• Tidak ada hasil yang ditemukan

Oleh : Didit Susilo Guntono NIM. S BAB I PENDAHULUAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Oleh : Didit Susilo Guntono NIM. S BAB I PENDAHULUAN"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Penegakan hukum tindak pidana pencabulan terhadap anak berdasarkan undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak

(studi di Pengadilan Negeri Sukoharjo)

Oleh :

Didit Susilo Guntono NIM. S310907004

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.

Anak sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki hak asasi sejak ia dilahirkan, sehingga tidak ada manusia atau pihak lain yang boleh merampas hak tersebut. Anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda, penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri serta sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi Bangsa dan Negara di masa depan. Oleh karenanya kepada setiap anak perlu diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal baik secara fisik, mental maupun sosial dan berakhlak mulia. Sejak dalam kandungan sampai lahir dan berkembang anak mempunyai hak untuk hidup dan mendapat perlindungan baik dari orang tua, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.

Hak asasi anak yang merupakan bagian dari hak asasi manusia ini mendapat jaminan dan perlindungan hukum baik dari hukum Internasional maupun Nasional sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 maupun dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa 10 Desember 1948. Ketentuan mengenai hak asasi di Indonesia ini selain tercantum dalam pasal

(2)

28 A sampai dengan 28 J dan juga tercantum dalam Undang-Undang Nomor: 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Di samping itu untuk masalah hak anak ini juga telah ada Konvensi Hak Anak (Convention on The Right of The Child), yang maksudnya adalah perjanjian yang mengikat secara yuridis dan politis di antara berbagai negara yang mengatur hal-hal yang berhubungan dengan hak anak. Konvensi ini merupakan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang melindungi hak anak dan salah satu bagian dari instrumen internasional yang luas dan telah ditanda tangani oleh 190 negara. Dengan demikian sebagaimana diuraikan di atas bahwa anak sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki hak asasi sejak ia dilahirkan maka hak anak berarti hak asasi manusia untuk anak. Dengan kata lain hak anak merupakan bagian integral dari hak asasi manusia dan Konvensi hak anak merupakan bagian integral dari instrumen internasional di bidang hak asasi manusia.

Negara kita Indonesia adalah termasuk negara peserta yang telah meratifikasi Konvensi Hak Anak tersebut dengan Keputusan Presiden Nomor 36 tahun 1990 tertanggal 25 Agustus 1990, sehingga sebagai konsekwensinya kita wajib mengakui dan memenuhi hak-hak anak sebagaimana yang dirumuskan dalam Konvensi Hak Anak tersebut.

Berkenaan dengan upaya perlindungan dan menjamin hak anak tersebut maka Pemerintah Republik Indonesia pada waktu yang lalu baru memberikan sebagian kecil perlindungan terhadap anak yaitu dengan mengundangkan Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, sementara perlindungan anak dalam arti yang menyeluruh (komprehensif) belum dapat diwujudkan. Untuk itu guna mengatur keseluruhan aspek yang berkaitan dengan perlindungan anak kemudian Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 22 Oktober 2002 telah mengundangkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang

(3)

Perlindungan Anak. Oleh karenanya Undang-Undang Perlindungan Anak adalah salah satu bagian dari mengoperasikan Konvensi Hak Anak

Asas penyelenggaraan perlindungan anak sebagaimana sudah diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak tersebut dilakukan berdasarkan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi hak anak, yang meliputi :

1. Non diskriminasi.

2. Kepentingan yang terbaik bagi anak.

3. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan, dan 4. Penghargaan terhadap pendapat anak;

Perlakuan hak asasi terhadap anak berbeda dengan orang dewasa, hal ini di samping secara individu seorang anak adalah belum matang baik secara fisik maupun psikis, juga sesuai dengan penjelasan pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor: 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, seorang anak digolongkan dalam kelompok rentan/rawan. Di mana di antara kelompok rentan tersebut maka anak adalah tergolong yang paling rentan terhadap berbagai proses yang sedang berlangsung, untuk itu seorang anak harus dijamin hak hidupnya untuk dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan fitrah dan kodratnya, sehingga segala bentuk kekerasan, diskriminasi, dan eksploitasi yang tidak manusiawi termasuk eksploitasi seksual harus dicegah dan dihentikan, hal tersebut dapat dilihat pada pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor: 23 tahun 2002 yang berbunyi: “setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan berhak mendapat perlindungan dari perlakuan, (antara lain) … eksploitasi baik ekonomi maupun seksual…”.

