• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN AKTA OTENTIK SEBAGAI AKTA PENGAKUAN HUTANG (STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN No.: 384/Pdt.G/2010/PN.Jkt.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN AKTA OTENTIK SEBAGAI AKTA PENGAKUAN HUTANG (STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN No.: 384/Pdt.G/2010/PN.Jkt."

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN AKTA OTENTIK SEBAGAI AKTA PENGAKUAN HUTANG

(STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN No.: 384/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Sel)

Oleh Rina Puspitasari

Mahasiswi FHUI Program Ext. (0806370412)

Latar Belakang Permasalahan

Negara Indonesia sebagai negara hukum, maka dalam menjalankan segala kehidupan bernegara harus sesuai dengan aturan hukum yang berlaku demi terciptanya kepastian hukum dalam masyarakat. Untuk mendukung terciptanya kepastian hukum dalam masyarakat maka diperlukan adanya aparatur hukum yang mewujudkan penegakan hukum.

Hukum acara perdata juga disebut hukum acara perdata formil, yaitu kesemuanya kaidah hukum yang menentukan dan mengatur cara-cara bagaimana melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban perdata sebagaimana yang diatur dalam hukum perdata materiil.1

Menurut Pasal 178 ayat 2 dan 3 HIR, Hakim mempunyai kewajiban untuk mengadili seluruh gugatan dan dilarang menetapkan keputusan yang tidak diminta atau mengabulkan lebih daripada apa yang dituntut (ultra petitum partium). Putusan harus secara total dan menyeluruh memeriksa dan mengadili setiap segi gugatan yang diajukan, tidak boleh hanya memeriksa dan memutus sebahagian saja, dan mengabdikan gugatan selebihnya. Oleh karena itu Hakim harus menggunakan alat-alat yang diperlukan untuk membenarkan anggapannya mengenai peristiwa yang bersangkutan. Pasal 137 HIR dan Pasal 163 RBg menentukan bahwa pada umumnya kedua belah pihak yang saling berperkara

1

Retno Wulan Sutanto dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata, cet.10, (Bandung : CV. Mandar Madju, 2005), hlm 1.

(2)

dapat saling meminta satu dari yang lain supaya diserahkan kepada Hakim surat-surat yang berada di tangan masing-masing agar pihak lawan mengetahui isinya2. Dari kelima alat bukti yang disebutkan dalam Pasal 164 HIR yaitu surat atau bukti tertulis, saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah3. Maka alat bukti yang paling penting adalah alat bukti tertulis terutama alat bukti tertulis otentik yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu. Diantara akta otentik yang sering dimajukan kepada Hakim sebagai alat bukti dalam perkara perdata salah satunya adalah akta notaris4.

Sebagai akta otentik, akta notaris mempunyai kedudukan istimewa dibandingkan dengan akta dibawah tangan. Akta notaris sebagai akta otentik mempunyai dua macam kekuatan pembuktian yaitu kekuatan pembuktian formil dimana akta tersebut membuktikan bahwa para pihak telah menjelaskan apa yang tertulis di dalam akta tersebut, dan kekuatan pembuktian materiil yaitu akta tersebut membuktikan bahwa peristiwa yang tercantum dalam akta tersebut benar-benar terjadi dan kekuatan mengikat keluar kepada pihak ketiga5.

Berdasarkan Pasal 165 HIR dan 285 Rbg akta notaris sebagai akta otentik merupakan bukti yang sempurna bagi kedua belah pihak, ahli waris dan orang-orang yang mendapat hak daripadanya sehingga tidak diperlukan pembuktian lain. Undang-undang nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dalam Pasal 5 ayat (1) menyebutkan bahwa: “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang.”

Berdasarkan pengertian tersebut di atas apa yang dilakukan oleh hakim dalam rangka memperoleh kepastian dan kebenaran peristiwa itu sendiri menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, SH mempunyai beberapa pengertian, yaitu :6 1. Membuktikan dalam arti logis yaitu memberi kepastian yang bersifat mutlak,

karena berlaku bagi setiap orang hingga tidak memungkinkan adanya bukti lawan. 2Ibid., hlm 63. 3 Ibid, hlm 61. 4Ibid., hlm 65. 5Ibid., hlm 67. 6

Sudikno Mertokusumo, 2006. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty. hlm 3.

(3)

2. Membuktikan. dalam, arti, konvensional, di. sinipun membuktikann berarti juga memberikan kepastian, hanya saja kepastian yang nisbi atau relatif sifatnya.

3. Membuktikan dalam arti yuridis, pembuktian di sini hanya beklaku bagi pihak-pihak yang berperkara atau yang memperoleh hak dari mereka.

Dengan demikian pembuktian dalam arti yuridis tidak menuju kepada kebenaran mutlak, sebab ada kemungkinan jika pengakuan, kesaksian atau surat-surat itu tidak benar atau palsu atau dipalsukan maka dimungkinkan adanya bukti lawan7. Surat akta ini ada dua macam pula yaitu surat akta otentik dan surat akta dibawah tangan.

Hal ini mempunyai arti bahwa pada hakekatnya pengadilan dalam melaksanakan setiap kegiatan mengadili harus sesuai dengan hukum yang berlaku. Pengadilan juga memandang semua orang sama tanpa harus membedakan derajat, pangkat maupun kedudukan orang tersebut.

Undang-undang No. 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN) dalam Pasal 84 hanya menyebutkan bahwa suatu akta hanya mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah tangan atau menjadi batal demi hukum apabila akta tersebut melanggar ketentuan pasal-pasal yang terdapat di dalam pasal 84 UUJN tersebut, dalam hal ini tidak disebutkan bahwa suatu akta notaris dapat dibatalkan.

Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, juga tidak menjelaskan bahwa akta PPAT dapat dibatalkan. Berdasarkan hal tersebut dengan demikian Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, UUJN Nomor 30 Tahun 2004, tidak menyebutkan secara tegas mengenai adanya kewenangan Hakim untuk menentukan keabsahan suatu akta notaris, namun dalam kenyataannya Hakim sering membatalkan akta notaris. Hal tersebut dilakukan Hakim berdasarkan adanya pendapat bahwa suatu akta notaris sebagai bentuk dari suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik dan sesuai dengan kepantasan yang mengakibatkan Hakim boleh memperluas atau membatasi kewajiban para pihak dalam perjanjian.

7

(4)

Berdasarkan hal tersebut di atas maka penulis tertarik dan menuangkan dalam penelitihan skripsi dengan judul “Tinjauan Yuridis terhadap pembatalan Akta Otentik Sebagai Akta Pengakuan Hutang (Studi Kasus Putusan No.: 384/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Sel)”

II. Rumusan Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka peneliti merumuskan permasalahan dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan akta pengakuan hutang dianggap menjadi akta otentik? 2. Bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam menentukan pembuktian pembatalan akta pengakuan hutang sebagai akta otentik sesuai dengan syarat no. 1 tesebut diatas dalam pemeriksaan perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada perkara dalam putusan No. : 384/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Sel?

