• Tidak ada hasil yang ditemukan

EFEKTIVITAS PENGGUNAAN METODE SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION DI DESA BUMIWANGI KECAMATAN CIPARAY KABUPATEN BANDUNG. Yoga Candra Maulana, S.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "EFEKTIVITAS PENGGUNAAN METODE SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION DI DESA BUMIWANGI KECAMATAN CIPARAY KABUPATEN BANDUNG. Yoga Candra Maulana, S."

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

EFEKTIVITAS PENGGUNAAN METODE SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION DI DESA BUMIWANGI KECAMATAN CIPARAY KABUPATEN BANDUNG

Yoga Candra Maulana, S.Pd *) ABSTRAK

System of Rice Intensification (SRI) yang pertama dikembangkan di negara Madagaskar muncul sebagai alternatif jawaban untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional. Metode SRI sudah dikenal di Indonesia namun belum diaplikasikan secara luas oleh para petani karena petani belum memahami penggunaan metode SRI dan belum ada pembuktian hasil SRI dengan Non SRI.

Berdasarkan hasil penelitian, penggunaan Metode System of Rice Intensification efektif untuk meningkatkan produktivitas jika dibandingkan dengan penggunaan metode Non SRI. Penggunaan Metode SRI dapat meningkatkan produksi 88% dibandingkan dengan metode Non SRI, biaya produksi Metode System Of Rice Intensification lebih besar 22.15% dari metode Non SRI. Dan keuntungan petani pengguna Metode System Of Rice Intensification lebih besar 45.16% dari metode Non SRI.

Kata Kunci : System of Rice Intensification, Produktivitas, Keuntungan Petani

PENDAHULUAN

eras merupakan makanan pokok bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia sudah terbiasa dengan makanan berbahan dasar dari beras. Dari penganan pokok sampai makanan ringan umumnya menggunakan bahan dasar dari beras. Menurut data Bulog, konsumsi beras dalam negeri pada tahun 2003 sekitar 33, 1 juta ton (Nurdian Akhmad : Investor Daily, 28 Juli 2004).

Namun, akhir-akhir ini produksi padi semakin menurun. Penurunan produksi di antaranya disebabkan oleh lahan pertanian khususnya sawah luasnya semakin berkurang, pola tanam yang tidak teratur, dan tingkat kesuburan tanah yang semakin menurun.

Penyusutan luas lahan pertanian sudah tentu akan mengurangi produktivitas lahan. Berkurangnya produksi padi itu berbanding terbalik dengan kebutuhan penduduk akan padi sebagai makanan pokok. Hal ini mengakibatkan defisit pangan yang mengharuskan impor beras dari luar negeri. Menurut data HKTI (himpunan kerukunan tani Indonesia), pada tahun 2003 Indonesia mengimpor sedikitnya 2 juta ton beras (Nurdian Akhmad : Investor Daily, 28 Juli 2004).

Impor beras yang terus menerus setiap tahun tentu akan menguras keuangan negara. Bulog menyatakan anggaran yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk mengimpor beras sekitar 3,3 triliun rupiah

B

(2)

(TEMPO : Selasa, 07 Desember 2004). Berdasarkan data Pemerintah Kabupaten Bandung, tercatat pengurangan luas sawah di Kabupaten Bandung dari tahun 2000 sampai tahun 2004 seluas 35.899 ha. Apabila dirata-ratakan, pengurangan luas sawah setiap tahun seluas 8.974,75 ha. Dengan pengurangan rata-rata 8.974,75 ha per tahun, maka diperkirakan pada tahun 2010 luas sawah di

kabupaten Bandung hanya tersisa sekitar 53.848,5 ha.

Secara umum produksi padi di Kabupaten Bandung pada tahun 2002 menurun di bandingkan tahun sebelumnya, hal ini disebabkan perubahan (konversi) lahan sawah/pertanian menjadi pemukiman, dan prasarana umum (Kabupaten Bandung dalam angka tahun 2002).

