• Tidak ada hasil yang ditemukan

REVEGETASI LAHAN PASCA TAMBANG TIMAH DENGAN BERAGAM JENIS POHON LOKAL DI PULAU BANGKA EDDY NURTJAHYA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "REVEGETASI LAHAN PASCA TAMBANG TIMAH DENGAN BERAGAM JENIS POHON LOKAL DI PULAU BANGKA EDDY NURTJAHYA"

Copied!
185
0
0

Teks penuh

(1)

REVEGETASI LAHAN PASCA TAMBANG TIMAH

DENGAN BERAGAM JENIS POHON LOKAL

DI PULAU BANGKA

EDDY NURTJAHYA

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Revegetasi Lahan Pasca Tambang Timah dengan Beragam Jenis Pohon Lokal di Pulau Bangka adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, 4 Agustus 2008

Eddy Nurtjahya

(3)

Tree Species In Bangka Island. Under supervision of DEDE SETIADI, EDI GUHARDJA, MUHADIONO, and YADI SETIADI.

Tin mining activity changes landscape so that it does not support plant growth. Effort to carry out reclamation especially revegetation has done using a few number of exotic species which are considered less support land rehabilitation for a restoration purpose. On the other hand, there is no promising local species list. Therefore it is needed to understand a succession on tin-mined land which may identify potential local species and identify seed source. To accelerate revegetation, the study on soil amendment and the use of some combination agricultural techniques are needed which can manipulate the environment to support plant growth.

The first objective of this study was to understand the succession on tin-mined land and its important vegetation in order to identify potential local tree species and location of source of seeds, and to understand tin-mined land environment for revegetation success. The second objective was to evaluate the growth of selected ten local tree species in tin tailing in order to identify agriculture techniques which best support plant growth and natural recolonisation in tin tailing in order to enrich the development of planting strategies that are effective for re-establishment of diverse native forests in as short a time as possible at places where the expense and high technical and professional level might be limited.

The quantitative study was conducted at a low land forest, an abandoned farmed-land age 4 years old, and abandoned tin-mined lands at different ages: 0-, , 11-, and 38-years old. The succession was slow, and natural regeneration in 7-years old tin tailing was initiated by species belonged to families Cyperaceae and Poaceae, and shrubs belonged to family Myrtaceae were found in 38-years old tin tailing. The population of phosphate solubilizing microorganisms at tin-mined lands increased along with the more newly abandoned tin-mined land, but the number of arbuscular mycorrhizal fungi spore at tin-mined lands, which was dominated by Glomus, showed the opposite.

Local tree species selection was based on habitat similarity of those species with tin-mined land environment, and on their pioneer attributes. The ten selected species were Calophyllum inophyllum L. (Clusiaceae) (11.7 %), Schima wallichii (DC) Korth. (Theaceae) (6.3 %), Syzygium grande (Wight) Walp. (Myrtaceae) (17.9 %), Ficus superba Miq. (Moraceae) (15.2 %), Vitex pinnata (Verbenaceae) (20.6 %), Hibiscus tiliaceus L. (Malvaceae) (9.9 %), Syzygium polyanthum (Wight) Walp. (Myrtaceae) (9.0 %), Mallotus paniculatus (Lmk) M.A. (Euphorbiaceae) (3.1 %), Aporosa sp. (Euphorbiaceae) (3.1 %), and Macaranga sp. (Euphorbiaceae) (3.1 %).

Fifteen combinations of planting density with three levels: 625, 2500, and 10000 seedlings ha-1, and five levels soil treatment: (1) control, (2) fertilized with 500 g slime tailing powder under Lepironia articulata Rich., (3) planted with legume cover crops (LCC) 1:1 of Calopogonium mucunoides Desv. and

Centrosema pubescens Bth. 30 kg ha-1, (4) planted with LCC plus 1 l 2.5 % (v/v) humic acid, and (5) planted with LCC plus top soil; with three replicates which

(4)

compost (2:1) in 12 m x 12 m plots. Pieces of coconut shell which were put at the base of individual plant reduced soil temperature at least 3.3 oC, and increased soil humidity to 10.4 %.

There was a significant interaction between planting distance and soil treatment towards total survival and cover. Highest planting density plus LCC gave highest survival (73-79 %), highest cover (13.5-21.8 %), and highest litter production (460 kg ha-1 year-1). Legume cover crops and / or top soil showed highly significant effect to recolonisation. Collembola population may be further studied as a successful revegetation indicator. Comparing to the natural regeneration at 0, 7, 11, and 38 years old, the revegetation study at three planting densities, which was studied up to twelve months after planting, may accelerate succession between 11 to 38 years. Although planting density 10000 seedlings ha

-1

showed the best soil fertility and plant growth, planting density 2500 seedlings ha-1 may be considered as it costs less.

The novelty of this study is a revegetation technology package on sand tin tailing which may accelerate succession between 11 to 38 years i.e. : seedlings of potential local tree species H. tiliaceus, F. superba, C. inophyllum, and S. grande, grown with 10000 seedlings/ha in alternating rips, in 30 cm x 30 cm x 30 cm pots, with planting media of a 2:1 mineral soil and cow dung compost mixture, and were put 3-5 pieces of coconut shells at around root collar of individual plants, planted with LCC of Calopogonium mucunoides 30 kg ha-1 or top soil in lines of 20 cm width and 2 cm depth.

(5)

Aktivitas penambangan timah mengubah bentang alam dan lahan pasca tambang timah tidak lagi mendukung pertumbuhan tanaman. Upaya reklamasi dan khususnya revegetasi telah dilakukan dengan penanaman sejumlah kecil jenis tanaman eksotik yang dipilih karena sifat-sifatnya, terutama Acacia mangium Willd. (Fabaceae), pada program rehabilitasi di Pulau Bangka, sejak tahun 1993. Pemilihan jenis eksotik tersebut dinilai kurang mendukung rehabilitasi lahan untuk tujuan restorasi, sementara belum ada jenis lokal yang menjanjikan, walaupun beberapa jenis pohon lokal telah disarankan oleh beberapa kelompok peneliti.

Penelitian kuantitatif telah dilakukan di hutan dataran rendah, bekas perladangan, dan lahan pasca tambang timah masing-masing berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun, yang hasilnya bermanfaat bagi penentuan strategi reklamasi lahan pasca tambang timah. Aktivitas penambangan timah meningkatkan komponen pasir dan menurunkan komponen debu dan liat, menurunkan konsentrasi hara, KTK, dan meningkatkan rasio C/N. Populasi mikrob pelarut fosfat semakin meningkat dengan semakin barunya tambang ditinggalkan, sementara jumlah spora fungi mikoriza arbuskula, yang didominasi oleh Glomus, menunjukkan hal sebaliknya.

Suksesi berjalan lambat. Pola suksesi alami di lahan pasca tambang timah ditunjukkan oleh perubahan jenis tumbuhan dan bentuk hidup tumbuhan. Pada lahan pasca tambang yang baru saja ditinggalkan tidak ada jenis tumbuhan apa pun, kemudian pada lahan pasca tambang berumur 7 tahun, empat jenis rumput dari famili Cyperaceae dan Poaceae terutama F. pauciflora (Cyperaceae),

Imperata cylindrica (Poaceae) lebih mendominasi dibandingkan dua jenis semak.

Pada lahan pasca tambang berumur 11 tahun, lima jenis rumput (E. chariis, F.

pauciflora, I. cylindrica, P. conjugatum, dan S. levis) masih mendominasi

sekalipun tercatat satu jenis herba, dan dua jenis semak. Pada lahan pasca tambang berumur 38 tahun, dominasi empat jenis rumput jauh berkurang dan digantikan terutama oleh dominasi semak R. tomentosa di samping tercatat lima jenis semak lain. Jenis rumput pun mengalami perubahan dan hanya F. pauciflora yang tetap tercatat, serta E. pallescens dan Ischaemum sp. lebih mendominasi dibandingkan dua jenis rumput yang lain. Selain itu bentuk hidup di lahan pasca tambang berumur 38 tahun lebih banyak yakni tercatatnya tingkat semai dan tingkat sapihan dari jenis tiga jenis pohon (S. wallichii, T. orientalis, dan V.

pinnata), dan jumlah jenis herba menjadi tiga. Tahap suksesi pada lahan pasca

tambang berumur 38 tahun diduga masih jauh sekali dengan hutan berdasarkan komposisi dan struktur vegetasinya.

Upaya mempercepat suksesi pemilihan jenis selain yang teramati pada suksesi alami, termasuk dengan bentuk hidup pohon dimungkinkan, sejauh jenis tersebut memiliki sifat xerofitik. Padang dan formasi Barringtonia dari hutan pantai campuran diduga dapat menjadi sumber jenis tanaman. Pemilihan jenis tentunya harus diikuti dengan pembenahan tanah dan berbagai teknik budidaya untuk memanipulasi lingkungan. Pembenahan tanah, penggunaan mulsa, penambahan bahan organik, tanah mineral dan top soil sebagai sumber biji atau semai dan mikrob tanah (soil propagule), percepatan penutupan permukaan tailing

(6)

namun lebih pada kepemilikan sifat xerofitik. Penentuan lokasi sumber biji bercermin pada kemiripan lokasi sumber biji dengan lingkungan tailing pasir yang kering, poros, miskin hara, dan rentan terhadap temperatur udara panas di siang hari, dan rentan terhadap angin kencang sewaktu-waktu. Vegetasi padang dan formasi Barringtonia dari hutan pantai campuran tampaknya dapat menjadi sumber jenis tanaman. Sepuluh jenis terpilih yakni: Calophyllum inophyllum L. (Clusiaceae) (11.7 %), Schima wallichii (DC) Korth. (Theaceae) (6.3 %),

Syzygium grande (Wight) Walp. (Myrtaceae) (17.9 %), Ficus superba Miq.

