• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Nikah Dagang: suatu kajian sosio – antropologi tentang pranata nikah adat di jemaat GPM Ebenhaezer-Titawai Nusalaut T1 712008002 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Nikah Dagang: suatu kajian sosio – antropologi tentang pranata nikah adat di jemaat GPM Ebenhaezer-Titawai Nusalaut T1 712008002 BAB II"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

11

BAB II

PENDEKATAN KONSEPTUAL

Menurut Walgito, pernikahan merupakan suatu istilah yang hampir tiap hari didengar

atau dibaca dalam media massa.1 Namun kalau ditanyakan apa yang dimaksud dengan istilah

tersebut, maka biasanya orang akan berpikir terlebih dahulu untuk mendapatkan jawabannya,

walaupun sebenarnya apa yang dimaksud dengan istilah itu telah ada dalam pikiran dengan jelas.

Sebagaimana disebutkan Aristoteles antara lain, bahwa manusia adalah makhluk sosial (zoon

politicon), sehingga membutuhkan hubungan dengan sesamamanusia lain. Dalam lingkup sosialnya, ia terikat pada aturan hidup (norma) yang ada dalam suatu masyarakat. Maka dari itu

perkawinan merupakan suatu hal yang erat kaitannya dengan hal tersebut.2 Dengan demikian

dapat dikemukakan, bahwa hal tersebut tidak terlepas dari kompleks tata kehidupan serta pranata

(institusi) yang berlaku, sesuai dengan kepercayaan yang dianut komunitas tertentu.

A. Pengertian Perkawinan

Sebagaimana telah disinggung di atas, sebuah perkawinan bukan hanya sekedar

merupakan salah satu norma kesusilaan, melainkan juga sebuah pranata (institusi) yang terkait

dengan nilai-nilai budaya setempat. Menurut Ensiklopedia Indonesia sebagaimana dikutip oleh

Walgito, “perkawinan”=„nikah;sedangkan ia mengutip Purwadarminta(1976), yang menyatakan

bahwa “kawin” = perjodohan laki-laki dan perempuan menjadi suami istri. Menurut Hornby

(1957) marrage: the union of two persons as husband and wife. Ini berarti bahwa perkawinan adalah bersatunya dua orang sebagai suami istri. Hal lain yang perlu dilihat adalah bahwa

perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 adalah:

1

Prof Dr. Bimo Walgito, Bimbingan dan Konseling Perkawinan (Yogyakarta: Andi), 11

2

(2)

12

“ ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa”.3

Hal ini ditegaskan juga oleh H. Khairuddinantara lain dalam bukunya Sosiologi

Keluarga, bahwa bukan hanya sekedar suatu ikatan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk hidup bersama dalam bentuk rumah tangga atau keluarga konjugal. Tetapi juga

mempengaruhi pola kekerabatan dan hubungan tertentu antara keluarga laki-laki dan keluarga

wanita.4 Jadi, perkawinan dalam tahapan-tahapan akan mencakup pertalian antar keluarga yang

semakin luas. Hal ini diperkuat dengan argumen seorang ahli antropologi yakni I.M. Lewis, yang

mengungkapkan antara lain, bahwa perkawinan secara langsung membangun hubungan yang tak

berkesudahan antara keluarga laki-laki dan perempuan.5

Budaya perkawinan dan aturannya yang berlaku pada suatu masyarakat atau pada suatu

bangsa tidak terlepas dari pengaruh lingkungan dimana komunitas itu berada. Ia dipengaruhi

oleh pengetahuan, pengalaman, kepercayaan dan keagamaan yang dianut masyarakat yang

bersangkutan.6 Terlepas dari hal-hal sebagaimanadi atas, secara imaniah tersebut kita percaya,

bahwa perkawinan yang sejati adalah sebuah perikatan yang dipersatukan oleh Tuhan. Sebab

secara dogmatis kita percaya, bahwa apa yang sudah dipersatukan oleh Tuhan, tidak boleh

diceraikan oleh manusia (Matius 19:6).