Kejahatan seksual utamanya pencabulan terhadap anak terutama anak perempuan yang banyak terjadi di Indonesia sudah memasuki tahap yang memprihatinkan bahkan mengenaskan. Berbagai media cetak maupun media elektronik sering kali menyajikan berita mengenai kasus pelecehan, penganiayaan, perkosaan, prostitusi, dan pornografi yang semuanya berhubungan dengan seksual.

(4)

Abdul Wahid dan Muhammad Irfan mengatakan rata-rata setiap empat jam telah terjadi satu kali perkosaan atau setiap tahunnya tidak kurang dari 1.700 kasus perkosaan yang ditangani pihak yang berwajib.1Bahkan dari pra penelitian yang

penulis lakukan di Pengadilan Negeri Sukoharjo dengan melihat register perkara pidana yang menyangkut hal tersebut dari kurun waktu sejak tahun 2002 sampai dengan bulan Nopember 2008 ada kecenderungan meningkat jumlahnya, hal tersebut membuktikan bahwa tindakan yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan cabul/pelecehan seksual dan persetubuhan (perkosaan) terhadap anak masih banyak terjadi.

Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tersebut, sebenarnya kita sedang menguji tentang hukum sebagai alat rekayasa sosial (law as a tool of social engineering) sebagai suatu konsep dan tujuan yang benar-benar dapat diwujudkan. Sekiranya perangkat untuk menjamin keadilan bagi anak tersebut sudah ada, apakah dalam implementasinya berbagai perangkat hukum tersebut dapat ditegakkan.

Pada saat kita berbicara tentang lahirnya perangkat hukum baru untuk menjamin hak asasi seorang anak, kajian tersebut harus dilakukan secara hati-hati karena merupakan hal yang sangat kompleks dan rumit, untuk itu sebagai jawabannya setidak-tidaknya dapat diberikan dengan menganalisa hukum sebagai suatu sistem. Dalam kenyataannya tindak pidana pencabulan yang korbannya anak-anak terjadi di semua tingkatan, lapisan sosial, ekonomi, tingkat pendidikan, usia, agama dan suku bangsa. Perlindungan yang dialami anak perempuan juga berlapis-lapis, artinya bentuk kekerasan yang dialami perempuan bisa lebih dari satu variasi kekerasan secara fisik seksual dan ekonomi. Dalam kaitan inilah fungsi dan peranan keluarga menempati posisi yang strategis, karena keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat menyandang peran, cakupan substansi dan

1 Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, 2001, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual

(5)

ruang lingkup yang cukup luas. Dengan adanya kesamaan dan kejelasan mengenai fungsi dan peranan tersebut, akan mempermudah dalam memberikan alternatif pemberdayaan keluarga dalam upaya mengoptimalkan pelayanan perlindungan anak dalam keluarga. Di lain pihak terhadap pelaku tindak pidana pencabulan terhadap anak ini diperlukan suatu upaya penegakan hukum yang merupakan pelaksanaan konkrit hukum dalam kehidupan sehari-hari.

Menurut Satjipto Rahardjo sebagaimana dikutip oleh Hartiwiningsih peradilan bisa disebut sebagai suatu macam penegakan hukum oleh karena aktifitasnya tidak terlepas dari hukum yang telah dibuat dan disediakan oleh badan pembuat hukum. Peradilan menunjuk pada proses mengadili. Sidang Pengadilan merupakan salah satu lembaga dalam proses tersebut. Lembaga-lembaga yang terlibat dalam proses mengadili adalah kepolisian, kejaksaan, advokat, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Bagi ilmu hukum maka bagian yang penting dalam proses mengadili terjadi pada saat hakim memeriksa dan mengadili suatu perkara, dimana hakim melakukan pemeriksaan terhadap kenyataan yang terjadi, serta menghukumnya dengan peraturan yang berlaku pada waktu diputuskan tentang bagaimana atau apa hukum yang berlaku untuk suatu kasus, maka pada waktu itulah penegakan hukum mencapai puncaknya.2

Untuk itu kepastian hukum sudah menjadi salah satu nilai yang hendak dikejar manakala orang berbicara mengenai hukum karena hukum selalu dibicarakan dalam kaitan dengan kepastian hukum dan oleh karena itu kepastian hukum merupakan primadona dalam wacana mengenai hukum. Pemahaman tentang kepastian hukum seperti tersebut di atas tidak bisa diterima karena berangkat dari wawasan atau optik tertentu telah menempatkan hukum pada satu sudut saja dalam jagat ketertiban yang luas sekali.

