UNIVERSITAS INDONESIA
IDENTIFIKASI BASIN DAN PENENTUAN STRUKTUR BAWAH PERMUKAAN MENGGUNAKAN DATA GAYABERAT (STUDI KASUS CEKUNGAN SUMATERA
SELATAN)
SKRIPSI
INDRA GUNAWAN 0806399003
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM PROGRAM STUDI FISIKA
DEPOK JUNI 2014
Ringkasan Tugas Akhir/Skripsi
Nama, NPM : Indra Gunawan, 0806399003 Pembimbing I : Drs. M. Syamsu Rosid, Ph.D Pembimbing II : Dr. Ir. Agus Guntoro, M.Si
Judul (Indonesia) : Identifikasi Basin dan Penentuan Struktur Bawah Permukaan Menggunakan Data Gayaberat (Studi Kasus Cekungan Sumatera Selatan)
Judul (Inggris) : Basin Identification and Delineation Subsurface Using Gravity Data (Case Study South Sumatera Basin)
Abstrak
Dalam eksplorasi minyak dan gas bumi, penentuan lokasi keberadaan cekungan (basin) sangat penting untuk diketahui. Hal ini dikarenakan cekungan (basin) berkaitan erat dengan lingkungan pembentukan batuan induk (source rock). Telah dilakukan pengukuran survei gayaberat pada daerah cekungan Sumatera Selatan. Tujuan dilakukannya pengukuran ini adalah untuk mengetahui daerah-daerah yang diduga merupakan cekungan (basin) sebagai tempat pembentukan source rock. Pada nilai anomali Bouguer yang didapatkan dari hasil pengukuran selanjutnya dilakukan analisa spektrum untuk membantu mendapatkan model basement cekungan. Pada analisa lebih lanjut, dilakukan pemisahan anomali regional dan residual menggunakan metode Moving Average dan metode Polinomial
Trend Surface Analysis untuk mengetahui daerah zona cekungan. Analisa First Derivative dilakukan untuk mengetahui daerah zona struktur patahan
pada cekungan. Pada proses pemodelan 2D Forward Modelling, digunakan data sumur, hasil spektrum analisis berupa model kedalaman, peta geologi dan kurva FHD sebagai acuan dalam pemodelan. Hasil dari pemodelan 2D Forward Modelling menunjukkan adanya cekungan dengan kedalaman
basement berkisar 2000 m sampai 3000 m. Interpretasi terpadu dari metode
pengolahan data gayaberat yang dilakukan didapatkan keberadaan cekungan yang memanjang dari arah Baratlaut ke Tenggara-Selatan.
Kata Kunci: zona cekungan, zona struktur patahan, kedalaman basement, pemodelan 2D Forward Modelling
Abstract
In oil and gas exploration, determining the location of the basin is very important to be known. It is because the basin is closely related to the formation of the host rock environment (source rock). Geophysical survey using gravity method has been on the South Sumatra basin area. The purpose of this measurement is to determine the areas that are considered basin as the source rock formation. On the value Bouguer anomaly obtained from the results of measurements of the spectral analysis is performed to help get the model basin basement. On further analysis, the separation of regional and residual anomalies using the Moving Average method and Polynomial Trend Surface Analysis method to determine the zone of the basin area. First Derivative analysis was conducted to determine the structure of the fault zone area in the basin. In the modeling process 2D Forward Modeling, used well data, the results of spectral analysis of a model of depth, geological maps and FHD curve as a reference in the modeling. Results of Forward Modelling 2D modeling shows basin with depths ranging from 2000 m to the basement of 3000 m. Integrated interpretation of gravity data processing method conducted found the existence of the basin that extends from the North West to South - East.
Keywords : Basin Zone, Fault Sturcture Zone, Depth Basement,
1. Latar Belakang
Gayaberat merupakan salah satu metode geofisika yang digunakan untuk menggambarkan struktur geologi bawah permukaan berdasarkan variasi medan gravitasi bumi akibat perbedaan densitas secara lateral. Salah satu penerapan metode gayaberat dalam tahap awal eksplorasi minyak dan gas bumi adalah untuk memperkirakan keberadaan cekungan/ basin dan kedalaman basement cekungan. Keberadaan cekungan menjadi penting sebab berkaitan dengan lingkungan pembentukan batuan induk (source rock). Telah dilakukan pengukuran dengan menggunakan metode gayaberat di daerah cekungan Sumatera Selatan. Pengukuran metode gayaberat dilakukan dengan jarak antar grid (station) sebesar 1 km.