B. Perkawinan dari sudut pandang sosiologi

Manusia tidak akan dapat berkembang dengan baik dan beradab tanpa adanya suatu

proses atau pranata (institusi) yang disebut Perkawinan. Karena melalui hal itu menyebab adanya

3

Ibid, 11

4

H. Khairuddin, Sosiologi Keluarga, (Yogyakarta: Liberty, 2008), 90

5

Ralp Linton, Antropologi-Suatu Penyelidikan Tentang Manusia, (Bandung: Jemmars, 1984), 161

6

(3)

13

keturunan yang baik dan sah. Keturunan yang baik dan sah kemudiandapatterciptanya suatu

keluarga yang baik dan sah pula dan kemudian akhirnya berkembang menjadi kerabat dan

masyarakat yang baik dan sah pula.7

Perkawinan bagi masyarakat manusia bukan sekedar terkait dengan hubungan seksual

antara dua orang dewasa yang berbeda kelamin, sebagaimana halnya dengan makhluk ciptaan

yang lainnya.Akan tetapi institusi ini bertujuan untuk membentuk keluarga yang berbahagia dan

kekal.Bahkan dalam pandangan komunitas adat setempat, bahwa perkawinan itu bertujuan untuk

membangun, membina dan memelihara hubungan keluarga serta kekerabatan yang rukun dan

damai.

Prof. Dr. Soekanto, S.H antara lain menegaskan, bahwa “Perkawinan itu bukan hanya

suatu peristiwa yang mengenai mereka yang bersangkutan (perempuan dan laki-laki yang menikah) saja, tetapi juga bagi orang tuanya, saudara-saudaranya dan kelua rga-keluarganya”.8 Seringkali dalam masyarakat kita mendengar, bahwa yang kawin sesungguhnya adalah keluarga

dengan keluarga.Hal yang disebut terakhir (dilihat dari prespektif betapa banyaknya

aturan-aturan yang harus dijalankan dan yang berhubungan dengan adat istiadat setempat).

1. Aturan Mengenai Perkawinan

Setiap kelompoklingkup sosial mengenal seperangkat aturan mengenai perkawinan. Ada

ketentuan, misalnya, mengenai apakah jodoh harus berasal dari anggota kelompok sendiri,

ataukah harus dari kelompok lain.Dan siapa di antara anggota kelompok sendiri yang boleh atau

tidak boleh dinikah.Mengenai jumlah orang yang boleh dinikah pada waktu yang sama,mengenai

tempat menetap setelah perkawinan, tidak terkecuali mengenai penentuan garis keturunan.

7

Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Alfabeta, 2009), 221

8

(4)

14

2. Bentuk Perkawinan

Pada dasarnya kita mengenal dua macam bentuk perkawinan: Monogami (perkawinan

antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan pada saat yang sama) dan Poligami

(perkaiwnan antara seorang laki-laki dengan beberapa perempauan pada waktu yang sama, atau

antara seorang perempuan dengan beberapa laki-laki orang laki-laki pada waktu yang sama).9

Aturan lain yang berlaku dalam hubungan perkawinan ialah eksogami (exogamy) dan endogami

(endogamy). Eksogami merupakan sistem yang melarang perkawinan dengan anggota kelompok,

sedangkan endogami merupakan sistem yang mewajibkan perkawinan dengan anggota

sekelompok. Kewajiban atau anjuran untuk menikah dengan seroang dari kelompok ras, agama,

suku, kasta atau kelas sosial sendiri merupakan suatu bentuk aturan endogami, sedangkan

larangan untuk menikah dengan seseorang dari klen yang sama merupakan suatu bentuk aturan

eksogami.10

3. Aturan mengenai Keturunan

Dalam hal penarikan garis keturunan kita mengenal aturan patrilineal, bilateral,

matrilineal, dan keturunan rangkap (parental). Pada system patrilineal, yang menurut Murdock

merupakan system yang paling banyak dijumpai, garis keturunan ditarik melalui laki-laki. Pada

system bilateral, yang banyak dijumpai pada berbagai masyarakat meskipun tidak sebanyak

system patrilineal, garis keturunan ditarik melalui pihak laki-laki dan perempuan. Pada system

matrilineal garis keturunan ditarik melalui perempuan. Pada system keturunan rangkap garis

9

Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi. (Jakarta: Fakultas ekonomi Universitas Indonesia, 2004) 62

10

(5)

