• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KESADARAN KOLEKTIF, SISTEM NILAI BUDAYA, SERTA PEMAHAMAN MAKAN BERSAMA. Mayarakat disebut Durkheim sebagai sui generis. 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KESADARAN KOLEKTIF, SISTEM NILAI BUDAYA, SERTA PEMAHAMAN MAKAN BERSAMA. Mayarakat disebut Durkheim sebagai sui generis. 1"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

13

BAB II

KESADARAN KOLEKTIF, SISTEM NILAI BUDAYA, SERTA PEMAHAMAN MAKAN BERSAMA

2.1 Kesadaran Kolektif

Mayarakat disebut Durkheim sebagai sui generis.1 Dalam sekumpulan

masyarakat, terdapat keunikan/ciri khas yang membedakan satu masyarakat dengan yang lainnya. Keunikan tersebut yang kemudian mempengaruhi dalam sistem sosial, ekonomi, dan pandangan tentang agama. Dalam kehidupan bermasyarakat, terdapat unsur-unsur yang penting, yaitu unsur yang mengatur ikatan-ikatan antara anggota masyarakat. Di dalamnya terdapat aturan di luar individu, yang mengatur

sah tidaknya suatu hubungan individu.2 Aturan inilah yang dikatakan sebagai

collective consciousness atau kesadaran kolektif dan collective representation atau

gambaran kolektif.3

Dalam bahasa Perancis, kata conscience berarti baik „consciousnes‟ (kesadaran) maupun „nurani moral‟. Dalam teori Durkheim tentang masyarakat, kata ini diterjemahkan sebagai „suara hati kolektif‟. Durkheim mencirikan kesadaran kolektif dengan cara berikut:

Totalitas kepercayaan-kepercayaan dan sentimen-sentimen yang lazim bagi rata-rata warga dari masyarakat yang sama membentuk suatu sistem tertentu yang mempunyai kehidupannya sendiri; orang dapat menyebutnya kesadaran kolektif atau kesadaran bersama. Oleh karena itu, kesadaran kolektif adalah hal yang berbeda sama sekali dari kesadaran-kesadaran khusus, meskipun ia dapat disadari hanya melalui kesadaran-kesadaran khusus itu.

(Durkheim, 1893/1964, 79-80)

1 George Ritzer dan Barry Smart, Handbook Teori Sosial (Bandung: Nusa Media, 2011),

1021.

2 Fibry Jati Nugroho, Rekonstruksi Ritual Pasca Konflik di Objek Wisata Religi Gunung

Kemukus Kabupaten Sragen Jawa Tengah (Disertasi, Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya

Wacana, 2017), 37-38.

3 Tom Campbell, Tujuh Teori Sosial: Sketsa, Penilaian, Perbandingan (Yogyakarta:

(2)

14 Beberapa poin patut digarisbawahi didalam definisi tersebut. Pertama, jelas bahwa Durkheim menganggap kesadaran kolektif sebagai hal yang terjadi diseluruh masyarakat tertentu, ketika dia menulis totalitas kepercayaan-kepercayaan dan sentimen-sentimen rakyat. Kedua, Durkheim membayangkan dengan jelas kesadaran kolektif sebagai hal yang independen dan mampu menentukan fakta-fakta sosial yang lain. Akhirnya, meskipun dia menganut pandangan mengenai kesadaran kolektif yang demikian, Durkheim juga menulis mengenai “kesadaran atasnya" melalui kesadaran individual. Kesadaran kolektif mengacu kepada struktur umum pengertian-pengertian, norma-norma dan kepercayaan-kepercayaan yang diyakini bersama, oleh karena itu, kesadaran kolektif merupakan suatu konsep yang serba

mencakup dan tidak berbentuk.4

Menarik bila memperhatikan pernyataan Frank W. Elwell tentang konsep kesadaran kolektif Durkheim. Frank W. Elwell menyatakan bahwa menurut Durkheim keinginan dan kepentingan diri sendiri dari setiap individu itu dipengaruhi oleh suatu kekuatan yang ada di luar si individu. Kekuatan eksternal ini disebut sebagai collective conscience yang adalah ikatan sosial bersama yang diekspresikan melalui ide-ide, nilai-nilai, norma, kepercayaan, dan ideologi budaya yang dilembagakan dalam struktur sosial, dan diinternalisasikan oleh setiap anggota

pemangku budaya tersebut.5 Tampaknya pernyataan ini bukan dari tulisan Durkheim

secara langsung, melainkan hasil interpretasi dan pemahaman Frank W. Elwell terhadap pemikiran Durkheim tentang kesadaran kolektif yang tersebar pada

4 George Ritzer, Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir

Postmodern (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 138.

5

Frank W. Elwell, The Classical Tradition: Malthus, Marx, Weber & Durkheim (Oklahoma: Rogers State Unversity, 2005), 85–86.

(3)

15

beberapa tulisan.6 Dengan keyakinan bahwa Frank W. Elwell telah menelaah dan

memahami pemikiran Durkheim, maka dari pemaparan di atas menunjukkan adanya

komponen-komponen yang menyertai kesadaran kolektif atau collective

consciousness sebagaimana yang dimaksud oleh Durkheim, yaitu: ide, gagasan, nilai,

norma, kepercayaan, dan ideologi.7 Di dalam diri manusia, kesadaran kolektif ini

akan mendorong manusia melakukan perbuatan yang dapat diterima oleh anggota masyarakat, sehingga orang itu akan diterima oleh semua anggota masyarakat. Dengan demikian, ia akan mempunyai otoritas moral dalam masyarakat, ia akan

dihargai oleh masyarakat.8

Kesadaran kolektif merupakan suatu ide yang begitu luas dan tidak berbentuk, mustahil mempelajarinya secara langsung dan harus mendekatinya melalui fakta-fakta sosial material yang terkait. Ketidakpuasan Durkheim dengan keterbatasan tersebut menyebabkan dia tidak begitu banyak menggunakan kesadaran kolektif di dalam karyanya yang belakangan karena lebih menyukai konsep yang jauh lebih spesifik yakni collective representation atau gambaran kolektif. Dalam bahasa Perancis representation berarti „ide‟. Durkheim menggunakan istilah itu untuk mengacu baik kepada suatu konsep kolektif maupun „kekuatan‟ sosial. Contoh-contoh dari gambaran kolektif adalah simbol-simbol agamis, mitos-mitos, dan legenda-legenda populer. Semua itu adalah cara-cara masyarakat mencerminkan dirinya sendiri. Mereka menggambarkan kepercayaan-kepercayaan, norma-norma,

6

Rama Tulus Pilakoannu, Agama Sebagai Identitas Sosial…, 68.

