• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. peledakan yang terjadi di Legian. Korban tewas lebih banyak merupakan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. peledakan yang terjadi di Legian. Korban tewas lebih banyak merupakan"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

1 I.1. Latar Belakang

Pada tanggal 12 Oktober 2002, Bali diguncang serangan bom di kawasan Legian, Badung dan Renon, Denpasar. Peristiwa ledakan pertama kali terjadi di kawasan padat wisata, Legian, dimana dua bom meledak di Paddy’s Pub dan Sari Club. Peristiwa ledakan berikutnya terjadi di dekat kantor Konsulat Amerika Serikat yang terletak di daerah Renon, Denpasar. Walaupun tidak terdapat korban jiwa pada peristiwa peledakan yang terjadi di Denpasar, namun 201 korban dinyatakan tewas pada peristiwa peledakan yang terjadi di Legian. Korban tewas lebih banyak merupakan warga negara asing yang sedang berlibur di Bali dan disebutkan berasal dari sekitar 22 negara. Australia merupakan negara dengan korban paling banyak yakni diperkirakan berjumlah 88 orang (Putra dan Hitchcock, 2009: 87).

Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 1 Oktober 2005, Bali kembali mendapat serangan bom di tiga lokasi yang berbeda, yakni di Kafe Menega dan Kafe Nyoman, yang terletak di kawasan Jimbaran, serta restoran RAJA’s di daerah Kuta. Pengeboman yang kemudian dikenal dengan Bom Bali II tersebut membuat sekitar 20 orang menjadi korban

(2)

jiwa (Putra dan Hitchock, 2009: 94). Adapun korban pengeboman kali ini lebih banyak merupakan warga negara Indonesia, dimana korban lainnya merupakan warga negara Australia dan Jepang.

Serangkaian peristiwa pengeboman yang terjadi di Bali pada tahun 2002 dan 2005 tersebut memberi dampak yang sangat signifikan khususnya pada sektor pariwisata. Ini dapat dilihat dari tingkat kunjungan wisatawan ke Bali, terutama kunjungan wisatawan mancanegara, yang mengalami penurunan secara terus-menerus dari tahun 2002 hingga 2006. Hal ini sesuai dengan yang dijelaskan oleh Yetta Gurtner (2004) dalam tulisannya yang berjudul After The Bali Bombing – The Long Road to Recovery yang mana menjelaskan penurunan tingkat kunjungan yang terjadi akibat peristiwa Bom Bali sangat mempengaruhi pendapatan lokal terutama dari hotel, restoran, industri kerajinan tangan, transportasi, serta jasa pariwisata lainnya di Bali. Pengaruh tersebut dapat dilihat dari sebagian masyarakat di Bali ada yang kehilangan pekerjaan, memiliki usaha yang akhirnya sepi pengunjung bahkan hingga gulung tikar. Perekonomian masyarakat Bali akhirnya terganggu. Keadaan demikan seharusnya dapat teratasi, jika masyarakat Bali sebelumnya telah memiliki

pekerjaan sampingan. Namun, pada kenyataannya kehidupan

perekonomian mereka selama ini sebagian besar hanya bergantung dari sektor pariwisata yang dianggap mampu memenuhi kebutuhan hidup. Selain perekonomian masyarakat Bali yang terganggu akibat peristiwa ledakan Bom Bali I dan II, kehidupan sosial mereka juga terkena dampak.

(3)

Kehilangan mata pencaharian akibat peristiwa Bom Bali cukup mempengaruhi kondisi psikologis masyarakat korban ledakan bom tersebut. Adanya rasa traumatik, kehilangan harapan terhadap masa depan serta rasa kurang percaya diri juga menjadi dampak sosial yang disebabkan peristiwa ledakan Bom Bali yang terjadi pada tahun 2002 dan 2005 silam. Kondisi demikian membuat masyarakat korban Bom Bali merasa tidak mampu mencari atau mendapatkan pekerjaan yang mampu mengatasi perekonomian mereka. Selain itu, dampak Bom Bali juga menyebabkan wisatawan merasa cemas untuk melakukan kunjungan baik itu mengenai pekerjaan, pendidikan, hingga liburan ke Indonesia, terutama Bali. Sehingga dapat dikatakan, peristiwa Bom Bali telah menimbulkan keresahan sosial, baik dari Bali hingga ke dunia internasional.