15

keturunan ditarik,baik melalui garis laki-laki secara patrilineal,maupun melalui garis perempuan

secara matrilineal.11

4. Pola Menetap

Di mana pasangan menetap setelah menikah? Mengenai hal ini dikenal pola yang

berbeda-beda, yaitu pola patrilokal, pola matri-matrilokal, pola patri-matrilokal, pola bilokal,

pola neolokal. Pada pola patrilokal pasangan yang baru menikah menetap bersama keluarga

pihak laki-laki. Pada pola matri-patrilokal pasangan yang baru menikah menetap bersama

keluarga pihak perempuan, tetapi kemudian pasangan menetap bersama keluarga pihak laki-laki.

Pada pola matrilokal pasangan menetap bersama keluarga pihak perempuan. Pada pola

patri-matrilokal pasangan yang baru menikah semula menetap di keluarga pihak laki-laki, dan

kemudian pindah ke keluarga pihak perempuan. Pola bilokal ialah pola yang di dalamnya

pasangan yang baru menikah dapat memilih untuk menetap di keluarga laki-laki ataupun

perempuan.12

5. Fungsi Keluarga

Sebagaimana kita tahu bahwa, keluarga juga mempunyai fungsi dan menjalankannya.

Pertama, keluarga berfungsi untuk mengatur penyaluran dorongan seks. Tidak ada masyarakat yang memperbolehkan hubungan seks sebebas-bebasnya antara siapa saja dalam masyarakat.

Kedua, reproduksi berupa pengembangan keturunan pun selalu dibatasi dengan aturan yang

menempatkan kegiatan ini dalam keluarga. Ketiga, keluarga berfungsi untuk menyosialisasikan

anggota masyarakat baru, sehingga dapat memerankan apa yang diharpkan darinya. Karena

peran keluarga dalam pembentukan diri seseorang sangat besar. Keempat, keluarga mempunyai

11

Ibid, 64

12

(6)

16

fungsi afeksi, dimana keluarga memberikan cinta kasih kepada seorang anak. Berbagai studi

telah memperlihatkan bahwa seorang anak yang tidak menerima cinta kasih dapat berkembang

menajadi penyimpangan, menderita gangguan kesehatan dan dapat meninggal. Kelima, keluarga

memberikan perlindungan kepada anggotanya, baik perlindungan fisik maupun yang bersifat

kejiwaan.13

6. Perkawinan Campuran

Istilah perkawinan campuran terdapat beberapa perbedaan pengertian, di antara yang

dinyatakan dalam perundangan dan yang sering dinyatakan anggota masyarakat sehari-hari.14

Yang dinamakan perkawinan campur, ialah perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia

tunduk kepada hukum-hukum yang berlainan, Ini hanya pengertian umum dari perkawinan

campuran. Yang mau dilihat disini adalah istilah perkawinan campuran yang sering dinyatakan

anggota masyarakat sehari-hari, ialah perkawinan campuran karena perbedaan adat/suku bangsa

yang bhineka, atau karena perbedaan agama antar kedua insan yang akan melakukan

perkawinan, perbedaan adat, misalnya perkawinan antara seorang pria/wanita Ambon dengan

seorang pria/wanita Batak.

6.1Perkawinan Campuran Menurut Adat

Perkawinan campuran menurut pengertian hukum adat, yang sering menjadi

pembicaraan masyarakat ialah “perkawinan antar adat”, yaitu perkawinan yang terjadi

antara suami istri yang adat istiadatnya berlainan, baik dari dalam kesatuan masyarakat

13

Ibid, 6

14

(7)

17

hukum adat dari suatu daerah, maupun di antara anggota masyarakat adat yang daerah

asal/suku bangsanya berlainan.15

Perkawinan campuran dalam satu kesatuan suku bangsa dengan adat yang

berlainan, misalnya antara seorang laki-laki Ambon yang tidak mempunyai adat dengan

perempuan pesisir Ambon yang menganut tradisi adat kental. Penyelesaian perkawinan

campiran antara adat ini, sering menimbulkan perselisihan, yang berakibat mengganggu

kerukunan hidup antara keluarga/kerabat besar, walaupun kedua suami istri yang terikat

perkawinan mungkin dapat rukun karena saling cinta mencintai.Namun di antara para

pihak orang tua tidak terjalin hubungan yang akrab. Adakalanya perkawinan itu terjadi

karena terpaksa, bukan karena dua sejoli sudah sulit untuk dipisahkan.Tetapi dikarenakan

orangtua/keluarga pihak perempuan terpaksa mengalah dikarenakan anaknya sudah

hamil.