Tabel 1.

Pengurangan Luas Lahan Sawah Di Kabupaten Bandung

Luas sawah pada tahun (ha) Rata-rata penyusutan lahan (ha) Perkiraan luas sawah tahun 2010 2000 2004 143.595 107.697 8.974,75 53.848,5

Sumber : Kabupaten Bandung dalam angka tahun 2000 dan 2004

Untuk itu perlu adanya usaha yang cepat dan tepat untuk meningkatkan produksi beras. Nicolae Atanasiu dan Joachim Alkamper (1986), mengemukakan bahwa ada dua cara untuk meningkatkan produksi padi yaitu metode perluasan lahan pertanian yang digunakan untuk budi daya tanaman atau metode intensifikasi pembudidayaan, yaitu meningkatkan hasil panen persatuan luas lahan.

Melihat data pada table 1, maka usaha yang paling memungkinkan untuk meningkatkan produksi padi adalah dengan menggunakan metode intensifikasi lahan dan budi daya tanaman. Optimalisasi lahan yang tersedia menjadi kunci dan harapan untuk pemenuhan pangan.

KONSEP PERTANIAN ALAMI DAN

PERTANIAN ORGANIK

Sutanto (2002 : 19) mengemukakan istilah umum pertanian berarti :

kegiatan menanami tanah dengan tanaman yang nantinya menghasilkan sesuatu yang dapat dipanen, dan kegiatan pertanian merupakan campur tangan manusia terhadap tetumbuhan asli dan daur hidupnya.

Dalam pertanian modern campur tangan manusia semakin jauh dalam bentuk masukan bahan kimia pertanian, termasuk : pupuk kimia, pestisida, dan bahan pembenah tanah lainnya. Bahan-bahan tersebut mempunyai peranan yang cukup besar dalam meningkatkan produksi tanaman.

(3)

Apabila dikaji lebih dalam, istilah pertanian alami dengan pertanian organik mempunyai pengertian yang berbeda. Pertanian alami mengisyaratkan kekuatan alam yang mampu mengatur pertumbuhan tanaman, sedang campur tangan manusia tidak diperlukan sama sekali. Sedangkan pertanian organik campur tangan manusia lebih intensif untuk memanfaatkan lahan dan berusaha meningkatkan hasil berdasarkan prinsip daur ulang yang dilaksanakan sesuai dengan kondisi setempat (Sutanto, 2002).

Pertanian organik menghimpun keinginan petani dan konsumen untuk menghindari pemakaian bahan kimia dan pupuk yang bersifat meracuni lingkungan dengan tujuan memperoleh hasil tanaman dan lingkungan yang sehat.

Sejarah pertanian di Indonesia secara intensif telah dimulai kurang lebih semenjak tahun 1969 pada saat dimulainya program intensifikasi massal (INMAS) untuk petani sebagai dampak revolusi hijau di tingkat dunia. Pada tahun itu petani mulai dikenalkan dengan berbagai jenis pupuk buatan (bersifat kimiawi), obat-obatan pembasmi hama-penyakit dan gulma (pestisida dan herbisida) serta benih-benih yang berdaya hasil tinggi (naturalnusantara.: 2007. [online] tersedia : http://www.naturalnusantara.co.id/pageISIPR ODUK_BUKU 03.htm [29 Juli 2007]).

Salah satu usaha tani untuk meningkatkan produksi padi yang pernah menjadi tren di Indonesia era 60’an adalah penggunaan teknologi Panca Usaha Tani. Panca usaha merupakan teknologi untuk meningkatkan produksi pertanian, yang menitik beratkan lima pokok usaha, yaitu : Penggunaan benih unggul, perbaikan cara bercocok tanam, pemupukan yang baik, perbaikan pengairan, pengelolaan hama dan penyakit.

