• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 SUKSESI LAHAN PASCA TAMBANG TIMAH DI PULAU BANGKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2 SUKSESI LAHAN PASCA TAMBANG TIMAH DI PULAU BANGKA"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

Pendahuluan

Mengingat kesuburan tidak pernah tercapai tanpa bantuan manusia (Mitchell 1959; Ang 1994, Elfis 1998), pemilihan jenis tanaman dan teknik budidaya dibutuhkan untuk mempercepat restorasi tailing timah pasir. Sejumlah jenis pohon eksotik dipergunakan secara meluas pada program rehabilitasi karena memiliki banyak sifat, namun kehati-hatian ekologis menyebutkan adalah kurang bijaksana terus mengandalkan pada sejumlah kecil jenis dalam upaya rehabilitasi di masa depan (Lamb & Tomlinson 1994). Sementara belum dilaporkan adanya daftar jenis pohon lokal potensial untuk merevegetasi tailing timah, A. mangium adalah jenis eksotik yang dominan (mencapai 75 %) yang ditanam di tailing timah oleh dua perusahaan tambang besar di Pulau Bangka sejak 1993 (Nurtjahya 2001). Beberapa peneliti menganjurkan beberapa jenis pohon lokal. van Steenis (Whitten

et al. 2000) menyarankan Ploiarium, Rhodamnia, dan Rhodomyrtus sebagai

marga yang dapat dicoba. Sambas dan Suhardjono (1995) merekomendasikan

Schima wallichii (DC.) Korth. (Theaceae), Syzygium racemosum (Blume) DC.

(Myrtaceae), Vitex pinnata L. (Verbenaceae), Syzygium zeylanicum (L.) DC. (Myrtaceae), Calophyllum pulcherrimum Wall. ex Choisy (Clusiaceae), dan

Gomphia serrata (Gaertn.) Kanis. (Ochnaceae) sebagai kandidat potensial untuk

merevegetasi tailing pasir. Jenis lokal seperti Macaranga spp., dan Trema

orientalis (L.) Blume (Ulmaceae) termasuk beberapa jenis lokal yang ditanam di

lahan bekas tambang emas di Kalimantan Timur (Nurtjahya 2004). Di Pulau Bangka dan Pulau Belitung Anacardium occidentale L. (Anacardiaceae) dan

Triomma malaccensis Hook. f. (Burseraceae) ditanam dalam prosentase yang

kecil dibandingkan A. mangium di lokasi revegetasi yang tidak luas, dan keduanya dinilai cukup adaptif di tailing pasir.

Melengkapi saran dan upaya penggunaan jenis pohon lokal dalam merevegetasi lahan pasca tambang timah di Pulau Bangka dan Pulau Belitung,

(2)

dan memperhatikan kondisi lingkungan lahan pasca tambang yang tidak mendukung pertumbuhan tanaman, diperlukan pemahaman suksesi untuk membantu penentuan strategi revegetasi lahan pasca tambang timah melalui identifikasi jenis yang berperan di setiap tahapan, penentuan jenis tanaman, dan penentuan lokasi potensial sumber biji bagi revegetasi. Informasi regenerasi alami atau suksesi penting bagi perencanaan dan penentuan strategi revegetasi (Leteinturier et al. 1999; Corrêa et al. 2007). Memperhatikan mikrob tanah memiliki fungsi yang penting dalam ekosistem yakni terhadap pertumbuhan, nutrisi mineral, dan kesehatan tanaman (Souchie et al. 2006), populasi fungi mikoriza arbuskula (FMA), dan mikrob pelarut fosfat (MPF) yang termasuk termasuk plant growth promoting rhizobacteria (Rodriguez & Fraga 1999) perlu dihitung.

Tujuan penelitian ini ialah memahami suksesi dan vegetasi yang berperan di setiap tahapan suksesi.

Bahan dan Metode

Penelitian ekologi kuantitatif di lahan pasca tambang timah dilaksanakan di Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Enam lokasi yang masing-masing mewakili tipe vegetasi berbeda dipilih.

Lokasi penelitian

Suksesi lahan pasca tambang timah didekati dengan pengamatan suksesi alami yang terjadi di beberapa umur yang berbeda karena tidak ada petak pengamatan permanen dan belum pernah dilaporkan penelitian ini sebelumnya. Untuk mengurangi pengaruh tipe tanah, hampir semua lokasi penelitian memiliki dominasi tipe tanah hapludox (oksisol) antara 50-75 % di samping kandiudults (ultisol) 25-50 %. (PPTA 1990), yang baik oksisol dan ultisol dicirikan oleh kandungan bahan organik yang rendah, liat bermuatan rendah dan karenanya memiliki KTK yang rendah (Tan 2005) (Gambar 2). Untuk mendapatkan data umur yang tepat, survai lapang dan wawancara dengan penduduk dilakukan sebelum menentukan lokasi penelitian. Studi pustaka dilakukan pada Peta Ikhtisar

(3)

Penambangan Timah di Pulau Bangka (PT Tambang Timah 2004), Peta Satuan Lahan dan Tanah Pulau Bangka (PPTA 1990), dan Peta Land System Sumatera (Bakosurtanal 1986). Riwayat penambangan timah dari PT Timah (Persero) Tbk. memperkuat asumsi kesamaan tingkat eksploitasi lokasi penelitian.

Gambar 2 Jenis tanah lokasi penelitian. (1) hutan (Pfq 3.3); (2) ladang ditinggalkan (Pfq 3.3); (3) tailing 0 tahun gundul (X-5); (4) tailing 7 tahun (Pq 2.1); (5) tailing 11 tahun (Pfq 2.1); (6) tailing 38 tahun (Pt 5.3). (PPTA 1990)

(4)

Gambar 3 Pulau Bangka dan lokasi penelitian. (1) hutan; (2) ladang ditinggalkan; (3) tailing 0 tahun gundul; (4) tailing 7 tahun; (5) tailing 11 tahun; (6) tailing 38 tahun. Digitasi garis pantai dari peta Provinsi Kepulauan Bangka Belitung skala 1:400000 (Bakosurtanal 2003)

Lokasi penelitian adalah hutan seluas 13 ha yang memiliki tipe tanah dominan hapludox, di desa Sempan (01o 53' 38.5" LS dan 105o 58' 14.5" BT), ladang yang ditinggalkan empat tahun sebelumnya seluas 1.6 ha di desa Sempan (01o 53' 32.3" LS dan 105o 58' 44.5" BT), lahan pasca tambang berumur nol tahun dan gundul seluas 2 ha di desa Riding Panjang (01o 59' 53.46"LS dan 106o 06'

45.32"BT), lahan pasca tambang berumur 7 tahun seluas 0.5 ha di desa Sempan (01o 52' 41.5" LS dan 106o 00' 14.2" BT), lahan pasca tambang berumur 11 tahun seluas 0.6 ha dengan tipe tanah kandiudult dan dystropepts di desa Gunung Muda (01o 37' 0.01"LS dan 105o 54' 47.9"BT), dan lahan pasca tambang berumur 38

(5)

tahun seluas 2 ha dengan tipe tanah hapludox di desa Riau (01o 44' 33.8" LS dan 105o 51' 66.4"BT) (Gambar 3). Lokasi seluas 15.7 ha terletak di Kabupaten Bangka dan berada pada ketinggian 20-40 m d.p.l. Untuk mendapatkan lahan pasca tambang timah yang berumur lebih dari 40 tahun sulit ditemukan karena kegiatan penambangan ulang, dan terutama oleh penambangan rakyat.

Pengumpulan dan analisis data Sifat-sifat tanah

Contoh tanah pada masing-masing lokasi penelitian diambil dengan auger berdiameter 8 cm pada kedalaman 0-20 cm dan 20-40 cm. Contoh tanah komposit secara diagonal (Setyorini et al. 2003) terdiri atas sembilan sub sampel di setiap lokasi penelitian. Contoh tanah dianalisis sifat-sifat kimia dan beberapa sifat fisika dengan analisis tanah rutin untuk keperluan penilaian kesuburan tanah yang meliputi: tekstur tiga fraksi, pH air dan KCl, bahan organik (C dan N), P dan K potensial, nilai tukar kation (kapasitas tukar kation – KTK, Ca-dd, Mg-dd, K-dd, Na-dd), dan kemasaman dapat ditukar (Al-dd dan H-dd). Analisis dilakukan di Balai Penelitian Tanah, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, di Bogor.

Fungi mikoriza arbuskula (FMA) dan Mikrob Pelarut Fosfat (MPF)

Contoh tanah komposit sebanyak 500 g dari delapan titik rhizosfir dari tiga vegetasi paling dominan pada kedalaman 0-10 cm dan 10-20 cm diambil dengan menggunakan modifikasi CSM-BGBD Project Protocol 2004 (Gafur & Swibawa 2004). Jumlah ulangan tiap contoh tanah adalah tiga kali. Jarak antar contoh di bawah vegetasi dominan semai adalah 50 cm untuk lingkaran terdekat dan 1 m untuk lingkaran terjauh. Jarak antar contoh di bawah vegetasi tiang atau pohon yang dominan adalah 1 m untuk lingkaran terdekat, dan 2 m untuk lingkaran terjauh.