Sejak posisi hukum dalam jagat ketertiban tidak bisa sama sekali meminggirkan berbagai institusi normatif yang lain dalam masyarakat maka kaitan

2 Hartiwiningsih, 2006, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Proses Penegakan Hukum Pidana

(6)

antara hukum dengan kepastian hukum menjadi relatif. Hubungan batasan hukum dengan kepastian hukum bersifat mutlak. Hukum tidak serta merta menciptakan kepastian hukum, yang benar dan mutlak adalah bahwa hukum menciptakan kepastian peraturan dalam arti adanya peraturan seperti undang-undang. Begitu Undang-Undang dikeluarkan maka pada saat yang sama muncul kepastian peraturan.

Kehadiran suatu peraturan itu kadang masih juga menimbulkan keragu-raguan yang berarti berkurangnya nilai kepastian tersebut. Keadaan tersebut terjadi oleh karena dalam jagat perundang-undangan suatu peraturan tanpa disadari ternyata bertentangan dengan peraturan lain. Lebih lanjut Charles Stampford dalam Satjipto Rahardjo, mengatakan bahwa hukum itu penuh dengan ketidak teraturan (the disorder of law)3.Demikian juga dalam penegakan hukum terhadap

tindak pidana pencabulan terhadap anak, masalah penjatuhan hukuman dan polanya merupakan suatu hal yang sangat penting dalam proses peradilan. Seorang Hakim mempunyai wewenang yang sangat besar dalam menentukan nasib seseorang dalam arti untuk menentukan kehidupan maupun kebebasannya. Penerapan wewenang tersebut secara wajar merupakan harapan dari segala pihak dalam masyarakat.

Dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana pencabulan terhadap anak ini ternyata juga terjadi dualisme di dalam penjatuhan pidana untuk mengadili pelaku, yakni kendati sudah memakai ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak untuk mendakwa pelaku (terdakwa), dimana dalam Undang-Undang tersebut sudah mengatur ancaman pidana minimal namun dalam implementasinya ternyata Pengadilan Negeri Sukoharjo pernah memeriksa dan mengadili perkara pidana pencabulan anak dengan menjatuhkan pidana di bawah/kurang dari ancaman minimal yang diatur dalam Undang-Undang tersebut. Dimana dari pra penelitian yang penulis lakukan dengan melihat register

3 Satjipto Rahardjo, 2007, Biarkan Hukum Mengalir Catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia dan

(7)

perkara pidana yang ada di Pengadilan Negeri Sukoharjo dalam kurun waktu sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 pada tanggal 22 Oktober 2002 sampai dengan bulan Nopember 2008 ternyata ada 18 perkara pidana pencabulan terhadap anak yang diputus oleh Pengadilan Negeri Sukoharjo, dan dari jumlah tersebut pada tahun 2008 ada 2 perkara pidana pencabulan terhadap anak yang penjatuhan pidananya di bawah ancaman minimal yang diatur oleh Undang-Undang Nomor: 23 tahun 2002 tersebut, sehingga disini terlihat adanya perbedaan antara das sollen dengan dan sein.

Sebagaimana telah diuraikan di depan menurut Satjipto Rahardjo bahwa penegakan hukum mencapai puncaknya pada saat suatu kasus disidangkan di Pengadilan, karena hukum itu muncul di sidang-sidang Pengadilan dalam tindakan para pejabat atau pelaksana hukum dalam hubungan-hubungan yang dilakukan dan di antara para anggota masyarakat sendiri satu sama lain. Dalam kaitan dengan bekerjanya hukum di dalam masyarakat barulah benar-benar mencerminkan gambaran hukum yang terdapat di dalam peraturan hukum tersebut.4

Memperhatikan hal tersebut lebih lanjut beliau mengatakan bahwa lembaga Pengadilan tidak dilihat sebagai suatu badan yang otonom di dalam masyarakat melainkan diterima sebagai suatu badan yang merupakan bagian dari keseluruhan nilai-nilai dan proses-proses yang bekerja di dalam masyarakat tersebut. Hal tersebut dapat diketahui dengan melihat Pengadilan sebagai suatu lembaga yang menerima bahan-bahan serta tugas-tugas yang harus digarap yang datangnya dari masyarakat, yang setelah diolah menghasilkan “barang” yang disebut keputusan. Sehingga dalam mengambil putusan tersebut tentu saja terdapat berbagai faktor dan keadaan yang harus diperhatikan.5

Berdasarkan hal-hal yang diuraikan di atas maka penulis mengadakan penelitian berkenaan dengan kebijakan Hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo

4Satjipto Rahardjo, 1979, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung , halaman 70 - 71. 5Ibid, halaman 54.

