
Penilaian terhadap stressor Penurunan koping
Gambar 1.1 Rentang respon neurobiologi (Stuart, 2007) - Pikiran logis
E. Tanda dan Gejala
1. Manifestasi klinik
Tanda dari halusinasi penglihatan menurut Keliat (2005) yaitu : menunjuk-nunjuk kearah tertentu, ketkutan pada objek yang tidak jelas, melihat bayangan, sinar, bentuk geometris, bentuk kartun, melihat hantu atau monster.
Tanda-tanda halusinasi penglihatan meliputi : stimulus visual dalam bentuk kilatan atau cahaya, gambar atau bayangan yang rumit dan kompleks. Bayangan bisa menyenangkan atau menakutkan (Kusumawati, 2010)
Tanda dari halusinasi penglihatan menurut Yosep (2011) yaitu : meliht seseorang yang sudah meninggal, melihat mahluk tertentu, melihat bayangan, melihat hantu atau sesuatu yang menakutkan, cahaya, monster yang memasuki perawat, tatapan mata pada tempat tertentu, dan ketakutan pada objek tertentu.
2. Pemeriksaan penunjang
Untuk mengetahui struktur otak, jenis alat yang dapat digunakan yaitu
Elektroencephalogram (EEG), CT scan, Single Photon Emission Tomography (SPECT), Magnetic Resonance Imaging (MRI) (Direja, 2011)
sebagian serebral dan pelebaran ventrikel serebral lateral didalam otak penderita skizofrenia (Stuart, 2007)
F. Mekanisme koping
Perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi pasien dari pengalaman yang menakutkan berhubungan dengan respon neurobiologis maladaptif Stuart, (2006): 1. Regresi berhubungan dengan masalh proses informasi dan upaya untuk
mengatasi ansietas, yang menyisakan sedikit energi untuk aktivitas hidup sehari-hari.
2. Proyeksi sebagai upaya untuk menjelaskan kerancuan persepsi 3. Menarik diri
G. Sumber koping
H. Pohon masalah
Risiko perlaku kekerasan Akibat
Gangguan sensori persepsi : halusinasi
Isolasi sosial Penyebab
Penyebab Gambar II.3 Pohon masalah (Direja, 2011)
K. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan sensori persepsi : halusinasi 2. Isolasi sosial
3. Risiko perilaku kekerasan.
I. Penatalaksanaan
1. Psikofarmakologi
Terapi termasuk identifikasi kondisi medis umum atau medis tertentu yang terlibat.Pada saat tersebut terapi diarahkan kepada kondisi yang mendasari dan pengendalian perilaku pasien dengan segera.Perawatan dirumah sakit mungkin diperlukan untuk menilai pasien secara menyeluruh dan untuk memastikan keamanan pasien.Obat anti psikotik atau perilaku
agresif dengan segera dan jangka pendek, walaupun Benzodiasepindapat juga berguna untukmengendalikan agitasi dan kecemasan.
Pemakaian anti depresan dalam pengobatan gangguan depresif pasca psikotik dari skizofrenia telah dilaporkan dalam beberapa penelitian. Kira-kira setengah penelitian telah melaporkan adanya efek dari hilangnya gejala depresif pada beberapa pasien, tetapi hasil campuran dari beberapa penelitian mencerminkan ketidakmampuan sekarang ini untuk membedakan pasien yang mana akan berespon dan pasien mana yang tidak berespon terhadap anti depresan.
Obat-obatan antipsikotik konvensional ( seperti Klorpromazin, Flufenzin, Haloperidol, Loksapin, Prefenzin, Trifluoperazin, Tiotiksen, dan
Tioridaksin) terbukti mengurangi gejala positif skizofrenia dan secara signifikan menurunkan risiko relaps simtomatik dan dirawat inap pulang. Namun, efek samping neurologis yang serius menyebabkan obat ini sulit ditpleransi oleh banyak pasien skizofrenia.
J. Intervensi
. Gangguan sensori persepsi : halusinasi
a. Tum : Klien dapat mengontrol halusinasi.
b. Tuk : 1) Klien dapat membina hubungan saling percaya
2) Klien dapat mengenal halusinasi.
3) Klien dapat mengontrol halusinasi.
4) Klien memilih cara mengatasi seperti yang telah didiskusikan.
