• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pelabuhan Perikanan 2.2 Klasifikasi Pelabuhan Perikanan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pelabuhan Perikanan 2.2 Klasifikasi Pelabuhan Perikanan"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pelabuhan Perikanan

Pelabuhan perikanan berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER. 16/MEN/2006 tentang Pelabuhan Perikanan bab 1 pasal 1 adalah tempat yang terdiri atas daratan dan perairan sekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan sistem bisnis perikanan yang dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, berlabuh, dan atau bongkar muat ikan yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang perikanan. Menurut Lubis (2006) klasifikasi pelabuhan perikanan dapat dipengaruhi oleh :

1) Luas lahan, letak, dan jenis konstruksi bangunan, 2) Jenis alat tangkap yang menyertai kapal-kapalnya, 3) Jenis perikanan dan skala usahanya,

4) Distribusi dan sajian ikan hasil tangkapan.

Lubis (2006) menyatakan bahwa, pelabuhan perikanan terbagi atas 4 kelompok yaitu Pelabuhan Perikanan Samudera (Tipe A), Pelabuhan Perikanan Nusantara (Tipe B), Pelabuhan Perikanan Pantai (Tipe C), dan Pangkalan Pendaratan Ikan (Tipe D). Setiap kelompok memiliki persyaratan khusus seperti jumlah kapal, produksi hasil tangkapan per hari, batasan alur pelayaran, dan lain-lain.

2.2 Klasifikasi Pelabuhan Perikanan

Pelabuhan perikanan yang terdapat di Indonesia berdasarkan data terakhir tahun 2009 jumlahnya sekitar 968 pelabuhan perikanan (Lubis 2010), jadi untuk memudahkan dalam pendataan diperlukan pembagian. Menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER. 16/MEN/2006 tentang pelabuhan perikanan berdasarkan klasifikasi besar-kecil skala usaha pelabuhan perikanan menjadi empat tipe pelabuhan, yaitu:

1) Pelabuhan Perikanan tipe A (Pelabuhan Perikanan Samudera).

Pelabuhan Perikanan tipe ini adalah pelabuhan perikanan yang diperuntukan terutama bagi kapal-kapal perikanan yang melakukan kegiatan perikanan jarak

(2)

jauh sampai ke peraiaran ZEEI (Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia) dan perairan internasional, mempunyai perlengkapan untuk menangani (handling) dan mengolah sumberdaya ikan sesuai dengan kapasitasnya yaitu jumlah hasil ikan yang didaratkan. Adapun jumlah ikan yang didaratkan minimum sebanyak 200 ton per hari atau 73.000 ton per tahun baik untuk pemasaran di dalam maupun di luar negeri (ekspor). Pelabuhan perikanan tipe A ini dirancang untuk bisa menampung kapal berukuran lebih besar daripada 60 GT (gross tonage) sampai dengan 100 unit kapal sekaligus. Mempunyai cadangan lahan untuk pengembangan seluas 30 ha.

2) Pelabuhan Perikanan tipe B (Pelabuhan Perikanan Nusantara).

Pelabuhan Perikanan tipe ini adalah pelabuhan perikanan yang diperuntukan terutama bagi kapal-kapal perikanan yang melakukan kegiatan perikanan jarak sedang sampai ke peraiaran ZEEI (Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia), mempunyai perlengkapan untuk menangani (handling) dan/atau mengolah sumberdaya ikan sesuai dengan kapasitasnya yaitu jumlah hasil ikan yang didaratkan. Adapun jumlah ikan yang didaratkan minimum sebanyak 50 ton per hari atau 18.250 ton per tahun untuk pemasaran di dalam negeri. Pelabuhan perikanan tipe B ini dirancang untuk bisa menampung kapal berukuran sampai dengan 60 GT (gross tonage) sampai dengan 50 unit kapal sekaligus. Mempunyai cadangan lahan untuk pengembangan seluas 10 ha. 3) Pelabuhan tipe C (Pelabuhan Perikanan Pantai).

Pelabuhan Perikanan tipe ini adalah pelabuhan perikanan yang diperuntukan terutama bagi kapal-kapal perikanan yang melakukan kegiatan perikanan di perairan pantai, mempunyai perlengkapan untuk menangani (handling) dan/atau mengolah sumberdaya ikan sesuai dengan kapasitasnya yaitu jumlah hasil ikan yang didaratkan. Adapun jumlah ikan yang didaratkan minimum sebanyak 20 ton per hari atau 7.300 ton per tahun untuk pemasaran di daerah sekitarnya atau untuk dikumpulkan dan dikirimkan ke pelabuhan yang lebih besar. Pelabuhan perikanan tipe C ini dirancang untuk bisa menampung kapal berukuran sampai dengan 15 GT (gross tonage) sampai dengan 25 unit kapal sekaligus. Mempunyai cadangan lahan untuk pengembangan seluas 5 ha.

(3)

4) Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI).

Pelabuhan Perikanan tipe ini adalah pelabuhan perikanan yang diperuntukan untuk pendaratan ikan hasil tangkapan nelayan yang berskala kecil daripada pelabuhan perikanan pantai ditinjau dari kapasitas penanganan jumlah produksi ikan, maupun fasilitas dasar dan perlengkapanya. Pelabuhan perikanan tipe ini dirancang sebagai prasarana pendaratan ikan yang dapat menanganiproduksi ikan sampai 5 ton per hari, dapat menampung kapal berukuran sampai dengan 5 GT (gross tonage) sampai dengan 15 unit kapal sekaligus. Mempunyai cadangan lahan untuk pengembangan seluas 1 ha.

2.3 Fungsi dan Peran Pelabuhan Perikanan

Pelabuhan perikanan dalam menjalankan semua aktivitas dan kegiatanya bila ditinjau dari fungsinya, pelabuhan perikanan tentunya berbeda dengan jenis pelabuhan-pelabuhan pada umumnya karena pelabuhan perikanan dikhususkan untuk bidang perikanan. Menurut Lubis (2010) mengatakan bahwa, secara umum pelabuhan perikanan mempunyai fungsi yang dapat dikelompokan sebagai berikut:

1) Fungsi Maritim

Pelabuhan perikanan mempunyai aktivitas-aktivitas yang bersifat kemaritiman, yaitu merupakan suatu tempat kontak bagi nelayan atau pemilik kapal, antara laut dan daratan untuk semua aktivitasnya.

2) Fungsi Komersial

Fungsi ini timbul karena pelabuhan perikanan merupakan suatu tempat awal untuk mempersiapkan pendistribusian produksi perikanan dengan melakukan transaksi pelelangan ikan.

3) Fungsi Jasa

Fungsi ini meliputi seluruh jasa-jasa pelabuhan perikanan mulai dari ikan didaratkan sampai ikan didistribusikan. Fungsi jasa dapat dikelompokan menjadi:

(1) Jasa-jasa yang melayani pendaratan ikan, antara lain penyediaan alat-alat pengangkut ikan, keranjang-keranjang atau basket plastik dan buruh untuk membongkar ikan;

(4)

(2) Jasa-jasa yang melayani kapal-kapal penangkap ikan antara lain dalam penyediaan bahan bakar, air bersih, dan es;

(3) Jasa-jasa yang menangani mutu ikan, antara lain terdapatnya fasilitas cold storage, cool room, pabrik es, dan penyedia air bersih;

(4) Jasa-jasa yang melayani keamanan pelabuhan, antara lain adanya jasa pemanduan bagi kapal-kapal yang akan masuk dan keluar pelabuhan; (5) Jasa-jasa pemeliharaan kapal dan pelabuhan, antara lain adanya fasilitas

docking, slipways dan bengkel.

Menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER. 16/MEN/2006 tentang pelabuhan perikanan, pelabuhan perikanan mempunyai fungsi mendukung kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan, sampai dengan pemasaran. Berikut fungsi pelabuhan perikanan tersebut:

1) Pelayanan sandar dan labuh kapal perikanan dan kapal pengawas perikanan;

2) Pelayanan bongkar muat;

3) Pelaksanaan pembinaan mutu dan pengolahan hasil perikanan; 4) Pemasaran dan distribusi ikan;

5) Pengumpulan data tangkapan dan hasil perikanan;

6) Pelaksanaan penyuluhan dan pengembangan masyarakat nelayan; 7) Pelaksanaan kegiatan operasional kapal perikanan;

8) Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian sumber daya ikan; 9) Pelaksanaan kesyahbandaran;

10) Pelaksanaan fungsi karantina ikan; 11) Publikasi hasil riset kelautan perikanan; 12) Pemantauan wilayah pesisir dan wisata bahari;

13) Pengendalian lingkungan (kebersihan, keamanan, dan ketertiban (K3), kebakaran, dan pencemaran).

Peranan pelabuhan perikanan sangat penting dalam perikanan tangkap karena pelabuhan perikanan merupakan center perekonomian mulai ketika ikan selesai ditangkap dari fishing ground-nya maupun ketika akan dipasarkan lebih lanjut. Menurut Lubis (2010) secara rinci pelabuhan perikanan berperan terhadap:

(5)

1) Hasil tangkapan yang didaratkan:

(1) Mampu mempertahankan mutu ikan dan dapat memberikan nilai tambah;

(2) Mampu melakukan pembongkaran secara cepat dan menseleksi ikan secara cermat;

(3) Mampu memasarkan ikan yang menguntungkan baik bagi nelayan maupun pedagang melalui aktivitas pelelangan ikan;

(4) Mampu melakukan pendataan produksi hasil tangkapan yang didaratkan secara akurat melalui sistem pendataan yang benar;

2) Para pengguna di pelabuhan perikanan:

(1) Sebagai pusat dan tukar menukar informasi antar pelaku di pelabuhaan; (2) Mampu meningkatkan pendapatan para pelaku di pelabuhan dengan

pelaksanaan pelelangan ikan;

(3) Mampu menciptakan keamanan dan kenyamanan bagi para pelaku untuk beraktivitas di pelabuhan;

3) Perkembangan wilayah, baik dari aspek ekonomi maupun sosial budaya:

(1) Mampu meningkatkan perekonomian kota/kabupaten sehingga menambah pendapatan asli daerah;

(2) Terdapatnya beragam sosial budaya akibat keheterogenan penduduk karena urbanisasi;

(3) Mampu menyerap tenaga kerja berkaitan dengan aktivitas kepelabuhanan perikaanan dan aktivitas terkait di sekitarnya.

2.4 Fasilitas Pelabuhan Perikanan

Pelabuhan perikanan harus dapat menjalankan fungsi dan peranya dengan baik seperti apa yang sudah disebutkan di atas, agar dapat memenuhi fungsi dan peranya tersebut pelabuhan harus dilengkapi dengan berbagai fasilitas. Menurut Lubis (2010), fasilitas yang terdapat pada pelabuhan perikanan terdiri dari tiga jenis yaitu fasilitas pokok, fasilitas fungsional dan fasilitas tambahan/penunjang: 1. Fasilitas Pokok

Fasilitas pokok adalah fasilitas dasar atau pokok yang diperlukan dalam kegiatan di suatu pelabuhan. Fasilitas pokok di pelabuhan perikanan antara lain (Lubis 2010):

(6)

1) Dermaga

Dermaga adalah suatu bangunan kelautan yang berfungsi sebagai tempat labuh dan tambatnya kapal, bongkar muat hasil tangkapan dan mengisi bahan perbekalan untuk keperluan penangkapan ikan di laut. 2) Kolam Pelabuhan

Kolam pelabuhan adalah daerah perairan pelabuhan untuk masuknya kapal yang akan bersandar di dermaga.

3) Alat Bantu Navigasi

Alat bantu navigasi adalah alat yang berfungsi:

(1) Memberikan peringatan atau tanda-tanda terhadap bahaya yang tersembunyi misalnya batu karang di suatu perairan;

(2) Memberikan petunjuk/bimbingan agar kapal dapat berlayar dengan aman di sepanjang pantai, sungai dan perairan lainnya;

(3) Memberikan petunjuk dan bimbingan pada waktu kapal akan keluar masuk pelabuhan atau ketika kapal akan merapat dan membuang jangkar.

4) Breakwater atau Pemecah Gelombang

Breakwater suatu struktur bangunan kelautan yang berfungsi khusus untuk melindungi pantai atau daerah sekitar pantai terhadap pengaruh gelombang laut.

2. Fasilitas Fungsional

Fasilitas fungsional dikatakan juga suprastruktur adalah fasilitas yang berfungsi untuk meninggikan nilai guna dari fasilitas pokok sehingga dapat menunjang aktivitas di pelabuhan. Fasilitas-fasilitas ini tidak harus ada di pelabuhan perikanan namun fasilitas ini disediakan sesuai dengan kebutuhan operasional pelabuhan perikanan tersebut. Fasilitas fungsional dikelompokkan menjadi (Lubis 2010):

1) Penanganan hasil tangkapan dan pemasaran, yaitu:

(1) Tempat pelelangan ikan (TPI), berfungsi untuk melelang ikan, dimana terjadi pertemuan antara penjual (nelayan atau pemilik kapal) dengan pembeli (pedagang atau agen perusahaan perikanan);

(7)

(2) Fasilitas pemeliharaan dan pengolahan hasil tangkapan ikan, seperti gedung pengolahan, tempat penjemuran ikan dan lain-lain; (3) Pabrik dan gudang es, dipergunakan untuk mempertahankan mutu

ikan pada saat operasi penangkapan dan pengangkutan ke pasar atau pabrik;

(4) Gudang es, diperlukan apabila produksi kemungkinan tidak terserap pasar secara keseluruhan, pabrik es jauh dari dermaga perbekalan (out fitting) atau kemungkinan mendatangkan es dari luar;

(5) Refrigerasi/fasilitas pendinginan, seperti cool room, cold storage; (6) Gedung-gedung pemasaran, dimana tempat ini biasanya dilengkapi

dengan fasilitas-fasilitas seperti alat sortir, timbangan, pengepakan dan lain-lain.

2) Fasilitas pemeliharaan dan perbaikan armada dan alat penangkap ikan,yaitu:

(1) Lapangan perbaikan alat penangkapan ikan; (2) Ruangan mesin;

(3) Tempat penjemuran alat penangkap ikan;

(4) Bengkel: fasilitas untuk memperbaiki mesin kapal; (5) Slipway: tempat untuk memperbaiki bagian lunas kapal; (6) Gudang jaring: tempat untuk penyimpanan jaring;

(7) Vessel lift: fasilitas untuk mengangkat kapal dari kolam pelabuhan ke lapangan perbaikan kapal.

3) Fasilitas perbekalan: tangki dan instalasi air minum, tangki bahan bakar.

4) Fasilitas komunikasi: stasiun jaringan telepon, radio SSB. 3. Fasilitas Penunjang

Fasilitas penunjang adalah fasilitas yang secara tidak langsung meningkatkan peranan pelabuhan atau para pelaku mendapatkan kenyamanan melakukan aktivitas di pelabuhan. Fasilitas ini berupa (Lubis, 2010):

1) Fasilitas kesejahteraan antara lain MCK, poliklinik, mess, kantin, musholla;

(8)

2) Fasilitas administrasi meliputi kantor pengelola pelabuhan, ruang operator, kantor syahbandar, kantor beacukai dan lainnya.

2.5 Pangkalan Pendaratan Ikan

Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) merupakan pelabuhan perikanan (PP) tipe D. Secara umum, pangkalan pendaratan ikan dan pelabuhan perikanan memiliki fungsi yang sama dengan pelabuhan perikanan tipe A (samudera), tipe B (nusantara), dan tipe C (pantai). Perbedaan pengklasifikasian ini hanya terletak pada kapasitas fasilitasnya saja. Menurut Lubis (2006), pada umumnya pangkalan pendaratan ikan ditujukan untuk tempat berlabuh atau bertambatnya perahu-perahu penangkapan ikan tradisional yang berukuran lebih kecil dari 5 GT atau untuk perahu-perahu layar tanpa motor. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan PER. 16/MEN/2006 tentang pelabuhan perikanan yang mengklasifikasikan pelabuhan perikanan berdasarkan kriteria teknis, maka pelabuhan perikanan tipe D memiliki kriteria berikut (Mahyuddi 2007).

1) Daerah penangkapan ikan disekitar perairan pedalaman dan perairan kepulauan,

2) Ukuran kapal 3 GT

3) Panjang dermaga 50 meter dan dengan kedalaman kolam pelabuhan 2 meter 4) Kapasitas tampung 20 unit, dan

5) Luas lahan minimal 2 ha.

2.6 Masyarakat Pesisir

Masyarakat pesisir didefinisikan sebagai kelompok orang yang tinggal di daerah pesisir dan sumber kehidupan perekonomiannya bergantung secara langsung pada pemanfaatan sumberdaya laut dan pesisir.Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk di dalamnya perubahan-perubahan sosial (Soekanto 1986).

Menurut Satria (2004), definisi masyarakat pesisir adalah sekumpulan masyarakat yang hidup bersama-sama mendiami wilayah pesisir membentuk dan memiliki kebudayaan yang khas yang terkait dengan ketergantungannya pada pemanfaatan sumberdaya pesisir.

(9)

Perairan pesisir adalah daerah pertemuan darat dan laut, dengan batas darat dapat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang masih mendapat pengaruh sifat-sifat laut, seperti angin laut, pasang surut, dan intrusi air laut. Ke arah laut, perairan pesisir mencakup bagian batas terluar dari daerah paparan benua yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat, seperti sedimentasi dan aliran air tawar.

Definisi wilayah seperti diatas memberikan suatu pengertian bahwa ekosistem perairan pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan mempunyai kekayaan habitat beragam, di darat maupun di laut serta saling berinteraksi. Selain mempunyai potensi besar wilayah pesisir juga merupakan ekosistem yang mudah terkena dampak kegiatan manusia. Umumnya kegiatan pembangunan secara langsung maupun tidak langsung berdampak merugikan terhadap ekosistem perairan pesisir (Dahuri 2004).

Menurut Dahuri (2004), hingga saat ini masih belum ada definisi wilayah pesisir yang baku. Namun demikian, terdapat kesepakatan umum di dunia bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Apabila ditinjau dari garis pantai (coast line), maka wilayah pesisir mempunyai dua macam batas (boundaries) yaitu batas yang sejajar garis pantai (long shore) dan batas yang tegak lurus garis pantai (cross shore).

2.6.1 Masyarakat nelayan

Horton et al. (1991 dalam Satria 2002) mendefinisikan masyarakat sebagai sekumpulan manusia yang secara relatif mandiri, cukup lama hidup bersama, mendiami suatu wilayah tertentu, memiliki kebudayaan yang sama, dan melakukan sebagian besar kegiatannya di dalam kelompok tersebut. Soekanto (1986) menyebutkan bahwa pada dasarnya manusia memiliki dua hasrat dalam dirinya, yaitu keinginan untuk menjadi satu dengan sesamanya atau manusia lain di sekelilingnya serta keinginan untuk menjadi satu dengan lingkungan alam sekelilingnya. Suatu masyarakat merupakan sistem adaptif, oleh karena masyarakat merupakan wadah untuk memenuhi berbagai kepentingan dan untuk dapat bertahan. Berkaitan dengan definisi masyarakat tersebut, Satria (2009) mengartikan masyarakat pesisir sebagai sekumpulan masyarakat yang hidup bersama dan mendiami wilayah pesisir membentuk dan memiliki kebudayaan

(10)

yang khas yang terkait dengan ketergantungannya pada pemanfaatan sumberdaya pesisir.

Dalam Satria (2002) disebutkan bahwa sosiologi masyarakat pesisir direkonstruksi dari basis sumberdaya. Berbeda dengan sosiologi pedesaan yang berbasis pada society, sosiologi masyarakat pesisir lebih berbasis pada sumberdaya, sehingga kajian-kajian sosiologi masyarakat pesisir bersumber pada aktivitas masyarakat yang terkait dengan sumberdaya perikanan. Nelayan merupakan bagian dari masyarakat pesisir yang memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap sumberdaya perikanan. Kusnadi (2007) mendefinisikan desa nelayan sebagai desa dimana sebagian besar penduduknya bermatapencaharian menangkap ikan di laut. Dalam Satria (2002) disebutkan bahwa nelayan sebagai orang yang melakukan kegiatan penangkapan ikan di laut terbagi berdasarkan status penguasaan kapital, yaitu nelayan pemilik dan nelayan buruh. Nelayan pemilik atau juragan adalah orang yang memiliki sarana penangkapan, seperti kapal/perahu, jaring dan alat tangkap lainnya. Sedangkan nelayan buruh adalah orang yang menjual jasa tenaga kerja sebagai buruh dalam kegiatan penangkapan ikan di laut, atau anak buah kapal (ABK).

DJPT-DKP (2007) mendefinisikan nelayan sebagai orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan/binatang air lainnya/tanaman air. Sementara orang yang hanya melakukan pekerjaan seperti membuat jaring, mengangkut alat-alat perlengkapan ke dalam perahu/kapal, tidak dimasukkan sebagai nelayan. Tetapi ahli mesin dan juru masak yang bekerja di atas kapal penangkap dimasukkan sebagai nelayan, walaupun mereka tidak secara langsung melakukan penangkapan.

DJPT-DKP (2007) mengklasifikasikan nelayan berdasarkan waktu yang digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan, yaitu:

1) Nelayan penuh

Nelayan yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan/binatang air lainnya/tanaman air.

2) Nelayan sambilan utama

Nelayan yang sebagian besar waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan/binatang air lainnya/tanaman air.

(11)

Disamping melakukan pekerjaan penangkapan, nelayan kategori ini dapat pula mempuyai pekerjaan lain.

3) Nelayan sambilan tambahan

Nelayan yang sebagian kecil waktu kerjanya digunakan untuk melakukan penangkapan ikan.

Secara umum berdasarkan bagian yang diterima dalam usaha penangkapan ikan menurut Hermanto diacu dalam Desiwardani (2006) yaitu:

1) Juragan darat yaitu orang yang mempunyai perahu dan alat penangkapan ikan, tetapi tidak ikut dalam operasi penangkapan ikan di laut. Juragan darat hanya menerima bagi hasil tangkapan yang diusahakan oleh orang lain. Pada umumnya juragan darat menanggung seluruh biaya operasi penangkapan ikan.

2) Juragan laut orang yang tidak mempunyai perahu dan alat penangkapan ikan tetapi bertanggung jawab dalam operasi penangkapan ikan.

3) Juragan darat-laut yaitu orang yang mempunyai perahu dan alat penangkapan ikan sekaligus ikut dalam operasi penangkapan ikan di laut. Juragan darat-laut menerima hasil sebagian nelayan dan bagi hasil sebagai pemilik unit penangkapan.

4) Buruh atau pandega yaitu orang yang tidak mempunyai unit penangkapan dan hanya berfungsi sebagai anak buah kapal (ABK), umumnya menerima bagi hasil tangkapan dan jarang diberikan upah harian.

5) Anggota kelompok yaitu orang yang berusaha pada suatu unit penangkapan secara berkelompok. Perahu yang dioperasikan adalah perahu yang dibeli dari modal yang dikumpulkan oleh semua anggota kelompok.

Satria (2002) menggolongkan nelayan menjadi empat tingkatan yang dilihat dari kapasitas teknologi (alat tangkap dan armada), orientasi pasar, dan karakteristik hubungan produksi, yaitu:

1) Peasant-fisher atau nelayan tradisional

Biasanya lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan sendiri (subsistence). Umumnya masih menggunakan alat tangkap tradisional dayung atau sampan tidak bermotor dan masih melibatkan anggota keluarga sebagai tenaga kerja utama.

(12)

2) Post-peasant fisher

Nelayan dengan penggunaan teknologi penangkapan ikan yang lebih maju seiring dengan perkembangan motorisasi perikanan. Dengan daya tangkap yang lebih besar dan surplus dari hasil tangkapan itu, nelayan jenis ini sudah mulai berorientasi pasar dan tenaga kerjanya tidak bergantung pada anggota keluarga saja.

3) Commercial fisher

Nelayan yang telah berorientasi pada peningkatan keuntungan dengan skala usaha yang besar, jumlah tenaga kerja dengan status yang berbeda dari buruh hingga manajer, serta teknologi yang digunakan lebih modern dan membutuhkan keahlian tersendiri dalam pengoperasian kapal maupun alat tangkapnya.

4) Industrial fisher

Nelayan skala besar yang dicirikan dengan majuya kapasitas teknologi penangkapan maupun jumlah armadanya. Berorientasi pasar ekspor (ikan kaleng dan ikan beku), relatif padat modal, dan melibatkan buruh nelayan sebagai anak buah kapal (ABK) dengan organisasi kerja yang kompleks.

2.6.2 Karakteristik Masyarakat Nelayan

Satria (2002) menguraikan secara singkat karakteristik masyarakat pesisir sebagai representasi komunitas desa-pantai dan desa terisolasi, dari berbagai aspek:

1) Sistem Pengetahuan

Pengetahuan tentang teknik penangkapan ikan umumnya diperoleh secara turun temurun berdasarkan pengalaman empirik. Kuatnya pengetahuan lokal ini menjadi salah satu faktor penyebab terjaminnya kelangsungan hidup sebagai nelayan. Pengetahuan lokal (indigenous knowledge) tersebut merupakan kekayaan intelektual yang hingga kini terus dipertahankan.

3) Sistem Kepercayaan

Secara teologi, nelayan masih memiliki kepercayaan yang kuat bahwa laut memiliki kekuatan khusus dalam melakukan aktivitas penangkapan ikan agar keselamatan dan hasil tangkapan semakin terjamin. Namun seiring berjalannya

(13)

waktu, berbagai tradisi dilangsungkan hanya sebagai salah satu instrumen stabilitas sosial dalam komunitas nelayan.

4) Peran Wanita

Umumnya selain banyak bergelut dalam urusan domestik rumah tangga, istri nelayan tetap menjalankan aktivitas ekonomi dalam kegiatan penangkapan di perairan dangkal, pengolahan ikan, maupun kegiatan jasa dan perdagangan. Istri nelayan juga dominan dalam mengatur pengeluaran rumah tangga sehari-hari sehingga sudah sepatutnya peranan istri-istri nelayan tersebut menjadi salah satu pertimbangan dalam setiap program pemberdayaan.

5) Struktur Sosial

Struktur yang terbentuk dalam hubungan produksi (termasuk pasar) pada usaha perikanan, perikanan tangkap maupun perikanan budidaya, umumnya dicirikan dengan kuatnya ikatan patron-klien. Kuatnya ikatan ini merupakan konsekuensi dari sifat kegiatan penangkapan ikan yang penuh dengan resiko dan ketidakpastian. Pada perikanan budidaya, patron meminjamkan modal kepada para nelayan lokal untuk pembudidayaan ikan. Dengan konsekuensi, hasilnya harus dijual kepada patron dengan harga yang lebih murah. Ciri yang kedua adalah stratifikasi sosial. Bentuk stratifikasi masyarakat pesisir Indonesia sangat beragam. Seiring moderninasi akan terjadi diferensiasi sosial yang dilihat dari semakin bertambahnya jumlah posisi sosial atau jenis pekerjaan sekaligus terjadi pula perubahan stratifikasi karena sejumlah posisi sosial tersebut tidaklah bersifat horisontal, melainkan vertikal dan berjenjang berdasarkan ukuran ekonomi, prestise atau kekuasaan.

6) Posisi Sosial Nelayan

Di kebanyakan masyarakat, nelayan memiliki status yang relatif rendah. Rendahnya posisi sosial nelayan ini merupakan akibat dari keterasingan nelayan sehingga masyarakat bukan nelayan tidak mengetahui lebih jauh cara hidup nelayan. Hal ini terjadi akibat sedikitnya waktu dan kesempatan nelayan untuk berinteraksi dengan masyarakat lain karena alokasi waktu yang besar untuk kegiatan penangkapan ikan disbanding untuk bersosialisasi dengan masyarakat bukan nelayan yang memang secara geografis relatif jauh dari pantai. Secara politis posisi nelayan kecil terus dalam posisi dependen dan marjinal akibat dari faktor kapital yang dimilikinya sangatlah terbatas.

(14)

2.7 Aspek Sosial Ekonomi Dalam Pemanfaatan Pelabuhan Perikanan

Berdasarkan fungsi dan peranan serta fasilitas-fasilitas yang dimilikinya, bisa dikatakan pelabuhan perikanan merupakan salah satu organisasi publik sehingga di dalam pelabuhan perikanan pasti ada aspek sosial ekonomi yang terjadi dan mempengaruhi kegiatan di dalamnya.

Menurut Nugroho (2011), aspek sosial dalam Pemanfaatan Pelabuhan Perikanan di dalamnya mencakup:

1) Demografi (Kependudukan)

Keberadaan pelabuhan perikanan menjadi daya tarik ekonomi sehingga banyak orang mendekatinya sehingga menyebabkan terjadinyan mobilitas penduduk (Nelayan, Pedagang, Pengolah dll).

2) Mata pencaharian

Keberadaan Pelabuhan Perikanan dapat menjadi tempat bekerja masyarakat terutama penduduk lokal dan sekitarnya dengan berbagai jenis pekerjaan misalnya nelayan, bakul ikan, pedagang warung dll.

(1) Pola kerja

Sistem kerja pelaku ekonomi/stakeholder yang terlibat dalam aktivitas di pelabuhan perikanan meliputi waktu kerja, pembagian kerja, kerjasama, penghasilan, ketrampilan, modal, teknologi dll.

(2) Produksi

Output usaha yang dihasilkan dalam satuan waktu tertentu. Termasuk siklus kegiatan produksi harian.

3) Menciptakan lapangan kerja

Keberadaan Pelabuhan Perikanan dapat membuka lapangan kerja berupa kesempatan usaha dan kerja masyarakat terutama penduduk lokal dan sekitarnya serta pendatang sehingga dapat mengatasi pengangguran.

(1) Kesempatan bisnis

Meliputi jenis dan tipe bisnis yang dikelola masyarakat, jumlah usaha yang ada, kompetisi usaha antar penduduk lokal maupun pendatang, dan perijinan usaha dll.

(15)

(2) Kesempatan pekerjaan

Kesempatan kerja berada disektor formal maupun informal yaitu meliputi jumlah orang yang bekerja atau mengantungkan hidupnya di PP, Jumlah dan jenis pekerjaan baik formal maupun informal yang ada di PP, dll. 4) Kelembagaan

Kelembagaan merupakan pola hubungan antar individu atau kelompok masyarakat baik hubungan formal maupun non formal. Dalam pemanfaatan pelabuhan perikanan yang termasuk hubungan formal seperti koperassi perikanan (KUD Mina), kelompok usaha bersama, HNSI, dll. Sedangkan yang termasuk hubungan non formal adalah hubungan antara nelayan dan pemilik modal.

Gambar 2 Pola kelembagaan dalam pelabuhan perikanan

Aspek ekonomi dalam Pemanfaatan Pelabuhan Perikanan di dalamnya meliputi (Nugroho 2011):

1) Penyerapan Tenaga Kerja

Keberadaan Pelabuhan Perikanan dapat menciptakan kesempatan kerja yang bersifat formal maupun informal sehingga mampu menyerap tenaga kerja lokal di institusi pemerintah, industri pengolahan, perdagangan/pemasaran, buruh, dll. 2) Tumbuhnya Industri Pengolahan

Keberadaan Pelabuhan Perikanan dapat mendorong tumbuhnya industri pengolahan ikan. Faktor yang mendorong tumbuhnya industri pengolahan ikan antara lain :

Pola Hubungan antar Individu atau Kelompok Masyarakat

Hubungan Formal Hubungan Non Formal

• Koperasi Perikanan (KUD Mina)

• Kelompok Usaha Bersama

• HNSI dll

Hubungan nelayan dengan pemilik modal

(16)

(1) Bahan baku

Ketersediaan bahan baku dengan kontinuitas yang terjamin khususnya ikan sangat menentukan tumbuhnya industri pengolahan produk perikanan.

(2) Peluang pasar

Peluang pasar ditandai oleh tingginya animo/permintaan masyarakat terhadap produk olahan produk perikanan.

(3) Dukungan pemerintah

Meliputi bantuan pelatihan ketrampilan teknis, pembiayaan, kemudahan perijinan, insentif pajak dll.

3) Pusat pemasaran

Keberadaan Pelabuhan Perikanan menjadi pusat pemasaran dan distribusi hasil tangkapan nelayan dengan adanya:

(1) Tempat pelelangan ikan

Tempat pelelangan ikan menjadi tempat pertemuan antara nelayan dengan calon pembeli. Melalui mekanisme pelelangan, pemasaran hasil tangkapan nelayan serta harga ikan lebih terjamin.

(2) Pasar ikan

Di sekitar PP dapat berkembang menjadi pasar ikan. Pasar ikan merupakan tempat pertemuan antara nelayan, pedagang dan calon konsumen/pembeli.

4) Pertumbuhan ekonomi regional/lokal

Keberadaan Pelabuhan Perikanan akan mendorong pertumbuhan ekonomi regional/lokal. Indikator pertumbuhan ekonomi dapat dilihat dari perkembangan usaha jasa, non jasa kontribusi terhadap PDRB serta mobilitas sosial.

(1) Usaha jasa dan non jasa

Meliputi jenis dan jumlah usaha, bentuk interaksi usaha dengan masyarakat serta keterlibatan penduduk lokal.

(2) Kontribusi terhadap PDRB

Dengan adanya pelabuhan perikanan akan meningkatkan kontribusi sektor perikanan terhadap PDRB.

(17)

(3) Mobilitas sosial

Dalam sosiologi mobilitas sosial didefinisikan sebagai perpindahan status dalam strafikasi sosial. Adapun mobilitas tersebut dapat berupa suatu mobilitas vertikal dan mobilitas horizontal (Sunarto 1993).

5) Peluang investasi

Keberadaan Pelabuhan Perikanan akan membuka peluang investasi disektor perikanan yakni dibidang penangkapan, perdagangan ikan, industri pengolahan dll. Investasi di sektor perikanan akan menciptakan multiplier effect berupa;

(1) Membuka lapangan kerja (2) Memacu pertumbuhan ekonomi

2.8 Mobilitas Sosial

Dalam sosiologi mobilitas sosial didefinisikan sebagai perpindahan status dalam strafikasi sosial. Adapun mobilitas tersebut dapat berupa suatu mobilitas vertikal dan mobilitas horisontal (Sunarto 1993).

Tipe-tipe pada mobilitas sosial ada dua macam yaitu gerak sosial yang horisontal dan gerak sosial yang vertikal. Gerak sosial horizontal dimaksudkan sebagai suatu peraliahan individu dari suatu kelompok sosial ke kelompok sosial lainnya yang sederajat, sedangkan gerak sosial yang vertikal dimaksudkan sebagai perpindahan individu dari suatu kedudukan sosial ke kedudukan lainnya yang tidak sederajat dimana terdapat dua jenis gerak sosial vertikal, yaitu yang naik (social-climbing) dan yang turun (social-sinking) (Sunarto 1993).

2.9 Pola Adaptasi

Adaptasi adalah sebagai proses mengatasi halangan-halangan dari lingkungan, memanfaatkan sumber-sumber terbatas untuk kepentingan lingkungan dan system, penyesuaian dari kelompok-kelompok maupun pribadi terhadap lingkungan dan proses untuk menyesuaikan dengan situasi yang berubah (Soekanto 1986).

Menurut Merton diacu dalam Maryati dan Suryawati (2010) mengidentifikasikan lima tipe cara adaptasi individu terhadap situasi tertentu diantaranya adalah :

(18)

1) Cara adaptasi konformitas (conformity)

Pada cara adaptasi ini, prilaku sesorang mengikuti cara dan tujuan yang telah ditetapkan oleh masyarakat. Contoh, seseorang siswa ingin mendapatkan gelar sarjana (tujuan yang ditetapkan masyarakat). Tujuan itu ia capai dengan memasuki perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta (cara yang tersedia dalam masyarakat).

2) Cara adaptasi inovasi (innovation)

Pada cara adaptasi ini, perilaku seseorang mengikuti tujuan yang ditentukan oleh masyarakat. Akan tetapi ia memakai cara yang dilarang oleh masyarakat. Contoh, seseorang yang ingin mendapatkan nilai matematika bagus melakukan berbagai cara seperti mencontek saat ujian, nilai bagus merupakan tujuan yang ditentukan oleh masyarakat, sedangkan mencontek merupakan cara yang tidak dibenarkan oleh masyarakat.

3) Cara adaptasi ritualisme (ritualism)

Pada cara adaptasi ini, perilaku seseorang telah meninggalkan tujuan budaya, tetapi tetap berpegang pada cara yang telah ditetapkan masyarakat. Contoh, seorang karyawan dari kalangan menengah ke bawah tidak ingin naik jabatan. Ia tidak mau berharap sebab takut gagal. Tujuan budaya yang sudah ada dimasyarakat (mencapai kesuksesan) tidak dikejar oleh karyawan itu, tetapi cara mencapai tujuan budaya tetap ia lakukan, yaitu dengan bekerja (bekerja adalah salah satu cara yang ditetapkan masyarakat untuk mencapai kesuksesan).

4) Cara adaptasi retreatisme (retreatism)

Bentuk adaptasi ini, perilaku seseorang tidak mengikuti tujuan dan cara yang di kehendaki. Pola adaptasi ini menurut merton dapat dilihat pada orang yang mengalami gangguan jiwa, gelandangan, pemabuk dan pecandu obat bius. Orang-orang itu ada di dalam masyarakat, tetapi dianggap tidak menjadi bagian dari masyarakat.

5) Cara adaptasi pemberontakan (rebellion)

Pada bentuk adaptasi terakhir ini orang tidak lagi mengakui struktur sosial yang ada dan berupaya menciptakan struktur yang baru.

Referensi

Dokumen terkait

1. JAKARTA JAWA BARAT BANTEN JAWA TENGAH D.I. Wujud Produksi/Production : Gula Hablur/Sugar Cane.. Luas Areal dan Produksi Tebu Perkebunan Besar Negara Menurut Provinsi dan

Berdasarkan hasil penelitian terkait sarana, IGD RSUD Pangkep mempunyai sarana yang cukup memadai mengingat Rumah Sakit Pangkep merupakan rumah sakit kelas tipe

Dalam penyusunan company profile juga akan dilakukan perancangan corporate identity yang digunakan sebagai media pendukung, karena corporate identity berfungsi

Tujuan penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi gas bumi rumah tangga yang terdiri dari dua poin yaitu sifat inovasi gas

Berdasarkan Undang–Undang Republik Indonesia No. 31 tahun 2004 pelabuhan perikanan berfungsi sebagai sarana penunjang untuk meningkatkan produksi yang meliputi

Selanjutnya Lubis menjelaskan, pelabuhan perikanan di Indonesia diklasifikasikan secara administratif menjadi 4 tipe berdasarkan pada jenis perikanan yang beroperasi

1) Pengukuran harus dimulai pada permulaan program. Berbagai masalah yang berkaitan dengan kualitas serta peluang untuk memperbaikinya harus dirumuskan secara jelas.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa citra yang terbentuk melalui konstruksi media dalam pemberitaan di surat kabar selama periode Januari – Desember 2013 adalah