Pada awalnya teknologi ini mendapat sambutan dari masyarakat karena terbukti dapat meningkatkan produksi padi. Namun pada prakteknya teknologi ini menggunakan masukan nutrisi, berupa bahan-bahan kimia yang mengakibatkan unsur tanah menjadi tidak seimbang dan membuat produk pertanian menjadi tidak sehat karena terlalu banyak mengandung zat-zat kimia.

Penggunaan pupuk kimia juga saat ini dirasa tidak efisien karena harga pupuk kimia terus merangkak naik. Selain dalam pemupukan, penggunaan bahan kimia berbahaya juga di gunakan untuk membunuh atau mengusir hama. Hal ini jelas akan membahayakan karena zat tersebut akan sebagian akan diserap tanaman dan tidak mampu diurai tanaman. Tanaman yang sudah terkontaminasi zat-zat berbahaya jelas akan membahayakan kesehatan manusia apabila memakannya.

(4)

Metode tanam yang biasa digunakan para petani padi di desa Bumiwangi adalah metode yang menggunakan teknologi Panca Usaha Tani. Metode tersebut diberikan para petugas Penyuluh Lapangan (PPL). Menurut metode Panca Usaha Tani penggunaan pupuk dan pembasmi hama kimia (anorganik) merupakan kunci dari upaya peningkatan produksi padi.

SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION Pesatnya teknologi pertanian mendorong penelitian dan penemuan untuk mendapatkan hasil yang optimal dan ramah lingkungan. Salah satu metode dalam usaha tani padi organik adalah metode System of Rice Intensification (SRI) yang telah dilakukan di beberapa daerah, antara lain Jawa Barat dan Nusa Tenggara. SRI adalah satu metode untuk meningkatkan produktivitas padi dengan mengubah pengaturan tanaman, tanah, air dan nutrisinya. Metode tersebut memberikan kontribusi terhadap kesehatan tanah, tanaman dan memelihara mikroba tanah yang beraneka ragam melalui masukan bahan organik, tanpa pupuk kimia dan tanpa pestisida kimia serta dapat menghemat penggunaan air hingga 50 % (Cornell International Institute for Food Agriculture and Development / CIIFAD, 2004).

Usaha tani padi sawah metode SRI merupakan teknologi usaha tani ramah

lingkungan, efisiensi input melalui pemberdayaan petani dan kearifan lokal (www.deptan.go.id).

Penemuan SRI telah diadopsi berbagai negara, di antaranya Indonesia. Aplikasi teknik SRI di Indonesia diawali dengan pelatihan yang dilakukan oleh Dinas Pertanian Jawa Barat pada tahun 2003. Pelatihan tersebut diikuti oleh sembilan Kabupaten di antaranya, Kabupaten Bandung, Kabupaten Subang, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Tasik, Kabupaten Garut, Kabupaten Ciamis.

System of Rice Intensifications pertama kali dikembangkan oleh Henri de Laulanie di Madagaskar pada tahun1983. Yang lebih diutamakan SRI adalah meningkatkan hasil padi melalui perbaikan praktek manajemen tanaman, air, lahan dan gizi ketimbang melalui pemakaian unsur baru ataupun input yang harus dibeli.

Ciri utama pendekatan ini adalah: menangkap potensi batang-batang untuk bertumbuh secara optimal melalui secara dini memindahkan benih satu per satu dan menanamnya dengan jarak jauh satu sama lain; menyokong kemampuan maksimal untuk pertumbuhan akar dengan menciptakan keadaan aerobik, mengairi tanah dan membiarkannya kering secara

(5)

bergantian, serta mengairinya sesedikit mungkin dan sering menyiangi.

Dawn Berkelaar (2002)

mengemukakan enam prinsip penerapan SRI, antara lain:

a. Bibit dipindahkan (transplantasi) lebih awal

Bibit padi ditransplantasi saat dua daun telah muncul pada batang muda, biasanya saat berumur 8-15 hari. Benih harus disemai dalam petakan khusus (pipiti) dengan menjaga tanah tetap lembab dan tidak tergenang air.

b. Bibit ditanam satu-satu daripada secara berumpun

Bibit ditransplantasi satu-satu daripada secara berumpun, yang terdiri dari dua atau tiga tanaman. Ini dimaksudkan agar tanaman memiliki ruang untuk menyebar dan memperdalam perakaran. Sehingga tanaman tidak bersaing terlalu ketat untuk memperoleh ruang tumbuh, cahaya, atau nutrisi dalam tanah.

c. Jarak tanam yang lebar

Dibandingkan dengan baris yang sempit, bibit lebih baik ditanam dalam pola luasan yang cukup lebar dari segala arah. Biasanya jarak minimalnya adalah 25 cm x 25 cm.

Pada prinsipnya tanaman harus mendapat ruang cukup untuk tumbuh. Hasil panen maksimum diperoleh pada

sawah subur dengan jarak tanam 50 x 50 cm, sehingga hanya 4 tanaman per m2. d. Kondisi tanah tetap lembab tapi tidak

tergenang air

Secara tradisional penanaman padi biasanya selalu digenangi air. Memang benar, bahwa padi mampu bertahan dalam air yang tergenang. Namun, sebenarnya air yang menggenang membuat sawah menjadi hypoxic (kekurangan oksigen) bagi akar dan tidak ideal untuk pertumbuhan.

Dengan SRI, petani hanya memakai kurang dari ½ kebutuhan air pada sistem tradisional yang biasa menggenangi tanaman padi. Tanah cukup dijaga tetap lembab selama tahap vegetatif, untuk memungkinkan lebih banyak oksigen bagi pertumbuhan akar. Sesekali (mungkin seminggu sekali) tanah harus dikeringkan sampai retak. Ini dimaksudkan agar oksigen dari udara mampu masuk ke dalam tanah dan mendorong akar untuk “mencari” air. Sebaliknya, jika sawah terus digenangi, akar akan sulit tumbuh dan menyebar, serta kekurangan oksigen untuk dapat tumbuh dengan subur.

Kondisi tidak tergenang, yang di kombinasi dengan penyiangan mekanis, akan menghasilkan lebih banyak udara masuk ke dalam tanah dan akar berkembang lebih besar sehingga dapat

(6)

menyerap nutrisi lebih banyak. Pada sawah yang tergenang air, di akar padi akan terbentuk kantung udara (aerenchyma) yang berfungsi untuk menyalurkan oksigen. Namun, karena kantung udara ini mengambil 30-40% korteks akar, maka dapat berpotensi menghentikan penyaluran nutrisi dari akar ke seluruh bagian tanaman. Penggenangan dapat dilakukan sebelum penyiangan untuk mempermudah penyiangan.

e. Penyiangan

Penyiangan (membersihkan gulma dan rumput) dapat dilakukan dengan tangan atau alat Penyiangan ini membutuhkan banyak tenaga ---bisa mencapai 25 hari kerja untuk 1 ha--- tapi hal ini tidak sia-sia karena hasil panen yang diperoleh sangat tinggi.

Penyiangan pertama dilakukan 10 atau 12 hari setelah transplantasi, dan penyiangan kedua setelah 14 hari. Minimal disarankan 2-3 kali penyiangan, namun jika ditambah sekali atau dua kali lagi akan mampu meningkatkan hasil hingga satu atau dua ton per ha. Yang lebih penting dari praktek ini bukan sekedar untuk membersihkan gulma, tetapi pengadukan tanah ini dapat memperbaiki struktur dan meningkatkan aerasi tanah.

f. Asupan Organik

Awalnya SRI dikembangkan dengan menggunakan pupuk kimia untuk meningkatkan hasil panen pada tanah-tanah tandus di Madagaskar. Tetapi saat subsidi pupuk dicabut pada akhir tahun 1980-an, petani disarankan untuk menggunakan kompos, dan ternyata hasilnya lebih bagus. Kompos dapat dibuat dari macam-macam sisa tanaman (seperti jerami, seresah tanaman, dan bahan dari tanaman lainnya), dengan tambahan pupuk kandang bila ada. Daun pisang bisa menambah unsur potasium, daun-daun tanaman kacang-kacangan dapat menambah unsur N, dan tanaman lain seperti Tithonia dan Afromomum angustifolium, memberikan tambahan unsur P. Kompos menambah nutrisi tanah secara perlahan-lahan dan dapat memperbaiki struktur tanah. Di tanah yang miskin jika tidak di pupuk kimia, secara otomatis perlu diberikan masukan nutrisi lain.