5) Klien dapat dukungan dari keluarga dalam mengontrol halusinasi.
6) Klien dapat memanfaatkan obat dengan baik.
c. intervensi :
1) Bina hubungan saling percaya dengan mengungkapkan prinsip komunikasi terapeutik.
2) Sapa klien dengan ramah.
3) Perkenalkan diri dengan sopan.
4) Tanyakan nama lengkap klien.
6) Jujur dan tepat janji.
7) Tunjukan sikap empati.
8) Beri perhatian kepada klien.
9) Observasi tingkah laku klienterkait dengan halusinasi.
10) Bantu klien mengenal halusinasi.
11) Diskusikan dengan klien situasi yang menimbulkan halusinasi.
12) Identifikasi bersama klien cara tindakan yang dilakukan jika terjadi halusinasi.
13) Diskusikan manfaat yang dilakukan klien dan beri pujian pada klien.
14) Diskusikan cara lain untuk memutus mengontrol halusinasi.
15) Bantu klien melatih cara memutus halusinasi.
16) Beri kesempatan untuk melakukan cara yang dilatih.
17) Anjurkan klien untuk memberi tahu keluarga jika mengalami halusinasi.
18) Diskusikan dengan keluarga pada saat berkunjung tentang gejala halusinasi yang dialami.
20) Cara merawat halusinasi dirumah, beri kegiatan, jangan biarkan sendiri.
21) Beri reinforcement karena sudah berinteraksi.
22) Diskusikan dengan klien keluarga tentang dosis, frekuensi dan manfaat obat.
23) Anjurkan klien minta obat sendiri pada perawat dan merasakan manfaat.
24) Anjurkan klien bicara minta pada dokter tentang manfaat, efek samping obat.
25) Bantu klien minum obat.
(Sumber : Yosep, 2011)
2. Isolasi sosial
a. Tum : klien dapat berinteraksi dengan orang lain.
b. Tuk : 1) Klien dapat membina hubungan saling percaya.
2) Klien dapat mengetahui keuntungan dan kerugian berhubungn dengan orang lain.
3) Klien dapat mengidentifikasi penyebab isolasi sosial.
4) Klien dapat berkenalan.
6) Klien dapat berinteraksi dengan orang lain secara bertahap berkenalan dengan orang pertama (perawat).
7) Klien dapat berinteraksi dengan secara bertahap berkenalan dengan orang kedua (pasien lain).
c. intervensi :
1) Beri salam dan panggil nama klien.
2) Sebutkan nama perawat dan sambil berjabat tangan.
3) Jelaskan tujuan interaksi.
4) Jelaskan kontrak yang akan dibuat.
5) Beri rasa aman dan tunjukkan sikap empati.
6) Beri kesempatan klien mengungkapkan perasaannya.
7) Bantu klien mengungkapkan alasan klien dibawa ke rumah sakit.
8) Beri kesempatan klien mangatakan keuntungan berhubungan atau berinteraksi.
9) Beri kesempatan klien untuk mengatakan kerugian berhubungan atau berinteraksi dengan orang lain.
10) Beri kesempatan klien mencontohkan teknik berkenalan.
12)Beri kesempatan klien dan bantu klien menentukan topik pembicaraan.
13) Latih berhubungan sosial secara bertahap dengan perawat.
14) Masukkan dlam jadwal kegiatan klien.
15) Latih cara berkenalan dengan dua orang atau lebih dengan teman satu ruangan atau sesama pasien.
16) Masukkan dalam jadwal kegiatan klien.
(Sumber : Yosep, 2011)
3. risiko perilaku kekerasan
a. Tum : Klien dapat mengontrol atau mencegah perilaku kekerasan baik secara fisik, sosial, verbal, spiritual.
b. Tuk : 1) Bina hubungan saling percaya.
2) Klien dapat mengidentifikasi perilku kekerasan.
3) Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan.
4) klien dapat mengontrol perilaku kekerasan.
c. intervensi :
2) Bantu klien mengungkapkan perasaan.
3) Bantu klien untuk mengungkapkan tanda perilaku kekerasan.
4) Diskusikan dengan klien keuntungan dan kerugian perilaku kekerasan.
5) Diskusikan bersama klien cara mengontrol perilaku kekerasan.
6) Anjurkan klien mempraktekan latihan.