Spora diperoleh dengan metode tuang saring basah (Gadermann & Nicolson 1963). Sebanyak 50 g contoh tanah dilarutkan dalam 500 ml air dan diaduk dan dicuci berulangkali dengan air melalui satu rangkaian saringan (710 µm, 425 µm, dan 45 µm). Spora diamati di bawah mikroskop stereo. Marga diidentifikasi

(6)

berdasarkan morfologi spora dan merujuk pada buku manual Schenck and Perez (1988) dan INVAM (International Culture Collection of Arbuscular & Vesicular-Arbuscular Mycorrhizal Fungi) (http://invam.caf.wvu.edu/index.html).

Contoh tanah sebanyak 1 g dilarutkan dalam 9 ml larutan garam fisiologis dan diaduk dan dibuat seri pengenceran dari 10o-105. Sebanyak 0.02 ml dari larutan 105 diinokulasikan ke media agar Picovskaya dan diinkubasikan pada temperatur ruang selama 2-3 hari. Koloni yang menunjukkan cincin halo yang transparan di sekitar koloni dihitung, dan direisolasi dan dipelihara pada nutrient agar (NA). Pengujian FMA dan MPF dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Hutan dan Lingkungan, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor.

Analisa vegetasi

Penelitian dilaksanakan dari bulan Mei 2004 – November 2005. Luas minimum area sebesar 0.2 ha ditentukan dengan kurva species-area (Setiadi & Muhadiono 2001). Analisa kuantitatif terhadap komposisi dan struktur vegetasi dilakukan pada 20 petak masing-masing 10 m x 10 m dengan modifikasi teknik pengambilan contoh kuadrat oleh Oosting 1956 (Soerianegara & Indrawan 1998). Petak berukuran 10 m x 10 m digunakan untuk mengukur pohon yang memiliki diameter lebih besar dari 20 cm diameter setinggi dada orang dewasa (dbh), dan mengukur tiang yang memiliki diameter pada dbh 10-20 cm. Petak berukuran 5 m x 5 m digunakan untuk mengukur sapihan yang memiliki tinggi tanaman lebih dari 1.5 m dan diameter kurang dari 10 cm. Petak berukuran 1 m x 1 m untuk menghitung semai yang memiliki tinggi kurang dari 1.5 m. Jumlah individu tiap jenis dan diameter batang pada tiang dan pohon dicatat, dan hanya jumlah individu tiap jenis yang dicatat untuk sapihan dan semai. Sekitar 340 spesimen herbarium diidentifikasi di Herbarium Bogoriense, Bogor.

Komposisi vegetasi setiap lokasi penelitian (Gambar 4) ditentukan oleh jumlah individu tanaman, jumlah jenis, dan jumlah famili. Struktur vegetasi dihitung dari densitas relatif, frekuensi relatif, dan cover relatif (Mueller-Dumbois & Ellenberg 1974). Indeks vegetasi adalah species richness menurut Margalef (Odum 1971), evenness index menurut Pielou (Odum 1971), dominance index

(7)

(Odum 1971), dan species diversity (Shannon & Wiener 1949). Indeks kemiripan (similarity index) dihitung dengan formula Sǿrensen (Mueller-Dumbois & Ellenberg 1974). Data untuk analisis komponen utama (principal component

analysis – PCA), analisis canonical correspondence analysis (CCA), dan analisis

kelompok (cluster analysis) dihitung menggunakan paket statistik MSV 3.1. Jumlah individu suatu jenis di semua petak contoh Densitas suatu jenis per unit area

= jumlah petak contoh yang diamati Jumlah individu suatu jenis

Densitas relatif dari suatu jenis

(DR) = Jumlah individu dari semua jenis x 100 Jumlah petak dimana suatu jenis ditemukan Frekuensi =

Jumlah petak yang diamati Frekuensi suatu jenis di petak tertentu Frekuensi relatif suatu jenis (FR)

= Jumlah frekuensi semua jenis di petak tertentu x 100 Jumlah basal area

Basal area (cover) per individu

suatu jenis = Jumlah individu

Jumlah basal area per individu suatu jenis Basal area (cover) relatif (CR) =

Jumlah basal area semua jenis di semua petak x 100 Index Nilai Penting (INP) = DR + FR + CR

2 x Jumlah INP jenis sama di dua lokasi dibandingkan Indeks kemiripan dua lokasi (IS) =

Jumlah INP yang dibandingkan

x 100

Indeks Dominansi

suatu lokasi (c) = Jumlah (INP suatu jenis/INP semua jenis)2 Jumlah individu suatu jenis Indeks diversitas Shannon dan

Wiener suatu lokasi (Ĥ) = Σ - log Jumlah invidu semua jenis Jumlah jenis minus satu Indeks species richness

suatu lokasi (d) = Logarithma jumlah individu di suatu lokasi Jumlah indeks diversitas semua jenis Indeks Evenness suatu lokasi (e) =

(8)

Gambar 4 Lokasi penelitian. (a) lahan pasca tambang berumur 0 tahun, (b) lahan pasca tambang berumur 7 tahun, (c) lahan pasca tambang berumur 11 tahun, (d) lahan pasca tambang berumur 38 tahun, (e) ladang ditinggalkan, (f) hutan. Foto oleh E. Nurtjahya

a b

c d

(9)

Hasil

Sifat-sifat Tanah

Komponen pasir di empat lahan pasca tambang pada kedalaman 0-20 cm dan 20-40 cm berkisar 80-97 % (Tabel 1). Terdapat kecenderungan adanya penurunan komponen pasir, kecuali pada lahan pasca tambang berumur 11 tahun, dengan semakin lamanya lahan pasca tambang timah ditinggalkan (Gambar 5a). Komponen pasir dari semua lahan pasca tambang timah masing-masing pada dua kedalaman lebih besar dibandingkan di hutan yakni 78 dan 66 %, dan di ladang yang ditinggalkan 47 dan 48 %. Tekstur semua lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun adalah sand, dan tekstur ladang yang ditinggalkan termasuk

sandy clay loam, dan tekstur hutan adalah loamy sand.

Tabel 1 Sifat-sifat fisika dan kimia tanah pada kedalaman 0-20 dan 20-40 cm di lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, 38 tahun, ladang ditinggalkan, dan hutan

Tekstur pH Bahan organik HCl 25% Kapasitas tukar

W. & B. Kjel da hl (NH4 - Acetate 1 N, pH 7) KC l 1 N ke dal ama n pas ir de bu liat C N P2 O5 K2 O Ca Mg K Na Total KTK KB Al3+ Lokasi penelitian cm % H2O % C/N mg100g-1 cmol(+)kg-1 % cmol (+) kg-1 0-20 94 2 4 4.8 0.2 0.0 15 2 3 0.1 0.2 0.0 0.0 0.3 0.4 73 0.3 Tailing 0 tahun 20-40 97 1 2 4.5 0.1 0.0 13 3 3 0.3 0.2 0.0 0.0 0.6 1.4 40 0.1 0-20 94 4 3 4.8 1.0 0.1 13 49 3 0.2 0.1 0.0 0.1 0.3 3.3 16 0.6 Tailing 7 tahun 20-40 93 6 2 4.8 1.2 0.1 14 71 3 0.2 0.1 0.0 0.1 0.4 3.9 19 0.7 0-20 83 5 13 4.9 0.2 0.0 10 11 4 0.2 0.1 0.0 0.0 0.3 2.0 28 0.9 Tailing 11 tahun 20-40 80 3 18 4.8 0.3 0.0 10 11 4 0.2 0.1 0.0 0.0 0.4 2.3 30 0.9 0-20 96 2 2 5.1 0.3 0.0 14 5 2 0.2 0.1 0.0 0.1 0.4 1.0 40 0.2 Tailing 38 tahun 20-40 95 2 3 5.0 0.2 0.0 10 4 2 0.1 0.1 0.0 0.1 0.3 0.9 31 0.2 0-20 47 22 31 4.5 3.2 0.3 12 35 8 0.3 0.2 0.1 0.0 0.7 14.7 4 4.8 Ladang ditinggal kan 20-40 48 22 31 4.6 1.7 0.1 12 36 7 0.3 0.2 0.1 0.1 0.6 9.6 6 3.7 0-20 78 13 10 4.7 1.6 0.2 10 22 5 0.2 0.1 0.1 0.1 0.4 5.8 7 2.0 Hutan 20-40 66 18 16 4.7 1.2 0.1 14 20 5 0.1 0.1 0.1 0.1 0.4 5.2 7 2.0

Kecuali rasio C/N lahan pasca tambang berumur 11 tahun, rasio C/N lahan pasca tambang berumur 0, 7, dan 38 tahun yakni berkisar 10-15 lebih tinggi dibandingkan hutan dan ladang yang ditinggalkan. Secara umum, konsentrasi P2O5 dan K2O pada lahan pasca tambang di dua kedalaman lebih rendah

(10)

dan K2O (5 dan 5 mg 100g-1), dan konsentrasi P2O5 di ladang yang ditinggalkan

(35 dan 36 mg 100g-1) dan K2O (8 dan 7 mg 100g-1). Tingginya konsentrasi P2O5

di dua kedalaman pada tailing timah berumur 7 tahun dibandingkan dengan di ladang yang ditinggalkan dan di hutan diduga pengambilan sampel tanah tercampur dengan sebagian tanah overburden yang lebih subur. Secara umum konsentrasi Ca, Mg, K, dan Na berangsur-angsur meningkat sejalan dengan semakin lamanya lahan pasca tambang ditinggalkan (Gambar 5b). Jumlah konsentrasi keempat kation dapat ditukar tersebut di dua kedalaman di lahan pasca tambang berkisar 0.3-0.6 cmol(+) kg-1, sementara jumlah konsentrasi keempat

unsur di ladang yang ditinggalkan masing-masing 0.7 dan 0.6 cmol(+) kg-1, dan di hutan adalah masing-masing 0.4 dan 0.4 cmol(+) kg-1.

