• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2018

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2018"

Copied!
105
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

OLEH

THERESIA SARIMAULI SIREGAR

NIM : 131000206

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2018

(2)

Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Kesehatan Masyarakat

OLEH

THERESIA SARIMAULI SIREGAR

NIM : 131000206

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2018

(3)

POLA MAKAN SISWA STUNTING DI SMP NEGERI 1 DOLOK MASIHUL TAHUN 2017” ini beserta seluruh isinya adalah benar hasil karya

saya sendiri, dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika keilmuan yang berlaku dalam masyarakat keilmuan. Atas pernyataan ini, saya siap menanggung resiko atau sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila kemudian ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya saya ini, atau klaim dari pihak lain terhadap keaslian karya saya ini.

Medan, Januari 2018 Yang Membuat Pernyataan

Theresia Sarimauli Siregar NIM. 131000206

(4)
(5)

mencukupi dan penyakit infeksi. Masalah gizi, khususnya anak pendek, menghambat perkembangan anak muda dengan dampak negatif yang akan berlangsung dalam kehidupan selanjutnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pola makan anak stunting di SMP Negeri 1 Dolok Masihul.

Jenis penelitian ini adalah penelitian survei yang bersifat deskriptif dengan desain penelitian cross sectional. Penelitian ini dilakukan dengan menghitung kecukupan energi, protein, kalsium, fosfor, magnesium, seng, vitamin A, vitamin C, dan besi dengan menggunakan metode food recall 24 jam. Sampel pada penelitian ini yaitu seluruh siswa/i stunting sebanyak 102 orang.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola makan siswa stunting di SMP Negeri 1 menurut jumlah makanan berdasarkan kecukupan zat gizi makro yaitu kecukupan energi sebesar 98,0% dan kecukupan protein sebesar 77,5% kategori kurang, dan untuk kecukupan zat gizi mikro yaitu kalsium sebesar 98,0%, fosfor sebesar 92,2%, magnesium sebesar 65,7%, seng sebesar 97,1%, vitamin A sebesar 88,2%, vitamin C sebesar 92,2%, besi sebesar 99,0% kategori kurang. Menurut jenis makanan rata-rata yang dikonsumsi yaitu 3 jenis per hari dan siswastunting mengonsumsi nasi sebagai makanan pokok. Sebagian besar siswastunting sering mengonsumsi ikan, telur dan tempe sebagai lauk pauk, kangkung dan daun singkong sebagai sayur, serta pisang sebagai buah.

Bagi pihak sekolah disarankan bekerjasama dengan pihak puskesmas agar membuat suatu kegiatan penyuluhan dan membuat poster disetiap kelas mengenai pentingnya mengonsumsi makanan beragam dengan jumlah yang cukup setiap hari untuk mengejar ketertinggalan pertumbuhan pada siswa stunting.

(6)

people with negative impacts that will take place in the next life. This study aimed to find out the pattern of child eating stunting in SMP Negeri 1 Dolok Masihul.

Type of this research was descriptive survey research with cross sectional research design. This study was conducted by calculating the adequacy of energy, protein, calcium, phosphorus, magnesium, zinc vitamin A, vitamin C and iron by using 24 hours food recall method. This sample of research was all students stunting as many as 102 people.

The result of this research showed that the stunting student pattern in SMP Negeri 1 according to the amount of food based on the sufficiency of macro nutrient was the sufficiency of energy equal to 98,0% and protein sufficiency equal to 77,5% less category, and for the sufficiency of micro nutrient that was calcium equal to 98, 0%, phosphorus 92,2%, magnesium 65,7%, zinc 97,1%, vitamin A equal to 88,2%, vitamin C equal to 92,2%, iron equal to 99,0% less category. According to the average type of food consumed was 3 types per day and stunting students eat rice as a staple food. Most stunting students often eat fish, eggs and tempeh as side dishes, kale and cassava leaves as vegetables, and bananas as fruit.

For the school it was advisable to cooperate with the puskesmas to make an extension activity and make a poster in every class about the importance of consuming diverse food with enough amount every day to catch up the growth of stunting student.

(7)

Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Gambaran Pola Makan

Siswa Stunting di SMP Negeri 1 Dolok Masihul Tahun 2017”. Penulisan

skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum, selaku Rektor Universitas Sumatera

Utara.

2. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. Ir. Albiner Siagian, M.Si, selaku Ketua Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara dan sekaligus sebagai Dosen Pembimbing I yang telah membimbing penulis dalam penyusunan skripsi ini.

4. Fitri Ardiani, SKM, MPH, selaku Dosen Pembimbing II yang telah membimbing penulis dalam penyusunan skripsi ini.

5. Dra. Jumirah, Apt, M.Kes dan Dr. Ir. Zulhaida Lubis, M.Kes, selaku Dosen Penguji I dan II yang turut meluangkan waktu memberikan petunjuk dan saran demi kesempurnaan penulisan skripsi ini.

6. drh. Hiswani, M.Kes, selaku Dosen Penasehat Akademik yang membimbing penulis selama menjalani perkuliahan.

(8)

8. Seluruh dosen beserta staf Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

9. Kedua orangtua tercinta, Ayahanda Manahan Siregar dan Ibunda Asima Situmorang, S.Pd yang telah membesarkan dan mendidik penulis dengan penuh kasih sayang, memberi semangat serta doa dalam menyelesaikan pendidikan.

10. Suriadi I, S.Pd selaku Kepala Sekolah SMP Negeri 1 Dolok Masihul dan segenap guru dan staf di SMP Negeri 1 Dolok Masihul yang telah meluangkan waktunya membantu dan mengizinkan penulis dalam melakukan penelitian ini.

11. Adik tercinta Sonya MD Siregar yang telah memberi semangat serta doa dalam menyelesaikan skripsi ini.

12. Sahabat-sahabat penulis yaitu Novita, Tria, Jenifer, Sri, Putri, dan Meiliana yang selalu memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi.

13. Teman kost penulis (Yoan, Fristy, Melisa), Kelompok PBL Boangmanalu (Veni, Helen, Mariaty, Sri utari, Destri, Ika, Janah, Aslamiah, Raymond), Kelompok LKP Puskesmas Bestari (Grace, Lily), Teman-teman bimbingan penulis (Nenny, Theresya, Ulfa) atas kebersamaannya menghibur dan memberikan semangat, serta membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi.

(9)

sehingga diperlukan kritik dan saran yang membangun. Semoga Allah senantiasa melimpahkan karunia-Nya dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Medan, Januari 2018

(10)

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

ABSTRAK ... iii

ABSTRACT ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL... x

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

RIWAYAT HIDUP ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Rumusan Masalah ... 4 1.3 Tujuan Penelitian ... 5 1.3.1 Tujuan Umum ... 5 1.3.2 Tujuan Khusus ... 5 1.4 Manfaat Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Stunting ... 6

2.2 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Stunting ... 7

2.3 Dampak Stunting ... 11

2.4 Pola Makan... 13

2.4.1 Pola Makan Anak Stunting... 14

2.4.2 Kebutuhan Protein ... 15 2.4.3 Kebutuhan Kalsium ... 16 2.4.4 Kebutuhan Fosfor ... 17 2.4.5 Kebutuhan Vitamin ... 18 2.4.6 Kebutuhan Magnesium ... 19 2.4.7 Kebutuhan Seng ... 20

2.5 Kaitan Pola Makan dengan Stunting ... 21

2.6 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pola Makan ... 22

2.7 Kerangka Konsep ... 24

BAB III METODE PENELITIAN ... 25

3.1 Jenis Penelitian ... 25

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 25

3.3 Populasi dan Sampel ... 25

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 25

(11)

3.7 Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 28

3.7.1 Pengolahan Data... 28

3.7.2 Analisis Data ... 29

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 30

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 30

4.2 Karakteristik Siswa Stunting di SMP Negeri 1 Dolok Masihul ... 30

4.3 Siswa Stunting ... 32

4.4 Pola Makan... 33

4.4.1 Jumlah Makanan ... 33

4.4.2 Jenis Makanan ... 35

4.4.3 Frekuensi Makan ... 35

4.5 Pola Makan Berdasarkan Kategori Stunting ... 37

4.5.1 Jumlah Asupan Makanan Berdasarkan Kategori Stunting ... 37

4.5.2 Jenis Makanan Berdasarkan Kategori Stunting... 41

BAB V PEMBAHASAN ... 42

5.1 Pola Makan... 42

5.1.1 Jumlah Makanan ... 42

5.1.2 Jenis Makanan ... 42

5.1.3 Frekuensi Makan ... 43

5.2 Pola Makan Berdasarkan Kategori Stunting ... 44

5.2.1 Jumlah Asupan Zat Gizi Makro Berdasarkan Kategori Stunting .. 44

5.2.2 Jumlah Asupan Zat Gizi Mikro Berdasarkan Kategori Stunting .. 46

5.2.3 Jenis Makanan Berdasarkan Kategori Stunting... 52

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... 53

6.1 Kesimpulan ... 53

6.2 Saran ... 53

DAFTAR PUSTAKA ... 54 LAMPIRAN

(12)

Tabel 2.1 Angka Kecukupan Protein pada Anak Usia (13-15) Tahun ... 16

Tabel 2.2 Angka Kecukupan Kalsium pada Anak Usia (13-15) Tahun ... 17

Tabel 2.3 Angka Kecukupan Fosfor pada Anak Usia (13-15) Tahun ... 18

Tabel 2.4 Angka Kecukupan Vitamin pada Anak Usia (13-15) Tahun ... 19

Tabel 2.5 Angka Kecukupan Magnesium pada Anak Usia (13-15) Tahun ... 19

Tabel 2.6 Angka Kecukupan Seng pada Anak Usia (13-15) Tahun ... 20

Tabel 4.1 Karakteristik Siswa Stunting di SMP Negeri 1 Dolok Masihul ... 31

Tabel 4.2 Distribusi Siswa Stunting di SMP Negeri 1 Dolok Masihul ... 32

Tabel 4.3 Distribusi Stunting Berdasarkan Jenis Kelamin di SMP Negeri 1 Dolok Masihul ... 32

Tabel 4.4 Distribusi Stunting Berdasarkan Umur di SMP Negeri 1 Dolok Masihul. ... 33

Tabel 4.5 Distribusi Kecukupan Energi, Protein, Kalsium, Fosfor, Magnesium, Seng, Vitamin A, Vitamin C dan Besi Siswa Stunting di SMP Negeri 1 Dolok Masihul ... 34

Tabel 4.6 Distribusi Jenis Makanan Siswa Stunting di SMP Negeri 1 ... 35

Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Makan Siswa Stunting di SMP Negeri 1 ... 36

Tabel 4.8 Tabulasi Silang Kecukupan Energi Berdasarkan Kategori Stunting ... 37

Tabel 4.9 Tabulasi Silang Kecukupan Protein Berdasarkan Kategori Stunting ... 37

Tabel 4.10 Tabulasi Silang Kecukupan Kalsium Berdasarkan Kategori Stunting ... 38

(13)

Tabel 4.14 Tabulasi Silang Kecukupan Vitamin A Berdasarkan Kategori

Stunting. ... 40 Tabel 4.15 Tabulasi Silang Kecukupan Vitamin C Berdasarkan Kategori

Stunting. ... 40 Tabel 4.16 Tabulasi Silang Kecukupan Besi Berdasarkan Kategori Stunting ... 41 Tabel 4.17 Tabulasi Silang Jenis Makanan Berdasarkan Kategori Stunting ... 41

(14)
(15)

Lampiran 2. Formulir Metode Food Recall 24 Jam ... 58

Lampiran 3. Formulir Frekuensi Makanan... 59

Lampiran 4. Tabel Master Data ... 60

Lampiran 5. Surat Selesai Penelitian ... 75

Lampiran 6. Dokumentasi ... 76

(16)

Penulis bernama lengkap Theresia Sarimauli Siregar, lahir di Tebing Tinggi pada tanggal 22 Oktober 1995 dari pasangan Ayah Manahan Siregar yang bersuku bangsa Batak Toba dan Ibu Asima Situmorang, S.Pd yang bersuku bangsa Batak Toba dan menganut agama Kristen Protestan. Penulis merupakan anak sulung dari dua bersaudara.

Penulis mengawali pendidikan formal pada tahun 2001 di SDN 163088 Tebing Tinggi. Dilanjutkan ke SMPN 4 Tebing Tinggi dan tamat pada Tahun 2010. Di tahun yang sama penulis melanjutkan sekolah ke SMAN 4 Tebing Tinggi dan tamat pada Tahun 2013. Penulis melanjutkan pendidikan Sarjana di Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara kemudian mengambil peminatan Gizi Kesehatan Masyarakat Tahun 2013.

(17)

Masalah gizi adalah gangguan kesehatan dan kesejahteraan seseorang, kelompok orang atau masyarakat sebagai akibat adanya ketidakseimbangan antara asupan (intake) dengan kebutuhan tubuh akan makanan dan pengaruh interaksi penyakit (infeksi). Ketidakseimbangan ini bisa mengakibatkan gizi kurang maupun gizi lebih. Saat ini, kondisi gizi dunia menunjukkan dua kondisi yang ekstrim. Mulai dari kelaparan sampai pola makan yang mengikuti gaya hidup yaitu rendah serat dan tinggi kalori, serta kondisi kurus dan pendek sampai kegemukan. Hal yang sama juga terjadi di Indonesia.

Kekurangan zat gizi yang berlanjut akan menyebabkan status gizi kurang dan gizi buruk. Apabila tidak ada perbaikan konsumsi energi dan protein yang mencukupi, tubuh akan mudah terserang penyakit infeksi (Cakrawati dan Mustika, 2011). Maka hal ini dapat mempengaruhi proses pertumbuhan tinggi badan anak sehingga anak memiliki tubuh yang cenderung pendek.

Secara umum gizi buruk disebabkan karena asupan makanan yang tidak mencukupi dan penyakit infeksi. Terdapat dua kelompok zat gizi yaitu zat gizi makro dan zat gizi mikro (Admin, 2008). Zat gizi makro merupakan zat gizi yang menyediakan energi bagi tubuh dan diperlukan dalam pertumbuhan termasuk di dalamnya adalah karbohidrat, protein, dan lemak, sedangkan zat gizi mikro merupakan zat gizi yang diperlukan untuk menjalankan fungsi tubuh lainnya,

(18)

misalnya dalam memproduksi sel darah merah tubuh memerlukan zat besi. Termasuk di dalamnya adalah vitamin dan mineral.

Stunting merupakan kegagalan untuk mencapai pertumbuhan optimal yang

disebabkan oleh keadaan gizi kurang yang berlangsung dalam waktu yang lama. Status stunting dihitung dengan menggunakan baku antropometri WHO 2007 untuk anak umur 5-19 tahun yaitu dengan menghitung nilai Z-score TB/U masing-masing anak (UNICEF, 2013).

Stunting tidak hanya disebabkan oleh satu faktor saja, tetapi disebabkan

oleh banyak faktor dimana faktor-faktor tersebut saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Ada tiga faktor utama penyebab stunting, yaitu asupan makan tidak seimbang (berkaitan dengan kandungan zat gizi dalam makanan, yaitu karbohidrat, protein, lemak, mineral, vitamin, dan air) riwayat berat lahir badan rendah (BBLR) dan riwayat penyakit (UNICEF, 2007).

Di Indonesia, diperkirakan 7,8 juta anak mengalami stunting, data ini berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh UNICEF dan memposisikan Indonesia masuk ke dalam 5 besar negara dengan jumlah anak yang mengalami stunting tinggi (UNICEF, 2007). Data Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2013 diketahui bahwa prevalensi kejadian stunting pada anak umur 13-15 tahun adalah 35,1% dimana terdiri dari 13,8% sangat pendek dan 21,3% pendek. Serdang Bedagai merupakan salah satu kabupaten yang terdapat di provinsi Sumatera Utara. Prevalensi stunting pada tahun 2015 di Kabupaten Serdang Bedagai adalah 26,2% dimana terdiri dari 9,5% sangat pendek dan 16,7% pendek.

(19)

Masalah gizi, khususnya anak pendek, menghambat perkembangan anak muda dengan dampak negatif yang akan berlangsung dalam kehidupan selanjutnya. Anak-anak pendek menghadapi kemungkinan yang lebih besar untuk tumbuh menjadi orang dewasa kurang sehat dan lebih rentan terhadap penyakit tidak menular. Oleh karena itu, anak pendek merupakan prediktor buruknya kualitas sumber daya manusia yang diterima secara luas yang selanjutnya menurunkan kemampuan produktif suatu bangsa di masa yang akan datang (Unicef Indonesia, 2012).

Anak dengan status gizi stunting akan mengalami gangguan pertumbuhan hingga masa remaja sehingga pertumbuhan anak lebih rendah dibandingkan remaja normal. Remaja yang stunting berisiko mendapatkan penyakit kronik salah satunya adalah obesitas. Remaja stunting berisiko obesitas dua kali lebih tinggi dari pada remaja yang tinggi badannya normal (Riskesdas 2010).

Berdasarkan penelitian Setijowati (2005), bahwa rendahnya TB/U dikarenakan rendahnya asupan kalori dan protein yang tentunya ditunjang dengan rendahnya konsumsi yodium dan seng, akibatnya berpengaruh terhadap tinggi badan selain perlu suplementasi double micronutrien (yodium dan seng) juga perlu diperhatikan status gizi awalnya (cukup atau tidaknya konsumsi kalori dan protein). Menurut penelitian Hidayati, dkk (2010), bahwa asupan zat besi kurang dari 80 % dari AKG (angka kecukupan gizi) yang dianjurkan memiliki 3,46 kali lebih besar akan menjadi stunting dibandingkan dengan anak yang asupannya cukup.

(20)

Anak SMP dikategorikan kedalam usia remaja. Remaja berada pada fase pertumbuhan yang pesat (Growth Spurt) sehingga dibutuhkan zat gizi yang relatif lebih besar jumlahnya. Pada perempuan Growth spurt dimulai sejak usia 11 sampai 14 tahun. Sedangkan pada laki – laki akan ada pertumbuhan yang linear mulai dari usia remaja menengah yakni 15 sampai 17 tahun. Pada fase pertumbuhan yang pesat ini anak yang stunting berpotensi untuk mengejar ketertinggalannya dengan memperhatikan asupan makanan yang mengandung zat gizi makro (energi dan protein) dan zat gizi mikro (kalsium, fosfor, magnesium, seng, vitamin A, vitamin C, dan besi).

SMP Negeri 1 Dolok Masihul merupakan SMP tertua di Kecamatan Dolok Masihul Kabupaten Serdang Bedagai. Sekolah ini terletak di Desa Martebing. Berdasarkan survei awal yang dilakukan dengan pengukuran TB/U, dari 50 siswa terdapat 30 (60 %) siswa yang stunting. Rata-rata mata pencaharian orang tua siswa stunting sebagai petani dengan status ekonomi menengah ke bawah yang memungkinkan konsumsi pangan rendah. Kebanyakan dari siswa tidak sarapan pagi dan tidak membawa bekal ke sekolah, sehingga diwaktu istirahat mereka memilih mengkonsumsi jajanan di sekolah, seperti bakso, gorengan, mie instan, makanan ringan dan softdrink.

Hal tersebut membuat peneliti tertarik untuk melihat gambaran pola makan siswa stunting di SMP Negeri 1 Dolok Masihul.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas yang menjadi permasalahan adalah belum diketahuinya gambaran pola makan siswa stunting di SMP Negeri 1 Dolok

(21)

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui gambaran pola makan siswa stunting di SMP Negeri 1 Dolok Masihul.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Mengetahui pola makan siswa stunting berdasarkan jumlah makanan, frekuensi makanan dan jenis makanan di SMP Negeri 1 Dolok Masihul.

2. Mengetahui kecukupan gizi makro (energi dan protein) siswa stunting di SMP Negeri 1 Dolok Masihul.

3. Mengetahui kecukupan gizi mikro (kalsium, fosfor, magnesium, seng, vitamin A, vitamin C, dan besi) siswa stunting di SMP Negeri 1 Dolok Masihul.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Memberikan masukan kepada pihak sekolah untuk memberikan pendidikan tentang pemenuhan gizi pada remaja, khususnya siswa stunting tentang pola makan yang baik.

2. Memberikan pengetahuan kepada siswa stunting di SMP Negeri 1 Dolok Masihul tentang pola makan yang baik untuk pemenuhan zat gizi yang dibutuhkan pada usia sekolah.

(22)

Stunting merupakan salah satu bentuk kelainan gizi dari segi ukuran tubuh

yang ditandai dengan keadaan tubuh yang pendek hingga melampaui defisit -2SD di bawah standar WHO (WHO, 2010).

Stunting terjadi akibat kegagalan pada saat proses tumbuh kembang

seorang anak karena kondisi kesehatan dan asupan gizi yang tidak optimal.

Stunting sering berkaitan erat dengan kondisi sosial ekonomi, paparan suatu

penyakit, dan asupan gizi yang kurang secara kuantitas dan kualitas (WHO, 2014). Stunting menurut WHO Child Growth Standar didasarkan pada indeks panjang badan dibanding umur (PB/U) atau tinggi badan dibanding umur (TB/U) dengan batas (z-score) kurang dari -2 SD (WHO,2010).

Stunting terbagi atas dua kategori, yaitu sangat pendek dan pendek.

Dikatakan sangat pendek apabila nilai z-score < -3 SD dan dikatakan pendek apabila nilai z-score -3 SD sampai dengan < -2 SD.

Stunting (pendek) atau kurang gizi kronik adalah suatu bentuk lain dari kegagalan pertumbuhan. Kurang gizi kronik adalah keadaan yang sudah terjadi sejak lama, bukan seperti kurang gizi akut. Anak yang mengalami stunting sering terlihat memiliki badan normal yang proporsional, namun sebenarnya tinggi badannya lebih pendek dari tinggi badan normal yang dimiliki anak seusianya.

Stunting merupakan proses kumulatif dan disebabkan oleh asupan zat-zat gizi

(23)

Stunting dapat juga terjadi sebelum kelahiran dan disebabkan oleh asupan gizi

yang sangat kurang saat masa kehamilan, pola asuh makan yang sangat kurang, rendahnya kualitas makanan sejalan dengan frekuensi infeksi sehingga dapat menghambat pertumbuhan (UNICEF, 2009).

Stunting yang telah tejadi bila tidak diimbangi dengan tumbuh kejar akan

mengakibatkan menurunnya pertumbuhan. Masalah stunting merupakan masalah kesehatan masyarakat yang berhubungan dengan meningkatnya risiko kesakitan, kematian dan hambatan pada pertumbuhan baik motorik maupun mental. Stunting dibentuk oleh kegagalan pertumbuhan dan tumbuh kejar yang tidak memadai yang mencerminkan ketidakmampuan untuk mencapai pertumbuhan optimal. Hal tersebut mengungkapkan bahwa kelompok balita yang lahir dengan berat badan normal dapat mengalami stunting bila pemenuhan kebutuhan selanjutnya tidak terpenuhi dengan baik (Rachim, 2016).

2.2 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Stunting

1. Asupan Makanan

Kurangnya asupan nutrisi untuk anak akan menyebabkan bertambahnya jumlah anak dengan growth faltering (gangguan pertumbuhan) (Kusharisupeni, 2011). Asupan makanan yang tidak memadai dan penyakit merupakan penyebab langsung masalah gizi ibu dan anak yang disebabkan praktek pemberian makan bayi dan anak yang tidak tepat, penyakit infeksi yang berulang terjadi, perilaku kebersihan dan pengasuhan yang buruk. Pada akhirnya, semua ini disebabkan oleh faktor-faktor seperti kurangnya pendidikan dan pengetahuan pengasuh anak,

(24)

penggunaan air yang tidak bersih, lingkungan yang tidak sehat, keterbatasan akses ke pangan dan pendapatan (UNICEF Indonesia, 2012).

Menurut Wahlqvist dan Tienboon dalam penelitian Fitri (2012), bahwa terhambatnya pertumbuhan pada bayi dan anak-anak tercermin dalam ketinggian yang tidak sesuai dengan usia, merupakan contoh adaptasi pada asupan energi rendah dalam waktu yang lama. Stunting mencerminkan kekurangan gizi kronis dan terdeteksi sebagai gangguan pertumbuhan linier. Seorang bayi yang stunting dan anak usia dini telah secara konsisten ditemukan mempengaruhi kesehatan individu baik jangka pendek dan jangka panjang.

2. Berat Lahir

Berat badan lahir adalah berat badan bayi ketika lahir atau paling lambat sampai bayi berumur 1 hari dilihat dari KMS (Kartu Menuju Sehat) dimana bila berat badan lahir kurang dari 2500 gram berarti berat badan lahir rendah dan bila lebih dari atau sama dengan 2500 gram berarti normal. Berat badan lahir rendah banyak dihubungkan dengan tinggi badan yang kurang atau stunting pada balita (Kusharisupeni, 2002).

Hasil penelitian Nasution, dkk, (2014) berat badan lahir rendah berhubungan dengan kejadian stunting pada anak usia 6-24 bulan di Kota Yogyakarta. Anak dengan riwayat kelahiran BBLR berisiko 5,6 kali lebih besar untuk menjadi stunting dibandingkan anak dengan riwayat kelahiran normal. Kondisi ini dapat terjadi karena pada bayi yang lahir dengan BBLR sejak dalam kandungan telah mengalami retardasi pertumbuhan interauterin dan akan berlanjut sampai usia selanjutnya setelah dilahirkan yaitu mengalami pertumbuhan dan

(25)

perkembangan yang lebih lambat dari bayi yang dilahirkan normal dan sering gagal menyusul tingkat pertumbuhan yang seharusnya dicapai pada usianya setelah lahir.

Penelitian Oktarina dan Sudiarti (2013), menunjukkan bahwa ditemukan hubungan antara berat lahir dengan kejadian stunting pada balita. Balita yang memiliki berat lahir kurang mempunyai risiko 1,31 kali mengalami stunting dibandingkan dengan balita berat lahir normal.

3. Tingkat Pendidikan Ibu

Pendidikan ibu merupakan faktor yang sangat penting. Tinggi rendahnya tingkat pendidikan ibu erat kaitannya dengan tingkat pengetahuan terhadap perawatan kesehatan, kehamilan dan pasca persalinan, serta kesadaran terhadap kesehatan dan gizi anak-anak dan keluarganya. Di samping itu, pendidikan berpengaruh pula pada faktor sosial ekonomi lainnya seperti pendapatan, pekerjaan, kebiasaan hidup, makanan, perumahan, dan tempat tinggal. Tingkat pendidikan turut pula menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang mereka peroleh. Hal ini bisa dijadikan landasan untuk membedakan metode penyuluhan yang tepat. Dari kepentingan gizi keluarga, pendidikan diperlukan agar seseorang lebih tanggap terhadap adanya masalah gizi didalam keluarga dan bisa mengambil tindakan secepatnya (Suhardjo, 2003).

Berdasarkan penelitian Aramico, dkk (2013) ada hubungan yang signifikan antara pendidikan ibu dengan status gizi. Pendidikan ibu yang rendah

(26)

berisiko lebih besar pada kejadian stunting (34,4%), dibandingkan dengan pendidikan ibu tinggi (11%).

Hasil penelitian Rahayu dan Khairiyati (2014), juga menunjukkan bahwa ada hubungan tingkat pendidikan ibu dengan kejadian stunting pada anak umur 6-23 bulan di wilayah Puskesmas Cempaka, Banjarbaru. Tingkat pendidikan, khususnya tingkat pendidikan ibu mempengaruhi derajat kesehatan. Hal ini terkait peranannya yang paling banyak pada pembentukan kebiasaan makan anak karena ibulah yang mempersiapkan makanan mulai mengatur menu, berbelanja, memasak, menyiapkan makanan, dan mendistribusikan makanan.

4. Besarnya Keluarga

Hubungan antara laju kelahiran yang tinggi dan kurang gizi sangat nyata pada masing-masing keluarga. Sumber pangan keluarga, terutama mereka yang sangat miskin akan lebih mudah memenuhi kebutuhan makanannya jika yang harus diberi makanan jumlahnya sedikit. Pangan yang tersedia untuk suatu keluarga yang besar mungkin cukup untuk keluarga yang besarnya setengah dari keluarga tersebut, tetapi tidak cukup untuk mencegah gangguan gizi dan memenuhi asupan gizi yang cukup untuk keluarga yang besar tersebut.

Penelitian Oktarina dan Sudiarti (2013), menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara jumlah anggota rumah tangga dengan kejadian stunting pada balita. Balita dari keluarga dengan jumlah anggota rumah tangga banyak lebih berisiko 1,34 kali mengalami stunting dibandingkan dengan balita dari keluarga dengan jumlah anggota rumah tangga cukup.

(27)

5. Status Ekonomi Keluarga

Berdasarkan penelitian Nurmiati dalam Oktari (2015), yang melakukan penelitian tentang pertumbuhan dan perkembangan pada anak balita yang mengalami stunting menyatakan bahwa pertumbuhan dan perkembangan kelompok anak normal lebih baik daripada kelompok anak stunting. Pada keadaan

stunting, tinggi badan anak tidak memenuhi tinggi badan normal menurut

umurnya. Anak yang pendek berkaitan erat dengan kondisi yang terjadi dalam waktu yang lama seperti kemiskinan, perilaku hidup bersih dan sehat yang kurang, kesehatan lingkungan yang kurang baik, pola asuh yang kurang baik, dan rendahnya tingkat pendidikan. Oleh karena itu, masalah kependekan merupakan cerminan dari keadaan sosial ekonomi masyarakat. Masalah gizi pendek diakibatkan oleh keadaan yang berlangsung lama maka ciri masalah gizi yang ditunjukkan oleh balita pendek adalah masalah gizi yang sifatnya kronis.

Hasil penelitian Aramico, dkk (2013) menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara penghasilan orang tua dengan status gizi. Penghasilan orang tua rendah berisiko 7,84 kali lebih besar menyebabkan stunting dibandingkan dengan penghasilan orang tua tinggi, masing-masing dengan status gizi stunting 55,8% dan 13,9%.

2.3 Dampak Stunting

Stunting dapat memberikan dampak bagi kelangsungan hidup anak. WHO

(2013) membagi dampak yang diakibatkan oleh stunting menjadi dua yang terdiri dari jangka pendek dan jangka panjang. Dampak jangka pendek dari stunting adalah di bidang kesehatan yang dapat menyebabkan peningkatan mortalitas dan

(28)

morbiditas, di bidang perkembangan berupa penurunan perkembangan kognitif, motorik, bahasa, dan di bidang ekonomi berupa peningkatan pengeluaran untuk biaya kesehatan. Stunting juga dapat menyebabkan dampak jangka panjang di bidang kesehatan berupa perawakan yang pendek, peningkatan risiko untuk obesitas dan komorbidnya, dan penurunan kesehatan reproduksi, di bidang perkembangan berupa penurunan prestasi dan kapasitas belajar, dan di bidang ekonomi berupa penurunan kemampuan dan kapasitas kerja.

Menurut penelitian Hoddinott, dkk (2013) menunjukkan bahwa stunting pada usia 2 tahun memberikan dampak yang buruk berupa nilai sekolah yang lebih rendah, berhenti sekolah, akan memiliki tinggi badan yang lebih pendek, dan berkurangnya kekuatan genggaman tangan sebesar 22%. Stunting pada usia 2 tahun juga memberikan dampak ketika dewasa berupa pendapatan perkapita yang rendah dan juga meningkatnya probabilitas untuk menjadi miskin. Stunting juga berhubungan terhadap meningkatnya jumlah kehamilan dan anak di kemudian hari, sehingga Hoddinott menyimpulkan bahwa pertumbuhan yang terhambat di kehidupan awal dapat memberikan dampak buruk terhadap kehidupan, sosial, dan ekonomi seseorang.

Hasil penelitian Picauly dan Toy (2013), menunjukkan bahwa stunting berdampak sangat signifikan terhadap prestasi belajar anak. Stunting membuat kemampuan berpikir dan belajar siswa terganggu dan akhirnya kehadiran dan prestasi belajar siswa akan menurun dibandingkan dengan anak non stunting.

(29)

2.4 Pola Makan

Pola makan (food pattern) adalah kebiasaan memilih dan mengkonsumsi bahan makanan oleh sekelompok individu. Pola makan dapat memberi gambaran mengenai kualitas makan masyarakat. Pola makan adalah berbagai informasi yang dapat memberikan gambaran mengenai jumlah, jenis, dan frekuensi bahan makanan yang dimakan setiap hari oleh seseorang dan merupakan ciri khas untuk satu kelompok masyarakat tertentu. Sebenarnya pola konsumsi tidak dapat menentukan status gizi seseorang atau masyarakat secara langsung, namun hanya dapat digunakan sebagai bukti awal akan kemungkinan terjadinya kekurangan gizi seseorang atau masyarakat (Supariasa, 2001).

Pola makan dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain: kebiasaan, kesenangan, budaya, agama, taraf ekonomi, lingkungan alam, dan sebagainya. Sejak zaman dahulu kala, makanan selain untuk kekuatan/pertumbuhan, memenuhi rasa lapar, dan selera, juga mendapat tempat sebagai lambang kemakmuran, kekuasaan, ketentraman, dan persahabatan. Semua faktor diatas bercampur membentuk suatu ramuan yang kompak yang dapat disebut pola konsumsi (Santoso dan Ranti, 2004).

Banyak faktor yang mempengaruhi kebiasaan makan. Pertumbuhan remaja meningkatkan partisipasi dalam kehidupan sosial dan aktivitas remaja dapat menimbulkan dampak terhadap apa yang dimakan remaja tersebut. Remaja mulai dapat membeli dan mempersiapkan makanan untuk mereka sendiri dan biasanya remaja lebih suka makanan serba instant yang berasal dari luar rumah seperti fast food.

(30)

Pola makan terdiri dari : 1. Frekuensi makanan

Frekuensi makan adalah jumlah makan sehari-hari baik kualitatif maupun kuantitatif. Secara alamiah makanan diolah dalam tubuh melalui alat-alat pencernaan mulai dari mulut sampai usus halus. Lama makanan dalam lambung tergantung sifat dan jenis makanan.

2. Jenis makanan

Jenis makanan adalah variasi bahan makanan yang jika dimakan, dicerna, dan diserap akan menghasilkan paling sedikit susunan menu sehat dan seimbang.

2.4.1 Pola Makan Anak Stunting

Berdasarkan hasil penelitian Oktari (2015), mengatakan bahwa tingkat kecukupan energi anak stunting menurut kategori pendek dan sangat pendek didapatkan tingkat kecukupan energi yang mengalami defisit dengan kategori pendek sebesar 67,3 % dan kategori sangat pendek sebesar 75,0 %. Berdasarkan penelitian konsumsi rata-rata energi anak stunting sebanyak 1226,6 kkal per hari. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi energi anak stunting dalam sehari masih kurang dari Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang telah dianjurkan. Hal ini dapat diakibatkan oleh makanan yang dikonsumsi sehari-hari oleh anak stunting baik di rumah maupun dari luar rumah seperti jajanan belum bisa mencukupi kebutuhan energi yang dibutuhkan dalam sehari. Kebiasaan anak yang tidak sarapan pagi, jumlah asupan makanan pokok yang kurang, dan frekuensi makan makanan pokok yang dikonsumsi hanya dua kali juga mengakibatkan kebutuhan energi anak belum tercukupi.

(31)

2.4.2 Kebutuhan Protein

Pada tulang protein berfungsi dalam pembentukan jaringan tulang yang baru dan pergantian jaringan tulang yang rusak. Protein sangat bermanfaat bagi tubuh karena memiliki fungsi seperti pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan, pembentukan ikatan-ikatan esensial tubuh, mengatur keseimbangan air, memelihara netralitas tubuh, pembentukan antibodi, dan mengangkut zat-zat gizi.

Bahan makanan hewani merupakan sumber protein yang baik dalam jumlah maupun mutu, seperti telur, susu, daging, unggas, ikan, dan kerang. Sumber protein nabati adalah kacang kedelai dan hasilnya, seperti tempe dan tahu, serta kacang-kacangan lain. Kacang kedelai merupakan sumber protein nabati yang mempunyai mutu atau nilai biologi tertinggi (Almatsier, 2009).

Berdasarkan penelitian Solia (2014), tentang hubungan pola konsumsi makanan dan konsumsi susu dengan tinggi badan anak usia 6-12 tahun bahwa kecukupan protein dari konsumsi makanan dengan tinggi badan anak SD terdapat hubungan yang bermakna antara kecukupan asupan protein dengan tinggi badan anak. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Regar dan Sekartini dalam Solia (2014), pada anak usia 5 - 7 tahun di kelurahan Kampung Melayu Jakarta Timur yaitu terdapat hubungan yang bermakna antara kecukupan asupan protein terhadap indeks TB/U. Seseorang yang konsumsi proteinnya baik maka proses pertumbuhan akan berjalan lancar dan sistem kekebalan tubuh tidak akan terganggu dengan demikian tinggi badan akan terjaga dan tubuh tidak mudah terkena infeksi sehingga berpengaruh positif terhadap tinggi badan seseorang.

(32)

Penelitian Dewi dan Adhi (2016), juga menyatakan bahwa protein memiliki pengaruh yang bermakna terhadap kejadian stunting.

Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (2013), angka kecukupan protein yang dianjurkan (per orang dalam sehari) pada anak usia 13-15 tahun dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.1 Angka Kecukupan Protein pada Anak Usia 13-15 Tahun.

Usia Jenis Kelamin Berat Badan Tinggi Badan Protein (kg) (cm) (g) 13-15 tahun Laki-laki 46 158 72 13-15 tahun Perempuan 46 155 69

Sumber: Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2013

2.4.3 Kebutuhan Kalsium

Fungsi kalsium bagi tubuh yaitu pembentukan tulang dan gigi, mengatur pembekuan darah, katalisator reaksi-reaksi biologik, dan kontraksi otot. Beberapa fungsi lainnya adalah meningkatkan fungsi transport membrane sel, kemungkinan dengan bertindak sebagai stabilisator membran, dan transmisi ion melalui membran organel sel. Kalsium merupakan mineral terbanyak dalam tubuh dan sebanyak 99 persen terdapat dalam tulang dan gigi.

Sumber kalsium utama adalah susu dan hasil susu, seperti keju. Serealia, kacang-kacangan dan hasil kacang-kacangan, tahu, tempe dan sayuran hijau merupakan sumber kalsium yang baik juga. Susu merupakan sumber terbaik kalsium karena ketersediaan biologiknya yang tinggi (Almatsier, 2009).

Berdasarkan penelitian Solia (2014), tentang hubungan pola konsumsi makanan dan konsumsi susu dengan tinggi badan anak usia 6-12 tahun bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara kecukupan kalsium dari konsumsi susu

(33)

Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (2013), angka kecukupan kalsium yang dianjurkan (per orang dalam sehari) pada anak usia 13-15 tahun dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.2 Angka Kecukupan Kalsium pada Anak Usia 13-15 Tahun. Usia Jenis Kelamin Kalsium

(mg) 13-15 tahun Laki-laki 1200 13-15 tahun Perempuan 1200

Sumber: Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2013

2.4.4 Kebutuhan Fosfor

Fungsi fosfor bagi tubuh, yaitu klasifikasi tulang dan gigi, mengatur pengalihan energi, absorpsi dan transportasi zat gizi, bagian dari ikatan tubuh esensial, dan pengaturan keseimbangan asam-basa.

Fosfor banyak terdapat di dalam semua makanan terutama makanan kaya protein, seperti daging, ayam, ikan, telur, susu dan hasilnya, kacang-kacangan dan hasilnya, serta serealia (Almatsier, 2009).

Hasil penelitian Sari, dkk (2016) tentang asupan protein, kalsium, dan fosfor pada anak stunting dan tidak stunting usia 24-59 bulan menunjukkan rata-rata asupan fosfor dalam setahun terakhir signifikan lebih rendah pada anak

stunting daripada anak tidak stunting.

Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (2013), angka kecukupan fosfor yang dianjurkan (per orang dalam sehari) pada anak usia 13-15 tahun dapat dilihat pada tabel berikut:

(34)

Tabel 2.3 Angka Kecukupan Fosfor pada Anak Usia 13-15 Tahun. Usia Jenis Kelamin Fosfor

(mg) 13-15 tahun Laki-laki 1200 13-15 tahun Perempuan 1200

Sumber: Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2013

2.4.5 Kebutuhan Vitamin

Vitamin adalah zat-zat organik kompleks yang dibutuhkan dalam jumlah sangat kecil dan pada umumnya tidak dapat dibentuk oleh tubuh. Oleh karena itu, harus didatangkan dari makanan. Vitamin termasuk kelompok zat pengatur pertumbuhan dan pemeliharaan kehidupan (Almatsier, 2009). Vitamin A berpengaruh terhadap sintetis protein dalam pertumbuhan sel. Vitamin A dibutuhkan untuk perkembangan tulang dan sel epitel yang membentuk email dalam pertumbuhan gigi. Pada kekurangan vitamin A, pertumbuhan tulang terhambat dan bentuk tulang tidak normal. Begitu juga dengan vitamin C yang berfungsi untuk membantu absorpsi kalsium yang berpengaruh terhadap pertumbuhan (Cakrawati dan Mustika, 2011).

Vitamin A terdapat di dalam pangan hewani, seperti hati, kuning telur, susu (didalam lemaknya), namun pada sayuran dan buah-buahan juga banyak seperti daun singkong, kangkung, bayam, kacang panjang, buncis, wortel, tomat, jagung kuning, pepaya, mangga, nangka masak, dan jeruk. Beberapa bahan makanan yang mengandung vitamin C pada umumnya hanya terdapat dalam pangan nabati, yaitu sayur dan buah terutama yang asam, seperti jeruk, nenas, rambutan, jambu biji, pepaya, dan tomat. Vitamin C juga banyak terdapat dalam sayuran seperti daun singkong, daun katuk, sawi, kol, kembang kol, bayam, dan kangkung.

(35)

Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (2013), angka kecukupan vitamin yang dianjurkan (per orang dalam sehari) pada anak usia 13-15 tahun dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.4 Angka Kecukupan Vitamin pada Anak Usia 13-15 Tahun. Usia Jenis Kelamin Vitamin A Vitamin C (mcg) (mg) 13-15 tahun Laki-laki 600 75

13-15 tahun Perempuan 600 65

Sumber: Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2013

2.4.6 Kebutuhan Magnesium

Magnesium berfungsi sebagai mineralisasi dalam tulang dan 50 persen magnesium dalam tubuh terdapat dalam tulang. Magnesium, fosfor, dan seng, ketiga mineral ini berfungsi sebagai mineralisasi dalam tulang, yaitu pelekatan kalsium dan mineral lain diantara serat protein. Mineralisasi ini memberikan kekuatan pada tulang (Devi, 2012). Sayuran yang berdaun hijau mengandung magnesium, semakin tua warnanya semakin tinggi kandungan magnesiumnya. Padi-padian, kacang-kacangan, daging, susu dan hasil olahannya serta cokelat juga mengandung kadar yang tinggi.

Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (2013), angka kecukupan magnesium yang dianjurkan (per orang dalam sehari) pada anak usia 13-15 tahun dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.5 Angka Kecukupan Magnesium pada Anak Usia 13-15 Tahun. Usia Jenis Kelamin Magnesium

(mg) 13-15 tahun Laki-laki 200 13-15 tahun Perempuan 200

(36)

2.4.7 Kebutuhan Seng

Seng berperan untuk pertumbuhan sel dan berkolerasi positif dengan pertumbuhan tinggi badan. Di saat anak-anak kekurangan seng dalam proses pertumbuhan yang lamban maka dengan jelas menunjukkan penurunan kadar seng dalam pembentukan susunan organ dan kapasitas pertumbuhan tubuh akan melambat pada saat yang bersamaan. Sumber seng paling baik adalah dari protein hewani, terutama daging, ayam, ikan, hati, kerang, dan telur. Serealia tumbuk dan kacang-kacangan juga merupakan sumber yang baik, namun mempunyai ketersediaan biologik yang rendah (Almatsier, 2010).

Hasil penelitian Trisnawati, dkk (2016) ada hubungan yang bermakna antara asupan seng (Zn) dengan kejadian stunting pada anak usia 24-59 bulan di Desa Kidang Kecamatan Praya Timur Kabupaten Lombok Tengah. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Mardewi dalam Trisnawati, dkk (2016) yang menyatakan terdapat pengaruh yang signifikan antara rendahnya asupan seng dengan kejadian stunting. Seng yang rendah menyebabkan penyebab

stunting dengan mekanisme kekurangan seng menimbulkan anoreksia sehingga

asupan energi rendah dan pertumbuhan terganggu.

Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (2013), angka kecukupan seng yang dianjurkan (per orang dalam sehari) pada anak usia 13-15 tahun dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.6 Angka Kecukupan Seng pada Anak Usia 13-15 Tahun. Usia Jenis Kelamin Seng

(mg) 13-15 tahun Laki-laki 18 13-15 tahun Perempuan 16

(37)

2.5 Kaitan Pola Makan dengan Stunting

Hasil penelitian Aramico, dkk (2013) menunjukkan bahwa pola makan dengan kategori kurang berisiko 6,01 kali lebih besar menyebabkan status gizi

stunting dibandingkan dengan pola makan dengan kategori cukup.

Berdasarkan penelitian Oktari (2015), sebagian besar siswa jarang mengonsumsi buah, hal ini dikarenakan anak lebih senang jajan jajanan ringan dibanding makan buah. Konsumsi susu pada anak stunting sangat kurang bahkan banyak yang tidak pernah mengonsumsi susu. Hal ini dikarenakan beberapa siswa tidak suka susu dan tidak biasa minum susu. Umumnya jajanan yang sering dikonsumsi anak adalah bakso dan chiki.

Hasil penelitian Pasaribu (2016), sebagian besar makanan pokok yang sering dikonsumsi siswa adalah nasi dengan persentase 100%. Konsumsi sumber protein dari lauk hewani yang sering dikonsumsi siswa adalah ikan dengan persentase 79,0% dan telur 67,8%, sementara lauk hewani lainnya yang sebagian besar jarang dikonsumsi siswa adalah daging (91,9%), udang (91,3%), dan daging ayam (87,1%). Sumber protein dari lauk nabati yang sering dikonsumsi siswa adalah tempe sebanyak 46,8% dan tahu 17,7%. Sumber vitamin dan mineral yang berasal dari sayur dan buah yang sering dikonsumsi siswa adalah daun singkong 14,5%, jeruk 11,3%, dan pisang 12,9%. Susu bubuk merupakan jenis susu yang sering dikonsumsi siswa dengan persentase 33,9%. Jajanan yang lebih sering dikonsumsi siswa selama di sekolah adalah biskuit dengan persentase 41,9%.

Pada penelitian Aritonang dalam Suci (2011), menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara pola makan dengan status gizi, penelitian tersebut dapat

(38)

disimpulkan bahwa pola makan dapat mempengaruhi status kesehatan masyarakat. Pola makan sangat erat kaitannya dengan berbagai jenis penyakit. Tubuh sangat membutuhkan zat gizi untuk melakukan aktivitas dan mencegah dari berbagai penyakit.

2.6 Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Pola Makan

Pemilihan makanan individu sangat kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti :

1. Jenis Kelamin

Menurut Brown dalam Sebayang (2012), pria lebih banyak membutuhkan energi dan protein daripada wanita. Hal ini dikarenakan pria lebih banyak melakukan aktivitas fisik daripada wanita. Oleh karena itu, kebutuhan kalori laki-laki akan lebih banyak daripada perempuan, sehingga laki-laki-laki-laki mengkonsumsi lebih banyak makanan. Selain itu banyak wanita yang sangat memperhatikan citra tubuhnya sehingga banyak dari mereka yang menunda makan bahkan mengurangi porsi makan sesuai kebutuhannya agar memiliki porsi tubuh yang sempurna. 2. Pengetahuan

Pengetahuan umum maupun pengetahuan tentang gizi dan kesehatan akan mempengaruhi komposisi dan konsumsi pangan seseorang, akan tetapi seseorang yang memiliki pengetahuan gizi belum tentu mengubah kebiasaan makannya (Khomsan, 2000). Geisler dalam Sebayang (2012), menyatakan bahwa pada umumnya seseorang dengan pengetahuan gizi akan memiliki asupan yang lebih baik, akan tetapi hanya memberikan pengetahuan, kebiasaan makan belum tentu menjadi lebih sehat. Kurangnya dukungan dari lingkungan (teman dan keluarga),

(39)

sulitnya mendapatkan makanan yang sehat, maupun kendala lainnya merupakan hambatan seseorang tidak merubah kebiasaan makannya ke arah lebih baik.

3. Teman Sebaya

Teman sebaya dapat mempengaruhi seseorang dalam mengkonsumsi suatu makanan. Pemilihan makanan tidak lagi didasarkan pada kandungan gizi, tetapi sekedar bersosialisasi, untuk kesenangan, dan supaya tidak kehilangan status (Khomsan, 2003). Pada periode remaja pertengahan 15-17 tahun, pengaruh teman sebaya lebih terlihat dalam hal pemilihan makanan (Brown dalam Sebayang, 2012).

Dalam penelitian Savitri (2009), ditemukan bahwa teman sebaya berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku konsumsi individu, yaitu dalam memilih jenis makanan.

(40)

2.8 Kerangka Konsep

Pola makan seseorang dikatakan baik jika memenuhi kecukupan zat gizi seperti zat gizi makro dan zat gizi mikro. Zat gizi makro terdiri dari energi dan protein, sedangkan zat gizi mikro terdiri dari kalsium, fosfor, magnesium, seng, besi, vitamin A, dan C. Pada siswa stunting keadaan gizi yang kurang pada awal kelahirannya diharapkan pada fase pertumbuhan cepat kedua ini dapat memenuhi kebutuhan zat gizinya, agar dapat mengejar ketertinggalan pertumbuhan tinggi badannya dibanding anak normal lainnya. Pada fase pertumbuhan ini siswa yang stunting berpotensi dalam mengejar ketertinggalannya dengan memperhatikan asupan makanan yang baik dan menunjang pertumbuhan tinggi badan.

Gambar 2.1 Kerangka Konsep

Pola Makan Siswa Stunting

Kecukupan Zat Gizi :

 Zat Gizi Makro (Energi, Protein)

 Zat Gizi Mikro (Kalsium, Fosfor, Magnesium, Seng, Besi, Vitamin A dan C)

(41)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian survei yang bersifat deskriptif dengan desain penelitian cross sectional yang bertujuan untuk melihat gambaran pola makan siswa stunting di SMP Negeri 1 Dolok Masihul.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di SMP Negeri 1 Dolok Masihul Kabupaten Serdang Bedagai.

Waktu penelitian dilakukan Agustus sampai dengan Oktober.

3.3 Populasi dan Sampel

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh siswa stunting yang diukur berdasarkan indeks antropometri TB/U di SMP Negeri 1 Dolok Masihul yang berjumlah 102 siswa. Sampel pada penelitian ini merupakan seluruh populasi.

3.4 Metode Pengumpulan Data 3.4.1 Data Primer

Data primer yang diperlukan dalam penelitian ini adalah pola makan dan tinggi badan siswa. Pengumpulan data pola makan dalam penelitian ini dilakukan dengan metode food recall 24 jam dan metode food frequency. Pengumpulan data tinggi badan dilakukan dengan mengukur tinggi badan siswa menggunakan

(42)

3.4.2 Data Sekunder

Data sekunder dalam penelitian ini adalah jumlah seluruh siswa dan jumlah siswa per kelas yang diperoleh dari catatan data siswa dari pihak sekolah SMP Negeri 1 Dolok Masihul.

3.5 Defenisi Operasional

1. Pola makan adalah informasi mengenai jenis, frekuensi, dan jumlah makanan yang dikonsumsi dalam sehari.

2. Jumlah makanan adalah banyaknya zat gizi makro (energi dan protein) dan zat gizi mikro (kalsium, fosfor, magnesium, seng, besi vitamin A dan vitamin C) yang dikonsumsi oleh siswa.

3. Frekuensi makan adalah seberapa sering seseorang mengonsumsi jenis makanan tertentu dalam satu hari atau satu minggu.

4. Jenis makanan adalah macam-macam makanan yang dikonsumsi dalam satu hari yang meliputi makanan pokok, lauk pauk, sayuran, buah, dan susu.

5. Stunting adalah suatu keadaan dimana siswa memiliki tinggi badan lebih

pendek dari anak seusianya yang dihitung berdasarkan indeks antropometri tinggi badan menurut umur (TB/U) dimana nilai Z-score <-2 SD.

3.6 Metode Pengukuran dan Instrumen 3.6.1 Metode Pengukuran

Adapun metode pengukuran dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut : 1. Pola Makan

(43)

Jumlah makanan diperoleh dari hasil wawancara recall 24 jam yang dilakukan 2 kali dan harinya tidak berturut-turut. Jumlah makanan diukur dengan menggunakan formulir food recall 24 jam dengan cara jumlah bahan makanan yang dikonsumsi siswa dihitung menggunakan software

nutrisurvey, untuk mengetahui banyaknya zat gizi makro (energi dan

protein) dan zat gizi mikro (kalsium, fosfor, magnesium, seng, vitamin A, vitamin C, dan besi) yang dikonsumsi siswa, kemudian dibandingkan dengan angka kecukupan gizi yang dianjurkan.

Konsumsi zat gizi

Tingkat Konsumsi = x 100% Angka kecukupan gizi (AKG)

Kategori energi dan protein adalah sebagai berikut (WNPG, 2004): 1. Lebih : > 110% AKG

2. Baik : 80 - 110% AKG 3. Kurang : < 80% AKG

Kategori vitamin dan mineral adalah sebagai berikut (WNPG, 2004): 1. Lebih : > 110% AKG

2. Baik : 80 - 110% AKG 3. Kurang : < 80% AKG

b. Frekuensi makan

Frekuensi makan diperoleh dengan melakukan wawancara kepada siswa/siswi menggunakan food frequency.

(44)

Frekuensi makan dikategorikan menjadi : 1. >1 kali sehari 2. 1 kali sehari 3. 1-3 kali seminggu 4. 4-6 kali seminggu 5. Tidak pernah c. Jenis makanan

Jenis makanan diperoleh dengan melakukan wawancara kepada siswa/siswi menggunakan food recall 24 jam. Jenis yang dimaksud tentang variasi makan. Selanjutnya jenis makanan dikategorikan sesuai dengan Pedoman Gizi Seimbang (2014) :

1. Beragam : Apabila dalam konsumsi makan utama terdiri dari makanan pokok, lauk-pauk (hewani atau nabati), sayuran dan buah buahan

2. Tidak Beragam : Apabila dalam konsumsi makan utama tidak ada salah satu dari makanan pokok, lauk-pauk (hewani atau nabati), sayuran dan buah-buahan

3.6.2 Instrumen

Pengumpulan data pola makan diperoleh dengan melakukan wawancara kepada siswa/siswi menggunakan formulir food recall 24 jam. Sedangkan pengumpulan data tinggi badan, yaitu menggunakan alat bantu microtoise.

(45)

3.7 Metode Pengolahan dan Analisis Data 3.7.1 Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan melalui tahap sebagai berikut : 1. Pengeditan data (editing)

Kegiatan ini dilakukan untuk meneliti setiap daftar pertanyaan yang telah diisi berkaitan dengan kelengkapan pengisian, kejelasan, relevansi, dan konsistensi jawaban dan koreksi terhadap kesalahan pengisian.

2. Pengodean data (coding)

Pemberian kode yang dimaksudkan untuk mempermudah pada saat analisis data dan juga mempercepat pada saat entry data, yaitu dengan memberikan kode pada pertanyaan penelitian dalam kuesioner.

3. Pemasukan data (entry)

Tahapan ini dilakukan dengan cara memasukkan data ke dalam komputer untuk diolah dan dianalisis.

4. Pengecekan data (cleaning)

Adalah pengecekan data yang sudah di entri, apakah ada kesalahan atau tidak.

3.7.2 Analisis Data

Data yang sudah selesai dikumpulkan kemudian akan diolah menggunakan aplikasi komputer dan akan disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi kemudian dapat dianalisis secara deskriptif.

(46)

BAB IV

HASIL PENELITIAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

SMP Negeri 1 terletak di Jalan Raya Dolok Masihul - Tebing Tinggi, Desa Martebing, Kecamatan Dolok Masihul, Kabupaten Serdang Bedagai.

Jumlah siswa di sekolah ini sebanyak 696 dengan jumlah guru sebanyak 47 orang termasuk kepala sekolah, staf tata usaha sebanyak 3 orang, dan pengurus perpustakaan 1 orang. Fasilitas sekolah terdiri dari 19 ruang kelas, ruang guru dan kepala sekolah, ruang BK, laboratorium IPA, laboratorium komputer, perpustakaan, ruang UKS, musholla, kamar mandi guru dan siswa, kantin, dan lapangan basket.

Proses belajar mengajar dilakukan setiap hari senin sampai hari sabtu. Kegiatan belajar mengajar dimulai pada pukul 07.30. Jajanan yang sering dikonsumsi siswa stunting di sekolah terdiri dari makanan ringan, mie instan, gorengan, bakso goreng, bakso bakar, minuman gelas dan minuman sachet yang memiliki rasa dan warna yang beragam.

4.2 Karakteristik Siswa Stunting di SMP Negeri 1 Dolok Masihul

Deskripsi karakteristik siswa stunting meliputi jenis kelamin, umur, pekerjaan orangtua, dan pendapatan orangtua. Distribusi berdasarkan karakteristik tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:

(47)

Tabel 4.1. Karakteristik Siswa Stunting di SMP Negeri 1 Dolok Masihul Karakteristik Siswa Stunting Jumlah Persentase Jenis Kelamin Laki-laki 48 47,1 Perempuan 54 52,9 Jumlah 102 100,0 Umur 12-13 tahun 55 53,9 14-15 tahun 46 45,1 16-17 tahun 1 1,0 Jumlah 102 100,0 Pekerjaan Orangtua Petani 45 44,1 Wiraswasta 20 19,6 Karyawan 21 20,6 PNS 1 1,0 Buruh 8 7,8 Asisten Rumah Tangga 1 1,0 Supir 4 3,9 TNI/POLRI 2 2,0 Jumlah 102 100,0 Pendapatan Orangtua Rp <1.000.000 34 33,3 Rp 1.000.000 – Rp 3.000.000 67 65,7 Rp >3.000.000 1 1,0 Jumlah 102 100,0

Berdasarkan tabel 4.1 di atas diketahui bahwa siswa stunting yang paling banyak terdapat pada jenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 54 orang (52,9%), sedangkan jenis kelamin laki-laki sebanyak 48 orang (47,1%). Siswa stunting paling banyak terdapat pada rentang umur 12-13 tahun yaitu sebanyak 55 orang (53,9%), sedangkan siswa stunting yang paling sedikit terdapat pada rentang umur 16-17 tahun yaitu sebanyak 1 orang (1,0%). Rata-rata pekerjaan orangtua siswa

stunting adalah sebagai petani yaitu sebanyak 45 orang (44,1%). Pendapatan

orangtua siswa stunting paling banyak berkisar Rp 1.000.000 – Rp 3.000.000 per bulan yaitu sebanyak 67 orang (65,7%).

(48)

4.3 Siswa Stunting

Stunting diperoleh dari hasil pengukuran tinggi badan anak yang kemudian

dilihat berdasarkan Z-score TB/U. Distribusi frekuensi status stunting dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 4.2 Distribusi Siswa Stunting di SMP Negeri 1 Dolok Masihul No Stunting Jumlah Persentase

1. Pendek 82 80,4 2. Sangat Pendek 20 19,6

Jumlah 102 100,0

Berdasarkan tabel 4.2 diatas dapat dilihat bahwa status stunting pendek yaitu sebanyak 82 orang (80,4%), sedangkan status stunting sangat pendek yaitu sebanyak 20 orang (19,6%).

Berikut distribusi siswa stunting berdasarkan jenis kelamin dan umur siswa SMP Negeri 1 Dolok Masihul.

Tabel 4.3 Distribusi Stunting Berdasarkan Jenis Kelamin di SMP Negeri 1 Dolok Masihul

Jenis Kelamin

Kategori Stunting

Pendek Sangat Pendek Total n % n % N %

Laki-laki 37 75,0 11 25,0 48 100 Perempuan 45 83,3 9 16,7 54 100

Berdasarkan tabel 4.3 diatas dapat dilihat bahwa siswa stunting dengan kategori pendek paling banyak pada anak perempuan yaitu sebanyak 45 orang (83,3%). Sedangkan siswa stunting dengan kategori sangat pendek paling banyak pada anak laki-laki yaitu sebanyak 11 orang (25,0%).

(49)

Tabel 4.4 Distribusi Stunting Berdasarkan Umur di SMP Negeri 1 Dolok Masihul

Umur

Kategori Stunting

Pendek Sangat Pendek Total n % n % N %

12 – 13 tahun 48 87,3 7 12,7 55 100 14 – 15 tahun 33 71,7 13 28,3 46 100 16 – 17 tahun 1 100,0 0 0 1 100

Berdasarkan tabel 4.4 diatas dapat dilihat bahwa siswa stunting dengan kategori pendek paling banyak pada rentang umur 12 – 13 tahun yaitu sebanyak 48 orang (87,3 %). Sedangkan siswa stunting dengan kategori sangat pendek paling banyak pada rentang umur 14 – 15 tahun yaitu sebanyak 13 orang (28,3%).

4.4 Pola Makan

4.4.1 Jumlah Asupan Makanan

Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa kecukupan energi dan protein pada siswa stunting paling banyak pada kategori kurang yaitu sebesar 98,0% dan 77,5%. Kecukupan kalsium paling banyak pada kategori kurang yaitu sebesar 98,0% , fosfor pada kategori kurang yaitu sebesar 92,2 %, magnesium pada kategori kurang yaitu sebesar 65,7 %, seng pada kategori kurang yaitu sebesar 97,1 %, vitamin A pada kategori kurang yaitu sebesar 88,2 %, vitamin C pada kategori kurang yaitu sebesar 92,2 %, dan besi pada kategori kurang yaitu sebesar 99,0 %.

Distribusi asupan energi, protein, kalsium, fosfor, magnesium, seng, vitamin A, vitamin C dan besi siswa stunting dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

(50)

Tabel 4.5 Distribusi Kecukupan Energi, Protein, Kalsium, Fosfor, Magnesium, Seng, Vitamin A, Vitamin C dan Besi Siswa

Stunting di SMP Negeri 1 Dolok Masihul

No Kecukupan Zat Gizi Jumlah Persentase 1 Energi Lebih 0 0 Baik 2 2,0 Kurang 100 98,0 Total 102 100,0 2 Protein Lebih 6 5,9 Baik 17 16,7 Kurang 79 77,5 Total 102 100,0 3 Kalsium Lebih 1 1,0 Baik 1 1,0 Kurang 100 98,0 Total 102 100,0 4 Fosfor Lebih 0 0 Baik 8 7,8 Kurang 94 92,2 Total 102 100,0 5 Magnesium Lebih 6 5,9 Baik 29 28,4 Kurang 67 65,7 Total 102 100,0 6 Seng Lebih 1 1,0 Baik 2 2,0 Kurang 99 97,1 Total 102 100,0 7 Vitamin A Lebih 0 0 Baik 12 11,8 Kurang 90 88,2 Total 102 100,0 8 Vitamin C Lebih 4 3,9 Baik 4 3,9 Kurang 94 92,2 Total 102 100,0 9 Besi Lebih 1 1,0 Baik 0 0 Kurang 101 99,0

(51)

4.4.2 Jenis Makanan

Distribusi jenis makanan siswa stunting SMP Negeri 1 dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 4.6 Distribusi Jenis Makanan Siswa Stunting di SMP Negeri 1 Jenis Makanan Jumlah Persentase

Beragam 9 8,8 Tidak Beragam 93 91,2

Jumlah 102 100,0

Berdasarkan tabel 4.6 diatas dapat dilihat bahwa jenis makanan siswa

stunting di SMP Negeri 1 paling banyak pada kategori tidak beragam yaitu

sebanyak 93 orang (91,2%).

4.4.3 Frekuensi Makan

Frekuensi makan dikategorikan menjadi >1x/hari, 1x/hari, 1-3x/minggu, 4-6x/minggu dan tidak pernah. Kategori tidak pernah yang dimaksud adalah tidak pernah mengonsumsi jenis makanan tertentu dalam jangka waktu satu minggu. Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa makanan pokok yang paling sering dikonsumsi oleh siswa stunting adalah nasi (100,0%) dengan frekuensi lebih dari satu kali sehari. Lauk hewani yang paling sering dikonsumsi oleh siswa

stunting adalah ikan (60,8%) dan telur (42,2%) dengan frekuensi lebih dari satu

kali per hari. Lauk nabati yang paling sering dikonsumsi siswa stunting adalah tempe (35,3%) dengan frekuensi lebih dari satu kali sehari.

Ternyata 22,5% siswa stunting mengkonsumsi kangkung setiap hari dan 21,6% mengkonsumsi daun singkong setiap hari. Jenis sayuran lainnya, seperti bayam, sawi hijau, wortel, kacang panjang, buncis, tauge, dan brokoli jarang dikonsumsi. Sama juga dalam mengonsumsi buah-buahan, sebagian besar siswa

(52)

stunting jarang mengonsumsi buah. Umumnya jajanan yang sering dikonsumsi

siswa stunting adalah gorengan dan makanan ringan. Hal ini dapat dilihat dari frekuensi dan jumlah siswa yang tergolong sering mengonsumsi jajanan tersebut. Frekuensi makan siswa stunting dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Makan Siswa Stunting di SMP Negeri 1

Jenis Makanan Frekuensi Makan

>1x/hari 1x/hari 4-6 1-3 Tidak Total x/minggu x/minggu Pernah

n % n % n % n % n % N % Makanan Pokok : Nasi 102 100,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 102 100 Roti 26 25,5 39 38,2 13 12,7 24 23,5 0 0,0 102 100 Jagung 1 1,0 2 2,0 4 3,9 71 69,6 24 23,5 102 100 Singkong 0 0,0 5 4,9 6 5,9 67 65,7 24 23,5 102 100 Lauk Hewani : Daging 0 0,0 5 4,9 15 14,7 68 66,7 14 13,7 102 100 Ayam 5 4,9 8 7,8 24 23,5 59 57,8 6 5,9 102 100 Ikan 62 60,8 11 10,8 14 13,7 15 14,7 0 0,0 102 100 Telur 43 42,2 21 20,6 18 17,6 20 19,6 0 0,0 102 100 Nabati : Tempe 36 35,3 25 24,5 9 8,8 30 29,4 2 2,0 102 100 Tahu 19 18,6 26 25,5 11 10,8 40 39,2 6 5,9 102 100 Sayuran : Bayam 18 17,6 15 14,7 19 18,6 41 40,2 9 8,8 102 100 Kangkung 23 22,5 16 15,7 20 19,6 33 32,4 10 9,8 102 100 Sawi Hijau 6 5,9 5 4,9 19 18,6 52 51,0 20 19,6 102 100 Daun Singkong 22 21,6 16 15,7 19 18,6 41 40,2 4 3,9 102 100 Kcg. Panjang 7 6,9 15 14,7 23 22,5 45 44,1 12 11,8 102 100 Wortel 12 11,8 5 4,9 21 20,6 50 49,0 14 13,7 102 100 Buncis 4 3,9 7 6,9 20 19,6 50 49,0 21 20,6 102 100 Tauge 2 2,0 4 3,9 13 12,7 63 61,8 20 19,6 102 100 Brokoli 3 2,9 2 2,0 12 11,8 64 62,7 21 20,6 102 100 Buah : Apel 6 5,9 10 9,8 16 15,7 54 52,9 16 15,7 102 100 Jeruk 18 17,6 24 23,5 18 17,6 37 36,3 5 4,9 102 100 Jambu Air 16 15,7 13 12,7 24 23,5 37 36,3 12 11,8 102 100 Jambu Biji 20 19,6 16 15,7 26 25,5 35 34,3 5 4,9 102 100 Mangga 9 8,8 12 11,8 22 21,5 47 46,1 12 11,8 102 100 Pisang 34 33,4 22 21,5 15 14,7 30 29,4 1 1,0 102 100 Pepaya 15 14,7 15 14,7 24 23,5 41 40,2 7 6,9 102 100 Pir 4 3,9 4 3,9 26 25,5 51 50,0 17 16,7 102 100 Rambutan 3 2,9 4 3,9 21 20,6 59 57,8 15 14,7 102 100 Semangka 5 4,9 7 6,9 20 19,6 56 54,9 14 13,7 102 100

Referensi

Dokumen terkait

Oleh kerana proses penilaian formal tidak dijalankan ke atas perisian modul BBM yang telah dibina maka kekuatan dan kelemahan sebenar perisian ini tidak dapa ditentukan. Akan tetapi,

Pertumbuhan Hasil dan Kualitas Umbi Bawang Merah pada Kadar Air Tanah dan Ketinggian Tempat Berbeda.. Bertanam Bawang Merah

Th e coeffi cients on the threat period variables in our primary specifi cation, operationalized in multiple ways, consistently fi nd that the volume of debt issuance in

Perencanaan strategis sistem informasi Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit Pengumpul Menengah Di Kalimantan Barat menggunakan Ward dan Peppard, dimana tahapannya dimulai

Berdasarkan hasil penelitian tanggal 20 Mei 2014 mengenai sikap tentang kesehatan reproduksi pada remaja jalanan di Panti Anak Jalanan Jl.Gajah Mada kota

The results showed that humpback grouper Cromileptes altivelis receiving preset unfed- fed cycle elicited compensatory growth and the fish showed hyperphagia and greater

Analisis regresi logistik mene- mukan bahwa dokter yang bekerja di bagian jantung dan paru berpeluang 28,4 kali lebih besar untuk menanyakan kebiasaan merokok pasien daripada dok-

Penata Muda Tk.I/Hakim Pratama Muda Pengadilan Negeri Ranai. Penata Muda Tk.I/Hakim