Kondisi pariwisata Bali yang terpuruk akibat peristiwa ledakan bom tahun 2002 dan 2005 yang mana kemudian menimbulkan keresahan sosial, mengundang simpatisan dari dunia internasional. Banyak negara yang membantu Bali untuk bangkit kembali. Salah satu negara tersebut adalah Australia. Australia sebagai negara asal jumlah korban jiwa terbanyak pada peristiwa Bom Bali I, dan juga merupakan penyumbang wisatawan mancanegara yang paling banyak ke Bali, menurut Dinas Pariwisata Bali dalam Statistik Pariwisata Bali 2003 (2004) memberikan perhatian lebih terhadap pemulihan kondisi Bali pasca bom terutama di sektor ekonomi. Walaupun Australia menerapkan travel warning (larangan perjalanan) bagi warga negaranya dan menghimbau mereka untuk tidak

(4)

berkunjung ke Bali maupun daerah lainnya di Indonesia dengan alasan keamanan, namun Pemerintah Australia memberikan bantuan kepada masyarakat Bali untuk memulihkan keadaan sosio-ekonomi mereka. Bantuan tersebut disalurkan melalui program Bali Rehabilitation Fund (BRF) pada tahun 2003. Melalui program ini, Pemerintah Australia ingin membantu keluarga para korban Bom Bali untuk memulihkan dampak sosio-ekonomi yang disebabkan oleh dua peristiwa pengeboman yang terjadi di Bali.

I.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan dari uraian pada latar belakang penelitian diatas, penulis ingin mengkaji lebih lanjut mengenai apa peran Bali Rehabilitation Fund (BRF) dalam pemulihan sosio-ekonomi masyarakat korban Bom Bali pasca terjadinya peledakan Bom Bali I dan Bom Bali II.

I.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan peran bantuan Australia melalui Bali Rehabilitation Fund (BRF) kepada Bali sejak tahun 2003 hingga tahun 2006.

(5)

I.4. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah untuk melihat peran bantuan luar negeri dalam membantu memulihkan kondisi sosio-ekonomi yang terancam akibat tragedi internasional. Penelitian ini juga dapat menjadi masukan kajian kerjasama antar negara dalam menghadapi bencana atau peristiwa internasional, dan sebagai bahan pertimbangan bagi pengambil kebijakan dalam memahami peran kerjasama dalam memberikan bantuan kemanusiaan kepada negara lain.

I.5. Tinjauan Pustaka

Setiap negara berdaulat dalam kajian Hubungan Internasional seringkali melakukan kerjasama pembangunan maupun penanganan krisis kemanusiaan atau humanitarian crisis. Sebagai contohnya adalah Aronson (2011) yang melakukan penelitian berjudul “United States Aid to Kenya: A Study on Regional Security and Counterterrorism Assistance Before and After 9/11”. Aronson (2011) dalam penelitiannya menekankan pada bantuan Amerika Serikat yang diberikan kepada Kenya dalam melawan terorisme yang mulai berkembang di Afrika. Kenya merupakan salah satu negara yang tergolong stabil dari segi politik maupun ekonomi di Afrika, meskipun memiliki sistem pemerintahan yang otoritarianisme. Kenya merupakan aliansi dari Amerika Serikat.

(6)

Kenya telah mengalami dua kali insiden terorisme yaitu pada tahun 1998 dan tahun 2002, sejak jaringan Al-Qaeda masuk ke Afrika tahun 1993. Oleh karena itu, Amerika Serikat memberikan bantuan untuk pemulihan korban-korban dari pengeboman, pemulihan infrastruktur dan perekonomian pasca pengeboman, serta bantuan militer dan tim investigasi untuk menyelidiki keberadaan teroris. Bantuan-bantuan ini disebut sebagai Anti-terrorism Assistance atau ATA. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Whitaker (2008) yang dikutip dalam African Journal of Criminology and Justice Studies, Vol. 5. Adapun dampak yang diberikan oleh Amerika Serikat bersifat positif dimana infrastruktur di Kenya dapat diperbaiki, perekonomian di Kenya dapat berjalan kembali dengan baik, masyarakat Kenya mendapatkan pelatihan militer secara gratis, dan Kenya terhindar dari insiden terorisme hingga saat ini.