KTK semua lahan pasca tambang timah tergolong sangat rendah berdasarkan tabel kesuburan tanah, dan berkisar antara 0.4-3.9 cmol(+) kg-1. KTK ladang yang ditinggalkan masing-masing 14.7 dan 9.6 cmol(+) kg-1, dan KTK hutan pada dua kedalaman masing-masing 5.8 dan 5.2 cmol(+) kg-1.

KB di semua lahan pasca tambang timah yang berkisar antara 16-40 % dengan angka tertinggi pada lahan pasca tambang berumur 0 tahun. KB pada berbagai umur lahan pasca tambang timah menunjukkan pola yang tidak konstan dan nilai tertinggi tercatat pada lahan pasca tambang berumur 0 tahun yang gundul (73 dan 40 %). Nilai KB di lahan di ladang yang ditinggalkan masing-masing 4 dan 6 % dan di hutan masing-masing-masing-masing 7 dan 7 %.

Konsentrasi Al3+ pada dua kedalaman 0-20 cm dan 20-40 cm di lahan pasca tambang timah berkisar 0.1-0.9 cmol(+) kg-1, sementara konsentrasi Al3+ pada dua kedalaman 0-20 cm dan 20-40 cm di hutan masing-masing 2.0 dan 2.0cmol(+)kg

-1, dan di ladang yang ditinggalkan masing-masing 4.8 dan 3.7 cmol(+) kg-1.

Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) dan Mikrob Pelarut Fosfat (MPF)

Jumlah spora FMA (Gambar 6a) per 50 g tanah di bawah tiga jenis tumbuhan dominan pada kedalaman 0-20 cm di lahan pasca tambang timah berangsur-angsur meningkat sejalan dengan semakin lamanya lahan pasca tambang timah ditinggalkan (Gambar 7a). Jumlah spora di lahan pasca tambang berumur 0 tahun adalah 2, di lahan pasca tambang berumur 7 tahun adalah 47, di

(11)

lahan pasca tambang berumur 11 tahun adalah 57, dan di lahan pasca tambang berumur 38 tahun tercatat tertinggi yakni 261.7, sementara di tanah hutan adalah 15 (Tabel 2). 0 20 40 60 80 100 0 7 11 38 Hutan Pr os en tas e (% )

pasir debu liat

0.00 0.05 0.10 0.15 0.20 0.25 0 7 11 38 Hutan Kons entra s i c m o l/kg Ca Mg K Na

Gambar 5 Konsentrasi beberapa sifat fisika dan kimia tailing pasir di lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, 38 tahun, dan di hutan. (a) komponen pasir, debu, dan liat. (b) konsentrasi Ca, Mg, K, dan Na.

Jumlah jenis FMA pada lahan pasca tambang berumur 38 tahun adalah 7 jenis Glomus, 2 jenis Gigaspora, 1 jenis Scutellospora, dan 1 jenis Acaulospora, dengan Glomus sp. 2 menempati urutan terbesar yakni 67.4 %, dan Glomus sp. 3 sebesar 20.7 %. Jumlah genus antara tiga dan lima, dan Glomus Tul. & Tul. (Glomaceae) adalah dominan (44-100 %) dibandingkan Gigaspora, Scutellospora, dan Acaulospora.

a

(12)

Sebaliknya, rata-rata jumlah koloni MPF (Gambar 6b) pada kedalaman 0-20 cm menunjukkan penurunan sejalan dengan semakin lamanya lahan pasca tambang ditinggalkan (Gambar 7b). Populasi MPF per g tanah pada 0-20 cm di lahan pasca tambang berumur 0 tahun (6.0 x 105), di lahan pasca tambang berumur 7 tahun adalah 6.2 x 105 c g-1, di lahan pasca tambang berumur 11 tahun adalah 4.2 x 105 c g-1, di lahan pasca tambang berumur 38 tahun adalah 1.3 x 105 c g-1, dan di hutan sebesar 4.4 x 105 c g-1.

Gambar 6 Spora fungi mikoriza arbuskula dan koloni mikrob pelarut fosfat. (a) spora fungi mikoriza arbuskula: spora Glomus kecil dan berwarna lebih gelap, dan spora Gigaspora besar dan transparan, (b) koloni mikrob pelarut fosfat dengan zona terang. Foto oleh N.F. Mardatin

2 47 15 57 262 0 50 100 150 200 250 300 0 7 11 38 Hutan Ju m lah s pora FMA 4.4 1.3 4.2 6.2 6.0 0.0 2.5 5.0 7.5 0 7 11 38 Hutan K o lo n i 1 0 5 /g /je n is t a n a m a n MPF

Gambar 7 Rata-rata jumlah spora FMA dan populasi MPF di lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun, dan di hutan pada kedalaman 0-20 cm. (a) jumlah spora per 50 g tanah (b) jumlah koloni mikrob pelarut fosfat per g tanah

a b

(13)

Tabel 2 Status fungi mikoriza arbuskula dan mikrob pelarut fosfat di lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun, di ladang ditinggalkan, dan di hutan pada kedalaman 0-20 cm

Lokasi

penelitian Vegetasi dominan

Ke dalam an (cm) Jumlah rata2 koloni MPF (105 c g-1 tanah) Jumlah spora / 50 g-1 tanah Jumlah genera Genus FMA dominan dan prosentase 0 - 10 5.0 1 1 Glomus Tailing 0

tahun Tidak ada vegetasi 10 - 20 1.0 1 1 100%

Fymbristylis pauciflora 0 - 10 10.3 69 4 Glomus

Trema orientalis 10 - 20 8.3 72 5 67%

Tailing 7 tahun

Melastoma malabatrichum

Paspalum orbiculare 0 - 10 6.0 87 4 Glomus

Blumea balsamifera 10 - 20 6.7 84 4 59%

Tailing 11 tahun

Melastoma malabatrichum

Rhodomyrtus tomentosa 0 - 10 3.2 372 3 Glomus Eriachne pallescens 10 - 20 0.8 413 4 95% Tailing 38

tahun

Ischaemum sp.

Trema orientalis 0 - 10 17.3 97 5 Glomus

Melastoma malabatrichum 10 - 20 20.7 39 4 44% Ladang

ditinggalkan

Pternandra galeata

Tristaniopsis whiteana 0 - 10 7.0 30 4 Glomus

Syzygium sp. 10 - 20 6.3 15 4 57%

Hutan

Ilex cymosa

Komposisi vegetasi

Jumlah individu, jumlah jenis, dan jumlah famili di lahan pasca tambang timah semakin meningkat sejalan dengan semakin lama lahan pasca tambang ditinggalkan (Gambar 8). Jumlah jenis tumbuhan di lahan pasca tambang berumur 0 tahun adalah nol, jumlah jenis tumbuhan di lahan pasca tambang berumur 7 tahun adalah enam yang terdiri atas empat jenis rumput dan dua jenis semak, jumlah jenis tumbuhan di lahan pasca tambang berumur 11 tahun adalah delapan yang terdiri atas lima jenis rumput, satu jenis herba, dan dua jenis semak, dan jumlah jenis tumbuhan di lahan pasca tambang berumur 38 tahun adalah enam belas yang terdiri atas empat jenis rumput, tiga jenis herba, enam jenis semak, dua jenis tingkat semai dan satu jenis tingkat semai dan sapihan, jumlah jenis tumbuhan di ladang ditinggalkan sebesar tujuh puluh satu, dan jumlah jenis di hutan sebesar delapan puluh lima yang meliputi herba, liana / climber, semak, semua tingkatan pohon, dan tidak diketemukan jenis rumput (Gambar 9).

(14)

Jumlah individu per hektar untuk semua fase pertumbuhan semakin meningkat sejalan dengan semakin lama lahan pasca tambang ditinggalkan. Pada lahan pasca tambang berumur 7 tahun sebesar 890, pada lahan pasca tambang berumur 11 tahun 1720, dan pada lahan pasca tambang berumur 38 tahun sebesar 2180. Jumlah individu per hektar tertinggi adalah di hutan yakni 7295, sedangkan di ladang yang ditinggalkan (7175). Jumlah famili di tiap lokasi penelitian menunjukkan pola serupa. Jumlah famili untuk semua fase pertumbuhan di lahan pasca tambang berumur 7 tahun adalah 4, di lahan pasca tambang berumur 11 tahun adalah 5, dan di lahan pasca tambang berumur 38 tahun adalah 13. Jumlah famili untuk semua fase pertumbuhan tertinggi adalah di hutan yakni 44, sedangkan di ladang yang ditinggalkan adalah 38.