(Moraceae) (15.2 %), Vitex pinnata (Verbenaceae) (20.6 %), Hibiscus tiliaceus L. (Malvaceae) (9.9 %), Syzygium polyanthum (Wight) Walp. (Myrtaceae) (9.0 %),

Mallotus paniculatus (Lmk) M.A. (Euphorbiaceae) (3.1 %), Aporosa sp.

(Euphorbiaceae) (3.1 %), dan Macaranga sp. (Euphorbiaceae) (3.1 %).

Lima belas kombinasi dari tiga level kerapatan tanam: 625, 2500, dan 10000 semai ha-1, dan lima level perlakuan tanah: (1) kontrol, (2) dipupuk dengan 500 g tepung tailing slime di bawah Lepironia articulata Rich., (3) ditanami dengan legum penutup tanah (LCC) Calopogonium mucunoides Desv. dan Centrosema

pubescens Bth. 30 kg ha-1 (1:1), (4) ditanami LCC dan disiram dengan 1 l larutan asam humat 2.5 % (v/v), dan (5) ditanami LCC dan top soil; dengan tiga ulangan selama 12 bulan di lahan pasca tambang timah seluas 2 ha, berumur 0 tahun yang gundul di Sungailiat, Pulau Bangka. Tanah di bawah vegetasi padang, di bawah hutan dataran rendah di dekat pantai, dan di bawah vegetasi Rhodomyrtus

tomentosa dipilih sebagai top soil. Sejumlah 3345 bibit dari biji ditanam dengan

model tanam permata, dalam lubang 30 cm x 30 cm x 30 cm dengan media tanam tanah mineral dan kompos (2:1) pada petak 12 m x 12 m.

Parameter yang diukur adalah sifat-sifat fisika dan kimia tanah pada akhir penelitian, temperatur tanah dan kelembaban tanah baik di luar dan di dalam sabut kelapa diukur pada sembilan dan dua belas bulan setelah tanam atau akhir penelitian, survival (ketahanan hidup) dan diameter tajuk tiap individu diukur pada tiga, enam, sembilan, dan dua belas bulan setelah tanam, ditimbang produksi serasah setiap petak pada akhir penelitian, dihitung densitas semut dan

Collembola pada tiga, enam, sembilan, dan dua belas bulan setelah tanam, diukur

panjang akar horizontal dari 20 % contoh pada akhir penelitian, dianalisa jaringan daun C. inophyllum untuk N, P, K, Ca, Mg, Na, S, Fe, Al, Pb, dan Sn pada akhir penelitian, dan dicatat jumlah jenis tanaman yang menginvasi setiap petak pada akhir penelitian. Analysis of variance (p<0.05) dilakukan dengan one-way ANOVA dan uji Duncan Multiple Range Test dilakukan jika terdapat interaksi. Nilai F dan level signifikan dianalisa paket statistik SAS 9.1.

Terdapat interaksi nyata antara kerapatan tanam dan perlakuan tanah terhadap total survival dan luas tajuk. Densitas tertinggi dengan LCC menunjukkan survival tertinggi (73-79 %), luas tajuk tertinggi (13.5-21.8 %) dan produksi serasah tertinggi (460 kg ha-1 tahun-1). Perlakuan legume cover crops (LCC) dan / atau top soil lebih mendukung rekolonisasi alami dibandingkan perlakuan tanah yang lain.

Perbaikan habitat ditunjukkan oleh perubahan sifat fisika dan kimia tailing di sekitar lubang tanam, dinamika populasi semut dan Collembola, rekolonisasi,

(7)

meningkatkan kelembaban 10.4 %. Populasi Collembola kiranya dapat diteliti lebih lanjut sebagai indikator keberhasilan revegetasi.

Membandingkan beberapa parameter (kualitas tanah, jumlah jenis tumbuhan yang memiliki habitus pohon, jumlah jenis tumbuhan, dan prosentase luas penutupan tajuk), hasil penelitian revegetasi lahan pasca tambang pada dua belas bulan setelah tanam dengan suksesi alami lahan pasca tambang, satu paket revegetasi yang telah dilakukan melampaui tahapan suksesi alami lahan pasca tambang sekurang-kurangnya berumur antara 11 dan 38 tahun. Sekalipun kerapatan tanam 1 m x 1 m menunjukkan kesuburan tanah dan pertumbuhan tanaman terbaik, kerapatan tanam 2 m x 2 m dapat dipertimbangkan untuk dipilih karena membutuhkan biaya revegetasi per hektar lebih rendah.

Kebaharuan penelitian ini adalah satu paket teknologi untuk merevegetasi tailing timah pasir yang dapat mempercepat suksesi sekurang-kurangnya antara 11 dan 38 tahun yakni : semai dari biji pohon lokal potensial H. tiliaceus, F. superba,

C. inophyllum, dan S. grande, ditanam dengan densitas 10000 semai ha-1 dengan model tanam permata, dalam lubang 30 cm x 30 cm x 30 cm, dengan media tanam tanah mineral dan kompos kotoran sapi (2:1), dan di bagian leher akar tiap individu ditutup dengan 3-5 potong sabut kelapa, dengan LCC Calopogonium

(8)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2008

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh

(9)

REVEGETASI LAHAN PASCA TAMBANG TIMAH

DENGAN BERAGAM JENIS POHON LOKAL

DI PULAU BANGKA

EDDY NURTJAHYA

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Departemen Biologi

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008

(10)

Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Istomo, MS.

Staf Pengajar Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Insitut Pertanian Bogor

Penguji pada Ujian Terbuka : Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS.

Guru Besar pada Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Insitut Pertanian Bogor Dr. Ir. Nuril Hidayati, M.Sc.

Peneliti Madya

Pusat Penelitian Biologi Bidang Botani, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Cibinong

(11)

Nama : Eddy Nurtjahya

NIM : G 361020151

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. H. Dede Setiadi, MS. Ketua

Prof. Dr. Ir. Edi Guhardja, M.Sc. Anggota

Dr. Ir. Muhadiono, M.Sc. Anggota

Dr. Ir. Yadi Setiadi, M.Sc. Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Biologi Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.

(12)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Mahakuasa atas kasih-Nya sehingga karya ilmiah ini diselesaikan. Tema yang dipilih dan dilaksanakan sejak Februari 2004 ini ialah revegetasi tailing timah, dengan judul Revegetasi Lahan Pasca Timah dengan Beragam Jenis Pohon Lokal di Pulau Bangka.

Penelitian ini sebagian dibiayai oleh International Tropical Timber Organization, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, Pemprov. Kepulauan Bangka Belitung, PT Tambang Timah yang juga mengizinkan akses ke lokasi penelitian, dan Universitas Bangka Belitung.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. H. Dede Setiadi, M.S. selaku Ketua Komisi Pembimbing, dan Bapak Prof. Dr. Ir. Edi Guhardja, M.Sc., Bapak Dr. Ir. Muhadiono, M.Sc., dan Bapak Dr. Ir. Yadi Setiadi, M.Sc. masing-masing selaku Anggota Komisi Pembimbing. Penghargaan disampaikan kepada pimpinan dan staf STIPER Bangka yang mendukung di awal penelitian, Dr. J.A. Parrotta yang berkenan berkomunikasi via email di awal dan akhir penelitian, serta Bapak Sutrisno S. Tatetdagat, Bapak Hanafi Sulaiman, Bapak Setiabudi Abdullah, Bapak Hamidin, Bapak Juara Tampubolon, Bapak Haji Fadri, dan Bapak Suanta dari PT Timah (Persero) Tbk. yang telah mendukung penelitian ini, juga kepada Robby, Wistria, Sinem, Lina, Wistaria, Bambang, Roni, Kusmah, Bapak Pati, Riati, Herman, dan Muhammad yang membantu pengumpulan data. Terima kasih disampaikan juga kepada Bapak Zainal Fanani dari Herbarium Bogoriense yang membantu identifikasi spesimen, Ibu Sri Winarni, S.Si., M.Si., dan Bapak Drs. Edi Mirmanto, M.Phil. yang membantu analisa data, dan Bapak Kepala Desa dan masyarakat Riding Panjang yang berkenan mendukung penelitian ini. Ungkapan terima kasih disampaikan kepada istri dan kedua puteri kami atas dukungan doa, dana, dan pengertiannya. Semoga karya ini bermanfaat.

Bogor, 4 Agustus 2008

(13)

Penulis dilahirkan di Magelang pada tanggal 3 Oktober 1959 sebagai anak ke empat dari pasangan Budi Hartono (alm.) dan Enny Setyarini. Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas Biologi, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, lulus pada tahun 1986. Pada tahun 1995 dengan beasiswa The British Chevening Awards penulis menamatkan M.Sc. in Aquatic Pathobiology di University of Stirling, Inggris. Penulis melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Biologi, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2002 atas beasiswa pendidikan pascasarjana (BPPS) dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia dengan dukungan dana penelitian ITTO Freezailah Fellowship pada tahun 2003.

Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Program Studi Biologi Universitas Bangka Belitung (dahulu STIPER Bangka, sejak 1999).

Selama mengikuti program doktor, penulis menjadi anggota International Society of Tropical Foresters, Amerika Serikat, dan sebagai salah satu penasihat Bangka Flora Society, Bangka.

(14)

Halaman

DAFTAR TABEL ……….. xv

DAFTAR GAMBAR ……….. xvii

DAFTAR LAMPIRAN ……….. xix

1 PENDAHULUAN ……… 1

Latar Belakang ………... 1

Tujuan Penelitian ………. 3

Manfaat Penelitian ……… 4

Ruang Lingkup Penelitian ……… 4

2 SUKSESI LAHAN PASCA TAMBANG TIMAH DI PULAU BANGKA 8 Pendahuluan ………. 8

Bahan dan Metode ……… 9

Hasil ………. 16

Pembahasan ……….. 32

Kesimpulan ……….. 40

3 REVEGETASI LAHAN PASCA TAMBANG TIMAH 42 Pendahuluan ………. 42

Bahan dan Metode ……… 45

Hasil ………. 61 Pembahasan ……….. 78 Kesimpulan ……….. 85 4 PEMBAHASAN UMUM ……… 86 5 KESIMPULAN ……… 101 DAFTAR PUSTAKA ………... 104

(15)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Sifat-sifat fisika dan kimia tanah pada kedalaman 0-20 dan 20-40

cm di lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, 38 tahun, ladang ditinggalkan dan hutan ………...