Gambar 1. Lokasi Daerah Penelitian
Dalam penelitian ini, dilakukan identifikasi struktur bawah permukaan berupa cekungan dan pemodelan struktur bawah permukaan daerah penelitian berdasarkan nilai kontras densitas batuan hingga kedalaman basement dengan menggunakan data gayaberat yang divalidasi dengan data sumur.
Hasil pemodelan gayaberat yang telah divalidasi dengan data sumur diharapan dapat memberikan informasi gambaran struktur bawah permukaan pembentuk cekungan/basin dengan cukup baik sehingga dapat menjadi bahan
pertimbangan untuk penentuan tindakan eksplorasi lebih lanjut.
2. Teori Dasar
Nilai percepatan gravitasi (g) yang dibutuhkan adalah variasi densitas bawah permukaan dari target benda anomali. Sehingga untuk mendapatkan nilai gaya berat dari target bawah permukaan yang diinginkan perlu dilakukan koreksi data gayaberat, diantaranya :
1. Koreksi Pasang Surut (Tidal
Correction)
2. Koreksi Lintang (Latitude Correction)
3. Koreksi Apungan (Drift Correction)
4. Koreksi Udara Bebas (Free- Air
Correction/ FAC)
5. Koreksi Bouguer (Bouguer
Correction/BC)
6. Koreksi Medan (Terrain
Correction/TC)
Setelah melakukan proses koreksi diatas, maka akan didapatkan nilai yang disebut anomali Bouguer (Bouguer
Anomali). Anomali Bouguer adalah
anomali yang disebabkan oleh variasi densitas secara lateral pada batuan di kerak bumi yang telah berada pada bidang referensi yaitu bidang geoid. Persamaan untuk mendapatkan nilai anomali Bouguer (gAB) adalah drift tidal read obs g g g g = − − TC g g g g gAB = obs − φ + FA − B + dimana: read
g = nilai pembacaan gravitasi di lapangan
tidal
g = koreksi pasang surut
drift
g = koreksi apungan
φ
g = koreksi lintang
FA
g = koreksi udara bebas
B
g = koreksi Bouguer TC = koreksi medan
Geologi Regional
Urutan Stratigrafi Cekungan Sumatera Selatan dari tua ke muda adalah Batuan Pra-Tersier, Formasi Lahat, Formasi Talang Akar, Formasi Baturaja, Formasi Gumai, Formasi Air Benakat, Formasi Muara Enim, Formasi Kasai, dan Endapan Kuarter.
Gambar 2 Peta Stratigrafi Cekungan Sumatera
Selatan (Ginger and Kevin, 2005)
Petroleum System Cekungan Sumatera Selatan
a) Batuan Induk (Source Rock)
Hidrokarbon di cekungan Sumatera Selatan ini berasal dari batuan induk yang berasal dari batulempung hitam Formasi Lemat (De Coster, 1974), lignin (batubara), batulempung Formasi Talang Akar dan batulempung Formasi Telisa. Formasi Lemat mengalami perubahan fasies yang cepat kearah lateral sehingga bertindak sebagai batuan induk dengan kandungan material organik 1,2 – 3%. Landaian suhu berkisar 4,8-5,3°C/100 m, sehingga kedalam pembentukan minyak yang komersil terdapat pada kedalaman 2000-3000 m.
