1
Kebijakan dan Strategi Penanganan Kemacetan Lalulintas di Perkotaan
Oleh:
Dr. Ir. Doni J. Widiantono, M.Eng.Sc. – Kasi Kebijakan PR Nasional, Ditjen Penataan Ruang
A. Latar Belakang
Jaringan jalan di perkotaan meliputi sekitar 15.000 km (5.2%) dari total panjang jalan, namun dilalui oleh hampir 80% volume lalulintas yang ada. Rasio panjang jalan per luas wilayah di kawasan perkotaan umumnya sudah cukup memadai (> 5 km/km2), namun demikian jumlah kendaraan per panjang jalan umumnya mengindikasikan angka yang terlalu tinggi (>100 kendaraan/km).
Dari segi komposisi kendaraan, saat ini lalulintas di perkotaan didominasi oleh kendaraan roda dua (61%), sedangkan kendaraan roda empat atau lebih berkisar 39%. Pertumbuhan kendaraan roda dua ini di beberapa kota mencapai hampir 20% per tahun, sementara kendaraan lainnya umumnya hanya tumbuh sekitar 5-10%. Secara tipikal kemacetan lalulintas di perkotaan diakibatkan oleh 3 hal pokok yaitu:
o Volume lalulintas kendaraan yang melebihi kapasitas ruas jalan o Bottle-neck akibat adanya penyempitan ruas jalan.
o Konflik yang terjadi di persimpangan maupun di titik-titik tertentu pada ruas jalan.
Volume lalulintas kendaraan yang melebihi kapasitas umumnya tidak terjadi secara permanen, melainkan hanya terjadi pada jam-jam tertentu (peak hours) di pagi hari maupun di sore hari atau pada hari-hari tertentu. Sedangkan kemacetan akibat bottle-neck lebih bersifat permanen, karena adanya perubahan kapasitas ruas jalan sehingga kendaraan harus melakukan merging dan ini menimbulkan friksi yang dapat memperlambat kecepatan arus kendaraan. Sementara konflik lalulintas kendaraan di persimpangan terjadi karena lalulintas melakukan perubahan arah pergerakan, di mana salah satu harus diprioritaskan. Kondisi ini berarti akan mengurangi jumlah kendaraan yang dapat melewati suatu persimpangan dalam suatu waktu tertentu. Konflik juga dapat terjadi antara lalulintas kendaraan dengan penyeberang jalan, kendaraan tidak bermotor maupun PKL pada titik-titik tertentu pada ruas jalan yang terdapat aktivitas tinggi seperti pasar tradisional, terminal maupun sekolah-sekolah.
Selain 3 hal tersebut, kemacetan juga dapat dipicu oleh perilaku dan disiplin pengemudi yang kurang baik. Angkutan umum yang menaik-turunkan penumpang di sembarang tempat, parkir on-street kendaraan di lokasi yang tidak semestinya, penggunaan badan jalan oleh PKL adalah beberapa contoh aktivitas yang dapat menimbulkan hambatan samping yang tinggi sehingga menurunkan tingkat pelayanan ruas jalan yang ada.
0.0 2.0 4.0 6.0 8.0 10.0 12.0 14.0 SU RABA YA BAN DUN G ME DAN PALE MB ANG MA KASS AR P a n ja n g J a la n / L u a s W il a y a h , k m /k m 2 0 50 100 150 200 250 K e n d /P a n ja n g J a la n Kendaraan di DKI 2007 Mobil Pribadi, 1508934, 27% Kend. Barang, 407845, 7% Bus, 256300, 5% Sepeda Motor, 3325790, 61%
2
Gambar 1. PKL di Badan Jalan dan Aktivitas Terminal
B. Kerugian Akibat Kemacetan
Berdasarkan hasil studi yang ada, mengindikasikan kerugian akibat kemacetan lalulintas di perkotaan seperti DKI Jakarta rata-rata mencapai Rp. 1,25 juta/kapita/tahun, atau mencapai lebih dari Rp. 10.4 triliun/tahun. Sedangkan angka kerugian total di kota besar di Indonesia diperkirakan sebesar Rp. 25.2 triliun rupiah per tahun. Angka ini sangat fantastis, paling tidak jika kita bandingkan dengan pengeluaran yang kita anggarkan untuk perbaikan sektor transportasi. Angka yang sama untuk kota-kota di Amerika mencapai US$ 1000/kapita/tahun.
Kerugian akibat kemacetan lalulintas di perkotaan terutama terkait dengan:
1. Meningkatnya Biaya Operasi Kendaraan (BOK) akibat menurunnya kecepatan perjalanan rata-rata. 2. Kerugian nilai waktu akibat hilangnya kesempatan berproduksi akibat tundaan waktu perjalanan. 3. Kerugian psikis akibat stress serta perilaku yang tidak produktif.
C. Kebijakan dan Strategi Penanganan Kemacetan Lalulintas
Kebijakan dan strategi penanganan masalah kemacetan lalulintas di perkotaan perlu dilakukan secara
multi-facet dengan mengedepankan keterpaduan dalam berbagai jenjang dan aspek sekaligus. Jenjang tersebut
meliputi penanganan di tingkat makro, meso maupun mikro. Sedangkan aspek yang dilakukan mencakup 3E, yaitu: aspek teknis (Engineering), aspek penegakan hukum (Enforcement), dan aspek pendidikan (Education). Pada level makro, penataan ruang perkotaan perlu dikembangkan ke arah model-model perencanaan kota yang bersifat:
o Compact city, pengembangan kawasan-kawasan terpadu yang kompak dan memadukan fungsi-fungsi hunian, perkantoran dan komersial seperti super-block.
o Transit Oriented Development, dengan mengarahkan pengembangan kawasan pada simpul-simpul jalur angkutan umum masal yang memiliki aksesibilitas tinggi, terutama untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi.
o Kawasan Hunian Kepadatan Tinggi (high density residential zone), dengan orientasi bangunan dikembangkan ke arah vertikal dan membatasi hunian-hunian kepadatan rendah (landed housing).
3
Pada level meso, perlu dikembangkan angkutan umum masal (Mass Rapid Transit) dan dilakukan keterpaduan transportasi antar moda (intermoda) yang mengarah pada seamless transport, sehingga pengguna angkutan umum dapat berpindah-pindah moda tanpa halangan yang berarti. Selain itu perlu diterapkan pula skema-skema Transport Demand Management seperti:
o Park-and-ride, yaitu fasilitas untuk dapat berpindah moda secara nyaman dari kendaraan pribadi ke
angkutan umum (KA atau Busway).
o High Occupancy Vehicle, yaitu pemberian prioritas bagi kendaraan dengan muatan penumpang tinggi
seperti bus, mikrobus dll.
o Ride-sharing, yaitu mengembangkan upaya-upaya penyediaan angkutan antar-jemput atau
berkendaraan bersama dalam satu tempat kerja.
o Car-pooling yaitu pengembangan sistem angkutan shuttle dari lokasi-lokasi hunian yang disediakan
secara swadaya oleh penghuni atau pengembang.
Kebijakan pada level mikro atau street level akan diarahkan pada keterpaduan penanganan prasarana dan sarana serta penerapan skema-skema traffic management.
Komponen prasarana dan sarana yang perlu ditangani antara lain menyangkut:
o Penanganan/peningkatan kapasitas persimpangan melalui pelebaran lengan-lengan simpang. o Pemasangan alat pengatur instrumen lalulintas (APIL) yang terkoordinasi.
o Pembangunan fly-over atau underpass pada persimpangan yang padat maupun perlintasan jalan dengan rel KA.
o Perbaikan kerusakan kondisi jaringan jalan dan pelebaran bagian-bagian yang mengalami penyempitan. o Peningkatan bahu jalan, rambu-rambu, lampu penerangan dan fasilitas pejalan kaki di perkotaan.
4
Dari segi rekayasa dan manajemen lalulintas, perlu dilakukan pembatasan-pembatasan terhadap penggunaan kendaraan pribadi dan kendaraan barang pada waktu-waktu tertentu, melalui skema Traffic Management seperti:
o Road Pricing, melalui penerapan tol bagi kendaraan yang memasuki suatu area tertentu seperti
jalan-jalan utama.
o Traffic restraint, melalui pembatasan kendaraan yang dapat beroperasi pada hari kerja.
o Parking charge, melalui penerapan tarif parkir yang tinggi pada zona-zona tertentu dan pembatasan
waktu parkir.
o Sistem informasi lalulintas (intelligent transport system), melalui penerapan sistem informasi yang akurat mengenai kondisi lalulintas.
Di samping upaya-upaya diatas, perlu dilakukan upaya penegakan hukum (enforcement) dan penyuluhan (education) yang efektif melalui:
o Penerbitan SIM yang lebih selektif
o Penindakan yang tegas terhadap pelanggar peraturan lalulintas
o Penertiban pengguna jalan yang tidak semestinya seperti PKL, parkir on-street, dll. o Kampanye terhadap tata tertib berlalulintas dan keselamatan mengemudi di jalan. D. Penutup
Persoalan kemacetan lalulintas di kota besar merupakan persoalan turunan yang diakibatkan tidak seimbangnya kebutuhan dan penyediaan prasarana dan sarana transportasi perkotaan. Kemacetan lalulintas tidak saja menimbulkan ketidaknyamanan, namun juga kerugian ekonomi yang tidak sedikit.
Strategi dan kebijakan penanganan kemacetan harus dilakukan secara multi-facet yaitu Engineering,
Enforcement dan Education. Di tingkat makro penataan ruang kota harus telah mengembangkan
model-model compact city, transit oriented development dan hunian kepadatan tinggi secara vertikal. Di tingkat meso perlu dilakukan pengembangan Sarana Angkutan Umum Massal (SAUM) dan diterapkan skema-skema
transport demand management yang lebih mengarahkan penggunaan angkutan umum dan kendaraan
berpenumpang banyak. Di tingkat mikro perlu ada keterpaduan penanganan prasarana, sarana dan sistem operasi lalulintas serta penerapan skema traffic management yang tepat.
LEVEL MAKRO (TATA RUANG) LEVEL MEZZO (TRANSPORT DEMAND MANAGEMENT)
Model Compact City
Transit Oriented Development Perbaikan simpang, flyover, pelebaran bottle neck Kawasan Hunian Kepadatan Tinggi
STRATEGI
PE
NA
NGA
NAN
KEMAC
ETAN LALU
LINT
AS
LEVEL MIKRO (STREET LEVEL) Sarana Angkutan Umum Massal Marka & Perambuan Interface antar moda Traffic restraint, road pricing, tarifparkir, ITS Park and Ride, Carpooling, Ride sharing, HOV LEVEL MAKRO (TATA RUANG) LEVEL MEZZO (TRANSPORT DEMAND MANAGEMENT)
Model Compact City
Transit Oriented Development Perbaikan simpang, flyover, pelebaran bottle neck Kawasan Hunian Kepadatan Tinggi
STRATEGI
PE
NA
NGA
NAN
KEMAC
ETAN LALU
LINT
AS
LEVEL MIKRO (STREET LEVEL) Sarana Angkutan Umum Massal Marka & Perambuan Interface antar moda Traffic restraint, road pricing, tarifparkir, ITS Park and Ride, Carpooling, Ride
sharing, HOV
5
Daftar Pustaka:
Black, John (1981). Urban Transport Planning: Theory and Practice. Croom Helm, London.
Direktorat Jenderal Penataan Ruang (2007). “Penanganan Manajemen Lalulintas di Ibukota”. Rapat Dengar Pendapat Komisi V DPR-RI.
Dittmar, Hank dan Ohland, Gloria (2004). The New Transit Town: Best Practice in Transit-Oriented
Development. Island Press, Washington.
Pusat Litbang Prasarana Transportasi (2004). “Studi Perencanaan Transportasi Terpadu Perkotaan”. Laporan Penelitian, Badan Litbang PU, Bandung.