7 Rama Tulus Pilakoannu, Agama Sebagai Identitas Sosial…, 68.

8 Fibry Jati Nugroho, Rekonstruksi Ritual Pasca Konflik di Objek Wisata Religi Gunung

(4)

16 dan nilai-nilai kolektif, dan mereka mendorong kita untuk menyesuaikan diri kepada

klaim-klaim kolektif itu.9

Gambaran kolektif juga tidak dapat direduksi menjadi para individu karena mereka muncul dari interaksi-interaksi sosial, tetapi mereka dapat dipelajari secara lebih langsung daripada kesadaran kolektif karena mereka lebih mungkin untuk dihubungkan kepada simbol-simbol material seperti bendera, ikon-ikon, dan gambar-gambar atau dihubungkan dengan praktik praktik seperti ritual-ritual. Oleh karena itu, sang sosiolog dapat mulai mempelajari bagaimana gambaran-gambaran kolektif tertentu sangat cocok atau mempunyai pertalian dengan gambaran-gambaran kolektif

lainnya atau tidak.10

Gambaran kolektif adalah simbol-simbol yang mempunyai makna yang sama bagi semua anggota sebuah kelompok dan memungkinkan mereka untuk merasa sama satu dengan yang lain. Gambaran kolektif tersebut memperlihatkan cara-cara anggota kelompok melihat diri mereka dalam hubungan dengan objek yang mempengaruhi. Gambaran kolektif adalah bagian dari isi kesadaran kolektif, sebuah entitas yang ada diantara sebuah pikiran kelompok yang bersifat metafisis dan kenyataan opini publik yang lebih prosais. Kesadaran kolektif mengandung semua gagasan yang dimiliki secara bersama oleh para anggota individual masyarakat dan

yang menjadi tujuan-tujuan dan maksud-maksud kolektif.11 Gambaran kolektif lebih

9 George Ritzer, Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir

Postmodern…, 139.

10 George Ritzer, Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir

Postmodern…, 139.

11

(5)

17 tinggi bentuknya ketimbang kehidupan psikis karena gambaran kolektif adalah

kesadaran atas kesadaran.12

Ketika masyarakat berkumpul secara kolektif, yang pada intinya memperkuat lagi sentimen kolektif dan ide-ide kolektif, ternyata memiliki dimensi lain yang

disebut ingatan kolektif atau collective memory.13 Dalam bingkai kerja Durkheim,

pembahasan tentang memory merupakan sesuatu yang strategis bukan hanya untuk menjelaskan masa lampau, namun juga bagaimana mentransformasikan masa lalu

kedalam identitas yang tersedia pada masa sekarang.14 Jan Assman memahami

bahwa ingatan kolektif sebagai ingatan sehari-hari. Pemikiran Assmann tentang ingatan kolektif ini juga mendapatkan pengaruh dari Halbwachs. Argumen dasar dari

teori mereka berdua adalah, bahwa ingatan selalu memiliki aspek sosial.15

Setiap orang adalah bagian dari suatu komunitas. Identitasnya tertanam di dalam komunitasnya tersebut. Konsep kebebasan juga harus selalu dipahami dalam kaitan dengan keberadaan komunitas. Setiap komunitas selalu memiliki nilai-nilai yang berakar pada tradisi yang telah berkembang lintas generasi. Nilai-nilai ini juga menjadi bagian dari ingatan kolektif. Menurut L. Niethammer, ingatan sehari-hari ini dapat disebut juga ingatan komunikatif. Setiap manusia memiliki dan mengalami ingatan ini sebagai bagian dari keseharian hidupnya. Pengaruhnya juga besar pada

cara berpikir dan cara berperilaku seseorang.16

12

Emile Durkheim, On Morality and Society, edited and with an Introduction by Robert N. Bellah (Chicago and London: The University of Chicago Press, 1973), 221.

13 Rama Tulus Pilakoannu, Agama Sebagai Identitas Sosial…, 73. 14

Barbara A. Misztal, Durkheim on Collective Memory…, 124.

15 Jan Assmann; John Czaplicka, Collective Memory and Cultural Identity, New German

Critique, No. 65, Cultural History/Cultural Studies (Spring - Summer, 1995), 126.

16

(6)

18 Menurut Halbawchs, ketika komunikasi yang hidup diproses menjadi budaya yang objektif baik dalam bentuk teks, gambar, ritus, bangunan, monument, kota, ataupun pemandangan, maka ingatan sehari-hari itu akan lenyap karena ingatan itu berubah menjadi sejarah. Namun Assmann tidak setuju dengan pernyataan Halbawchs, yang melenyapkan ingatan menjadi sejarah karena menurutnya

objektifitas suatu budaya memiliki struktur memori/ingatan sehari–hari.17 Jadi,

kesadaran kolektif memang merupakan sebuah pemikiran yang penting bagi

eksistensi dan keberlangsungan sebuah komunitas atau masyarakat.18

2.2 Sistem Nilai Budaya 2.2.1 Pengertian Kebudayaan

Pertanyaan tentang “apa itu kebudayaan?” telah muncul bersamaan dengan bercokolnya manusia di muka bumi ini. Setiap definisi menularkan definisi baru, dan senantiasa baru, yang kerap mendekonstruksi penalaran atau pemahaman terdahulu. Pelbagai upaya telah dilakukan oleh manusia dalam menelaah pengertian tentang kebudayaan. Tak gampang menunjukkan bagaimana berbudaya, sebab di dalam kebudayaan (baik sebagai konsep maupun fakta empiris) senantiasa termuat pelbagai ketegangan, kompleksitas dan tunas-tunas persoalan baru, yang menuntut siasat-siasat baru, sebagai konsekuensi dari kinerja imajinasi, intelektualitas dan

reflektivitas manusia yang cenderung bersifat liar dan tak terbendung.19 Ada berbagai

pemahaman tentang kebudayaan baik dari para pemikir Indonesia maupun dari para pemikir Barat.

- Kebudayaan dalam pemahaman para pemikir Indonesia.

17 Jan Assmann; John Czaplicka, Collective Memory and Cultural Identity…, 128. 18 Rama Tulus Pilakoannu, Agama Sebagai Identitas Sosial…, 74.

19

(7)

19 Istilah kebudayaan dalam pemahaman klasik kerap diduga berasal dari bahasa Sansekerta, yakni buddhayah. Kata tersebut terdiri dari kata budi dan daya. Budi adalah makna, akal, pikiran, pengertian, paham, pendapat, perasaan. Sedangkan daya mengandung kompleksitas makna dari yang tersurat dalam budi, juga sebagai himpunan kemampuan dan segala usaha yang dikerjakan dengan menggunakan hasil pendapat budi untuk memperbaiki sesuatu dengan tujuan mencapai kesempurnaan. Perkembangan perkembangan selanjutnya, yang sering digunakan dalam pelbagai keperluan adalah kebudayaan sebagai pernik-pernik hasil akal budi dan hasil karya kesenian, keseluruhan kebiasaan dan tradisi serta pola-pola perilaku dalam setiap suku.20

Takdir Alisjahbana memahami kebudayaan sebagai manifestasi dari cara berpikir yang sangat luas sifatnya. Menurut Alisjahbana, segala hal mesti dikembalikan kepada cara berpikir. Ia melihat kebudayaan sebagai teknik atau pola-pola perilaku manusia dalam berinteraksi dengan alam, sesama manusia dan Tuhan melalui pelbagai karya dan pola pikirnya. Agus Salim melalui risalah tentang kebudayaan memahami kebudayaan sebagai integritas antara budi dan daya yang bermakna sejiwa, tidak lagi menerima di bagi atau dipisah atas dua maknanya

masing-masing.21

Soerjanto Poespowardojo melalui bukunya Strategi Kebudayaan: Suatu Pendekatan Filosofis memahami kebudayaan sebagai totalitas hidup, proses dan aktivitas manusia dalam keberadaannya dimuka bumi ini, penghayatan tata nilai masyarakat, hasil bersama dari segala bidang seni, agama, filsafat, dan lain-lain yang

20 Fransiskus Simon, Kebudayaan dan Waktu Senggang…, 8-9.

21

(8)

20

diwariskan dan yang merupakan proses humanisasi.22 Dalam bukunya Pengantar

Antropologi 1, Koentjaraningrat menalarkan kebudayaan sebagai totalitas dari sistem gagasan dan rasa, kelakuan dan hasil kelakuan manusia yang teratur oleh tata kelakuan yang harus didapatkan dengan belajar dan kesemuanya tersusun dalam

kehidupan masyarakat.23 Ignas Kleden, lebih melihat kebudayaan sebagai sistem

nilai ketimbang sistem pengetahuan.24 Sistem nilai itu dibentuk oleh pelbagai faktor

yakni alam, sejarah, ekonomi, politik, kependudukan, dan aksara. Sementara Sidi Gazalba mengartikan kebudayaan sebagai cara berpikir dan cara merasa yang menyarakan diri dalam seluruh segi kehidupan sekelompok manusia, yang

membentuk kesatuan sosial dalam suatu ruang dan suatu waktu.25

- Kebudayaan dalam pemahaman para pemikir Barat.

Secara etimologis kata culture berasal dari bahasa Latin cultura atau cultus, yang berarti pengelolaan tanah, pengembangan tanaman, kehalusan perilaku, pola

berhias, penghormatan, pemujaan.26 Dari konsep sederhana itu, kata cultura

kemudian melebar menjadi keunikan adat istiadat masyarakat yang dilihat sebagai fakta dan kodrat alamiah dari Tuhan. Matthew Arnold mengartikan kebudayaan sebagai artikulasi aspirasi spiritual dan artistik tertinggi yang perlu dipelajari oleh tiap manusia untuk mencapai kesempurnaan hidup; sebuah nilai normatif hasrat untuk lebih bijak dan baik, studi kesempurnaan, harmonisasi, dan bersifat umum. Immanuel Kant mengartikan kebudayaan sebagai proses pendewasaan persepsi nilai

22 S. Poespowardojo, Strategi Kebudayaan: Suatu Pendekatan Filosofis (Jakarta: Gramedia

dan LPSP, 1989), 219.

23 Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi (Jakarta: Rineke Cipta, 1998), 72-96. 24 Ignas Klede, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan (Jakarta: LP3ES, 1997), xvii-xxvii. 25

Sidi Gazalba, Pengantar Kebudayaan Sebagai ilmu: Bentuk-bentuk kebudayaan (Jakarta: pustaka antara, 1968), 72.

26 John Rundell, Classical Reading in Culture and Civilization (London: Routledge, 1998),

(9)