C. Perkawinan dari sudut pandang antropologi

Dalam ilmu Antropologi, yang mempelajari tentang budaya masyarakat suatu etnis antara

lain, adat istiadat, budaya, dan manusia sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk sosial.

Ketika manusia ditakdirkan untuk hidup berpasang-pasangan antara laki-laki dan perempuan.

Terlepas dari suatu budaya dan peradatan yang mereka pegang dan taati. Kehidupan sekelompok

orang yang melakukan perkawinan harus beralaskan dengan pranata (institusi). Perkawinan

bukan saja menyangkut kesiapan materi dari kedua pasangan, atau kesiapan iman untuk masuk

biduk rumah tangga, tetapi perkawinan juga menyangkut hubungan antara kedua pihak mempelai

seperti saudara-saudara mereka atau keluarga mereka lainnya.

15

(8)

18

1. Tujuan Perkawinan Adat

Tujuan perkawinan bagi masyarakat adat yang bersifat kekerabatan, adalah untuk

mempertahankan dan meneruskan keturunan, menurut garis kebapakan atau keibuan, untuk

kebahagiaan rumah tangga keluarga, untuk memperoleh nilai-nilai adat budaya dan kedamaian,

dan untuk memperoleh kewarisan. Yang menjadi dasar terjadinya perkawinan pada kampung

Titawai-Nusalaut adalah faktor ekonomi, pendidikan, maka banyak orang melakukan hal tersebut

untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka.

2. Adat Pelamaran dalam Hukum Perkawinan Adat

Merupakan suatu tata cara melakukan pelamaran sebelum berlangsung acara

perkawianan secara hukum adat. Dalam hukum adat ditentukan bahwa sebelum melangsungkan

ikatan perkawinan guna membentuk sebuah rumah tangga bahagia, seseorang harus terlebih

dahulu melakukan pelamaran dari pihak yang satu ke pihak yang lain menurut tata cara adat

masing-masing masyarakat adat. Cara melamarnya, biasanya dilakuakan terlebih dahulu oleh

pihak yang akan melamar dengan mengirim utusan atau perantara perempuan atau laki-laki.16

Dalam acara adat pelamaran juga digunakan seperangkat simbol tanda lamaran,yang

biasanya terdiri dari “sirih pinang” (tapak sirih), sejumlah uang (mas kawin, uang adat), bahan

makanan, bahan pakian dan perhiasan. Peralatan tanda lamaran ini disampaikan oleh juru bicara

pihak pelamar kepada pihak yang dilamar, dengan bahasa dan peribahasa adat yang santun dan

sopan serta penuh hormat dengan memperkenalkan para anggota rombongan yang datang serta

hubungan kekerabatannya satu persatu dengan mempelai laki-laki. Begitu pun sebaliknya dengan

16

(9)

19

pihak yang dilamar. Setelah selesai kata-kata sambutan dari kedua belah pihak, maka

barang-barang tanda lamaran itu diteruskan kepada tua-tua adat keluarga.

3. Perkawinan menurut hukum adat

Menurut hukum adat pada umumnya di Indonesia perkawinan itu bukan saja berarti

“perikatan perdata”, tetapi juga merupakan “perikatan adat” dan sekaligus merupakan “perikatan

kekerabatan dan ketetanggaan”. Oleh karenanya Dewi Wulansari mengutip kata-kanya Ter