(8)

dalam memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana pencabulan terhadap anak, hasilnya akan dituangkan dalam bentuk Tesis dengan mengambil judul “PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA PENCABULAN TERHADAP ANAK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK (Studi di Pengadilan Negeri Sukoharjo).

B. Perumusan Masalah.

Berdasarkan deskripsi latar belakang masalah yang diuraikan di atas, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Mengapa dalam penegakan hukum tindak pidana pencabulan terhadap anak Hakim di Pengadilan Negeri Sukoharjo ada yang menghukum pelakunya dengan pidana penjara dan pidana denda di bawah ancaman minimal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak?

2. Faktor-faktor apa yang menjadi kendala bagi Hakim dalam menangani perkara-perkara tersebut?.

C. Tujuan Penelitian.

1. Tujuan Umum.

a. Untuk mengetahui alasan-alasan mengapa Hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo dalam memutus perkara pidana pencabulan terhadap anak ada yang menghukum pelakunya dengan pidana baik pidana penjara dan pidana denda di bawah ancaman pidana minimal yang diatur dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Anak tersebut.

b. Untuk mengetahui hambatan-hambatan apa yang dihadapi Hakim dalam menangani perkara tersebut.

(9)

a. Untuk menambah wawasan pengetahuan, serta pemahaman penulis terhadap penerapan teori-teori yang telah penulis terima selama menempuh kuliah pada Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, dan untuk mengatasi masalah hukum yang terjadi dalam masyarakat.

b. Untuk memperoleh data yang lengkap guna penulisan Tesis sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Ilmu Hukum pada Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

D. Manfaat Penelitian.

Suatu penelitian akan bernilai jika memberi manfaat bagi berbagai pihak. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Manfaat Teoritis,

Diharapkan memberikan pemikiran bagi pengembangan pemikiran kepada ilmu hukum dalam pemberian sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana pencabulan terhadap anak sehingga sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

2. Manfaat Praktis

Memberikan masukan penyempurnaan kepada aparat penegak hukum khususnya Hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo di dalam proses beracara agar benar-benar mewujudkan rasa keadilan bagi terdakwa, korban dan masyarakat di dalam penegakan hukum sehingga tercipta kondisi masyarakat yang adil dan makmur.

Referensi

Dokumen terkait

Pada halaman ini anggota dapat memberikan usulan buku apa saja yang menurut mereka, harus ditambahkan kedalam koleksi perpustakaan perpustakaan. Yaitu dengan cara mengisi

Hasil penelitian ini menyimpulkan: (1) Pendidikan dalam perspektif PUI: memandang pentingnya pendidikan bagi semua manusia, menerapkan pendidikan integrasi

Hal ini dapat dilihat pada perlakuan pemberian cuka kayu 2% (B4) pada biomas sengon, diperoleh total kandungan karbon pada akar, batang dan daun paling tinggi yaitu 11.029,92 g,

kebutuhan petani yang sangat mendesak, karena dengan menjual produksi karet kepada pedagang pengumpul, petani akan menerima uang secara langsung, sedangkan apabila

Skala ini mendefinisikan dan menjelaskan nilai 1 sampai 9 untuk pertimbangan dalam perbandingan berpasangan elemen pada setiap level hirarki terhadap suatu kreteria di

Pada tanggal 28 Desember 2010 dan 21 April 2011, Entitas Induk bersama dengan SDN, DKU, BIG dan PT Mitra Abadi Sukses Sejahtera, pihak berelasi, menandatangani

Adapun yang menjadi khalayak sasaran dalam kegiatan Pelatihan Pembekalan tentang prinsip-prinsip desain Interior ini adalah Siswa SMK Negeri 4 Padang jurusan DIPL

belajar terhadap hasil belajar IPS yang kompre- hensif pada peserta didik, artinya dapat diambil kesimpulan bahwa pada kelompok minat, hasil belajar IPS peserta didik yang