21 dan makna berdasarkan prinsip yang makin berlaku universal. Bagi E. B. Taylor, kebudayaan dan peradaban itu sama maknanya, yaitu totalitas yang kompleks dari suatu upaya masyarakat untuk mewujudkan nilai dan makna hidup kearah kesempurnaan lebih tinggi. Kebudayaan adalah aspirasi tertinggi satu masyarakat, termasuk didalamnya ialah seni, kepercayaan, moral, hukum, kebiasaan, dan segala

kesanggupan dan kebiasaan yang dibutuhkan manusia sebagai anggota masyarakat.27

Menurut Goodenough mengemukakan bahwa kebudayaan adalah suatu sistem kognitif – suatu sistem yang terdiri dari pengetahuan, kepercayaan, dan nilai – yang berada dalam pikiran anggota-anggota individual masyarakat. Dengan kata lain, menurut pandangan ini kebudayaan berada dalam “tatanan kenyataan yang ideasional”, atau kebudayaan merupakan perlengkapan mental yang oleh anggota-anggota masyarakat dipergunakan dalam proses-proses orientasi, transaksi, pertemuan, perumusan gagasan, penggolongan, dan penafsiran perilaku sosial dalam masyarakat. Clifford Geertz mengemukakan bahwa kebudayaan merupakan suatu sistem makna simbolik; seperti dalam bahasa, kebudayaan merupakan suatu sistem semiotik yang mengandung simbol-simbol yang berfungsi mengkomunikasikan maknanya dari pikiran seseorang ke pikiran orang-orang lain. Kebudayaan adalah objek, tindakan, atau peristiwa dalam dunia yang dapat disaksikan, dirasakan dan dipahami yang mengisyaratkan makna-makna antara pikiran anggota-anggota individual masyarakat. Berdasarkan pendapat dari Goodenough dan Geertz, perbedaan utamanya ialah bagi Geertz simbol dan makna (kebudayaan) tidak berada dalam pikiran individu-individu dalam masyarakat, seperti yang dikemukakan oleh

27

(10)

22 Goodenough, tetapi berada di antara individu-individu yang dimaksud;

bersama-sama dimiliki oleh aktor-aktor sosial sebagai kenyataan publik, bukan pribadi.28

Definisi-definisi di atas mewakili pandangan yang melihat kebudayaan sebagai pemilik wilayah cakupan yang amat luas, sekaligus memandang kebudayaan sebagai sistem besar, fungsional dan menjadi penentu bagi seluruh aspek kehidupan sosial. Kebudayaan adalah segala hal yang tercermin dalam realitas apa adanya di masyarakat. Dengan demikian, budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sekelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Seseorang yang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya akan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, dan ini membuktikan bahwa budaya itu dipelajari dari berbagai definisi, dapat diperoleh pemahaman bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga

dalam kehidupan sehari-hari kebudayaan itu bersifat abstrak.29

2.2.2 Wujud Kebudayaan

Sosiolog Ogburn dan Nimkoff, memandang kebudayaan dalam dua wujud yaitu kebudayaan material dan kebudayaan non-material. Kebudayaan material ialah kebudayaan yang terdiri dari benda-benda konkret yang nyata seperti peralatan, furniture, buku, bangunan, bendungan sebagai benda nyata buatan manusia. Kebudayaan yang mengacu pada benda-benda fisik, sumber daya, dan ruang yang digunakan orang untuk mendefinisikan budaya mereka. Ini termasuk rumah,

28

Nico S. Kalangie, Kebudayaan dan Kesehatan: Pengembangan Pelayanan Kesehatan

Primer Melalui Pendekatan Sosiobudaya (Jakarta: Kesaint Blanc, 1994), 1-2.

29 H. Sulasman & Setia Gumilar, Teori-teori Kebudayaan: dari teori hingga aplikasi

(11)

23 lingkungan, kota, gereja, masjid, kantor, toko dan sebagainya. Pokoknya semua aspek-aspek fisik yang membantu dan menentukan perilaku dan persepsi

anggotanya.30

Kebudayaan material merupakan bukti fisik tentang keberadaan, identitas, karakteristik dari suatu kelompok atau komunitas suatu masyarakat tertentu. Kebanyakan karya arsitektur seperti bangunan bersejarah yang masih dapat kita amati sekarang merupakan bagian dari kebudayaan material suatu suku bangsa tertentu, termasuk item material yang paling sederhana seperti buku, perhiasan, sikat gigi, atau balon sekalipun. Kebudayaan material sering dihubungkan dengan konsep peninggalan dari suatu suku bangsa yang mempelajari semua bentuk kebudayaan material yang tampil sebagai bukti kebudayaan masa lalu dari komunitas tertentu. Studi budaya material sebenarnya merupakan salah satu studi yang fokus pada artefak di mana artefak diasumsikan selalu tunduk pada para pembuatnya, dengan

kata lain keberadaan artefak tersebut tidak dapat dipisahkan dari konteksnya.31

Kebudayaan non-material terdiri dari benda-benda abstrak yang tidak berwujud, misalnya adat istiadat, tradisi, kebiasaan, prilaku, sikap kepercayaan, bahasa, sastra, seni, hukum, agama dll. Semua bentuk non-material bersifat internal karena mencerminkan sifat batin manusia dari kelompok atau komunitas tersebut. Kebudayaan non-material mengacu pada ide-ide non fisik yang dimiliki oleh sekelompok orang, misalnya tentang keyakinan, nilai-nilai, aturan, norma, bahasa,

organisasi, dan pranata sosial.32

30 Alo Liliweri, Pengantar Studi Kebudayaan…, 12-13. 31 Alo Liliweri, Pengantar Studi Kebudayaan…, 13. 32

(12)

24 Edward T. Hall memberikan perumpamaan seperti teori gunung es tentang kebudayaan, bagian dari gunung es yang nampak diatas permukaan air mewakili aspek-aspek kebudayaan seperti perilaku, kebiasaan makan dan minum, pakaian dan rumah, bahasa dan artefak seni. Itulah kebudayaan material. Sebaliknya, kita tidak bisa melihat aspek-aspek yang ada di bawah permukaan es seperti keyakinan, nilai-nilai, adat, pengalaman dan asumsi, aspek-aspek yang tersembunyi tersebut merupakan potensi yang memberi dukungan terhadap aspek-aspek yang kelihatan.

Inilah kebudayaan non-material.33

Umumnya para antropolog mengikuti tradisi yang membedakan kebudayaan itu dalam tiga wujud, yaitu ideas, activities dan artifacts. J. J. Honigmann berpendirian bahwa kebudayaan itu ada tiga wujudnya, yaitu

1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dsb.

2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat.

3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.34

Wujud pertama adalah wujud ideas dari kebudayaan. Kebudayaan ideas ini dapat disebut adat tata kelakuan, atau secara singkat adat dalam arti khusus, atau adat istiadat dalam bentuk jamaknya. Sebutan tata kelakuan itu, bermaksud menunjukkan bahwa kebudayaan ideas itu biasanya juga berfungsi sebagai tata kelakuan yang mengatur, mengendali dan memberi arah kepada kelakuan dan perbuatan manusia

33

Alo Liliweri, Pengantar Studi Kebudayaan…, 14-15.

