BAB IV
ANALISIS DAN HASIL
4.1 Hasil dari Atenuasi Multiple menggunakan Analisis Radon
Setelah dilakukan proses VWDFNLQJ konvensional untuk data sintetik penulis, PXOWLSOH yang terjadi dasar laut ZDWHU ERWWRP PXOWLSOH (WBM) terlihat masih jelas pada waktu 1.3 s dan 1.9 s (dimana energi dari PXOWLSOH berkurang seiring dengan bertambahnya kedalaman).
Gambar 4.1 Hasil dari VWDFNLQJ konvensional sebelum dilakukan analisis radon
Kemudian, penulis melakukan analisis radon yang terdapat pada VRIWZDUH ProMAX 2005. Hasil dari VWDFNLQJ konvensional setelah diterapkan analisis radon. Dapat terlihat bahwa WBM pada waktu 1.3 s dan 1.9 s teratenuasi dengan baik. Gambar 4.2 menunjukkan hasil VWDFNLQJ setelah dilakukan analisis radon. Apabila ditelusuri dari model geologi data sintetik ini, pada nomor CDP tersebut terdapat struktur geologi yang kompleks.
Gambar 4.2 Hasil VWDFNLQJ konvensional setelah dilakukan analisis radon
Gambar 4.3 Model geologi data sintetik (Martin, 2005)
Atenuasi PXOWLSOH dengan analisis radon dilakukan dengan cara menghilangkan atau PXWLQJ GDWD GDODP GRPDLQ IJ-p. Sehingga sinyal yang tercampur-baur dengan PXOWLSOH dapat terpisahkan dan dibuang. Sedangkan untuk pemilihan sinyal sendiri dilakukan dengan baik, apabila pemilihannya salah maka akan mengakibatkan atenuasi pada sinyal sekitarnya. Sedangkan untuk pemilihan paUDPHWHUSSDGDGRPDLQIJ-p akan menghasilkan efek aliasing apabila pemilihan nilai parameter p yang terlalu tinggi atau terlalu rendah.
Efek dari penggunaan analisis radon ini dapat terlihat secara signifikan pada saat pemilihan kecepatan (YHORFLW\DQDO \VLV). Dapat terlihat juga hal yang WBM
berbeda pada bagian panel pemilihan sinyal setelah dilakukan pemisahan dalam GRPDLQIJ-p.
(a) (b)
Gambar 4.4 Velocity analysis sebelum dilakukan analisis radon (a) dan sesudah dilakukan analisis radon (b) yang memperlihatkan atenuasi nilai semblance pada panel
semblance
(a) (b) (c)
Gambar 4.5 Analisis radon yang dilakukan koreksi NMO sebelumnya. Sebelum dilakukan analisis radon (a) jendela SHPLOLKDQVLQ\DOSDGDGRPDLQIJ-p (b) dan sesudah
4.2 Hasil dari Atenuasi Multiple menggunakan Analisis Subtract
Dikarenakan hasil atenuasi yang kurang memuaskan penulis melakukan cara lain untuk mengatenuasiPXOWLSOH dengan menggunakan manipulasi data yaitu VXEWUDFW analysis. Penulis melakukan analisis VXEWUDFW ini dengan menggunakan software dari CREWES. Analisis VXEWUDFW dapat dilihat algoritmanya sebagai berikut :
Gambar 4.6 Algoritma analisisVXEWUDFW
Berikut akan dijelaskan mengenai beberapa fungsi pada flow chart di atas. Sugain merupakan salahsatu fungsi pada Seis* Unix berupa peningkatan sinyal sama halnya dengan fungsi AGC ($XWRPDWLF* DLQ&RQW URO) pada ProMAX. Sunmo merupakan perintah untuk melakukan koreksi NMO di dalam Seis* Unix.
Dikarenakan data yang dilakukan adalah data sintetik dan periode WBM yang sangat mudah ditentukan (1.3 s) serta topografi dari ZDWHUERW WRP yang datar, dengan menggunakan asumsi inilah penulis melakukan atenuasi PXOWLSOH dengan cara analisisVXEWUDFW. Hasil analisis VXEWUDFW kemudian dilakukan VWDFNLQJ konvensional dapat dilihat pada gambar 4.8.