Sistem pemanasan (kitchen) batuan induk di Cekungan Sumatera Selatan adalah akibat panas yang dihasilkan oleh
bidang sesar yang terbuka pada graben/
half graben, sehingga cukup untuk
menghasilkan hidrokarbon. b) Migrasi
Migrasi hidrokarbon di Cekungan Sumatera Selatan ditafsirkan sebagai migrasi lateral dan atau migrasi vertikal. Migrasi lateral terjadi pada bagian dalam cekungan. Akibat migrasi ini, terjadi pengisian hidrokarbon pada perangkap-perangkap stratigrafi yang terbentuk pada zona engsel (hinge zone). Migrasi secara vertikal terjadi melalui bidang patahan dan bidang ketidakselarasan antara batuan dasar dengan lapisan sedimen diatasnya. Migrasi sekunder memegang peranan penting dalam proses akumulasi dan pemerangkapan hidrokarbon mengingat posisi perangkap merupakan daerah tinggian purba (old basement high).
c) Batuan Reservoar
Lapisan batupasir yang terdapat dalam Formasi Lemat, Formasi Talang Akar, Formasi Palembang Bawah dan Palembang Tengah dapat menjadi batuan reservoar pada Cekungan Sumatera Selatan. Pada Sub Cekungan Jambi, produksi terbesar terdapat pada batuan reservoar Formasi Air Benakat, Formasi Telisa memiliki interval reservoar dan lapisan penutup bagi reservoar Formasi Baturaja. Pada Sub Cekungan Palembang produksi minyak terbesar terdapat pada batuan reservoar Formasi Talang Akar dan Baturaja. Porositas lapisan batupasir berkisar antara 15-28%.
d) Batuan Penutup
Batuan penutup pada umumnya merupakan lapisan lempung yang tebal dari Formasi Telisa, Formasi Palembang Bawah dan Formasi Palembang Tengah. Selain itu, terjadinya perubahan facies kearah lateral atau adanya sesar-sesar dapat juga bertindak sebagai penutup atau tudung. Lempung pada Formasi Telisa menjadi penutup pada reservoar karbonat Formasi Baturaja.
e) Jenis Perangkap
Pada umumnya perangkap hidrokarbon di Cekungan Sumatera Selatan merupakan
struktur antiklinal dari suatu antiklinorium yang terbentuk pada Plio-Pleistosen seperti pada Formasi Palembang Tengah. Struktur sesar baik normal maupun geser dapat bertindak sebagai perangkap minyak. Perangkap stratigrafi terjadi pada batugamping terumbu Formasi Baturaha, bentuk kipas Formasi Lemat, bentuk membaji Formasi Palembang Bawah dan Formasi Talang Akar, dan Lemat dari batupasir karena perubahan facies pada Formasi Talang Akar.
Gambar 3. Play hidrokarbon pada bagian Utara
dan Tengah Cekungan Sumatera Selatan (De Coster, 1974)
3. Metodologi Penelitian
Berikut ini adalah peta topografi yang menunjukkan ketinggian/ elevasi di daerah penelitian berdasarkan titik-titik pengukuran pada saat pengukuran data gayaberat.
Gambar 4. Peta Topografi Daerah Penelitian
Pada penelitian ini daerah pengukuran memiliki luas 172 km x 134 km dengan jarak antar stasiun pengukuran sebesar 1 km. Berikut ini adalah hasil grid data yang disajikan dalam bentuk peta kontur berdasarkan nilai CBA.
Gambar 5. Peta Complete Bouguer Anomaly
(CBA)
Analisa Spektrum
Analisa spektrum digunakan untuk mendapatkan estimasi kedalaman target/objek anomali dalam hal ini adalah basement dari suatu basin atau cekungan. Pada metode ini memerlukan proses Transformasi Fourier dimana penggunaan Transformasi Fourier ini bertujuan untuk mengubah fungsi jarak dan waktu menjadi fungsi bilangan gelombang atau frekuensi (Blakely, 1995).
Gambar 6. Peta CBA dengan slice A,B,C,D Untuk
Mendapatkan Lebar Window
Pada kurva analisa spektrum akan menampilkan estimasi kedalaman anomali regional dan anomali residual. Berikut ini adalah hasil dari analisa spektrum pada slice A, B, C dan D:
Gambar 7. Kurva Hasil Analisa Spektrum Pada
Slice A
Gambar 8. Kurva Hasil Analisa Spektrum Pada
Slice B
Gambar 9. Kurva Hasil Analisa Spektrum Pada
Slice C
Gambar 10. Kurva Hasil Analisa Spektrum Pada
Slice D y = -‐10728x + 7.0115 R² = 0.63907 y = -‐1761.9x + 4.2458 R² = 0.67365 y = -‐1.3825x + 1.8148 R² = 4.2E-‐05 0 5 10 0 0.001 0.002 0.003 0.004 ln A k
Slice A
y = -‐12297x + 7.567 R² = 0.9126 y = -‐1505.1x + 3.4392 R² = 0.35962 y = -‐104.18x + 1.9928 R² = 0.23633 0 5 10 0 0.001 0.002 0.003 0.004 ln A kSlice B
y = -‐10382x + 6.9675 R² = 0.50977 y = -‐3495.1x + 5.6414R² = 0.64988 y = 3E-‐12x + 2.2281 R² = 1E-‐28 0 5 10 0 0.001 0.002 0.003 0.004 ln A k
Slice C
y = -‐10336x + 6.9741 R² = 0.51379 y = -‐2752.5x + 4.765 R² = 0.64904 y = 52.398x + 1.7609 R² = 0.02672 0 5 10 0 0.0005 0.001 0.0015 0.002 0.0025 0.003 ln A kSlice D
Tabel 1. Hasil Estimasi Kedalaman Regional dan
Residual daerah penelitian
Slice Kedalaman Regional (m) Kedalaman Residual A 10728 m 1761.9 m B 12297 m 1505.1 m C 10382 m 3495.1 m D 10336 m 2752.5 m Rata-Rata 10935.75 m 2378.65 m
Dari hasil analisa spektrum didapatkan kedalaman anomali regional rata-rata sebesar 10935.75 m atau sekitar 11 Km di bawah permukaan. Sedangkan untuk kedalaman anomali residual rata-rata sebesar 2378.65 m atau hampir 2.4 km. Pada penelitian ini juga dilakukan identifikasi basement dari suatu cekungan menggunakan analisa spektrum. Daerah interest basement cekungan dari penelitian ini dibagi menjadi 4 bagian yaitu sesuai dengan lintasan P,Q,R dan S pada Gambar 11. Berikut ini adalah lintasan yang dipakai untuk mengetahui kedalaman dari basement pada daerah penelitian.
Gambar 11. Lintasan P,Q,R dan S yang Digunakan
Untuk Mengetahui Bentuk Basement
Slice yang dilakukan pada lintasan P adalah sebagai berikut:
Gambar 12. Slice yang Digunakan Untuk
Penentuan Basement dengan Analisa Spektrum Lintasan PP’
Berikut ini adalah hasil dari Analisa Spektrum lintasan P pada tiap-tiap slice 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7 dan 8.
Tabel 2. Estimasi Kedalaman dari masing-masing
slice pada lintasan P
Slice Spasi r (m) Depth (m) 1 8,237.89 -2466.6 2 16,505.60 -2289.9 3 21,923.80 -2243.7 4 30,365.20 -2570.7 5 44,539.90 -2572.9 6 49,264.90 -2176.3 7 61,297.40 -2077.8 8 66,589.30 -1998.6
Gambar 13. Grafik Perkiraan model dari anomali
pada lintasan PP’
Gambar 13. yang berupa grafik kedalaman memberikan gambaran perkiraan bentuk dari model struktur bawah permukaan dengan nilai kedalaman lintasan P-P’ pada bagian paling bawah (Bottom) pada kedalaman 2572.9 m dan
-‐4000 -‐2000 0 0.00 20,000.00 40,000.00 60,000.00 80,000.00 Kedalaman (m) Spasi r (m)
Kurva Lintasan P-‐P'
bagian paling atas (Top) pada kedalaman 1998.6 m.
Gambar dibawah ini adalah slice yang digunakan pada lintasan QQ’.
