• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Sosialisasi dan Implementasi Perda Kabupaten TTS No. 25 Tahun 2001

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN Sosialisasi dan Implementasi Perda Kabupaten TTS No. 25 Tahun 2001"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sosialisasi dan Implementasi Perda Kabupaten TTS No. 25 Tahun 2001

Perda Kabupaten TTS No. 25 Tahun 2001 tentang cendana sebagai suatu peraturan yang sifatnya mengatur dan mempunyai daya ikat terhadap masyarakat dalam pengelolaan cendana perlu disosialisasikan. Tujuan sosialisasi Perda cendana adalah untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dengan memberikan pengertian dan pemahaman tentang isi yang terkandung dalam Perda. Dengan peningkatan kesadaran, masyarakat diharapkan dapat melaksanakan pengembangan cendana untuk mencapai tujuan yang ditetapkan.

Pelaksanaan sosialisasi Perda Kabupaten TTS No. 25 Tahun 2001 tentang cendana dilakukan melalui: (1) kegiatan penyuluhan hukum selama 2 tahun, (2) radio penyiaran daerah (RPD), dan (3) surat kabar harian “Radar Timor”. Hasil wawancara dengan tokoh adat, aparat pemerintah, dan responden di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat belum mengetahui adanya Perda Kabupaten TTS No. 25 Tahun 2001 tentang cendana yang berlaku dan masyarakat beranggapan Perda Provinsi NTT No. 16 Tahun 1986 masih berlaku. Jumlah responden yang belum mengetahui keberadaan Perda cendana sebesar 73,3% atau 44 orang dari seluruh responden dalam penelitian ini. Ketidaktahuan masyarakat terhadap keberadaan Perda yang mengatur tentang cendana berdampak pada berkurangnya keinginan untuk membudidayakan cendana di lahan milik.

Sosialisasi Perda cendana sudah dijalankan tetapi masyarakat terlanjur bersikap apatis terhadap cendana dan masyarakat lebih memilih menanam jenis tanaman pertanian untuk memenuhi kebutuhan hidup (Faah J 26 April 2010, komunikasi pribadi). Kondisi di atas disebabkan tiga hal yaitu: (1) efektifitas sosialisasi belum menjangkau seluruh masyarakat terutama di pedesaan, (2) resistensi masyarakat sebagai dampak kebijakan tahun 1986 tentang cendana dan kekhawatiran kebijakan yang berlaku akan berubah, (3) isi kebijakan masih bersifat disintensif bagi masyarakat. Secara umum, isi kebijakan lebih banyak mengatur kewajiban yang harus dibebankan kepada masyarakat tanpa melihat kemampuan masyarakat, (4) masyarakat tidak terlibat dalam proses penyusunan sehingga menggurangi rasa tanggungjawab terhadap kelestarian cendana dan

(2)

beranggapan pengembangan cendana menjadi tanggungjawab pemerintah daerah. Beberapa hal tersebut menunjukkan tidak efektifnya suatu kebijakan yang dapat merubah perilaku/respon masyarakat (Dunn 2004; Diamond 2005 dalam Kartodihardjo 2006b)

Kegiatan implementasi sebagai tahapan penting dalam keseluruhan struktur kebijakan sangat menentukan keberhasilan atau tidaknya pencapaian tujuan kebijakan (Agustino 2008). Tujuan yang terkandung dalam Perda Kabupaten TTS tentang cendana yaitu menghindari kepunahan cendana, memberikan kepercayaan pada masyarakat untuk bertanggungjawab terhadap kelangsungan dan pengakuan kepemilikan cendana. Kegiatan yang harus dilakukan pemerintah daerah untuk mencapai tujuan Perda yang tercantum dalam pasal-pasal yaitu pembudidayaan dan pelestarian cendana di tanah negara atau milik pemerintah daerah (Pasal 3), pelibatan tokoh masyarakat dan lembaga adat dalam pelestarian cendana (Pasal 4), inventarisasi cendana (Pasal 5) dan kegiatan pembinaan dan pengawasan cendana oleh Dinas Kehutanan Kabupaten TTS (Pasal 13), kenyataannya hingga sekarang belum pernah dilaksanakan.

Kendala implementasi Perda cendana disebabkan: (1) kurangnya komitmen pemerintah untuk membuat program terkait pengembangan cendana, (2) belum adanya prioritas anggaran, dan (3) petunjuk teknis yang dikeluarkan belum tepat. Kurangnya peran dan tanggungjawab pemerintah daerah dalam pengembangan cendana menunjukkan lemahnya kemauan politik pemerintah yang berdampak kepada menurunnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Kemampuan menjalankan solusi yang sudah ditetapkan dalam suatu kebijakan merupakan efektifitas implementasi kebijakan agar dapat merubah perilaku respon dalam mencapai tujuan yang ditetapkan (Dunn 2004).

Petunjuk teknis yang dikeluarkan sebagai dasar pelaksanaan Perda cendana masih bersifat kewajiban yang harus dilakukan masyarakat atau bersifat disinsentif yaitu Keputusan Bupati No. 8 Tahun 2002 tentang penetapan harga dasar jual kayu cendana yang dikeluarkan tanggal 5 Maret 2002 dan Peraturan Bupati No. 12 Tahun 2005 tentang mekanisme sistem pemungutan hasil hutan cendana pada lahan milik yang dikeluarkan tanggal 2 Agustus 2005. Peraturan

(3)

pelaksana terakhir yang dikeluarkan pemerintah daerah yaitu Instruksi Bupati No. 2 Tahun 2009 tentang budidaya cendana dan tanaman pagar hidup.

Proses perijinan pemungutan cendana yang ada bagi masyarakat dirasakan terlalu panjang, yaitu: (a) Setiap orang atau badan usaha yang akan memunggut cendana di lahan milik wajib melapor kepada Kepala Desa untuk mendapatkan surat keterangan kepemilikan yang sah, (b) Mengajukan permohonan rekomendasi dan ijin pemungutan cendana kepada Bupati tembusan kepada kepala dinas kehutanan disertai surat keterangan kepemilikan, (c) Berdasarkan permohonan, Bupati menunjuk instansi terkait melakukan pemeriksanaan lokasi dan kelayakan pemungutan/penebangan, (d) Hasil pemeriksaan dilaporkan kepada Bupati untuk diterbitkan rekomendasi layak tebang atau keterangan tidak layak tebang, dan (e) Apabila dinyatakan layak tebang, maka dinas kehutanan mengeluarkan ijin penebangan dan mengawasi proses penebangan. Hasil penebangan dilaporkan kepada Bupati tembusan kepala desa.

Proses perijinan tersebut membutuhkan waktu dan biaya bagi masyarakat. Hal ini dapat menimbulkan biaya transaksi yang harus ditanggung masyarakat. Peraturan yang diberlakukan masih menerapkan sistem kontrol yang ketat dari pemerintah sehingga berpotensi menimbulkan biaya transaksi yang besar dan menutup peluang masyarakat menarik manfaat dari potensi pasar (Rohadi et al. 2010).

Faktor-faktor Yang Berpengaruh Dalam Pengelolaan Cendana 1. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kepemilikan cendana

Diduga ada 5 faktor yang mempengaruhi peluang petani memiliki cendana dan tidak memiliki cendana di Kecamatan Amanuban Barat yaitu umur, luas lahan, jumlah anggota keluarga, jarak lahan, dan pendapatan rumahtangga. Dengan menggunakan analisis regresi logistik (model logit) diperoleh hubungan antara kelima faktor terhadap peluang kepemilikan cendana yaitu:

Ln ( Pi ) = – 2.4947 + 0.0044X1 – 0.2249X2 –0.2451X3 – 0.6198X4 + (1 - Pi) 0.5501X5 +

Uji seluruh model yang ditunjukkan dengan nilai G hitung = 50.3 %, signifikan pada taraf nyata 1 persen seperti terlihat pada Tabel 28. Hasil analisis menunjukkan faktor yang berpengaruh nyata terhadap peluang petani untuk

(4)

memiliki dan tidak memiliki cendana yaitu jarak lahan (X4) dan pendapatan rumahtangga (X5), sedangkan variabel umur, luas lahan, dan jumlah anggota keluarga tidak berpengaruh nyata terhadap peluang petani memiliki cendana. Tabel 28 Faktor-faktor yang mempengaruhi responden memiliki dan tidak

memiliki cendana Variabel Koefisien estimasi Simpangan baku Signifikan Odds ratio Konstanta (X1) Umur (X2) Luas lahan (X3) Jumlah anggota keluarga X4) Jarak lahan (X5) Pendapatan rumahtangga -2.4947 0.0044 -0.2249 -0.2451 -0.6198 0.5501 1.6306 0.0351 0.4133 0.2453 0.4353 0.1578 0.1260 0.8998 0.5864 0.3177 0.1545d 0.005a 1.004 0.799 0.783 0.538 1.733 N = 60, G-Hitung = 50.3% pada derajat bebeas (DF) = 5

Keterangan: a nyata pada  = 5 persen; b nyata pada  = 10 persen; c nyata pada

 = 15 persen; d nyata pada  = 20 persen

Tafsiran dari pengaruh variabel yang nyata secara statistik terhadap peluang keputusan petani memiliki dan tidak memiliki cendana diuraikan di bawah ini:

Koefisien estimasi variabel jarak lahan bertanda negatif (-0.6198) dan berpengaruh nyata pada taraf 20 persen. Artinya semakin jauh/panjang jarak rumah ke lahan maka peluang untuk memiliki cendana semakin kecil. Nilai odds ratio variabel jarak lahan menunjukkan nilai 0.538 yang berarti kemungkinan responden memiliki cendana 0.538 kali lebih besar pada jarak lahan yang lebih dekat dibandingkan dengan jarak lahan yang lebih jauh. Hasil wawancara menunjukkan masih tingginya tingkat pencurian tanaman cendana di lahan masyarakat sebagai akibat dari tingginya permintaan cendana sebagai bahan baku produksi berbagai kerajinan dan minyak cendana. Di lain pihak ketersediaan cendana di alam semakin sulit diperoleh baik di lahan negara maupun di lahan milik.

Petani lebih memilih menanam cendana di lokasi yang lebih dekat dengan rumah atau pekarangan dengan pertimbangan pemeliharaan lebih intensif dan aman dari berbagai gangguan. Pertimbangan memilih pekarangan sebagai area konservasi flora kering karena kedekatan pemilik lahan dengan tanaman sehingga memudahkan penyiraman, pemberantasan hama penyakit dan gulma. Selain itu pekarangan dikenal sebagai lokasi yang aman dari berbagai gangguan

(5)

seperti kebakaran, pengembalaan liar, dan penebangan illegal. Penanaman beberapa pohon yang bernilai ekonomi seperti cendana dalam pekarangan akan melindungi pohon-pohon tersebut dari kepunahan (Wawo & Abdulhadi 2006). Hal ini sejalan yang dikatakan Foresta dan Mitchon (2000) bahwa lahan di sekeliling rumah merupakan tempat yang cocok untuk melindungi dan membudidayakan tumbuhan kehutanan.

Variabel pendapatan rumahtangga bertanda positif (0.5501) dan berpengaruh nyata pada taraf 5 persen. Artinya bahwa semakin tinggi pendapatan rumahtangga maka peluang untuk memiliki cendana semakin besar. Variabel ini didukung dengan nilai odds ratio yang lebih besar dari 1 (satu) yaitu 1.733 yang berarti kemungkinan responden yang mempunyai pendapatan lebih tinggi berpeluang 1.733 kali lebih besar memiliki cendana daripada petani yang berpenghasilan kecil.

Rata-rata pendapatan petani yang memiliki cendana pertahun Rp17 394 501.00 sedangkan pendapatan petani yang tidak memiliki cendana Rp3 962 852.00. Jika dihitung pendapatan perkapita dengan rata-rata jumlah anggota keluarga sebanyak 4 orang, rata-rata pendapatan rumahtangga petani yang memiliki cendana Rp300 385.00/kapita/bulan, dan petani yang tidak memiliki cendana Rp82 559.00/kapita/bulan. Apabila dibandingkan dengan garis kemiskinan menurut standar BPS Rp182 636.00/kapita/bulan atau 2100 kkal/hari, maka petani yang memiliki cendana berada di atas ambang garis kemiskinan dan petani yang tidak memiliki cendana berada di bawah garis kemiskinan. Artinya bahwa petani yang memiliki cendana adalah petani yang mampu secara ekonomi dan petani yang tidak memiliki cendana adalah petani miskin.

Berdasarkan karakteristik petani cendana, secara umum memiliki pekerjaan sampingan seperti pegawai negeri, pensiunan pegawai negeri, buruh, tukang kayu/batu dan ojek. Dengan demikian, secara sosial petani cendana memiliki status sosial dan pendapatan yang tinggi sehingga petani mengambil keputusan untuk menanam cendana yang sifatnya jangka panjang dan yakin akan memperoleh hasil cendana. Hal ini mendukung hasil kajian yang dilakukan Rahardjo (2006) di Pulau Sumba menunjukkan bahwa masyarakat yang berhasil mengembangkan cendana umumnya memiliki kemampuan ekonomi yang lebih

(6)

baik dibanding masyarakat umumnya. Sebaliknya, penelitian yang dilakukan Sirait (2005) menunjukkan bahwa tingkat pendapatan masyarakat di Kabupaten TTS tergolong sangat rendah sebanyak 63% berdasarkan standar upah regional Kabupaten TTS Rp350 000,00 perbulan, masih berusaha melindungi dan memelihara cendana untuk meningkatkan pendapatan rumahtangga.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa permasalahan di tingkat petani yang diperoleh dari analisis menggunakan model logit terhadap peluang petani memiliki dan tidak memiliki cendana yaitu aspek teknis pemeliharaan dan keamanan kepemilikan cendana serta aspek ekonomi yaitu kemampuan ekonomi rumahtangga, di mana petani yang memiliki cendana cenderung termasuk kategori rumahtangga petani mampu dan petani yang tidak memiliki cendana termasuk rumahtangga petani miskin.

2. Analisis pendapatan rumahtangga petani cendana

Pendapatan rumahtangga petani cendana secara keseluruhan dipengaruhi oleh delapan faktor dengan nilai koefisien determinasi (R2) = 86.1% dan signifikan pada taraf nyata 5 persen, seperti dapat dilihat pada Tabel 29. Hasil analisis didapatkan model persamaan hubungan faktor-faktor terhadap pendapatan total petani cendana sebagai berikut:

Y = -12.812 + 0.3772 X1+ 1.249 X2 + 0.147 X3 – 2.470 X4 + 0.9620 X5 + 0.387 X6 + 7.389 X7 – 6.155X8 +

Tabel 29 Faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan rumahtangga petani cendana Variabel Koefisien regresi Standar error T hitung Signifikan Konstanta (X1) Umur (X2) Pendidikan (X3) Luas lahan (X4) Jumlah angg produktif (X5) Pendapatan cendana (X6) Jarak lahan (X7) Benih cendana

(X8) Hama penyakit cendana

-12.812 0.3772 1.2490 0.147 -2.470 0.9620 0.387 7.389 -6.155 5.752 0.0896 0.3733 1.076 1.132 0.1384 1.531 4.002 3.289 -2.23 4.21 3.35 0.14 -2.18 6.95 0.25 1.85 -1.87 0.039 0.001a 0.004 a 0.893 0.043 a 0.000a 0.803 0.081 b 0.078 b R2 = 86.1%

Keterangan: a nyata pada  = 5 persen; b nyata pada  = 10 persen; c nyata pada

(7)

Berdasarkan tabel di atas diperoleh faktor yang berpengaruh nyata terhadap pendapatan rumahtangga petani cendana yaitu umur (X1), pendidikan (X2), jumlah anggota keluarga produktif (X4), pendapatan cendana (X5), benih cendana (X7), dan hama penyakit cendana (X8), sedangkan faktor yang tidak berpengaruh nyata yaitu luas lahan dan jarak lahan. Tafsiran dari faktor yang berpengaruh nyata secara statistik terhadap pendapatan rumahtangga petani cendana akan diuraikan di bawah ini.

Variabel umur menunjukkan tanda positif dan berpengaruh nyata pada taraf 5 persen yang berarti bahwa semakin bertambah umur responden maka responden akan memanfaatkan kemampuan fisik dalam bekerja untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga. Terkait dengan pengembangan cendana, umur responden berpengaruh dalam mengembangkan usaha cendana. Rata-rata umur responden yang mengembangkan cendana dalam penelitian ini 50 tahun sebanyak 46%. Hal ini mengindikasi usaha pengembangan cendana didominasi oleh reponden yang berumur lebih tua.

Hasil wawancara dan pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa responden yang berusia tua berusaha menjaga dan memelihara budaya Timor yang percaya bahwa cendana adalah tanaman warisan leluhur di Pulau Timor yang harus dijaga kelestariannya untuk anak cucu di masa akan datang. Tanaman cendana memiliki keeratan hubungan sejarah yang sangat kental dengan masyarakat di wilayah Propinsi NTT (Sirait 2005; Rohadi et al. 2010). Sedangkan responden yang berusia lebih muda (20-40 tahun) jumlahnya relatif sedikit atau sekitar 23% disebabkan kurangnya pengetahuan tentang sejarah cendana, dan pengetahuan tentang budidaya cendana.

Variabel pendidikan bertanda positif dan berpengaruh pada tarap nyata 5 persen. Artinya semakin tinggi pendidikan formal responden maka akan memberikan kesempatan kepada responden mendapatkan pekerjaan selain usaha cendana sehingga memberikan tambahan pendapatan rumahtangga. Tingkat pendidikan juga akan mempengaruhi responden untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam mengembangkan cendana. Hal ini akan berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan rumahtangga.

(8)

Pangamatan di lapangan menunjukkan bahwa rata-rata reponden yang mengembangkan cendana berpendidikan 8 tahun atau setingkat SMP. Dengan tingkat pendidikan tersebut, menggambarkan potensi responden untuk lebih mudah menerima pengetahuan dan keterampilan dalam mengembangkan cendana baik melalui pelatihan dan penyuluhan tentang cendana meskipun cendana memiliki masa panen yang panjang yaitu 50 tahun. Tingkat pendidikan formal merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi seseorang untuk berpikir lebih rasional, memilih alternatif dan cepat untuk menerima atau melaksanakan suatu inovasi (Soekartawi 2005).

Jumlah anggota keluarga produktif memberikan nilai negatif terhadap pendapatan rumahtangga petani cendana dan berpengaruh secara nyata pada taraf 5 persen. Artinya ketersediaan anggota produktif dalam rumahtangga memberikan kontribusi yang rendah terhadap peningkatan pendapatan rumahtangga. Hal ini dapat dijelaskan bahwa pada lokasi penelitian anggota produktif dalam rumahtangga masih terhitung jumlah anak yang masih sekolah jenjang SMA atau baru menyelesaikan jenjang SMA atau setara. Sirait (2005) menyatakan tenaga kerja keluarga dalam pengelolaan cendana di Kabupaten TTS tergolong sangat sedikit (1 orang) sebesar 50.40% sehingga memberikan kontribusi yang rendah pada pendapatan rumahtangga.

Pendapatan rumahtangga yang diperoleh dari produksi usaha cendana memberikan nilai positif dan berpengaruh nyata pada taraf 5 persen. Artinya semakin tinggi pendapatan cendana akan meningkatkan pendapatan rumahtangga. Analisis pendapatan rumahtangga petani cendana menunjukkan kontribusi cendana terhadap pendapatan rumahtangga sebesar 43.95% atau sebesar Rp7 645 469.000 pertahun. Cendana merupakan jenis tanaman bernilai ekonomi dengan harga yang relatif tinggi dan kebutuhan akan kayu cendana di pasaran masih tinggi. Ini merupakan peluang untuk memberikan tambahan penghasilan dari cendana bagi rumahtangga dalam pemenuhan kebutuhan keluarga di masa akan datang dan secara tidak langsung berperan melestarikan tanaman cendana dari kepunahan di alam.

Kebutuhan benih cendana memberikan nilai positif dan berpengaruh nyata pada taraf 10 persen. Variabel benih cendana menunjukkan tingkat kemudahan

(9)

responden mendapatka benih atau bibit cendana. Artinya semakin mudah mendapatkan benih cendana maka biaya yang dikeluarkan semakin kecil sehingga pengaruh terhadap pendapatan rumahtangga petani sangat rendah. Hasil pengamatan lapangan menunjukkan bahwa responden lebih banyak memperoleh anakan cendana secara alami melalui terubusan akar di lahan yang dimiliki atau mengumpulkan benih cendana dari tegakan yang ada di lahan sendiri atau lahan orang lain yang berada dalam satu desa. Namun sebagian responden ada yang mendapatkan benih cendana dari kecamatan lain dalam Kabupaten TTS.

Permasalahan yang dihadapi responden terkait benih atau bibit cendana yaitu pengetahuan bagaimana memilih benih yang baik, melakukan penyemaian dan penanaman cendana di lahan. Responden melakukan penanaman cendana dengan biji secara langsung tanpa melakukan seleksi benih dan perlakuan awal sehingga persentasi pertumbuhan cendana sangat kecil. Hal ini berakibat kepada kegagalan responden dalam penanaman cendana yang dilakukan dengan pengorbanan waktu dan tenaga yang dikeluarkan.

Penangganan hama penyakit cendana memberikan nilai negatif dan berpengaruh pada taraf nyata 10 persen. Variabel hama penyakit cendana menunjukkan upaya penanganan yang dilakukan responden terhadap tanaman cendana yang dimiliki. Artinya semakin besar upaya yang dilakukan responden terhadap penanganan hama penyakit cendana dalam pemeliharaan akan membutuhkan tenaga dan biaya yang harus dikeluarkan sehingga akan mengurangi pendapatan rumahtangga. Upaya tersebut dilakukan tergantung jumlah cendana dan jenis serangan hama penyakit tanaman cendana.

Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan tingginya tingkat serangan hama penyakit tanaman cendana sehingga menjadi kendala bagi responden dalam pemeliharaan cendana bahkan kadang mengakibatkan kematian cendana. Banyaknya serangan hama kutu daun dan penyakit embun jelaga menjadi permasalahan utama dalam budidaya cendana yang dilakukan masyarakat (Rahardjo & Oematan 2008). Upaya yang dilakukan petani masih secara manual yaitu membuang daun atau memangkas ranting yang terserang, menggunakan abu gosok dan ada yang menggunakan oli untuk menghindari serangga atau ulat pada batang pohon cendana. Hal ini disebabkan kurangnya pengetahuan dan

(10)

keterampilan responden dalam melakukan budidaya tanaman cendana baik melalui pelatihan maupun bimbingan penyuluhan.

Berdasarkan hasil analisis faktor yang berpengaruh terhadap pendapatan rumahtangga petani cendana dapat disimpulkan bahwa pendapatan cendana memberikan kontribusi secara signifikan terhadap pendapatan rumahtangga. Permasalahan yang dihadapi petani cendana terhadap pendapatan rumahtangga petani cendana yaitu aspek teknis pengetahuan dan keterampilan dalam pengembangan cendana, ketersediaan dan penanganan benih/bibit, penanaman cendana, dan penanganan hama penyakit cendana.

3. Analisis pendapatan rumahtangga petani secara umum

Pendapatan rumahtangga petani secara umum dipengaruhi oleh lima faktor. Petani secara umum dalam penelitian ini menggambarkan pendapatan petani yang ada di lokasi penelitian. Hasil analisis didapatkan model persamaan hubungan faktor-faktor terhadap pendapatan rumahatangga petani secara umum yaitu:

Y = –13.823 + 0.2347 X1 + 1.3722X2 + 0.4193X3 – 2.291X4 + 1.6877 X5 +

Nilai koefisien determinasi dari model di peroleh (R2) = 36.8% dan signifikan pada taraf nyata 5 persen seperti terlihat pada Tabel 30.

Tabel 30 Faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan rumahtangga petani secara umum Variabel Koefisien regresi Standar error T hitung Signifikan Konstanta (X1) Umur (X2) Pendidikan

(X3) Jumlah angg produktif (X4) Jarak lahan (X5) Luas lahan -13.823 0.2347 1.3722 0.4193 -2.291 1.6877 6.228 0.0926 0.4209 0.9497 0.111 0.8857 -2.22 2.53 3.26 0.44 -2.06 1.91 0.031 0.014 a 0.002 a 0.661 0.044a 0.062 b R2 = 36.8%

Keterangan: a nyata pada  = 5 persen; b nyata pada  = 10 persen; c nyata pada

 = 15 persen; d nyata pada  = 20 persen

Hasil analisis pada tabel di atas menunjukkan bahwa faktor yang berpengaruh nyata terhadap pendapatan rumahtangga petani secara umum yaitu umur (X1), pendidikan (X2), jarak lahan (X4), dan luas lahan (X5) masing-masing pada taraf nyata 5 persen. Sedangkan faktor yang tidak berpengaruh terhadap

(11)

pendapatan rumahtangga petani secara umum yaitu jumlah anggota produktif (X3). Tafsiran dari faktor yang berpengaruh nyata secara statistik terhadap pendapatan rumahtangga petani cendana diuraikan di bawah ini.

Variabel umur menunjukkan tanda positif dan berpengaruh nyata pada taraf 5 persen yang berarti semakin bertambah umur responden maka responden akan bekerja untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga. Umur responden berpengaruh terhadap kemampuan fisik responden dalam berusaha mendapatkan pekerjaan selain usahatani. Rata-rata umur responden di lokasi penelitian 47 tahun yang menggambarkan bahwa dari faktor umur, responden masih memiliki potensi untuk bekerja di sektor lain.

Variabel pendidikan bertanda positif dan berpengaruh pada tarap nyata 5 persen. Artinya semakin tinggi pendidikan formal responden akan meningkatkan sikap reponden untuk berusaha memperbaiki kehidupan keluarga. Tingkat pendidikan akan mempengaruhi responden untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam mengembangkan cendana. Hal ini akan berpengaruh terhadap peningkatan produksi dan pendapatan rumahtangga.

Lamanya responden menempuh pendidikan formal rata-rata 7 tahun atau setingkat SMP. Dengan tingkat pendidikan tersebut, menggambarkan masih adanya potensi responden untuk menerima pengetahuan dan keterampilan dalam mengembangkan usahatani atau bekerja di sektor lain. Peningkatan ini dapat dilakukan melalui pelatihan dan penyuluhan dari instansi terkait. Tingkat pendidikan formal merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi seseorang untuk berpikir lebih rasional, memilih alternatif dan cepat untuk menerima atau melaksanakan suatu inovasi (Soekartawi 2005).

Variabel jarak lahan bertanda negatif dan berpengaruh nyata pada taraf 5 persen. Artinya semakin jauh/panjang jarak rumah ke lahan untuk usahatani maka akan memperkecil pendapatan rumahtangga. Semakin jauh jarak tempuh ke lahan yang diusahakan akan membutuhkan waktu dan tenaga untuk pemeliharaan sehingga produksi yang dihasilkan kurang optimal dan pendapatan juga berkurang. Jarak tempuh dari rumah ke lahan di lokasi penelitian rata-rata 0.6 km atau masih termasuk kategori yang mudah dijangkau responden pada umumnya. Dengan jarak lahan demikian responden termotivasi untuk

(12)

meningkatkan produksi untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan meningkatkan pendapatan rumahtangga.

Variabel luas lahan mempunyai nilai positif dan berpengaruh nyata pada taraf 10 persen. Artinya semakin luas lahan responden akan memberikan ruang untuk menanam berbagai jenis tanaman atau meningkatkan jumlah tanaman yang di usahakan. Dengan demikian akan meningkatkan produksi tanaman yang dihasilkan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari terutama hasil pangan untuk konsumsi. Apabila hasil produksi usahatani sudah mencukupi maka sebagian produksi akan dijual untuk menambah pendapatan rumahtangga.

Luas lahan responden di lokasi penelitian yaitu rata-rata 2.26 ha. Luas lahan ini merupakan potensi dasar yang dimiliki responden untuk mengembangkan berbagai jenis tanaman untuk meningkatkan pendapatan rumahtangga dari usahatani yang dilakukan. Namun hasil pengamatan di lokasi penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan lahan dengan luasan yang dimiliki respoden belum dimanfaatkan secara optimal terbukti dengan hasil yang diproduksi masih rendah dan sebagian besar dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Jenis tanaman yang diproduksi yaitu jagung, umbi-umbian, kacang tanah, serta jenis tanaman perkebunan dan kehutanan.

Pemanfaatan lahan untuk cendana secara umum tidak sebanding dengan luas lahan disebabkan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Hal ini didukung oleh Sirait (2005) bahwa luas lahan yang dimiliki masyarakat tidak dimanfaatkan untuk menanam cendana tetapi untuk menanam tanaman pangan, tanaman perkebunan dan tanaman kehutanan lainnya. Hasil wawancara menyatakan petani masih menggangap cendana sebagai tanaman sampingan yang memiliki masa panen yang lama.

Kebiasaan responden dalam persiapan lahan masih menggunakan budaya tebas bakar ketika melakukan persiapan lahan untuk menghemat waktu, tenaga dan biaya. Hal ini disebabkan karena rendahnya tenaga kerja dan biaya untuk usahatani dalam rumahtangga. Budaya tebas bakar yang dilakukan responden sangat mengancam pertumbuhan cendana yang berada di lahan. Upaya melindungi cendana dari pelepah daun pisang pada saat pembakaran lahan pada masa lalu sudah tidak dilakukan lagi sekarang. Hal ini berdampak kepada

(13)

penurunan populasi cendana di alam mengingat penyebaran cendana lebih banyak terdapat di lahan masyarakat dibandingkan dalam kawasan hutan.

Berdasarkan hasil analisis faktor yang berpengaruh terhadap pendapatan rumahtangga petani secara umum di lokasi penelitian dapat disimpulkan bahwa permasalahan di tingkat petani secara umum yaitu tingkat pengetahuan dan keterampilan petani, pertimbangan lokasi penanaman, ketersediaan lahan yang dimiliki masih diutamakan untuk pemenuhan kebutuhan hidup, pemanfaatan lahan belum optimal serta tanaman cendana masih sebagai jenis tanaman sampingan. 4. Analisis ekonomi rumahtangga petani cendana

Analisis ekonomi rumahtangga petani dilakukan untuk melihat faktor yang berpengaruh pada rumahtangga petani cendana terkait dengan alokasi tenaga kerja, pendapatan dan konsumsi untuk memproduksi cendana. Model yang dirumuskan adalah model linear persamaan simultan yang diduga dengan metode two stage least squares method (2SLS) pada program SAS 9.1 melalui prosedur SYLYN. Model yang dibangun terdiri dari lima persamaan struktural dan lima persamaan identitas. Hasil pendugaan model ekonomi rumahtangga dengan menggunakan persamaan simultan menghasilkan nilai koefisien determinasi (R2) bagi masing-masing model berkisar antara 0.19 hingga 0.99 dan nilai F dari masing-masing persamaan berkisar 1.85 sampai dengan 2750.87 dengan taraf  = 1 persen dan  = 20 persen.

Konsekuensi dari penggunaan data kerat-lintang (cross-section) dalam pendugaan model pada umumnya adalah relatif rendahnya keragaman antar pengamatan yang berpengaruh pada rendahnya Koefisien determinasi (R2) sebagai indikator kebaikan suatu model. Hal tersebut dapat dilihat pada persamaan perilaku alokasi tenaga kerja keluarga di luar usaha cendana yang memiliki nilai Koefisien determinasi yang rendah. Beberapa peubah penjelas berpengaruh nyata terhadap peubah endogen, namun terdapat juga beberapa peubah penjelas yang berpengaruh tidak nyata pada taraf uji yang ditetapkan. Beberapa nilai parameter yang terlalu rendah muncul karena kurang eratnya hubungan keterkaitan antara peubah penjelas dengan peubah endogen dalam persamaan model.

(14)

1). Alokasi Tenaga Kerja

a. Alokasi Tenaga Kerja Keluarga pada Usaha Cendana

Hasil pendugaan terhadap parameter persamaan alokasi tenaga kerja keluarga pada usaha cendana diperoleh bahwa tanda koefisien peubah ada yang tidak sesuai dengan yang diharapkan menurut kriteria ekonomi. Koefisien determinasi (R2) menunjukkan nilai 0.66, artinya bahwa keragaman alokasi tenaga kerja keluarga pada usaha cendana sebesar 66% dapat dijelaskan oleh tiga peubah penjelasnya, sedangkan sisanya dijelaskan oleh peubah lain di luar model.

Tabel 31 Hasil pendugaan parameter persamaan alokasi tenaga kerja keluarga pada usaha cendana

Peubah Parameter Dugaan t-hitung Taraf- nyata Elastisita s Intersept

AKL (Alokasi TK sewa)

PROD (Produksi usaha

cendana)

RUL (Pendapatan dari luar usaha cendana) 1.710461 2.263358 0.033062 -3.57E-8 1.60 2.97 1.34 -0.44 0.1216 0.0067a 0.1915 d 0.6611 0.270614 0.314808 -0.10608 R2 = 0.66 F hitung = 15.36

Keterangan: a nyata pada  = 5 persen; c nyata pada  = 15 persen; b nyata pada  = 10 persen; d nyata pada  = 20 persen

Tabel 31 menunjukkan bahwa peubah penduga alokasi tenaga kerja sewa pada usaha cendana bertanda positif tidak sesuai yang diharapkan dan berpengaruh nyata pada taraf 5 persen terhadap alokasi tenaga kerja keluarga pada usaha cendana. Sedangkan peubah produksi usaha cendana bertanda positif sesuai yang diharapkan dan berpengaruh nyata pada taraf 20 persen. Peubah pendapatan dari luar cendana bertanda negatif, sesuai yang diharapkan tetapi berpengaruh tidak nyata terhadap alokasi tenaga kerja keluarga pada usaha cendana.

Perilaku rumahtangga mempunyai kecenderungan apabila alokasi tenaga kerja keluarga sewa meningkat, maka alokasi tenaga kerja keluarga pada usaha cendana juga meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terjadinya saling menggantikan (subtitusi) antara tenaga kerja yang disewa dengan tenaga kerja keluarga seperti dalam penelitian Purwita (2009). Pada usaha cendana yang terjadi adalah rumahtangga petani tetap memerlukan tenaga kerja sewa untuk

(15)

membantu tenaga kerja keluarga. Hal ini tergantung jumlah cendana yang diusahakan dalam rumahtangga.

Besarnya pendapatan yang diperoleh dari luar usaha cendana akan mendorong perilaku rumahtangga dalam mengalokasikan waktunya lebih banyak untuk pekerjaan di luar usaha cendana sehingga alokasi waktu keluarga pada usaha cendana akan berkurang. Perilaku tersebut juga mengambarkan bahwa pendapatan rumahtangga terbentuk dari berbagai pendapatan sebagai hasil dari usaha yang dilakukan anggota rumahtangga.

Produksi usaha cendana yang tinggi dapat mendorong perilaku rumhatangga dalam mengalokasi waktu tenaga kerja keluarga pada usaha cendana lebih banyak. Hal ini menggambarkan bahwa rumahtangga sangat mengharapkan adanya peningkatan pendapatan rumahtangga dari produksi usaha cendana yang diusahakan walaupun usaha cendana mempunyai masa panen yang panjang.

Perhitungan nilai elastisitas menunjukkan bahwa keputusan rumahtangga dalam mengalokasikan tenaga kerja keluarga pada usaha cendana bersifat tidak respon (non-elastis) terhadap pengaruh ketiga peubah penjelas yaitu alokasi tenaga kerja sewa pada usaha cendana, produksi usaha cendana dan pendapatan dari luar usaha alokasi yang ditunjukkan dengan nilai elastisitas kurang dari satu. Hal ini menggambarkan bahwa ketiga peubah yang dimasukkan ke dalam persamaan simultan belum menjadi faktor kendala bagi rumahtangga untuk mengalokasikan tenaga kerja keluarga pada usaha cendana.

b. Alokasi Tenaga Kerja Keluarga Di Luar Usaha Cendana

Alokasi tenaga kerja keluarga di luar usaha cendana digunakan untuk usahatani, buruh, tukang kayu/batu, PNS, dan jasa ojek. Hasil pendugaan persamaan alokasi tenaga kerja keluarga di luar usaha cendana menunjukkan bahwa terdapat tanda koefisien peubah bebas yang tidak diharapkan menurut kriteria ekonomi, sebagaimana disajikan pada Tabel 32.

Hasil analisis yang diperoleh pada Tabel 32 menunjukkan bahwa nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0.19, berarti keragaman alokasi tenaga kerja keluarga di luar usaha cendana sebesar 19% dapat dijelaskan oleh ketiga

(16)

peubah yaitu pendidikan suami (PDS), jumlah anggota keluarga produktif (JAP), dan total pengeluaran rumahtangga (TPRT).

Tabel 32 Hasil pendugaan parameter persamaan alokasi tenaga kerja keluarga di luar usaha cendana

Peubah Parameter Dugaan t-hitung Taraf- nyata Elastisitas Intersept PDS (Pendidikan suami)

JAP (Jumlah anggota keluarga produktif) TPRT (Total pengeluaran RT) 309.1509 -6.39416 28.07407 -2.73E-8 4.10 -1.16 1.70 -0.00 0.0004 0.2592 0.1020c 0.9982 -0.15811 0.236154 -0.00039 R2 = 0.19 F hitung = 1.85

Keterangan: a nyata pada  = 5 persen; c nyata pada  = 15 persen; b nyata pada  = 10 persen; d nyata pada  = 20 persen

Koefisien parameter peubah pendidikan suami bertanda negatif tidak sesuai dengan hipotesis yang diharapkan dan tidak berpengaruh nyata terhadap alokasi tenaga kerja keluarga di luar usaha cendana. Artinya semakin tinggi pendidikan suami, maka akan mengakibatkan semakin terbuka peluang bekerja di luar usaha cendana. Sebagian besar pendidikan suami di lokasi penelitian setingkat SMP tetapi jenjang pendidikan ini merupakan belum dapat dijadikan modal dasar bagi responden dalam mempertimbangkan keputusan secara rasional untuk mencari nafkah yang penghasilannya lebih pasti. Penawaran kebutuhan tenaga kerja saat ini sudah menetapkan standar tingkat pendidikan minimal serata SMA bahkan sarjana sehingga tingkat pendidikan responden belum memberikan pengaruh terhadap alokasi tenaga kerja keluarga di luar usaha cendana.

Jumlah anggota keluarga produktif bertanda positif sesuai hipotesis yang diharapkan dan berpengaruh nyata pada taraf 15 persen terhadap alokasi tenaga kerja keluarga di luar usaha cendana Artinya semakin banyak anggota keluarga produktif, maka peluang untuk mendapatkan pekerjaan di luar usaha cendana akan meningkat dengan mengalokasi waktu di luar usaha cendana. Hal ini dapat di mengerti karena dengan mengalokasi waktu bekerja di luar usaha cendana akan mendapatkan penghasilan yang lebih terhadap pendapatan rumahtangga.

Total pengeluaran rumahtangga memberikan pengaruh negatif terhadap alokasi tenaga kerja keluarga di luar usaha cendana dan berpengaruh tidak nyata. Hal ini menunjukkan alokasi tenaga kerja di luar usaha cendana belum

(17)

dapat mencukupi kebutuhan pengeluaran rumahtangga. Kondisi ini juga dapat dijelaskan bahwa alokasi tenaga kerja keluarga di luar usaha cendana merupakan suatu kewajiban untuk memenuhi kebutuhan keluarga belum berdasarkan kemampuan dan keterampilan yang dimiliki.

Hasil analisis elastisitas menunjukkan, bahwa keputusan rumahtangga mengalokasikan tenaga kerja keluarga di luar usaha cendana tidak respon terhadap peubah pendidikan suami, jumlah anggota keluarga produktif, dan total pengeluaran rumahtangga. Hal ini menggambarkan bahwa ketiga peubah yang dimasukkan ke dalam persamaan simultan belum menjadi faktor kendala bagi rumahtangga untuk mengalokasikan tenaga kerja keluarga di luar usaha cendana.

2). Produksi Usaha Cendana

Produksi usaha cendana dipengaruhi oleh alokasi tenaga kerja keluarga pada usaha cendana (AKD), pendidikan suami (PDS), alokasi tenaga kerja sewa (AKL), dan biaya sarana produksi (SPR). Hasil pendugaan persamaan produksi usaha cendana dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 33 Hasil pendugaan parameter persamaan produksi usaha cendana

Peubah Parameter Dugaan t-hitung Taraf- nyata Elastisit as Intersept

AKD (Alokasi TK keluarga pada usaha cendana)

PDS (Pendidikan suami) AKL (Alokasi TK sewa) SPR(Biaya sarana produksi)

-8.43312 -0.65185 0.032672 1.430169 0.000495 -8.13 -2.14 0.31 1.70 54.72 <.0001 0.0430 a 0.7580 0.1023 c <.0001 a -0.06846 0.008657 0.017958 13.1088e R2 = 0.99 F hitung = 2750.87

Keterangan: a nyata pada  = 5 persen; c nyata pada  = 15 persen; b nyata pada  = 10 persen; d nyata pada  = 20 persen

Hasil dugaan keempat variabel menunjukkan tanda sesuai yang diharapkan dan berpengaruh nyata. Koefisien determinasi (R2) menunjukkan nilai 0.99 berarti bahwa keragaman produksi usaha cendana sebesar 99% dapat dijelaskan oleh keempat peubah penjelas.

Peubah alokasi tenaga kerja keluarga bertanda negatif tidak sesuai yang diharapkan dan berpengaruh nyata pada taraf 5 persen. Artinya semakin tinggi produksi maka alokasi tenaga keluarga semakin menurun. Kondisi ini

(18)

menunjukkan bahwa alokasi tenaga kerja keluarga pada usaha cendana masih rendah. Suami sebagai kepala keluarga lebih banyak meluangkan waktu untuk usaha cendana dibandingkan anggota keluarga lainnya yaitu istri, anak perempuan, dan anak laki-laki. Peningkatan produksi cendana memerlukan peningkatan alokasi tenaga kerja keluarga. Suprapto (2001) dalam penelitiannya menyatakan peningkatan produksi usahatani sangat bergantung pada tenaga kerja keluarga.

Peubah pendidikan suami bertanda positif sesuai yang diharapkan dan tidak berpengaruh nyata terhadap produksi usaha cendana. Artinya semakin tinggi pendidikan suami, cenderung berusaha meningkatkan tingkat pengetahuan yang dimiliki untuk meningkatkan produksi usaha cendana. Pendidikan suami rata-rata setara SMP, memiliki pekerjaan pokok dan sampingan selain usaha cendana menyebabkan berkurangnya waktu suami untuk meningkatkan produksi cendana seperti mempelajari berbagai literatur atau pelatihan, terkait usaha cendana seperti materi budidaya cendana (pembuatan bibit, pemeliharaan dan pengendalian hama penyakit). Pendidikan suami yang tinggi cenderung memutuskan untuk bekerja sebagai pegawai negeri atau sejenisnya sehingga usaha tani tidak terawat dan produksi menurun (Suprapto 2001).

Peubah alokasi tenaga kerja yang disewa bertanda positif sesuai yang diharapkan dan berpengaruh nyata pada taraf 15 persen. Artinya semakin tinggi alokasi tenaga kerja sewa maka produksi usaha cendana semakin meningkat. Kondisi pada lokasi penelitian menunjukkan bahwa usaha cendana yang dilakukan masih menggunakan tenaga kerja sewa sesuai banyaknya tanaman cendana yang dimiliki atau kurangnya tenaga kerja produktif dalam rumahtangga sehingga membutuhkan tenaga kerja sewa pada masa awal pertumbuhan cendana. Artinya produksi usaha cendana masih dipengaruhi oleh perilaku tenaga kerja sewa selain tenaga kerja keluarga sebagai pengelolanya. Secara rasional hal ini berdampak pada peningkatan biaya produksi cendana sehingga perlu diperhatikan.

Persamaan produksi usaha cendana diperoleh bahwa produksi usaha cendana akan meningkat jika jumlah sarana produksi yang digunakan semakin

(19)

tinggi. Ini ditunjukkan dengan peubah dugaan jumlah sarana produksi yang bertanda positif sesuai yang diharapkan dan berpengaruh sangat nyata pada taraf 5 persen. Jumlah sarana produksi yang digunakan untuk produksi usaha cendana di lokasi penelitian yaitu berupa penyediaan bibit dan peralatan produksi seperti cangkul, parang, linggis bahkan ada yang menggunakan dinamo dan mesin pompa.

Hasil pendugaan respon pada persamaan produksi menunjukkan bahwa keputusan produksi usaha cendana sangat respon terhadap biaya sarana produksi yang digunakan. Hal ini menggambarkan bahwa sarana produksi yang digunakan menjadi hal yang penting diperhatikan dan menjadi salah satu kendala dalam peningkatan produksi usaha cendana. Sedangkan produksi usaha cendana tidak respon terhadap peubah alokasi tenaga kerja keluarga, pendidikan suami, dan alokasi tenaga kerja sewa.

3). Total Pendapatan Rumahtangga

Analisis pendugaan total pendapatan rumahtangga (TR) menunjukkan hasil bahwa sebagian tanda dugaan parameter adalah tidak sesuai dengan hipotesis yang diharapkan menurut kriteria ekonomi dan berpengaruh nyata. Nilai Koefisien determinasi (R2) menunjukkan nilai 0.76 berarti bahwa keragaman total pengeluaran rumahtangga sebesar 76% dapat dijelaskan oleh peubah penjelas yaitu produksi usaha cendana (PROD), jumlah anggota keluarga produktif (JAP), konsumsi total (KT), investasi sumberdaya manusia (INV), dan total alokasi tenaga kerja keluarga (TAK), sebagaimana disajikan pada Tabel 34.

Tabel 34 Hasil pendugaaan parameter persamaan total pendapatan rumahtangga Peubah Parameter Dugaan t-hitung Taraf- nyata Elastisitas Intersept

PROD (Produksi usaha cendana)

JAP (jumlah anggota keluarga produktif)

KT (Konsumsi total) INV (Investasi sumberdaya manusia)

TAK (Total alokasi TK keluarga) 3984974 279017.4 -2989029 3.982298 -8.64039 -10139.4 0.52 7.47 -1.86 2.89 -1.01 -4.46 0.6060 <.0001 a 0.0767 b 0.0069 a 0.3242 0.6516 0.541204 0.52259 1.122862 e -0.09876 0.21281 R2 = 0.76 F hitung = 14.13

(20)

Keterangan: a nyata pada  = 5 persen; c nyata pada  = 15 persen; b nyata pada  = 10 persen; d nyata pada  = 20 persen

Berdasarkan Tabel 34, peubah yang berpengaruh nyata terhadap pendapatan total rumahtangga adalah produksi usaha cendana, jumlah anggota keluarga produktif dan konsumsi total. Peubah produksi usaha cendana dan konsumsi total memiliki tanda parameter positif sesuai hipotesis yang diharapkan dan berpengaruh nyata pada taraf 5 persen, sedangkan peubah jumlah anggota keluarga produktif memiliki parameter negatif tidak sesuai hipotesis yang diharapkan dan berpengaruh nyata pada taraf 10 persen.

Peningkatan produksi usaha cendana akan meningkatkan pendapatan rumahtangga. Hal ini berdampak pada terpenuhinya pengeluaran untuk konsumsi total dalam rumahtangga atau semakin meningkatnya pendapatan total rumahtangga responden maka akan semakin besar pengeluaran konsumsi total rumahtangga. Pernyataan ini logis, karena semakin besar pendapatan rumahtangga maka responden semakin memiliki kemampuan untuk membeli barang-barang konsumsi untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari.

Jumlah anggota keluarga produktif memberikan nilai negatif terhadap pendapatan total dan berpengaruh nyata. Artinya bahwa ketersediaan anggota produktif dalam rumahtangga memberikan kontribusi yang masih rendah terhadap peningkatan pendapatan rumahtangga. Hal ini dapat dijelaskan bahwa anggota produktif dalam rumahtangga di lokasi penelitian masih terhitung jumlah anak yang masih sekolah, SMA atau baru menyelesaikan jenjang SMA atau setara.

Perhitungan nilai elastisitas menunjukkan bahwa total pendapatan rumahtangga sangat respon terhadap pengaruh peubah konsumsi total yang ditunjukkan dengan nilai elastisitas sebesar 1.12. Hal ini memberikan gambaran bahwa pendapatan rumahtangga petani cendana yang diperoleh baik dari usaha cendana dan luar usaha cendana lebih diutamakan untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam keluarga baik konsumsi pangan dan non pangan. Sedangkan total pendapatan rumahtangga tidak respon terhadap keempat variabel lainnya yaitu produksi usaha cendana, jumlah anggota

(21)

keluarga produktif, konsumsi total, investasi sumberdaya manusia, dan total alokasi tenaga kerja keluarga.

4). Konsumsi Total

Hasil pendugaan persamaan konsumsi total (KT) menunjukkan hasil bahwa sebagian tanda dugaan parameter tidak sesuai dengan hipotesis yang diharapkan menurut kriteria ekonomi dan berpengaruh nyata. Nilai Koefisien determinasi (R2) menunjukkan nilai 0.66 berarti bahwa keragaman total pengeluaran rumahtangga sebesar 66% dapat dijelaskan oleh peubah penjelas yaitu total pendapatan rumahtangga (TR), jumlah anggota keluarga (JAK), pendidikan istri (PDDKI), dan investasi sumberdaya manusia (INV), sebagaimana disajikan pada tabel berikut.

Tabel 35 Hasil pendugaaan parameter persamaan konsumsi total

Peubah Parameter Dugaan t-hitung Taraf- nyata Elastisitas Intersept TR (Total pendapatan rumahtangga)

JAK (Jumlah angg keluarga) PDDI (Pendidikan istri) INV ( Investasi SDM ) 1199794 0.038041 597660.6 -118516 2.833453 1.51 1.94 4.25 -2.05 2.47 0.1455 0.0644 b 0.0003 a 0.0521 b 0.0213 a 0.134915 0.618966 -0.1415 0.11486 R2 = 0.66 F hitung = 11.12

Keterangan: a nyata pada  = 5 persen; c nyata pada  = 15 persen; b nyata pada  = 10 persen; d nyata pada  = 20 persen

Hasil pendugaan konsumsi total menunjukkan bahwa semua peubah dalam persamaan berpengaruh nyata terhadap konsumsi total yaitu total pendapatan rumahtangga (TR), jumlah anggota keluarga (JAK), pendidikan istri (PDDI), dan investasi sumberdaya manusia (INV).

Pendapatan total rumahtangga memiliki tanda parameter positif sesuai hipotesis yang diharapkan dan berpengaruh nyata pada taraf 10 persen. Ini berarti semakin meningkat pendapatan total rumahtangga responden maka akan semakin besar pengeluaran konsumsi total rumahtangga. Hal ini logis, karena semakin besar pendapatan rumahtangga maka responden semakin memiliki kemampuan untuk membeli barang-barang konsumsi semakin meningkat (Purwita 2009). Hal ini juga mencerminkan tingkat kesejahteraan rumahtangga petani.

(22)

Jumlah anggota keluarga nyata mempengaruhi konsumsi total pada taraf 5 persen. Hal ini sesuai penelitian Suprapto (2001) dan Purwita (2009), bahwa jumlah anggota keluarga mempengaruhi konsumsi rumahtangga. Jumlah anggota keluarga responden dalam penelitian ini rata-rata 4 orang. Besarnya jumlah anggota keluarga akan mempengaruhi konsumsi rumahtangga, yang berarti apabila jumlah anggota keluarga bertambah, maka pengeluaran konsumsi rumahtangga juga meningkat.

Peubah pendidikan istri bertanda negatif dan berpengaruh nyata pada taraf 10 persen. Artinya bahwa semakin tinggi pendidikan istri, mempunyai kecenderungan mengurangi konsumsi. Semakin tinggi pendidikan istri, maka istri mempunyai kemampuan mengalokasikan pendapatan rumahtangga untuk peningkatan sumberdaya anggota keluarga yaitu pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan.

Peubah pengeluaran investasi sumberdaya manusia memiliki koefisien positif dan berpengaruh nyata pada taraf 5 persen. Ini berarti pengeluaran investasi sumberdaya manusia akan meningkatkan konsumsi rumahtangga. Namun pada lokasi penelitian, pengeluaran untuk investasi sumberdaya manusia masih sangat rendah sehingga belum mengurangi pengeluaran rumahtangga untuk kebutuhan konsumsi total. Masyarakat mendapatkan bantuan pendidikan melalui pelayanan dana bantuan operasional sekolah (BOS) dan bantuan kesehatan melalui pelayanan asuransi kesehatanan bagi masyarakat miskin (ASKESKIN) dari pemerintah setempat.

Hasil analisis elastisitas menunjukkan bahwa keputusan rumahtangga terhadap konsumsi total bersifat inelastis terhadap keempat peubah dalam persamaan yaitu total pendapatan rumahtangga, jumlah anggota keluarga, pendidikan istri, dan investasi sumberdaya manusia.

Perilaku ekonomi rumahtangga petani terkait produksi cendana membutuhkan alokasi tenaga kerja keluarga dan tenaga kerja yang disewa, dan biaya sarana produksi. Biaya sarana produksi sangat respon terhadap produksi cendana. Alokasi tenaga keluarga di luar usaha cendana sangat ditentukan jumlah anggota produktif yang tersedia dalam rumahtangga. Pendapatan rumahtangga

(23)

dipengaruhi oleh produksi cendana, jumlah anggota produktif dan konsumsi total. Konsumsi total sangat respon terhadap pendapatan rumahtangga.

Berdasarkan keragaan ekonomi rumahtangga petani cendana, dapat disimpulkan bahwa pendapatan cendana yang diproleh dari produksi cendana memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pendapatan rumahtangga dan permasalahan petani cendana yang diperoleh dari hasil analisis yaitu aspek sosial terkait tenaga kerja (keluarga dan di luar keluarga) dari segi kuantitas dan kualitas, dan aspek ekonomi terkait kebutuhan sarana produksi cendana dan kebutuhan konsumsi rumahtangga.

Proses Pembuatan Kebijakan 1. Analisis Isi Kebijakan

a. Perda Provinsi No. 16 Tahun 1986 tentang Cendana

Penguasaan pemerintah provinsi NTT terhadap cendana sudah berlangsung selama 30 tahun sejak tahun 1966-1999. Perda Provinsi NTT No. 16 Tahun 1986 tentang cendana merupakan perda yang keempat sejak terbentuknya Provinsi NTT pada tahun 1958.

Perda provinsi No. 16 Tahun 1986 terdiri dari 13 bab dan 17 pasal. Pasal dalam Perda tersebut yang mengandung substansi penting yaitu penguasaan pemerintah provinsi terhadap cendana berdasarkan kepemilikannya (Pasal 4), di mana kayu cendana dibedakan: (a) Kayu cendana yang tumbuh di atas tanah negara dan tanah pemerintah daerah adalah milik pemerintah daerah, (b) Kayu cendana yang diusahakan, ditanam dan dipelihara oleh perorangan atau badan hukum di atas tanah perorangan atau badan hukum tersebut adalah milik perorangan atau badan hukum, dan (c) Kayu cendana yang tumbuh secara alami di atas tanah perorangan atau badan hukum yang sedang diusahakan maka kayu cendana adalah milik pemerintah daerah. Pembagian hasil cendana di lahan milik sesuai pasal 4 butir c ditetapkan 85% untuk pemerintah dan 15% untuk masyarakat (Pasal 11).

Penguasaan pemerintah daerah Provinsi NTT terhadap cendana yang tumbuh secara alami di lahan milik tidak terlepas dari hak menguasai negara atas semua hutan dan kekayaan yang terkandung di dalamnya sesuai pasal 5 ayat 2 UU No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan. Hak menguasai negara tertuang

(24)

dalam wewenang untuk: (1) menetapkan dan mengatur perencanaan, peruntukan, penyediaan dan penggunaan hutan sesuai dengan fungsinya dalam memberikan manfaat kepada rakyat dan negara, (2) mengatur pengurusan hutan dalam arti luas, dan (3) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang atau badan hukum dengan hutan dan mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai hutan.

UU No. 5 Tahun 1967 menyatakan pembagian hutan berdasarkan peruntukannya di bagi menjadi hutan tetap, hutan cadangan dan hutan lainnya (Pasal 4). Yang dimaksud hutan lainnya adalah hutan yang ada di luar kawasan hutan dan di luar hutan cadangan, misalnya hutan yang terdapat pada tanah milik atau tanah yang dibebani hak-hak lainnya. Status hukum pengurusan hutan pada hutan lainnya menurut Salim (2004) mempunyai makna bahwa tanahnya merupakan hak dari pemegang hak atas tanah tetapi status tegakan hutan yang tumbuh di atas tanah tersebut ditentukan sebagai berikut: (a) Pengurusan tegakan hutan yang tumbuh di atas tanah tersebut yang sebelumnya merupakan hutan alam berada di bawah pengurusan pemerintah c.q. Menteri Kehutanan, (b) Tegakan hutan yang tumbuh di atas tanah HGU, HGB, hak pakai, dan lain-lain yang ditanam oleh pemegang hak yang bersangkutan, maka menjadi pemilik tegakan kayu tersebut adalah pemegang hak yang bersangkutan.

Berdasarkan penjelasan di atas, menunjukkan bahwa isi Perda provinsi NTT 16 tahun 1986 mengandung makna yaitu berdasarkan status hukum pengelolaan cendana yang berada di lahan masyarakat dimasukkan dalam status hukum hutan lainnya. Selain itu, informasi yang memperkuat penguasaan cendana oleh pemerintah yaitu cendana yang ada di Propinsi NTT selama ini tumbuh secara alami dan sejak masa kerajaan menjadi milik raja-raja yang berkuasa. Masyarakat di NTT belum pernah menanam cendana atau mengenal konsep menanam cendana (Pello 2000). Pembagian hasil 15% untuk masyarakat merupakan nilai jasa pemeliharaan (premi) yang diberikan pemerintah atas cendana yang tumbuh di lahan masyarakat, berdasarkan peraturan-peraturan yang berlaku sebelumnya seperti terlihat pada Tabel 36.

Dalam pelaksanaan Perda No. 16 Tahun 1986, pemilik lahan baik perseorangan atau badan hukum harus menunjukkan bukti kepemilikan lahan

(25)

untuk mendapatkan bagian 15% dengan menunjukkan sertifikat tanah/sertifikat hak guna tanah/gambar situasi (GS)/hak ulayat yang disyahkan Pengadilan Negeri atau fotocopy bukti pelunasan pembayaran pajak bumi dan bangunan (PBB) terakhir yang dilegalisir oleh Kepala Desa/Lurah sesuai Keputusan Gubernur NTT No. 7 tahun 1993.

Tabel 36 Bagi hasil cendana berdasarkan Perda Provinsi NTT

Pembagian Hasil Perda Timor No.

40/ 1953

Perda No. 11 Tahun 1966 Perda No. 7/ 1980 (%) Perda No. 16/ 1986 (%) Kawasan hutan (%) Tanah milik (%) Di luar tanah milik (%) Masyarakat Tokoh masyarakat/ adat (Pahtuaf/Tobe) Kepala Pemerintahan Desa (Temukung) Wakil raja (Fetor) Kepala Swapraja Kas Pemda Kabupaten Kas Pemda Provinsi

40 sen/kg + Upah 20 sen/kg 15 sen/kg 2 sen/kg 5 sen/kg - - Upah 3 2 1 - 74 20 50 2 1 1 - 36 10 Upah 3 2 1 - 74 20 Upah - - - - 50 50 15 - - - - 42.50 42.50 Jumlah 100 100 100 100 100

Penguasaan hak pemerintah terhadap cendana dapat dijelaskan melalui teori bundle of right (Schlanger & Ostrom 1992). Penguasaan negara dalam pemanfaatan sumberdaya milik negara seperti hutan, dalam pelaksanaannya hak kepemilikan dibedakan dalam empat bentuk yaitu memasuki dan memanfaatkan (access dan withdrawal), menentukan bentuk pengelolaan (management), menentukan keikutsertaan atau mengeluarkan pihak lain (exclusion) dan dapat memperjualbelikan hak (alienation). Sedangkan hak yang seharusnya dimiliki masyarakat mempunyai empat kelompok dari yang tertinggi sampai terendah yaitu pemilik, kepunyaan, penyewa/pemakai, dan pengguna yang disajikan pada Tabel 37. Pemerintah provinsi dalam hal ini berperan sebagai “pemilik” semua sumberdaya alam termasuk cendana yaitu hak pemanfaatan, pengelolaan, pembatasan dan pelepasan, sedangkan masyarakat tidak diberi hak apapun.

(26)

Tabel 37 Hak-hak terikat berdasarkan posisi kelompok masyarakat Jenis Hak Pemilik (Owner) Kepunyaan (Proprietor) Penyewa /Pemakai (Claimant) Pengguna (Autorize d User) Memasuki dan memanfaatkan

(Accesss dan Withdrawal)

X X X X Menentukan bentuk pengelolaan (Management) X X X Menentukan keikutsertaan

/mengeluarkan pihak lain (Exclusion)

X X

Dapat memperjual-belikan hak (Alination)

X Sumber: Schlanger & Ostrom 1992

Penguasaan pemerintah terhadap cendana menunjukkan ketidakmampuan pemerintah dalam mengelola sumberdaya cendana yang dimiliki dan didasari narasi kebijakan yang terkait nilai-nilai terhadap cendana pada masa lampau yang sulit dirubah sehingga menghambat terjadinya pembaharuan kebijakan. Nilai-nilai masa lampau dari aspek sejarah menunjukkan penguasaan cendana oleh raja-raja Timor pada masa sebelum kolonial. Tingkat kepatuhan masyarakat kepada raja sebagai penguasa dan pemilik cendana kemudian diadopsi pada pasca kemerdekaan yang dilakukan oleh pemerintah yang berkuasa pada setiap periode.

Sistem pemerintahan yang dominan berakibat pada keputusan pemerintah bersifat terpusat berdasarkan informasi yang dimiliki tanpa memperhatikan kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat. Ketidakmampuan tersebut akibat lemahnya para pengambil keputusan memahami kondisi sosial yang kompleks (complex societies). Kondisi tersebut dicirikan dengan keputusan yang terpusat, aliran informasi yang tinggi, koordinasi yang tinggi, intruksi kewenangan formal, dan pemusatan sumber daya (Diamond 2005 dalam Kartodiharjo 2008).

Perda provinsi No. 16 Tahun 1986 selama masa berlakunya pernah mengalami perubahan pertama melalui Perda provinsi No. 2 Tahun 1996 pada tanggal 28 Pebruari 1996. Hal penting dari perda tersebut adalah perubahan pasal pembagian bagi hasil cendana yaitu 60% untuk pemerintah dan 40% untuk masyarakat. pemerintah. Perubahan perda tersebut didasari semakin menurunnya populasi cendana di alam dan Perda No. 16 Tahun 1986 belum mampu mendorong partisipasi masyarakat untuk menanam dan memelihara cendana

(27)

akibat pembagian hasil yang tidak berpihak kepada masyarakat. Pembagian hasil dalam Perda No. 2 tahun 1996 diharapkan dapat mengembalikan minat masyarakat untuk menanam dan memelihara cendana.

Belum sempat berlakunya Perda 2 Tahun 1996, pada tanggal 20 Mei 1996 pemerintah daerah provinsi mengeluarkan sebuah kebijakan untuk melakukan penggumpulan kayu illegal yang berada di masyarakat yang terkenal dengan “Operasi Bersahabat”. Hasil wawancara dengan beberapa informan menyatakan kebijakan pemerintah tersebut dipengaruhi oleh pihak luar yaitu pengusaha cendana saat itu. Proses pelaksanaaannya terjadi penyimpangan yaitu penebangan cendana secara besar-besaran di lapangan bukan hanya mengumpulkan kayu illegal. Ini terbukti dengan produksi cendana tahun 1996 yang mencapai 2 458 ton atau 6 kali dari produksi sebelumnya.

Genap satu tahun pasca pelaksanaan operasi sahabat, pemerintah provinsi mengeluarkan Instruksi Gubernur No. 12 Tahun 1997 tentang Larangan Penebangan Pohon Cendana pada tanggal 18 September 1997. Larangan penebangan cendana selama 5 tahun terhitung 1 Oktober 1997 sampai 1 Oktober 2002 didasari berkurangnya populasi cendana dan mengamankan cendana sebagai asset pemerintah daerah. Penguasaan cendana oleh pemerintah provinsi melalui berbagai peraturan tanpa mempertimbangkan kelestarian dan sosial budaya masyarakat menyebabkan populasi cendana terancam punah di alam. Hal memberikan gambaran kegagalan pemerintah provinsi dalam pengelolaan cendana.

b. Perda Provinsi NTT No. 2 Tahun 1999 tentang pencabutan Perda Provinsi No. 16 Tahun 1986

Tahun 1998, pemerintah pusat mengeluarkan PP No. 62 Tahun 1998 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan di Bidang Kehutanan Kepada Daerah. Pasal 5 peraturan tersebut menyebutkan penyerahan urusan kehutanan kepada daerah tingkat II, salah satunya kegiatan pengelolaan hasil hutan non kayu yang mencakup kegiatan pengusahaan, pemungutan, dan pemasaran hasil hutan non kayu. PP No. 62 Tahun 1998 menjadi dasar pertimbangan pemerintah provinsi mengeluarkan Perda No. 2 Tahun 1999 tentang pencabutan Perda Provinsi NTT No. 16 Tahun 1986.

(28)

Perda Provinsi NTT No. 2 Tahun 1999 terdiri dari 2 Pasal yaitu Pasal pencabutan Perda provinsi NTT 16 tahun 1986 dan Pasal pemberlakuan Perda No. 2 tahun 1999. Bagian penjelasan Perda No. 2 tahun 1999 dinyatakan bahwa dalam rangka pengembangan otonomi daerah dan pemberlakuan UU No. 18 tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dilakukan penataan kembali segala jenis produk hukum yaitu Perda Tingkat I dan II. Dengan pemberlakuan PP No. 16 tahun 1998 tersebut, cendana termasuk hasil hutan non kayu digolongkan dalam Retribusi Perizinan tertentu yang diserahkan kepada Daerah Tingkat II.

Berdasarkan penjelasan tersebut, pengelolaan cendana diserahkan kepada daerah tingkat II di Provinsi NTT. Namun apabila daerah tingkat II belum menetapkan Perda tentang cendana maka pemerintah Gubernur akan menetapkan Petunjuk Pelaksanaannya. Hingga penelitian berlangsung petunjuk pelaksanaan tersebut tersebut belum diterbitkan karena kurangnya pengawasan dan pengontrolan pemerintah provinsi terhadap kabupaten pasca pelaksanaan otonomi daerah.

c. Perda Kabupaten TTS No. 25 Tahun 2001 tentang Cendana

Perda Kabupaten TTS No. 25 Tahun 2001 tentang cendana terdiri dari 9 bab dan 17 Pasal. Pasal yang penting dalam penelitian kebijakan yaitu Pasal 2 tentang status kepemilikan cendana yaitu: (a) cendana yang tumbuh secara alami atau dibudidayakan di atas tanah milik perorangan/kelompok adat dan badan hukum lainnya menjadi milik/dikuasai perorangan kelolmpok adat serta badan hukum tersebut, (b) cendana yang tumbuh secara alami atau dibudidayakan di atas tanah negara atau pemerintah daerah menjadi milik pemerintah daerah. Pasal tersebut merupakan pengakuan kepemilikan cendana kepada masyarakat untuk cendana yang berada di lahan milik karena selama ini cendana dikuasai oleh pemerintah melalui Perda provinsi. Pasal ini diperkuat dengan kebebasan masyarakat menjual cendana yang dimiliki (Pasal 7). Namun pengakuan ini dibatasi dengan proses perijinan pemungutan cendana dan kewajiban masyarakat membayar pungutan Iuran Hasil Cendana (IHC) sebesar 10% kepada pemerintah dari harga jual cendana minimal (Pasal 9).

Kewajiban masyarakat membayar 10%, berarti masyarakat mendapatkan pengakuan 90% dari cendana yang dimiliki. Kebijakan tersebut walaupun sudah

(29)

bersifat insentif kepada masyarakat, namun tingkat penerimaan masyarakat terhadap Perda masih rendah. Hal ini disebabkan karena keterlibatan masyarakat dan tokoh masyarakat/adat dalam proses perumusan Perda sangat kecil, dan tahap sosialisasi yang dilakukan belum sampai ketingkat desa/kelurahan sehingga masyarakat tidak mengetahui keberadaan perda cendana. Selain itu, kewajiban membudidaya dan melestarikan cendana yang dibebankan kepada masyarakat (Pasal 3 dan 4), mengalami kendala karena tidak sesuai dengan keadaan ekonomi dan sosial yang terdapat di masyarakat.

Hasil analisis secara kuantitatif menunjukkan bahwa secara umum masyarakat di lokasi penelitian memiliki sumberdaya yang rendah yaitu tingkat pendidikan SD atau SMP, kurangnya pengetahuan bagaimana mendapatkan benih/bibit cendana yang berkualitas, teknik penananaman, pemeliharaan, dan penanganan hama penyakit cendana, serta kebutuhan sarana produksi. Selain itu, masyarakat di lokasi penelitian masih dihadapkan pada persoalan bagaimana berusaha untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga terutama untuk kebutuhan konsumsi.

Apabila dikaitkan dengan isi Perda pada Pasal 3 dan 4 yang disebutkan di atas, memberikan gambaran terdapat gap atau kesenjangan antara isi Perda Kabupaten TTS dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Artinya isi perda Kabupaten TTS tentang cendana belum mampu mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengembangan dan pelestarian cendana. Permasalahan di atas diperparah dengan kewajiban pemerintah melakukan pembinaan dan pengawasan dalam pengembangan cendana yang tertuang dalam Pasal 12, dalam tahap implementasi tidak dilaksanakan sampai sekarang.

Besarnya iuran hasil cendana sebesar 10%, dirinci lagi yaitu 30% untuk desa/kelurahan penghasil, 5% untuk instansi pemungut, 3% untuk pembinaan dan pengawasan kepada instansi teknis operasional dan sisanya untuk kas pemerintah daerah. Namun sampai dengan kegiatan penelitian, realisasi pungutan 10% sangat sulit dilakukan dan proporsi untuk desa/kelurahan, instansi pemungut dan pembinaan dan pengawasan tidak dapat dilaksanakan. Hasil wawancara dengan petugas pemungut iuran hasil cendana mengatakan bahwa sulitnya memantau transaksi jual beli cendana yang terjadi di masyarakat karena pedagang

(30)

pengumpul biasanya langsung ke desa atau masyarakat membawa sendiri kayu cendana ke pengrajin di Kota Kupang.

Berdasarkan hasil analisis isi kebijakan Perda Kabupaten TTS No. 25 Tahun 2001 tentang cendana dapat disimpulkan bahwa pengakuan kepemilikan cendana kepada masyarakat sudah bernilai insentif dan merupakan perubahan mendasar dalam perubahan kebijakan cendana selama ini di Kabupaten TTS khususnya dan Propinsi NTT secara umum. Namun, keberadaan Perda belum menjawab permasalahan umum pada masyarakat sehingga Perda cendana sulit diterima dan dilaksanakan masyarakat.

Proses sosialisasi yang belum menjangkau seluruh masyarakat dan tahapan implementasi tidak dilakukan menyebabkan tingkat penerimaan Perda di masyarakat sangat rendah. Hal ini menunjukkan lemahnya keseriusan pemerintah atau kemauan politik dalam pengembangan cendana. Dengan demikian apa yang menjadi dasar pertimbangan dan tujuan yang ingin dicapai dari Perda cendana tidak akan berhasil.

2. Analisis Proses Pembuatan Kebijakan

Analisis pembuatan Perda provinsi No. 16 Tahun 1986, Perda No. 2 Tahun 1996 dan Perda Kabupaten TTS No. 25 Tahun 2001 tentang cendana yang berlaku hingga sekarang akan dianalisis menggunakan evaluasi pendekatan proses pembuatan kebijakan yang dilakukan IDS (2006), yang mengkaji peran diskursus/narasi, aktor atau jaringan serta politik dan kepentingan dalam penyusunan suatu kebijakan.

a. Perda Provinsi No. 16 Tahun 1986 tentang Cendana a.1. Dasar Pertimbangan

Dasar pertimbangan pembuatan Perda No. 16 Tahun 1986 adalah Perda tentang cendana yang berlaku sebelumnya mulai Perda No. 11 Tahun 1966 yang mengalami perubahan tiga kali sudah tidak sesuai dengan kebijakan peningkatan produksi dan kelestariannya sehingga perlu diubah dan diganti dengan peraturan yang baru. Perubahan dalam pengelolaan cendana tersebut diharapkan dapat lebih menjamin kelestarian cendana di samping meningkatkan pendapatan penduduk dan pemerintah daerah. Dasar hukum yang menjadi acuan dalam pembuatan Perda yaitu UU No. 5 Tahun 1974

(31)

tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, UU No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, dan PP No. 21 Tahun 1970 tentang HPH/HPHH, Jo PP No. 18 Tahun 1975 tentang perubahan Pasal 9 PP No. 21 Tahun 1970.

Penguasaan cendana oleh pemerintah provinsi didasari narasi kebijakan yang terkait nilai-nilai yang melekat pada cendana sejak masa lampau. Diskursus kebijakan yang berkembang yaitu nilai ekonomis cendana sebagai asset dan sumber penghasilan untuk rakyat, daerah dan negara sehingga pengelolaannya diatur pemerintah daerah. Nilai ekonomi cendana yang tinggi mendorong pemerintah untuk tetap menguasai cendana sebagai sumber pendapatan daerah (PAD). Masa orde baru, pemerintah lebih menekankan kepada pembagunan ekonomi (Wrangham 2003). Lebih lanjut dikatakan bahwa sistem pemerintahan yang terpusat (top down) pada masa itu yang menggambarkan pengambilan keputusan pengelolaan sumberdaya yang diperpanjang sampai ke tingkat daerah.

a.2. Proses pembuatan Perda Proses penyusunan Perda mengikuti peraturan perundangan yang

berlaku yaitu UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Dinas kehutanan provinsi selaku instansi teknis menyusun ranperda cendana kemudian diajukan kepada pemerintah provinsi untuk dilakukan pembahasan dengan Biro Hukum terkait penulisan dan kaidah-kaidah norma hukum. Hasil pembahasan yang disetujui Gubernur dilanjutkan pembahasan bersama DPRD provinsi. Sesuai peraturan yang berlaku, maka ranperda provinsi yang sudah dibahas di tingkat provinsi akan ditetapkan dan disyahkan di tingkat pusat melalui menteri dalam negeri.

Peran lembaga legislatif pada proses penyusunan perda cendana sangat kecil dibandingkan peran pemerintah yang berhubungan dengan situasi politik dan ekonomi yang terjadi. Pada masa orde baru tidak ada pusat legislatif pada jantung pemerintahan. Konsentrasi kekuasaan berada pada Presiden dan menteri-menteri dengan mengorbankan DPR dan badan peradilan/kehakiman (Wrangham 2003). Tingginya permintaan cendana dari luar daerah dan keberadaan industri penyulingan minyak/ kerajinan cendana,

(32)

memperkuat peran pemerintah sebagai pemilik cendana termasuk pembagian jatah bahan baku tiap industri pertahun.

Peran ilmu pengetahuan dan informasi terkait cendana masih sedikit dan sulit diperoleh. Perda apapun yang berkaitan dengan sumberdaya alam harus dibuat berdasarkan hasil temuan ilmiah (Patlis 2004). Pengetahuan atau kearifan lokal cendana “banu haumeni” dan peran lembaga adat yg selama memiliki aturan dalam mengatur cendana tidak dijadikan acuan dalam proses penyusunan. Upaya konservasi sumberdaya alam akan berhasil apabila aspek-aspek ekonomi dan sosial yang ada di seputar sumberdaya tersebut dan masyarakat yang memanfaatkannya juga diperhitungkan (Borrini-Feyerabend 1997 dalam Patlis 2004).

Hasil kajian tahapan pembuatan kebijakan diperoleh informasi bahwa penetapan pembagian hasil cendana dalam perda sebesar 85% dan 15% melibatkan peran pemerintah pusat yakni departemen dalam negeri dan departemen kehutanan. Pasal pembagian hasil cendana termasuk

dalam pasal perubahan (penambahan) pada tahapan pengesahan Perda yang dilakukan di Jakarta. Pembagian hasil penjualan cendana dalam Perda sebelum ditetapkan yaitu 50% untuk pemerintah provinsi dan 50% untuk kabupaten penghasil. Dalalm pasal ini menunjukkan bahwa penguasaan penuh pemerintah provinsi terhadap cendana dengan mengabaikan hak masyarakat terhadap cendana..

Persentase bagi hasil untuk masyarakat dalam Perda sebesar 15% dimaksudkan sebagai upah balas jasa pemerintah terhadap upaya pemeliharaan cendana yang berada di lahan masyarakat. Bagi hasil tersebut didasari sistem bagi hasil cendana untuk masyarakat yang terdapat dalam Perda Timor No. 4 Tahun 1953 (40 sen/kg untuk masyarakat) dan Perda Provinsi NTT No. 11 tahun 1966 (50% untuk masyarakat). Pembagian hasil dalam Perda Timor yang merupakan peraturan yang pertama kali mengatur cendana pasca kemerdekaan merupakan penghargaan pemerintah Timor atas jasa pemeliharaan untuk menumbuhkan kecintaan masyarakat terhadap cendana. Hal ini dilakukan karena sejak masa kerajaan, Portugis, dan Belanda (VOC), masyarakat tidak pernah mendapat bagian apapun dari cendana yang berada di lahannya. Dalam penjelasan Perda Timor dinyatakan bahwa

Gambar

Tabel  34  Hasil  pendugaaan  parameter  persamaan  total  pendapatan   rumahtangga  Peubah  Parameter  Dugaan   t-hitung  Taraf- nyata  Elastisitas  Intersept
Tabel 35 Hasil pendugaaan parameter persamaan konsumsi total
Tabel 36 Bagi hasil cendana berdasarkan Perda Provinsi NTT
Tabel 38  Ringkasan analisis proses pembuatan perda cendana

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini juga berguna untuk menghilangkan miskonsepsi tentang perusahaan yang telah timbul sebelumnya di tengah-tengah masyarakat, diharapkan dengan adanya hubungan

Dari tahun 1913 hingga 1925, Thailand mengeluarkan sejumlah undang-undang untuk membendung nasionalisme Cina dan memaksa orang Cina menjadi warga negara Thailand. Pada tahun

Alat analisis yang digunakan dalam peneltian ini adalah regresi berganda tanpa lag satu tahun yaitu untuk mengetahui bahwa Flypaper Effect terjadi pada Belanja Daerah (BD)

Prinsip Restorasi Hidrologi di lahan gambut adalah menaikkan muka air tanah gambut setinggi mungkin, yang pada akhirnya diharapkan dapat: menurunkan laju oksidasi dan

Dari hasil penelitian ini didapat bahwa pengamanan pesan melalui metode vigenere cipher dengan penggunaan kunci secara berlapis dapat meminimalisir kelemahan yang

Kedelai yang diperjualbelikan oleh bapak Jamilan ternyata terjadi kenaikan harga, karena selain menjual tentunya bapak Jamilan juga menginginkan laba yang cukup,

memberikan pengetahuan tetapi juga pengajaran nilai dan norma untuk mengubah perilaku peserta didik menjadi lebih baik dan memberikan nasehat jika peserta didik

Untuk  semua  kawan  yang  belum  disebutkan  dan  mungkin  terlalu  banyak  untuk  di  sebutkan  lagi.  Saya  ucapkan  terima  kasih  sebesar  besarnya