34 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Aksara Baru 1979), 200. Bnd.

Rama Tulus Pilakoannu, Hubungan Punahnya Sistem Pemukiman “Betang” dengan Nilai-Budaya

(13)

25 dalam masyarakat. Dalam fungsi itu adat terdiri lebih khusus lagi dari beberapa lapisan, dari yang paling abstrak dan luas, sampai yang paling konkret dan terbatas. Lapisan yang paling abstrak adalah misalnya sistem nilai-budaya. Lapisan kedua, ialah sistem norma-norma adalah lebih konkret. Sistem hukum yang bersandar kepada norma-norma adalah lebih konkret lagi. Sedangkan peraturan-peraturan khusus mengenai berbagai aktifitas sehari-hari dalam kehidupan masyarakat manusia (seperti misalnya sopan santun), merupakan lapisan adat istiadat yang paling konkret

tetapi terbatas ruang lingkupnya.35

Wujud kedua dari kebudayaan yang sering disebut sistem sosial, mengenai kelakuan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul satu dengan lain dari detik ke detik, dari hari ke hari, dari tahun ke tahun, selalu menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sebagai rangkaian aktivitas manusia dalam suatu masyarakat, maka sistem sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasi. Wujud ketiga dari kebudayaan disebut kebudayaan fisik, dan memerlukan keterangan banyak, karena merupakan seluruh total dari hasil fisik dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat, maka sifatnya paling konkret, dan berupa benda-benda atau

hal-hal yang dapat diraba, dilihat dan difoto.36

Ketiga wujud dari kebudayaan terurai di atas, dalam kenyataan kehidupan masyarakat tentu tidak terpisah satu dengan lain. Kebudayaan ideas dan adat-istiadat mengatur dan memberi arah kepada perbuatan dan karya manusia. Baik

35 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi…, 201. 36

(14)

26 pikiran dan ide-ide, maupun perbuatan dan karya manusia, menghasilkan benda-benda kebudayaan fisiknya. Sebaliknya, kebudayaan fisik itu membentuk suatu lingkungan hidup tertentu yang makin lama makin menjauhkan manusia dari lingkungan alamiahnya, sehingga mempengaruhi pula pola-pola perbuatannya,

bahkan juga mempengaruhi cara pikirnya.37 Bersangkutan dengan konsepsi bahwa

kebudayaan itu mempunyai tiga wujud, ialah: wujud ideas, wujud kelakuan, wujud fisik. Adat adalah wujud ideas dari kebudayaan, secara lengkap wujud itu dapat kita sebut adat tata kelakuan, karena adat itu berfungsi sebagai pengatur kelakuan. Suatu contoh dari adat ialah: aturan sopan santun untuk memberi selembaran uang kepada seseorang yang mengadakan pesta kondangan. Adat dapat dibagi lebih khusus dalam empat tingkatan, ialah tingkat nilai budaya, tingkat norma-norma, tingkat hukum dan

tingkat aturan khusus. 38

Tingkatan pertama adalah lapisan yang paling abstrak dan luas ruang lingkupnya. Tingkatan adat ini adalah ide-ide yang mengkonsepsikan hal-hal yang paling bernilai dalam kehidupan masyarakat. Konsepsi-konsepsi serupa itu biasanya luas dan kabur, tetapi walaupun demikian, atau justru karena kabur dan tidak rasional, biasanya berakar dalam bagian emosional dari alam jiwa manusia. Tingkatan adat ini dapat kita sebut sistem nilai-budaya. Jumlah nilai-nilai budaya tingkat pertama dalam suatu kebudayaan biasanya tidak banyak. Contoh dari suatu nilai-budaya terutama dalam masyarakat kita, adalah konsepsi bahwa hal yang bernilai tinggi adalah apabila manusia itu suka bekerjasama dengan sesamanya berdasarkan rasa solidaritas yang besar. Konsep ini, yang biasanya kita sebut nilai

37 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi…, 202. Bnd. Koentjaraningrat,

Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia, 1974), 15-17.

38

(15)

27 gotong royong, mempunyai ruang lingkup yang amat luas karena memang hampir semua karya manusia itu biasanya dilakukannya dalam rangka kerjasama dengan orang lain; dengan perkataan lain: konsep tersebut diatas hanya berarti bahwa semua kelakuan manusia yang bukan bersifat bersaing atau berkelahi itu adalah baik.

Teranglah bahwa nilai itu sebenarnya tidak rasional.39

Tingkat yang kedua dan lebih konkret adalah sistem norma. Norma-norma itu adalah nilai-nilai budaya yang sudah terkait kepada peranan-peranan tertentu dari manusia dalam masyarakat. Peranan manusia dalam kehidupannya adalah banyak, dan manusia sering berubah peranan dari saat ke saat, dari hari ke hari. Pada suatu saat dia berperan sebagai orang atasan, saat kemudian dia berperan sebagai orang bawahan, pada suatu hari dia berperan sebagai seorang guru, pada hari lain dia berperan sebagai seorang pemimpin partai politik. Tiap peranan membawakan baginya sejumlah norma yang menjadi pedoman bagi kelakuannya dalam hal memainkan peranannya yang bersangkutan. Jumlah norma dalam suatu kebudayaan

lebih banyak daripada jumlah nilai-budayanya.40

Tingkat yang ketiga dan yang lebih konkret lagi adalah sistem hukum (baik hukum adat maupun hukum tertulis). Hukum sudah jelas mengenai bermacam-macam sektor hidup yang sudah terang batas-batas ruang-lingkupnya. Jumlah undang-undang hukum dalam suatu masyarakat sudah jauh lebih banyak daripada jumlah norma yang menjadi pedomannya. Tingkat yang keempat adalah aturan-aturan khusus yang mengatur aktivitas-aktivitas yang amat jelas dan terbatas ruang-lingkupnya dalam kehidupan masyarakat. Itulah sebabnya aturan-aturan khusus ini

39 Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan…, 20-21. 40

(16)

28

amat konkret sifatnya dan banyak di antaranya terkait dalam sistem hukum.41 Dalam

pembagian wujud kebudayaan ini tampak bahwa sistem nilai budaya menempati urutan yang paling atas dan sangat abstrak. Dengan demikian, maka tidaklah mudah untuk mengetahui sistem nilai budaya yang dianut oleh sebuah masyarakat.

2.2.3 Sistem Nilai Budaya

Berbicara tentang kebudayaan tidak bisa tanpa menyinggung nilai yang kesehariannya dapat diamati melalui perilaku manusia berdasarkan adat istiadat dari suatu komunitas masyarakat tertentu. Kebudayaan adalah perilaku yang dipelajari secara sosial dan ditransmisikan dalam bentuk ide, norma-norma, nilai-nilai dan keyakinan, dan semuanya itu sangat tergantung pada jenis budaya yang kita miliki sebagai produk. Para sosiolog menjelaskan paling tidak ada dua aspek kebudayaan yang saling terkait, yaitu benda fisik budaya (material) dan ide-ide (non-material) yang berhubungan dengan suatu realitas. Bagian ini akan menjelaskan budaya yang non-material berupa ide-ide nonfisik seperti nilai. Nilai adalah ide-ide tentang apa yang baik, benar, dan adil. Nilai sebagai salah satu unsur dasar pembentukan orientasi budaya, nilai melibatkan konsep budaya yang menganggap sesuatu itu sebagai baik atau buruk, benar atau salah, adil atau tidak adil, cantik atau jelek,

bersih atau kotor, cocok atau tidak cocok.42

Meskipun nilai tidak selalu menggambarkan perilaku suatu budaya, namun nilai dapat menjelaskan untuk apa sesuatu itu kita lakukan. Hal ini karena nilai cenderung menjadi dasar bagi semua keputusan yang kita buat, nilai merupakan dasar bagi kita untuk menilai tindakan kita sendiri terhadap orang lain. Nilai dapat

41 Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan…, 22. 42

(17)

29 dianggap sebagai bagian yang tersembunyi dari kebudayaan. Jika, kebudayaan disamakan dengan gunung es maka nilai itu ada di bawah permukaan air. Keberadaan nilai memberi pedoman umum bagi perilaku manusia, dengan demikian nilai-nilai seperti rasa hormat terhadap martabat manusia, hak-hak dasar, hak milik pribadi, religiusitas (keberagaman), kesetaraan sosial, yang membimbing perilaku kita dalam berbagai cara. Nilai-nilai budaya itu dibentuk dari berbagai sumber, antara lain:

1. Adaptasi dengan lingkungan 2. Faktor-faktor sejarah

3. Evolusi sosial dan ekonomi

4. Kontak dengan kelompok budaya lain

5. Tekanan masyarakat melalui pemberian hukuman dan ganjaran

6. Pendidikan agama43

Dengan demikian nilai membimbing prinsip-prinsip dalam hidup dan setiap orang memiliki sistem nilai sendiri yang membantu dirinya dalam perilaku dan tindakan sepanjang hidupnya. Nilai bisa universal atau juga bersifat pribadi, hanya keyakinan seseoranglah yang membantu dia untuk menentukan bagaimana dia harus memilih

perilaku dengan cara tertentu sepanjang hidupnya.44

Sistem diartikan sebagai kumpulan bagian-bagian yang bekerja bersama-sama untuk melakukan suatu maksud. Sistem budaya merupakan wujud yang abstrak dari kebudayaan. Sistem budaya atau cultural system merupakan ide-ide dan gagasan manusia yang hidup bersama dalam suatu masyarakat. Gagasan tersebut tidak dalam

43 Alo Liliweri, Pengantar Studi Kebudayaan…, 55-56. 44

(18)

30 keadaan berdiri sendiri, tetapi berkaitan dan menjadi suatu sistem. Dengan demikian, sistem budaya adalah bagian dari kebudayaan yang diartikan pula adat istiadat. Adat

istiadat mencakup sistem nilai budaya.45

Sistem nilai budaya merupakan hasil dari suatu proses kebudayaan yang terejawantahkan dalam berbagai bentuk kebudayaan, baik bentuk kebudayaan obyektif maupun sistem sosial. Nilai, termasuk juga nilai budaya, merupakan hasil transformasi karya budi manusia terhadap data, fakta, situasi, dan kejadian alam yang dihadapinya. Nilai ini berupa nilai imanen yang selanjutnya diobyektivasikan ke dalam tata kehidupan sehari-hari. Tata kehidupan sehari-hari ini ialah simbol yang merupakan obyek, tindakan, peristiwa, kualitas, atau relasi yang berlaku sebagai

wahana untuk sebuah konsep.46

Menurut Koentjaraningrat, sistem nilai budaya merupakan tingkat yang paling abstrak dari adat. Suatu sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi, yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Oleh karena itu, suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Sistem-sistem tata kelakuan manusia lain yang tingkatnya lebih konkret, seperti aturan-aturan khusus, hukum dan norma-norma, semuanya juga berpedoman kepada sistem nilai budaya. Sebagai bagian dari adat istiadat dan wujud ideel dari kebudayaan, sistem nilai budaya seolah-olah berada di luar dan di atas diri para individu yang menjadi warga masyarakat yang bersangkutan. Para individu itu sejak

45

Basrowi, Pengantar Sosiologi (Bogor: Ghalia Indonesia, 2014), 78.

46 Nancy Novitra Souisa, Makan Patita…, 16. Lht. Emile Durkheim, The Elementary Forms

of The Religious Life)…, 140. Bnd. Rama Tulus Pilakoannu, Hubungan Punahnya Sistem Pemukiman “Betang” dengan Nilai-Budaya Suku Dayak Ngaju…, 59-60.

(19)

31 kecil telah diresapi dengan nilai budaya yang hidup dalam masyarakatnya sehingga konsepsi-konsepsi itu sejak lama telah berakar dalam alam jiwa mereka. Itulah sebabnya nilai-nilai budaya tadi sukar diganti dengan nilai-nilai budaya lain dalam

waktu singkat.47

Istilah kedua, ialah sikap mental, walaupun sering dikacaukan dengan istilah sistem nilai budaya, sebenarnya mempunyai arti yang sama sekali berlainan. Konsep sistem nilai budaya atau cultural value system itu banyak dipakai dalam ilmu-ilmu sosial, yang terutama memfokus kepada kebudayaan juga masyarakat dan baru secara sekunder kepada manusia individu dalam masyarakat. Sebaliknya, konsep sikap mental itu banyak dipakai dalam ilmu psikologi yang terutama memfokus kepada individu dan baru secara sekunder kepada kebudayaan dan masyarakat, yang merupakan lingkungan dari individu. Suatu sikap adalah suatu disposisi atau keadaan mental di dalam jiwa dan diri seorang individu untuk bereaksi terhadap lingkungannya, walaupun berada di dalam diri seseorang, tapi sikap itu biasanya juga

dipengaruhi oleh nilai budaya, dan sering juga bersumber kepada nilai budaya.48

Istilah ketiga, ialah mentalitet, bukan istilah buat suatu konsep ilmiah dengan suatu arti yang ketat. Istilah itu adalah suatu istilah sehari-hari dan biasanya diartikan sebagai keseluruhan dari isi serta kemampuan alam pikiran dan alam jiwa manusia dalam hal menanggapi lingkungannya. Pokoknya, istilah itu mengenai sistem nilai budaya maupun sikap mental, dan bisa dipakai kalau membicarakan kedua hal

47 Koentjaraningrat, Kedudayaan, Mentalitet dan Pembangunan…, 32-33.

48

(20)

32 tersebut, tanpa maksud untuk secara ketat mengkhusus terhadap salah satu dari

keduanya.49

Suatu sistem nilai budaya, karena merupakan bagian dari adat, biasanya dianut oleh suatu persentase yang besar dari warga sesuatu masyarakat. Sebaliknya, suatu sikap karena berada dalam jiwa individu, sering hanya ada pada individu-individu tertentu dalam masyarakat. Sungguhpun demikian, ada juga sikap-sikap tertentu yang karena terpengaruh oleh sistem nilai budaya, bisa didapatkan secara

lebih meluas pada banyak individu dalam masyarakat.50

Contoh-contoh dari sistem nilai budaya. Contoh dari suatu sikap yang biasanya hanya ada pada individu-individu tertentu saja adalah misalnya sikap congkak dalam hal menghadapi orang lain yang berkedudukan sebagai bawahan atau orang yang bersifat lebih kurang dan lemah secara fisik, mental dan materiel. Contoh dari suatu sikap yang bisa didapatkan secara lebih meluas pada banyak individu dalam masyarakat karena terpengaruh oleh sistem nilai budaya, adalah sikap segan terhadap pekerjaan yang bersifat memberi pelayanan pada orang lain. Dasarnya adalah mungkin sikap congkak seperti tersebut di atas, tetapi sikap ini kemudian terpengaruh oleh nilai budaya yang menganggap bahwa mencapai kedudukan tinggi di mana orang dapat dilayani orang lain, tetapi tidak usah melayani orang lain, menjadi tujuan utama yang memberi arti kepada segala usaha dari karya manusia

dalam hidupnya.51

Kini ada juga banyak orang yang bertanya: Suatu sistem nilai budaya dalam suatu kebudayaan itu sebenarnya mengenai masalah-masalah apa? Untuk menjawab

49 Koentjaraningrat, Kedudayaan, Mentalitet dan Pembangunan…, 33. 50 Koentjaraningrat, Kedudayaan, Mentalitet dan Pembangunan…, 33. 51

(21)

33 pertanyaan ini, Koentjaraningrat akan menunjuk kepada suatu kerangka dari masalah yang dapat diterapkan secara universal, untuk menganalisa semua sistem nilai budaya dari semua kebudayaan yang ada didunia. Kerangka itu mulai dikembangkan oleh seorang ahli antropologi, Clyde Kluckhohn. Sesudah ia meninggal, konsepnya dikembangkan lebih lanjut oleh isterinya Florence Kluckhohn, yang dengan kerangka itu kemudian melakukan suatu penelitian yang nyata. Uraian tentang konsep itu bersama hasil penelitiannya dimuat dalam sebuah buku berjudul Variations in Value Orientation (1961), yang ditulisnya bersama dengan seorang ahli

sosiologi bernama F. L. Strodtbeck.52

Menurut kerangka Kluckhohn, semua sistem nilai budaya dalam semua kelompok kebudayaan di dunia itu, sebenarnya mengakut lima masalah pokok dalam kehidupan manusia. Kelima masalah pokok itu adalah:

1. Masalah mengenai hakekat dari manusia. 2. Masalah mengenai hakekat dari karya manusia.

3. Masalah mengenai hakekat dari kedudukan, manusia dalam ruang waktu. 4. Masalah mengenai hakekat dari hubungan manusia dengan alam

sekitarnya.

5. Masalah mengenai hakekat dari hubungan manusia dengan sesamanya.53

Suatu nilai budaya yang perlu dimiliki oleh lebih banyak manusia Indonesia dari semua lapisan masyarakat adalah nilai budaya yang berorientasi ke masa depan. Suatu nilai budaya semacam itu akan mendorong manusia untuk melihat dan

52

Koentjaraningrat, Kedudayaan, Mentalitet dan Pembangunan…, 34.

53 Koentjaraningrat, Kedudayaan, Mentalitet dan Pembangunan…, 34-35. Bnd. Bambang

Rudito, Membangun Orientasi Nilai Budaya Perusahaan (Bandung: Rekayasa Sains, 2009), 153. Serta Bnd. Basrowi, Pengantar Sosiologi…, 84-85.

(22)

34 merencanakan masa depannya dengan lebih saksama dan teliti, oleh karena itu akan

memaksa manusia untuk hidup berhati-hati dan untuk berhemat. 54

2.3 Pemahaman Makan Bersama

Tradisi makan bersama dianggap sebagai salah satu ekspresi budaya yang menonjol, yang diartikan sebagai communal consumption (feasting) atau communal

meal55. Tradisi makan bersama berkaitan dengan fungsi makanan untuk nutrisi,

kepuasan rasa dan hubungan sosial masyarakatnya. Ketika manusia memilih apa yang dimakan, pilihan tersebut berkaitan dengan lokasi geografis, sejarah, agama, budaya, dan status sosial. Dalam konteks komunitarian yang kental dengan kesadaran kolektif, makan bersama tidak hanya melihat sarana namun menjadi cara

memandang dunia.56

Sisi lain dari tradisi ini adalah bahwa selain sifatnya yang umum, tradisi makan bersama memiliki sifat lokal dan partikularnya. Tidak akan ditemukan komponen yang serupa persis dalam berbagai tradisi makan bersama. Hal ini menunjuk pada kekhasan sumber daya alam di lingkungan kehidupan masyarakat tertentu. Terdapat proses seleksi bahan makanan secara sosial karena standar sosial turut dipengaruhi oleh apa yang dimakan, sejarah, dan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Tradisi-tradisi yang khas ini mengandung di dalamya sejarah, ide,

aturan, praktik, dan perubahan sosial.57

Makan bersama memperlihatkan berlangsungnya sejarah panjang hubungan manusia, makanannya dan kehidupan sosial. Georg Simmel menyebut makan

54

Koentjaraningrat, Kedudayaan, Mentalitet dan Pembangunan…, 40.

55 Lht. Nancy Novitra Souisa, Makan Patita…, 23. 56 Nancy Novitra Souisa, Makan Patita…, 24. 57

(23)

35

bersama sebagai “primordial institution and yet the locus of cultivated refinement”.58

Penjelasan rinci mengenai kompleksitas makan bersama memang dapat ditemukan dalam sejarah setiap masyarakat. Secara umum, praktik yang menjadi tradisi ini menandai adanya keunikan dalam setiap kebudayaan manusia bahwa para leluhur masyarakat menunjukkan ekspresi nilai sosial sebagai penanda kemanusiaan dalam kehidupan keluarga maupun masyarakat sekitar. Gabriele Weichart melihat peristiwa-peristiwa sosial di Minahasa yang sarat dengan acara makan dan minum bersama termasuk dalam tradisi makan bersama sebagai upaya komunitas mendemonstrasikan rasa memiliki dan berbagi, dengan moto umum “Makan dan Minum Bersama!” masyarakat hendak menyatakan atau membenarkan bahwa

pertemuan sosial itu berfungsi sebagai mekanisme untuk mengikat masyarakat.59

Banyak sekali kebudayaan manusia yang menggunakan media makanan. Makanan menjadi medium sosial dan biologis, yang melalui rasa, bau, tekstur serta tampaknya makanan bisa mengatur mood manusia. Makanan terkait dengan manusia dan masyarakat secara eksistensial. Makanan dapat membawa orang pada memori kolektif tertentu. Memori itu bisa muncul berkenaan dengan bau, rasa, kontur makanan, cara memasak, tempat/asal produksi, dan pemanfaatannya. Dalam hal ini makanan menjadi bagian kunci yang mempertahankan ikatan sosial dan budaya. Menurut Goody, makanan mengandung standar sosial. Makanan menjadi sentral bagi pengaturan konsumsi dan dengan demikian berkaitan dengan proses produksi, daya

58

Dikutip oleh Michael Symons, Simmel‟s Gastronomic Sociology: An Overlooked Essay…, 1.

59 Gabriele Weichart, Makan dan Minum Bersama: feasting commensality in Minahasa,

(24)

36 tahan pangan, serta perubahan besar masyarakat baik dalam sejarah masa lalu

maupun yang akan datang.60

Peristiwa makan bersama dapat dilakukan dalam peristiwa setiap hari dan pada waktu-waktu tertentu sesuai dengan peristiwa yang berhubungan dengannya. Lebih sering terjadi bahwa peristiwa makan bersama berlangsung pada perayaan dan pelaksanaan kegiatan-kegiatan tertentu seperti perayaan panen, pembangunan di kampung, perayaan siklus hidup manusia, dll. Hal ini menunjukkan bahwa makan bersama berada dalam peristiwa-peristiwa penting masyarakat setempat. Makan bersama dapat mengambil tempat di dalam rumah, di tempat pertemuan yang cukup besar, lapangan, kebun, hutan, tepi pantai, restoran dan berbagai tempat lain sesuai

dengan peristiwanya.61

60 Nancy Novitra Souisa, Makan Patita…, 38-40. 61

Referensi

Dokumen terkait

Masyarakat belajar adalah sekelompok siswa yang terkait dalam kegiatan belajar agar terjadi proses belajar lebih dalam. Semua siswa harus mempunyai kesempatan untuk

menerus dilakukan. Agar proses pengajaran bidang studi Aqidah Akhlak ini dapat terlaksana dengan baik,maka salah satu yang perlu dibenahi adalah perbaikan kualitas tenaga

Grafik hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai kalor char cenderung bertambah sesuai dengan penambahan prosentase kehilangan massa.. Hal ini disebabkan karena

Hasil penelitian menunjukan bahwa terjadi penurunan pernikahan usia muda di tahun 2015 dengan perbandingan tahun 2011, tingginya pernikahan usia muda sebagian besar

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat,perlindungansertaanugerahkasih dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan

Secara umum, terlepas apapun kekhasannya, kebanyakan bahasa memiliki pola struktur kalimat yang sama seperti yang dikemukakan oleh Zandvoort dalam Wedhawati (2010: 26):

menyembur mayat kawannya. Aneh, ular, mati itu lalu hidup lagi walaupun berulang-ulang mati, ular itupun berulang-ulang hidup lagi.' Tokoh berkekuatan gaib merupakan aset

Lalu peneliti Tita Detiana 2012 dengan judul “Pengaruh Financial Early Warning Signal Terhadap Perubahan Harga Saham Pada Perusahaan Asuransi Yang Terdaftar Di Bursa Efek