(15)

0 10 20 30 40 50 0 7 11 38 Ladang Hutan J u mlah jenis

semai sapihan tihang pohon

0 10 20 30 0 7 11 38 Ladang Hutan Ju ml a h fa mi li

semai sapihan tihang pohon

0 1000 2000 3000 4000 0 7 11 38 Ladang Hutan Ju mla h in div idu ha-1

semai sapihan tihang pohon

Gambar 8 Jumlah individu per hektar, dan jumlah jenis dan jumlah famili di lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun, ladang ditinggalkan, dan di hutan. (a) jumlah jenis (b) jumlah famili (c) jumlah individu ha-1

a

b

(16)

0 10 20 30 40 50 0 7 11 38 Hutan Ju ml ah j e nis

rumput herba liana / climber semak semai sapihan tihang pohon

Gambar 9 Jumlah jenis tumbuhan rumput, herba, liana/climber, semak, dan tingkat semai, tingkat sapihan, dan tingkat tiang, dan pohon di lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun, dan di hutan.

Struktur vegetasi

Tiap lokasi memiliki jenis yang berbeda. Tidak ada jenis tumbuhan ditemukan di lahan pasca tambang timah 0 tahun. Pada lahan pasca tambang berumur 7 tahun, tercatat tumbuhan bawah Fimbristylis pauciflora R. Br. (Cyperaceae), Imperata cylindrica (L.) Beauv. (Poaceae), Melastoma

malabatrichum L. (Melastomataceae), Eupatorium inulaefolium HBK

(Asteraceae), Paspalum orbiculare Forst.f. (Poaceae), Paspalum conjugatum Berg. (Poaceae) (Tabel 3). Pada lahan pasca tambang berumur 11 tahun tercatat

Blumea balsamifera (L.) DC. (Asteraceae), P. conjugatum, I. cylindrica, F. pauciflora, dan M. malabatrichum, Eragrostis chariis (Schult.) Hitchc. (Poaceae), Scleria levis Retz. (Cyperaceae), dan Commersonia bartramia (L.) Merr.

(Sterculiaceae). Pada lahan pasca tambang berumur 38 tahun tercatat

Rhodomyrtus tomentosa (Aiton) Hassk. (Myrtaceae), Eriachne pallescens R. Br.

(Poaceae), Ischaemum sp. (Poaceae), Crotalaria sp. (Fabaceae), dan M.

malabatrichum, Anonim sp.3, F. pauciflora, Glechenia sp. (Gleicheniaceae), S. levis, V. pinnata, S. wallichii, E. inulaefolium, T. orientalis, Dillenia suffruticosa

(Griff.) Martelli, Nephentes sp.1. S. wallichii dengan INP 7.73 %, V. pinnata dengan INP 8.57 %, dan T. orientalis adalah tiga jenis pohon tingkat semai dan

(17)

hanya tingkat sapihan S. wallichii ditemukan di lahan pasca tambang berumur 38 tahun.

Pada ladang yang ditinggalkan lima jenis tumbuhan bawah yang memiliki INP tertinggi yang ditemukan berturut-turut adalah S. levis, T. orientalis,

Dicranopteris linearis (Burm.f.) Und. (Gleicheniaceae), M. malabatrichum dan P. conjugatum. Pada hutan lima jenis yang memiliki INP tertinggi berturut-turut Gaertnera vaginata Poiret (Rubiaceae), C. pulcherrimum, Calophyllum lanigerum

Miq., Syzygium sp.4 (Myrtaceae), dan Garcinia parvifolia (Miq.) Miq. (Clusiaceae).

Tingkat semai yakni S. wallichii, T. orientalis, dan V. pinnata, dan tingkat sapihan yakni S. wallichii baru tercatat pada lahan pasca tambang berumur 38 tahun. Empat jenis tingkat sapihan yang memiliki INP tertinggi di hutan berturut-turut C. lanigerum, P. galeata, Tristaniopsis whiteana (Griff.) Wil. & Wat. (Myrtaceae), Gaertnera vaginata Poiret (Rubiaceae).

Bentuk hidup (life form) liana / climber hanya ditemukan di hutan yakni liana Calamus sp., (Arecaceae) dan Urceola brachysepala Hook. f. (Apocynaceae), dan climber Artabotrys suaveolens Blume (Annonaceae) dan

Freycinettia sp. (Pandanaceae).

Tabel 3 Jenis tumbuhan rumput, herba, dan liana/climber, semak dan pohon di lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun, dan di hutan

Habitus Fase per tumbuhan Jenis 0 7 11 38 Hutan

Eragrostis chariis (Schult.) Hitchc.

Eriachne pallescens R. Br.

Fimbristylis pauciflora R.Br. √ √ √

Imperata cylindrica (L.) Beauv. √ √

Ischaemum sp.

Paspalum conjugatum Berg. √ √

Paspalum orbiculare Forst.f. √ rumput

Scleria levis Retz. √ √

Ancistrocladus tectorius Merr.

Blumea balsamifera (L.) DC.

Glechenia sp.

Nephentes sp.1

Taenitis blechnoides (Willd.) Sw.

Vernonia arborea Ham.

Anonim sp.3

Anonim sp.4

herba

(18)

Anonim sp.6 Anonim sp.7 Anonim sp.8 Anonim sp.9 Anonim sp.10 Anonim sp.11 Anonim sp.12 Anonim sp.13 Anonim sp.14 Anonim sp.15 Anonim sp.16

Artabotrys suaveolens Blume

Calamus sp.

Freycinettia sp.

liana /

climber

Urceola brachysepala Hook. f.

Anaxagorea scortechinii King

Commersonia bartramia (L.) Merr.

Crotalaria sp.

Dillenia suffruticosa (Griff.) Martelli

Eupatorium inulaefolium HBK √ √

Eurya acuminata DC.

Gaertnera vaginata Poiret

Guioa pubescens (Zoll. & Moritzi) Radlk.

Ixora miquelii Brem.

Melastoma malabatrichum L. √ √ √

Mussaenda frondosa L.

Pandanus odoratissimus L.f. (P. tectorius

Soland. ex Park.)

Pandanus sp.

Ploiarium alternifolium (Vahl) Melch.

Rhodomyrtus tomentosa (Aiton) Hassk. √ semak

Anonim sp.17

Aporosa cf. aurita (Tul.) Miq.

Arthrophyllum diversifolium Blume

Calophyllum lanigerum Miq.

Calophyllum pulcherrimum Wall. ex Choisy

Chaetocarpus castanocarpus (Roxb.) Thw.

Chionanthus ramiflorus Roxb.

Eurycoma longifolia Jack

Garcinia parvifolia (Miq.) Miq.

Gynotroches axillaris Blume

Ilex cymosa Blume

Kibatalia maingayi (Hook.f.) Woods.

Lepisanthes amoena (Hassk.) Leenh.

Lithocarpus blumeanus (Korth.) Rehd.

Litsea forstenii Blume

Nephelium maingayi Hiern.

Ormosia bancana (Miq.) Merr.

Pternandra galeata (Korth.) Ridley

pohon semai

(19)

Schima wallichii (DC.) Korth. √ √

Symplocos cochinchinensis (Lour.) S. Moore

Syzygium claviflorum (Roxb.) Wall. ex AM

Cowan & Cowan

Syzygium lineatum (DC.) Merr. & L.M.

Perry

Syzygium zeylanicum (L.) DC.

Tarrena fragrans (Blume) Koord. & Val.

Trema orientalis (L.) Blume

Tristaniopsis whiteana (Griff.) Wil. & Wat.

Vitex pinnata L.

Adinandra dumosa Jack

Aporosa cf. aurita (Tul.) Miq.

Artocarpus sp.

Baccaurea bracteata Muell. Arg.

Brackenridgea palustris Bartell.

Calophyllum lanigerum Miq.

Calophyllum pulcherrimum Wall. ex Choisy

Chaetocarpus castanocarpus (Roxb.) Thw.

Chionanthus ramiflorus Roxb.

Cratoxylum formosum Benth. & Hook.f. ex Dyer √

Cratoxylum glaucum Korth.

Daphniphyllum laurinum (Benth.) Baill.

Elaeocarpus mastersii King

Elaeocarpus valetonii Hochr.

Eugenia densiflora DC.

Ficus consociata Blume

Garcinia parvifolia (Miq.) Miq.

Gordonia excelsa Blume

Gynotroches axillaris Blume

Helicia serrata (R.Br.) Blume

Ilex cymosa Blume

Kibatalia maingayi (Hook.f.) Woods.

Lepisanthes amoena (Hassk.) Leenh.

Lithocarpus blumeanus (Korth.) Rehd.

Lithocarpus sp.

Litsea forstenii Blume

Litsea umbellata (Lour.) Merr.

Lophopetalum javanicum (Zoll.) Turcz.

Macaranga javanica (Blume) Muell. Arg.

Ormosia bancana (Miq.) Merr.

Pternandra galeata (Korth.) Ridley

Rauvolfia verticillata (Lour.) Baill.

Rhodamnia cinerea Jack

Schima wallichii (DC.) Korth. √ √

Symplocos cochinchinensis (Lour.) S. Moore

Syzygium claviflorum (Roxb.) Wall. ex AM

Cowan & Cowan

Syzygium lineatum (DC.) Merr. & L.M.

Perry

pohon sapihan

(20)

Syzygium zeylanicum (L.) DC.

Tarrena fragrans (Blume) Koord. & Val.

Timonius flavescens (Jack) Baker

Tristaniopsis whiteana (Griff.) Wil. & Wat.

Syzygium sp.2

Syzygium sp.6

Adinandra dumosa Jack

Calophyllum cf. ferrugineum Ridl.

Calophyllum pulcherrimum Wall. ex Choisy

Chaetocarpus castanocarpus (Roxb.) Thw.