Gambar 14.Slice yang Digunakan Untuk Penentuan Basement dengan Analisa Spektrum
Lintasan QQ’
Tabel 3. Estimasi Kedalaman dari masing-masing
slice pada lintasan QQ’
Slice Spasi Depth
1 3810.74 -2644.1 2 10862.4 -2517.8 3 22236.4 -2472.5 4 25989.8 -2640 5 36226.4 -2930.1 6 49818.4 -2452.1 7 58405.9 -2527.9 8 71542.9 -2438.7
Gambar 15. Grafik Perkiraan model dari
anomali pada lintasan QQ’
Pada Gambar 15. Bottom dari
basement pada lintasan QQ’ berada di
kedalaman 2930.1 m dan Top berada di
kedalaman 2438.7 m. Pada Lintasan PP’ dan QQ’ menunjukkan pola atau kecenderungan topografi bawah permukaan yang mirip akan tetapi memiliki kedalaman yang berbeda. Selisih
bottom pada lintasan PP’ dan QQ’ sebesar
357.2 m. Sehingga dapat dikatakan
basement pada lintasan PP’ lebih tinggi
dibandingkan lintasan QQ’.
Gambar 16.Slice yang Digunakan Untuk Penentuan Basement dengan Analisa Spektrum
Lintasan RR’
Tabel 4. Estimasi Kedalaman dari masing-masing
slice pada lintasan RR’
Slice Spasi Depth 1 1443.88 -2627.2 2 5328.17 -2555.1 3 20147.8 -3090.7 4 36848.2 -2905.2 6 58921.2 -2943.7 7 63085.1 -2772.6 8 72621.8 -2517
Gambar 17.Grafik Perkiraan model dari anomali pada lintasan RR’ -‐4000 -‐2000 0 0 20000 40000 60000 80000 Kedalaman (m) Spasi r (m)
Kurva Lintasan Q-‐Q'
-‐4000 -‐2000 0 0 20000 40000 60000 80000Kurva Lintasan R-‐R'
Gambar 18. Slice yang Digunakan Untuk Penentuan Basement dengan Analisa Spektrum Lintasan SS’
Tabel 5 Estimasi Kedalaman dari masing-masing
slice pada lintasan SS’
Slice Spasi Depth 1 2,796.99 -2835.5 2 14,435.00 -3227.4 3 21,083.20 -3152.2 4 35,516.40 -2825.2 5 43,829.00 -2790.1 6 50,554.20 -2551.4 7 56,147.30 -2108.1 8 68,992.50 -2328.2
Gambar 19.Grafik Perkiraan model dari anomali pada lintasan SS’
Pada lintasan R dan S menunjukkan kemiripan pola topografi bawah permukaan. Akan tetapi sama halnya dengan lintasan PP’ dan QQ’, antara lintasan RR’ dan SS’ memiliki perbedaan
kedalaman. Perbedaan Bottom antara lintasan RR’ dan SS’ sebesar 137.6 m dimana posisi basement lintasan RR’ lebih tinggi dibandingkan lintasan SS’. Hal ini menunjukkan bahwa kedalaman basement dari lintasan RR’ ke lintasan SS’ (kearah tenggara-selatan) semakin dalam.
Moving Average
Prinsip dari metode ini adalah merata-ratakan nilai anomalinya (CBA). Hasil perata-rataan itu merupakan anomali regional, sedangkan anomali residual didapatkan dari hasil pengurangan anomali CBA (Complete Bouguer Anomaly) dengan anomali regionalnya. Persamaan moving average untuk satu dimensi adalah sebagai berikut.
( )
(
)
( )
(
)
N n i g i g n i g i gr + Δ + + Δ + + − Δ = Δ ... ...Berikut ini adalah anomali regional yang didapatkan dengan menggunakan filter Moving Average dengan lebar window yang digunakan sebesar 21..
Gambar 20.Peta Anomali Regional
Anomali Bouguer merupakan gabungan anomali regional dan anomali residual. Maka untuk mendapatkan anomali residual bisa kita dapatkan dengan mengurangkan anomali Bouguer dengan anomali regional. Hasil anomali residual yang didapatkan dapat dilihat pada Gambar 21.
-‐4000 -‐3000 -‐2000 -‐1000 0 0.00 20,000.00 40,000.00 60,000.00 80,000.00 Kedalaman (m) Spasi r (m)
Kurva Lintasan S-‐S'
Gambar 21.Peta Anomali Residual
Polynomial Trend Surface Analysis Salah satu cara lainnya untuk memisahkan anomali regional dan residual ialah dengan menggunakan polynomial trend surface analysis (TSA). Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Anomali Bouguer merupakan gabungan dari anomali regional dan residual, maka anomali residual bisa didapatkan dari hasil pengurangan anomali Bouger dengan anomali regional.
Anomali regional didapatkan dari persamaan polynomial orde n berdasarkan persamaan di bawah ini:
! !, ! = !! = !!!! !!!!a!!!,!!!!!!!
dimana an-s,s adalah ½ (p+1)(p+2), koefisien p adalah orde pada persamaan polinomial 2D, x dan y adalah koordinat.
Berikut ini adalah hasil dari pemisahan anomali regional – residual dengan metode polynomial TSA pada orde 1, 2 ,3, 4 dan 5.
Gambar 22.Peta Anomali Regional Polinomial Pada masing-masing orde
Pada Peta Kontur Anomali Residual yang dapat dilihat pada Gambar 23, daerah anomali rendah dapat dikelompokkan pada warna biru-hijau yang memiliki nilai anomali gayaberat negatif. Terlihat dugaan cekungan berada di daerah anomali rendah (kontur berwarna biru) pada arah tenggara. Anomali rendah ini diapit oleh diantara dua anomali tinggi, diduga cekungan tersebut merupakan sebuah graben. Hal ini terlihat juga dari adanya kemenerusan daerah anomali rendah tersebut pada orde 1 hingga orde 5. Kemudian pada orde 2, anomali rendah tersebut terlihat menerus hingga kearah baratlaut dan daerah anomali rendah. Diduga daerah anomali rendah tersebut saling terhubung.
Gambar 23.Peta Anomali Regional Polinomial Pada masing-masing orde
Analisa First Horizontal Derivative Analisa First Horizontal Derivative dilakukan untuk mengetahui keberadaan suatu patahan. Perhitungan FHD dihitung dengan menggunakan persamaan:
x i g i g FHD Δ − − = () ( 1) Di mana g merupakan nilai anomali Bouguer (mgal) dan Δx merupakan selisih jarak lintasan (m). Pada analisa derivative ini slice yang digunakan adalah slice yang ada pada Gambar 11. Berikut ini adalah hasil kurva FHD terhadap nilai Δx pada lintasan PP’, lintasan QQ’, lintasan RR’ dan lintasan SS’.
Gambar 24. Kurva FHD hasil slicing pada lintasan
PP’
Gambar 25. Kurva FHD hasil slicing pada lintasan
QQ’
Gambar 26. Kurva FHD hasil slicing pada lintasan
RR’
Gambar 27. Kurva FHD hasil slicing pada lintasan
SS’
Dari kurva FHD yang didapatkan pada masing-masing lintasan PP’, lintasan QQ’, lintasan RR’ dan lintasan SS’, dapat diketahui keberadaan dan batas zona patahan (sesar).
4. Hasil dan Pembahasan
Pada tabel di bawah ini merupakan data sumur yang terdapat di daerah penelitian. Data sumur ini dapat digunakan sebagai acuan dalam hal penentuan kedalaman dan formasi batuan. Nilai densitas masing-masing formasi
didapatkan dari log RHOB yang dirata-ratakan berdasarkan batas pada well top nya.
Tabel 6. Data Sumur
Pemodelan Bawah Permukaan
Gambar 28. Slice yang Digunakan Untuk
Pemodelan 2-D
Gambar 29. Penampang 2-D hasil slice pada
lintasan PP’
Dari hasil pemodelan penampang 2-D pada lintasan PP’ dapat diinterpretasikan keterdapatan patahan naik pada bagian sebelah kanan mengakibatkan basement naik ke atas menjadi tinggian. Menurut Ginger dan Fielding (2012), cekungan Sumatera Selatan terbentuk
akibat adanya subduksi di sepanjang Trench Sumatera Barat selama masa Eocene hingga Early Oligcence. Perluasan ini menghasilan half graben dimana geometrynya dipengaruhi oleh heterogenitas basement. Dari kurva FHD daerah zona patahan menunjukkan keberadaan half graben yang disebabkan karena patahan naik akibat subduksi. Pada kurva hasil slice residual yang terdapat diatas gambar model, terlihat adanya kontras nilai anomali pada bagian sebelah kiri dan kanan. Pada bagian sebelah kiri perbedaan nilai anomali disebabkan karena adanya struktur berupa patahan sehingga mengakibatnya adanya tinggian dan rendahan. Adanya beda tinggian dan rendahan tersebut mengakibatnya adanya perubahan nilai anomali. Sedangkan pada bagian sebelah kanan kontras anomali disebabkan karena adanya perbedaan litologi. Adanya pengaruh nilai densitas pada baguan metamorf mengakibatkan perbedaan nilai anomali.