Gambar 4.7 Algoritma secara umum untuk mengekstrak PXOWLSOH WBM pada waktu 1.3 s
Gambar 4.86WDFNLQJ konvensional setelah dilakukan analisis VXEWUDFW
Akan tetapi, hasil dari analisis VXEWUDFW ini mengakibatkan reflektor pada permukaan sekitar PXOWLSOH menjadi berkurang. Sedangkan untuk reflektor sekitar PXOWLSOH pada bagian yang lebih dalam menjadi terlihat dengan jelas. Hal ini dikarenakan data yang dikurangkan merupakan hasil dari NMO dan peningkatan amplitudo, dalam hal ini penulis menggunakan tpow=2. Fungsi tpow dapat dilihat sebagai berikut : WSRZ [ \
W
W
(4.1) WBM4.3 Perbandingan antara Stacking Konvensional dengan CRS Stack
Penulis membagi sub bagian pada CRS ini menjadi 2. Dikarenakan penulis melakukan CRS VWDFN pada VRIWZDUH yang telah dikembangkan oleh WIT Consortium. Dan data yang dimasukkan tidak memakai hasil SLFN kecepatan analisis sebelumnya. Karena akan dilakukan proses DXWRPDWLF CMP VWDFN tersendiri oleh VRIWZDUH tersebut.
4.3.1 Automatic CMP Stack
Parameter yang dimasukkan untuk mempengaruhi proses DXWRPDWLF CMP VWDFN pada VRIWZDUH tersebut dapat dilihat pada lampiran A. Penulis melakukan obervasi dari beberapa parameter masukan tersebut diantaranya adalah kecepatan NMO dan nilai DSHUWXUH. Nilai aperture penulis menggunakan 2 perbandingan yaitu antara data yang menggunakan aperture minimum-maksimum 60-2700 dengan data yang mengguanakan aperture minimum-maksimum 1000-2700. Hasil dari DXWRPDWLF CMP VWDFN tersebut ditunjukkan pada gambar 4.10. Dengan meningkatkan nilai aperture CMP, terlihat bahwa nilai koherensi juga ikut turun.
Parameter lain yang digunakan adalah parameter kecepatan NMO. Kecepatan NMO ini berguna sebagai pengendali dari kecepatan VWDFN. Sedangkan untuk nilaiDSHUWXUH sendiri berguna sebagai pengendali dari Parameter kecepatan NMO dapat dimodelkan dan dibatasi daerah nilai kecepatan VWDFN-nya. Penulis menggunakan kecepatan NMO minimum 1400 dan kecepatan NMO maksimum 8000. Dan hasilnya dapat dilihat pada gambar 4.9.
Gambar 4.9 Hasil dari DXWRPDWLF CMP VWDFN dengan menggunakan data yang telah dilakukan analisisVXEWUDFW
(a) (b ) (c) (d ) G a m b ar 4. 10 H asil d ari DXW RP DW LF CMP VWD FN d enga n m en gub ah ni lai ap ert u re C M P . Ap er tur e m inim u m -m ak sim um m as in g -m as in g (a ) 60-270 0 (c ) 10 00-2 7 0 0. S eba ra n n ila i k oher ens in y a d it u n juk ka n p ad a g am b ar (c ) da n ( d ). 42
Kemudian parameter nilai kecepatan ini dibatasi untuk nilai minimumnya, nilai kecepatan maksimum tetap 8000, dengan asumsi bahwa kecepatan WBM sama dengan nilai kecepatan ZDWHUER WWRP. Untuk pembatasan daerah nilai kecepatan minimum penulis menggunakan model kecepatan seperti di bawah ini.
Gambar 4.11 Model Kecepatan NMO minimum warna biru 1450 m/s dan merah 1800 m/s. Pembatasan terjadi pada waktu 1.2 s.
Berikut merupakan hasil automatic CMP stack dan nilai atrribut koherensi dari beberapa pembatasan daerah nilai minimum kecepatan NMO yang dicoba. Dapat dilihat pada relektor hasil automatic CMP stack dengan berbagai nilai minimum kecepatan NMO, berbeda satu dengan yang lain. Pada gambar 4.12 (c) dan (d) penulis menggunakan nilai minimum kecepatan 1450 dan 1750 m/s dengan membalikkan letak dari kecepatan NMO tersebut. Sehingga untuk hasil automatic CMP stack dengan menggunakan nilai minimum kecepatan NMO 1750 dan 1450 m/s, reflektor di atas bagian PXOWLSOH (1.3 s) terlihat samar atau teratenuasi. Sedangkan WBM pertama maupun ke-2 (1.9 s) kembali dikuatkan karena menggunakan parameter kecepatan yang sama dengan parameter kecepatan water bottom, 1450 m/s. Gambar 4.12 (b) dapat dilihat bahwa lapisan sekitar WBM (sebelah bawah kiri 1.2 – 2 s) teratenuasi. Oleh karena itu penulis menurunkan nilai minimum kecepatan NMO sehingga lapisan sekitar WBM tersebut tidak lagi teratenuasi.
Untuk mengontrol nilai kecepatan NMO yang dimasukkan, software ini juga menyediakan nilai atribut berupa sebaran nilai koherensi. Sehingga, akan terlihat sebaran nilai kecepatan. Gambar 4.13 menunjukkan nilai koherensi yang
berhubungan dengan gambar 4.12. Terlihat nilai koherensi semakin rendah apabila nilai minimum kecepatan NMO diubah menjadi sangat tinggi (untuk nilai minimum kecepatan NMO dibawah WBM).
(a ) (b) (c ) (d) G a m b ar 4. 12 H asil d ari DXW RP DW LF CMP VWD FN d enga n m en gub ah d aer ah n ila i V WDF NL QJY HO RF LW\ . Ni la i mi n im u m ( a) V NMO 1450 – 1 55 0 m/ s (b ) V NMO 145 0 – 1 60 0 m/ s (c ) V NMO 145 0 – 1 75 0 m/ s (d ) V NMO 17 50 – 1 4 5 0 m /s 45
(a ) (b) (c ) (d) G a m b ar 4. 13 N ilai K o heren si d ari has il DX WR P DWLF CMP VWD FN se be lu mny a pa da ga mba r 4.12. Ni la i mi n imu m (a ) V NMO 1450 – 1 5 50 m/ s (b ) V NMO 145 0 – 1 60 0 m/ s (c ) V NMO 145 0 – 1 75 0 m/ s (d ) V NMO 17 50 – 1 4 5 0 m /s 46
4.3.2 Optimize CRS Stack
Setelah dilakukan proses DXWRPDWLF CMP VWDFN kemudian dilakukan pemilihan yang terbaik dari hasil tersebut. Setelah itu dari hasil yang telah dipilih dilanjutkan dengan proses Optimizing CRS VWDFN. Karena Hasil dari VWDFN sebelumnya akan mempengaruhi hasil CRS VWDFN nantinya.
Dapat dilihat bahwa hasil dari CRS VWDFN, tingkat kemenerusan reflektor menjadi baik dibandingkan dengan hanya menggunakan VWDFNing konvensional. Akan tetapi, reflektor pada daerah struktur kompleks teratenuasi diakibatkan hasil dari DXWRPDWLF CMP VWDFN pada daerah tersebut juga tidak menunjukkan reflektor yang tinggi. Dan PXOWLSOH WBM pada waktu 1.3 s teratenuasi dengan baik setelah dilakukan Optimizing CRS VWDFN. Penjelasan ini ditunjukkan pada gambar 4.14.
Gambar 4.14 Hasil dari Optimizing CRS VWDFN dengan menggunakan data setelah
dilakukan analisisVXEWUDFW. Sehingga, PXOWLSOH WBM 1.3 s teratenuasi dengan baik WBM
Gambar 4.15 Hasil dari Optimizing CRS VWDFN dengan menggunakan data setelah dilakukan analisis radon. Sehingga, PXOWLSOH WBM 1.3 s teratenuasi dengan baik
Berikut merupakan gambar dari bebearpa parameter CRS yang dihasilkan. Dari sebaran nilai &RQIOLFWLQJ'LSV sendiri, bisa dilihat HYHQWHYHQW yang memiliki nilai kecepatan lebih dari satu. Akan tetapi, nilai &RQIOLFWLQJ'LSV sekitar WBM 1.3 s tidak lebih dari 1, ini memungkinkan analisis VXEWUDFW mampu mengatenuasi WBM 1.3 s dengan baik.
6HEDUDQ QLODL Į PHQXQMXNNDQ NHPLULQJDQ GDUL VXDWX VWUXNWXU \DQJ DGD 'DSDW dilihat kemiringan dari suatu struktur marmousi II dengan daerah sudut antara 76.49o dan -70.46o.
WBM
Gambar 4.16 Sebaran nilai &RQIOLFWLQJ'LSV sebelum dilakukan optimisasi CRS
Gambar 4.17 Sebaran nilai RNIPsetelah dioptimasi setelah iterasi I. Gambar telah
di-SHUF=95 WBM
Gambar 4.18 Sebaran nilai RN setelah dioptimasi setelah iterasi I. Gambar telah di-SHUF=95
Gambar 4.19 6HEDUDQQLODLĮVHWHODKGLRSWLPDVL setelah iterasi I