Combretocarpus rotundatus (Miq.) Danser

Cratoxylum formosum Benth. & Hook.f. ex

Dyer

Elaeocarpus mastersii King

Eugenia densiflora DC.

Garcinia parvifolia (Miq.) Miq.

Gynotroches axillaris Blume

Ilex cymosa Blume

Lophopetalum javanicum (Zoll.) Turcz.

Nauclea subdita (Korth.) Steud.

Nephelium eriopetalum Miq.

Pternandra galeata (Korth.) Ridley

Rhodamnia cinerea Jack

Schima wallichii (DC.) Korth.

Symplocos cochinchinensis (Lour.) S. Moore

Syzygium lineatum (DC.) Merr. & L.M. Perry

Tristania merguensis Griff.

Tristaniopsis whiteana (Griff.) Wil. & Wat.

Vaccinium bancanum Miq.

Xanthophyllum vitellinum (Blume) Dietr. √ pohon tiang

Syzygium sp.6

Calophyllum pulcherrimum Wall. ex Choisy

Cratoxylum formosum Benth. & Hook.f. ex

Dyer

Gluta velutina Blume

Gordonia excelsa Blume

Ilex cymosa Blume

Ixonanthes petiolarisBlume

Lithocarpus sp.

Lophopetalum javanicum (Zoll.) Turcz.

Schima wallichii (DC.) Korth.

Syzygium lineatum (DC.) Merr. & L.M. Perry √ pohon pohon

Tristaniopsis whiteana (Griff.) Wil. & Wat. √ Tiang dan pohon tidak ditemukan di semua umur lahan pasca tambang berumur 0, 7, dan 11, dan 38 tahun. Hanya tercatat tiga jenis tingkat tiang di ladang yang ditinggalkan yakni Syzygium sp.6 (Myrtaceae), Sapium baccatum Roxb. (Euphorbiaceae), dan Artocarpus integer (Thunb.) Merr. (Moraceae). Lima

(21)

jenis tingkat tiang yang memiliki INP tertinggi di hutan berturut-turut Ilex cymosa Blume (Aquifoliaceae), C. pulcherrimum, A. dumosa, T. whiteana, dan Syzygium

lineatum (DC.) Merr. & L.M. Perry (Myrtaceae). Lima jenis pohon yang memiliki

INP tertinggi berturut-turut adalah S. wallichii, T. whiteana, Ilex cymosa Blume (Aquifoliaceae), S. lineatum, dan Cratoxylum formosum Benth. & Hook.f. ex Dyer (Clusiaceae). Pohon hanya ditemukan di hutan.

Perbedaan jumlah jenis, jumlah individu, dan jumlah famili di lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, dan 38 dan ladang ditinggalkan dan hutan ditunjukkan pada nilai indeks vegetasi : species richness index (d), evenness index (e),

dominance index (D), diversity index (Ĥ), dan similarity index tiap-tiap lokasi

penelitian (Tabel 4). Species richness di lahan pasca tambang berumur 7 tahun yakni 0-2.2 meningkat menjadi 0-2.4 di lahan pasca tambang berumur 11 tahun, dan 0-5.3 di lahan pasca tambang berumur 38 tahun. Species richness yang lebih tinggi tercatat di hutan (6.5-15.3) dan di ladang yang ditinggalkan (0-18.7).

Evenness di lahan pasca tambang berumur 7 tahun yakni 0-0.8 menurun menjadi

0-0.6 di lahan pasca tambang berumur 11 tahun, dan meningkat 0-0.9 di lahan pasca tambang berumur 38 tahun. Nilai indeks kemerataan di hutan tercatat 0.7-0.9 dan di ladang yang ditinggalkan adalah 0-0.8. Dominance index di lahan pasca tambang berumur 7 tahun adalah 0-0.23 dan menurun pada lahan pasca tambang berumur 11 tahun yakni 0-0,4 dan meningkat pada lahan pasca tambang berumur 38 yakni 0-1.0. Nilai dominansi jenis tercatat rendah di hutan yakni 0.05-0.15 dan di ladang ditinggalkan adalah 0-0.4. Diversity index di lahan pasca tambang berumur 7 tahun yakni 0-0.6 dan di lahan pasca tambang berumur 11 tahun adalah 0-0.5 dan di lahan pasca tambang berumur 38 tahun adalah 0-1.06. Diversity index tercatat tinggi di hutan yakni 0.9-1.215 dan di ladang ditinggalkan adalah 0-1.4 (Gambar 10).

(22)

Tabel 4 Species richness, eveness, dominance, dan diversity index dari tingkat semai, sapihan, tiang, dan pohon di lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun, ladang ditinggalkan dan di hutan

Lokasi penelitian

Indeks 0 tahun 7 tahun 11 tahun 38 tahun Ladang Hutan

Species richness (d) 0.0 2.22 2.38 5.33 18.68 15.04 Evenness (e) 0.0 0.79 0.55 0.90 0.82 0.77 Dominance (D) 0.0 0.23 0.36 0.09 0.05 0.06 Semai Shannon (Ĥ) 0.0 0.61 0.46 1.06 1.37 1.25 Species richness (d) 0.0 0.0 0.0 0.0 9.77 15.31 Evenness (e) 0.0 0.0 0.0 0.0 0.60 0.69 Dominance (D) 0.0 0.0 0.0 1.00 0.07 0.05 Sapihan Shannon (Ĥ) 0.0 0.0 0.0 0.0 0.88 1.13 Species richness (d) 0.0 0.0 0.0 0.0 4.19 12.88 Evenness (e) 0.0 0.0 0.0 0.0 0.71 0.84 Dominance (D) 0.0 0.0 0.0 0.0 0.36 0.12 Tiang Shannon (Ĥ) 0.0 0.0 0.0 0.0 0.34 1.16 Species richness (d) 0.0 0.0 0.0 0.0 0.00 6.53 Evenness (e) 0.0 0.0 0.0 0.0 0.00 0.87 Dominance (D) 0.0 0.0 0.0 0.0 0.00 0.15 Pohon Shannon (Ĥ) 0.0 0.0 0.0 0.0 0.00 0.91 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 0 7 11 38 Hutan S p ec ies r ich n ess (d )

Semai Sapihan Tihang Pohon

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 0 7 11 38 Hutan E v e nne s s ( e )

Semai Sapihan Tihang Pohon

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 0 7 11 38 Hutan Do m in a n c e ( c )

Semai Sapihan Tihang Pohon

0.0 0.4 0.8 1.2 1.6 0 7 11 38 Hutan S ha nno n (H )

Semai Sapihan Tihang Pohon

Gambar 10 Indeks vegetasi tingkat semai, sapihan, tiang, dan pohon di lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun, ladang ditinggalkan dan di hutan. (a) species richness index, (b) eveness index, (c) dominance index, (d) diversity index

a b

(23)

Similarity index antara lahan pasca tambang yang lebih baru ditinggalkan

dengan lahan pasca tambang yang lebih lama ditinggalkan atau dengan hutan atau dengan ladang ditinggalkan adalah kecil. Nilai kemiripan vegetasi bawah antara lahan pasca tambang berumur 7 tahun dan lahan pasca tambang berumur 11 tahun 27.8 %, menurun menjadi 18.6 % jika dibandingkan dengan lahan pasca tambang berumur 38 tahun, dan menjadi 17.6 % dengan ladang ditinggalkan, dan 0 % dengan hutan. Nilai kemiripan vegetasi bawah antara lahan pasca tambang berumur 11 tahun dengan lahan pasca tambang berumur 38 tahun adalah 15.4 %, menjadi 16.9 % jika dibandingkan dengan ladang ditinggalkan, dan menjadi 0 % dengan hutan. Nilai kemiripan vegetasi bawah antara lahan pasca tambang berumur 38 tahun dan ladang ditinggalkan adalah 19.9 % dan sebesar 1.5 % jika dibandingkan dengan hutan. Nilai kemiripan antara ladang ditinggalkan dengan hutan untuk tingkat sapihan 25 %, tingkat tiang 2.0 % dan tingkat pohon sebesar 0 % (Tabel 5).

Tabel 5 Indeks kemiripan antara lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun, ladang ditinggalkan dan di hutan

Tingkat Lokasi penelitian

Semai Sapihan Tiang Pohon Lahan pasca tambang

timah berumur 7 tahun 0 0 0 0

Lahan pasca tambang

timah berumur 11 tahun 0 0 0 0

Lahan pasca tambang

timah berumur 38 tahun 0 0 0 0

Ladang ditinggalkan 0 0 0 0

Lahan pasca tambang timah berumur 0 tahun

Hutan 0 0 0 0

Lahan pasca tambang

timah berumur 11 tahun 27.8 0 0 0

Lahan pasca tambang

timah berumur 38 tahun 18.6 0 0 0

Ladang ditinggalkan 17.6 0 0 0

Lahan pasca tambang timah berumur 7 tahun

Hutan 0 0 0 0

Lahan pasca tambang

timah berumur 38 tahun 15.4 0 0 0

Ladang ditinggalkan 16.9 0 0 0

Lahan pasca tambang timah berumur 11 tahun

Hutan 0 0 0 0

Ladang ditinggalkan 19.9 0 0 0

Lahan pasca tambang

timah berumur 38 tahun Hutan 1.5 0 0 0

(24)

Hubungan antara vegetasi di lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, 38 tahun, ladang ditinggalkan dan hutan dengan sifat-sifat fisika dan kimia tanah digambarkan oleh canonical correspondence analysis (CCA) (Gambar 11) dan hubungan kemiripan vegetasi lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, dan 38, ladang ditinggalkan dan hutan digambarkan dalam analisis kelompok (Gambar 12). Vegetasi di lahan pasca tambang berumur 7, 11, 38 tahun, ladang ditinggalkan dan hutan lebih jelas digambarkan oleh komponen pasir dibandingkan dengan sifat-sifat fisika dan kimia tanah yang lain. Komponen pasir lebih tinggi di semua lahan pasca tambang timah berbagai umur dibandingkan di ladang ditinggalkan dan hutan. Semakin lama lahan pasca tambang ditinggalkan semakin rendah prosentase pasirnya dan semakin meningkat prosentase debu dan liat.

CCA case scores

Ax

is

2

Axis 1

Forest Abandoned farmed-landTin-mined land 38Tin-mined land 11

Tin-mined land 7 -1.2 -2.5 -3.7 1.2 2.5 3.7 5.0 6.2 -1.2 -2.5 -3.7 1.2 2.5 3.7 5.0 6.2 Sand Silt Clay pH C N C/N P2O5 K2OMg Ca K Na CEC B Al3+ Vector scaling: 6.72

Gambar 11 Canonical correspondence analysis antara vegetasi lokasi penelitian: lahan pasca tambang berumur 7 (tin-mined land 7), 11 (tin-mined land 11), dan 38 tahun (tin-mined land 38), ladang ditinggalkan (abandoned farmed-land), dan di hutan (forest) (■) dengan dengan sifat-sifat tanah (panah). Lahan pasca tambang berumur 0 tahun tidak tergambar.

(25)

Gambar 12 Analisis kelompok vegetasi lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun, ladang ditinggalkan, dan di hutan berdasarkan tingkat kemiripan vegetasi.

Vegetasi di hutan memiliki tingkat kemiripan lebih besar dengan vegetasi di ladang ditinggalkan dibandingkan dengan vegetasi di lahan pasca tambang berbagai umur. Di antara semua lahan pasca tambang, lahan pasca tambang berumur 0 tahun paling berbeda dan vegetasi di lahan pasca tambang berumur 7 tahun lebih dekat dengan vegetasi di lahan pasca tambang 11 tahun.

Pembahasan

Sifat-sifat Tanah, Fungi Mikoriza Arbuskula dan Mikrob Pelarut Fosfat

Proses pencucian pasir timah memisahkan sejumlah kecil volum konsentrat butiran pasir yang mengandung biji timah, dan sejumlah besar pasir kuarsa yang disebut tailing pasir. Akibat pencucian, air dengan konsentrat ampas yang berukuran lebih kecil mengendap di lokasi yang lebih jauh dan landai dan endapan yang terjadi sering disebut tailing slime. Timbunan tailing pasir, dan lapisan-lapisan tanah yang tersusun pada akhir penambangan sangat bervariasi tergantung oleh banyak faktor, namun umumnya pasir berada di lapisan atas. Tailing pasir hasil cucian lapisan yang sudah miskin hara, miskin bahan organik, dan hampir dipastikan tidak mengandung soil propagule dan mikro dan meso flora dan fauna itu yang kemudian dilakukan revegetasi. Selama suksesi, terjadi perubahan sifat-sifat fisika dan kimia tanah lahan pasca tambang akibat

Farthest neighbour Percent Similarity

Hutan

Lad

Y-0

Y-11

Y-7

Y-38

-20 0 20 40 60 80 100

(26)

rekolonisasi alami. Pada suksesi terjadi dekomposisi serasah sehingga terjadi penambahan bahan organik dan hara sehingga menurunkan rasio C/N, menurunnya komponen pasir sehingga mengubah tekstur tanah, meningkatnya komponen debu dan liat, meningkatnya hara yang tercermin pada perbedaan konsentrasi kation dapat ditukar Ca, Mg, K, dan Na, dan KTK. Peningkatan kesuburan tanah secara umum juga dilaporkan pada pengamatan berbagai umur lahan pasca tambang timah di Pulau Singkep (Suciatmih & Sastraatmadja 1998), sekalipun ada nilai parameter yang tidak berbeda dari kecenderungan nilai parameter yang lainnya. Kesuburan ladang ditinggalkan jauh lebih tinggi daripada lahan pasca tambang timah diduga akibat praktek budidaya sebelumnya.

Jumlah spora FMA di lahan pasca tambang timah yang rendah pada lahan pasca tambang berumur 0 tahun dan gundul, dan berangsur-angsur meningkat sejalan dengan semakin lamanya lahan pasca tambang timah ditinggalkan serupa dengan penelitian Badri (2004) di lahan pasca tambang timah di Pulau Singkep. Jumlah populasi FMA per gram tanah di lahan yang masih ditambang, lahan pasca tambang berumur 13 tahun, lahan pasca tambang berumur 26 tahun, dan lahan pasca tambang berumur lebih besar dari 40 tahun masing-masing 4.25, 6.15, 12.75, dan 62.50. Perbedaan jumlah spora FMA pada umur lahan pasca tambang yang semakin lama ditinggalkan diduga terpicu oleh berkurangnya total fosfat di dalam tanah. Berkurangnya total fosfat di dalam tanah dan cekaman kekeringan diduga meningkatkan pengaruh inokulasi FMA pada tanaman seperti dikemukakan Abdel-Fattah et al. (2002), sedangkan rendahnya jumlah spora di lahan pasca tambang berumur 0 tahun yang gundul diduga terkait oleh sifat sifat obligat biotrof FMA (Setiadi 2004) yang dimiliki FMA, di samping faktor-faktor lain seperti interaksi FMA dengan mikrob lain yang dilaporkan terjadi pada suksesi lahan reklamasi (Johansson et al. 2004). Berbagai faktor termasuk kesesuaian inang dan waktu pengambilan contoh memungkinkan hasil penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian serupa di lahan pasca tambang timah berumur antara 10 – 25 tahun di Pulau Singkep (Suciatmih 1998).

Rendahnya jumlah spora FMA di lahan berumur 0 tahun dan tidak ada vegetasi juga dilaporkan di lahan tambang lain (Totola & Borges 2000). Total spora di lahan pasca tambang emas sebesar 4.6/jenis dari tiga jenis, sedangkan

(27)

total spora di hutan yang belum ditambang adalah 85.6/jenis dari 8 jenis (Hidayati

et al. 1999). Semakin lama lahan pasca tambang ditinggalkan semakin besar

jumlah jenis dan keragaman tumbuhan yang bertindak sebagai inang FMA dan semakin meningkat peluang jumlah spora dihasilkan. Dominasi Glomus (44-100 %) di lahan pasca tambang yang antara lain memiliki ciri lingkungan berpasir dan kering, menyerupai hasil penelitian di lahan kering dan masam di Sulawesi Tenggara bahwa genus Glomus mendominasi lahan tersebut dibandingkan dengan

Scutellospora, Acaulospora, dan Gigaspora (Husna 2004). Hasil penelitian ini

memberi peluang penggunaan jenis dari genus ini sebagai inokulum potensial bagi pembenahan tailing pasir karena kesesuaian genus ini dengan inang yang tumbuh di lahan pasca tambang timah.

Sebaliknya populasi MPF yang menunjukkan penurunan sejalan dengan semakin lamanya lahan pasca tambang ditinggalkan dengan populasi MPF terkecil tercatat pada lahan pasca tambang berumur 38 tahun (1.3 x 105) diduga juga terkait dengan penurunan total fosfat sejalan dengan semakin lamanya lahan pasca tambang ditinggalkan. Konsentrasi fosfat P2O5 pada lahan pasca tambang berumur

7 tahun sebesar 239 mg 100g-1, dan turun 43 mg 100g-1 pada lahan pasca tambang berumur 11 tahun, dan turun menjadi 18 mg 100g-1 tanah pada lahan pasca tambang berumur 38 tahun. Tingginya populasi MPF sementara konsentrasi total fosfat yang rendah yakni 18 mg 100g-1 tanah di lahan pasca tambang berumur 0 tahun diduga karena hot spot yang lebih diakibatkan oleh proses penambangan yang tidak sama; diduga ada lapisan tanah yang mengandung MPF lebih banyak terletak pada beberapa titik akibat letak cadangan timah yang tidak sama. Diduga menurunnya total fosfat karena semakin besarnya penyerapan fosfat oleh vegetasi yang semakin beragam pada lahan pasca tambang yang semakin lama ditinggalkan. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Suciatmih (1998) di lahan pasca tambang timah di Pulau Singkep yakni dengan semakin lamanya lahan pasca tambang ditinggalkan, populasi MPF semakin besar. Kisaran jumlah koloni MPF di lahan pasca tambang yakni 1-20.7 x 105 c g-1 tanah di

bawah hasil penelitian Suciatmih (1998) sebesar 50 x 105 di lahan pasca tambang berumur lebih dari 25 tahun di Pulau Singkep, namun masih berada pada kisaran

(28)

yang ditemui di segala jenis tanah yakni antara 104-107 c g-1 tanah (Souchie et al. 2006).

Suksesi

Keterkaitan tingkat kesuburan tanah tercermin pada komposisi dan struktur vegetasi lokasi penelitian. Lingkungan lahan pasca tambang timah antara lain porositas yang tinggi, temperatur permukaan tailing yang tidak stabil dan mencapai sekitar 42 oC dan kelembaban yang rendah di siang hari, dan luasnya tailing pasir menyebabkan area tailing pasir semakin rentan akan hembusan angin yang kencang sehingga berpengaruh pada evapotranspirasi tumbuhan, menjadikan lingkungan yang tidak mendukung optimal pertumbuhan tanaman.

Lingkungan yang tidak mendukung pertumbuhan tanaman menghalangi rekolonisasi alami. Pada suksesi alami, peningkatan kesuburan tanah diikuti dengan jumlah jenis, jumlah individu, dan jumlah famili yang mampu tumbuh dan mendominasi lahan pasca tambang timah. Jenis tumbuhan yang mampu beradaptasi paling baik di lahan pasca tambang yang baru ditinggalkan adalah jenis rumput-rumputan dari famili Cyperaceae dan Poaceae. Dengan semakin lamanya suksesi alami lahan pasca tambang timah, bentuk hidup herba, semak dijumpai. Pada keadaan klimaks seperti hutan, jenis-jenis rumput tidak dijumpai karena telah terjadi stratifikasi tumbuhan yang menghalangi cahaya matahari di lantai hutan. Sebaliknya di hutan tercatat bentuk hidup liana dan climber karena tingkat kesuburan tanah yang lebih tinggi, keberadaan pohon dan kompetisi akan cahaya di antara jenis-jenis tumbuhan di hutan.

Jumlah jenis dan jumlah individu dari masing-masing bentuk hidup meningkat sejalan dengan semakin lamanya suksesi alami berjalan. Jumlah jenis rumput di lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun berturut-turut sebesar nol, empat, lima, dan empat jenis dengan beberapa jenis di antaranya sama. Bentuk hidup herba baru tercatat pada lahan pasca tambang berumur 11 tahun yakni satu jenis dan meningkat menjadi empat jenis di lahan pasca tambang berumur 38 tahun. Jumlah jenis herba ini masih sangat lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah jenis herba di hutan. Hal ini juga menunjukkan perbedaan ekosistem yang demikian besar. Jenis-jenis pohon pada tingkat semai sebanyak

(29)

tiga jenis dan tingkat sapihan sebanyak satu jenis baru tercatat pada lahan pasca tambang timah berumur 38 tahun, sekalipun jumlah jenis dan jumlah individu masih jauh lebih sedikit dibandingkan jumlah jenis dan jumlah individu di hutan. Hal ini menunjukkan bahwa suksesi alami di lahan pasca tambang timah berumur 38 tahun telah mampu ditumbuhi oleh jenis pohon walaupun baru ditemukan satu jenis di tingkat sapihan. Hampir semua jenis vegetasi bawah di hutan tidak ditemukan di semua lahan pasca tambang. Di lain pihak, hal ini dapat diartikan bahwa sampai dengan umur lahan 38 tahun lahan pasca tambang timah masih jauh tingkat kemiripan kesuburan tanahnya dengan hutan.

Indeks kemiripan vegetasi bawah antara hutan dan lahan pasca tambang berumur 38 tahun tercatat 1.5 %. Sangat lambatnya suksesi alami sampai dengan lahan pasca tambang berumur 38 tahun diduga sebagai konsekuensi atas rendahnya hara, rendahnya bahan organik, rendahnya pH dan kapasitas simpan air (Kielhorn et al. 1999), seperti dilaporkan di Pulau Singkep dan berdasarkan diduga dibutuhkan waktu 150 tahun bagi lahan pasca tambang timah menjadi hutan kerangas seperti sedia kala (Elfis 1998).

Masih sulit diduga laju suksesi yang terjadi dalam sepuluh tahun mendatang memperhatikan similarity index vegetasi bawah antara lahan pasca tambang berumur 38 tahun dan hutan dan memperhatikan hanya ada satu jenis tumbuhan di tingkat sapihan di lahan pasca tambang berumur 38 tahun. Diduga proses suksesi alami yang diamati dalam penelitian ini masih merupakan bagian awal dari suksesi alami menuju ke keadaan sediakala. Karenanya data suksesi alami di lahan pasca tambang berumur lebih dari 38 tahun diperlukan untuk merekonstruksi suksesi alami di lahan pasca tambang timah. Namun, memperhatikan penambangan timah yang berulang-ulang termasuk penambangan tanpa izin, baik karena peningkatan harga jual timah dunia maupun perkembangan teknologi penambangan di kemudian hari, upaya pengamatan suksesi alami lebih lama dari 38 tahun diduga sulit tercapai. Laju suksesi alami dapat lebih lambat dari yang diperkirakan jika terjadi gangguan di lahan sekitar yang berfungsi sebagai sumber biji, misalnya akibat pengalihan fungsi hutan untuk pemukiman dan pertambangan, pemanfaatan yang berlebihan, atau kebakaran hutan.

(30)

Pada lahan pasca tambang yang baru ditinggalkan jumlah jenis lebih sedikit dan ditunjukkan dengan nilai species richness lebih kecil. Lahan pasca tambang lebih lama ditinggalkan dimana lingkungan lebih mendukung pertumbuhan lebih banyak jenis dan dengan jumlah individu lebih besar seperti halnya di ladang ditinggalkan dan di hutan, karenanya evenness index semakin besar. Konsentrasi dan distribusi jenis tumbuhan yang semakin besar di lingkungan yang semakin mendukung lebih banyak jenis tumbuhan ditunjukkan oleh dominance index menjadi semakin kecil dari 1.0. Nilai dominansi jenis tercatat rendah di hutan yakni 0.03-0.15 karena terdapat banyak sekali jenis tumbuhan dengan lebih merata populasi per jenisnya. Semakin lama lahan pasca tambang timah ditinggalkan yang diikuti dengan semakin meningkatnya kesuburan lahan mendukung lebih banyak jenis tumbuhan tumbuh di lingkungan tersebut. Semakin meningkatnya jumlah jenis tumbuhan ditunjukkan dengan semakin besarnya

diversity index. Diversity index lahan pasca tambang berumur 0 tahun adalah 0,

dan berumur 7 tahun berkisar 0-0.6 untuk semua tingkat pertumbuhan, dan di hutan berkisar 0.9-1.5.

Pola suksesi alami di lahan pasca tambang timah ditunjukkan oleh perubahan jenis dan bentuk hidup tumbuhan. Pada lahan pasca tambang yang baru saja ditinggalkan tidak ada jenis tumbuhan apa pun, kemudian pada lahan pasca tambang berumur 7 tahun, empat jenis rumput dari famili Cyperaceae dan Poaceae terutama F. pauciflora (Cyperaceae), Imperata cylindrica (Poaceae) lebih mendominasi dibandingkan dua jenis semak M. malabatrichum (Melastomataceae) dan E. inulaefolium (Asteraceae). Pada lahan pasca tambang berumur 11 tahun, lima jenis rumput (E. chariis, F. pauciflora, I. cylindrica, P.

conjugatum, dan S. levis) masih mendominasi sekalipun tercatat satu jenis herba

(B. balsamifera), dan dua jenis semak (C. bartramia dan M. malabatrichum). Pada lahan pasca tambang berumur 38 tahun, dominasi empat jenis rumput (E. pallescens, F. pauciflora, Ischaemum sp., dan S. levis) jauh berkurang dan digantikan terutama oleh dominasi semak (R. tomentosa) di samping tercatat lima jenis semak lain yakni Crotalaria sp., D. suffruticosa, E. inulaefolium, M.

malabatrichum, dan Anonim sp.17 (Myrtaceae). Jenis rumput pun mengalami

(31)

pauciflora yang tetap tercatat di lahan pasca tambang berumur 7, 11, dan 38

tahun dan diduga jenis ini lebih memiliki daya adaptasi yang lebih tinggi dibandingkan jenis-jenis rumput yang lain. Dominasi tunggal jenis rumput ini tercatat pada satu hamparan tailing timah yang diduga lebih mengandung tailing slime di lahan pasca tambang di Sungailiat. Pionir di lahan pasca tambang timah yang lebih baru ditinggalkan akan digantikan oleh jenis yang lain sejalan dengan meningkatnya kesuburan tanah, seperti jenis pionir di tailing pasir pun berbeda dengan pionir tailing slime karena perbedaan sifat fisika dan kimia kedua jenis tailing itu. Palaniappan (1974) di Malaysia mencatat perbedaan jenis yang mendominasi tailing pasir seperti Ischaemum muticum, dan F. pauciflora dan tailing slime seperti Phragmites karka, dan Fimbristylis miliacea..

Dari antara empat jenis rumput, E. pallescens dan Ischaemum sp. lebih mendominasi dibandingkan dua jenis rumput yang lain. Selain itu bentuk hidup di lahan pasca tambang berumur 38 tahun lebih banyak yakni tercatatnya tingkat semai dan tingkat sapihan dari tiga jenis pohon (S. wallichii, T. orientalis, dan V.

pinnata), dan jumlah jenis herba menjadi tiga (Glechenia sp., Nephentes sp.1, dan Anonim sp.3). Tahap suksesi pada lahan pasca tambang berumur 38 tahun diduga

masih jauh sekali dengan hutan klimaks berdasarkan komposisi dan struktur vegetasinya. Di hutan bentuk hidup jauh lebih kompleks dengan tercatatnya dua jenis liana, dua jenis climber, dan semua tingkatan pohon di samping herba dan semak, kecuali jenis rumput.