ANALISIS USAHA TANI 1. Hasil Produksi

Berdasarkan olah data dan wawancara dari para petani hasil produksi metode SRI jauh lebih besar bila dibandingkan dengan menggunakan metode Non SRI. Data produksi padi dari 5 panen terakhir dapat dilihat pada Tabel 2.

(7)

Tabel 2.

Hasil produksi SRI dan Non SRI dalam lima kali panen terakhir

NO Uraian Hasil (Ton) Hasil (Ton) Panen ke Tahun 1 5 P1)* 2007 12 6 2 4 P2)* 2006 10 5 3 3 P1 2006 10 5 4 2 P2 2005 9 5 5 1 P1 2005 10 6 Jumlah 51 27 Rata-rata 10.2 5.4

Sumber : Hasil Penelitian 2007 )* P1 = Panen 1 P2 = Panen 2

Dari Tabel 2 diperoleh hasil produksi rata-rata metode SRI adalah 10.2 ton atau 102 kuintal per hektare sedangkan metode Non SRI menghasilkan 5,2 ton atau 52 kuintal padi. Hasil produksi SRI lebih besar hampir dua kali lipat (96%) dari produksi Non SRI.

Pada table 2. dapat dilihat bahwa ada penurunan produksi terjadi pada P2 (Panen ke 2). Hal ini dikarenakan masa tanam kedua biasanya telah memasuki musim kemarau (Mei – Agustus).

2. Biaya produksi

a) Metode System of Rice Intensification (SRI)

Biaya produksi sistem SRI meliputi biaya pembelian bibit, pengolahan tanah, penanaman, pemupukan, penyiraman, penyiangan, pembasmian hama, panen, dan upah para pekerja. Biaya produksi berdasarkan perhitungan untuk luas lahan 1 hektar. Biaya produksi untuk satu hektar dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3.

Perhitungan Biaya produksi Metode SRI / Ha No Uraian Biaya (Rp) 1 Pembelian bibit 20.000 2 Pengolahan tanah 1.175.000 3 Penanaman 350.000 4 Pemupukan 1.150.000 5 Penyiangan 100.000 6 Pembasmian hama 290.000 7 Panen 2.346.000 Jumlah 5.546.000

Sumber : Hasil penelitian 2007

b) Metode Non SRI

Perhitungan Biaya produksi metode Non SRI sama dengan perhitungan metode SRI. Biaya produksi meliputi biaya pembelian bibit, pengolahan tanah, penanaman, pemupukan, penyiraman, penyiangan, pembasmian hama, panen, dan upah para pekerja. Biaya produksi berdasarkan perhitungan untuk luas lahan 1 hektar. Biaya produksi untuk satu hektar lahan dapat dilihat pada Tabel 4.

(8)

Tabel 4.

Perhitungan Biaya produksi Metode Non SRI / Ha

No Uraian Biaya (Rp) 1 Pembelian bibit 120.000 2 Pengolahan tanah 1.150.000 3 Penanaman 350.000 4 Pemupukan 1.070.750 5 Penyiangan 100.000 6 Pembasmian hama 220.000 7 Panen 1.196.000 Jumlah 4.206.000

Sumber : Hasil penelitian 2007

Dari Tabel 3 dan 4 dapat disimpulkan bahwa biaya produksi per hektare metode SRI lebih besar daripada biaya produksi per hektare metode Non SRI. Biaya produksi SRI lebih tinggi 22.15 % dari metode Non SRI. Komposisi terbesar pada kedua metode tersebut adalah untuk pengolahan tanah dan penyediaan pupuk dan panen

Perbandingan biaya produksi SRI dengan metode Non SRI disajikan dalam

grafik berikut ini:

.

Gambar 1. Grafik perbandingan biaya produksi antara

Metode SRI dan Non SRI / Ha / Periode Tanam

3. Pemasaran

Berdasarkan hasil penelitian semua responden baik petani SRI dan Non SRI menjual hasil padinya kepada tengkulak. Pemasaran produksi padi SRI dan Non SRI di Desa Bumiwangi dapat dilihat pada Tabel 5.

Dari tabel 5 hasil panen di daerah penelitian di kuasai oleh tengkulak dengan frekuensi responden menjawab 100%.

Dengan demikian di daerah penelitian terjadi monopoli harga oleh para tengkulak. Berdasarkan hasil wawancara dengan petani harga yang dipatok untuk satu kuintal harga gabah berkisar Rp. 230.000,- sampai Rp. 250.000,- . 0 500000 1000000 1500000 2000000 2500000 D a la m R u p ia h

Pembelian bibit Pengolahan tanah Penanaman Pemupukan Penyiangan Pembasmian

hama Panen

GRAFIK PERBANDINGAN BIAYA PRODUKSI ANTARA METODE SRI DAN NON SRI / Ha /PERIODE TANAM

(9)

Tabel 5.

Pemasaran Hasil Produksi Padi SRI Dan Non SRI

No Metode Jarak tanam

(cm) f P (%)

1 SRI

Dijual kepada BOLUG 0 0 Dijual kepada tengkulak 5 100 Dikonsumsi sendiri 0 0 5 100 2 Non SRI

Dijual kepada BOLUG 0 0 Dijual kepada

tengkulak 5 100 Dikonsumsi sendiri 0 0

5 100

Sumber : Hasil penelitian 2007

Harga padi SRI dan Non SRI dihargai sama oleh para tengkulak. Hal ini sebetulnya merugikan bagi para petani SRI karena harga beras organik per kilogram jauh lebih mahal daripada harga beras biasa. Sebagai perbandingan berikut ini harga beras SRI dan beras Biasa Non SRI di salah satu supermarket di Bandung per 15 Agustus 2007.

Tabel 6.

Perbandingan Harga Beras Organik dan Non Organik / Kg Di Pasaran

No Harga Beras Organik

(Rp)

Harga Beras Non Organik

(Rp)

1 7.000 5.500

Sumber : Supermarket Carrefour Bandung 2007

Dari Table 6. diketahui harga beras organik lebih mahal 40% dari harga beras Non organik. Dengan harga jual gabah yang sama, jelas hal ini merugikan para petani SRI.

4. Keuntungan Petani

Dari data di atas (poin 1 dan 2) maka dapat diperoleh hasil keuntungan yang diperoleh petani. Berikut perhitungan keuntungan yang diperoleh petani :

TC

Q

Q = Total Produksi TC = Total Biaya Produksi

Data hasil produksi dan biaya produksi padi dengan menggunakan metode SRI dan Non SRI dapat dilihat dalam Tabel 7 dan 8.

Dari data pada tabel 7 dab 8 dapat diketahui keuntungan yang didapat oleh petani yang menggunakan metode SRI lebih besar jika dibandingkan dengan keuntungan petani yang menggunakan metode Non SRI. Petani yang menggunakan metode SRI mendapatkan keuntungan bersih sebesar Rp. 17.914.000,- sedangkan petani yang menggunakan metode Non SRI mendapatkan keuntungan bersih sebesar Rp. 8.168.000,-. Bila di persentase maka keuntungan petani yang menggunakan metode SRI keuntungannya lebih besar 45.6 % daripada petani yang menggunakan metode Non SRI.

(10)

Tabel 7.

Keuntungan Petani yang Menggunakan Metode SRI

NO 1 2 3 Hasil Produksi (Rp) Biaya Produksi (Rp) Keuntungan (Kolom 1 – 2) 1 10.2 ton 102 kuintal 102 x 230.000 23.460.000 Bibit 20.000 17.914.000 Pra Tanam 1.175.000 Tanam 350.000 Pupuk 1.150.000 Penyiangan 100.000 Pembasmian hama 290.000 Panen 2.346.000 2 23.460.000 5.546.000

Sumber : Hasil penelitian 2007

Tabel 8.

Keuntungan Petani yang Menggunakan Metode Non SRI

NO 1 2 3 Hasil Produksi (Rp) Biaya Produksi (Rp) Keuntungan (Kolom 1 – 2) 1 5.4 ton 54 kuintal 54 x 230.000 12.420.000 Bibit 120.000 8.168.000 Pra Tanam 1.150.000 Tanam 350.000 Pupuk 1.070.750 Penyiangan 100.000 Pembasmian hama 220.000 Panen 1.242.000 2 12.420.000 4.252.750

Sumber : Hasil penelitian 2007

Gambar 2. Grafik perbandngan keuntungan Metode SRI dan Non SRI

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 D al am J ut a R up ia h

SRI Non SRI

Grafik Perbandingan Keuntungan Metode SRI dengan Metode Non SRI / Ha

(11)

DAFTAR PUSTAKA

AAK. (1990). Budidaya Tanaman Padi. Yogyakarta: Kanisius.

Agus Andoko. (2002). Budidaya Padi Secara Organik. Jakarta: Penebar Swadaya.

Badan Pusat Statistik (2000). Kabupaten Bandung Dalam Angka 2000. Bandng: BPS

Badan Pusat Statistik (2004). Kabupaten Bandung Dalam Angka 2004. Bandng: BPS

CIFAD. (2004). The System Rancang Intensif In Indonesia. http:// cifad.cornel.edu/sri/method.html Dawn Bakelaar (2002). The System of Rice

Intensification – SRI. http:// www.elspat.or.id 26 Agustus 2007 Djuainah (2003). Pertanian Masa Depan.

Yogyakarta: Kanisius.

Harjono. (2000). Bertanam Padi Sawah. Yogyakarta: Kanisius.

IRRI. (1993). Maual for Hybrid Rice Seed Producktion. http://cifad.cornel.edu Nurdian Akhamad. (2004). WTO dan

Perlindungan Produk Domestik. http:// www.investordaily.com 26 Agustus 2007)

Sutanto.(2002). Pertanian Padi Organik. Yogyakarta: Kanisius.

TEMPO. (2004). Bulog: Tak Perlu Impor Beras.

Gambar

Gambar 2. Grafik perbandngan keuntungan   Metode SRI dan Non SRI

Referensi

Dokumen terkait

Pekerja sosial berada dalam posisi yang sangat penting untuk berkontribusi dalam perdebatan karena integrasi yang kuat anak nilai dan moralitas dalam praktek mereka, dan

Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kurnia (2015), Fandini (2013), Pangulu (2014) dan Hemastuti (2014) yang menyatakan bahwa profitabilitas

[r]

Karena kita tahu bahwa sebenarnya pesan atau informasi yang datang dari media massa hanya akan sampai pada taraf pemberian pengetahuan; sedangkan

Hasil Penelitian pirolisis sekam padi yaitu pengujian alat konversi sekam padi menjadi bahan bakar alternatif yang efesien yaitu menggunakan reaktor yang tertutup dan tidak

Secara simultan variabel bebas (Perputaran Persediaan, Periode Pengumpulan Piutang Rata-rata, Perputaran Modal Kerja, Perputaran Aktiva Tetap dan Perputaran Aktiva

Dari dua definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa EOQ merupakan suatu metode yang digunakan untuk mengoptimalkan pembelian bahan baku yang dapat menekan

Maka dalam penulisan skripsi ini penulis akan membahas tentang bagaimana sebuah program computer dapat mengenali atau mendeteksi sebuah pola citra digital yang berupa