16

2 Status fungi mikoriza arbuskula dan mikrob pelarut fosfat di lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun, di ladang ditinggalkan, dan di hutan pada kedalaman 0 – 20 cm ……...

20

3 Jenis tumbuhan rumput, herba, dan liana/climber, semak, dan pohon di lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun, dan di hutan ………...

24

4 Species richness, eveness, dominance, dan diversity index dari tingkat semai, sapihan, tiang, dan pohon di lahan pasca tambang timah berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun, ladang ditinggalkan dan di hutan ……….

29

5 Indeks kemiripan antara lahan pasca tambang timah berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun, ladang ditinggalkan dan di hutan ………...

30

6 Komposisi jenis tanaman pada kerapatan tanam 1 m x 1 m, 2 m x 2 m, dan 4 m x 4 m ………

47

7 Jadual kerja ……… 53

8 Rata-rata survival (%) dan luas tajuk (m2) setiap kombinasi perlakuan pada tiga, enam, sembilan, dua belas bulan setelah tanam, dan rata-rata luas tajuk (%) setiap kombinasi perlakuan pada dua belas bulan setelah tanam ………

63

9 Duncan multiple range test pengaruh interaksi kerapatan tanam dan perlakuan tanah terhadap survival (%) pada dua belas bulan setelah tanam ………..

64

10 Rata-rata survival sepuluh jenis tanaman pada dua belas bulan setelah tanam ………..

65

11 Duncan multiple range test pengaruh interaksi kerapatan tanam dan perlakuan tanah terhadap luas tajuk (m2) pada dua belas bulan setelah tanam ………..

66

12 Rata-rata luas tajuk sepuluh jenis tanaman pada dua belas bulan setelah tanam ………..

(16)

13 Rata-rata produksi serasah per petak (kg ha-1 tahun-1) pada dua belas bulan setelah tanam ………..

70

14 Duncan multiple range test pengaruh kerapatan tanam dan perlakuan tanah terhadap produksi serasah (kg ha-1 tahun-1) pada dua belas bulan setelah tanam ………

70

15 Panjang akar horizontal (cm) pada dua belas bulan setelah tanam 75 16 Rata-rata konsentrasi beberapa unsur pada daun C. inophyllum dari

masing-masing petak dan pada lahan tidak terganggu pada dua belas bulan setelah tanam ...

76

17 Duncan multiple range test interaksi kerapatan tanam dan perlakuan tanah terhadap konsentrasi Pb (ppm) pada daun C. inophyllum pada dua belas bulan setelah tanam ………...

76

18 Rata-rata jumlah jenis tumbuhan yang menginvasi pada dua belas bulan setelah tanam ………

77

19 Matriks lima nilai terbesar dari kombinasi perlakuan kerapatan tanam dan perlakuan tanah pada survival, tajuk, dan produksi serasah dengan Duncan multiple range test pada dua belas bulan setelah tanam ………..

95

20 Perbandingan beberapa parameter kualitas tanah, jumlah jenis dengan habitus pohon, jumlah jenis tumbuhan, dan prosentase luas penutupan tajuk antara suksesi alami di lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun dengan revegetasi pada kerapatan tanam 4 m x 4 m, 2 m x 2 m, dan 1 m x 1 m pada dua belas bulan setelah tanam ………..

98

21 Tabel 21 Perkiraan biaya revegetasi per hektar lahan pasca tambang timah pasir pada kerapatan tanam 4 m x 4 m, 2 m x 2 m, dan 1 m x 1 m ……….

(17)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Penambangan timah di darat ………... 7

2 Jenis tanah lokasi penelitian ………... 10

3 Pulau Bangka dan lokasi penelitian ………... 11

4 Lokasi penelitian ……….. 15

5 Konsentrasi beberapa sifat fisika dan kimia tailing pasir di lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, 38 tahun dan di hutan ……….. 18 6 Spora fungi mikoriza arbuskula dan koloni mikrob pelarut fosfat 19

7 Rata-rata jumlah spora FMA dan populasi MPF di lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun, dan di hutan pada kedalaman 0 – 20 cm ………... 19 8 Jumlah individu per hektar, jumlah jenis dan jumlah famili di lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun, ladang ditinggalkan, dan di hutan ………... 22 9 Jumlah jenis tumbuhan rumput, herba, liana/climber, semak, dan tingkat semai, tingkat sapihan, tingkat tiang, dan pohon di lahan pasca tambang timah berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun, dan di hutan 23 10 Indeks vegetasi tingkat semai, sapihan, tiang, dan pohon di lahan pasca tambang timah berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun, ladang ditinggalkan dan di hutan ………. 29 11 Canonical correspondence analysis antara vegetasi lokasi penelitian : lahan pasca tambang berumur 7 (tin-mined land 7), 11 (tin-mined land 11), dan 38 tahun (tin-mined land 38), ladang ditinggalkan (abandoned farmed-land), dan di hutan (forest) (■) dengan dengan sifat-sifat tanah (panah). Lahan pasca tambang berumur 0 tahun tidak tergambar ………... 31 12 Analisis kelompok vegetasi lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun, ladang ditinggalkan, dan di hutan berdasarkan tingkat kemiripan vegetasi ………... 32 13 Pulau Bangka dan lokasi penelitian di Desa Riding Panjang (●) 50 14 Lokasi penelitian dan pembibitan ……… 51

(18)

15 Persiapan lahan ……… 52

16 Denah percobaan ……….. 53

17 Denah petak penanaman ………... 55 18 Denah lubang tanam pada masing-masing kerapatan tanam …... 55 19 Aklimatisasi dan penanaman ……… 57 20 Rata-rata survival dan luas tajuk pada tiga, enam, sembilan, dan

dua belas bulan setelah tanam ………..

64

21 Rata-rata survival (%) setiap jenis tanaman pada tiga, enam, sembilan, dan dua belas bulan setelah tanam (BST) ………

65

22 Rata-rata luas tajuk (m2) setiap jenis tanaman pada tiga, enam, sembilan, dan dua belas bulan setelah tanam (BST) ………

67

23 LCC dan serasah ………... 69 24 Sepuluh jenis tanaman penelitian ………. 71

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Daftar nama jenis pohon di lokasi penelitian suksesi, lokasi

penelitian revegetasi, dan pustaka yang diacu ...

116

2 Daftar nama jenis semak di lokasi penelitian suksesi, lokasi

penelitian revegetasi, dan pustaka yang diacu ………. 119 3 Daftar nama jenis climber dan liana di lokasi penelitian suksesi,

lokasi penelitian revegetasi, dan pustaka yang diacu …………... 120 4 Daftar nama jenis herba di lokasi penelitian suksesi, lokasi

penelitian revegetasi, dan pustaka yang diacu ………. 121 5 Spora fungi mikoriza arbuskula pada kedalaman 0-10 cm dan

10-20 cm di lahan pasca tambang timah berumur 0 tahun …………

122

6 Spora fungi mikoriza arbuskula di bawah tiga vegetasi dominan pada kedalaman 0-10 cm dan 10-20 cm di lahan pasca tambang timah berumur 7 tahun ……….

123

7 Spora fungi mikoriza arbuskula di bawah tiga vegetasi dominan pada kedalaman 0-10 cm dan 10-20 cm di lahan pasca tambang timah berumur 11 tahun ...

124

8 Spora fungi mikoriza arbuskula di bawah tiga vegetasi dominan pada kedalaman 0-10 cm dan 10-20 cm di lahan pasca tambang timah berumur 38 tahun ...

125

9 Spora fungi mikoriza arbuskula di bawah tiga vegetasi dominan pada kedalaman 0-10 cm dan 10-20 cm di ladang ditinggalkan

126

10 Spora fungi mikoriza arbuskula di bawah tiga vegetasi dominan pada kedalaman 0-10 cm dan 10-20 cm di hutan ………..

127

11 Jumlah koloni mikrob pelarut fosfat di bawah tiga vegetasi dominan pada kedalaman 0-10 dan 10-20 cm di lahan pasca tambang timah berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun, ladang ditinggalkan, dan di hutan ………

128

12 Jumlah individu per hektar, jumlah jenis, dan jumlah famili pada tingkat semai, sapihan, tiang, dan pohon di lahan pasca tambang timah berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun, ladang ditinggalkan, dan di hutan ………...

(20)

13 Indeks nilai penting tingkat semai di lahan pasca tambang timah berumur 7 tahun ……...

129

14 Indeks nilai penting tingkat semai di lahan pasca tambang timah berumur 11 tahun …...

130

15 Indeks nilai penting tingkat semai di lahan pasca tambang timah berumur 38 tahun ……….

131

16 Indeks nilai penting tingkat sapihan di lahan pasca tambang timah berumur 38 tahun ……….

132

17 Indeks nilai penting tingkat semai di ladang ditinggalkan …...

132 18 Indeks nilai penting tingkat sapihan di ladang ditinggalkan ….... 134 19 Indeks nilai penting tingkat tiang di ladang ditinggalkan …...

135 20 Indeks nilai penting tingkat semai di hutan ………..

136

21 Indeks nilai penting tingkat sapihan di hutan ……... 138 22 Indeks nilai penting tingkat tiang di hutan ………... 140 23 Indeks nilai penting tingkat pohon di hutan ………. 141 24 Survival dan luas tajuk tiap kombinasi perlakuan pada tiga, enam,

sembilan, dan dua belas bulan setelah tanam ………...

142

25 Analysis of variance survival tanaman pada dua belas bulan setelah tanam ………

143

26 Analysis of variance luas tajuk tanaman pada dua belas bulan setelah tanam ………

143

27 Pertumbuhan sepuluh jenis tanaman pada tiga bulan setelah tanam 144 28 Pertumbuhan sepuluh jenis tanaman pada enam bulan setelah

tanam ………...

146

29 Pertumbuhan sepuluh jenis tanaman pada sembilan bulan setelah tanam ………

148

30 Pertumbuhan sepuluh jenis tanaman pada dua belas bulan setelah tanam ………...

150

31 Analysis of variance produksi serasah (kg ha-1 tahun-1) pada dua belas bulan setelah tanam ……...

(21)

32 Analysis of variance jenis tumbuhan yang menginvasi pada dua belas bulan setelah tanam ………

152

33 Jenis tumbuhan yang menginvasi empat puluh lima petak pada dua belas bulan setelah tanam ………...

153

34 Famili dari jenis tumbuhan yang menginvasi empat puluh lima petak pada dua belas bulan setelah tanam ...

155

35 Analysis of variance jumlah jenis tumbuhan yang menginvasi pada dua belas bulan setelah tanam ………...

157

36 Sifat-sifat tanah di bawah Lepironia articulata, tanah palet, tanah mineral, lahan tidak terganggu, lahan pasca tambang timah berumur pasir 0 tahun gundul, dan top soil di kaki bukit ….

157

37 Analisa jaringan daun C. inophyllum pada dua belas bulan setelah

tanam setelah tanam ……….

158

38 Analysis of variance total N (%) daun C. inophyllum pada dua belas bulan setelah tanam ………

159

39 Analysis of variance total P (%) daun C. inophyllum pada dua belas bulan setelah tanam ...

159

40 Analysis of variance total K (%) daun C. inophyllum pada dua belas bulan setelah tanam ………...

159

41 Analysis of variance total Ca (%) daun C. inophyllum pada dua

belas bulan setelah tanam ………. 160 42 Analysis of variance total Mg (%) daun C. inophyllum pada dua

belas bulan setelah tanam ……….

160

43 Analysis of variance total Na (%) daun C. inophyllum pada dua

belas bulan setelah tanam ………. 160 44 Analysis of variance total S (%) daun C. inophyllum pada dua

belas bulan setelah tanam ………. 161 45 Analysis of variance total Fe (ppm) daun C. inophyllum pada dua

belas bulan setelah tanam ………. 161 46 Analysis of variance total Al (ppm) daun C. inophyllum pada dua

belas bulan setelah tanam ……….

161

47 Analysis of variance total Pb (ppm) daun C. inophyllum pada dua belas bulan setelah tanam ……….

(22)

48 Analysis of variance total Sn (ppm) daun C. inophyllum pada dua belas bulan setelah tanam ……….

162

49 Analisa kompos ……… 162

50 Kualitas air di kolam bekas tambang dan sumur di lahan tidak terganggu ………...

163

(23)

Latar Belakang

Pulau Bangka yang memiliki luas daratan 1160000 ha (PPTA 1996), sebagian besar terdiri atas dataran rendah dengan beberapa bukit dengan perbedaan iklim yang relatif kecil (Faber 1956), memiliki tipe iklim Af (PT Timah Tbk 1997), dan terletak pada 2o 20’-3o 20’ LU dan 107o 15’-108o 45’ BT (Widagdo et al. 1990). Bangka memiliki rata-rata curah hujan tahunan dalam sembilan tahun terakhir 2408 mm, rata-rata jumlah hari hujan tahunan 200, dan musim kemarau berlangsung dari bulan Mei – Oktober (Stasiun Meteorologi Pangkalpinang 2006). Rata-rata temperatur udara harian dalam sembilan tahun terakhir adalah 26.8 oC (23.8-31.5 oC).

Pulau Bangka sebagai pulau penghasil timah terbesar di Indonesia, menyumbang 40 % kebutuhan timah dunia (ASTIRA 2005). Pada tahun 2001 produksi timah mencapai 53000 ton, dimana 18000 ton di antaranya berasal dari penambangan non - konvensional (Bangka Pos 2002a), dan sebagian besar berasal dari penambangan darat (Gambar 1). Pada tahun 2004 produksi timah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung mencapai 88.4 % dari total ekspor atau senilai 24 juta dolar AS (Zulkarnain et al. 2005).

Penambangan timah ilegal mendapat publikasi yang negatif karena meninggalkan kerusakan lingkungan (Bangka Pos 2001, 2002a, 2002b, 2002c), termasuk penambangan ulang secara ilegal di sekitar 65 % luas lokasi yang telah direklamasi (Bangka Pos 2004; PT Tambang Timah 2005). Jumlah lahan yang seharusnya direklamasi oleh dua perusahaan tambang besar di Pulau Bangka dan Pulau Belitung sekitar 5800 ha, termasuk lokasi yang ditambang secara ilegal (PT Timah Tbk. 2002; PT Koba Tin 2003; Triswandi D 2003, komunikasi pribadi; PT Tambang Timah 2005).

Dampak negatif penambangan timah adalah munculnya lahan terganggu, rusaknya drainase dan habitat alami, dan timbulnya polusi (Lau 1999). Pada tahun 1999 penambangan timah di Pulau Bangka meninggalkan 544 kolam bekas

(24)

tambang (kolong) seluas 1035 ha (PT Timah – Lembaga Penelitian Universitas Sriwijaya 2000). Angka ini dipastikan meningkat sejalan dengan meningkatnya penambangan ilegal di akhir tahun 1999. Penambangan menurunkan sifat-sifat tanah. Dibandingkan dengan lahan tidak terganggu, kandungan pasir pada tailing timah dapat mencapai 95 %, C-organik kurang dari 2 %, dan KTK (kapasitas tukar kation) kurang dari 1.0 cmol(+) kg-1. Pori air tersedia menjadi sangat rendah dan mencapai 1 % vol (sangat rendah) pada kedalaman 0-20 cm dan permeabilitas mencapai 35 cm jam-1 (sangat cepat) pada kedalaman 0-20 cm (Adimihardja et al. 2002). Temperatur tailing pasir pada kedalaman 3 cm pada jam 12.00-14.00 mencapai 45 oC (Nurtjahya et al. 2007), atau 48.8 oC (Mitchell 1959) pada jam 14.30, atau bahkan mencapai 60-70 oC (Setyowati-Indarto 1998).

Mengandalkan suksesi alami untuk merestorasi tailing pasir tanpa campur tangan manusia akan membutuhkan waktu yang lama, waktu dimana tailing timah tetap gundul dan tidak ekonomis (Ang 1994). Setelah dibiarkan tidak terganggu selama dua puluh tahun, peningkatan kesuburan sangat lambat sehingga hanya meningkat seperlima atau kurang dibandingkan lahan tidak ditambang (Mitchell 1959).

Sejumlah kecil jenis tanaman eksotik yang dipilih karena sifat-sifatnya, dipergunakan secara meluas pada program rehabilitasi di Pulau Bangka, seperti

Acacia mangium Willd. (Fabaceae) sejak tahun 1993 (Nurtjahya 2001), namun

praktek ini dinilai kurang mendukung rehabilitasi lahan untuk tujuan restorasi. Adalah kurang bijaksana terus mengandalkan pada sejumlah kecil jenis tanaman untuk upaya rehabilitasi di masa depan (Lamb & Tomlinson 1994). Sejauh ini daftar jenis lokal potensial sebagai kandidat untuk merevegetasi lahan pasca tambang timah di Pulau Bangka belum pernah dilaporkan, walaupun beberapa jenis pohon lokal telah disarankan oleh beberapa kelompok peneliti (Sambas & Suhardjono 1995; van Steenis dalam Whitten et al. 2000).

Kondisi lingkungan lahan pasca tambang tidak mendukung pertumbuhan tanaman, sehingga diperlukan pemahaman suksesi sebagai informasi penting bagi perencanaan dan penentuan strategi revegetasi (Leteinturier et al. 1999; Corrêa et

al. 2007). Informasi tersebut adalah identifikasi vegetasi yang berperan di setiap

(25)

revegetasi, dan penentuan lokasi potensial sumber biji bagi revegetasi, di samping penelusuran pustaka dan komunikasi dengan pakar akan jenis-jenis pionir. Hasil kajian suksesi, penelusuran pustaka dan komunikasi pakar mendaftar sebanyak mungkin jenis lokal yang dipilih untuk dipergunakan dalam revegetasi. Tingkat keragaman yang tinggi pada revegetasi diharapkan mempercepat pencapaian keragaman jenis tumbuhan di area revegetasi, sesuai dengan tujuan akhir penelitian yakni restorasi lahan pasca tambang.

Kajian suksesi adalah penting dalam merancang satu paket teknik budidaya yang diharapkan memanipulasi lingkungan lahan pasca tambang yang tidak mendukung pertumbuhan tanaman. Semua informasi ini dibutuhkan untuk mendukung upaya percepatan suksesi alami. Penggabungan beberapa teknik budidaya yakni: kerapatan tanam, model tanam, penanaman mulsa legum penutup tanah (legum cover crops – LCC), penggunaan mulsa sabut kelapa, pemberian top

soil, pemberian tanah mineral, pemberian kompos, serta penggunaan pembenah

tanah (soil conditioner) kiranya perlu dilakukan untuk menyiasati lingkungan lahan pasca tambang timah yang tidak mendukung pertumbuhan tanaman: miskin hara, porous dan tercekam air, terbuka, dan dalam rangka mendapatkan prosedur revegetasi yang efektif dan sederhana.

Evaluasi keberhasilan revegetasi pada akhir penelitian dilakukan berdasarkan berbagai parameter pertumbuhan dan perbaikan habitat. Di samping itu, potensi mesofauna tanah sebagai indikator keberhasilan revegetasi pun perlu ditelaah untuk memperkaya parameter keberhasilan revegetasi.

Penelitian ini terbagi atas dua, yakni penelitian pertama tentang suksesi lahan pasca tambang timah, dan penelitian ke dua tentang revegetasi lahan pasca tambang timah.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian pertama adalah memahami suksesi dan jenis tumbuhan yang berperan di setiap tahapan suksesi. Tujuan penelitian ke dua adalah mengkaji pertumbuhan sepuluh jenis pohon lokal terpilih pada berbagai kerapatan tanam dan perlakuan tanah pada tailing pasir.

(26)

Manfaat Penelitian

Informasi suksesi lahan pasca tambang timah adalah penting bagi perencanaan dan penentuan strategi revegetasi dalam hal identifikasi jenis pohon lokal potensial, identifikasi lokasi potensial sumber biji dan pemahaman lingkungan lahan pasca tambang timah bagi keberhasilan revegetasi

Hasil penelitian ke dua tentang revegetasi lahan pasca tambang timah dengan beragam jenis pohon lokal adalah identifikasi praktek budidaya yang paling mendukung pertumbuhan sepuluh pohon lokal terpilih dan yang paling mendukung rekolonisasi alami. Informasi tersebut akan memperkaya pengembangan strategi yang efektif dalam penanaman di lahan pasca tambang timah bagi pemulihan hutan kembali dengan beragam jenis pohon lokal dalam waktu sesingkat mungkin dan dengan dana dan tenaga profesional terbatas.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi praktek revegetasi dengan pohon lokal dan yang paling mendukung rekolonisasi alami. Informasi tersebut akan memperkaya pengembangan strategi yang efektif dalam penanaman di lahan pasca tambang timah bagi pemulihan hutan kembali dengan beragam jenis pohon lokal dalam waktu sesingkat mungkin.

Tailing timah secara garis besar dibagi menjadi dua bagian besar yakni tailing pasir dan tailing slime. Palaniappan (1974) membagi menjadi tiga yakni tailing pasir, tailing slime, dan tailing campuran pasir dan slime. Dibandingkan dengan tailing slime, dengan kurun waktu yang sama, tailing pasir lebih tidak bervegetasi karena kandungan air dan hara hasil pencucian lebih sedikit dibandingkan pada tailing slime. Penelitian ini memilih tailing pasir sebagai bahan penelitian.

Untuk merevegetasi tailing pasir, beberapa hal harus dilakukan yakni pemilihan jenis tanaman yang sesuai di tailing pasir, persiapan lahan, pembenahan tanah, persemaian, penanaman, perawatan, dan pemantauan. Beberapa dari kegiatan-kegiatan tersebut dapat dipertukarkan urutan pengerjaannya tergantung

(27)

kondisi di lapang termasuk ketersediaan biji, dan dua atau tiga kegiatan dapat dilakukan secara bersama-sama jika keadaan di lapang memungkinkan, misalnya tersedianya bahan dan tenaga.

Pemilihan jenis tanaman dapat didekati dari kombinasi beberapa hal, dari penelusuran pustaka (Backer & van den Brink 1965; Sakai et al. 1980; Sambas & Suhardjono 1995; Cheah 1995; van Steenis dalam Whitten et al. 2000; Whitten et

al. 2000; Partomihardjo et al. 2004), mengutip pendapat para ahli (Kanzaki M

2004, komunikasi pribadi; Davies SJ 2004, komunikasi pribadi; Dalling J 2004, komunikasi pribadi), pengamatan di lapang, dan percobaan di lapang. Pemilihan jenis ditentukan juga oleh peruntukan lahan yang akan direvegetasi; jenis untuk revegetasi untuk hutan tanaman industri akan berbeda dengan jenis untuk restorasi. Dalam penelitian ini tujuan penelitian diarahkan ke restorasi lahan pasca tambang timah menjadi hutan kembali. Sejumlah jenis tumbuhan yang dipilih diseleksi di pembibitan sebelum dipergunakan sebagai dalam penelitian revegetasi.

Untuk memperoleh hasil yang diharapkan, diperlukan contoh proses yang terjadi di alam sebagai cermin. Suksesi di lahan pasca tambang timah, khususnya tailing pasir dipelajari. Pemahaman suksesi memberi gambaran proses yang terjadi dan jenis-jenis tanaman yang berperan dalam proses tersebut. Pemahaman proses tersebut berguna dalam mengidentifikasi identifikasi jenis pohon lokal potensial yang relatif adaptif di tailing pasir, mengidentifikasi lokasi potensial sumber biji, pemahaman lingkungan lahan pasca tambang timah bagi keberhasilan pelaksanaan penanaman di tailing pasir.

Mengingat belum pernah ada petak permanen pengamatan suksesi dan untuk memperoleh gambaran suksesi yang terjadi lebih teliti, pemilihan lokasi-lokasi penelitian diupayakan mewakili kurun waktu suksesi dan dari tipe tanah yang sama. Tipe tanah yang sama untuk mengurangi pengaruh tipe tanah terhadap suksesi karena tidak semua tipe tanah dapat ditambang. Tanah regosol dan tanah histosol atau tanah gambut tidak ditambang karena lapisan tanah di bawahnya tidak mengandung cadangan timah. Penambangan timah juga dilakukan berdasarkan peta eksplorasi yang telah dilakukan sejak zaman kolonial dan mengikuti alur cadangan timah di Pulau Bangka.

(28)

Pemahaman akan berbagai kelompok umur lahan pasca tambang timah berguna dalam merancang strategi revegetasi yang akan dilaksanakan di lahan pasca tambang timah, khususnya di tailing pasir. Identifikasi faktor pembatas di tailing pasir bagi pertumbuhan tanaman berguna dalam memanipulasi keadaan tailing pasir yang mendukung pertumbuhan jenis tanaman terpilih agar dapat tumbuh dengan baik dan sesuai harapan.

Memperhatikan sifat-sifat fisika dan kimia tailing pasir dan lingkungan penambangan yang terbuka, cekaman air dan temperatur adalah faktor yang mendapat perhatian. Peningkatan sifat-sifat fisika dan kimia tanah diperlukan untuk membenahi tanah dan tekstur pasir yang porous, dan miskin hara. Perbaikan mikroklimat di sekitar lubang tanam diupayakan untuk mengurangi sebesar mungkin cekaman air dan temperatur bagi tanaman di tailing pasir. Diperlukan paduan beberapa teknik budidaya yang telah dipraktekkan di masyarakat untuk memperbaiki mikroklimat di lingkungan tailing pasir yang terbuka dan panas. Fokus teknik penanaman adalah kerapatan tanam, model tanam, penggunaan mulsa hidup dengan legum penutup tanah, penggunaan mulsa sabut kelapa, penggunaan tepung tailing slime sebagai sumber hara, pengunaan asam humat,

top soil sebagai sumber hara dan sumber biji, tanah mineral sebagai sumber hara,

dan kompos sebagai sumber bahan organik.

Sejumlah jenis lokal terpilih dan dengan satu paket teknik budidaya yang dipilih dan diharapkan mampu memanipulasi lingkungan lahan pasca tambang diharapkan percepatan suksesi di lahan pasca tambang tercapai.

Untuk mengevaluasi keberhasilan revegetasi beberapa parameter dipilih untuk mewakili beberapa aspek untuk mendapatkan evaluasi yang teliti. Paduan evaluasi pertumbuhan tanaman di atas permukaan tanah, perubahan sifat-sifat tanah di bawah permukaan tanah, dan populasi fauna tanah, pengukuran temperatur udara, temperatur tanah, dan kelembaban tanah dipilih. Di samping itu, potensi mesofauna tanah sebagai indikator keberhasilan revegetasi pun perlu ditelaah untuk memperkaya parameter keberhasilan revegetasi.

Untuk mengetahui sejauh mana manfaat revegetasi dalam mempercepat suksesi alami, dibandingkan hasil revegetasi dengan suksesi alami lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun.

(29)

Gambar 1 Penambangan timah di darat. (a) penambangan timah skala besar, (b) penambangan non-konventional (TI), (c) penambangan timah terapung di kolam, (d) mendulang timah, (e) kapal keruk darat, (f) area penambangan timah darat, (g) penambangan ilegal di lokasi yang direvegetasi, (h) penambangan timah ilegal di dekat pemakaman. Foto oleh E. Nurtjahya.

a b

c d

e f

(30)

Pendahuluan

Mengingat kesuburan tidak pernah tercapai tanpa bantuan manusia (Mitchell 1959; Ang 1994, Elfis 1998), pemilihan jenis tanaman dan teknik budidaya dibutuhkan untuk mempercepat restorasi tailing timah pasir. Sejumlah jenis pohon eksotik dipergunakan secara meluas pada program rehabilitasi karena memiliki banyak sifat, namun kehati-hatian ekologis menyebutkan adalah kurang bijaksana terus mengandalkan pada sejumlah kecil jenis dalam upaya rehabilitasi di masa depan (Lamb & Tomlinson 1994). Sementara belum dilaporkan adanya daftar jenis pohon lokal potensial untuk merevegetasi tailing timah, A. mangium adalah jenis eksotik yang dominan (mencapai 75 %) yang ditanam di tailing timah oleh dua perusahaan tambang besar di Pulau Bangka sejak 1993 (Nurtjahya 2001). Beberapa peneliti menganjurkan beberapa jenis pohon lokal. van Steenis (Whitten

et al. 2000) menyarankan Ploiarium, Rhodamnia, dan Rhodomyrtus sebagai

marga yang dapat dicoba. Sambas dan Suhardjono (1995) merekomendasikan

Schima wallichii (DC.) Korth. (Theaceae), Syzygium racemosum (Blume) DC.

(Myrtaceae), Vitex pinnata L. (Verbenaceae), Syzygium zeylanicum (L.) DC. (Myrtaceae), Calophyllum pulcherrimum Wall. ex Choisy (Clusiaceae), dan

Gomphia serrata (Gaertn.) Kanis. (Ochnaceae) sebagai kandidat potensial untuk

merevegetasi tailing pasir. Jenis lokal seperti Macaranga spp., dan Trema

orientalis (L.) Blume (Ulmaceae) termasuk beberapa jenis lokal yang ditanam di

lahan bekas tambang emas di Kalimantan Timur (Nurtjahya 2004). Di Pulau Bangka dan Pulau Belitung Anacardium occidentale L. (Anacardiaceae) dan

Triomma malaccensis Hook. f. (Burseraceae) ditanam dalam prosentase yang

kecil dibandingkan A. mangium di lokasi revegetasi yang tidak luas, dan keduanya dinilai cukup adaptif di tailing pasir.