Penelitian Aronson (2011) dan penelitian ini memiliki konteks yang sama yaitu dalam membahas pemberian bantuan luar negeri oleh suatu negara pada negara lainnya, dimana negara yang menerima bantuan dalam keadaan krisis. Namun, penelitian yang diteliti oleh penulis dan penelitian Aronson (2011) ini berbeda karena pihak pemberi bantuan dan pihak yang menerima bantuan yang dibahas berbeda.

Penelitian lainnya yang dipakai oleh peneliti sebagai tinjauan pustaka dalam penelitian ini selaian penelitian Aronson adalah penelitian Randi Fransisco Simanjuntak (2013) yang mana merupakan sebuah penelitian berjudul Motivasi Amerika Serikat Memberikan Bantuan

(7)

Ekonomi dan Militer Kepada Kamboja tahun 2010-2012 (Studi Kasus Terorisme Khmer Rouge). Adapun konsep yang dipakai adalah konsep kepentingan nasional dalam perspektif politik strategi keamanan dan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori politik luar negeri. Alasan peneliti memakai penelitian Randi Fransisco Simanjuntak (2013) dalam penelitian ini karena memiliki konteks yang hampir sama dengan penelitian yang peneliti lakukan. Amerika Serikat merupakan salah satu negara yang menjadi korban dari serangan terorisme internasional. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya serangan yang dilakukan oleh teroris ke tempat-tempat kepentingan Amerika Serikat, baik itu di dalam dan di luar negeri. Salah satu serangan terorisme yang sangat berdampak terhadap bangsa dan negara Amerika Serikat yakni serangan terhadap World Trade Center dan Pentagon. Serangan terorisme menimbulkan trauma bagi Amerika Serikat dan membuatnya menjadi sangat reaksioner dalam menghadapi isu terorisme yang berkembang saat ini. Hal ini tercermin dari kebijakan-kebijakan luar negerinya yang mana terkait dengan pemberantasan jaringan terorisme. Adapun tujuan nasional Amerika Serikat dengan adanya kebijakan luar negerinya tersebut adalah berusaha melindungi seluruh warga negaranya serta kepentingannya, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

Isu terorisme bukan hanya terjadi di Timur Tengah, namun telah menyebar ke berbagai wilayah di dunia, seperti kawasan Asia Tenggara. Hal ini bisa dilihat dari perkembangan kelompok terorisme di Kamboja,

(8)

yaitu Khmer Rouge. Selepas kesatuan Soviet tahun 1950, paham anti kolonialisme banyak menarik pemuda Kamboja seperti Pol Pot untuk membuat gerakan dan partai yang anti terhadap kolonialisme. Pol pot merupakan pemimpin gerakan Khmer Rouge yang bertujuan untuk menumbuhkan kembali gerakan komunisme di negara Kamboja. Salah satu tindakan yang dilakukan oleh gerakan Khmer Rouge adalah pembunuhan massal atau genocide yang mana telah dilakukan oleh mereka sejak tahun 1953. Gerakan Khmer Rouge merupakan gerakan politik yang diwaspadai oleh Amerika Serikat. Kondisi ini disebabkan gerakan Khmer Rouge merupakan salah satu gerakan yang anti terhadap Amerika Serikat. Adapun tujuan dari munculnya kembali gerakan ini di arena perpolitikan Kamboja adalah untuk mengubah sistem politik Kamboja yang saat ini menganut sistem demokrasi menjadi sistem komunisme. Tindakan gerakan Khmer Rouge tersebut membuat kepentingan Amerika Serikat di wilayah Asia Tenggara, khsusunya Kamboja menjadi terganggu.

