• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN AWAL POTENSI TUMBUHAN INDIGENOUS DAN KERAGAMAN FUNGINYA UNTUK REVEGETASI LAHAN BEKAS TAMBANG TIMAH DI PULAU BANGKA IING DWI LESTARI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN AWAL POTENSI TUMBUHAN INDIGENOUS DAN KERAGAMAN FUNGINYA UNTUK REVEGETASI LAHAN BEKAS TAMBANG TIMAH DI PULAU BANGKA IING DWI LESTARI"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN AWAL POTENSI TUMBUHAN INDIGENOUS DAN

KERAGAMAN FUNGINYA UNTUK REVEGETASI

LAHAN BEKAS TAMBANG TIMAH DI PULAU BANGKA

IING DWI LESTARI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Kajian Awal Tumbuhan Indigenous dan Keragaman Funginya untuk Revegetasi Lahan Bekas Tambang Timah di Pulau Bangka adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, September 2008

Iing Dwi Lestari

(3)

ABSTRACT

IING DWI LESTARI. Preliminary Study of the Potency of Indigenous Plants and Their Fungal Diversity for Revegetation Program of Post Tin Mining Land in Bangka Island. Supervised by IBNUL QAYIM and NAMPIAH SUKARNO.

Activity of tin mining had negative impact on the ecosystem including decreasing in soil fertility. Effort had been done to revegetate the post tin mining land, however, the plant used was mainly Acacia mangium. This because the plant was ease to grow in marginal land, including post tin mining site. The potential indigenous plant is defined as indigenous plants that have potency to be used in revegetation program of the post tin mining land. The objective of this research was to examine the potency of indigenous plants and diversity of fungi that were associated with the potential plant for revegetation program of post tin mining land. Five experimental sites were selected, they were revegetated lands of 0 year (Jongkong 5E), 3 years (Jongkong 24), 16 years (Jongkong1), and 28 years (Nibung 2), and secondary forest as a control treatment. The parameters mesuared for determining the potency of indigenous plants were Important Value Index, production and decomposition rate of litter fall. The soil characteristics that were determined plant growth such as physical and chemical properties were also measured. Litter fall analysis was carried out based on predominant tree found in all sites. Fungal diversity was studied by isolation and identification of the fungi grown in roots, leaf litters, and rhizosfers. The vegetation analysis showed that the plants were grow in all research sites were Dyera costulata, Schima wallichii, and Acacia mangium. The production and decomposition rate of litter fallnin all sites were varied. The production of litter fall from Acacia mangium in Jongkong 1 was 3.79x10-4 ton/ha/year. The highest decomposition rate of litter fall was found Nibung 2 from Dyera costulata was 16.36/year with residience time 0.06 years. The fungal diversity isolated from dominant vegetation in tree stage category was high. The average of each plant harboured 26-30 fungi that were grown in roots, leaf litters, and rhizosfers of the plants. Trichoderma was the dominant fungi. Based on the data of vegetation analysis, production and decomposition rate of litter fall and fungal diversity, Dyera costulata and Schima wallichii were the potentional plants for revegetation program of post tin mining land.

(4)

RINGKASAN

IING DWI LESTARI. Kajian Awal Potensi Tumbuhan Indigenous dan Keragaman Funginya untuk Revegetasi Lahan Bekas Tambang Timah di Pulau Bangka. Dibimbing oleh IBNUL QAYIM dan NAMPIAH SUKARNO.

Kegiatan pertambangan timah selain memberikan keuntungan juga dapat mengakibatkan terganggunya ekosistem alam yaitu terjadi penurunan kesuburan tanah, hilangnya keragaman tumbuhan, hewan dan mikroorganisme. Kriteria jenis tumbuhan tumbuhan yang digunakan untuk revegetasi lahan bekas tambang ialah berdasarkan sifat yang dimiliki oleh tumbuhan tersebut yang antara lain ialah cepat tumbuh dilingkungan marginal dan memungkinkan jenis lain tumbuh kemudian pada lahan tersebut, menghasilkan buah yang mudah disebarkan oleh burung, dan memproduksi serasah yang mudah mengalami dekomposisi. Oleh karena itu revegetasi pada lahan bekas tambang dilakukan dengan menggunakan tumbuhan pionir yang memiliki kriteria tersebut diatas, dapat mengikat nitrogen, tahan kekeringan, dan berdaun banyak.

Keberhasilan revegetasi tidak saja ditentukan oleh pemilihan jenis tumbuhan tetapi juga oleh jenis mikroorganisme yang bermanfaat dalam kesuburan tumbuhan dan tanah. Beberapa fungi dekomposer berperan dalam proses pembentukan tanah, pertumbuhan tanaman dan terlibat dalam siklus nutrisi melalui proses dekomposisi dalam tanah, terutama untuk dekomposisi selulosa, kitin, dan lignin. Oleh sebab itu tujuan dari penelitian ini ialah mengkaji potensi tumbuhan indigenous dan keragaman funginya untuk revegetasi lahan bekas tambang timah.

Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini metode kuadrat untuk menganalisis keragaman vegetasi dengan parameter yang di ukur adalah kerapatan relatif, frekuensi relatif, dominansi relatif, dan Indeks Nilai Penting (INP). Pendugaan produksi serasah dianalis dengan menggunakan litter fall, sedangkan pendugaan laju dekomposisi serasah dengan menggunakan litter bag. Studi keragaman fungi dilakukan dengan mengisolasi dan mengidentifikasi fungi dari rizosfer, akar, daun segar, dan serasah daun tumbuhan yang terpilih. Lokasi yang digunakan dalam pengambilan sampel penelitian adalah hutan sekunder dan lahan bekas tambang timah yang telah direvegetasi selama 0 tahun (di Jongkong 5E), 3 tahun (di Jongkong 24), 16 tahun (di Jongkong 1), dan 28 tahun (di Nibung 2).

Berdasarkan hasil analisis vegetasi diperoleh tumbuhan yang dominan pada semua lokasi penelitian ialah Acacia mangium dengan nilai INP yaitu 212.80% yang terdapat di lokasi Jongkong 1. Pada lahan bekas tambang tersebut juga ditemukan beberapa jenis tumbuhan lokal yaitu Dyera costulata, Schima wallichii, Vitex pubescens, dan Callophyllum lanigerum. Secara umum lahan pada lokasi penelitian memiliki sifat fisik tanah berpasir dengan pH yang masam yaitu pH 4.6-5.6 dan miskin unsur hara. Pada lokasi lahan bekas tambang terlihat adanya suksesi tumbuhan yaitu ditemuinya tumbuhan bawah berupa paku-pakuan dan alang-alang, serta tumbuhnya permudaan pohon. Tumbuhan yang memproduksi serasah tertinggi ialah Acacia mangium yang terdapat pada lokasi Jongkong 1 yaitu 3.79 x 10-4 ton/ha/tahun, sedangkan laju dekomposisi tertinggi

(5)

terjadi pada tumbuhan Dyera costulata yang terdapat pada lokasi Nibung 2 yaitu 16.36/tahun yaitu residience time 0.06 tahun.

Fungi yang berhasil diisolasi dari rizosfer, akar, daun segar, dan serasah daun pada setiap tumbuhan bervariasi. Secara umum, fungi yang berhasil diisolasi ialah 450 isolat, yang terdiri dari Genus Trichoderma, Aspergillus, Paecilomyces, Penicillium, Acremonium, Fusarium, Cunninghamella, Phoma, beberapa fungi Miselia sterilia, Basidiomycetes, dan Coelomomyces. Dyera costulata dan Schima wallichii merupakan tumbuhan indigenous yang berpotensi sebagai tumbuhan revegetasi pada lahan bekas tambang timah karena memiliki laju dekomposisi dan keragaman fungi yang tinggi.

Kata kunci: Tumbuhan indigenous, fungi, lahan bekas tambang, produksi dan laju dekomposisi serasah.

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2008

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruhkarya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau

(7)

KAJIAN AWAL POTENSI TUMBUHAN INDIGENOUS DAN

KERAGAMAN FUNGINYA UNTUK REVEGETASI

LAHAN BEKAS TAMBANG TIMAH DI PULAU BANGKA

IING DWI LESTARI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sain pada

Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008

(8)

Judul Tesis : Kajian Awal Potensi Tumbuhan Indigenous dan Keragaman Funginya untuk Revegetasi Lahan Bekas Tambang Timah di Pulau Bangka

Nama : Iing Dwi Lestari NIM : G351060111

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Ibnul Qayim Dr. Ir. Nampiah Sukarno

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Biologi Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

(9)

PRAKATA

Segala puji bagi Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga tesis yang berjudul ”Kajian Awal Potensi Tumbuhan Indigenous dan Keragaman Funginya pada Revegetasi Lahan Bekas Tambang Timah di Pulau Bangka” dapat diselesaikan dengan baik.

Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang besar kepada: 1. Dr. Ir. Ibnul Qayim dan Dr. Ir. Nampiah Sukarno selaku dosen pembimbing,

yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis. 2. Dr. Ir. Irdika Mansur M.For.Sc sebagai anggota tim penguji.

3. Kerjasama Kemitraan Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi (KKP3T) yang diberikan kepada Dr. Ir. Nampiah Sukarno atas bantuan dana untuk melaksanakan sebagian dari penelitian ini.

4. Proyek HiLink-Dikti Aplikasi Bioteknologi untuk Pembentukan Inkubatorbisnis di Kabupaten Bangka Induk a/n Dr. Ir. Utut Widyastuti.

5. Pusat Penelitian Sumber Daya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB) IPB, Laboratorium Mikologi, dan Laboratorium Terpadu Biologi atas sarana dan prasarana penelitian.

6. Departemen Agama RI atas kepercayaan dan dukungan dana yang diberikan sehingga penulis dapat mengikuti dan menyelesaikan program pendidikan pascasarjana.

7. Rektor dan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Ketua program Studi Pascasarjana dan Ketua Departemen Biologi IPB, beserta seluruh dosen dan tenaga administratif.

8. Kepala Sekolah Drs. Amri, MM, seluruh guru dan karyawan tata usaha Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 14 Jakarta.

9. PT Koba Tin atas bantuan dan kerjasamanya sehingga penelitian ini bisa berjalan dengan lancar.

10. Heri Yumaru suami tercinta dan kedua buah hati penulis yaitu Hanifah Asma Ramadhani dan Muhammad Aslam Hibatullah atas segala pengertian dan kasih sayangnya.

11. Keluarga tercinta yaitu Ayahanda H. Sukaryo, Ibunda Hj. Suti, Mas Aang Purwoko dan Nurasiyah, De’ Indriani dan Dede, serta Papa Suparno dan Mama Ernawati yang selalu memberikan dukungan materil maupun spirituil kepada penulis.

12. Rida dan M. Ilyas yang selalu bersedia membantu penulis.

13. Seluruh rekan-rekan Beasiswa Utusan Daerah (BUD) terutama Yanti Novera, Adil, dan Sri Suryani yang selalu memberikan semangat kepada penulis.

Semoga sedikit tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi para pembacanya. Amin.

Bogor, September 2008 Iing Dwi Lestari

(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 17 April 1977 dari Ayah H. Sukaryo dan Ibu Hj. Suti. Penulis merupakan anak ke dua dari tiga bersaudara.

Tahun 1995 penulis lulus dari SMA Negeri 98 Jakarta dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur UMPTN. Penulis memilih Program Studi Biologi, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam dan lulus pada tahun 1999. Penulis melanjutkan studi di Universitas Negeri Jakarta untuk mengambil Akta Mengajar IV dan lulus pada tahun 2000.

Tahun 2000 penulis bekerja sebagai guru honorer di Madrasah Aliyah Negeri 14 Jakarta sebagai guru Biologi. Pada tahun 2006, penulis diterima di Program Studi Biologi pada Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan menamatkannya pada tahun 2008. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Beasiswa Utusan Daerah (BUD) Departemen Agama RI.

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang ... 1 Perumusan Masalah ... 3 Kerangka Pemikiran ... 3 Tujuan Penelitian ... 4 Manfaat Penelitian ... 5 Hipotesis Penelitian ... 5 TINJAUAN PUSTAKA ... 6

Lahan Bekas Tambang Timah di PT. Koba Tin, Koba-Bangka ... 6

Keragaman Jenis ... 8

Serasah ... 9

Keragaman Fungi ... 10

METODOLOGI ... 12

Tempat dan Waktu Penelitian ... 12

Bahan dan Alat ... 12

Pengukuran Parameter Ekologi ... 12

Pengukuran Produksi Serasah ... 15

Pendugaan Laju Dekomposisi Serasah ... 15

Pengambilan Sampel Tanah ... 16

Pengambilan Sampel Akar ... 17

Pengambilan Sampel Serasah ... 17

Isolasi Fungi ... 17

Identifikasi Fungi ... 18

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 20

Analisis Vegetasi ... 20

(12)

Produksi Serasah ... 26

Laju Dekomposisi Serasah ... 28

Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Tumbuhan Dyera costulata di Lokasi Hutan Sekunder ... 32

Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Tumbuhan Schima wallichii di Lokasi Hutan Sekunder ... 38

Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Tumbuhan Acacia mangium di Lokasi Hutan Sekunder ... 40

Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Tumbuhan Callophyllum lanigerum di Lokasi Hutan Sekunder ... 44

Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Tumbuhan Dyera costulata di Lokasi Nibung 2 (Lahan Revegetasi Usia 28 tahun) ... 47

Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Tumbuhan Schima wallichii di Lokasi Nibung 2 (Lahan Revegetasi Usia 28 tahun) ... 49

Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Tumbuhan Acacia mangium di Lokasi Nibung 2 (Lahan Revegetasi Usia 28 tahun) ... 51

Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Tumbuhan Vitex pubescens di Lokasi Nibung 2 (Lahan Revegetasi Usia 28 tahun) ... 52

Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Tumbuhan Paraserianthes falcataria di Lokasi Nibung 2 (Lahan Revegetasi Usia 28 tahun) .... 53

Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Tumbuhan Dyera costulata di Lokasi Jongkong 1 (lahan Revegetasi Usia 16 tahun) ... 54

Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Tumbuhan Schima wallichii di Lokasi Jongkong 1 (lahan Revegetasi Usia 16 tahun) ... 55

Jenis-jenis Fungi yang Terdapat pada Tumbuhan Acacia mangium di Lokasi Jongkong 1 (lahan Revegetasi Usia 16 tahun) ... 56

Potensi Tumbuhan Indigenos dan Keragaman Funginya ... 58

KESIMPULAN DAN SARAN ... 61

Kesimpulan ... 61

Saran ... 61

DAFTAR PUSTAKA ... 62

LAMPIRAN ... 67

(13)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Indeks Nilai Penting (INP) jenis pohon yang ditemukan pada

lokasi penelitian ... 22

2 Analisis sifat fisik tanah pada lokasi penelitian ... 24

3 Analisis sifat kimia tanah pada lokasi penelitian ... 24

4 Rata-rata produksi serasah di lokasi penelitian ... 27

5 Rata-rata laju dekomposisi serasah dan residience time beberapa tumbuhan setelah 21 hari terdekomposisi ... 30

(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Kerangka pemikiran penelitian tentang kajian awal potensi

tumbuhan indigenos dan keragaman funginya untuk revegetasi

lahan bekas tambang timah di Pulau Bangka ... 4

2 Peta pulau Bangka (sumber PT.Koba Tin 2004) ... 6

3 Desain unit contoh vegetasi dalam metode kuadrat ... 14

4 Jaring penampung serasah (Litter trap) yang digunakan untuk menampung serasah yang jatuh dari pohon di beberapa lokasi penelitian ... 15

5 Kantong serasah (Litter bag) yang digunakan untuk penempatan serasah di beberapa lokasi penelitian ... 16

6 Jumlah jenis tumbuhan pada beberapa fase pertumbuhan di lokasi penelitian ... 20

7 Berat kering sisa serasah daun di hutan sekunder yang didekomposisikan selama 3 minggu ... 28

8 Berat kering sisa serasah daun di Nibung 2 yang didekomposisikan selama 3 minggu ... 29

9 Berat kering sisa serasah daun di Jongkong 1 yang didekomposisikan selama 3 minggu ... 29

10 Keragaman fungi pada Dyera costulata di Hutan sekunder ... 32

11 Fungi Paecilomyces sp4. dengan perbesaran 600x (a) Hifa (b) Konidium ... 33

12 Fungi Miselia sterilia 1 dengan perbesaran 600x (a) Hifa ... 33

13 Fungi Miselia sterilia 3 dengan perbesaran 150x (a) Hifa ... 33

14 Fungi Coelomomyces dengan perbesaran 150x (a) Hifa ... 34

15 Fungi Penicillium sp1. dengan perbesaran 600x (a) Konidiofor (b) Konidium ... 34

16 Fungi Basidiomycetes isolat 2 dengan perbesaran 600x (a) Hifa (b) Sambungan apit ... 35

17 Fungi Basidiomycetes isolat 3 dengan perbesaran 600x (a) Hifa (b) Sambungan apit ... 35

18 Fungi Aspergillus sp1. dengan perbesaran 600x (a) Konidium (b) Konidiofor ... 36

19 Fungi Trichoderma sp1. dengan perbesaran 150x (a) Konidium (b) Konidiofor ... 36

(15)

20 Fungi Aspergillus niger dengan perbesaran 600x (a) Konidium

(b) Konidiofor ... 37

21 Fungi Volutella sp. dengan perbesaran 150x (a) Konidium (b) Konidiofor ... 37

22 Keragaman fungi pada Schima wallichii di Hutan sekunder ... 38

23 Fungi Phoma sp. dengan perbesaran 150x (a) Konidia ... 39

24 Fungi Paecilomyces sp1. dengan perbesaran 600x (a) Hifa (b) Konidium (c) Konidiofor ... 39

25 Fungi Penicillium sp. dengan perbesaran 150x (a) Konidium (b) Konidiofor ... 39

26 Fungi Synchephalatrum sp. dengan perbesaran 600x (a) Konidium (b) Konidiofor ... 40

27 Keragaman fungi pada Acacia mangium di Hutan sekunder ... 40

28 Fungi Cunninghamella sp. dengan perbesaran 600x (a) Hifa (b) Konidium (b) Konidiofor ... 42

29 Fungi Acremonium sp. dengan perbesaran 600x (a) Hifa (b) Konidium (b) Konidiofor ... 42

30 Fungi Basidiomycetes isolat 1 dengan perbesaran 600x (a) Hifa (b) Sambungan apit ... 42

31 Fungi Fusarium sp3. dengan perbesaran 150x (a) Hifa (b) Makrokonidia (b) Mikrokonidia ... 43

32 Fungi Penicillium sp3. dengan perbesaran 1500x (a) Konidium ... 43

33 Fungi Verticillium sp. dengan perbesaran 150x (a) Hifa (b) Konidium . 44 34 Fungi Fusarium sp2. dengan perbesaran 600x (a) Hifa (b) Makrokonidia (b) Mikrokonidia ... 44

35 Keragaman fungi pada Callophyllum lanigerum di Hutan sekunder ... 45

36 Fungi Fusarium sp1. dengan perbesaran 600x (a) Hifa (b) Makrokonidia (b) Mikrokonidia (d) Konidiofor ... 45

37 Fungi Dematiaceae dengan perbesaran 600x (a) Hifa ... 46

38 Fungi Cladosporium sp. dengan perbesaran 150x (a) Konidium ... 46

39 Fungi Penicillium sp2. dengan perbesaran 150x (a) Konidium ... 46

40 Keragaman fungi pada Dyera costulata di Nibung 2 ... 47

41 Fungi Curvularia sp. dengan perbesaran 150x (a) Hifa (b) Konidium .. 48

42 Fungi Trichoderma sp2. dengan perbesaran 150x (a) Konidium (b) Konidiofor ... 48

43 Fungi Gliocladium sp. dengan perbesaran 600x (a) Hifa (b) Konidium (c) Konidiofor ... 49

(16)

44 Fungi Paecilomyces sp2. dengan perbesaran 600x (a) Konidium

(b) Konidiofor ... 49

45 Keragaman fungi pada Schima wallichii di Nibung 2 ... 50

46 Fungi Paecilomyces sp3. dengan perbesaran 600x (a) Hifa (b) Konidium (b) Konidiofor ... 50

47 Fungi Miselis sterilia 2 dengan perbesaran 150x (a) Hifa ... 51

48 Fungi Paecilomyces sp5. dengan perbesaran 600x (a) Konidium (b) Konidiofor ... 51

49 Keragaman fungi pada Acacia mangium di Nibung 2 ... 52

50 Keragaman fungi pada Vitex pubescens di Nibung 2... 53

51 Keragaman fungi pada Paraserianthes falcataria di Nibung 2 ... 54

52 Keragaman fungi pada Dyera costulata di Jongkong 1 ... 55

53 Keragaman fungi pada Schima wallichii di Jongkong 1 ... 56

54 Keragaman fungi pada Acacia mangium di Jongkong 1 ... 56

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Data lokasi penelitian ... 67

2 Nilai Indeks Penting pada fase pohon di Hutan Sekunder ... 67

3 Nilai Indeks Penting pada fase tiang di Hutan Sekunder ... 68

4 Nilai Indeks Penting pada fase pancang di Hutan Sekunder ... 69

5 Nilai Indeks Penting pada fase semai di Hutan Sekunder ... 70

6 Nilai Indeks Penting pada tumbuhan bawah di Hutan Sekunder ... 70

7 Nilai Indeks Penting pada fase pohon di Nibung 2 ... 70

8 Nilai Indeks Penting pada fase tiang di Nibung 2 ... 71

9 Nilai Indeks Penting pada fase pancang di Nibung 2 ... 71

10 Nilai Indeks Penting pada fase semai di Nibung 2 ... 71

11 Nilai Indeks Penting pada tumbuhan bawah di Nibung 2 ... 72

12 Nilai Indeks Penting pada fase pohon di Jongkong 1 ... 72

13 Nilai Indeks Penting pada fase tiang di Jongkong 1 ... 72

14 Nilai Indeks Penting pada fase pancang di Jongkong 1 ... 73

15 Nilai Indeks Penting pada fase semai di Jongkong 1 ... 74

16 Nilai Indeks Penting pada tumbuhan bawah di Jongkong 1 ... 74

17 Nilai Indeks Penting pada fase pancang di Jongkong 24 ... 75

18 Nilai Indeks Penting pada fase semai di Jongkong 24 ... 75

19 Nilai Indeks Penting pada tumbuhan bawah di Jongkong 24 ... 75

20 Luas penutupan tajuk (T) dan luas bidang dasar pohon (B) yang digunakan ... 75

21 Hasil dekomposisi serasah pohon di Hutan Sekunder ... 75

22 Hasil dekomposisi serasah pohon di Nibung 2 ... 75

23 Hasil dekomposisi serasah pohon di Jongkong 1 ... 75

24 Bentuk kanopi tumbuhan pada fase pohon yang digunakan saat pengukuran produksi dan laju dekomposisi serasah ... 77

25 Jenis cendawan yang diisolasi dari Hutan sekunder menggunakan media CMC ... 78

26 Jenis cendawan yang diisolasi dari Nibung 2 menggunakan media CMC ... 79

(18)

27 Jenis cendawan yang diisolasi dari Jongkong 1 menggunakan

media CMC ... 80 28 Jenis cendawan yang diisolasi dari Hutan sekunder menggunakan

media Alkali lignin ... 80 29 Jenis cendawan yang diisolasi dari Nibung 2 menggunakan

media Alkali lignin ... 81 30 Jenis cendawan yang diisolasi dari Jongkong 1 menggunakan

(19)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pulau Bangka merupakan penghasil utama timah di Indonesia. Kegiatan pertambangan timah selain memberikan keuntungan juga dapat mengakibatkan terganggunya ekosistem alam berupa perubahan struktur morfologi tanah yang dilanjutkan dengan kerusakan sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Dampak penambangan timah menyebabkan perubahan iklim seperti suhu, kelembaban, dan kandungan hara tanah. Aktivitas penambangan menurunkan kesuburan tanah, mengurangi areal hutan, berkurangnya ketersediaan hasil hutan yang penting, menurunkan keragaman vegetasi jenis tumbuhan dan hewan, perubahan topografi, pencemaran dan terganggunya sistem aliran air di sekitar lokasi, kerusakan yang sangat parah sulit untuk direhabilitasi. Akibat hilangnya fungsi hutan tersebut, maka produktivitas dan stabilitas lahan akan menurun.

Suksesi secara alami untuk memperbaiki lahan bekas tambang timah tanpa adanya campur tangan manusia membutuhkan waktu yang sangat lama. Tarmie (2005) menyatakan revegetasi alami pada lahan bekas tambang timah setelah belasan tahun terdiri dari Dicranopteris sp. (pakis), Melastoma sp., dan Eragrotis sp. (rumput-rumputan). Kriteria pemilihan jenis tumbuhan untuk revegetasi sementara ini berdasarkan atas sifat katalitik yang dimiliki jenis tersebut antara lain cepat tumbuh di lingkungan marginal dan memungkinkan jenis lain tumbuh kemudian, buahnya mudah disebarkan oleh burung pemakan buah, dan serasah mudah mengalami dekomposisi. Revegetasi lahan bekas tambang biasanya dengan cara pengadaan bibit tumbuhan pionir yang dapat mengikat N, cepat tumbuh, tahan kering, berdaun banyak dan mudah melapuk.

Vegetasi merupakan salah satu komponen biotik yang dapat tumbuh pada suatu wilayah tertentu dan dapat dijadikan sebagai cerminan dari iklim, tanah, topografi, dan ketinggian yang saling berinteraksi secara kompleks. Setiap jenis tumbuhan membutuhkan kondisi lingkungan yang spesifik untuk tumbuh dan berkembang biak dengan baik. Perubahan dan variasi kondisi lingkungan tertentu akan memberikan dampak bagi struktur dan komposisi jenis tumbuhan dari segi kelimpahan, pola penyebaran, asosiasi dengan jenis lainnya serta kondisi

(20)

pertumbuhan yang berbeda dengan jenis lainnya. Vegetasi yang berupa pohon pada suatu wilayah juga menunjukan struktur dan komposisi yang dapat memberikan gambaran tentang kondisi lingkungan pada habitatnya secara umum. Hutan alami dan hutan hasil revegetasi bekas tambang timah di pulau Bangka diharapkan menjadi tempat tumbuh dan berkembangnya berbagai jenis fauna dan flora sehingga memiliki kekayaan jenis yang beragam. Keragaman jenis tersebut dipengaruhi juga oleh kondisi lingkungan diantaranya kesuburan tanahnya. Salah satu faktor penentu kesuburan tanah adalah serasah.

Serasah merupakan bahan organik yang berasal dari organ tumbuhan yang mati dan jatuh ke lantai hutan. Komponen serasah tersebut terdiri dari organ-organ vegetatif seperti daun, ranting, dan cabang, serta organ-organ reproduktif seperti bunga, buah dan biji. Serasah sebagai guguran struktur vegetatif dan reproduktif yang jatuh disebabkan oleh faktor ketuaan (senescens), stress oleh faktor mekanik (misalnya angin), kombinasi antara keduanya, kematian serta kerusakan seluruh bagian tumbuhan oleh iklim (Yunasfi 2006). Produksi serasah dapat diketahui dengan memperkirakan komponen-komponen dari produksi primer bersih yang dapat terakumulasi pada lantai hutan yang selanjutnya mengalami mineralisasi melalui tahap-tahap dekomposisi.

Revegetasi yang sukses tergantung pada pemilihan vegetasi dan mikroorganisme yang adaptif tumbuh sesuai dengan karakteristik tanah, iklim, dan kegiatan pasca penambangan. Kemampuan tumbuh vegetasi pada lahan pasca tambang sangat bergantung pada mikroorganisme yang bermanfaat baik, bersimbiosis maupun hidup bebas pada rizosfer tumbuhan. Hal ini karena lahan pasca tambang selain mengalami kerusakan fisik, juga miskin dari mikroorganisme bermanfaat. Fungi tanah merupakan salah satu mikroorganisme yang sangat penting dalam membantu meningkatkan kesuburan tanah dan tumbuhan. Salah satu fungi tanah yang penting ialah fungi rizosfer dan rizoplan. Selain mikoriza, terdapat banyak fungi rizosfer dan rizoplan lain yang dapat meningkatkan kesuburan tanah dan tumbuhan. Fungi rizosfer biasanya hidup bebas, sedangkan fungi rizoplan umumnya hidup bersimbiosis mutualisme dengan tumbuhan inang. Fungi merupakan satu di antara berbagai kelompok mikroorganisme yang memainkan peran sangat penting dalam proses dekomposisi

(21)

serasah bahan-bahan tumbuhan. Hal ini karena fungi merupakan pengurai utama dedaunan yang memiliki kemampuan untuk menguraikan selulosa dan lignin. Seperti diketahui selulosa dan lignin ini secara bersama merupakan komponen penyusun dinding sel di daun.

Telah banyak penelitian yang melaporkan bahwa keberhasilan revegetasi lahan bekas tambang ditentukan tidak saja oleh vegetasinya tetapi juga oleh mikroorganisme tanahnya, misalnya penggunaan mikoriza. Beberapa mikroorganisme rizosfer berperan penting dalam siklus hara dan proses pembentukan tanah, pertumbuhan tumbuhan, mempengaruhi aktivitas mikroorganisme lainnya dan sebagai pengendali hayati terhadap patogen akar (Mardieni 2003). Oleh karena itu kajian mengenai potensi tumbuhan indigenos dan keragaman funginya untuk revegetasi lahan bekas tambang timah perlu dilakukan.

Perumusan Masalah

Penurunan kualitas lingkungan dapat disebabkan oleh penggunaan alat-alat berat dan bahan kimia selama proses produksi pengambilan timah. Berdasarkan pengamatan dilapangan permasalahan yang ada di lahan bekas tambang timah PT. Koba Tin adalah sebagai berikut:

1. Lahan bekas tambang timah memiliki unsur hara dan pH tanah yang rendah, sehingga tumbuhan sulit untuk tumbuh di lahan tersebut.

2. Hilangnya vegetasi alami dan berubahnya ekosistem lingkungan tersebut. 3. Hilangnya mikroorganisme yang berperan dalam mendekomposisikan

serasah

Kerangka Pemikiran Peneliti

Dasar pemikiran peneliti adalah bahwa daerah bekas penambangan timah mengakibatkan penurunan kualitas dan kuantitas lingkungan hidup, sehingga perlu dikaji mengenai suksesi tumbuhan dan keragaman funginya pada revegetasi lahan bekas tambang timah, sehingga dapat dimanfaatkan untuk penentuan strategi rehabilitasi lahan yang baik dan cepat. Kerangka berfikir dari penelitian ini disajikan pada Gambar 1.

(22)

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian tentang kajian awal potensi tumbuhan indigenos dan keragaman funginya untuk revegetasi lahan bekas tambang timah

di Pulau Bangka.

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mempelajari struktur dan komposisi jenis tumbuhan pada hutan sekunder dan hutan hasil revegetasi.

2. Mempelajari tentang kesuburan tanah di lahan bekas penambangan timah. 3. Menentukan produksi dan laju dekomposisi serasah pada beberapa

tumbuhan.

4. Menginventarisasi keragaman fungi dari rizosfer, akar, dan serasah daun dari beberapa tumbuhan pada hutan sekunder dan hutan hasil revegetasi. 5. Menentukan jenis tumbuhan indigenos dan funginya yang berpotensi

untuk revegetasi lahan bekas tambang timah. Lahan bekas tambang timah

Penurunan Kualitas Lingkungan

Fisik : Topsoil hilang Kimia : Kesuburan tanah menurun Biologi :

Vegetasi alami dan mikroorganisme (fungi) hilang

Analisis tanah, analisis vegetasi dan identifikasi fungi

Informasi tentang kajian awal potensi tumbuhan indigenos dan keragaman funginya untuk peningkatan kualitas lahan

(23)

Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat mempelajari tentang kajian awal potensi tumbuhan indigenos dan keragaman funginya untuk revegetasi lahan bekas penambangan timah dan dapat dijadikan sebagai salah satu sumber informasi untuk pertimbangan bagi pemerintah, perusahaan ataupun masyarakat dalam menentukan strategi rehabilitasi lahan bekas penambangan timah yang baik dan cepat.

Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :

1. Adanya variasi keanekaragaman jenis tumbuhan pada hutan sekunder dan hutan hasil revegetasi.

2. Kesuburan tanah di tempat penelitian mengalami penurunan kualitas dan kuantitas.

3. Ada beberapa jenis tumbuhan yang memiliki nilai produksi dan laju dekomposisi serasah yang tinggi pada lahan revegetasi bekas tambang timah.

4. Ada variasi keanekaragaman jenis fungi pada hutan sekunder dan hutan hasil revegetasi.

5. Ada beberapa jenis tumbuhan indigenos dan keragaman funginya yang berpotensi untuk revegetasi lahan bekas tambang timah.

(24)

TINJAUAN PUSTAKA

Lahan Bekas Penambangan Timah di PT Koba Tin, Koba-Bangka

PT Koba Tin merupakan perusahaan kerjasama antara MSC (Malaysian Smelting Corporation) dengan pemerintah Republik Indonesia yang bergerak di bidang pertambangan timah. Wilayah kerjanya meliputi areal seluas 619 km2 yang terletak di bagian Timur-Selatan Pulau Bangka. Kegiatan eksplorasi telah di mulai sejak Desember 1971, dengan percobaan penambangan dilakukan Maret 1973, dan penambangan komersil dimulai April 1974. Daerah kuasa pertambangan PT Koba Tin terletak di Kabupaten Bangka Tengah dan Kabupaten Bangka Selatan dengan jangka waktu kontrak karya 30 tahun yang telah berakhir pada tahun 2003. Namun sejak terjadi pemindahan kepemilikan saham dari Iluks Resources Limited (Australia) kepada Malaysian Smelting Corporation (Malaysia) pada tahun 2002, PT Koba Tin mendapatkan perpanjangan kontrak karya hingga tahun 2013.

Gambar 2 Peta Pulau Bangka (Sumber PT. Koba Tin 2004)

Secara geografis Pulau Bangka terletak pada posisi sekitar 2o20’ sampai 2o48’ LS dan 106o7’ sampai 106o56’ BT. Luas Pulau Bangka sekitar 10 760 km2 dengan panjang 214 km dan lebar 50 km. Topografi Pulau Bangka umumnya merupakan hamparan dataran dengan sedikit bergelombang oleh perbukitan. Topografi di wilayah kontrak karya PT Koba Tin merupakan daerah berkontur rendah yang mengikuti pesisir Pantai Koba menuju ke Timur Lubuk Besar, dengan ketinggian sampai 36 m dpl. Kemiringan permukaan tanah rata-rata

(25)

mengarah ke Utara sesuai aliran arah aliran sungainya. Berdasarkan dokumen AMDAL (1980) diacu dalam PT. Koba Tin (2004), areal tambang timah PT. Koba Tin mempunyai jenis tanah asosiasi podsolik coklat kekuningan dan podsol. Jenis tanah lain yang dapat ditemukan adalah alluvial, regosol dan latosol. Alluvial mempunyai bahan induk bersama pasir dan clay, sementara regosol abu-abu mempunyai bahan induk dari pasir.

Kegiatan penambangan timah menimbulkan perubahan ekosistem dan morfologi lahan. Ciri yang terlihat pertama kali adalah hilangnya vegetasi alami dengan tanah yang rusak karena horizon tanah tidak teratur, lapisan hitam dan lapisan-lapisan lainnya sudah terbalik. Lahan pasca penambangan berupa hamparan tailing pasir yang mengandung fraksi pasir lebih dari 94%, fraksi liat kurang dari 3%, kandungan bahan organik kurang dari 2% C-organik, daya memegang air sangat rendah, daya permeabilitas air sangat cepat, jumlah mikroorganismenya sangat rendah (Juairiah et al. 2005).

Tanah bekas tambang timah dapat berupa tailing dan overburden. Tailing merupakan material sisa dari penambangan timah berupa pasir yang mempunyai sifat fisik dan kimia tanah yang kurang subur. Sedangkan overburden merupakan material yang dipindahkan pada waktu stripping (pengupasan) yang terdiri dari campuran tanah, bahan induk tanah, pasir kerikil, dan lain-lain. Pada tumpukan galian overburden telah terjadi pencampuran berbagai lapisan, sehingga yang mengandung unsur hara sudah tidak terlihat lagi, bahkan telah ikut terbawa oleh aliran permukaan. Overburden mempunyai sifat heterogen yang tidak kompak, terdiri dari 2 komponen yaitu (1) top soil yang mengalami proses oksidasi, dan (2) material yang tidak mengalami oksidasi dan pelapukan yang dikenal sebagai bahan induk kurang menyokong pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan (PPAT 1990).

Revegetasi adalah usaha atau kegiatan penanaman kembali lahan bekas tambang. Revegetasi yang sukses tergantung pada pemilihan vegetasi yang adatif, iklim, dan kegiatan pasca penambangan. Adapun tujuan rehabilitasi ekosistem hutan yang mengalami degradasi adalah menyediakan, mempercepat dan melangsungkan proses suksesi alami selain untuk menambah produktivitas biologis, mengurangi laju erosi tanah, menambah kesuburan tanah (termasuk

(26)

bahan organik) dan menambah kontrol biotik terhadap aliran biogeokimia dalam ekosistem yang ditutupi tumbuhan (Parotta 1993).

Keanekaragaman Jenis

Keanekaragaman jenis adalah suatu bentuk komunitas baik flora maupun fauna yang hidup di muka bumi. Primack et al. (1998), diacu dalam Yassir (2005) menyebutkan keragaman hayati harus dilihat dari tingkat jenis, komunitas dan ekosistem, termasuk didalamnya jutaan tumbuhan, hewan, dan mikroorganisme, genetik sebagai ekosistem yang di bangun menjadi lingkungan hidup. Dombois et al. (1974) menyatakan bahwa struktur dan komposisi komunitas merupakan salah satu aspek penting untuk mengungkapkan bagaimana kondisi suatu komunitas tersebut dalam sistem kehidupan terutama organisasi populasi dan interaksinya masing-masing. Struktur tumbuhan merupakan organisasi dalam ruang dimana individu-individu membentuk suatu tegakan atau perluasan tipe tegakan membentuk asosiasi secara keseluruhan. Elemen penting dalam struktur tumbuhan adalah bentuk pertumbuhan (growth form), statifikasi, dan penutupan tajuk (coverage). Lebih lanjut Kershaw (1964) diacu dalam Arrijani (2006) membedakan tiga komponen struktur vegetasi yaitu: (1) struktur vertikal yaitu stratifikasi ke dalam lapisan-lapisan menurut ketinggian, (2) struktur horizontal yaitu distribusi ruang areal populasi dan masing-masing individu, (3) jumlah struktur yaitu kelimpahan masing-masing jenis dalam komunitas.

Penelitian keanekaragaman jenis dengan menggunakan indeks kekayaan jenis adalah untuk mengetahui jumlah jenis yang ditemukan pada suatu komunitas. Odum (1993) menyatakan bahwa keanekaragaman jenis dapat mempergunakan indeks kelimpahan jenis (spesies abundance), yaitu suatu indeks tunggal yang mengkombinasikan antara kekayaan jenis dan kemerataan jenis. Indeks kemerataan jenis di dalam menilai keanekaragaman jenis dapat digunakan sebagai petunjuk kemerataan kelimpahan individu antar setiap jenis. Indeks ini dapat digunakan pula sebagai indikator adanya gejala dominansi diantara setiap jenis dalam suatu komunitas. Adapun indeks kelimpahan jenis yang sering digunakan oleh beberapa peneliti ekologi adalah indeks kelimpahan jenis dari Shannon-Wiener.

(27)

Setiadi (1994) diacu dalam Kusumastuti (2005) mendefinisikan revegetasi sebagai suatu usaha manusia untuk memulihkan lahan kritis di luar kawasan hutan dengan maksud agar lahan tersebut berfungsi secara normal. Revegetasi dengan jenis-jenis pohon dan tumbuhan bawah yang terpilih dapat memberikan peranan penting dalam merehabilitasi hutan tropik. Revegetasi dengan jenis-jenis lokal dan eksotik yang telah beradaptasi dengan kondisi tempat tumbuh yang terdegradasi dapat memulihkan kondisi tanah dengan menstabilkan tanah, menambah bahan organik dan produksi serasah yang dihasilkan sebagai humus untuk memperbaiki keseimbangan siklus hara dalam lahan revegetasi.

Serasah

Serasah merupakan lapisan atas pada lantai hutan yang terdiri dari bagian-bagian tumbuhan yang telah mati seperti guguran daun, ranting dan cabang, bunga dan buah, kulit kayu serta bagian-bagian lainnya yang jatuh ke lantai hutan dan belum mengalami proses dekomposisi (Dephut 1997). Selain serasah yang berasal dari tumbuhan, serasah juga dapat berupa hewan yang telah mati pada permukaan tanah. Sehingga pengertian serasah dalam arti luas mencakup semua bahan organik yang tersusun dari bahan-bahan yang telah mati dan jatuh atau berada pada permukaan tanah sebelum mengalami dekomposisi. Secara umum semua serasah tersebut berperan dalam penyediaan bahan organik tanah tiap tahunnya (Deshmukh 1992).

Perbedaan produksi serasah disebabkan karena adanya variasi kondisi lingkungan yang mempengaruhi tumbuhan pada suatu lokasi tertentu. Selain itu kemampuan masing-masing pohon untuk beradaptasi dengan perubahan lingkungan sekitarnya juga berbeda-beda. Oleh sebab itu struktur dan kompisisi pohon penyusun suatu kawasan hutan juga mempengaruhi produksi serasah pada hutan tersebut (Sallata & Halidah 1990, diacu dalam Arrijani 2006).

Arrijani (2006) menyatakan bahwa serasah yang jatuh ke permukaan tanah bermanfaat untuk mempertahankan dan memperbaiki struktur tanah. Dengan adanya serasah pada permukaan tanah, maka akan memberikan banyak manfaat bagi tanah terutama untuk menunjang fungsinya sebagai media tumbuh tumbuhan. Kebaikan serasah pada permukaan tanah antara lain:

(28)

a. Melindungi agregat-agregat tanah dari daya rusak air hujan atau mencegah erosi.

b. Meningkatkan penyerapan air oleh tanah

c. Mengurangi volume dan kecepatan aliran permukaan d. Memelihara temperatur dan kelembaban tanah e. Memelihara kandungan bahan organik tanah f. Mengendalikan tumbuhan pengganggu

Bahan organik dalam serasah akan mengalami proses dekomposisi atau proses penguraian bahan organik kompleks yang berasal dari tumbuhan dan berlangsung secara fisik maupun kimiawi menjadi senyawa anorganik yang lebih sederhana. Salah satu dari serasah hasil dekomposisi bagi tumbuhan adalah sebagai sumber unsur hara berupa bahan kimia yang dapat diserap oleh tumbuhan yang akan dimanfaatkan dalam proses metabolisme dan pertumbuhan.

Keragaman Fungi

Fungi merupakan suatu kelompok mikroorganisme yang anggotanya sangat besar dan dapat ditemukan di hampir semua relung ekologi. Fungi tanah kira-kira 100 kali lebih sedikit daripada bakteri, tetapi biasanya mempunyai biomassa yang lebih besar. Fungi tanah selalu memainkan peranan yang paling besar dalam siklus nutrisi melalui proses dekomposisi dalam tanah, terutama untuk dekomposisi selulosa, kitin, dan lignin yang terdapat pada lapisan tanah bagian atas. Fungi sangat penting bagi kelangsungan hidup organisme lainnya baik pada tingkat jenis, komunitas dan ekosistem. Jika fungi tidak ada maka proses dekomposisi dan siklus nutrisi dalam tanah akan terhambat, sehingga dapat mengganggu keseimbangan ekosistem (Watling et al. 2002).

Habitat fungi di alam ialah tanah, air, udara, tumbuhan, hewan, kotoran hewan, serasah, bagian tanaman dan hewan mati, dan lain-lain. Fungi hidup pada bahan organik baik yang mati maupun yang hidup. Fungi saprob ialah fungi yang hidup pada bahan organik hidup disebut fungi simbion. Fungi yang hidupnya bersimbiosis terdiri dari simbiosis antagonistik (parasit) dan simbiosis mutualistik. Fungi simbiosis mutualistik diantaranya ialah fungi mikoriza dan endofit.

(29)

Fungi endofit adalah fungi yang terdapat di dalam jaringan tumbuhan seperti daun, bunga, ranting maupun akar tumbuhan. Fungi ini menginfeksi tumbuhan sehat pada jaringan tertentu dan mampu menghasilkan mikotoksin, enzim, dan antibiotik. Fungi endofit secara umum didominasi oleh kelompok Ascomycetes dan fungi bermitospora, serta beberapa Basidiomycetes. Contoh fungi endofit adalah Acremonium (Bacon & White 2000; Clay 1988).

Fungi tanah biasanya ialah beberapa Basidiomycetes, Mucorales, Ascomycetes, dan Deuteromycetes. Fungi tanah lain berperan di dalam penyediaan unsur hara fosfat diantaranya ialah Aspergillus sp dan Penicillium sp. Anke (1997) menyatakan bahwa fungi tanah seperti Aspergillus, Trichoderma, dan Penicillium berperan penting dalam menguraikan selulosa dan hemiselulosa. Fungi banyak berperan dalam proses dekomposisi serasah karena memiliki kemampuan untuk menghasilkan enzim selulose yang berguna dalam penguraian serasah. Kemampuan fungi dalam menguraikan selulosa juga dipengaruhi oleh kualitas serasah itu sendiri, serasah yang memiliki kandungan lignin yang tinggi akan lebih lama terdekomposisi.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Robinson et al. (1994) menunjukan bahwa pada serasah daun yang mengalami dekomposisi kadar selulosa dan kadar lignin masih berkurang dengan makin lamanya waktu dekomposisi. Konsentrasi unsur hara dan lignin yang terdapat pada serasah daun berpengaruh terhadap kecepatan dekomposisi melalui pengaruhnya terhadap ketersediaan karbon dan unsur hara yang diperlukan oleh fungi.

(30)

METODOLOGI

Tempat dan waktu penelitian

Penelitian dilakukan di lahan bekas penambangan timah PT. Koba Tin, Koba-Bangka, dan Pusat Penelitian Sumber Daya Hayati dan Bioteknologi IPB (PPSHB IPB). Penelitian dilakukan mulai bulan Juni 2007 sampai bulan Mei 2008.

Bahan dan Alat

Bahan penelitian yang digunakan di lapangan adalah keragaman vegetasi, serasah daun, dan sampel tanah, sedangkan di laboratorium adalah media isolasi fungi seperti Low Carbon Agar + Rose Bengal (LCA), Carboxymethyl Cellulose Agar (CMC), dan Alkali Lignin, alkohol, dan lain-lain

Peralatan yang digunakan di lapangan adalah kompas, meteran, tali rafia, sekop, plastik, dan alat tulis, sedangkan di laboratorium adalah mikroskop, cawan petri, tabung reaksi, dan lain-lain.

Pengukuran Parameter Ekologi

Parameter ekologi yang diukur pada lokasi penelitian antara lain kerapatan, frekuensi, dominasi, dan indeks nilai penting masing-masing tumbuhan. Analisis vegetasi yang dilakukan dengan penentuan kurva jenis area dan metode kuadrat (Cox 2002; Setiadi 1998; Kusmana 1997). Kurva jenis area untuk mengetahui berapa % penambahan jenis tumbuhan. Metode kuadrat untuk mengetahui komposisi jenis, peranan dan struktur suatu tipe vegetasi yang diamati.

a. Pengukuran kerapatan dan kerapatan relatif masing-masing pohon dilakukan setelah data lapangan dikumpulkan melalui metode kuadrat. Nilai kerapatan dan kerapatan relatif masing-masing jenis ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Kerapatan jenis (K) contoh petak total Luas jenis suatu individu Jumlah =

(31)

K. Relatif (KR) x100% jenis seluruh total K jenis suatu K =

b. Pengukuran nilai frekuensi dan frekuensi relatif masing-masing jenis dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Dominansi (D) contoh petak Luas jenis suatu penutupan Luas = D. Relatif (DR) x100% jenis seluruh D jenis suatu D =

c. Pengukuran nilai dominasi mutlak dan dominasi relatif masing-masing jenis dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Frekuensi (F) contoh petak seluruh Jumlah jenis diduduki yang petak Jumlah = F. Relatif (FR) x100 jenis seluruh F jenis suatu F = %

d. Menghitung Indeks Nilai Penting (INP) masing-masing jenis dengan cara menjumlahkan nilai kerapatan relatif, frekuensi relatif dan dominasi relatif masing-masing jenis. Rumus yang digunakan adalah:

INPa = KRa + FRa + DRa

Dimana : INPa = Indeks nilai penting jenis tertentu KRa = Nilai kerapatan relatif jenis tertentu FRa = Nilai frekuensi relatif jenis tertentu DRa = Nilai dominasi relatif jenis tertentu

Lokasi penelitian ditentukan dengan mempertimbangkan keragaman lokasi seperti hutan sekunder dan lahan bekas tambang yang telah direvegetasi dengan usia 0, 3, 16 dan 28 tahun. Penempatan plot dilakspancang secara acak berdasarkan peta wilayah dan hasil survei di lapangan. Metode penempatan plot menggunakan metode garis berpetak, dengan pengambilan contoh kuadrat (Dombois et al. 1974; Setiadi 1998; Kusmana 1997) dan penempatan jalur/transek secara purposive (Gambar 3).

(32)

Gambar 3 Desain unit contoh vegetasi dalam Metode Kuadrat.

Pada inventarisasi vegetasi perlu dibedakan antara fase pertumbuhan seedling (semai), sapling (pancang), pole (tiang), dan tree (pohon). Adapun perbedaanya adalah:

a. Seedling (semai) permudaan mulai kecambah sampai tinggi 1,5 m.

b. Sapling (pancang) permudaan yang tingginya >1,5 m dan berdiameter < 10 cm.

c. Pole (tiang) pohon-pohon muda yang berdiameter 10-20 cm. d. Tree (pohon) pohon dewasa dengan diameter >20 cm.

Pemilihan sampel pohon untuk pengambilan serasah daun diutamakan tumbuhan dan yang memiliki Nilai Indeks Penting (INP) tinggi karena merupakan jenis yang dominan sehingga penetapannya sebagai sampel diharapkan mewakili semua jenis pohon di lokasi penelitian. Identifikasi dilakukan langsung di lokasi penelitian untuk menentukan nama ilmiah dan nama lokal masing-masing jenis tumbuhan yang ditemukan. Jika terdapat kesulitan untuk mengidentifikasi jenis tumbuhan tertentu, maka dilakukan koleksi terhadap sampel tumbuhan dan identifikasi lebih lanjut di Herbarium Bogoriense.

d

Keterangan :

a. plot 1m x1m untuk tumbuhan bawah dan semai

b. plot 2m x 2m untuk pancang c. plot 10m x 10m untuk tiang d. plot 20m x 20m untuk pohon c b a 10 m 20 m Plot 1 Plot 2 dst

(33)

Pengukuran Produksi Serasah

Produksi serasah diukur dengan menggunakan jaring penampung serasah (litter trap) berukuran 1m x 1m dan ditempatkan di bawah kanopi masing-masing pohon yang terpilih sebagai sampel penelitian (Gambar 4). Jumlah dan jenis pohon ditentukan kemudian berdasarkan hasil pemilihan yang ada di lokasi penelitian dan dilakukan dengan 3 kali ulangan untuk masing-masing jenis pohon. Serasah yang tertampung dalam jaring penampung diambil setiap hari selama 3 minggu. Serasah daun ditampung dalam kantong plastik dan diberi label. Lalu ditimbang berat basahnya, dikeringkan dalam oven pengering selama 4 hari atau sampai beratnya tetap, pada suhu 70oC. Kemudian serasah kering tersebut ditimbang dengan alat timbangan. Parameter yang diukur adalah berat serasah pada masing-masing penampungan serasah dengan menggunakan satuan gram/m2/hari (Arrijani 2006; Francesca et al. 2005).

Gambar 4 Jaring penampung serasah (Litter trap) yang digunakan untuk menapung serasah yang jatuh dari pohon di beberapa lokasi penelitian.

Pendugaan Laju Dekomposisi Serasah

Untuk menghitung laju dekomposisi serasah digunakan litter bag yang terbuat dari kantong nylon dengan pori 1 mm dengan ukuran 20 x 30 cm. Kantong ini diisi dengan 10 gram serasah daun kering dan kantong-kantong diberi label, kemudian diletakan diatas permukaan tanah berdekatan dengan pohon sampel (Gambar 5). Jumlah kantong yang dipasang disetiap lokasi tergantung hasil pengamatan analisis vegetasi. Kantong yang diambil dan diamati setelah 7 hari, 14 hari, dan 21 hari. Serasah daun yang tersisa dalam kantong ditimbang dan selanjutnya dikeringkan dalam oven pada suhu 70oC selama 4 hari atau sampai beratnya tetap (Olson 1963; Das 2003).

(34)

Gambar 5 Kantong serasah (Litter bag) yang digunakan untuk penempatan serasah di beberapa lokasi penelitian.

Perhitungan laju dekomposisi diperoleh dari perhitungan yang dilakukan oleh Olson (1963) yaitu dengan rumus:

kt e Xo Xt = . − Xt (1)

( )

kt Xo Xt = ln

Adapun penentuan lama masa serasah terdapat (residience time) di lantai hutan

digunakan rumus: 1k (2)

Dengan pengertian:

Xt = bobot kering serasah setelah waktu pengamatan ke-t (g) Xo = bobot serasah awal (g)

e = bilangan logaritma natural (2,72) k = laju dekomposisi serasah

t = waktu pengamatan (hari)

Pengambilan Sampel Tanah

Sampel tanah komposit secara diagonal pada masing-masing lokasi penelitian diambil dengan menggunakan bor tanah berdiameter 5 cm pada kedalaman 0 – 20 cm untuk analisis rutin tanah. Sampel tanah untuk masing-masing lokasi diambil dari 10 petak sampel yang digunakan untuk analisis vegetasi. Sampel tanah tersebut dianalisis kesuburan tanahnya di Laboratorium Balai Penelitian Tanah, Bogor.

(35)

Teknik pengambilan sampel tanah (rizosfer) untuk isolasi fungi dilakukan dengan cara diambil bagian rizosfer tumbuhan pada kedalaman 0 – 20 cm dengan menggunakan bor tanah berdiameter 5 cm. Sampel tanah (rizosfer) tersebut dikeringudarakan, diisolasi, dan diidentifikasi di Laboratorium PPSHB IPB. Rizosfer diambil dari daerah yang belum ditambang dan beberapa daerah hasil revegetasi.

Pengambilan Sampel Akar

Pada pengambilan sampel akar tumbuhan (rizoplan) untuk isolasi fungi dilakukan dengan cara menentukan ujung perakaran dari tumbuhan tersebut, lalu diambil akarnya dengan menggunakan bor tanah berdiameter 10 cm. Akar yang diperoleh dibersihkan dari tanah dan kotoran, lalu disimpan dalam plastik berlabel. Rizoplan diambil dari beberapa tumbuhan hasil analisis vegetasi yang memiliki INP tinggi pada setiap lokasi penelitian.

Pengambilan Sampel Serasah

Isolasi serasah untuk identifikasi fungi diambil dari daun segar sebagai kontrol, serasah yang tertampung pada litter trap sebagai serasah minggu ke-0. Sedangkan sisa serasah pada litter bag yang diambil pada hari ke-7 sebagai serasah minggu ke-1, sisa serasah pada litter bag yang diambil pada hari ke-14 sebagai serasah minggu ke-2, dan sisa serasah pada litter bag yang diambil pada hari ke-21 sebagai serasah minggu ke-3. Serasah daun yang diambil tersebut berasal dari beberapa tumbuhan hasil analisis vegetasi yang memiliki INP tinggi pada setiap lokasi penelitian.

Isolasi fungi

a. Rizosfer dan rizoplan

Isolasi fungi rizosfer dengan teknik pengenceran. Sampel tanah ditimbang sebanyak 1g kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi berisi 9 ml dengan perbandingan 1:10 (bobot/volume) sampai pengenceran 103 kali dan dikocok dengan vortex selama 10-20 menit. Suspensi dari pengenceran 103 diambil sebanyak 50µl dan disebar pada media LCA yang mengandung antibiotik dan

(36)

rose bengal, media CMC, dan media Alkali Lignin, dengan masing-masing media 3 kali ulangan. Cawan kemudian diinkubasi pada suhu 27oC selama 5 hari. Pengamatan dilakukan setiap hari. Koloni yang tumbuh selanjutnya dimurnikan dan diidentifikasi (Barnet & Hunter 1998; Domsch et al. 1980; Fassatiova 1986; Gandjar et al. 1999).

Sampel akar muda dari tumbuhan hidup (rizoplan) dipotong ± 1cm, cuci dengan air mengalir, direndam alkohol 70% selama 1 menit, bilas dengan akuades, rendam dalam NaOCl 0.5% selama 15 menit, lalu dibilas dengan akuades 3 kali. Tiriskan dengan tissu steril dan ditanam pada media LCA, CMA, dan Alkali Lignin (Bill 1996).

b. Dekomposer

Daun segar dari tumbuhan hidup (sebagai kontrol) dipotong ± 1cm, cuci dengan air mengalir, direndam alkohol 70% selama 1 menit, bilas dengan akuades, rendam dalam NaOCl 0.5% selama 15 menit, lalu dibilas dengan akuades 3 kali. Tiriskan dengan tissu steril dan ditanam pada media LCA, CMA, dan Alkali Lignin.

Sampel serasah daun dikeringudarakan, lalu dihancurkan dengan blender dan dipisahkan dengan saringan bertingkat yaitu 500, 250, dan 125 µm. Butiran serasah yang terdapat pada saringan dengan ukuran 125 µm dicuci dalam air mengalir selama 15 menit, lalu disebar pada media LCA, CMA, dan Alkali Lignin.

Identifikasi Fungi

Biakan murni fungi diremajakan pada media Potato Dextrose Agar (PDA) dan diinkubasi 5-7 hari pada suhu ruang. Isolat fungi yang telah tumbuh pada media, diamati ciri-ciri makroskopiknya yaitu ciri koloni seperti sifat tumbuh hifa, warna dan diameter koloni dan warna massa spora atau konidia. Isolat fungi juga ditumbuhkan pada kaca objek dengan Metode Riddel (Gunawan et al. 2006) yaitu dengan cara meletakkan potongan agar sebesar 4 x 4 x 2 mm yang telah ditumbuhi fungi pada kaca objek, yang kemudian ditutup dengan kaca penutup. Isolat pada kaca objek ini ditempatkan dalam cawan Petri berdiameter 9 cm, yang

(37)

telah diberi pelembab berupa kapas basah. Isolat fungi pada kaca objek ini dibiarkan selama beberapa hari pada kondisi ruang sampai isolat fungi tumbuh cukup berkembang. Ketika isolat fungi telah berkembang dilakukan pengangkatan kaca penutup yang telah ditumbuhi fungi dengan hati-hati untuk membuang potongan agarnya. Selanjutnya pada bekas potongan agar ditetesi larutan laktofenol untuk membuat kultur permanen. Kaca penutup yang juga telah ditumbuhi fungi selanjutnya ditempatkan di atas larutan laktofenol di atas kaca objek. Kultur kaca ini diamati dengan menggunakan mikroskop cahaya untuk mengetahui ciri mikroskopik fungi yaitu ciri-ciri hifa, ada tidaknya sekat pada hifa, tipe percabangan hifa, konidiofor, konidiogenesis, serta ciri-ciri konidia atau spora (bentuk dan rangkaian) dan ukuran spora. Setelah itu dicocokkan dengan kunci identifikasi fungi (Domsch et al. 1980; Barnett & Hunter 1998; Fassatiova 1986; Gandjar et al. 1999). Pemeliharaan biakan murni dilakukan dengan cara biakan disimpan dalam parafin cair steril yang menutupi seluruh permukaan biakan

(38)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Vegetasi

Lokasi penelitian untuk analisis vegetasi ditentukan dengan mempertimbangkan keragaman lokasi seperti hutan sekunder dan lahan bekas tambang yang telah direvegetasi dengan usia 0, 3, 16, dan 28 tahun (Lampiran 1). Penentuan lokasi penelitian ini berdasarkan hasil survei lokasi yang telah dilakukan. Hutan sekunder merupakan hutan yang pernah mengalami gangguan oleh manusia, misalnya pohon yang diambil kayunya untuk keperluan manusia.

Gambar 6 Jumlah jenis tumbuhan pada beberapa fase pertumbuhan di lokasi penelitian.

Jumlah jenis tumbuhan pada beberapa fase pertumbuhan di lokasi penelitian tersaji pada Gambar 6. Pada hutan sekunder jumlah jenis tumbuhan tertinggi dijumpai pada fase pancang sebanyak 18 jenis, fase semai sebanyak 17 jenis, diikuti fase tiang (10), dan fase pohon (9), sedangkan tumbuhan bawah ditemukan 4 jenis. Hal ini menunjukan bahwa hutan sekunder belum memiliki komposisi jenis sesuai dengan hutan hujan tropik secara umum. Hutan hujan tropis memiliki komposisi jenis yang baik karena jumlah jenis semai lebih banyak dari pada pancang, jumlah jenis tumbuhan pancang lebih banyak dari pada tiang, dan jumlah jenis tiang lebih banyak dari pada pohon. Pada Nibung 2 (lahan revegetasi usia 28 tahun) jumlah jenis tertinggi terdapat pada tumbuhan bawah yaitu 12 jenis, fase pancang sebanyak 13, fase semai (7), lalu diikuti fase pohon

0 5 10 15 20 25 Jongkong 5E (0 tahun) Jongkong 24 (3 tahun) Jongkong 1 (16 tahun) Nibung 2 (28 tahun) Hutan sekunder Lokasi Penelitian Ju m lah j e n is tu m b u h a n

(39)

(6), dan fase tiang (5). Pada lokasi Nibung 2 terjadi pengurangan jumlah jenis pada fase tiang. Pada Jongkong 1 (lahan revegetasi usia 16 tahun) jumlah jenis tumbuhan tertinggi terdapat pada fase pancang sebanyak 20 jenis, lalu fase semai sebanyak 15 jenis, tumbuhan bawah 10 jenis, fase tiang sebanyak 8 jenis, dan fase pohon sebanyak 7 jenis. Sedangkan pada Jongkong 24 (lahan revegetasi usia 3 tahun) terjadi pengurangan jenis tumbuhan, yaitu hanya terdapat pada tumbuhan bawah (9), fase pancang (14) dan semai(4). Hasil analisis vegetasi secara keseluruhan dapat dilihat pada Lampiran 2-19. Perubahan yang mendasar dari lahan bekas penambangan timah ini diduga karena terjadinya perubahan bentang alam, tercuci dan hanyutnya unsur hara tanah. Sehingga terjadi kerusakan ekologi di daerah tersebut dan hanya jenis tumbuhan tertentu saja yang dapat bertahan pada kondisi tanah yang bertekstur pasir ini.

Berdasarkan analisis vegetasi pada lahan bekas tambang timah dapat diduga yang pertama kali muncul adalah jenis paku-pakuan yaitu Gleichenia linearis (paku resam) karena jenis tumbuhan ini dijumpai pada tumbuhan bawah di lahan bekas tambang usia revegetasi 3 tahun (Jongkong 24) dan di lahan bekas tambang usia revegetasi 16 tahun (Jongkong 1). Setelah tumbuh jenis paku-pakuan dilanjutkan tumbuh jenis vegetasi lain seperti rumput dan permudaan pohon. Jenis paku-pakuan memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi karena daya reproduksi yang tinggi pada lahan yang baru dibuka dan berkembang biak dengan sistem vegetatif melalui rhizoma dan generatif melalui spora.

Sistem perkembangbiakan dengan rhizoma mengakibatkan organ tumbuhan tersebut tidak terkena penetrasi setelah kondisi lingkungan cukup mendukung, maka akan muncul kembali tunas-tunas jenis paku-pakuan dengan cepat. Jenis vegetasi pada lahan bekas tambang timah memiliki urutan tumbuhan yang tumbuh adalah rumput-rumputan, semak kemudian pohon. Selanjutnya diikuti oleh jenis tumbuhan bawah yang terdiri dari herba dan rumput-rumputan. Beberapa jenis semai yang muncul merupakan jenis baru yang belum ada. Munculnya jenis baru ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu berasal dari tegakan disekitarnya yang penyebarannya dibantu oleh angin, hewan, dan air. Sebaliknya pertumbuhan bawah memiliki pertumbuhan yang cepat dibandingkan dengan kondisi awal. Hal ini diduga terjadi karena pada awal penambangan

(40)

ketersediaan nutrisi dan ruang tumbuh belum mendukung pertumbuhan tingkat semai, seiring perjalanan waktu kondisi lahan mengalami perubahan sehingga terjadi peningkatan jumlah jenis dan individu.

Analisis vegetasi pada hutan sekunder, Nibung 2, dan Jongkong 1 untuk tingkat pohon tercantum pada Tabel 1 yang menunjukkan komposisi dan struktur tumbuhan yang nilainya bervariasi pada setiap jenis. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan karakter pada masing-masing jenis pohon. Acacia mangium memiliki nilai INP tertinggi di setiap lokasi penelitian (Hutan sekunder = 104.19, Nibung 2 = 209.79, dan Jongkong 1 = 212.80). Acacia mangium merupakan tanaman revegetasi untuk lahan bekas tambang timah.

Tabel 1 Indeks Nilai Penting (INP) jenis pohon yang ditemukan pada lokasi penelitian

No Nama Jenis KR FR DR INP

Lokal Ilmiah

HUTAN SEKUNDER

1 Bintangor Calophyllum lanigerum 7.14 10.53 6.35 24.02

2 Akasia Acacia mangium 35.71 26.32 42.17 104.19

3 Seru Schima wallichii 28.57 26.32 25.02 79.90

4 Pelaik Dyera costulata 7.14 10.53 9.95 27.61

5 Kayu arang-arang Syzygium claviflorum 3.57 5.26 4.77 13.60

6 Mesiran Ilex cymosa 3.57 5.26 1.93 10.76

7 Cempedak Arthocarpus integer 7.14 5.26 4.91 17.32

8 Jeled Microcos tomentosa 3.57 5.26 1.98 10.82

9 Kayu pengikar Fam: Euphorbiaceae 3.57 5.26 2.91 11.74

NIBUNG 2

1 Akasia Acacia mangium 79.31 55.55 74.93 209.79

2 Leben Vitex pubescens 2.29 5.55 3.36 11.21

3 Kenidae Bridelia tomentosa 4.59 8.33 4.81 17.74

4 Pelaik Dyera costulata 2.29 5.55 2.22 10.07

5 Sengon Paraserianthes falcataria 9.19 19.44 13.48 42.12

6 Seru Schima wallichii 2.29 5.55 1.17 9.03

JONGKONG 1

1 Akasia Acacia mangium 76.59 55.55 80.65 212.80

2 Bebetun Syzygium sp 1.06 2.77 0.69 4.53

3 Karet Hevea brosiliensis 5.31 11.11 4.36 20.79

4 Pelaik Dyera costulata 3.19 8.33 3.11 14.63

5 Samak Eugenia sp 1.06 2.77 0.77 4.61

6 Sengon Paraserianthes falcataria 2.12 2.77 1.65 6.56

7 Seru Schima walliichii 10.63 16.66 8.74 36.04

Tumbuhan yang dominan pada hutan sekunder adalah Acacia mangium, karena tumbuhan ini mempunyai kemampuan adaptasi dan daya reproduksi yang

(41)

tinggi. Tumbuhan ini tumbuh di lapisan terluar dari hutan sekunder dan tidak dijumpai pada lapisan dalam hutan sekunder. Hal ini menunjukkan bahwa Acacia mangium yang ada di hutan sekunder merupakan tumbuhan yang tumbuh sendiri karena terbawa oleh manusia ataupun hewan. Tumbuhan Schima wallichii dan Dyera costulata dijumpai pada hutan sekunder dan lahan revegetasi (Nibung 2 dan Jongkong 1). Hal ini menunjukkan bahwa tumbuhan tersebut dapat beradaptasi di lingkungan yang kurang subur seperti di lahan bekas tambang timah. Revegetasi dengan menggunakan jenis-jenis lokal dan eksotik yang telah beradaptasi dengan kondisi tempat tumbuh yang terdegradasi dapat memulihkan kondisi tanah dengan menstabilkan tanah, penambahan bahan organik dan produksi serasah yang dihasilkan sebagai humus untuk memperbaiki keseimbangan siklus hara pada lahan revegetasi.

Vegetasi lokal seperti Imperata cylindrica dan Melastoma malabraticum merupakan jenis tumbuhan bawah yang banyak dijumpai pada lahan bekas tambang. Secara umum Imperata cylindrica (alang-alang) mendominasi di lahan bekas tambang timah, hal ini diduga jenis tumbuhan ini memiliki senyawa alellopati yang dapat menghambat pertumbuhan tumbuhan lain. Melastoma malabraticum (kera munting) merupakan vegetasi yang banyak menginvasi lahan bekas tambang timah. Hal ini menunjukkan bahwa tanah tersebut bersifat asam karena memiliki pH rendah dan terjadi penumpukan fosfat pada tanah tersebut (Badri 2004).

Analisis Tanah

Analisis sifat tanah merupakan indikator penting dalam menilai tingkat kesuburan tanah. Tanah yang dianalisis diambil dari hutan sekunder dan beberapa lahan bekas tambang yang telah direvegetasi. Karakteristik sifat fisik tanah berdasarkan hasil analisis laboratorium yaitu tekstur tanah menunjukkan ukuran butir tanah. Tekstur tanah secara umum dibedakan atas tiga kelas, yaitu pasir (50µ- 2mm), debu (2 µ-50 µ), dan liat (kurang dari 2 µ) (Hardjowigeno 2007). Berdasarkan hasil analisis sampel tanah dari Hutan sekunder, Nibung 2, Jongkong 1, Jongkong 24, dan Jongkong 5E memiliki tekstur tanah yang didominasi oleh pasir (Tabel 2). Tanah bertekstur pasir mempunyai luas permukaan yang kecil

(42)

sehingga sulit menyerap (menahan) air dan unsur hara. Kondisi demikian menyebabkan tanah-tanah di lokasi penelitian kurang subur, sehingga akan mempengaruhi jenis tumbuhan yang tumbuh di daerah tersebut.

Tabel 2 Analisis sifat fisik tanah pada lokasi penelitian

No Sifat Tanah Hutan Sekunder Nibung 2 (28 tahun) Jongkong 1 (16 tahun) Jongkong 24 (3 tahun) Jongkong 5E (0 tahun) 1 Pasir 68 76 72 86 76 2 Debu 17 8 4 9 14 3 Liat 15 16 24 5 15

Karakteristik sifat kimia tanah berdasarkan hasil analisis sifat kimia tanah, terlihat perbedaan status hara antara Hutan sekunder, Nibung 2, Jongkong 1, Jongkong 24, dan Jongkong 5E (Tabel 3). Tanah pada hutan sekunder memiliki pH agak masam (5.6), sedangkan tanah pada lokasi bekas penambangan (Nibung 2, Jongkong 1, Jongkong 24, dan Jongkong 5E) memiliki pH yang bersifat masam (².6-4.9). Berdasarkan Kusumastuti (2005), tanah di wilayah ini mempunyai kesuburan yang rendah karena tingkat kemasamannya yang tinggi (nilai pH rendah).

Tabel 3 Analisis sifat kimia tanah pada lokasi penelitian

N o Sifat Tanah Hutan Sekunder Nibung 2 (28 th) Jongkong 1 (16 th) Jongkong 24 (3 th) Jongkong 5E (0 th) Lab Krit Lab Krit Lab Krit Lab Krit Lab Krit 1 pH (H2O) 5.6 AM 4.8 M 4.9 M 4.6 M 4.7 M 2 C (%) 2.11 S 1.61 R 2.83 S 0.40 SR 0.23 SR 3 N (%) 0.12 R 0.12 R 0.16 R 0.02 SR 0.02 SR 4 C/N 18 T 14 S 18 T 18 T 13 S 5 P2O5 Bray-1 mg/kg 24 T 16 S 3 SR 2 SR 3 SR 6 K cmol(+)/kg 0.07 SR 0.07 SR 0.12 R 0.07 SR 0.05 SR 7 Ca cmol(+)/kg 0.25 SR 0.49 SR 0.33 SR 0.32 SR 0.24 SR 8 Mg cmol(+)/kg 0.21 SR 0.23 SR 0.17 SR 0.06 SR 0.06 SR 9 Na cmol(+)/kg 0.07 SR 0.07 SR 0.09 SR 0.06 SR 0.07 SR 1 0 KTK cmol(+)/kg 4.76 SR 3.36 SR 7.77 R 1.75 SR 1.43 SR 1 1 KB (%) 13 SR 25 R 9 SR 29 R 29 R 1 2 Al cmol(+)/kg 1.97 SR 1.39 SR 5.47 SR 1.20 SR 0.89 SR Sumber: Data primer dan kriteria penilaian sifat kimia tanah (Hardjowigeno 2007)

Keterangan : Lab: Laboratorium Krit: Kriteria SR: Sangat Rendah

R: Rendah S: Sedang T: Tinggi

(43)

Pada hutan sekunder nilai C-organik sebesar 2,11% (tergolong sedang), di Nibung 2 sebesar 1.61% (tergolong rendah), di Jongkong 1 sebesar 2.83% (tergolong sedang), di Jongkong 24 sebesar 0.40% (tergolong sangat rendah), sedangkan di Jongkong 5E sebesar 0.23% (tergolong sangat rendah). Nilai N-total di tiga lokasi penelitian berkriteria rendah yaitu berkisar antara 0.12% - 0.16%, sedangkan di lokasi Jongkong 24 dan Jongkong 5E berkriteria sangat rendah yaitu 0.02%. Nilai C/N rasio tinggi pada tanah hutan sekunder, Jongkong 1, dan Jongkong 24 yaitu 18, sedangkan tanah pada Nibung 2 dan Jongkong 5E berkriteria sedang (13-14). Jongkong 24 merupakan lahan revegatasi berusia 3 tahun ternyata memiliki C/N rasio tinggi (18).

Rendahnya kadar bahan organik di lahan bekas tambang timah disebabkan oleh hilangnya lapisan atas tanah (top soil) dan lapisan bawah (sub soil) pada saat proses awal penambangan, yaitu pada saat pengupasan tanah penutup bahan tambang. Akibatnya lapisan atas dan bawah tanah terbalik dan tertimbun oleh sisa bahan galian tambang timah. Top soil merupakan medium tempat tumbuh tumbuhan karena banyak mengandung bahan organik, unsur makro dan mikro serta mikroorganisme yang membantu mendekomposisikan bahan organik. Hilangnya top soil akan menyebabkan menurunnya produktivitas tumbuhan. Selain itu terbukanya lahan pasca tambang timah juga disebabkan oleh tidak adanya vegetasi yang dapat tumbuh di lahan tersebut. Badri (2004) menyatakan bahwa nilai N-total pada lahan pasca tambang umumnya sangat rendah, walaupun ada juga yang tinggi tetapi masih belum mencukupi untuk mendukung pertumbuhan tumbuhan.

Hutan sekunder memiliki nilai K, Ca, Mg, Na, dan Al yang sangat rendah (Tabel 3). Hal ini diduga terjadi akibat reaksi tanah yang mengalami ganguan akibat penebangan hutan dan berubahnya fungsi hutan, sehingga menyebabkan berkurangnya unsur-unsur tersebut. Sedangkan rendahnya nilai K, Ca, Mg, Na, dan Al pada bekas lokasi penambangan, diduga akibat aktivitas penambangan yang menyebabkan unsur-unsur tersebut mudah larut atau terbuang. Unsur-unsur tersebut merupakan unsur hara yang diperlukan untuk pertumbuhan tumbuhan dalam jumlah yang sangat kecil, tetapi jika tidak ada dapat mempengaruhi pertumbuhan tumbuhan (Hardjowigeno 2007).

(44)

Rendahnya nilai Kapasitas Tukar Kation (KTK) pada semua lokasi penelitian disebabkan adanya penurunan pH dan kadar bahan organik. KTK merupakan sifat kimia tanah yang sangat erat hubungannya dengan kesuburan tanah, sebab tanah tidak akan mampu menyerap dan menyediakan unsur hara yang cukup bagi pertumbuhan tumbuhan apabila memiliki KTK yang rendah. Nilai KTK dipengaruhi oleh tekstur, pH tanah, jumlah dan tipe liat serta bahan organik. Tekstur tanah berkaitan dengan KTK karena peningkatan fraksi kasar (pasir) akan menurunkan KTK.

Produksi Serasah

Secara umum produksi serasah dari jenis-jenis pohon yang ditemukan pada lokasi penelitian sangat bervariasi (Tabel 4). Pengguguran daun atau ranting suatu jenis pohon yang dipengaruhi oleh umur daun, ketersediaan air dalam lingkungan, kelembaban, suhu udara, dan faktor fisiologis dari suatu pohon (Dubeux et al. 2006). Produksi serasah tertinggi pada setiap lokasi dijumpai pada tumbuhan Acacia mangium (Hutan sekunder = 1.74 x 10-4 ton/ha/tahun, Nibung 2 = 3.63 x 10-4 ton/ha/tahun, Jongkong 1 = 3.79 x 10-4 ton/ha/tahun). Produksi serasah untuk tumbuhan Dyera costulata adalah 0.89 x 10-4 ton/ha/tahun (Hutan sekunder), 0.68 x 10-4 ton/ha/tahun (Nibung 2), dan 3.20 x 10-4 ton/ha/tahun (Jongkong 1). Sedangkan pada tumbuhan Schima wallichii memiliki nilai produksi serasah sebesar 0.97 x 10-4 ton/ha/tahun (Hutan sekunder), 0.88 x 10-4 ton/ha/tahun (Nibung 2), dan 1.31 x 10-4 ton/ha/tahun (Jongkong 1). Produksi serasah tertinggi dihasilkan oleh Acacia mangium, hal ini diduga karena Acacia mangium memiliki rata-rata luas penutupan tajuk 3.1 m2 dan luas bidang dasar 0.17 m2 (Lampiran 18). Bentuk kanopi untuk jenis tumbuhan yang diberi perlakuan dapat dilihat pada Lampiran 24.

Arrijani (2006) menyatakan bahwa terjadinya perbedaan produksi serasah pada setiap tumbuhan disebabkan karena adanya variasi kodisi lingkungan yang mempengaruhi tumbuhan tersebut. Selain itu kemampuan masing-masing pohon untuk beradaptasi dengan perubahan lingkungan disekitarnya juga berbeda-beda. Oleh sebab itu struktur dan komposisi pohon penyusun suatu kawasan hutan juga mempengaruhi produksi serasah pada hutan tersebut. Pada tegakan alamiah dalam

Gambar

Gambar 1  Kerangka pemikiran penelitian tentang kajian awal potensi tumbuhan  indigenos dan keragaman funginya untuk revegetasi lahan bekas tambang timah
Gambar 2  Peta Pulau Bangka (Sumber PT. Koba Tin 2004)
Gambar 4 Jaring penampung serasah (Litter trap) yang digunakan untuk  menapung serasah yang jatuh dari pohon di beberapa lokasi penelitian
Gambar 5  Kantong serasah (Litter bag) yang digunakan untuk penempatan  serasah di beberapa lokasi penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kami bekerjasama dengan pelanggan dan pemangku kepentingan untuk memastikan bahwa perekonomian yang kami dukung memberikan dampak yang baik untuk manusia dan lingkungan..

Ardi Pramono, Sp.An selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan juga selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak

Saimaan syväväylän yhteistoimintasuunnitelma laaditaan öljyvahinkojen torjuntalain 13 §:n 1 momentista poiketen kuitenkin vain alusöljyvahinkojen varalta, elleivät

Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah “ Kesesuaian lahan untuk tanaman mahoni di Sub – DAS Logawa &gt; 50 % kategori sangat. sesuai terutama

thiết kế nội thất, thi công nội thất thiết kế nội thất, thi công nội thất thi công nội thất Công ty cổ phần công nghệ Mydeco.. Tầng 3 - 102 Thái Thịnh

7 a) Dalam menghitung diskonto arus kas dalam metode EVE, margin komersial dan spread components lainnya telah diperhitungkan dalam arus kas hingga jatuh.. b) NMD

Pemerintah Kota Batu pada dasarnya telah melakukan langkah -langkah perubahan untuk mewujudkan pemerintahan daerah yang bersih dan bebas KKN, Pelayanan yang berkualitas,

Syarat atau kondisi pertanggungan meliputi jaminan ganti kerugian materiil dari perusahaan Asuransi akibat dari suatu sebab yang disebutkan dalam polis (tabrakan, benturan,