Melengkapi saran dan upaya penggunaan jenis pohon lokal dalam merevegetasi lahan pasca tambang timah di Pulau Bangka dan Pulau Belitung,

(31)

dan memperhatikan kondisi lingkungan lahan pasca tambang yang tidak mendukung pertumbuhan tanaman, diperlukan pemahaman suksesi untuk membantu penentuan strategi revegetasi lahan pasca tambang timah melalui identifikasi jenis yang berperan di setiap tahapan, penentuan jenis tanaman, dan penentuan lokasi potensial sumber biji bagi revegetasi. Informasi regenerasi alami atau suksesi penting bagi perencanaan dan penentuan strategi revegetasi (Leteinturier et al. 1999; Corrêa et al. 2007). Memperhatikan mikrob tanah memiliki fungsi yang penting dalam ekosistem yakni terhadap pertumbuhan, nutrisi mineral, dan kesehatan tanaman (Souchie et al. 2006), populasi fungi mikoriza arbuskula (FMA), dan mikrob pelarut fosfat (MPF) yang termasuk termasuk plant growth promoting rhizobacteria (Rodriguez & Fraga 1999) perlu dihitung.

Tujuan penelitian ini ialah memahami suksesi dan vegetasi yang berperan di setiap tahapan suksesi.

Bahan dan Metode

Penelitian ekologi kuantitatif di lahan pasca tambang timah dilaksanakan di Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Enam lokasi yang masing-masing mewakili tipe vegetasi berbeda dipilih.

Lokasi penelitian

Suksesi lahan pasca tambang timah didekati dengan pengamatan suksesi alami yang terjadi di beberapa umur yang berbeda karena tidak ada petak pengamatan permanen dan belum pernah dilaporkan penelitian ini sebelumnya. Untuk mengurangi pengaruh tipe tanah, hampir semua lokasi penelitian memiliki dominasi tipe tanah hapludox (oksisol) antara 50-75 % di samping kandiudults (ultisol) 25-50 %. (PPTA 1990), yang baik oksisol dan ultisol dicirikan oleh kandungan bahan organik yang rendah, liat bermuatan rendah dan karenanya memiliki KTK yang rendah (Tan 2005) (Gambar 2). Untuk mendapatkan data umur yang tepat, survai lapang dan wawancara dengan penduduk dilakukan sebelum menentukan lokasi penelitian. Studi pustaka dilakukan pada Peta Ikhtisar

(32)

Penambangan Timah di Pulau Bangka (PT Tambang Timah 2004), Peta Satuan Lahan dan Tanah Pulau Bangka (PPTA 1990), dan Peta Land System Sumatera (Bakosurtanal 1986). Riwayat penambangan timah dari PT Timah (Persero) Tbk. memperkuat asumsi kesamaan tingkat eksploitasi lokasi penelitian.

Gambar 2 Jenis tanah lokasi penelitian. (1) hutan (Pfq 3.3); (2) ladang ditinggalkan (Pfq 3.3); (3) tailing 0 tahun gundul (X-5); (4) tailing 7 tahun (Pq 2.1); (5) tailing 11 tahun (Pfq 2.1); (6) tailing 38 tahun (Pt 5.3). (PPTA 1990)

(33)

Gambar 3 Pulau Bangka dan lokasi penelitian. (1) hutan; (2) ladang ditinggalkan; (3) tailing 0 tahun gundul; (4) tailing 7 tahun; (5) tailing 11 tahun; (6) tailing 38 tahun. Digitasi garis pantai dari peta Provinsi Kepulauan Bangka Belitung skala 1:400000 (Bakosurtanal 2003)

Lokasi penelitian adalah hutan seluas 13 ha yang memiliki tipe tanah dominan hapludox, di desa Sempan (01o 53' 38.5" LS dan 105o 58' 14.5" BT), ladang yang ditinggalkan empat tahun sebelumnya seluas 1.6 ha di desa Sempan (01o 53' 32.3" LS dan 105o 58' 44.5" BT), lahan pasca tambang berumur nol tahun dan gundul seluas 2 ha di desa Riding Panjang (01o 59' 53.46"LS dan 106o 06'

45.32"BT), lahan pasca tambang berumur 7 tahun seluas 0.5 ha di desa Sempan (01o 52' 41.5" LS dan 106o 00' 14.2" BT), lahan pasca tambang berumur 11 tahun seluas 0.6 ha dengan tipe tanah kandiudult dan dystropepts di desa Gunung Muda (01o 37' 0.01"LS dan 105o 54' 47.9"BT), dan lahan pasca tambang berumur 38

(34)

tahun seluas 2 ha dengan tipe tanah hapludox di desa Riau (01o 44' 33.8" LS dan 105o 51' 66.4"BT) (Gambar 3). Lokasi seluas 15.7 ha terletak di Kabupaten Bangka dan berada pada ketinggian 20-40 m d.p.l. Untuk mendapatkan lahan pasca tambang timah yang berumur lebih dari 40 tahun sulit ditemukan karena kegiatan penambangan ulang, dan terutama oleh penambangan rakyat.

Pengumpulan dan analisis data Sifat-sifat tanah

Contoh tanah pada masing-masing lokasi penelitian diambil dengan auger berdiameter 8 cm pada kedalaman 0-20 cm dan 20-40 cm. Contoh tanah komposit secara diagonal (Setyorini et al. 2003) terdiri atas sembilan sub sampel di setiap lokasi penelitian. Contoh tanah dianalisis sifat-sifat kimia dan beberapa sifat fisika dengan analisis tanah rutin untuk keperluan penilaian kesuburan tanah yang meliputi: tekstur tiga fraksi, pH air dan KCl, bahan organik (C dan N), P dan K potensial, nilai tukar kation (kapasitas tukar kation – KTK, Ca-dd, Mg-dd, K-dd, Na-dd), dan kemasaman dapat ditukar (Al-dd dan H-dd). Analisis dilakukan di Balai Penelitian Tanah, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, di Bogor.

Fungi mikoriza arbuskula (FMA) dan Mikrob Pelarut Fosfat (MPF)

Contoh tanah komposit sebanyak 500 g dari delapan titik rhizosfir dari tiga vegetasi paling dominan pada kedalaman 0-10 cm dan 10-20 cm diambil dengan menggunakan modifikasi CSM-BGBD Project Protocol 2004 (Gafur & Swibawa 2004). Jumlah ulangan tiap contoh tanah adalah tiga kali. Jarak antar contoh di bawah vegetasi dominan semai adalah 50 cm untuk lingkaran terdekat dan 1 m untuk lingkaran terjauh. Jarak antar contoh di bawah vegetasi tiang atau pohon yang dominan adalah 1 m untuk lingkaran terdekat, dan 2 m untuk lingkaran terjauh.

Spora diperoleh dengan metode tuang saring basah (Gadermann & Nicolson 1963). Sebanyak 50 g contoh tanah dilarutkan dalam 500 ml air dan diaduk dan dicuci berulangkali dengan air melalui satu rangkaian saringan (710 µm, 425 µm, dan 45 µm). Spora diamati di bawah mikroskop stereo. Marga diidentifikasi

(35)

berdasarkan morfologi spora dan merujuk pada buku manual Schenck and Perez (1988) dan INVAM (International Culture Collection of Arbuscular & Vesicular-Arbuscular Mycorrhizal Fungi) (http://invam.caf.wvu.edu/index.html).

Contoh tanah sebanyak 1 g dilarutkan dalam 9 ml larutan garam fisiologis dan diaduk dan dibuat seri pengenceran dari 10o-105. Sebanyak 0.02 ml dari larutan 105 diinokulasikan ke media agar Picovskaya dan diinkubasikan pada temperatur ruang selama 2-3 hari. Koloni yang menunjukkan cincin halo yang transparan di sekitar koloni dihitung, dan direisolasi dan dipelihara pada nutrient agar (NA). Pengujian FMA dan MPF dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Hutan dan Lingkungan, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor.

Analisa vegetasi

Penelitian dilaksanakan dari bulan Mei 2004 – November 2005. Luas minimum area sebesar 0.2 ha ditentukan dengan kurva species-area (Setiadi & Muhadiono 2001). Analisa kuantitatif terhadap komposisi dan struktur vegetasi dilakukan pada 20 petak masing-masing 10 m x 10 m dengan modifikasi teknik pengambilan contoh kuadrat oleh Oosting 1956 (Soerianegara & Indrawan 1998). Petak berukuran 10 m x 10 m digunakan untuk mengukur pohon yang memiliki diameter lebih besar dari 20 cm diameter setinggi dada orang dewasa (dbh), dan mengukur tiang yang memiliki diameter pada dbh 10-20 cm. Petak berukuran 5 m x 5 m digunakan untuk mengukur sapihan yang memiliki tinggi tanaman lebih dari 1.5 m dan diameter kurang dari 10 cm. Petak berukuran 1 m x 1 m untuk menghitung semai yang memiliki tinggi kurang dari 1.5 m. Jumlah individu tiap jenis dan diameter batang pada tiang dan pohon dicatat, dan hanya jumlah individu tiap jenis yang dicatat untuk sapihan dan semai. Sekitar 340 spesimen herbarium diidentifikasi di Herbarium Bogoriense, Bogor.

Komposisi vegetasi setiap lokasi penelitian (Gambar 4) ditentukan oleh jumlah individu tanaman, jumlah jenis, dan jumlah famili. Struktur vegetasi dihitung dari densitas relatif, frekuensi relatif, dan cover relatif (Mueller-Dumbois & Ellenberg 1974). Indeks vegetasi adalah species richness menurut Margalef (Odum 1971), evenness index menurut Pielou (Odum 1971), dominance index

(36)

(Odum 1971), dan species diversity (Shannon & Wiener 1949). Indeks kemiripan (similarity index) dihitung dengan formula Sǿrensen (Mueller-Dumbois & Ellenberg 1974). Data untuk analisis komponen utama (principal component

analysis – PCA), analisis canonical correspondence analysis (CCA), dan analisis

kelompok (cluster analysis) dihitung menggunakan paket statistik MSV 3.1.

Jumlah individu suatu jenis di semua petak contoh Densitas suatu jenis per unit area

= jumlah petak contoh yang diamati

Jumlah individu suatu jenis Densitas relatif dari suatu jenis

(DR) = Jumlah individu dari semua jenis x 100

Jumlah petak dimana suatu jenis ditemukan Frekuensi =

Jumlah petak yang diamati Frekuensi suatu jenis di petak tertentu Frekuensi relatif suatu jenis (FR)

= Jumlah frekuensi semua jenis di petak tertentu x 100

Jumlah basal area Basal area (cover) per individu

suatu jenis = Jumlah individu

Jumlah basal area per individu suatu jenis Basal area (cover) relatif (CR) =

Jumlah basal area semua jenis di semua petak x 100

Index Nilai Penting (INP) = DR + FR + CR

2 x Jumlah INP jenis sama di dua lokasi dibandingkan Indeks kemiripan dua lokasi (IS) =

Jumlah INP yang dibandingkan

x 100

Indeks Dominansi

suatu lokasi (c) = Jumlah (INP suatu jenis/INP semua jenis)2

Jumlah individu suatu jenis Indeks diversitas Shannon dan

Wiener suatu lokasi (Ĥ) = Σ - log Jumlah invidu semua jenis

Jumlah jenis minus satu Indeks species richness

suatu lokasi (d) = Logarithma jumlah individu di suatu lokasi

Jumlah indeks diversitas semua jenis Indeks Evenness suatu lokasi (e) =

(37)

Gambar 4 Lokasi penelitian. (a) lahan pasca tambang berumur 0 tahun, (b) lahan pasca tambang berumur 7 tahun, (c) lahan pasca tambang berumur 11 tahun, (d) lahan pasca tambang berumur 38 tahun, (e) ladang ditinggalkan, (f) hutan. Foto oleh E. Nurtjahya

a b

c d

(38)

Hasil

Sifat-sifat Tanah

Komponen pasir di empat lahan pasca tambang pada kedalaman 0-20 cm dan 20-40 cm berkisar 80-97 % (Tabel 1). Terdapat kecenderungan adanya penurunan komponen pasir, kecuali pada lahan pasca tambang berumur 11 tahun, dengan semakin lamanya lahan pasca tambang timah ditinggalkan (Gambar 5a). Komponen pasir dari semua lahan pasca tambang timah masing-masing pada dua kedalaman lebih besar dibandingkan di hutan yakni 78 dan 66 %, dan di ladang yang ditinggalkan 47 dan 48 %. Tekstur semua lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun adalah sand, dan tekstur ladang yang ditinggalkan termasuk

sandy clay loam, dan tekstur hutan adalah loamy sand.

Tabel 1 Sifat-sifat fisika dan kimia tanah pada kedalaman 0-20 dan 20-40 cm di lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, 38 tahun, ladang ditinggalkan, dan hutan

Tekstur pH Bahan organik HCl 25% Kapasitas tukar

W. & B. Kjel da hl (NH4 - Acetate 1 N, pH 7) KC l 1 N ke dal ama n pas ir de bu liat C N P2 O5 K2 O Ca Mg K Na Total KTK KB Al3+ Lokasi penelitian cm % H2O % C/N mg100g-1 cmol(+)kg-1 % cmol (+) kg-1 0-20 94 2 4 4.8 0.2 0.0 15 2 3 0.1 0.2 0.0 0.0 0.3 0.4 73 0.3 Tailing 0 tahun 20-40 97 1 2 4.5 0.1 0.0 13 3 3 0.3 0.2 0.0 0.0 0.6 1.4 40 0.1 0-20 94 4 3 4.8 1.0 0.1 13 49 3 0.2 0.1 0.0 0.1 0.3 3.3 16 0.6 Tailing 7 tahun 20-40 93 6 2 4.8 1.2 0.1 14 71 3 0.2 0.1 0.0 0.1 0.4 3.9 19 0.7 0-20 83 5 13 4.9 0.2 0.0 10 11 4 0.2 0.1 0.0 0.0 0.3 2.0 28 0.9 Tailing 11 tahun 20-40 80 3 18 4.8 0.3 0.0 10 11 4 0.2 0.1 0.0 0.0 0.4 2.3 30 0.9 0-20 96 2 2 5.1 0.3 0.0 14 5 2 0.2 0.1 0.0 0.1 0.4 1.0 40 0.2 Tailing 38 tahun 20-40 95 2 3 5.0 0.2 0.0 10 4 2 0.1 0.1 0.0 0.1 0.3 0.9 31 0.2 0-20 47 22 31 4.5 3.2 0.3 12 35 8 0.3 0.2 0.1 0.0 0.7 14.7 4 4.8 Ladang ditinggal kan 20-40 48 22 31 4.6 1.7 0.1 12 36 7 0.3 0.2 0.1 0.1 0.6 9.6 6 3.7 0-20 78 13 10 4.7 1.6 0.2 10 22 5 0.2 0.1 0.1 0.1 0.4 5.8 7 2.0 Hutan 20-40 66 18 16 4.7 1.2 0.1 14 20 5 0.1 0.1 0.1 0.1 0.4 5.2 7 2.0

Kecuali rasio C/N lahan pasca tambang berumur 11 tahun, rasio C/N lahan pasca tambang berumur 0, 7, dan 38 tahun yakni berkisar 10-15 lebih tinggi dibandingkan hutan dan ladang yang ditinggalkan. Secara umum, konsentrasi P2O5 dan K2O pada lahan pasca tambang di dua kedalaman lebih rendah

(39)

dan K2O (5 dan 5 mg 100g-1), dan konsentrasi P2O5 di ladang yang ditinggalkan

(35 dan 36 mg 100g-1) dan K2O (8 dan 7 mg 100g-1). Tingginya konsentrasi P2O5

di dua kedalaman pada tailing timah berumur 7 tahun dibandingkan dengan di ladang yang ditinggalkan dan di hutan diduga pengambilan sampel tanah tercampur dengan sebagian tanah overburden yang lebih subur. Secara umum konsentrasi Ca, Mg, K, dan Na berangsur-angsur meningkat sejalan dengan semakin lamanya lahan pasca tambang ditinggalkan (Gambar 5b). Jumlah konsentrasi keempat kation dapat ditukar tersebut di dua kedalaman di lahan pasca tambang berkisar 0.3-0.6 cmol(+) kg-1, sementara jumlah konsentrasi keempat

unsur di ladang yang ditinggalkan masing-masing 0.7 dan 0.6 cmol(+) kg-1, dan di hutan adalah masing-masing 0.4 dan 0.4 cmol(+) kg-1.

KTK semua lahan pasca tambang timah tergolong sangat rendah berdasarkan tabel kesuburan tanah, dan berkisar antara 0.4-3.9 cmol(+) kg-1. KTK ladang yang ditinggalkan masing-masing 14.7 dan 9.6 cmol(+) kg-1, dan KTK hutan pada dua kedalaman masing-masing 5.8 dan 5.2 cmol(+) kg-1.

KB di semua lahan pasca tambang timah yang berkisar antara 16-40 % dengan angka tertinggi pada lahan pasca tambang berumur 0 tahun. KB pada berbagai umur lahan pasca tambang timah menunjukkan pola yang tidak konstan dan nilai tertinggi tercatat pada lahan pasca tambang berumur 0 tahun yang gundul (73 dan 40 %). Nilai KB di lahan di ladang yang ditinggalkan masing-masing 4 dan 6 % dan di hutan masing-masing-masing-masing 7 dan 7 %.

Konsentrasi Al3+ pada dua kedalaman 0-20 cm dan 20-40 cm di lahan pasca tambang timah berkisar 0.1-0.9 cmol(+) kg-1, sementara konsentrasi Al3+ pada dua kedalaman 0-20 cm dan 20-40 cm di hutan masing-masing 2.0 dan 2.0cmol(+)kg

-1, dan di ladang yang ditinggalkan masing-masing 4.8 dan 3.7 cmol(+) kg-1.

Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) dan Mikrob Pelarut Fosfat (MPF)

Jumlah spora FMA (Gambar 6a) per 50 g tanah di bawah tiga jenis tumbuhan dominan pada kedalaman 0-20 cm di lahan pasca tambang timah berangsur-angsur meningkat sejalan dengan semakin lamanya lahan pasca tambang timah ditinggalkan (Gambar 7a). Jumlah spora di lahan pasca tambang berumur 0 tahun adalah 2, di lahan pasca tambang berumur 7 tahun adalah 47, di

(40)

lahan pasca tambang berumur 11 tahun adalah 57, dan di lahan pasca tambang berumur 38 tahun tercatat tertinggi yakni 261.7, sementara di tanah hutan adalah 15 (Tabel 2). 0 20 40 60 80 100 0 7 11 38 Hutan Pr os en tas e (% )

pasir debu liat

0.00 0.05 0.10 0.15 0.20 0.25 0 7 11 38 Hutan Kons entra s i c m o l/kg Ca Mg K Na

Gambar 5 Konsentrasi beberapa sifat fisika dan kimia tailing pasir di lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, 38 tahun, dan di hutan. (a) komponen pasir, debu, dan liat. (b) konsentrasi Ca, Mg, K, dan Na.