3. Apa akibat hukum dari batalan akta pengakuan hutang tersebut sebagai akta otentik?

III. Pembahasan

Pengertian perjanjian telah diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata, yaitu : “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”.8 R. Subekti, mengemukakan pendapatnya tentang pengertian perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal9.

Sedang menurut Abdul Kadir Muhammad merumuskan kembali definisi Pasal 1313 KUH Perdata sebagai berikut, bahwa yang disebut perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri

8

Lihat Pasal 1313 KUHPerdata

9

(5)

untuk melaksanakan sesuatu hal dalam lapangan harta kekayaan. Menurut Abdul Kadir Muhammad. Pengertian perjanjian terdapat beberapa unsur, yaitu :10

a. Adanya pihak-pihak sedikitnya dua orang; b. Adanya persetujuan para pihak;

c. Adanya tujuan yang akan dicapai; d. Adanya prestasi yang akan dicapai.

Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat, dan syarat itu diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu:

1. Kesepakatan Para Pihak

Pengertian sepakat diartikan sebagai pernyataan kehendak yang disetujui oleh para pihak. Suatu kesepakatan kehendak terhadap suatu perjanjian dimulai dari adanya unsur penawaran, (offer) oleh salah satu pihak dan diikuti dengan penerimaan penawaran (acceptance) dari pihak lainnya.11

2. Kecakapan Untuk Sesuatu

Pasal 1330 KUHPerdata memberikan batasan orang-orang mana saja yang dianggap tidak cakap untuk bertindak dalam hukum, dengan menyatakan bahwa tidak cakap untuk membuat perjanjian-perjanjian, adalah:12

a) Anak yang belum dewasa;

b) Orang yang ditaruh di bawah pengampunan;

c) Orang perempuan dalam hal-hal ditetapkan Undang-undang dan semua orang kepada siapa Undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

Sehubungan dengan yang disebut pada point c di atas tidak berlaku dengan keluarnya SEMA RI Nomor 3 Tahun 1963 yaitu bahwa seorang perempuan bersuami atau berada dalam suatu ikatan perkawinan telah dapat melakukan tindakan hukum dengan bebas serta sudah dibenarkan menghadap di pengadilan walaupun tanpa izin suaminya. Wanita yang bersuami untuk

10

Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1992), hlm. 31

11

Munir Fuady, Op. Cit, hlm. 35

12

(6)

mengadakan suatu perjanjian, memerlukan izin tertulis dari suaminya (Pasal 108 KUHPerdata). Namun, seiring dengan perkembangan zaman ketentuan ini tidak berlaku lagi dengan alasan sebagai berikut yaitu :13Perkembangan emansipasi wanita di zaman sekarang yang menempatkan posisi wanita sejajar dengan pria; dari semula yang dimaksudkan KUHPerdata tentang ketidakcakapan istri hanyalah dalam bidang hukum kekayaan saja, bukan dalam bidang-bidang lainnya; dalam Pasal 31 UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 disebutkan bahwa suami-istri mempunyai hak dan kedudukan seimbang, dan masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum.

3. Suatu Hal Tertentu

Sebagai syarat yang ketiga untuk sahnya perjanjian adalah perjanjian itu harus mengenai suatu hal yang tertentu. Artinya apa yang diperjanjikan sebagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban kedua belah pihak-hak jika timbul perselisihan. Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian, merupakan prestasi yang perlu dipenuhi dalam suatu perjanjian, dan merupakan objek perjanjian prestasi harus tertentu jenisnya, jumlahnya boleh tidak disebutkan asal dapat dihitung atau ditetapkan. Akibat tidak dipenuhinya syarat ini, perjanjian batal demi hukum.14 4. Suatu Sebab Yang Halal

Suatu sebab yang halal sebagai syarat keempat untuk sahnya perjanjian sering juga disebut dengan oorzaak (bahasa Belanda) dan causa (bahasa Latin) Sebab adalah suatu yang menyebabkan orang membuat perjanjian, yang mendorong orang membuat perjanjian. Tapi yang dimaksud dengan cause yang halal dalam Pasal 1320 KUHPerdata itu bukanlah sebab dalam arti yang menyebabkan atau yang mendorong orang membuat perjanjian, melainkan sebab dalam arti “isi perjanjian itu sendiri” yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh pihak-pihak.15

Menurut KUHPerdata syarat sahnya perjanjian terdiri dari empat syarat yaitu : dua syarat pertama berupa kesepakatan dan kecakapan yang disebut sebagai syarat subjektif karena mengenai pihak-pihak atau subjek yang terdapat

13

Munir Fuady, Op. Cit, hlm. 70.

14

Abdulkadir Muhammad, Opcit, hlm. 94.

15Ibid,

(7)

dalam perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir yaitu hal tertentu dan sebab yang halal disebut syarat objektif karena mengenai perjanjian itu sendiri atau objek hukum yang dilakukan.16 Perbedaan antara dua syarat subjektif dan syarat objektif terletak pada akibat hukum yang terjadi apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi. Apabila suatu syarat subjektif tidak terpenuhi, perjanjian tetap mengikat kedua belah pihak, tetapi salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta agar perjanjian dibatalkan. Perjanjian tidak memenuhi syarat subjektif, ialah perjanjian yang tanpa kesepakatan dan atau tanpa kecakapan. Sedangkan jika syarat objektif tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut batal demi hukum (van rechtswege nietig), artinya sejak semula tidak pernah dilahirkan suatu kontrak (perjanjian) dan tidak pernah ada suatu perikatan, sehingga dengan demikian tiada dasar bagi para pihak untuk saling menuntut dimuka hakim.

Suatu perjanjian biasanya dituangkan dalam akta otentik atau akta di bawah tangan. Disini yang akan kita bahas adalah mengenai mengenai akta otentik yang dalam Pasal 1868 KUHPerdata disebutkan : ”Suatu akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya.” Dengan demikian agar suatu akta memiliki stempel otentisitas haruslah dipenuhi persyaratan yang ditentukan dalam pasal ini, yaitu;

a. Akta itu harus dibuat oleh atau dihadapan seorang Pejabat Umum

b. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang c. Pejabat Umum oleh atau dihadapan siapa akta itu dibuat harus memiliki

wewenang untuk membuat akta tersebut.

Letak kekuatan pembuktian yang istimewa dari suatu akta otentik menurut Pasal 1870 KUHPerdata atau Pasal 165 RIB (Pasal 285 RDS) suatu akta otentik memberikan diantara para pihak beserta ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat didalamnya, Akta otentik itu merupakan suatu bukti yang mengikat, dalam arti bahwa sesuatu yang ditulis dalam akta harus dipercaya oleh hakim, yaitu harus

16

(8)

dianggap benar, selama ketidakbenarannya tidak dibuktikan dan ia sudah tidak memerlukan suatu bukti lain, dalam arti sudah tidak memerlukan suatu penambahan pembuktian, ia merupakan suatu alat bukti yang mengikat dan sempurna.