Berpijak pada pola suksesi alami, jenis tumbuhan bagi revegetasi lahan pasca tambang timah yang baru ditinggalkan adalah jenis-jenis rumput dari famili Cyperaceae dan Poaceae. Suksesi dapat dipercepat dengan bantuan manusia yakni dengan pemilihan jenis yang sesuai dan pembenahan tanah yang tepat. Pemilihan jenis semak dari famili Melastomataceae dan Myrtaceae seperti dari penelitian ini, atau pohon kecil (Rhodamnia sp.) seperti disarankan oleh van Steenis (Whitten et

al. 2000), atau pohon seperti Fagraea fragans dan Casuarina equisetifolia

(Mitchell 1957) akan lebih membutuhkan upaya pembenahan tanah lebih besar dan teknik budidaya yang lebih kompleks untuk memanipulasi lingkungan. Terkait dengan tiga genera yang adalah semak dan pohon: Ploiarium, Rhodamnia, dan Rhodomyrtus, yang disarankan oleh van Steenis (Whitten et al. 2000) perlu

(32)

dicermati kondisi lahan karena Ploairium adalah jenis yang beradaptasi di tanah yang lebih memiliki bahan organik dan air lebih tinggi karenanya diduga kuat jenis dari genus ini tidak akan mampu bertahan hidup di tailing pasir. Penelitian Setyowati-Indarto (1988) menyebut bahwa Ploiarium alternifolium (Vahl) Melch. (Theaceae) termasuk jenis yang tumbuh di lahan pasca tambang timah yang dekat dengan air di Pulau Singkep. Adapatasi xerofitik tampaknya dibutuhkan sebagai bagian dari kriteria pemilihan jenis. Vegetasi Padang, yang dipandang sebagai bentuk degradasi dari hutan kerangas yang telah mengalami regenerasi alami (Whitten et al. 2000), diduga potensial sebagai lokasi sumber jenis seperti

Baeckea frutescens L. (Myrtaceae). Anggota-anggota dari famili Myrtaceae

disebut mendominasi hutan kerangas (MacKinnon et al. 1996) dengan ciri

sclerophyllous dan sclerocarpous–nya (van Steenis 1932).

Jenis dari hutan pantai campuran seperti Calophyllum inophyllum (penaga atau nyamplung) (Clusiaceae) dan Hibiscus tiliaceus (waru laut) (Malvaceae), yang keduanya termasuk formasi Barringtonia (Whitten et al. 2000), diduga potensial juga karena berbagai kemiripan ekosistem dengan lahan pasca tambang. Pemilihan atas dasar kategori pionir awal seperti T. orientalis, Mallotus

paniculatus (Lmk) M.A. (Euphorbiaceae), Macaranga gigantea Reichb.f.&Zoll.

(Euphorbiaceae), Macaranga triloba (Bl.) Muell.Arg. (Euphorbiaceae),

Macaranga hypoleuca (Reichb.f.&Zoll.) Muell.Arg. (Euphorbiaceae) (Cheah

1995) dan Litsea sp. (Lauraceae) (Kanzaki M 2004, komunikasi pribadi), maupun pionir akhir seperti Scapium sp. (Sterculiaceae), Dyera spp. (Apocynaceae), dan

Endospermum sp. (Euphorbiaceae) (Cheah 1995) dan Vitex pubescens

(Verbenaceae) (Kanzaki M 2004, komunikasi pribadi) tidak akan cukup untuk merevegetasi setiap kondisi lahan terganggu dan setiap tahapan lahan pasca tambang timah. Demikian juga saran pemanfaatan vegetasi tematik sebagai panduan mengindentifikasi jenis lokal untuk merevegetasi tailing timah (Roemantyo et al. 2004) perlu dicermati.

(33)

Kesimpulan

Aktivitas penambangan timah meningkatkan komponen pasir dan menurunkan komponen debu dan liat, menurunkan konsentrasi hara, KTK, dan meningkatkan rasio C/N. Perubahan bentang alam yang meninggalkan hamparan tailing tidak bervegetasi menyebabkan lingkungan memiliki temperatur udara dan permukaan tanah dan kelembaban udara dan kelembaban tanah tidak mendukung pertumbuhan tanaman.

Pola suksesi alami di lahan pasca tambang timah ditunjukkan oleh perubahan jenis dan bentuk hidup tumbuhan. Pada lahan pasca tambang yang baru saja ditinggalkan tidak ada jenis tumbuhan apa pun, kemudian pada lahan pasca tambang berumur 7 tahun, empat jenis rumput dari famili Cyperaceae dan Poaceae terutama F. pauciflora (Cyperaceae), Imperata cylindrica (Poaceae) lebih mendominasi dibandingkan dua jenis semak. Pada lahan pasca tambang berumur 11 tahun, lima jenis rumput (E. chariis, F. pauciflora, I. cylindrica, P.

conjugatum, dan S. levis) masih mendominasi sekalipun tercatat satu jenis herba,

dan dua jenis semak. Pada lahan pasca tambang berumur 38 tahun, dominasi empat jenis rumput jauh berkurang dan digantikan terutama oleh dominasi semak (R. tomentosa) di samping tercatat lima jenis semak lain. Jenis rumput pun mengalami perubahan dan hanya F. pauciflora yang tetap tercatat, serta E.

pallescens dan Ischaemum sp. lebih mendominasi dibandingkan dua jenis rumput

yang lain. Selain itu bentuk hidup di lahan pasca tambang berumur 38 tahun lebih banyak yakni tercatatnya tingkat semai dan tingkat sapihan dari jenis tiga jenis pohon (S. wallichii, T. orientalis, dan V. pinnata), dan jumlah jenis herba menjadi tiga. Tahap suksesi pada lahan pasca tambang berumur 38 tahun diduga masih jauh sekali dengan hutan berdasarkan komposisi dan struktur vegetasinya.

Hasil penelitian suksesi bagi pemilihan jenis tanaman pada penelitian revegetasi adalah jenis lokal yang memiliki habitus pohon yakni S. wallichii, T.

orientalis, dan V. pinnata. Tanah di bawah R. tomentosa dipergunakan sebagai

salah satu soil propagule bagi penelitian revegetasi. Jenis tumbuhan lain dengan habitus pohon dapat dipilih sejauh jenis tersebut memiliki sifat xerofitik dan ditemukan di lingkungan yang memiliki kemiripan dengan lingkungan lahan

(34)

pasca tambang timah yang terbuka dan relatif tidak bervegetasi, berpasir, miskin hara dan bahan organik, dan panas. Padang dan formasi Barringtonia dari hutan pantai campuran diduga dapat menjadi sumber jenis tanaman, dan soil propagule di bawah tegakan B. frutescens. Hasil analisis tanah dan mikroklimat yang tidak mendukung pertumbuhan mendorong perlunya pembenahan tanah dan satu paket teknik budidaya untuk memanipulasi lingkungan.

Gambar

Gambar 2 Jenis tanah lokasi penelitian. (1) hutan (Pfq 3.3); (2) ladang  ditinggalkan (Pfq 3.3); (3) tailing 0 tahun gundul (X-5); (4) tailing 7 tahun (Pq  2.1); (5) tailing 11 tahun (Pfq 2.1); (6) tailing 38 tahun (Pt 5.3)
Gambar 3 Pulau Bangka dan lokasi penelitian. (1) hutan; (2) ladang ditinggalkan;
Gambar 4 Lokasi penelitian. (a) lahan pasca tambang berumur 0 tahun, (b) lahan  pasca tambang berumur 7 tahun, (c) lahan pasca tambang berumur 11 tahun, (d)  lahan pasca tambang berumur 38 tahun, (e) ladang ditinggalkan, (f) hutan
Tabel 1 Sifat-sifat fisika dan kimia tanah pada kedalaman 0-20 dan 20-40 cm di  lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, 38 tahun, ladang ditinggalkan, dan hutan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Bagian tengah atau isi berita ini dibedah menggunakan naskah transkip yang berisi segment, rangkuman berita per segment, dan unsur 5W + 1 H untuk menentukan jenis

Dalam hal penjualan kembali Unit Penyertaan REKSA DANA BNP PARIBAS OMEGA dilakukan oleh Pemegang Unit Penyertaan melalui media elektronik, maka Formulir Penjualan Kembali

Quality control untuk kualitas material dan hasil pekerjaan harus selalu diperhatikan dalam setiap pekerjaan berlangsung sampai pada pekerjaan salesai, setiap akan

Perhitungan Harga Pokok Produksi dengan menggunakan Metode Activity Based Costing ini mengalokasikan biaya ke produk sesuai dengan aktivitas yang dikonsumsinya, sehingga

Sehingga konfigurasi dengan learning rate 0.00002, batch size 8, pada step training 20K mendapatkan nilai akurasi yang terbaik pada sistem yang

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) jumlah siswa bergaya kognitif FD lebih banyak daripada jumlah siswa bergaya kognitif FI, (2) subjek FD lemah (FDL) mampu menguasai kemampuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk: (a) menggambarkan kinerja agribisnis padi, (b) menganalisis jangka beras perdagangan, (c) faktor yang mempengaruhi pada

Simpulan yang didapat adalah bahwa aplikasi web yang dibuat sangat membantu dalam perhitungan biaya dimana total biaya pembangkit yang dihasilkan lebih optimal