Model penampang 2-D pada lintasan QQ’ dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 30. Penampang 2-D hasil slice pada
lintasan QQ’
pada model penampang 2-D pada lintasan QQ’ ini, keberadaan struktur patahan di lintasan ini teridentifikasi dengan baik dari kurva FHD. Pada lintasan QQ’ ini basement dari cekungan ini memiliki kedalaman yang relatif lebih dalam dari lintasan sebelumnya.
Gambar 31. Penampang 2-D hasil slice pada
lintasan RR’
Gambar 32. Penampang 2-D hasil slice pada
lintasan SS’
Berdasarkan hasil penampang 2-D pada lintasan RR’ dan SS’ terlihat bahwa pada lintasan RR’ keberadaan cekungan/ basin semakin meluas. Akan tetapi Pada lintasan SS’ terlihat cekungan atau basin semakin mengecil/ mengalami penyempitan pada arah selatan. Baik lintasan RR’ dan lintasan SS’, memiliki bentuk cekungan berupa graben. Sedangkan pada lintasan PP’ dan lintasan QQ’ terlihat bahwa basin semakin meluas/ melebar pada arah baratlaut.
Gambar 33. Penampang 2-D Gabungan
Gambar 34. Delineasi Zona Cekungan (Basin)
Pada Daerah Penelitian
Berdasarkan Gambar 33 dan Gambar 34 terlihat bahwa zona basin pada daerah penelitian cukup luas. Terlihat adanya kemungkinan kemenerusan zona Basin pada arah Baratlaut-Utara dan Selatan.
Pada lintasan QQ’ dan lintasan RR’ memperlihatkan bahwa zona basin pada daerah ini saling terhubung. Kemungkinan dugaan adanya zona basin lain terlihat pada daerah Timurlaut-Timur. Oleh karena itu diperlukan survei lanjutan di sebelah Baratlaut, Utara, Timur dan Selatan untuk memastikan kemenerusan zona basin di wilayah ini.
5. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian pada daerah sekitar cekungan Sumatera Selatan dengan menggunakan metode gayaberat, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: a) Berdasarkan hasil analisa spektrum
didapatkan estimasi kedalaman yang menunjukkan estimasi kedalaman basin berkisar 2000 m – 3000 m.
b) Pemisahan anomali regional-residual dengan menggunakan metode polinomial yaitu pada peta residual polinomial orde 2 menunjukkan adanya keterhubungan basement cekungan para arah Baratlaut dengan arah Tenggara-Selatan. Selain itu pada peta residual menunjukkan adanya dugaan basin lain di daerah Timur.
c) Pemodelan penampang 2-D pada penelitian ini menggunakan peta residual polinomial, dikarenakan pada pemisahan anomali regional-residual, metode ini memperlihatkan adanya kemenerusan cekungan pada masing-masing orde. Berdasarkan hasil pemodelan bawah permukaan 2D menunjukkan bahwa zona cekungan pada daerah Tenggara- Selatan menyempit. Sedangkan di bagian tengah pada wilayah penelitian zona cekungan melebar.
Daftar Acuan
Blakely, R.J. (1995). Potential Theory in
Gravity & Magnetic application,
Cambridge University Press.
De Coster, G.L. (1974). The Geology of
The Central and South Sumatera Basin, Proceding IPA Third Annual Convention, Jakarta.
Ginger, David and Fielding, Kevin. (2005).
The Petroleum Systems and Future Potential of The South Sumatera Basin. Proceedings, Indonesian Petroleum Association.