Haarantara lain menyatakan, bahwa “perkawinan itu adalah urusan kerabat, urusan keluarga,

urusan masyarakat, urusan martabat dan urusan pribadi.17 Dan begitu pula ia menyangkut urusan

keagamaan. Jadi bagi orang Indonesia perkawinan ini bukan soal mudah, perkawinan

menyangkut banyak aspek, menyangkut nilai hidup, harga diri, kehormatan. Perkawinan bukan

soal seni atau keindahan, apalagi jika dianggap seperti permainan, sehingga orang boleh kawin

tanpa nikah atau beranak tanpa ayah yang sah. Oleh karena itu masyarakat bangsa Indoensia

sejak zaman leluhur, perkawinan sudah merupakan hal yang suci, soal yang bernilai tinggi, yang

akan menentukan kebahagiaan hidup selanjutnya.18 Sebagaimana dikatakan oleh van

vollenhoven antara lain bahwa “dalam hukum adat banyak lembaga-lembaga hokum dan

kaidah-kaidah hukum yang berhubungan dengan tatanan dunia di luar dan di atas kemampuan

manusia”.19

Dalam hal ini perkawinan dalam arti “perikatan adat”, ialah perkawinan yang mempunyai

akibat hukum terhadap hukum adat yang berlaku dalam masyarakat bersangkutan. Akibat hukum

ini telah ada sejak sebelum perkawinan terjadi, yaitu misalnya dengan adanya hubungan

pelamaran yang merupakan “rasa sanak” (hubungan anak-anak, bujang gadis) dan rasa tuha

17

Ibid,. hal 8

18

Hadikusuma, Pokok-pokok pengertian hukum adat, (Bandung: penerbit Alumni, 1980),141

19

(10)

20

(hubungan antara orang tua keluarga dari para calon suami istri).20 Setelah terjadi ikatan

perkawinan, maka timbul hak-hak dan kewajiban-kewajiban orang tua (termasuk anggota

keluarga/kerabat) menurut hukum adat setempat, yaitu dalam hal pelaksanaan upacara adat dan selanjutnya dalam peran serta membina dan memelihara kerukunan, keutuhan, dan kelanggengan

dari kehidupan anak-anak mereka yang terikat dalam perkawianan

Dalam masyarakat hukum yang merupakan suatu kesatuan susunan rakyat, dalam hal ini

masyarakat dusun dan wilayah, perkawinan anggota-anggotanya itu adalah suatu peristiwa

penting dalam proses masuknya seseorang menjadi inti social dari masyarakat itu.21 Surojo

Wignjodipoeri juga menjelaskan antara lain, bahwa dalam masyarakat adat, perkawinan dilihat

bukan hanya merupakan suatu peristiwa yang sangat berarti dan sepenuhnya mendapat perhatian

serta disaksikan oleh suatu yang berhubungan dengan harapan kepada arwah-arwah leluhur dari

kedua bela pihak.22

Perkawinan menurut beberapa antropolog khususnya Gough (1959) adalah: suatu

transaksi yang menghasilkan suatu kontrak di mana seseorang (pria atau wanita, korporatif atau

individu, secara pribadi atau melalui wakil) memiliki hak secara terus-menerus untuk

menikah23. Perkawinan itu bisa mengikat berbagai macam hak dan hubungan menjadi satu.

Perkawinan mengatur hubungan seksual, menentukan kedudukan sosial individu-individu dan

keanggotaan mereka dalam kolompok, menentukan hak-hak dan kepentingan yang sah dan

menghubungankan individu dengan kelompok kekerabatan di luar kelompoknya sendiri.

20

Hilman, Pokok-pokok pengertian hokum adat, (Bandung: penerbit Alumni, 1980),9 bandingkan dengan thn 1997:28/41

21

Ter Haar, Asas-asas da Susu a Huku adat,…., 1

22

Soerojo Wignjodipoero, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: Gunung Agung, 1984), 122.

23

(11)

21

Budaya perkawinanan dan aturannya yang berlaku pada suatu masyarakat atau pada suatu

bangsa tidak terlepas dari pengaruh budaya dan lingkungan di mana masyarakat itu berada serta

pergaulan masyarakatnya. Seperti halnya aturan perkawinan bangsa Indonesia bukan saja

dipengaruhi adat budaya masyarakat setempat, tetapi juga dipengaruhi ajaran agama yang dianut

oleh masing-masing masyarakat.Maka dari itu, hukum adat tentang perkawinan harus dipatuhi

dan dijalankan oleh semua masyarakat adat, karena kepatuhan kepada adat perkawinan

merupakan juga suatu kepatuhan kepada leluhur. Oleh sebab itu, dengan adanya

pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh masyarkat adat terhadap adat perkawinan dikenakan

sanksi-sanksi adat yang berlaku pada masyarakat dimana mereka berada.

4. Mas Kawin

Salah satu persyaratan perkawinan dalam banyak masyarakat ialah harus adanya mas

kawin atau bride price. Tiap masyarakat juga mempunyai aturan-aturan tersendiri mengenai mas

kawin. Di Indonesia, istilah bride price disebut mas kawin, mungkin oleh karena di banyak adat

istiadat suku-suku bangsa terutama di daerah sumatra, untuk pelaksanaan perkawinan pihak

laki-laki harus membayar atau memberikan sejumlah benda berharga berupa emas kepada pihak

keluarga atau kerabat dari permpuan.24

Mas kawin pada tiap masyarakat berbeda satu dengan lainnya. Tetapi prinsip mas kawin

atau imbalan harus diberikan laki-laki kepada pihak permpuan. Imbalan tersebut dianggap

sebagai pembayaran jasa-jasa dari pihak Ibu si wanita dan kerabatnya dalam membesarkan anak

perempuannya. Jadi mas kawin dianggap sebagai suatu pengganti untuk adanya keseimbangan.

24

(12)

22

Besar kecilnya mas kawin tentu tidak sama untuk semua kelompok suku karena ada yang

mahal sekali hingga mencapai juataan rupiah. Mas kawin itu juga biasanya tidak dibayar oleh

keluarga pihak laki-laki, tetapi dikumpulkan oleh semua anggota kerabat laki-laki. Itu sebabnya

perkawinan itu bukanlah hanya merupakan urusan daripada mereka yang akan kawin saja, tetapi

adalah merupakan urusan kerabat dari kedua belah pihak.Biasanya selain pihak laki-laki

memberikan mas kawin, pihak perempuan juga kemudian membalasnya dengan memberikan

sejumlah benda atau makanan sebagai imbalan.

5. Perbedaan dan Persamaan dari Sosiologi dan Antropologi mengenai Pernikahan

Perbedaan dari kedua sudut pandang diatas adalah, bahwa sosiologi berbicara mengenai manusia secara kemasyarakatan atau kelompok manusia yang bermasyarakat sebagai mahluk sosial yang

berinteraksi dengan sesama masyarakat lainnya. Karena sosiologi mengandung sifat-sifat manusia

yaitu perilaku dan perkembangan suatu komunitas. Baik itu sistem, interaksi, kekuasaan, mata

pencaharian, karakter kelompok. Sedangkan antropologi mau melihat manusia baik dari bentuk

fisik dan keanekaragaman etnik budayanya secara keseluruhan sebagai mahluk sosial.Persamaan dari kedua ilmu ini, mereka sama-sama berbicara mengenai suatu kelompok masyarakat dengan

Referensi

Dokumen terkait

Ideology Tri Hita Karana teaches a very clear concept in building happiness of life each individual in a harmonious manner, balanced, and sustainable.. Key word: Tri Hita

Sebenarnya Maroko sudah hadir untuk orang Indonesia lewat buku-buku yang dianggap Mariam sebagai representasi dari duta ilmu yang tidak akan pernah berakhir di makan waktu..

Peradaban yang dibangun oleh Muhammadiyah yaitu bersama-sama dengan masyarakat dan bangsa-bangsa melakukan suatu peradaban yang maju, untuk. page 1

Alasan umum yang melatar belakangi penelitian cerita rakyat Cerita Rakyat Gua Jlamprong ini adalah, penelitian terhadap karya sastra dirasa kurang maksimal, dan sebagai

Bagi membangunkan Sistem Sokongan Pembelajaran Kendiri atas Talian bagi topik Growth and Reproduction ini, beberapa ciri dititikberatkan untuk menghasilkan sebuah

1.96 Dalam penerapan serta pengembangan CRM tersebut, diperlukan proses yang memungkinkan perusahaan untuk menganalisa pelanggannya, sehingga perusahaan dapat

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Sekolah Dasar Negeri 15 Pontianak Selatan dan hasil analisis data yang diperoleh dari hasil pre-test dan post-test pada

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Laporan Tugas Akhir