Dapat dijelaskan bahwa tiap-tiap akta notaris mempunyai tiga macam kekuatan pembuktian, yaitu meliputi :17

1. Kekuatan Pembuktian Lahiriah (Uitwendige Bewijsracht).

Bahwa suatu akta yang lahirnya tampak sebagai akta otentik serta memenuhi syarat – syarat yang telah ditentukan, maka akta itu berlaku atau dapat diangap sebagai akta otentik, sampai terbukti sebaliknya. Akta otentik membuktikan sendiri keabsahannya atau seperti yang lazim disebut dalam bahasa latin : ”acta publica probant sese ipsa”.

2. Kekuatan Pembuktian Formal (Formele Bewijskracht)

Dengan kekuatan pembuktian formal ini oleh akta otentik dibuktikan, bahwa pejabat yang bersangkutan telah menyatakan dalam tulisan itu, sebagaimana yang tercantum dalam akta tersebut dan selain dari itu, kebenaran dari apa yang diuraikan oleh pejabat dalam akta itu sebagai yang dilakukannya dan disaksikannya di dalam menjalankan jabatannya itu. Dalam arti formal, maka terjamin kebenaran/kepastian tanggal dari akta itu, kebenaran tanda tangan yang terdapat dalam akta itu, identitas dari orang-orang yang hadir (comparanten), demikian juga tempat di mana akta itu dibuat dan sepanjang mengenai akta partij, bahwa para pihak ada menerangkan seperti yang diuraikan dalam akta itu, sedang kebenaran dari keterangan-keterangan itu sendiri hanya pasti antara pihak-pihak sendiri (demikian menurut pendapat yang umum).

3. Kekuatan Pembuktian Material (Materiele Bewijskracht)

Sepanjang yang menyangkut kekuatan pembuktian material dari suatu akta otentik, terdapat perbedaan antara keterangan dari Notaris yang dicantumkan dalam akta itu dan keterangan dari para pihak yang tercantum di dalamnya. Tidak hanya kenyataan, bahwa adanya dinyatakan sesuatu yang dibuktikan

17

(9)

oleh akta itu, akan tetapi juga isi dari akta itu dianggap dibuktikan sebagai yang benar terhadap setiap orang, yang menyuruh adakan/buatkan akta itu sebagai tanda bukti terhadap dirinya atau yang dinamakan ”preuve preconstituee”; akta itu mempunyai kekuatan pembuktian material. Kekuatan pembuktian inilah yang dimaksud dalam Pasal 1870 KUHPerdata yang bunyinya :

”Suatu akta otentik memberikan di antara para pihak beserta ahli waris-ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang di muat di dalamnya.”

Pasal 1871 KUHPerdata yang bunyinya :

”Suatu akta otentik namunlah tidak memberikan bukti yang sempurna tentang apa yang termuat di dalamnya sebagai suatu penuturan belaka. Selain sekadar apa yang dituturkan itu ada hubungan langsung dengan pokok isi akta.”

Oleh karena suatu akta otentik merupakan suatu alat bukti yang sempurna atau mutlak. Ada beberapa alasan sehingga akta otentik merupakan satu-satunya alat bukti yang mempunyai nilai yang sangat tinggi dari alat bukti lainnya termasuk akta dibawah tangan yaitu :18

1. Akta otentik merupakan alat bukti tertulis sebagaimana yang dmaksud dalam

pasal 1868 KUHPerdata, 164 RIB dan 283 RDS;

2. Akta otentik sejak semula sengaja dibuat sebagai alat bukti;

3. Akta otentik dibuat oleh dan dihadapan pejabat Negara yang ditunjuki berdasarkan undang-undang;

4. Berdasarkan pasal 1870 KUHPerdata atau 165 RIB akta otentik memberikan

diantara pada pihak, ahli warisnya dan orang-orang yang mendapat hak dari mereka suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat didalamnya; 5. Akta otentik selain merupakan alat bukti sempurna, juga sebagai bukti yang

mengikat. Merupakan bukti yang sempurna dalam arti tidak memerlukan sesuatu penambahan pembuktian. Sedangkan mengikat dalam arti bahwa apa yang ditulis didalmnya harus dipercaya oleh hakim, yaitu harus diangap sebagai benar, selama ketidakbenarannya tidak dibuktikan.

18

(10)

Penjelasan mengenai akta otentik diatur dalam KUHPerdata, yaitu Pasal 1868 KUHPerdata bahwa ada 3 (tiga) unsur esenselia agar terpenuhinya syarat formal/syarat formil suatu akta otentik, yaitu : 19

a. Akta dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan) Seorang Pejabat Umum.

Pejabat umum tidak sama dengan pegawai negeri, meskipun pegawai negeri mempunyai tugas untuk melayani umum, akan tetapi mereka bukan pejabat umum seperti yang dimaksudkan dalam pasal 1868 KUHPerdata. Jadi, hanya pajabat umum dalam arti Pasal 1868 KUHPerdata yang berhak membuat akta otentik, yang bisa saja merupakan pegawai negeri, misalnya Pegawai Catatan sipil. Pasal 50 Peraturan Jabatan Notaris, notaris wajib menjunjung tinggi martabat jabatannya. Otentisitas dari akta notaris bukan karena penetapan undang-undang, akan tetapi karena dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum. Dalam hal ini, otentisitas akta notaris bersumber dari Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris, di mana notaris dijadikan sebagai pejabat umum sehingga akta yang dibuat oleh notaris dalam kedudukannya tersebut memperoleh sifat akta otentik, seperti yang dimaksud dalam Pasal 1868 KUHPerdata.

b. Akta otentik harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang. Dalam hal akta notaris, maka harus memenuhi ketentuan yang tercantum dalam UUJN. Ketentuan mengenai sifat dan bentuk akta notaris dapat ditemukan dalam Pasal 38 UUJN. Menurut UUJN, akta antara lain harus dibuat di hadapan atau oleh pejabat umum, dihadiri oleh saksi-saksi, disertai pembacaan oleh notaris dan sesudahnya langsung ditandatangani dan seterusnya. Penandatanganan adalah suatu fakta hukum yang menerangkan suatu penyataan kemauan dari pembuat tanda tangan (penanda tangan) bahwa ia dengan membubuhi tanda tangannya di bawah suatu tulisan menghendaki agar tulisan itu dalam hukum dianggap sebagai tulisannya sendiri.

Dalam Undang-undang Jabatan Notaris pada Pasal 38 dinyatakan bahwa akta yang dibuat dihadapan atau oleh Notaris bentuknya yaitu :

19

Irawan Soerodjo, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah Di Indonesia, (Surabaya : Arkola, 2003), hlm. 148

(11)

1) Setiap akta notaris terdiri atas: Awal akta atau kepala akta; Badan akta; dan Akhir atau penutup akta

2) Awal akta atau kepala akta memuat: Judul akta; Nomor akta; Jam, hari, tanggal, bulan dan tahun; dan Nama lengkap dan kedudukan notaris. 3) Badan akta memuat: Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir,

kewarganegaraan, pekerjaan jabatan, kedudukan, tempat tinggal para penghadap dan/atau orang yang mereka wakili; Keterangan mengenai kedudukan bertindak menghadap. Isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari pada para pihak yang berkepentingan; dan Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir serta pekerjaan, jabatan, kedudukan dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal.

4) Akhir atau penutup akta memuat: Uraian tentang pembacaan akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf I atau Pasal 16 ayat (7); Uraian tentang penandatangan dan tempat penandatangan atau penerjemahan akta bila ada; Nama lengkap, tempat kedudukan dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan dan tempat tinggal tiap-tiap saksi akta; dan Uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembuatan akta atau uraian tentang adanya perubahan yang dapat berupa penambahan, pencoretan atau penggantian.

c. Akta Otentik dibuat oleh pejabat yang berwenang

Syarat ketiga adalah bahwa pejabatnya harus berwenang untuk maksud itu di tempat akta tersebut dibuat. Berwenang ini khususnya menyangkut: Jabatannya dan jenis akta yang dibuatnya; hari dan tanggal pembuatan akta; tempat di mana akta dibuat. Sedangkan berwenang disini, artinya adalah:

1) Seorang notaris diangkat oleh Menteri Kehakiman (sekarang Menteri Hukum dan HAM) dengan Surat Keputusan. Seorang notaris yang meskipun sudah diangkat, tetapi belum disumpah cakap sebagai notaris, tetapi belum berwenang membuat akta otentik. Demikian juga dengan seorang notaris yang sedang cuti. Seorang notaris yang diskors sebagai notaris dinyatakan tidak cakap (onbekwaam). Sering dijelaskan dalam kuliah-kuliah “tidak cakap” mencakup seluruh kemampuan bertindak sebagai notaris, sedang notaris tidak “tidak berwenang” hanya dalam

(12)

beberapa hal atau keadaan, misalnya bilda berada di daerah yang tidak termasuk dalam wilayah kedudukannya. Bila seorang notaris berada di luar wilayah kedudukannya dan ternyata membuat sebuak akta, maka ia bersalah membuat pemalsuan material (materiele vervalsing).

2) Jenis akta yang dibuat oleh seorang notaris. Seorang notaris boleh membuat semua akta dalam bidang notariat, tetapi dia tidak boleh membuat berita acara pelanggaran lalu lintas atau keterangan kelakuan baik, yang semuanya wewenang kepolisian, ia juga tidak boleh membuat akta perkawinan, akta kematian, akta kelahiran (bukan akta kenal akte van bekenheid) yang semuanya adalah wewenang pegawai catatan sipil. 3) Seorang notaris harus berwenang pada tanggal akta dibuat. Notaris yang

sudah diangkat, tetapi belum disumpah dan seorang notaris yang sedang bercuti, tidak berwenang membuat akta otentik sampai penyumpahannya dilaksanakan, cutinya berakhir atau cuti dihentikan atas permintaan sendiri.

4) Notaris telah disebutkan diangkat oleh Menteri. Pengangkatan mana dilakukan untuk suatu wilayah (propinsi – gewest). Pada jaman penjajahan Belanda, tidak ada pembagian wilayah propinsi untuk daerah di luar Jawa (sehingga namanya disebut residentie). Selain batas wilayah ini, berlaku pula ketentuan kode etik bagi kalangan notaris sehingga terdapat pembatasan wilayah kerja notaris. Notaris dalam menjalankan jabatannya harus memiliki beberapa kewenangan sehingga akta yang dibuatnya berlaku sebagai sebuah akta otentik.

Syarat berikutnyaa adalah mengenai syarat materill, suatu akte otentik dalam pembuatannya terikat pada Pasal 1320 KUHPerdata yaitu : Adanya kesepakatan kedua belah pihak; kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum; adanya obyek yang diperjanjikan, dan adanya kausa yang halal.

Mengenai Kebatalan dan Pembatalan Perikatan-perikatan diatur dalam Buku III, bagian kedelapan, Bab IV (pasal 1446 – Pasal 1456 KUHPerdata). Istilah Pembatalan dan Kebatalan adalah dua hal yang berbeda, tapi dipergunakan

(13)

dengan alasan yang sama. Penerapan kedua istilah tersebut perlu dikaitkan dengan istilah ‘batal demi hukum’ (nietig), merupakan istilah yang biasa dipergunakan untuk menilai suatu perjanjian jika tidak memenuhi syarat objektif, yaitu suatu hal tertentu dan sebab yang tidak dilarang, sedangkan istilah ‘dapat dibatalkan’ jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat subyektif, yaitu sepakat dan kecakapan untuk membuat suatu perikatan.20

Akta Notaris batal demi hukum atau mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan terjadi karena tidak dipenuhinya syarat-syarat yang sudah ditentukan menurut hukum tanpa perlu adanya tindakan hukum tertentu dari yang bersangkutan yang berkepentingan, sehingga bersifat pasif.21

Istilah Pembatalan bersifat bersifat aktif, meskipun syarat-syarat perjanjian telah dipenuhi, tapi para pihak yang terlibat dalam perjanjian tersebut berkehendak agar perjanjian yang dibuat tersebut tidak mengikat dirinya lagi dengan alasan tertentu, baik atas dasar dasar kesepakatan atau dengan jalan mengajukan gugatan ke Pengadilan umum, misalnya para pihak telah sepakat untuk membatalkan akta yang pernah dibuatnya atau ada aspek formal akta yang tidak dipenuhi yang tidak diketahui sebelumnya dan ingin dibatalkan.22 Berdasarkan uraian tersebut, Kebatalan akta Notaris meliputi :

1. Dapat dibatalkan

Isi akta merupakan perwujudan dari Pasal 1338 KUH Perdata mengenai kebebasan berkontrak, dan memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada para pihak.23 Jika dalam awal akta, terutama syarat-syarat para pihak yang menghadap Notaris tidak memenuhi syarat subyektif, maka atas permintaan orang tertentu akta tersebut dapat dibatalkan.

2. Batal demi hukum

20

Habib Adjie, Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris, (Bandung : Refika Aditama, 2011), hlm.64-65 21 Ibid., hlm. 67. 22 Ibid. 23 Ibid., hlm. 68.

(14)

Seperti halnya perjanjian, suatu akta notaris dapat menjadi batal demi hukum apabila tidak terpenuhinya unsur obyektif suatu perjanjian, yaitu objek tertentu dan sebab yang halal. Mengenai perjanjian harus mempunyai objek tertentu di tegaskan dalam pasal 1333 KUHPerdata, yaitu suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya yang di kemudian hari jumlah (barang) tersebut dapat ditentukan atau dihitung. Dengan demikian suatu perjanjian batal demi hukum, jika :

a. Tidak mempunyai objek tertentu yang dapat ditentukan.

b. Mempunyai sebab yang dilarang oleh undang-undang atau berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum.

3. Mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan.

Pasal 1869 KUH Perdata menentukan batasan akta notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan dapat terjadi apabila memenuhi ketetentuan karena :24

a. tidak berwenangnya pejabat umum yang bersangkutan, atau b. tidak mampunya pejabat umum yang bersangkutan, atau

c. cacat dalam bentuknya, meskipun demikian akta seperti itu tetap mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan jika akta tersebut ditanda tangani oleh kedua belah pihak.

Sedangkan Pembatalan Akta Notaris meliputi : 1. Dibatalkan oleh para pihak sendiri

Akta notaris merupakan keinginan para pihak yang datang menghadap notaris, tanpa adanya keinginan tersebut, akta notaris tidak akan pernah dibuat. Isi akta yang bersangkutan merupakan kehendak para pihak bukan kehendak notaries. Jika akta notaris yang berangkutan dirasakan oleh para pihak tidak mencapai tujuan yang diinginkannya atau harus diubah sesuai keadaaan, maka para pihak secara bersama-sama dan sepakat datang ke hadapan notaris untuk membatalkan isi akta yang bersangkutan. Jika para pihak tidak sepakat akta yang bersangkutan untuk dibatalkan atau mereka bersengketa, salah satu pihak dapat menggugat pihak lainnya ke pengadilan

24

(15)

umum untuk membatalkan isi akta yang bersangkutan agar tidak mengikat lagi. Bahwa yang dibatalkan oleh para pihak, baik karena sepakat ataupun melalui putusan pengadilan adalah isi akta, karena isi akta merupakan kehendak para pihak, aspek formal akta notaris merupakan tanggung jawab notaris, yang juga dapat dibatalkan oleh para pihak jika dapat dibuktikan melalui putusan pengadilan.25

2. Dibuktikan dengan asas praduga sah

Notaris sebagai Pejabat Publik yang mempunyai kewenangan tertentu sebagaimana tersebut dalam pasal 15 UUJN, yang dalam kewenangannya , maka akta Notaris mengikat atau siapa saja yang berkepentingan dengan akta tersebut. Jika dalam pembuatan akta Notaris semua ketentuan telah dipenuhi, seperti :

a. Notaris berwenang untuk membuat akta sesuai dengan keinginan para pihak;

b. Secara lahiriah, formal dan materiil telah sesuai dengan aturan hukum tentang pembuatan akta Notaris, maka akta notaris tersbut harus dianggap sah.

Asas praduga sah ini berlaku, dengan ketentuan jika atas akta Notaris tersebut tidak pernah diajukan pembatalan oleh pihak yang berkepentingan kepada pengadilan umum negeri dan telah ada putusan pengadilan umum yng telah mempunyai kekuatan hukum tetap atau akta notaris tidak mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau tidak batal demi hukum atau tidak dibatalkan oleh para pihak sendiri. Dengan demikian penerapan Asas Praduga Sah untuk akta notaris dilakukan secara terbatas, jika ketentuan sebagaimana tersebut di atas telah dipenuhi.26

ANALISA 25 Ibid., hlm. 85. 26 Ibid., hlm. 87

(16)

Perkara Perdata No.384/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Sel., adalah mengenai gugatan pembatalan akta pengakuan hutang, dimana para pihak adalah antara lain: Penggugat adalah bernama Nugraha Nurtjahja Tirtanata melawan Tergugat I yaitu PT. Bank Asta, yaitu bank dimana ayah Penggugat merupakan salah satu pemegang sahamnya. Tergugat II adalah /PT. Ramako Baru, yang merupakan pemilik saham terbaru dari Tergugat I setelah ditunjuk oleh Bank Indonesia (BI). Tergugat III adalah H. Bambang Nuryatno Rachmadi selaku pemegang saham dari Tergugat II dan Tergugat I. Turut Tergugat I adalah adalah H. Abu Jusuf, SH., selaku notaris yang membuatkan akta pengakuan hutang no. 2 tertanggal 1 April 1996, yaitu dimana Penggugat mengakui dengan secara sadar dan tanpa paksaan atas hutang-hutang Penggugat terhadap Tergugat I. sedangkan Turut Tergugat II adalah Ny. Endang Sugiharti Antariksa, SH., selaku notaris yang membuatkan akta perjanjian no. 2 tertanggal 7 Mei 1997, yaitu perjanjian antara Penggugat kepada Tergugat I, II, dan III untuk melunasi pembayaran atas hutang-hutang yang dituangkan dalam akta pengakuan hutang-hutang no. 2 tertanggal 1 April 1996 tersebut. Tetapi perlu diketahui bahwa penggugat adalah anak dari Darma Sentosa selaku salah sattu pemegang saham Tergugat I.

Sebelum manajemen dan saham Tergugat I dipegang oleh Tergugat II dan III banyak terjadi transaksi perbankan yang tidak jelas sehingga mengakibatkaan kerugian pada Tergugat I. Berdasarkan hasil pemeriksaan Bank Indonesia, Tergugat I dinyatakan dalam keadaan tidak sehat (rugi) dan agar Tergugat I tetap berdiri (tidak dilikuidasi) maka Bank Indonesia menyarankan agar Tergugat I mencari pihak yang bertanggungjawab. Selanjutnya atas dasar arahan tersebut maka Tergugat I menunjuk Penggugat sebagai pihak yang bertanggungjawab karena Penggugat berhutang kepada Tergugat I sebesar Rp. 67 M yang mengatasnamakan tiga perusahaan miliknya yaitu PT. Wahyu Tatawasana, PT. Anugrah Indrapuramas, PT. Tirtanata dalam bentuk transaksi obligasi, sertifikat deposito, promissory notes, commercial papper, penempatan pada perusahaan multi finance serta pemberian kredit pada Penggugat.

Atas dasar tersebut selanjutnya Tergugat I meminta Kepada Penggugat untuk membuat akte pengakuan hutang di hadapan notaris yang menyatakan bahwa Penggugat berhutang kepada Tergugat I sebesar Rp 67M Permintaan

(17)

tersebut dipenuhi oleh Penggugat yang dibuat dalam akta no. 2 tanggal 1 April 1996 dibuat di hadapan Notaris H. Abu Jusuf, SH. (Turut Tergugat I).

Agar Tegugat I menjadi sehat kembali, lalu BI menunjuk Bank IFI selaku bank yang sehat yang sahamnya dimiliki oleh PT. Ramako Baru (Tergugat II) dan Bambang N. Rachmadi (Tergugat III) untuk mengakusisi Tergugat I agar menjadi sehat kembali. Setelah Tergugat II dan III masuk dalam manajemen dan pemegang saham mayoritas, untuk menindaklanjuti akte pengakuan hutang tersebut maka Tergugat II dan III meminta kepada Penggugat untuk membuat akta perjanjian pelunasan no. 2 tertanggal 7 Mei 1997 yang dibuat dihadapan Notaris Endang Antariksa, SH. (Turut Tergugat II). Akta yang kedua ini merupakan kelanjutan atas Akta Pengakuan Hutang No. 2 tanggal 1 April 1996.

Bahwa setelah sekian lama kurang lebih 12 tahun lamanya, karena Bank IFI mengalami kondisi menuju tidak sehat, meminta dan menagih piutangnya terhadap Penggugat, tetapi Penggugat tidak mengacuhkan dan malah mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum untuk membatalkan kedua akte otentik tersebut dengan alasan adanya perbuatan melawan hukum berupa penyalahgunaan keadaan dalam pembuatan akte tersebut yang dilakukan oleh Tergugat I, II dan III27.

Dalam gugatannya, Penggugat tidak menjelaskan secara jelas dan nyata unsur penyalahgunaan apa yang dilakukan oleh Tergugat I, II dan III kepada Penggugat hingga mengakibatkan Penggugat membuat pengakuan hutang dan akta perjanjian, dilain pihak Tergugat I, II dan III ternyata tidak dapat membuktikan mengenai bukti-bukti transaksi antara Penggugat dan Tergugat I sebagaimana disebutkan dalam akta pengakuan hutang. Berdasarkan hasil persidangan, majelis hakim pengadilan negeri Jakarta Selatan telah menjatuhkan putusan yang mengabulkan gugatan penggugat dan menyatakan bahwa Tergugat I, II dan III telah melakukan perbuatan melawan hukum sehingga akte otentik tersebut cacat hukum dan tidak mempunyai kekuatan hukum (buiten effect stellen). Dalam putusan tersebut majelis hakim tidak menjelaskan unsur perbuatan hukum apa yang dilakukan oleh Tergugat I, II dan III akan tetapi majelis hakim

27

Data diperoleh dari hasil wawancara penbulis dengan Kuasa Hukum Tergugat II dan Tergugat III, Bapak Hamzah Fansyuri, SH., pada hari Selasa, 8 Januari 2013.

(18)

hanya menyatakan Tergugat I, II dan III tidak dapat membuktikan kebenaran adanya transaksi hutang piutang antara Penggugat dengan Tergugat I sebagaimana yang disebutkan dalam akte pengakuan hutang tersebut sehingga kedua akte tersebut dianggap cacat hukum dan karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum.

Seperti sudah dijelaskan sebelumnya bahwa untuk menentukan suatu akta apakah merupakan otentik atau tidak maka dapat dilihat dari dua syarat yaitu syarat formil dan materiil. Menurut KUH Perdata, yaitu Pasal 1868 KUH Perdata yang ada 3 (tiga) unsur esenselia agar terpenuhinya syarat formal suatu akta otentik, yaitu :

a. akta itu harus dibuat oleh atau dihadapan seorang Pejabat Umum

Berdasarkan hal tersebut jika dikaitkan dengan akta pengakuan hutang no 2 tertanggal 1 April 1996 dan akta perjanjian no. 2 tertanggal 7 Mei 1997 yang dibuat dan ditandatangani secara sukarela oleh Penggugat di hadapan seorang notaries. Hal ini dapat dibuktikan bahwa kedua akta tersebut dibuat dihadapan seorang pejabat umum yaitu seorang notaris yang menurut undang-undang jabatan notaris disebut sebagai pejabat umum sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 UUJN. Dengan demikian maka syarat formil pertama berupa harus dibuat oleh pejabat umum dalam kedua akta tersebut telah terpenuhi. b. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang

Syarat formil kedua adalah suatu akta dikatakan otentik harus dibuat dalam bentuk yang telah ditentukan oleh undang-undang. Jika melihat kedua akta yang menjadi objek sengketa, dapat diketahui bahwa kepala akta, badan akta dan akhir atau penutup akta pada kedua akta yang menjadi objek pembatalan isi dan bentuknya telah memenuhi ketentuann sebagaimana diatur dalam Pasal 38 UUJN. Selain sudah diangkat oleh Menteri Hukum dan Ham/disumpah, tidak dalam masa cuti dan diskorsing, mengenai territorial juga menjadi dasar berwenang atau tidaknya notaris untuk membuat akta karena seorang notaries tidak dapat membuat akta diluar kewenangan teritorialnya. Para pihak yang membuat akta pengakuan hutang dan perjanjian berkedudukan di Jakarta dan notaris yang membuat kedua akta tersebut juga mempunyai kewenangan praktek diwilayah Jakarta sesuai kewenangannya

(19)

yang diberikan oleh Menteri Hukum dan Ham. Dengan demikian maka tidak ada pelanggaran terhadap kewenangan territorial.

c. Pejabat umum oleh atau dihadapan siapa akta itu dibuat harus memiliki kuasa atau wewenang untuk membuat akta tersebut.

Syarat formil selanjutnya dalam ketentuan undang-undang yaitu bahwa akta dikatakan otentik jika dibuat oleh pejabat yang berwenang. Kedua akta yang menjadi objek sengketa adalah akta yang dibuat dihadapan seorang notaris yang berkedudukan di Jakarta. Bahwa notaris yang membuat kedua akta yang menjadi objek pembatalan telah telah diangkat dan disumpah atau mendapatkan SK dari Menteri Hukum dan Ham, notaris tersebut juga pada saat pembuatan kedua akta tersebut tidak dalam masa cuti dan diskorsing sehingga tetap mempunyai kewenangan membuat akta tersebut.

Berdasarkan uraian tersebut maka dapat diketahui bahwa kedua akta yaitu akta pengakuan hutang dan akta perjanjian tersebut secara formil telah memenuhi ketentuan yang diatur oleh undang-undang sehingga disebut sebagai akta otentik.

Mengenai syarat materill ini, suatu akta otentik dalam pembuatannya terikat pada Pasal 1320 KUH Perdata yaitu :

1. Adanya kesepakatan kedua belah pihak.

Melihat akta pengakuan hutang dan akta perjanjian yang dibuat oleh Penggugat dan Tergugat merupakan akta yang dibuat dan ditandatangani di hadapan notaris secara sukarela dan sesuai dengan ketentuan atau tata cara pembuatan akta yang diatur dalam undang-undang yang berlaku, serta pembuatan/penandatangan akta tersebut bukan karena paksaan Tergugat maka unsur kesepakatan telah terpenuhi. Akan tetapi pada kenyataannya Penggugat mengajukan gugatan pembatalan kedua akta tersebut dengan dalil adanya paksaan dari Tergugat.

2. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum.

Dalam akta pengakuan hutang dan akta perjanjian yang menjadi objek pembatalan dapat dilihat bahwa para pihak yang membuat akta tersebut mempunyai akal sehat dan telah dewasa secara hukum sehingga dengan demikian maka unsur kecakapan telah terpenuhi

(20)

3. Adanya Obyek

Dengan demikian maka jika melihat kedua akta yang menjadi objek pembatalan dapat diketahui bahwa kedua akta tersebut telah memuat objek yang jelas dimana akta pengakuan hutang objeknya adalah mengenai hutang sebesar Rp. 67M dan dalam akta perjanjian objeknya adalah berupa waktu pembayaran hutang sebesar Rp. 67M. Dengan demikian maka kedua akta tersebut telah memenuhi unsur ketiga syarat sahnya perjanjian.

4. Adanya kausa yang halal.

Dalam pembuatan kedua akta yng menjadi objek pembatalan ternyata tidak terdapat hal-hal yang melanggar undang-undang maupun kesusilaan dan ketertiban umum.

Berdasarkan uraian mengenai syarat-syarat materiil maka dapat diambil kesimpulan bahwa kedua akta tersebut telah memenuhi syarat materiil yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata sehingga dapat disebut sebagai akta otentik.

Dalam pembahasan di atas telah diuraikan bahwa kedua akta yang menjadi objek sengketa telah memenuhi syarat sebagai akta otentik. meskipun telah menjadi akta otentik, akan tetapi bukan berarti bahwa akta tersebut tidak dapat diajukan pembatalan oleh pihak yang merasa dirugikan oleh adanya akta otentik tersebut. Hal ini terjadi dalam perkara No. 384/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Sel. dimana kedua akta tersebut dibatalkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan karena ada unsur perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta otentik tersebut sehingga akta otentik tersebut dinyatakan cacat hukum.

Penggugat mengajukan gugatan terhadap Tergugat untuk membatalkan kedua akta otentik dengan dalil bahwa Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum berupa penyalahgunaan keadaan (paksaan/tekanan) kepada Penggugat agar Penggugat bersedia membuat kedua akta otentik yaitu Akta Pengakuan hutang No. 2 tanggal 1 April 1996 dan Akta Perjanjian No. 2 tanggal 7 Mei 1997. Bahwa dalil yang digunakan untuk membatalkan kedua akta otentik tersebut adalah dalil perbuatan melawan hukum.

Dalam Pasal 1365 KUHPerdata, yang berbunyi tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang

(21)

karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Unsur-unsur yang terkandung di dalam Pasal 1365 KUH Perdata mengenai Perbuatan Melawan Hukum (onrechtmatige daad), mengandung 4 (empat) unsur yaitu :

a) Harus adanya perbuatan

Mengenai unsur perbuatan ini diartikan luas, meliputi juga tidak berbuat kalau orang itu seharusnya wajib berbuat, jadi tidak saja perbuatan negatifnya di sini adalah bersifat aktif tidak pasif, artinya orang yang diam saja dengan sadar bahwa ia dengan berdiam saja adalah melanggar hukum, dapat dikatakan bahwa ia melakukan perbuatan melanggar hukum.

b) Perbuatan itu melanggar hukum

Definisi dari perbuatan melawan hukum sangatlah luas dan mengalami riwayat yang panjang penafsirannya, diartikan sangatlah luas sehingga meliputi segala sesuatu yang bertentangan dengan kepatuhan dan kesusilaan. c) Harus ada kerugian bagi orang lain

Bahwa perbuatan yang melanggar hukum itu harus menimbulkan kerugian bagi orang lain, sehingga harus ada causa atau sebab akibat antara perbuatan yang timbul. Adanya kerugian (schade) bagi korban juga merupakan syarat agar gugatan berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata dapat dipergunakan. Berbeda dengan kerugian karena wanprestasi yang hanya mengenal kerugian materiil, maka kerugian karena perbuatan melawan hukum di samping kerugian materiil, yurisprudensi juga mengakui konsep kerugian immaterial yang juga akan dinilai dengan uang.

d) Adanya kesalahan dari si pembuat.

Ialah bila perbuatan melanggar hukum sebagai sebab yang menimbulkan akibat kerugian itu sudah ada, barulah kita menginjak pada hal pertanggung jawab si pembuat, karena tidak ada perbuatan melanggar hukum tanpa adanya perbuatannya ini berhubungan dengan subjek itu, sampai pada unsur kesalahan dari pihak pembuat perbuatan melanggar hukum.28

Menurut pandangan penulis, memang pada dasarnya hakim mempunyai kewenangan untuk memutuskan batal atau tidaknya suatu akta otentik

28

(22)

berdasarkan keyakinannya. Akan tetapi meskipun demikian seharusnya hakim dalam menjatuhkan putusan harus bersikap independen dan objektif, dalam gugatannya seperti yang sudah disampaikan di atas bahwa Penggugat tidak dapat membuktikan penyalahgunaan keadaan apa yang dilakukan oleh Tergugat, dengan demikian maka unsur perbuatan melawan hukum tidak terpenuhi karena pada faktanya bahwa pembuatan akta tersebut didasarkan kepada persetujuan Penggugat untuk membuat akta tersebut dan tidak ada undang-undang yang dilanggar sebagaimana syarat formil dan materil suatu perjanjian/pernyataan yang dituangkan dalam akta otentik.

Dasar pertimbangan hakim menyatakan akta tersebut cacat hukum karena Tergugat tidak dapat membuktikan dokumen transaksi hutang-piutang yang mendasari akta pengakuan hutang tersebut tidak dapat dipandang sebagai unsur perbuatan melawan hukum. Seandainyapun jika memang benar-benar telah terjadi unsur paksaan dalam proses pembuatan akta tersebut, Perlu diketahui bahwa terdapat pengecualian, yaitu bahwa paksaan tidak dapat lagi menjadi alasan pembatalan jika pihak yang dipaksa membenarkan baik secara tegas maupun diam-diam atau jika telah dibiarkan lewat waktu (daluwarsa) sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1327 KUHPerdata, maka seharusnya jika memang Penggugat merasa dipaksa oleh Tergugat seharusnya telah melakukan gugatan pembatalan sejak ditandatanganinya akta tersebut, akan tetapi kenapa Penggugat diam dan baru mengajukan pembatalan setelah berjalan waktu 14 tahun lamanya. Hal ini menurut penulis bahwa sikap diam Penggugat tersebut dapat dipandang sebagai persetujuan/pembenaran isi akta tersebut dan bisa saj ditafsirkan telah lewat waktu sehingga paksaan tidak dapat menjadi dasar pembatalan.

Bila dilihat dari bukti yang diajukan oleh Penggugat, pada saat Penggugat ditahan, itu adalah terjadi setelah Akta Perjanjian no. 2 tertanggal 7 Mei 1997. Hal ini berarti Penggugat sedang dalam masa proses pemidanaan pada saat penandatanganan Akta Perjanjian No. 2 tertanggal 7 Mei 1997, tapi bukan berarti Penggugat berada dalam paksaan, karena Akta Perjanjian No. 2 tertanggal 7 Mei 1997 tersebut merupakan kelanjutan dari akta Pengakuan Hutang No.2 tertanggal 1 April 1996 dimana Akta Perjanjian tersebut hanya menguatkan akta pengakuan

(23)

hutang sebelumnya dan memuat klausa untuk melunasi hutang-hutang yang sudah ada pada akta Pengakuan Hutang No.2 tertanggal 1 April 1996 sebelumnya,

Menurut pendapat Bapak Dr. Yoni Agus Setyono S.H., M.H., bahwa proses pidana berupa perintah penagkapan dan penahanan polisi terhadap Penguggat pada bulan Juli 1997, tidak serta-merta mengakibatkan bahwa Akta Pengakuan Hutang No. 2 tertanggal 1 April 1996 dapat dibatalkan, karena akta tersebut dibuat sebelum proses pidana tersebut terjadi. Sehingga unsur penyalahgunaan keadaan tidak terpenuhi dalam proses pembuatan Akta Pengakuan Hutang No. 2 tertanggal 1 April 1996. Adapun bila Penggugat ingin membatalkan akta otentik maka yang dapat dibatalkan hanya Akta Perjanjian No. 2 tertanggal 7 Mei 1997, akan tetapi Akta Perjanjian No. 2 tertanggal 7 Mei 1997 merupakan penguatan Akta Pengakuan Hutang No. 2 tertanggal 1 April 1996, sehingga tidak kemudian menghilangkan kewaiban Penggugat untuk membayarkan hutang-hutangnya terhadap para tergugat.29

Menurut Bapak Dr. Yoni Agus Setyono S.H., M.H, dari segi pembuktian, hakim tidak dapat mengatakan bahwa beban pembuktian dalam putusan perkara No. 384/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Sel adalah keliru, yang dalam pertimbangan hakimnya bahwa beban pembuktian dibebankan lebih terhadap Para Tergugat, padahal seharusnya Penggugatlah yang harus dapat membuktikan unsur paksaan yang didalilkan olehnya. Maka dari itu hakim harus menganggap bahwa akta notaris mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, dan hakim juga wajib menerima bahwa kedua akta notaris tersebut sebagai alat bukti yang sempurna kecuali Penggugat dalam perkara ini dapat membuktikan bahwa memang ada unsur paksaan dalam pembuatan kedua akta tersebut.30

Dalam hal ini, seperti sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa Akta Pengakuan Hutang tersebut bukanlah merupakan kategori Perbuatan Melawan Hukum. Maka dari itu Majelis Hakim tidak dapat mengatakan bahwa akta

29

Hasil wawancara dengan Bapak Dr. Yoni Agus Setyono S.H., M.H, selaku akademisi dan ahli hukum dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, yang dilakukan pada tanggal 14 Januari 2013.

30

Hasil wawancara dengan Bapak Dr. Yoni Agus Setyono S.H., M.H, selaku akademisi dan ahli hukum dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, yang dilakukan pada tanggal 14 Januari 2013.

(24)

pengakuan hutang tersebut merupakan perbuatan melawan hukum, karena Penggugat telah melewati batas tenggang waktu untuk melakukan pembayaran seperti yang telah dituangkan dalam Akta Perjanjian No 2. Tertanggal 7 Mei 1997 tersebut, dimana Penggugat bersedia melunasi hutang-hutangnya yang telah diakuinya dalam Akta Pengakuan Hutang No. 2 tertanggal 1 April 1996 sebeluumnya. Dalam hal ini maka bisa dikategorikan bahwa Penggugat telah melakukan wanprestasi karena ada hak Para Tergugat (Tergugat I, II dan III) yang harus dibayarkan oleh Penggugat.

Dalam hal ini, akibat dari dibatalkannya kedua akta otentik tersebut, maka Tergugat I, II dan III akan mengalami kerugian yang sangat besar, dan apabila dana tersebut adalah merupakan dana pihak ketiga (nasabah/kreditornya) maka berarti para tergugat tersebut juga ikut menanggung kerugian pihak ketiga tersebut dan wajib menggantinya kepada pihak ketiga.

Kesimpulan

1. Bahwa suatu akta dikatakan otentik jika memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditentukan dalam undang-undang yaitu :

a. Syarat formil : akta itu harus dibuat oleh atau dihadapan seorang Pejabat Umum; akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang; pejabat umum oleh atau dihadapan siapa akta itu dibuat harus memiliki wewenang untuk membuat akta tersebut;

b. Syarat materiil : memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata yaitu adanya kesepakatan para pihak, kecakapanpara pihak, suatu hal tertentu (jelas objeknya) dan sebab yang halal.

2. Bahwa akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian :

a. Kekuatan pembuktian lahir : keterangan dalam akta otentik tersebut adalah benar dan berlaku bagi terhadap setiap orang sepanjang tidak terbukti sebaliknya.

b. Kekuatan pembuktian formal : tanggal dan tempat akta dibuat serta keaslian tanda tangan dalam akta adalah benar dan berlaku kepada setiap orang sepanjang tidak terbukti sebaliknya.

(25)

c. Kekuatan pembuktian material : isi dari akta tersebut adalah benar dan berlaku bagi setiap orang.

Dengan demikian berdasarkan hal tersebut maka akta otentik merupakan alat bukti yang sempurna dan mengikat yang artinya bahwa bukti yang sempurna dalam arti tidak harus didukung bukti lainnya, sedangkan mengikat dalam arti bahwa apa yang ditulis didalamnya harus dipercaya oleh hakim, yaitu harus diangap benar kecuali dapat dibuktikan lain. Hakim wajib menganggap dan menerima akta otentik (akta notaris) sebagai alat bukti yang sempurna sepanjang pihak yang medalilkan bahwa akta tersebut cacat hukum dapat membuktikan sebaliknya.

Penyalah gunaan keadaan dalam hal ini adanya unsur paksaan/tekanan pada salah satu pihak dalam membuat akta otentik dapat menyebabkan akta tersebut menjadi cacat hukum sehingga dapat diajukan pembatalan dipengadilan terhadap akta tersebut.

3. Bahwa akibat pembatalan akta otentik oleh hakim karena adanya unsur penyalah gunaan keadaan memberikan akibat hukum bahwa akta otentik tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum (buiten effect stellen) dan mengikat para pihak sehingga dianggap tidak terjadi seperti yang disebutkan dalam akta tersebut.

Saran

1. Bahwa bagi pihak yang merasa dirugikan karena adanya unsur paksaan/ tekanan dalam pembuatan akta otentik jika ingin mengajukan pembatalan terhadap akta tersebut hendaknya diajukan secepat mungkin setelah dibuatnya akta tersebut dan tidak menjalankan isi akta tersebut guna menghindari ketentuan yang diatur dalam Pasal 1324 KUHPerdata;

2. Bahwa hakim yang memeriksa perkara pembatalan akta otentik hendaknya dapat bertindak secara objektif dan independen dalam menjatuhkan putusan terhadap perkara tersebut.

Referensi

Dokumen terkait

Pailit adalah suatu sitaan umum atas seluruh harta debitor agar dicapainya perdamaian antara debitor dan para kreditornya atau agar harta tersebut dapat dibagi–bagi

Pertimbangan Hukum dalam Menjatuhkan Putusan Atas Penyelesaian Sengketa Tanah Waris yang Telah Terjadi Peralihan Hak Atas Dasar Jual Beli ... 80

Permasalahan kali ini adalah pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan yang dapat dijalankan lebih dahulu pelaksanaan putusan yang dapat dijalankan lebih dahulu

Salah satu kasus perbarengan ( concursus ) yang dapat diuji objektivitas hakim dalam menjatuhkan putusan yaitu kasus perbarengan perbuatan ( concursus realis ), di

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, Kebebasan Hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap Putusan Nomor: 935/Pid.Sus/2013/PN.Dps di Pengadilan Negeri Denpasar,

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap wartawan pelaku tindak pidana pencemaran nama baikdalam

Permasalahan yang dirumuskan dalam penulisan skripsi ini adalah bagaimanakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan bebas (vrijspraak) terhadap terdakwa

Bagaimana pengaturan tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh anak, bagaimana penerapan sanksi, dan hal apa yang menjadi bahan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan