• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

7

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kajian Teori

Dalam bagian kajian teori ini berisi tentang pustaka untuk materi Think Pair Share, pembelajaran konvensional, minat belajar, dan prestasi belajar.

2.1.1 Think Pair Share

a. Hakekat Think Pair Share

Think Pair Share adalah salah satu bagian dari Cooperative Learning. Oleh karena itu, sebelum membahas tentang Think Pair Share, terlebih dahulu akan dijabarkan sekilas mengenai Cooperative Learning.

Pengajaran cooperative learning didefinisikan sebagai sistem kerja atau belajar kelompok yang terstruktur (Lie, 2002). Yang termasuk dalam struktur yaitu saling ketergantungan positif, tanggung jawab individual, interaksi personal, keahlian bekerjasama, dan proses kelompok. Cooperatif learning atau belajar kooperatif merupakan fondasi yang baik untuk meningkatkan dorongan berprestasi siswa.

Isjoni (2009) menjabarkan bahwa kooperatif berarti bekerja bersama dalam mencapai tujuan. Dalam kegiatan kooperatif, aktifitas individu adalah mencari hasil yang menguntungkan untuk semua anggota kelompok yang lain. Pembelajaran kooperatif adalah metode yang digunakan oleh kelompok kecil yang terdiri dari siswa untuk bekerja bersama untuk memaksimalkan belajar mereka sendiri dan teman – teman dalam kelompok. Dia juga menyampaikan bahwa pembelajaran kooperatif mengandung arti bekerjasama dalam mencapai tujuan bersama. Dalam kegiatan kooperatif, siswa mencari hasil yang menguntungkan bagi seluruh anggota kelompok. Pembelajaran kooperatif adalah pemanfaatan kelompok kecil untuk memaksimalkan belajar mereka dan belajar anggota lainnya dalam kelompok.

Menurut Lie (2002) pada dasarnya manusia senang berkumpul dengan yang sepadan dan membuat jarak dengan yang berbeda. Namun, pengelompokkan dengan orang sepadan dan serupa bisa menghilangkan kesempatan anggota

(2)

kelompok untuk memperluas wawasan dan untuk memperkaya diri, karena dalam kelompok homogen tidak terdapat banyak perbedaan yang bisa mengasah proses berpikir, bernegosiasi, berargumentasi, dan berkembang.

Pada pembelajaran cooperatif learning siswa dikelompokkan berdasarkan heterogenitas (kemacamragaman). Kelompok heterogenitas bisa dibentuk dengan memperhatikan keanekaragaman gender, latar belakang sosial ekonomi dan etnik, serta kemampuan akademis. Kelompok heterogen memberikan kesempatan untuk saling mengajar dan saling mendukung, meningkatkan relasi dan interaksi dengan orang lain, serta memudahkan pengelolaan kelas. Adapun jumlah anggota setiap kelompok bervariasi mulai dari 2 sampai 5 orang. Anggota yang memiliki sedikit personil dapat lebih meningkatkan partisipasi tiap anggota tetapi sedikit pula ide yang muncul dan kesulitan memonitor. Untuk anggota yang memiliki 4 atau 5 personil dapat memperbanyak tugas yang dilakukan tetapi memakan banyak waktu.

Suparno (2007) Cooperative Learning adalah pembelajaran dimana siswa dibiarkan belajar dalam kelompok, saling menguatkan, mendalami, dan bekerjasama untuk semakin menguasai bahan.

Beberapa karakteristik cooperative learning menurut Hilda K. dan Margaretha S. Y. (2002) antara lain: (a) Individual accountability, yaitu setiap individu dalam kelompok mempunyai tanggung jawab untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi kelompok. (b) Social skills, meliputi seluruh hidup sosial, kepekaan sosial dan mendidik siswa untuk menumbuhkan pengarahan diri demi kepentingan kelompok. (c) Positive interdependence, adalah sifat yang menunjukkan saling ketergantungan satu terhadap yang lain dalam kelompok secara positif. (d) Group processing, proses perolehan jawaban permasalahan dikerjakan oleh kelompok secara bersama-sama.

Fatma (2008) mengemukakan langkah-langkah cooperative learning adalah sebagai berikut: (a) Guru menyampaikan semua tujuan pelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar. (b) Guru menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan bacaan. (c) Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk

(3)

kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien. (d) Guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas mereka. (e) Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya. (f) Guru mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok.

Yanti (2010) menyatakan bahwa salah satu pendekatan struktur dalam pembelajaran kooperatif yang dikembangkan untuk meningkatkan penguasaan akademis siswa terhadap materi yang diajarkan adalah pendekatan struktural “Think-Pair-Share”. Metode tersebut dikembangkan oleh Frank Lyman dan rekan - rekannya dari Universitas Maryland. Pendekatan struktural “Think-Pair-Share” memberikan siswa waktu untuk berfikir dan merespon serta saling membantu satu sama lain, dan merupakan salah satu cara yang efektif untuk membuat variasi suasana pola diskusi kelas.

Dalam model struktural metode Think Pair Share, pertama siswa berpikir dan mencatat secara individu. Kemudian mereka bekerja berdua-dua untuk menciptakan beberapa pertimbangan untuk mendukung kedua pemikiran mereka atas suatu masalah. Selanjutnya, dua pasangan bekerjasama untuk mendapatkan suatu kesepakatan yang mendukung dan memurnikan beberapa pertimbangan mer eka atas permasalahan tersebut. Akhirnya, masing-masing kelompok berbagi kesimpulan dan argumentasi pendukungnya dengan keseluruhan kelas. (Kennedy, 2007)

Think Pair Share memiliki prosedur secara eksplisit dapat memberi siswa waktu lebih banyak untuk berpikir, menjawab, saling membantu satu sama lain Estiti (2007). Melalui cara ini diharapkan siswa mampu bekerja sama, saling membutuhkan dan saling bergantung pada kelompok-kelompok kecil secara kooperatif.

Trianto (2009) menjabarkan bahwa Think Pair Share merupakan suatu cara yang efektif untuk membuat variasi suasana pola diskusi kelas. Dengan asumsi bahwa semua diskusi membutuhkan pengaturan untuk mengendalikan kelas secara keseluruhan, dan prosedur yang digunakan dalam TPS dapat memberi

(4)

siswa banyak waktu berpikir, untuk merespon dan saling membantu. TPS ini memberi siswa kesempatan untuk bekerja sendiri serta bekerja sama dengan orang lain.

Suprijono (2009) menyatakan bahwa model pembelajaran Think Pair Share merupakan model pembelajaran yang dapat digunakan secara efektif untuk mengarahkan peserta didik dalam mempelajari sebuah materi pelajaran, model pembelajaran Think Pair Share dilaksanakan melalui tiga tahap yaitu thinking (berpikir secara individu), pairing (berdiskusi dengan pasangan), dan sharing (berbagi dengan teman).

Gunarti (2011) mengemukakan pendapatnya mengenai mengapa guru memilih menggunakan Think Pair Share adalah karena biasanya anak usia SD jika ditunjuk oleh guru untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan soal yang sulit di depan kelas akan measa malu atau takut. Jadi, untuk membangkitkan keaktifan siswa dalam proses belajar mengajar diterapkan model pembelajaran Think Pair Share. Model ini secara tidak langsung mendidik siswa berlatih berbicara di depan umum yaitu dengan jalan siswa mengutarakan ide atau pendapat dengan pasangannya.

Berdasarkan pendapat dari para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran Think Pair Share merupakan tipe sederhana yang memiliki keuntungan dapat mengoptimalkan partisipasi siswa dalam mengeluarkan pendapat, dan meningkatkan pengetahuan. Siswa meningkatkan daya pikir mereka terlebih dahulu (thinking), kemudian mereka masuk dalam kelompok kecil atau dalam hal ini mereka mencari satu orang teman untuk bekerja berpasangan (pairing), dan berbagi dengan teman yang lain (sharing). Setiap siswa berbagi pendapat, pemikiran, atau informasi yang sudah diketahui tentang masalah yang diberikan oleh guru, kemudian bersama – sama mencari solusi.

Dalam suatu model pembelajaran tentu saja memiliki kelebihan dan kekurangan. Begitu pula dengan model pembelajaran think pair share yang juga memiliki kelebihan dan kekurangan dalam pelaksanaannya.

Lie (2008) menyatakan kelebihan dan kekurangan kelompok berpasangan. Kelebihan Think Pair Share antara lain: (1) Meningkatkan partisipasi siswa dalam

(5)

pembelajaran. (2) Cocok digunakan untuk tugas yang sederhana. (3) Memberikan lebih banyak kesempatan untuk kontribusi masing-masing anggota kelompok. (4) Interaksi antar pasangan lebih mudah. (5) Lebih mudah dan cepat dalam membentuk kelompoknya.

Sedangkan kekurangan Think Pair Share yang disampaikan oleh Lie adalah lebih banyak kelompok yang akan melapor dan perlu dimonitor, lebih sedikit ide yang muncul, jika ada masalah tidak ada penengah.

b. Langkah – Langkah Pembelajaran Think Pair Share

Nurhadi (2003) menggunakan langkah – langkah thinking (berpikir), pairing(berpasangan), sharing (berbagi) dalam menerapkan pendekatan struktural Think Pair Share. Guru memberikan pertanyaan yang berhubungan dengan pelajaran, kemudian siswa diminta untuk memikirkan pertanyaan tersebut secara mandiri untuk beberapa saat. Kemudian guru meminta siswa untuk berpasangan dengan siswa yang lain untuk mendiskusikan apa yang telah dipikirkannya pada langkah pertama. Interaksi pada tahap ini diharapkan dapat berbagi jawaban jika telah diajukan suatu pertanyaan atau berbagai ide jika suatu persoalan khusus telah diidentifikasi. Biasanya guru memberi waktu 4-5 menit untuk berpasangan. Setelah itu, guru meminta pasangan-pasangan siswa tersebut untuk berbagi atau bekerjasama dengan kelas secara keseluruhan mengenai apa yang telah mereka diskusikan dengan cara bergantian pasangan demi pasangan dan dilanjutkan sampai beberapa siswa telah mendapat kesempatan untuk melaporkan, paling tidak sekitar seperempat pasangan, tetapi sesuaikan dengan waktu yang tersedia. Pada langkah ini akan efektif apabila guru berkeliling kelas dari pasangan yang satu ke pasangan yang lain.

Pendapat yang hampir serupa disampaikan oleh Lie (2008). Empat langkah dalam Think Pair Share (TPS) yang diungkapkan Lie yaitu: (1) Guru membagi siswa dalam kelompok berempat dan memberikan tugas kepada semua kelompok. (2) Setiap siswa memikirkan dan mengerjakan tugas tersebut sendiri. (3) Siswa berpasangan dengan salah satu rekan dalam kelompok dan berdiskusi dengan pasangannya. (4) Kedua pasangan bertemu kembali dalam kelompok berempat. Siswa mempunyai kesempatan untuk membagikan hasil kerjanya kepada

(6)

kelompok berempat.

Dalam sebuah jurnal internasional Center for Learning and Teaching Excellence, Susan Ledlow dalam artikelnya yang berjudul “Using Think-Pair-Share in the College Classroom”, terdapat kalimat dalam bahasa Inggris yang di dalamnya menyatakan bahwa Think-Pair-Share adalah sebuah strategi dengan resiko yang kecil untuk membuat siswa menjadi aktif di dalam berbagai kelas. Langkah-langkahnya sederhana: setelah menanyakan sebuah pertanyaan, mintalah siswa untuk berpikir tetang jawaban mereka. Sebagai variasi, guru mungkin bisa meminta siswa menuliskan jawaban individu mereka. ( Dalam penelitiannya berdasarkan tingkat kesulitan soal dan berapa waktu yang guru pikir cukup untuk aktivitas tersebut. Susan memberikan 10 detik hingga 5 menit pada siswa untuk bekerja secara individu). Kemudian minta mereka untuk berpasangan untuk membandingkan atau mendiskusikan jawaban atau respon mereka. Akhirnya, panggil secara acak beberapa siswa untuk merangkum hasil diskusi dan memberikan jawaban. Pemanggilan secara acak sangat penting untuk memastikan bahwa setiap individu sudah berpartisipasi.

Gunarti (2011) dalam penelitiannya mengungkapkan mengenai langkah – langkah model pembelajaran Think Pair Share. Model ini diawali oleh guru yang menyampaikan inti materi pelajaran, kemudian siswa dimina untuk berpikir tentang materi permasalahan yang disampaikan guru. Siswa diminta berpasangan dengan teman sebelahnya (atau yang jaraknya terdekat (satu kelompok 2 orang) dan mengutarakan hasil pemikiran masing – masing. Guru memimpin diskusi di dalam kelas, kemudian setiap kelompok mengemukakan hasil diskusinya. Dari kegiatan tersebut guru menambah pembicaraan pada pokok permasalahan dan menambah materi yang belum diungkapkan para siswa, dan hingga akhirnya guru menyimpulkan materi pelajaran.

Dari beberapa langkah – langkah Think Pair Share yang telah dikemukakan para ahli di atas, langkah – langkah pembelajaran TPS yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) siswa mendengarkan dengan seksama tujuan pembelajaran yang akan dicapai yang disampaikan oleh guru. (2) guru menyampaikan pentingnya belajar matematika. (3) siswa diarahkan untuk

(7)

mempersiapkan handout dan buku paket serta sumber lainnya. (4) siswa mendapat soal untuk dikerjakan secara individual pada tahap Think. (5) siswa mengerjakan soal secara berpasangan (Pair) dan menuliskan jawaban tahap pair pada format LKS Pair. (6) guru meminta beberapa kelompok secara acak mempresentasikan hasil diskusi di depan kelas dan ditanggapi oleh teman satu kelas yang lainnya. (7) guru dan siswa melakukan diskusi untuk penarikan kesimpulan. (8) pasangan siswa yang aktif mendapat hadiah. (9) semua hasil diskusi dicatat oleh siswa.

Pengembangan tahap – tahap Think Pair Share dapat dimodifikasi sesuai dengan kreatifitas guru yang akan menggunakan metode ini. Dapat juga menggunakan variasi media pembelajaran untuk memudahkan siswa dalam menangkap materi.

2.1.2 Pembelajaran Konvensional

a. Pengertian dan Karakteristik Pembelajaran Konvensional

Pembelajaran konvensional merupakan suatu pembelajaran yang sering digunakan oleh para guru dan pembelajaran ini memiliki kekhasan tertentu, misalnya lebih mengutamakan hafalan daripada pengertian, menekankan pada ketrampilan berhitung, mengutamakan hasil daripada proses dan pembelajaran berpusat pada guru. Paradigma yang menjadi acuan dari pembelajaran konvensional ini adalah paradigma mengajar.

Dalam pembelajaran menggunakan metode konvensional, kegiatan belajar mengajar didominasi oleh guru. Evi M.N. (2007) menyatakan bahwa “pembelajaran konvensional cenderung meminimalkan keterlibatan siswa sehingga guru nampak lebih aktif dan suasana belajar di kelas menjadi sangat monoton dan kurang menarik”. Guru memegang peranan penting dalam kegiatan pembelajaran, bahkan dapat dikatakan guru sebagai subjek yang memegang peran utama dalam menentukan sisi dan urutan langkah dalam menyampaikan materi pelajaran kepada siswa. Dalam kegiatan belajar – mengajar seperti ini, keterlibatan siswa seringkali diabaikan. Hal ini menyebabkan keaktifan siswa dalam mengikuti pelajaran sangat berkurang, siswa kurang inisiatif, kurang memiliki minat untuk mengetahui sesuatu hal dengan lebih mendalam, siswa mejadi bergantung pada guru.

(8)

b. Pembelajaran Konvensional pada Matematika

Guru matematika seringkali mengajar matematika dengan menggunakan pembelajaran konvensional karena pembelajaran ini dianggap oleh guru sangat efektif dan efisien untuk menyelesaikan kurikulum. Guru biasanya menjelaskan materi, memberikan contoh soal dan cara penyelesaiannya, dan memberikan tugas/latihan soal. Pengajaran matematika dengan pendekatan pembelajaran konvensional lebih menekankan pada hasil dibandingkan dengan proses. Selain itu, da vlam usaha menyelesaikan materi di kurikulum, guru lebih cenderung pada pemberian hafalan, drill, dan ceramah serta cara yang digunakan oleh guru mayoritas adalah pengerjaan soal-soal yang terdapat dalam LKS. Dalam pembelajaran matematika ini, aktivitas siswa tidak tampak dan yang menonjol adalah aktivitas guru yang mendominasi pembelajaran. Matematika yang merupakan human activity belum diperhatikan dalam pendekatan pembelajaran ini.

Dalam pengajaran matematika, pembelajaran konvensional yang digunakan guru sering disebut pula metode ekspositori. Hal ini sesuai dengan pendapat Purwoto (2003) yang mengatakan bahwa cara mengajar matematika yang pada umumnya digunakan para guru matematika adalah lebih tepat dikatakan sebagai menggunakan metode ekspositori. Penggunaan metode ekspositori diawali dengan guru menerangkan materi kemudian memberi contoh soal dan jawabannya serta diakhiri dengan pengejarjaan latihan soal oleh para siswa.

Purwoto (2003) mengatakan bahwa kelebihan dan kekurangan metode konvensional adalah sebagai berikut:

a. Kelebihan metode konvensional antara lain: (1) Dapat menampung kelas besar, tiap murid mendapat kesempatan yang sama untuk mendengarkan dan karenanya biaya yang diperlukan menjadi relative lebih murah. (2) Bahan pengajaran atau keterangan dapat diberikan secara lebih urut oleh guru. Konsep-konsep yang disajikan secara hirarki akan memberikan fasilitas belajar pada siswa. (3) Guru dapat memberikan tekanan terhadap hal-hal yang penting, sehingga waktu dan energi dapat digunakan sebaik mungkin. (4) Isi silabus dapat diselesaikan dengan lebih mudah, karena guru tidak harus menyesuaikan

(9)

dengan kecepatan belajar siswa. (5) Kekurangan atau tidak adanya buku pelajaran dan alat bantu pelajaran tidak menghambat dilaksanakannya pelajaran dengan metode ini.

b. Adapun Kelemahan metode konvensional antara lain: (1) Pelajaran berjalan membosankan siswa dan siswa menjadi pasif, karena tidak berkesempatan untuk menemukan sendiri konsep yang diajarkan. Siswa hanya aktif membuat catatan. (2) Kepadatan konsep-konsep yang diberikan dapat berakibat siswa tidak mampu menguasai bahan yang diajarkan. (3) Pengetahuan yang diperoleh melalui metode ini lebih cepat terlupakan. (4) Ceramah menyebabkan belajar siswa menjadi “belajar menghafal” (rote learning) yang tidak mengakibatkan timbulnya pengertian.

Meskipun metode konvensional berpusat pada guru dan kurang memperhatikan kreatifitas dan keaktifan siswa, namun pada kenyataannya ada banyak kelebihan yang dimiliki metode ini. Sehingga metode konvensional dapat sesekali digunakan dalam kegiatan belajar sehari – hari.

2.1.3 Minat Belajar Matematika a. Hakekat Minat

Ada banyak penelitian mengenai minat yang dilakukan oleh berbagai ahli psikologi. Apa yang dikemukakan tampaknya mmberikan pengertian yang berbeda – beda mengenai minat. Namun demikian, secara umum banyak yang mengaitkan minat dengan motivasi.

Menurut pengertian yang paling mendasar, minat berarti sibuk, tertarik, atau terlibat sepenuhnya dengan suatu kegiatan karena menyadari pentingnya kegiatan itu. Minat pada dasarnya adalah penerimaan akan sesuatu hubungan antara diri sendiri dengan sesuatu di luar diri. Semakin kuat atau dekat hubungan tersebut semakin besar minat.

Minat sebagai salah satu faktor internal psikologis yang mempengaruhi kualitas pencapaian prestasi belajar, minat tidak muncul dengan sendirinya, akan tetapi banyak faktor yang menyebabkan minat dalam diri siswa itu timbul terhadap beberapa mata pelajaran yang diajarkan oleh guru bidang studi. Beberapa faktor yang mempengaruhi minat antara lain adalah motivasi, belajar, bahan

(10)

pelajaran, guru, keluarga, dan pengaruh teman sebaya atau teman sepergaulan. Faktor lainnya yaitu bahan pelajaran. Bahan pelajaran yang menarik minat siswa, akan sering dipelajari oleh siswa yang bersangkutan. Dan sebaliknya bahan pelajaran yang tidak menarik minat siswa tentu akan dikesampingkan oleh siswa sebagaimana dikemukakan oleh Slameto (2003) bahwa minat mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap belajar, karena bila bahan pelajaran yang dipelajari tidak sesuai dengan minat, maka siswa tidak akan belajar dengan sebaik – baiknya karena tidak ada daya tarik baginya.

Guru juga aspek penting dalam merangsang minat belajar siswa. Guru yang baik, pandai, ramah, dan disiplin serta disenangi banyak murid sangat besar pengaruhnya dalam membangkitkan minat siswa.

Pihak lain yang juga berpengaruh adalah orangtua dan teman sebaya. Orangtua adalah orang yang terdekat dalam keluarga, oleh karenanya keluarga sangat besar pengaruhnya dalam menentukan minat dalam diri siswa terhadap mata pelajaran. Di sisi lain, melalui pergaulan, seorang siswa dapat terpengaruh arah minatnya. Siswa yang bergaul dengan teman – teman yang memiliki minat akan cenderung terbawa memiliki minat sebesar teman – temannya yang lain juga.

Minat adalah suatu pemusatan perhatian yang tidak sengaja yang terlahir dengan penuh kemauan dan yang tergantung dari bakat dan lingkungan. Dalam pembelajaran diperlukan suatu pemusat perhaitan agar apa yang dipelajari dapat dipahami sehingga siswa dapat melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak dapat dilakukan (Burhanuddin&Suejoto, 2006)

Berdasarkan berbagai definisi yang diuraikan oleh para ahli tentang minat tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa minat merupakan rasa ketertarikan, rasa lebih suka, tanpa adanya tekanan, suruhan, dan adanya kecenderungan serta kegairahan seseorang terhadap suatu kegiatan.

b. Belajar dan Faktor–Faktor yang Mempengaruhinya

Pengertian belajar sudah banyak disampaikan oleh para ahli psikologi termasuk ahli psikologi pendidikan. Menurut pengertian secara psikologis, belajar adalah proses perubahan, yaitu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya (Slameto, 2003).

(11)

Hal ini mengindikasikan bahwa apapun pengalaman yang terjadi dalam kehidupan manusia merupakan suatu pembelajaran.

Pengertian belajar menurut Zanikhan (2008), adalah proses yang dengan sengaja menimbulkan perubahan, yang keadaannya berbeda dari perubahan yang ditimbulkan sebelumnya. Belajar merupakan perubahan yang diperlihatkan dalam tingkah laku, yang keadaannya berbeda dari sebelum individu berada dalam situasi belajar dan sesudah melakukan tindakan yang sempurna itu. Hal ini searah dengan pendapat yang dikemukakan Fauzi (2004) yang menyatakan bahwa belajar merupakan suatu proses dimana suatu tingkah laku ditimbulkan atau diperbaiki melalui serentetan aksi atas situasi (atau rangsangan) yang terjadi. Menurut Sardiman (2008), belajar merupakan usaha penguasaan materi ilmu pengetahuan yang merupakan sebagian kegiatan menuju terbentuknya kepribadian seutuhnya.

Dari definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa belajar itu menimbulkan suatu perubahan tingkah laku yang relatif tetap dan perubahan itu dilakukan lewat kegiatan, atau usaha yang disengaja.

c. Minat Belajar Matematika

Djaali (2006) dalam bukunya yang berjudul Psikologi Pendidikan mengatakan bahwa didalam proses belajar banyak faktor yang mempengaruhinya, antara lain motivasi, sikap, minat, kebiasaan belajar, dan konsep diri. Minat dapat diekspresikan melalui pernyataan yang menunjukkan bahwa siswa lebih menyukai suatu hal daripada hal yang lainnya.

Hakikat minat belajar adalah suatu kecenderungan atau kegairahan yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu yang ingin dicapai (Syah, 2006)

Peran guru dalam membangkitkan minat belajar adalah dengan pemilihan bahan pengajaran yang berarti pada siswa, menciptakan kegiatan belajar yang dapat memberikan dorongan untuk menemukan, menerjemahkan apa yang diajarkan. Suatu bahan pengajaran disajikan sesuai dengan tingkat kemampuan berpikir anak dan disampaikan dalam bentuk yang banyak melibatkan aktivitas anak dalam proses belajar. System ntuk membangkitakan minat belajar yang sekarang sedang dikembangkan adalah meritocracy yang merupakan system pengajaran yang menekankan pada kompetensi atau adanya persaingan. Dalam

(12)

system pengajaran ini, siswa mempunyai kesempatan maju terus sesuai dengan prestasi belajar yang telah dicapainya.

Dalam system meritocracy, siswa yang pandai dapat berkembang pesat, jauh meninggalkan teman-temanya. Sebaliknya anak yang kurang pandai akan ketinggalan. Sistem pengajaran ini dapat menimbulkan minat bagi anak yang pandai, sebaliknya dapat mematahkan semangat bagi anak yang kurang pandai. Adanya kebaikan dan kelemahan system meritocracy ini dapat dikontrol dengan adanya perencanaan pengajaran yang matang dan menyenangkan yang disiapkan oleh guru. Minat belajar siswa juga merupakan salah satu factor keberhasilan pencapaian kompetensi belajar tertentu (Djamarah, 2008).

Minat belajar adalah suatu penerimaan akan suatu hubungan antara diri sendiri dengan sesuatu di luar diri. Seseorang memiliki minat terhadap subjek tertentu cenderung untuk memberikan perhatian lebih besar terhadap subjek tertentu (Djamarah, 2008)

Menurut Slameto (2003) siswa yang berminat dalam belajar mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (1) Mempunyai kecenderungan yang tetap untuk untuk memperhatikan dan mengenang sesuatu yang dipelajari secara terus menerus.(2) Ada rasa suka dan senang pada sesuatu yang diminati.(3) Memperoleh suatu kebanggaan dan kepuasan pada sesuatu yang diminati. Ada rasa keterikatan pada sesuatu aktivitas-aktivitas yang diminati.(4) Lebih menyukai suatu hal yang menjadi minatnya daripada yang lainnya. (5) Dimanifestasikan melalui partisipasi pada aktivitas dan kegiatan.

Dari beberapa pendapat ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa minat merupakan kecenderungan hati untuk terlibat pada suatu objek. Siswa yang memiliki minat belajar matematika berarti mempunyai usaha dan kemauan untuk mempelajari matematika. Sehingga dapat dirumuskan beberapa indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui tingkat minat siswa terhadap pelajaran matematika adalah sebagai berikut: (1) sikap siswa terhadap pelajaran matematika. (2) kebiasaan belajar siswa. (3) usaha siswa untuk meningkatkan hasil belajar matematika siswa. (4) kesadaran siswa akan manfaat dan kegunaan matematika dalam kehidupan sehari-hari maupun kehidupannya di masa yang

(13)

akan datang. (5) kecenderungan siswa untuk selalu siap pada kegiatan pembelajaran matematika. (6) tanggung jawab siswa terhadap tugas – tugas pada mata pelajaran matematika.

Minat berpengaruh terhadap bagaimana sikap dan tanggung jawab seseorang terhadap sesuatu hal. Jika seorang siswa memiliki minat yang tinggi terhadap satu mata pelajaran tertentu, siswa akan memiliki tanggung jawab yang lebih untuk mencapai prestasi yang maksimal pada pelajaran tersebut.

2.1.4 Hasil Belajar Matematika a. Hakekat Hasil Belajar

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005) hasil belajar adalah penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran, lazimnya ditunjukkan dengan nilai tes atau angka yang diberikan oleh guru.

Menurut Sudjana (2005) dalam sistem pendidikan nasional rumusan tujuan pendidikan baik tujuan kurikuler maupun tujuan instruksional, menggunakan klasifikasi hasil belajar dari Benyamin Bloom yang secara garis besar membaginya menjadi 3 ranah yaitu, ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik.

Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek. Kedua aspek pertama disebut kognitif tingkat tendah dan keempat aspek berikutnya termasuk kognitif tingkat tinggi (Sudjana, 2005). Enam aspek itu yaitu: (1) pengetahuan, mencakup ingatan akan hal – hal yang pernah dipelajari dan disimpan dalam ingatan berupa fakta, kaidah, dan prinsip serta metode yang diketahui; (2) pemahaman, mencakup kemmapuan untuk menangkap makna dan arti dari bahan yang dipelajari; (3) penerapan atau aplikasi, mencakup kemampuan untuk menerapkan suatu kaidah atau metode bekerja pada suatu kasus atau problem yang konkret dan baru; (4) analisis, mencakup kemamuan untuk menerima suatu kesatuan ke dalam bagian – bagian sehingga struktur keseluruhan atau organisasinya dapat dipahami dengan baik; (5) sintesis, mencakup kemampuan untuk membentuk suatu kesatuan pola baru, bagian – bagian dihubungkan satu sama lain sehingga tercipta suatu bentuk baru; (6) evaluasi, mencakup kemampuan untuk membentuk suatu pendapat mengenai

(14)

sesuatu atau beberapa hal bersama dengan pertanggungjawaban pendapat itu yang berdasarkan suatu kriteria tertentu.

Sementara itu, Sudjana (2005) mengungkapkan hal – hal yang berkenaan dalam ranah afektif ada 2 (dua) hal yang perlu dinilai, yaitu kompetensi afektif dan sikap serta minat siswa terhadap mata pelajaran dan proses pembelajaran. Ada 5 tingkatan dalam ranah afektif ini, yaitu: (1) penerimaan, yakni semacam kepekaan dalam menerima rangsangan dari luar yang datang kepada siswa dalam bentuk masalah, situasi, gejala, dan lain – lain; (2) respon atau jawaban, yakni reaksi yang diberikan oleh seseorang terhadap stimulasi yang datang dari luar, (3) penilaian, berkenaan dengan nilai dan kepercayaan terhadap gejala atau stimulus; (4) organisasi, yakni pengembangan dari nilai kedalam suatu sistem organisasi, termasuk hubungan satu nilai dengan nilai lain, pemantapan dan prioritas yang dimiliki seseorang, yang mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah lakunya. Sedangkan yang ketiga adalah ranah psikomotorik yang tampak dalam bentuk keterampilan dan kemampuan bertindak individu.

Abdurrahman (2003) mengatakan bahwa hasil belajar adalah kemampuan yang diperoleh anak setelah melalui kegiatan belajar. Dalam kegiatan belajar yang terprogram dan terkontrol yang disebut kegiatan pembelajaran atau kegiatan instruktusional, tujuan belajar telah ditetapkan lebih dahulu oleh guru. Anak yang berhasil belajar adalah anak yang berhasil mencapai tujuan – tujuan pembelajaran atau tujuan – tujuan instruktusional.

Hasil belajar menurut Anni (2004) merupakan perubahan perilaku yang diperoleh pembelajar setelah mengalami aktivitas belajar. Pendapat lain mengatakan hasil belajar merupakan kemampuan yang dimiliki siswa setelah mengalami pengalaman belajar (Sudjana, 2009).

Abidin (2012) mengungkapkan hasil belajar sebagai hasil yang dicapai oleh siswa yang telah mengikuti proses belajar mengajar. Hasil pada dasarnya merupakan sesuatu yang diperoleh dari suatu aktivitas, sedangkan belajar merupakan suatu proses yang mengakibatkan perubahan pada individu, yakni perubahan tingkah laku, baik aspek pengetahuannya, keterampilannya, maupun aspek sikapnya. Hasil belajar merupakan istilah yang digunakan untuk

(15)

menunjukkan tingkat keberhasilan yang dicapai siswa dalam bidang studi tertentu setelah mengikuti proses belajar mengajar.

Sudjana (2009) juga menjabarkan hasil belajar dapat dibagi menjadi 3 macam, yakni keterampilan dan kebiasaan, pengetahuan dan pengertian, sikap dan cita-cita. Masing-masing jenis hasil belajar dapat diisi dengan bahan yang telah ditetapkan dalam kurikulum. Di sisi lain terdapat lima kategori hasil belajar, yakni informasi verbal, ketrampilan intelektual, strategi kognitif, sikap, dan ketrampilan motoris. Dalam sistem pendidikan nasonal rumusan tujuan pendidikan, baik tujuan kurikuler maupun tujuan instruksional, menggunakan klasifikasi hasil belajar dari Bloom yang secara garis besar membaginya menjadi tiga ranah yaitu ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotorik.

Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek, yakni pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Kedua aspek pertama disebut kognitif tingkat rendah dan keempat aspek berikutnya termasuk kognitif tingkat tinggi.

Ranah afektif berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek, yakni penerimaan, jawaban atau reaksi, penilaian, organisasi, dan internalisasi. Ranah psikomotorik berkenaan dengan hasil belajar ketrampilan dan kemampuan bertindak. Ada enam aspek ranah psikomotorik, yakni gerakan reflex, ketrampilan gerakan dasar, kemampuan perceptual, keharmonisan atau ketepatan, gerakan ketrampilan kompleks, serta gerakan ekspresif dan interpretatif.

Rifa’i (2003) mendefinisikan hasil belajar sebagai suatu hasil yang diharapkan dari pembelajaran yang telah ditetapkan dalam rumusan perilaku tertentu sebagai akibat dari proses belajarnya.

Sebenarnya hasil belajar merupakan realisasi pemekaran dari kecakapan atau kapasitas yang dimiliki seseorang. Penguasaan hasil belajar dari seseorang dapat dilihat dari perilakunya, baik perilaku dalam bentuk penguasaan pengetahuan, keterampilan berpikir, maupun keterampilan motorik (Sukmadinata,2003)

Menurut Susanto (2006) belajar merupakan proses di mana otak atau pikiran mengadakan reaksi terhadap kondisi luar dan reaksi itu dapat dimodifikasi dengan

(16)

pengalaman-pengalaman yang dialami sebelumnya. Belajar dapat berlangsung secara efektif apabila hasil belajar yang dicapai mendekati atau sama dengan tujuan belajar yang diharapkan.

Bagi seorang guru, menilai belajar siswa sebenarnya juga menilai hasil usahanya sendiri. Menilai hasil belajar siswa berfungsi untuk dapat membantu guru dalam menilai kesiapan anak pada suatu mata pelajaran, mengetahui status anak dalam kelas, membantu guru dalam usaha memperbaiki metode belajar mengajar.

Beberapa definisi hasil belajar yang dikutip dalam sebuah blog milik Munawar (2010) menjabarkan pengertian hasil belajar menurut para ahli yaitu hasil belajar merupakan hal yang dapat dipandang dari dua sisi yaitu sisi siswa dan dari sisi guru. Dari siswa, hasil belajar merupakan tingkat perkembangan mental yang lebih baik bila dibandingkan pada saat sebelum belajar. Tingkat perkembangan mental tersebut terwujud pada jenis – jenis ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Sedangkan dari sisi guru, hasil belajar merupakan saat terselesaikannya bahan pelajaran. Di sisi lain hasil belajar adalah bila seseorang telah belajar akan terjadi perubahan tingkah laku pada orang tersebut, misalnya dari tidak tahu menjadi tahu, dan dari tidak mengerti menjadi mengerti.

Dari beberapa pendapat di atas dapat diambil makna dari hasil belajar bahwa hasil belajar adalah kemampuan yang diperoleh anak setelah melalui kegiatan belajar baik berupa pengetahuan, sikap maupun keterampilan yang intinya adalah sebuah perubahan. Siswa dikatakan mempunyai hasil belajar matematika tinggi jika dapat mengerjakan soal dan mendapat hasil yang baik, menguasai kompetensi – kompetensi yang ada, mampu menyelesaikan tugas atau masalah dalam belajar dengan baik, haus akan ilmu pengetahuan, menyukai dan sering mengikuti berbagai perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan, mampu secara tepat menarik suatu generalisasi, cepat dalam menerima, mengolah, memahami dan menguasai pembelajaran, cepat mengerjakan tugas dengan hasil baik, cepat dan tepat dalam bertindak. Jadi yang dimaksud dengan hasil belajar matematika dalam penelitian ini adalah skor berupa angka yang diperoleh siswa setelah menyelesaikan proses pembelajaran matematika yang diukur melalui tes.

(17)

b. Hasil Belajar Matematika

Matematika adalah salah satu mata pelajaran yang penting baik dari segi teoritis maupun aplikatif di dalam kehidupan sehari-hari. Terdapat beberapa hakekat atau pengertian dari matematika. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005) disebutkan bahwa matematika adalah ilmu tentang bilangan-bilangan, hubungan antara bilangan dan prosedur operasional yang digunakan dalam penyelesaian masalah mengenai bilangan.

Purwoto (2003) mengemukakan bahwa matematika adalah pengetahuan tentang pola keteraturan pengetahuan tentang struktur yang terorganisasi mulai dari unsur-unsur yang tidak didefinisikan ke unsur-unsur yang didefinisikan ke aksioma dan postulat dan akhirnya ke dalil.

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa matematika adalah cabang ilmu pengetahuan eksak tentang bilangan, kalkulasi, penalaran, logik, fakta-fakta kuantitatif, masalah ruang dan bentuk, aturan-aturan yang ketat, dan pola keteraturan serta tentang struktur yang terorganisir.

Matematika berfungsi mengembangkan kemampuan menghitung, mengukur, menurunkan dan menggunakan rumus matematika yang diperlukan dalam kehidupan sehari – hari melalui materi geometri, aljabar, dan trigonometri. Matematika juga berfungsi mengembangkan kemampuan mengkomunikasikan gagasan dengan bahasa melalui model matematika yang berupa kalimat dan persamaan matematika, diagram, grafik atau tabel. (Depdiknas 2004)

Dari pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa hasil belajar matematika adalah suatu proses perubahan kemampuan yang berupa pengetahuan, ketrampilan, dan pengalaman baru yang diperoleh melalui proses interaktif dalam proses pembelajaran matematika antara peserta didik dengan lingkungannya dan dapat diukur melalui tes serta hasilnya dihitung dengan menggunakan analisis statistik.

Jadi yang dimaksud dengan hasil belajar matematika dalam penelitian ini adalah skor berupa angka yang diperoleh siswa setelah menyelesaikan proses pembelajaran matematika yang diukur melalui tes serta hasilnya dihitung dengan menggunakan analisis statistik.

(18)

c. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar

Hasil belajar dari siswa dapat dipengaruhi oleh beberapa hal. Menurut Purwanto (2006), faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi atau hasil belajar matematika dibedakan menjadi dua golongan, yaitu: (1) Faktor intern, yaitu faktor yang ada pada diri organisme itu sendiri. Faktor dari dalam ini antara lain adalah perhatian, kesehatan, intelegensi, minat, motivasi, aktivitas belajar dan cara belajar. (2) Faktor ekstern, yang termasuk ke dalam faktor ekstern antara lain faktor keluarga keadaan awal, guru dan cara mengajarnya, alat-alat yang digunakan dalam pembelajaran, kurikulum, dan lingkungan sekolah. Dalam penelitian ini, akan dilihat dua faktor yang mempengaruhi hasil belajar, yaitu metode pembelajaran (cara guru mengajar) dan minat belajar siswa.

d. Jenis-jenis Penilaian Hasil Belajar Matematika

Dalam penilaian hasil belajar siswa dapat dibagi menjadi 2 macam yaitu penilaian tes dan penilain non tes.

1) Tes

Tes hasil belajar menurut Purwanto (2009) merupakan tes penguasaan, karena tes ini mengukur penguasaan siswa terhadap materi yang diajarkan oleh guru atau dipelajari oleh siswa. Tes diujikan setelah siswa memperoleh sejumlah materi sebelumnya dan pengujian dilakukan untuk mengetahui penguasaan siswa atas materi tersebut. Macam-macam tes menurut Purwanto (2009) yaitu:

a) Tes formatif

Tes formatif dimaksudkan sebagai tes yang digunakan untuk mengetahui sejauh mana siswa telah terbentuk setelah mengikuti proses belajar-mengajar.Setiap pokok bahasan membentuk perilaku tertentu sebagaimana dirumuskan dalam tujuan pembelajarannya.

b) Tes sumatif

Tes sumatif dimaksudkan sebagai tes yang digunakan untuk mengetahui penguasaan siswa atas semua jumlah materi yang disampaikan dalam satuan waktu tertentu seperti semester.

c) Tes diagnostik

(19)

mengalami masalah dan menelusuri jenis masalah yang dihadapi. d) Tes penempatan

Tes penempatan adalah pengumpulan data tes hasil belajar yang diperlukan untuk menempatkan siswa dalam kelompok siswa sesuai dengan minat dan bakatnya.

2) Non Tes

Penilaian non tes merupakan prosedur yang dilalui untuk memperoleh gambaran mengenai karakteristik minat, sifat, dan kepribadian melalui:

a) Pengamatan, yakni alat penilaian yang pengisiannya dilakukan oleh guru atas dasar pengamatan terhadap perilaku siswa, baik perorangan maupun kelompok, dikelas maupun diluar kelas.

b) Skala sikap, yaitu penilaian yang digunakan untuk mengungkapkan sikap siswa melalui pengerjaan tugas tertulis dengan soal-soal yang lebih mengukur daya nalar atau pendapat siswa

c) Angket, yaitu alat penilaian yang menyajikan tugas-tugas atau mengerjakan dengan cara tertulis

d) Catatan harian, yaitu catatan mengenai perilaku siswa yang dipandang mempunyai kaitan dengan perkembangan pribadinya

e) Daftar cek, yaitu suatu daftar yang dipergunakan untuk mengecek terhadap perilaku siswa telah sesuai dengan yang diharapkan atau belum. (Purwanto, 2009)

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian test dengan menggunakan pretest dan posttest. Pretest merupakan penilaian yang dilakukan guru secara rutin pada setiap akan memulai penyajian materi baru, dengan tujuan untuk mengidentifikasi tarap pengetahuan siswa mengenai bahan yang akan disajikan. Adapun instrumen yang digunakan dapat lisan, dapat tertulis, sedangkan yang biasa digunakan adalah lisan, karena pretest ini pelaksanaannya berlangsung secara singkat dan biasanya pretest ini hanya mengambil sampel beberapa siswa yang sekiranya dapat mewakili kemampuan siswa yang lain.

Kebalikan dari pretest adalah posttest, yakni penilaian yang dilakukan setelah pelaksanaan kegiatan belajar. Tujuannya untuk mengetahui tarap

(20)

penguasaan siswa terhadap materi pelajaran yang baru saja dipelajari. Hasil post-test ini digunakan sebagai tolok ukur guru untuk melanjutkan ke materi selanjutnya atau pun kalau banyak siswa yang belum memahami atau hasil post-test rendah maka guru perlu untuk mengulangi kegiatan belajarnya.

Evaluasi atau penilain formatif, yakni penilaian yang dilaksanakn pada setiap akhir pelajaran satuan pelajaran. Tujuannya untu kmemperoleh umpan balik dalam pembelajaran yang telah dilakukan, yakni mengetahui kesulitan atau mengidentifikasi bagian-bagian tertentu yang belum dikuasai siswa.

Penilaian sumatif, yakni penilaian yang dilakukan untuk mengukur kemampuan siswa yang dilakukan setiap akhir semester, atau akhir tahun pelajaran. Hasil dari penilaian sumatif ini digunakan sebagai laporan kemampuan siswa pada orang tua.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pretest untuk mengukur kemampuan awal siswa dan post-test untuk mengukur kemampuan akhir siswa setelah diberi perlakuan. Penilaian berupa pemberian soal tes berjenis pilihan ganda yang sebelumnya sudah divalidasi.

2.1.5 Hubungan antara Model, Minat, dan Hasil Belajar Matematika

Telah diuraikan bahwa minat merupakan ketertarikan akan sesuatu hal yang dilihatnya atau yang dikerjakannya berdasarkan kegunaannya untuk kebutuhan dalam dirinya. Minat yang tinggi terhadap pelajaran dapat meningkatkan hasil belajar tinggi pula, sehingga minat sangat diperlukan.

Matematika merupakan pelajaran yang sulit bahkan ada yang mengatakan sangat menyeramkan. Bukan saja dari anak SD, sampai ke perguruna tinggi pun masih ada yang merasa takut. Bahkan mereka yang di perguruan tinggi sampai mengambil jurusan yang tidak ada hubungannya dengan matematika

Cara mengajar guru sangat berpengaruh terhadap hasil belajar siswa. Beberapa guru hanya mengajar dengan satu model yang kebetulan tidak cocok dan sulit dimengerti siswa. Oleh karena itu, guru seharusnya dapat menguasai bermacam - macam model pembelajaran sehingga dapat memilih model yang tepat untuk suatu materi yang akan disampaikan.

(21)

berpengaruh terhadap keberhasilan belajar siswa. Minat memegang peranan peran penting dan sangat erat hubungannya dengan belajar. Belajar tanpa minat akan terasa menjemukan, dalam kenyataannya tidak semua siswa belajar dengan dorongan minatnya sendiri, ada yang mengembangkan minatnya terhadap materi pelajaran dikarenakan pengaruh dari gurunya, temannya, dan atau tuntutan orangtuanya. Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban dan tanggung jawab sekolah untuk menyediakan situasi dan kondisi yang bisa merangsang minat siswa untuk belajar.

Salah satu cara merangsang dan meningkatkan minat belajar siswa adalah dengan menciptakan kondisi yang menyenangkan pada saat kegiatan belajar mengajar. Penciptaan kondisi ini salah satunya adalah dengan menggunakan variasi metode yang merangsang keaktifan dan kreatifitas siswa. Kecenderungan siswa untuk bertanya pada teman sebayanya memunculkan metode Think Pair Share yang diharapkan mampu meningkatkan minat belajar siswa. Meningkatnya minat belajar diharapkan juga dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran matematika.

2.2 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan

Terdapat beberapa penelitian pendahulu yang meneliti tentang Think Pair Share yaitu penelitian Giyastutik (2009), Triyastuti (2010), Gunarti (2011).

Penelitian Giyastutik (2009) yang berjudul Penerapan Pembelajaran Kooperatif Think-Pair-Share untuk Meningkatkan Hasil Belajar Biologi Siswa Kelas VII A SMP Negeri 3 Karanganyar Tahun Pelajaran 2007/2008. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan pembelajaran kooperatif metode Think-Pair-Share dapat meningkatkan hasil belajar siswa dalam proses pembelajaran. Peningkatan hasil belajar diukur dari evaluasi siklus I dan siklus II dengan rata-rata capaian kognitif pada siklus I sebesar 72,13% dan pada siklus II sebesar 80,46%. Capaian rata-rata afektif pada siklus I sebesar 71,52% dan pada siklus II sebesar 80,61%. Capaian rata-rata psikomotor siswa yang bersikap positif pada siklus I sebesar 73,33% dan pada siklus II sebesar 87,5%. Sebagai data pendukung, capaian kepuasan siswa terhadap penggunaan metode Think- Pair-Share pada siklus I 68,77% dan pada siklus II menjadi 78,01% serta performance

(22)

guru pada siklus I sebesar 72,06% menjadi 80,26% pada siklus II. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa penerapan pembelajaran kooperatif metode Think-Pair-Share dapat meningkatkan hasil belajar biologi siswa kelas VII A SMP Negeri 3 Karanganyar tahun pelajaran 2007/2008.

Penelitian Tutut Febru Triyastuti (2010) yang berjudul Upaya Peningkatan Hasil Belajar Ekonomi/ Akuntansi Dengan Pembelajaran Kooperatif Tipe TPS (Think Pair Share) Pada Kelas Xi Ips 5 Sma Negeri 2 Surakarta Tahun Pelajaran 2009/ 2010 (Penelitian Tindakan Kelas). Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret Surakarta, Juli 2010. Hasil penelitian ini yaitu penerapan pembelajaran kooperatif tipe TPS dapat meningkatkan hasil belajar ekonomi/ akuntansi pada kelas XI IPS 5 SMA Negeri 2 Surakarta Tahun Pelajaran 2009/ 2010. Hal tersebut didukung oleh faktafakta sebagai berikut: (1) Keaktifan siswa dalam apersepsi meningkat sebanyak 14%. Hasil tersebut ditunjukkan pada siklus 1 sebesar 58% (21 siswa) dan pada siklus 2 sebesar 72% (26 siswa); (2) Keaktifan siswa dalam mengikuti pembelajaran kooperatif tipe TPS meningkat sebanyak 16%. Hasil tersebut ditunjukkan pada siklus 1 sebesar 61% (22 siswa) dan pada siklus 2 sebesar 77% (28 siswa); (3) Keaktifan siswa dalam diskusi berpasangan/ kelompok meningkat sebanyak 20%. Hasil tersebut ditunjukkan pada siklus 1 sebesar 61% (22 siswa) dan pada siklus 2 sebesar 81% (29 siswa); (4) Ketuntasan hasil belajar meningkat sebesar 15%. Hasil tersebut ditunjukkan pada siklus 1 sebesar 68% (23 siswa) dan pada siklus 2 sebesar 83% (29 siswa); (5) Keaktifan siswa dalam diskusi mengalami peningkatan terbesar dibandingkan dengan keaktifan dan ketuntasan hasil belajar siswa lainnya.

Penelitian Ratna Gunarti (2011) dengan judul Peningkatan Pemahaman Konsep Pecahan Melalui Model Pembelajaran Kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) Pada Siswa Kelas IV SD Negeri Jeron Nogosari Boyolali Tahun Pelajaran 2010/2011. Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan dalam dua siklus dapat disimpulkan bahwa dengan menerapkan model pembelajaran Think Pair Share dapat meningkatkan pemahaman konsep pecahan pada siswa kelas IV SD Negeri Jeron Nogosari Boyolali Tahun Pelajaran 2010/2011.

(23)

Peningkatan pemahaman konsep pecahan dapat dibuktikan dengan meningkatnya nilai evaluasi matematika dalam materi pecahan setiap siklusnya yaitu: sebelum tindakan nilai rata-rata evaluasi matematika 62,7 dimana siswa yang mendapat nilai di atas kriteria ketuntasan minimal (KKM) yaitu 60 sebanyak 20 siswa (53%) pada siklus I nilai rata-rata evaluasi matematika meningkat menjadi 68 sebanyak 26 siswa memperoleh nilai di atas KKM (68%) dan siklus II nilai rata-rata evaluasi matematika meningkat menjadi 74,5 sebanyak 32 siswa memperoleh nilai di atas KKM (84%).

Kelebihan dari keempat penelitian di atas dapat memaparkan bahwa dengan TPS dapat meningkatkan hasil belajar dan aktivitas pembelajaran dengan baik. Adapun kekurangannya sampel yang digunakan di tingkat pendidikan menengah dan membutuhkan waktu penelitian yang relatif lama.

Penelitian lain yang erat kaitannya dengan minat adalah penelitian Didik Triyono (2010) dengan judul Eksperimentasi Pembelajaran Matematika dengan Metode Penemuan Terbimbing Menggunakan Media Power Point dan Lembar Kerja Siswa Ditinjau Dari Minat Belajar Terhadap Prestasi Belajar Siswa. Hasil penelitiannya dapat disimpulkan bahwa: (1) pembelajaran matematika pada pokok bahasan balok dan kubus dengan metode penemuan terbimbing menggunakan media Power Point dan lembar Kerja Siswa (LKS) dapat menghasilkan prestasi belajar matematika yang lebih baik, dapat dilihat pada rataan marginal yaitu rataan prestasi belajar siswa yang mengikuti pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing yaitu 69,1633 lebih besar dari rataan prestasi siswa yang mengikuti pembelajaran dengan metode ekspositori yaitu 45,8359. Ada pengaruh metode pembelajaran terhadap prestasi belajar dengan tingkat signifikansi 5%. (2) tidak ada perbedaan prestasi belajar antara siswa dengan minat belajar tinggi dan sedang, tetapi prestasi belajar dengan minat belajar sedang lebih baik dibandingkan siswa dengan minat belajar rendah. Ada pengaruh tingkat minat belajar terhadap prestasi belajar siswa pada pokok bahasan balok dan kubus. (3) tidak ada interaksi antara metode pembelajaran dan minat belajar matematika siswa terhadap prestasi belajar pada pokok bahasan balok dan kubus dengan tingkat signifikansi 5%.

(24)

Berdasarkan penelitian – penelitian sebelumnya dan berdasarkan fenomena yang terjadi dalam pembelajaran matematika di SD, maka dibuatlah penelitian yang bertujuan untuk mengetahui keefektifan penggunaan Think Pair Share terhadap prestasi belajar siswa. Penelitian ini hanya sebatas untuk mengetahui Think Pair Share berpengaruh atau tidak terhadap prestasi belajar siswa terutama pada siswa kelas III SDN Salatiga 06. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian di atas, penelitian ini melihat pengaruh Think Pair Share terhadap peningkatan prestasi belajar di tingkat Sekolah Dasar (SD) serta waktu penelitian yang dibutuhkan relatif singkat.

2.3 Kerangka Pikir

Selama ini penggunaan model pembelajaran konvensional dalam mengajar seringkali menyebabkan siswa pasif dan kurang berpikir kreatif. Padahal banyak model pembelajaran yang dapat mengaktifkan siswa sehingga siswa lebih termotivasi untuk belajar dan proses belajar mengajar dapat berlangsung lebih berkualitas. Salah satu model yang dapat digunakan adalah pembelajaran matematika dengan pendekatan struktural “Think-Pair-Share”. Dalam penelitian ini digunakan dua model yaitu model pembelajaran konvensional (untuk kelas kontrol) dan model pembelajaran kooperatif dengan pendekatan struktural “Think-Pair-Share” (untuk kelas eksperimen).

Dalam model pembelajaran ini, siswa dapat menyelesaikan masalah dalam matematika dengan bekerja sama dengan pasangannya yang diawali dengan pemikiran secara individu. Sehingga siswa dapat menggali potensi yang dimilikinya dan dapat didiskusikan pada kelompok. Sehingga model pembelajaran matematika dengan pendekatan struktural “Think-Pair-Share” dapat menghasilkan hasil belajar matematika daripada penggunaan model pembelajaran konvensional. Dalam proses pembelajaran dibutuhkan keterlibatan siswa dan keaktifan siswa. Tingkat keterlibatan dan keaktifan ini dapat menunjukkan minat siswa terhadap mata pelajaran matematika yang diprediksi akan turut mempengaruhi hasil belajar siswa.

Pada tahap thinking, siswa diberi kesempatan untuk memikirkan pemecahan dari suatu soal secara mandiri. Ketika minat mereka besar, kegiatan itu akan

(25)

sangat membuat mereka bertanya-tanya sehingga akhirnya akan timbul interaksi yang kuat antara mereka dengan materi.

Begitu juga pada tahap pairing dan sharing, siswa perlu melakukan diskusi dengan teman dalam satu kelompok dan teman sekelas mengenai pemecahan soal yang telah dipikirkan sebelumnya secara mandiri oleh masing-masing siswa. Berdasarkan pemikiran-pemikiran tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran kooperatif dengan model TPS dan minat belajar matematika berperan dalam menentukan hasil belajar matematika siswa. Dari pemikiran pemikiran di atas dapat digambarkan kerangka berpikir dalam penelitian ini sebagai berikut.

Gambar 2.1. Kerangka berpikir penelitian Kelas Eksperimen

Think Pair Share

-Berpikir individu (Thinking) -Berdiskusi dengan

pasangan (Pairing) -Berbagi dengan teman diluar kelompok (Sharing) Post-test

Hasil Belajar Think Pair Share

Kelas Kontrol Konvensional / Ekspositori Post- test PBM Pre-test Hasil Belajar Konvensional Minat Belajar Matematika (Angket) Hasil Homogen Hasil Homogen

(26)

2.4 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan pada rumusan masalah dan tinjauan pustaka serta kerangka pemikiran di atas maka dalam penelitian ini diajukan hipotesis sebagai berikut:

1. Model pembelajaran Think-Pair-Share berpengaruh positif terhadap hasil belajar Matematika siswa kelas III Semester II Tahun 2011/2012 di SDN Salatiga 06

2. Model pembelajaran Think-Pair-Share berpengaruh positif terhadap hasil belajar Matematika siswa dintinjau dari minat belajar siswa kelas III Semester II Tahun 2011/2012 di SDN Salatiga 06

3. Ada interaksi antara penggunaan model pembelajaran dan minat belajar siswa terhadap hasil belajar matematika siswa kelas III Semester II Tahun 2011/2012 di SDN Salatiga 06.

Gambar

Gambar 2.1. Kerangka berpikir penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Hubungan antara Citra Perusahaan terhadap Niat Pembelian Ulang melalui mediasi Nilai Yang Dirasa, Kepuasan Pelanggan dan Kepercayaan dalam penelitian yang dilakukan

Berdasarkan diagram 2 hasil analisis yang digambarkan dalam bentuk diagram lingkaran terlihat jelas perbandingan bahwa jumlah siswa yang sudah tuntas belajar sebesar

Pendu g aan kepadatan populasi, kekayaan jenis, kelimpahan jenis, kemerataan jenis, penyebaran jenis dan kesamaan jenis tiap komunitas dianalisis secara kuantitatif. Sedan g kan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa setidaknya ada lima bauran pemasaran memiliki pengaruh terhadap keputusan pembelian asuransi jiwa, dan bauran produk merupakan variabel

Penilaian adalah suatu usaha untuk mengumpulkan berbagai informasi secara berkesinambungan dan menyeluruh, tentang proses dan hasil belajar yang dicapai oleh

(2) Dalam hal terjadi perubahan terhadap kelas jabatan di lingkungan Sekretariat Jenderal Dewan Ketahanan Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kelas jabatan

Dalam penyelenggaraan desentralisasi telah ditetapkan ketentuan pembagian urusan antara Pemerintah Pusat, Pemerintahan Daerah Propinsi dan Pemerintahan Daerah

Berdasarkan analisis data hasil penelitian setelah menerapkan model Pembelajaran kooperatif tipe Student Teams Achievement Division (STAD) persentase aktivitas guru