Oleh karena itu, Amerika Serikat mulai memainkan perannya di dunia internasional dan Asia Tenggara. Adapun perannya dengan membuat beberapa kebijakan luar negeri, antara lain mengeluarkan kebijakan Travel Advisory dan Travel Warning terhadap negara-negara di Kawasan Asia Tenggara yang memiliki potensi menjadi target serangan teroris seperti Kamboja, meningkatkan kuantitas jumlah personil Amerika Serikat di kawasan Asia Tenggara, menggiatkan kampanye Anti

(9)

Terorisme melalui forum-forum kerjasama regional dan internasional seperti APEC, dan pemerintah AS membuat kesepakatan anti terorisme dengan ASEAN. Selain itu, Amerika Serikat juga mengeluarkan kebijakan yang bersifat bilateral di kawasan Asia Tenggara, yaitu Amerika Serikat akan membentuk pusat koordinasi anti terorisme regional Asia Tenggara di Kamboja, Amerika Serikat dan Kamboja kemudian menandatangani kesepakatan anti terorisme pada tanggal 22 Mei 2002. Pada intinya Kamboja dan Amerika Serikat sepakat dengan tegas untuk memerangi aksi terorisme internasional. Untuk kasus Khmer Rouge, Amerika Serikat mengeluarkan beberapa kebijakan. Hal ini bertujuan untuk mengawasi perkembangan gerakan tersebut di Kamboja. Adapun kebijakan-kebijakan tersebut, antara lain memberikan bantuan militer kepada Kamboja, melakukan kerjasama latihan militer dengan Kamboja, dan meningkatkan jumlah personil militer di Kamboja. Kebijakan-kebijakan ini bertujuan untuk membantu Kamboja dalam mengatasi gerakan Khmer Rouge.

Kedua penelitian diatas membuat penulis ingin melihat secara mendalam mengenai pemberian bantuan Australia melalui Bali Rehabilitation Fund dalam pemulihan sosio-ekonomi masyarakat Bali pasca Bom Bali I dan Bom Bali II dilihat dari bantuan yang diberikan Australia. Penelitian yang dilakukan oleh peneliti berbeda dengan penelitian Aronson (2011) yang memberikan bantuan berupa ekonomi, militer dan investigasi. Selain itu, berbeda pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Randi Fransisco Simanjuntak (2013).

(10)

I.6. Kerangka Konseptual

Penelitian ini menggunakan beberapa konsep sebagaimana yang dijabarkan dibawah ini.

1) Human Security

Konsep Human Security berkembang pada akhir Perang Dingin. Human security memiliki perluasan pengertian keamanan dari keamanan tradisional ke arah keamanan non-tradisional. Keamanan sebelumnya memiliki fokus terhadap keseimbangan suatu negara serta peran militer. Namun, perkembangan globalisasi, fokus keamanan tradisional mengalami perkembangan ke arah keamanan non-tradisonal yang mana ancamannya memiliki fokus terhadap kelangsungan hidup manusia.

Menurut Shahrbanou Tadjbakhsh dan Anuradha M. Chenoy (2007) dalam buku mereka yang berjudul “Human Security: Concepts and Implications” menjelaskan bahwa human security merupakan keamanan yang ditujukan pada keamanan manusia. Sehingga dapat dikatakan, keamanan setiap individu merupakan tujuan dari human security. Keamanan yang dimaksud adalah aman dari hal-hal yang membuat mereka merasa tidak aman, misalnya dari ancaman genosida, kejahatan narkoba, peledakan bom oleh sekelompok teroris, terjadinya perpindahan penduduk akibat dari permasalahan lingkungan, bencana alam, tidak adanya akses ke lapangan pekerjaan, kurangnya akses terhadap pelayanan kesehatan dan hal-hal yang membuat tidak aman lainnya. Seperti yang

(11)

dijelaskan oleh Tadjbakhsh dan Chenoy (2007), ada dua jenis kebebasan manusia untuk mencapai human security, yaitu (1) freedom from fear atau bebas dari rasa ketakutan merupakan kebebasan manusia dari hal-hal terkait kekerasan terhadap dirinya-sendiri, dan; (2) freedom from want atau bebas dari rasa ingin merupakan kebebasan yang dimiliki manusia terkait kebutuhan dasar mereka, seperti makanan dan tempat tinggal, serta bebas dari kesulitan ekonomi. Dalam hal ini, manusia tidak hanya membutuhkan ketersediaan kebutuhan dasar mereka, namun juga ketersediaan kebutuhan jangka panjang bagi manusia, seperti lapangan pekerjaan. Jika kebebasan ini telah tercapai, maka manusia telah memiliki rasa aman bagi kelangsungan hidupnya. Namun sebaliknya, jika freedom from fear atau freedom from want tidak tercapai, maka timbul ancaman bagi manusia.

Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa manusia sebaiknya memiliki freedom from fear atau freedom from want. Namun jika belum memiliki, manusia akan merasakan ancaman yang mana ancaman timbul dari tidak terpenuhinya salah satu jenis kebebasan manusia tersebut. Tadjbakhsh dan Chenoy (2007) dalam bukunya juga mengelompokkan ancaman terhadap keamanan manusia dalam beberapa tipe, antara lain:

a) Ancaman terhadap sosio-ekonomi manusia. Ancaman tipe ini berkaitan dengan akses manusia terhadap mata pencaharian hingga akses pada pelayanan publik yang mana jika akses ini tidak dapat tercapai oleh manusia dapat menyebabkan kemiskinan, kelaparan,

(12)

penyakit hingga kematian. Tipe ancaman ini merupakan bagian dari freedom from want;

b) Ancaman terhadap keamanan pribadi yang mana berkaitan dengan fisik. Terjadinya tindakan kekerasan baik yang berasal dari peperangan, terorisme, kejahatan narkoba, konflik etnis hingga prostitusi merupakan beberapa contoh tindakan yang dapat mengancam keamanan pribadi masing-masing individu. Sehingga dapat dikatakan tipe ini termasuk freedom from fear;

c) Ancaman terhadap lingkungan. Ancaman ini bukan hanya

membahas tentang ancaman pada lingkungan, namun juga membahas bagaimana pengaruh ancaman tersebut pada manusia. Misalnya, adanya polusi air, polusi tanah, serta polusi udara. Tipe ancaman ini dapat dimasukkan dalam freedom from want, dan; d) Ancaman terhadap politik. Terjadinya pelanggaran HAM serta

hak-hak sipil pada setiap individu, adanya tindakan korupsi oleh seorang pejabat negara yang mana selain merugikan negara juga merugikan individu lainnya, hingga tidak adanya kesamaan hak dalam penegakan hukum, merupakan beberapa contoh tindakan yang mengancam hak politik masing-masing individu. Oleh karena itu, ancaman ini termasuk freedom from fear.

Selain dijelaskannya tipe-tipe ancaman terhadap keamanan manusia, Tadjbakhsh dan Chenoy (2007) juga menjelaskan hubungan yang dimiliki oleh masing-masing tipe ancaman. Dapat diketahui bahwa

(13)

tiap ancaman saling berhubungan satu sama lainnya. Adapun hubungan antar ancaman tersebut dibagi dalam dua cara, yakni:

1) Ancaman saling berkaitan dengan ancaman lainnya seperti efek domino. Misalnya, tidak adanya akses ke lapangan pekerjaan dapat menyebabkan kemiskinan serta jika kemiskinan terjadi dapat berdampak pada rendahnya kemampuan untuk mendapatkan dan menikmati pendidikan.

2) Berbagai ancaman dapat menyebar dalam suatu negara, misalnya kemiskinan di suatu negara dapat menyebabkan meningkatnya ancaman bagi stabilitas negara tersebut. Selain itu, ancaman dapat mengalir ke negara lainnya, misalnya terjadinya perpindahan penduduk suatu negara ke negara lainnya yang menyediakan lapangan pekerjaan bagi mereka dan terakhir, ancaman tersebut dapat mengancam keamanan global, misalnya terjadinya kegiatan jual beli narkoba antar individu antar negara.

Penulis dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan poin ancaman sosio-ekonomi dari empat kategori ancaman keamanan manusia atau human security menurut Tadjbakhsh dan Chenoy (2007). Ancaman sosio-ekonomi dalam hal ini akan dipakai penulis untuk membahas ancaman yang timbul dari dampak yang dihasilkan oleh peristiwa Bom Bali. Bom Bali I dan II dapat dikatakan telah mengancam keamanan masyarakat Bali, terutama masyarakat yang kehidupannya bergantung

(14)

pada sektor pariwisata, baik keamanan pribadi mereka yang kemudian merasa kesulitan untuk mendapatkan akses ke pekerjaan dan kemudian berdampak pada keamanan perekonomian mereka.

Seperti penjelasan pada paragraf sebelumnya bahwa setiap ancaman yang ada terkait keamanan manusia dapat berkaitan satu sama lainnya. Hal ini sesuai dengan yang dijelaskan oleh Tadjbakhsh dan Chenoy (2007) bahwa berbagai hal dapat menyebabkan keterkaitan tersebut, salah satunya adalah pengaruh globalisasi. Selain itu, globalisasi juga dapat membuka peluang munculnya ancaman-ancaman baru. Cara-cara mengatasi dan aktor–aktor yang memainkan peran dalam mengatasi berbagai ancaman keamanan manusia juga dipengaruhi oleh globalisasi. Kondisi ini dapat dilihat dari peran negara mengalami transformasi dalam keamanan manusia yang mana aktor-aktor non-negara saat ini mulai ikut memainkan perannya. Keterlibatan mereka juga dipengaruhi faktor dari kemampuan suatu negara dalam mengatasi permasalahan terkait keamanan manusia dari warga negaranya. Faktor ini dapat dilihat dari peran negara yang mengalami ancaman kemanusiaan dalam menghadapi ancaman tersebut, antara negara tidak ingin membantu memulihkan kondisi dalam negerinya untuk bangkit dari ancaman kemanusiaan atau negara merasa tidak mampu memulihkan kondisi negaranya dari ancaman kemanusiaan. Seperti halnya, ketika Bali mengalami keterpurukan akibat peristiwa Bom Bali tahun 2002 dan 2005, pemerintah Indonesia memiliki kemampuan yang kurang dalam mengatasi dampak yang disebabkan oleh peristiwa

(15)

tersebut. Sehingga pemerintah Indonesia menerima tawaran bantuan dari berbagai pihak, salah satunya adalah Australia.

2) Development Agency

Salah satu cara yang dipakai dalam mengatasi ancaman human security adalah dengan negara melakukan kerjasama. Suatu negara akan memberi bantuan kepada negara lain melalui development agency. Development agency merupakan suatu badan yang dimiliki negara dalam aktivitas distribusi bantuan, dari mengoperasionalkan hingga mengimplementasikan bantuan tersebut.

OECD dalam OECD LEED (2009) menjelaskan terdapat empat peran dari development agency yang mana keempat peran tersebut memiliki perbedaan, namun saling berkaitan satu sama lain. Adapun empat peran tersebut, yaitu;

a) Economic roles merupakan salah satu peran development agency sebagai agen pembangunan yang berpartisipasi pada pembangunan serta pengembangan ekonomi. Salah satu contohnya adalah development agency membuka pasar dan berpartisipasi dalam pasar tersebut yang mana orang-orang mampu mengakses mata pencaharian. Selain itu, peran development agency ini mencakup pendekatan entrepreneur. Pendekatan ini melibatkan hal-hal yang berkaitan dengan entrepreneur, misalnya investasi, infrastruktur, keuangan, perencanaan hingga pemasaran;

(16)

b) Development agency berperan sebagai kepemimpinan. Misalnya, berperan dalam merancang, menentukan dan mengembangkan suatu kebijakan untuk rentang waktu yang panjang. Selain itu,

developmet agency terkadang dinilai sebagai agen yang

independen karena ia juga mampu menggabungkan kepentingan serta sumber daya menjadi satu;

c) Governance and co-ordination roles adalah peran pemerintah

dalam memfasilitasi koordinasi sektor publik, masyarakat sipil, dan pihak swasta sehingga dapat menghantarkan negaranya menuju pembangunan di berbagai aspek (ekonomi, politik, sosial budaya, pertahanan dan keamanan), dan;

d) Implementation roles adalah peran development agency dalam

menyusun tim yang berdedikasi untuk mewujudkan cita-cita publik. Agensi ini dapat memfasilitasi kerjasama dari berbagai pihak (pejabat publik, pihak swasta, dan para ahli) dalam pencapaian cita-cita publik tersebut. Sehingga cita-cita publik yang tidak bisa tercapai secara maksimal oleh pejabat publik, dapat tercapai dengan maksimal melalui kerjasama dari berbagai pihak tersebut. Misalnya, meningkatkan perekonomian daerahnya.

Empat peran diatas digunakan untuk menjawab rumusan masalah peran Bali Rehabilitation Fund dalam pemulihan sosio-ekonomi masyarakat korban Bom Bali.

(17)

I.7. Metode Analisis

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif yang mana menurut Bogdan dan Biklen, S. dalam “Penelitian Kualitatif” karya Pupu Saeful Rahmat (2009), merupakan suatu metode penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata tertulis maupun kata-kata secara lisan dari orang-orang dan perilaku mereka yang dapat diamati. Data terkait dengan pertanyaan penelitian yang berhasil dikumpulkan akan digunakan untuk menjelaskan pemulihan sosio-ekonomi masyarakat korban Bom Bali pasca terjadinya Bom Bali I dan II melalui Bali Rehabilitation Fund.

Penulis memilih lokasi penelitian di Bali karena Bali merupakan salah satu wilayah yang beberapa kali menjadi sorotan internasional akibat bencana pengeboman yang cukup besar dan menelan korban jiwa baik asing maupun domestik. Penelitian ini mengambil tiga tahun rentang waktu penelitian, yaitu dari tahun 2003 hingga tahun 2006, yaitu saat awal digulirkannya Bali Rehabilitation Fund awal tahun 2003 hingga ditutupnya Bali Rehabilitation Fund pada Maret 2006.

Data yang digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian ini diperoleh melalui studi dokumen yang berupa buku, jurnal, website resmi serta media elektronik. Data statistik dalam penelitian ini diperoleh dari Badan Pusat Statistik Provinsi Bali dan Dinas Pariwisata Provinsi Bali.

(18)

I.8. Sistematika Penulisan

Bab I menjelaskan mengenai latar belakang dari judul penelitian, permasalahan penelitian yang akan dijawab serta tujuan dan manfaat yang diperoleh dari penelitian ini. Selain itu, tinjauan pustaka yang diperoleh dari penelitian terdahulu serta konsep human security dan development agency yang digunakan sebagai kerangka pemikiran dalam penelitian ini juga dijelaskan dalam bab ini. Pada bab ini dijelaskan pula metode penelitian yang digunakan untuk menjawab permasalahan penelitian serta sistematika penulisan dalam penelitian ini.

Kondisi Bali sebelum peristiwa pengeboman tahun 2002 dan tahun 2005, khususnya kondisi sosio-ekonomi Bali saat itu dijelaskan pada Bab II. Peristiwa Bom Bali I yang terjadi pada tahun 2002 dan Bom Bali II yang terjadi pada tahun 2005 juga akan dijelaskan dalam bab ini. Bab ini ditutup dengan penjelasan mengenai kondisi Bali pasca Bom Bali I (2002) dan pasca Bom Bali II (2005).

Bab III akan membahas bantuan Australia melalui Bali

Rehabilitation Fund dalam membantu Bali untuk pemulihan

sosio-ekonomi pasca terjadinya peristiwa pengeboman Bom Bali I dan Bom Bali II. Pada bab inilah peneliti menjelaskan peran Bali Rehabilitation Fund dalam pemulihan sosio-ekonomi masyarakat korban Bom Bali. Kesimpulan dan saran menutup penelitian ini pada Bab IV.

Referensi

Dokumen terkait

Dari uraian-uraian yang telah peneliti paparkan dalam latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah akuntabilitas kinerja himpunan

Penulisan Tugas Akhir kali ini akan membahas kesalahan pelafalan yang sering dilakukan mahasiswa jurusan Bahasa Korea Universitas Gadjah Mada, yang kaitannya

Sebelumnya diberitakan ada kasus bullying di Pontianak pada bulan April 2019 yang sampai viral di media sosial, yaitu berinisial A diduga dikeroyok oleh 12 orang siswa

Perusahaan yang melaksanakan program keselamatan dan kesehatan kerja secara serius, akan dapat menekan angka resiko kecelakaan dan penyakit kerja dalam tempat kerja, sehingga

pengguna tidak perlu lagi berjalan untuk mengontrol lampu kamar tersebut karna dengan alat ini penguna bisa mengontrol lampu kamar dengan pengendali remote

Pada era sebelum deregulasi Pakjun'83, industri perbankan nasional ditandai dengan campur tangan Bank Indonesia sebagai bank sentral dalam pengaturan pagu kredit

1. Abdul Muhaya, M.A, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang dan pembimbing I. Muchsin Jamil, M.Ag, selaku pembimbing II yang telah berkenang

Berikut ini perhitungan Workload untuk mesin pada packaging primer (Groover, 2001). Apakah perusahaan akan menggunakan 1 mesin atau menambah jumlah mesin menjadi 2