Jumlah jenis FMA pada lahan pasca tambang berumur 38 tahun adalah 7 jenis Glomus, 2 jenis Gigaspora, 1 jenis Scutellospora, dan 1 jenis Acaulospora, dengan Glomus sp. 2 menempati urutan terbesar yakni 67.4 %, dan Glomus sp. 3 sebesar 20.7 %. Jumlah genus antara tiga dan lima, dan Glomus Tul. & Tul. (Glomaceae) adalah dominan (44-100 %) dibandingkan Gigaspora, Scutellospora, dan Acaulospora.

a

(41)

Sebaliknya, rata-rata jumlah koloni MPF (Gambar 6b) pada kedalaman 0-20 cm menunjukkan penurunan sejalan dengan semakin lamanya lahan pasca tambang ditinggalkan (Gambar 7b). Populasi MPF per g tanah pada 0-20 cm di lahan pasca tambang berumur 0 tahun (6.0 x 105), di lahan pasca tambang berumur 7 tahun adalah 6.2 x 105 c g-1, di lahan pasca tambang berumur 11 tahun adalah 4.2 x 105 c g-1, di lahan pasca tambang berumur 38 tahun adalah 1.3 x 105 c g-1, dan di hutan sebesar 4.4 x 105 c g-1.

Gambar 6 Spora fungi mikoriza arbuskula dan koloni mikrob pelarut fosfat. (a) spora fungi mikoriza arbuskula: spora Glomus kecil dan berwarna lebih gelap, dan spora Gigaspora besar dan transparan, (b) koloni mikrob pelarut fosfat dengan zona terang. Foto oleh N.F. Mardatin

2 47 15 57 262 0 50 100 150 200 250 300 0 7 11 38 Hutan Ju m lah s pora FMA 4.4 1.3 4.2 6.2 6.0 0.0 2.5 5.0 7.5 0 7 11 38 Hutan K o lo n i 1 0 5 /g /je n is t a n a m a n MPF

Gambar 7 Rata-rata jumlah spora FMA dan populasi MPF di lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun, dan di hutan pada kedalaman 0-20 cm. (a) jumlah spora per 50 g tanah (b) jumlah koloni mikrob pelarut fosfat per g tanah

a b

(42)

Tabel 2 Status fungi mikoriza arbuskula dan mikrob pelarut fosfat di lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun, di ladang ditinggalkan, dan di hutan pada kedalaman 0-20 cm

Lokasi

penelitian Vegetasi dominan

Ke dalam an (cm) Jumlah rata2 koloni MPF (105 c g-1 tanah) Jumlah spora / 50 g-1 tanah Jumlah genera Genus FMA dominan dan prosentase 0 - 10 5.0 1 1 Glomus Tailing 0

tahun Tidak ada vegetasi 10 - 20 1.0 1 1 100%

Fymbristylis pauciflora 0 - 10 10.3 69 4 Glomus

Trema orientalis 10 - 20 8.3 72 5 67%

Tailing 7 tahun

Melastoma malabatrichum

Paspalum orbiculare 0 - 10 6.0 87 4 Glomus

Blumea balsamifera 10 - 20 6.7 84 4 59%

Tailing 11 tahun

Melastoma malabatrichum

Rhodomyrtus tomentosa 0 - 10 3.2 372 3 Glomus

Eriachne pallescens 10 - 20 0.8 413 4 95%

Tailing 38 tahun

Ischaemum sp.

Trema orientalis 0 - 10 17.3 97 5 Glomus

Melastoma malabatrichum 10 - 20 20.7 39 4 44% Ladang

ditinggalkan

Pternandra galeata

Tristaniopsis whiteana 0 - 10 7.0 30 4 Glomus

Syzygium sp. 10 - 20 6.3 15 4 57%

Hutan

Ilex cymosa

Komposisi vegetasi

Jumlah individu, jumlah jenis, dan jumlah famili di lahan pasca tambang timah semakin meningkat sejalan dengan semakin lama lahan pasca tambang ditinggalkan (Gambar 8). Jumlah jenis tumbuhan di lahan pasca tambang berumur 0 tahun adalah nol, jumlah jenis tumbuhan di lahan pasca tambang berumur 7 tahun adalah enam yang terdiri atas empat jenis rumput dan dua jenis semak, jumlah jenis tumbuhan di lahan pasca tambang berumur 11 tahun adalah delapan yang terdiri atas lima jenis rumput, satu jenis herba, dan dua jenis semak, dan jumlah jenis tumbuhan di lahan pasca tambang berumur 38 tahun adalah enam belas yang terdiri atas empat jenis rumput, tiga jenis herba, enam jenis semak, dua jenis tingkat semai dan satu jenis tingkat semai dan sapihan, jumlah jenis tumbuhan di ladang ditinggalkan sebesar tujuh puluh satu, dan jumlah jenis di hutan sebesar delapan puluh lima yang meliputi herba, liana / climber, semak, semua tingkatan pohon, dan tidak diketemukan jenis rumput (Gambar 9).

(43)

Jumlah individu per hektar untuk semua fase pertumbuhan semakin meningkat sejalan dengan semakin lama lahan pasca tambang ditinggalkan. Pada lahan pasca tambang berumur 7 tahun sebesar 890, pada lahan pasca tambang berumur 11 tahun 1720, dan pada lahan pasca tambang berumur 38 tahun sebesar 2180. Jumlah individu per hektar tertinggi adalah di hutan yakni 7295, sedangkan di ladang yang ditinggalkan (7175). Jumlah famili di tiap lokasi penelitian menunjukkan pola serupa. Jumlah famili untuk semua fase pertumbuhan di lahan pasca tambang berumur 7 tahun adalah 4, di lahan pasca tambang berumur 11 tahun adalah 5, dan di lahan pasca tambang berumur 38 tahun adalah 13. Jumlah famili untuk semua fase pertumbuhan tertinggi adalah di hutan yakni 44, sedangkan di ladang yang ditinggalkan adalah 38.

(44)

0 10 20 30 40 50 0 7 11 38 Ladang Hutan J u mlah jenis

semai sapihan tihang pohon

0 10 20 30 0 7 11 38 Ladang Hutan Ju ml a h fa mi li

semai sapihan tihang pohon

0 1000 2000 3000 4000 0 7 11 38 Ladang Hutan Ju mla h in div idu ha-1

semai sapihan tihang pohon

Gambar 8 Jumlah individu per hektar, dan jumlah jenis dan jumlah famili di lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun, ladang ditinggalkan, dan di hutan. (a) jumlah jenis (b) jumlah famili (c) jumlah individu ha-1

a

b

(45)

0 10 20 30 40 50 0 7 11 38 Hutan Ju ml ah j e nis

rumput herba liana / climber semak semai sapihan tihang pohon

Gambar 9 Jumlah jenis tumbuhan rumput, herba, liana/climber, semak, dan tingkat semai, tingkat sapihan, dan tingkat tiang, dan pohon di lahan pasca tambang berumur 0, 7, 11, dan 38 tahun, dan di hutan.

Struktur vegetasi

Tiap lokasi memiliki jenis yang berbeda. Tidak ada jenis tumbuhan ditemukan di lahan pasca tambang timah 0 tahun. Pada lahan pasca tambang berumur 7 tahun, tercatat tumbuhan bawah Fimbristylis pauciflora R. Br. (Cyperaceae), Imperata cylindrica (L.) Beauv. (Poaceae), Melastoma

malabatrichum L. (Melastomataceae), Eupatorium inulaefolium HBK

(Asteraceae), Paspalum orbiculare Forst.f. (Poaceae), Paspalum conjugatum Berg. (Poaceae) (Tabel 3). Pada lahan pasca tambang berumur 11 tahun tercatat

Blumea balsamifera (L.) DC. (Asteraceae), P. conjugatum, I. cylindrica, F. pauciflora, dan M. malabatrichum, Eragrostis chariis (Schult.) Hitchc. (Poaceae), Scleria levis Retz. (Cyperaceae), dan Commersonia bartramia (L.) Merr.

(Sterculiaceae). Pada lahan pasca tambang berumur 38 tahun tercatat

Rhodomyrtus tomentosa (Aiton) Hassk. (Myrtaceae), Eriachne pallescens R. Br.

(Poaceae), Ischaemum sp. (Poaceae), Crotalaria sp. (Fabaceae), dan M.

malabatrichum, Anonim sp.3, F. pauciflora, Glechenia sp. (Gleicheniaceae), S. levis, V. pinnata, S. wallichii, E. inulaefolium, T. orientalis, Dillenia suffruticosa

(Griff.) Martelli, Nephentes sp.1. S. wallichii dengan INP 7.73 %, V. pinnata dengan INP 8.57 %, dan T. orientalis adalah tiga jenis pohon tingkat semai dan

Referensi

Dokumen terkait

Quality control untuk kualitas material dan hasil pekerjaan harus selalu diperhatikan dalam setiap pekerjaan berlangsung sampai pada pekerjaan salesai, setiap akan

Ardi Pramono, Sp.An selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan juga selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak

Perhitungan Harga Pokok Produksi dengan menggunakan Metode Activity Based Costing ini mengalokasikan biaya ke produk sesuai dengan aktivitas yang dikonsumsinya, sehingga

18 225370 RAJA NOR AMINAH RAJA IBRAHIM (EXAM KHAS) BKAF3083 TEORI DAN AMALAN PERAKAUNAN J FATHILATUL ZAKIMI ABDUL HAMID 1.. 19 225697 NOR AMIRA GHAZALI (EXAM KHAS) BKAF3083

Makna hidup adalah hal-hal yang oleh seseorang dipandang penting, dirasakan berharga, dan diyakini sebagai suatu yang benar serta dapat dijadiknna tujuan hidupnya (Bastaman.

Pada era modern, khususnya Indonesia, Islamic Center berubah menjadi sebuah komplek yang di dalamnya terdapat masjid sebagai bangunan utama dan bangunan-bangunan

Obat generik berlogo menggunakan bahan aktif yang sama dengan obat generik bermerek dan memiliki cara kerja yang sama dalam tubuh sehingga keduanya memiliki resiko dan

Islam juga mengecam pelaku yang membunuh manusia : “Barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena