• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perubahan Sistem Pertanian dan Dampaknya terhadap Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat di Kabupaten Sleman Tahun 1961-1976.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perubahan Sistem Pertanian dan Dampaknya terhadap Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat di Kabupaten Sleman Tahun 1961-1976."

Copied!
153
0
0

Teks penuh

(1)

i SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

Guna Memperoleh Gelar Sarjana Sastra

Oleh:

ANISAK EVA SUSANTI 11407141006

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS ILMU SOSIAL

(2)
(3)
(4)
(5)

v

“Alam semesta, cukup memberikan pangan, tapi tidak pernah cukup melayani ketamakan dan kerakusan manusia.” – Mahatma Gandhi

“Tuhan tidak pernah meninggalkan umat-Nya. Ia mengutus malaikat untuk menjaga kita, dan malaikat itu ada di sekitar kita. Terkadang mereka tidak bersayap, dan kita menyebutnya dengan sebutan teman”. – Denny Sumargo

(6)

vi

Skripsi ini ku persembahkan untuk:

Bapak Mudjijat (Bapak) Almh. Sri Lestari

(Ibu) Heri Wibawa

(Kakak) Wisnu Herjanta

(7)

vii

KEADAAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI KABUPATEN SLEMAN TAHUN 1961-1976

Oleh: Anisak Eva Susanti NIM 11407141006

Sejak tahun 1961 sampai tahun 1976 Merapi mengalami letusan sebanyak tiga kali. Pertama, letusan Merapi yang menelan korban sebanyak 6 jiwa tahun 1961. Kedua, letusan Merapi dengan korban sebanyak 3 jiwa pada tahun 1969. Ketiga, letusan Merapi dengan korban 29 jiwa tahun 1976. Erupsi ini berdampak pada kerusakan hunian, pemukiman/pekarangan, lahan pertanian (sawah dan pertanian lahan kering). Akibat erupsi Gunung Merapi, pertanian juga mengalami perubahan. Perubahan sistem pertanian ini terjadi dari sistem perladangan ke sistem tegalan kemudian ke sistem persawahan. Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui gambaran umum Kabupaten Sleman, perubahan sistem pertanian, dan dampaknya terhadap keadaan sosial ekonomi masyarakat di Kabupaten Sleman tahun 1961-1976.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah kritis. Metode penelitian meliputi empat hal: pertama, heuristik yang merupakan tahap pengumpulan data atau sumber-sumber sejarah yang relevan. Kedua, kritik sumber, merupakan tahap pengkajian terhadap otentisitas dan kredibilitas sumber-sumber yang diperoleh yaitu dari segi fisik dan isi sumber-sumber. Ketiga, interpretasi yaitu dengan mencari keterkaitan makna yang berhubungan antara fakta-fakta sejarah yang telah diperoleh sehingga lebih bermakna. Keempat, historiografi atau penulisan yaitu penyampaian sintesis dalam bentuk karya sejarah.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keadaan geografis, karakteristik wilayah, keadaan demografi dan kondisi sosial ekonomi telah menjadikan Kabupaten Sleman menjadi wilayah yang potensial untuk wilayah pertanian. Kabupaten Sleman terbagi dalam beberapa wilayah seperti berdasarkan karakteristik wilayah, berdasarkan letak kota dan mobilitas kegiatan masyarakat, dapat dibedakan fungsi kota sebagai berikut: wilayah aglomerasi, wilayah sub urban, dan wilayah fungsi khusus/wilayah penyangga. Akibat erupsi Gunung Merapi, pertanian juga mengalami perubahan. Perubahan sistem pertanian ini terjadi dari sistem perladangan ke sistem tegalan kemudian ke sistem persawahan. Dampak dari perubahan sistem pertanian di bidang ekonomi adanya kemajuan teknologi di bidang pertanian, mata pencaharian, dan pendapatan. Dampak sosial berkaitan dengan sikap dan perilaku masyarakat, serta religi.

(8)

viii

Alhamdulillah, puji syukur penulis haturkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam penulis haturkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW yang menjadi suri tauladan kita sepanjang zaman, sehingga penulis akhirnya mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul “Perubahan Sistem Pertanian dan Dampaknya terhadap Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat di Kabupaten Sleman Tahun 1961-1976” sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar sarjana sastra.

Penulis menyadari bahwa keberhasilan penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari kerja sama dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang dalam kepada:

1. Prof. Dr. AjatSudrajat, M.Ag selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial.

2. H.Y. Agus Murdiyastomo, M. Hum selaku Ketua Program Studi Ilmu Sejarah.

3. Danar Widiyanta, M. Hum selaku dosen pembimbing akademik angkatan 2011 dan sekaligus pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu dan pemikirannya dalam membimbing penulis guna menyelesaikan skripsi ini. 4. Miftahuddin, M. Hum selaku penguji utama dalam skripsi ini, terima kasih

atas segala masukan dan bimbingannya.

(9)

ix

7. Seluruh petugas Jogja Library Center, Perpustakaan Lembaga Pendidikan Perkebunan,Perpustakaan Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada, Perpustakaan Pusat Universitas Gadjah Mada, Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Perpustakaan Pusat Universitas Negeri Yogyakarta, Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta, dan Perpustakaan Laboratorium Sejarah UNY, yang seluruhnya telah memberikan pelayanan dengan baik dalam proses pencarian sumber-sumber yang mendukung penulisan tugas akhir skripsi ini.

8. Terima kasih kepada bapak ku Bapak Mudjijat, dan kakak-kakak ku Mas Heri, Mas Wisnu, Mbak Endar dan keponakan ku Afik yang selalu memberikan kasih sayang dan dukungan.

9. Seluruh keluarga besarku yang selalu memberikan kasih sayang, dukungan, dan doa.

10. Teman-teman tersayang, Tari, Lina, Yuni, Beta, Enggar, Desi, dan Jay yang selalu memberi semangat dan masukan. Tidak lupa juga untuk teman kost ku Wining, Zulfi, Mus, Astri, dan Lintang yang tidak pernah lelah untuk memberi semangat, masukan dan bantuan atas terselesaikannya skripsi ini. 11. Teman-teman Prodi Ilmu Sejarah angkatan 2011 yang selalu memberi

(10)

x semangat.

13. Semua pihak yang telah banyak membantu penulis yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu terimakasih atas semua bantuannya.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun untuk hasil yang lebih baik di kemudian hari. Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak.

Yogyakarta, 10 Januari 2016

(11)

xi

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

PERNYATAAN... iv

MOTTO... v

PERSEMBAHAN... vi

ABSTRAK... vii

KATA PENGANTAR... viii

DAFTAR ISI... xi

DAFTAR ISTILAH... xiii

DAFTAR TABEL... xxii

DAFTAR LAMPIRAN... xxiii

BAB I : PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Rumusan Masalah... 8

C. Tujuan Penelitian... 9

D. Manfaat Penelitian... 10

E. Kajian Pustaka... 10

F. Historiografi yang Relevan... 14

G. Metode Penelitian dan Pendekatan Penelitian... 15

H. Sistematika Penulisan... 20

BAB II : GAMBARAN UMUM KABUPATEN SLEMAN... 22

A. Latar Belakang Sejarah... 22

B. Keadaan Geografis... 25

C. Karakteristik Wilayah... 31

D. Keadaan Demografi... 33

(12)

xii

1961... 59

C. Sistem Pertanian di Kabupaten Sleman Tahun 1961-1976... 53

BAB IV : DAMPAK PERUBAHAN SISTEM PERTANIAN TERHADAP MASYARAKAT DI KABUPATEN SLEMAN... 71

A. Dampak Sosial... 71

B. Dampak Ekonomi... 85

BAB V : KESIMPULAN... 97

DAFTAR PUSTAKA... 101

(13)

xiii Adol sendhe : Menggadaikan sawah.

Aglomerasi : Perkembangan kota dalam kawasan tertentu.

Almanak : Buku berisi penanggalan dan karangan yang perlu diketahui umum, biasanya terbit tiap tahun.

Aluvial : Tanah yang terbentuk akibat proses pengendapan kerikil, pasir, dan lumpur yang terangkut oleh angin, air, dan sungai menuju pantai. Tanah aluvial dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku bangunan.

Aret : Sabit.

Bendho : Pisau besar atau parang.

Bero : Rotasi perladangan adalah jangka waktu saat sebidang tanah ladang ditinggalkan sampai diusahakan kembali sebagai ladang yang baru.

Buffer zone : Daerah atau wilayah peyangga.

Candra sengkala : Penggunaan kalender berdasarkan perhitungan bulan, seperti tahun saka, tahun Jawa, atau tahun Hijiah. Daerah hinterland : Suatu daerah yang berfungsi sebagai pemasok dan

pemenuhan kebutuhan bahan makanan pokok serta tempat produksi komoditi ekspor.

(14)

xiv

seperlima dari hasil panen.

Dhanyang : Roh halus tertinggi yang tinggal di pohon, gunung, sumber mata air, desa, mata angin, atau bukit.

Dhestha : Ke sebelas.

Distrik : Daerah bagian dari kabupaten yang pemerintahannya dipimpin oleh pembantu bupati.

Erupsi : Letusan gunung berapi atau semburan sumber minyak dan uap asap dari dalam bumi.

Feodalistis : Sistem sosial atau politik yang memberikan kekuasaan yang besar kepada golongan bangsawan. Sistem feodal juga mengagung-agungkan jabatan atau pangkat.

Floating mass : Massa mengambang adalah salah satu kebijakan politik era Orde Baru, bahkan bisa disebut sebagai salah satu pilar tegak dan lamanya Orde Baru bertahan.

Fragmental : Bagian.

Gabah : Bulir padi yang telah dipisahkan dari tangkainya (jerami).

Geohidrologi : Ilmu tentang cara-cara pemanfaatan air yang terdapat di bawah permukaan tanah.

(15)

xv ingin dicapai.

Gromosol : Jenis tanah yang terdapat di daerah yang memiliki rata-rata curah hujan tahunan antara 1.000 mm sampai dengan 2.000 mm. Tanah gromosol dapat dimanfaatkan untuk tanaman padi, jagung, kapas, dan kedelai.

Gudangan : Makanan yang terdiri dari aneka sayuran yang direbus dan disajikan dengan sambal kelapa parut.

Ijon : Penjualan hasil tanaman dalam keadaan hijau atau masih belum dipetik dari batangnya.

Intensif : Secara sungguh-sungguh dan terus menerus dalam mengerjakan sesuatu hingga memperoleh hasil yang optimal.

Jalan arteri : Jalan arteri primer menghubungkan secara berdaya guna antara pusat kegiatan nasional dengan pusat kegiatan wilayah.

Jogjakarta koorei : Semacam Rijksblad atau Lembaran Negara.

Kasa : Ke satu.

Kawastu : Salah satu pedukuhan dalam wilayah administrasi Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

(16)

xvi

yang terbentuk dari letusan lava dari gunung berapi. Kuota : Jatah, jumlah yang ditentukan.

Litosol : Jenis tanah yang berasal dari batuan beku dan sedimen yang keras, dan bersifat sensitif terhadap erosi. Tanah ini bermanfaat untuk menanam tanaman yang berkayu keras.

Lumbung : Bangunan penyimpanan padi-padian yang telah dirontokan, lumbung juga dapat digunakan untuk menyimpan pakan ternak.

Magma : Merupakan batu-batuan cair yang terletak di dalam kamar magma di bawah permukaan bumi.

Matun : Menyiangi padi.

Mbahureksa : Berkuasa.

Memule : Salah satu bagian dari tradisi selamatan.

(17)

xvii

dan dikeringkan diberbagai tempat untuk dibakar. Mengetam : Menuai atau memotong.

Merti desa : Simbol rasa syukur masyarakat kepada Yang Maha Kuasa atas limpahan karunia yang diberikan-Nya. Karunia tersebut bisa berwujud apa saja, seperti kelimpahan rezeki, keselamatan, serta ketentraman dan keselarasan hidup.

Nasi ambengan : Hidangan khas Jawa berupa nasi putih yang diletakkan di atas tampah dan diberi lauk pauk di sekelilingnya. Lauk pauk dapat berupa perkedel, ikan asin goreng, rempeyek, sambal goreng, telur rebus, tempe goreng, urap, bihun goreng, dan opor ayam. Nasi ambeng adalah hidangan yang disajikan dalam selamatan sebagai lambang keberuntungan.

Nglilir : Terjaga di malam hari. Onderdistrik : Daerah kecamatan.

Paceklik : Musim kekurangan bahan makanan.

(18)

xviii Perabot desa : Perangkat desa.

Perkul : Kapak.

Pikul : Satuan berat tradisional yang dipakai di Jawa dan sekitarnya, ukuran berat pikul tidaklah tetap, pada umumnya beban 1 pikul ialah beban terberat di mana seorang manusia sanggup membawanya dengan cara memikul.

Pogo : Rak bambu yang terletak di dapur bagian atas di bawah atap. Selain digunakan untuk menyimpan peralatan masak dan makan, rak ini juga dipakai sebagai lumbung penyimpanan hasil tegalan.

Pranata mangsa : Semacam penanggalan yang dikaitkan dengan kegiatan usaha pertanian, khususnya untuk kepentingan bercocok tanam atau penangkapan ikan.

Ratio : Perbandingan.

(19)

xix

Renzina : Tanah hasil pelapukan batuan kapur di daerah yang memiliki curah hujan yang tinggi. Tanah renzina memiliki warna hitam sedikit unsur hara. Tanah renzina banyak terdapat di daerah bergamping seperti Gunung Kidul, Yogyakarta.

Revolusi Hijau : Usaha pengembangan teknologi pertanian untuk meningkatkan produksi pangan dengan mengubah pertanian yang menggunakan teknologi tradisional menjadi pertanian yang menggunakan teknologi lebih maju atau modern.

Rijksblad : Lembaran negara.

Sada : Ke duabelas

Sambatan : Istilah jawa yang berarti sebuah tradisi membangun rumah secara gotong royong.

Sawah oncoran : Sawah yang memperoleh air dari sungai atau selokan atau pengairan.

Sawah tadah hujan : Sawah yang mendapat air hanya tergantung pada turunnya air hujan.

(20)

xx

Son : Kecamatan.

Springbelt : Jalur mata air.

Subsidi : Bentuk bantuan keuangan yang dibayarkan kepada suatu bisnis atau sektor ekonomi.

Subsistensi : Berkaitan dengan pertanian subsisten. Pertanian subsisten adalah pertanian swasembada dimana petani fokus pada usaha membudidayakan bahan pangan dalam jumlah yang cukup untuk mereka sendiri dan keluarga. Ciri khas pertanian subsisten adalah memiliki berbagai variasi tanaman dan hean ternak untuk dimakan. Sebagian besar petani subsisten memperdagangkan hasil pertanian mereka secara barter maupun uang.

Sub-urban : Wilayah perbatasan antara desa dan kota.

Surya sengkala : Penggunaan kalender berdasarkan perhitungan matahari.

Swapraja : Pemerintahan sendiri.

(21)

xxi

Tandur : Menanam.

Topografi : Dalam pengertian yang lebih luas, topografi tidak hanya mengenai bentuk permukaan saja, tetapi juga vegetasi dan pengaruh manusia terhadap lingkungan, dan bahkan kebudayaan lokal.

Upacara majemuk : Upacara tahunan sebagai wujud rasa syukur kepada pencipta setelah masa panen.

Wedhus gembel : Biasa disebut awan panas. Secara visual nampak bergumpal-gumpal seperti awan atau bulu domba dengan warna putih sampai abu-abu gelap kemerahan. Wono : Atau alas yang artinya sistem pertanian yang dilakukan

(22)

xxii

1. Pembagian Wilayah Administrasi Kabupaten Sleman... 27 2. Ketinggian Wilayah Kabupaten Sleman... 28 3. Perkembangan Jiwa dan Kepala Keluarga di Kabupaten Sleman Tahun

1960-1966... 34 4. Perkembangan Jiwa dan Kepala Keluarga di Kabupaten Sleman Tahun

1960-1969... 35 5. Perkembangan Penduduk di Kabupaten Sleman Tahun 1963-1972... 36 6. Penduduk di Kabupaten Sleman Tahun 1967-1976... 37 7. Penduduk Hasil Sensus dan Pendaftaran Rumah Tangga di Kabupaten

(23)

xxiii

1. Lampiran 1: Daftar Responden... 107 2. Lampiran 2: Peta Daerah Istimewa Yogyakarta... 108 3. Lampiran 3: Peta Wilayah Kabupaten Sleman... 109 4. Lampiran 4: Peta Letak Sawah dan Tegalan di Kabupaten Sleman... 110 5. Lampiran 5: Peta Kawasan Rawan Bencana Gunung Merapi di

Kabupaten Sleman... 111 6. Lampiran 6: Penduduk Hasil Sensus dan Pendaftaran Rumah Tangga

di Kabupaten Sleman tahun 1961 dan 1968... 112 7. Lampiran 7: Penduduk Hasil Sensus dan Pendaftaran Rumah Tangga

di Kabupaten Sleman tahun 1970 dan 1971... 113 8. Lampiran 8: Tabel 1.1 : Rata-rata Laju Pertumbuhan Penduduk Per

Tahun menurut Desa/Kalurahan Antara Tahun 1980 dan 1990

(Moyudan)... 114 9. Lampiran 9: Tabel 1.2 : Rata-rata Laju Pertumbuhan Penduduk Per

Tahun menurut Desa/Kalurahan Antara Tahun 1980 dan 1990

(Minggir)... 115 10. Lampian 10: Tabel 1.3 : Rata-rata Laju Pertumbuhan Penduduk Per

Tahun menurut Desa/Kalurahan Antara Tahun 1980 dan 1990

(Sayegan)... 116 11. Lampiran 11: Tabel 1.4 : Rata-rata Laju Pertumbuhan Penduduk Per

Tahun menurut Desa/Kalurahan Antara Tahun 1980 dan 1990

(Godean)... 117 12. Lampiran 12: Tabel 1.5 : Rata-rata Laju Pertumbuhan Penduduk Per

Tahun menurut Desa/Kalurahan Antara Tahun 1980 dan 1990

(Gamping)... 118 13. Lampiran 13: Tabel 1.6 : Rata-rata Laju Pertumbuhan Penduduk Per

Tahun menurut Desa/Kalurahan Antara Tahun 1980 dan 1990

(24)

xxiv

15. Lampiran 15: Tabel 1.8 : Rata-rata Laju Pertumbuhan Penduduk Per Tahun menurut Desa/Kalurahan Antara Tahun 1980 dan 1990

(Berbah)... 121 16. Lampiran 16: Tabel 1.9 : Rata-rata Laju Pertumbuhan Penduduk Per

Tahun menurut Desa/Kalurahan Antara Tahun 1980 dan 1990

(Prambanan)... 122 17. Lampiran 17: Tabel 1.10. : Rata-rata Laju Pertumbuhan Penduduk Per

Tahun menurut Desa/Kalurahan Antara Tahun 1980 dan 1990

(Kalasan)... 123 18. Lampiran 18: Tabel 1.13. : Rata-rata Laju Pertumbuhan Penduduk Per

Tahun menurut Desa/Kalurahan Antara Tahun 1980 dan 1990

(Sleman)... 124 19. Lampiran 19: Tabel 1.14. : Rata-rata Laju Pertumbuhan Penduduk Per

Tahun menurut Desa/Kalurahan Antara Tahun 1980 dan 1990

(Tempel)... 125 20. Lampiran 20: Tabel 1.15. : Rata-rata Laju Pertumbuhan Penduduk Per

Tahun menurut Desa/Kalurahan Antara Tahun 1980 dan 1990

(Turi)... 126 21. Lampiran 21: Tabel 1.16. : Rata-rata Laju Pertumbuhan Penduduk Per

Tahun menurut Desa/Kalurahan Antara Tahun 1980 dan 1990

(Pakem)... 127 22. Lampiran 22: Tabel 1.17. : Rata-rata Laju Pertumbuhan Penduduk Per

Tahun menurut Desa/Kalurahan Antara Tahun 1980 dan 1990

(Cangkringan)... 128 23. Lampiran 23: Luas Tanaman dan Panenan di Kabupaten Sleman

(25)

1 A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara agraris yang kaya akan hasil pertanian, kehutanan, perkebunan, peternakan, dan perikanan. Sektor pertanian merupakan sektor yang sarat dengan campur tangan pemerintah dan aparat. Mulai dari penanaman sampai dengan penentuan harga dan pemasaran produknya. Campur tangan pemerintah ini tidak berhenti pada proses produksi pertanian, tapi juga terjadi pada sektor organisasi petani. Petani Indonesia bebas mengikuti berbagai organisasi petani yang didirikan oleh berbagai partai politik pada tahun 1660-an. Dampak negatif dari keadaan ini, masyarakat pertanian di Indonesia menjadi terkotak-kotak atas dasar ideologi partai. Dampak positifnya, aspirasi dan kepentingan petani menjadi tersalurkan dan terlindungi dengan baik.1

Keadaan petani di Indonesia berubah pada tahun 1965. Untuk menghilangkan dampak negatif dari pengaruh partai politik di desa, maka pemerintah membuat sebuah pendekatan baru dalam pembinaan kehidupan politik di daerah pedesaan. Pendekatan baru tersebut dikenal dengan pendekatan “masa mengambang” atau “floating mass”.2 Adanya pendekatan baru ini, menjadikan pemerintah membubarkan semua organisasi yang dibentuk oleh partai politik dan

1 Loekman Soetrisno, Pertanian pada Abad Ke-21, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998), hlm. 22-23.

(26)

mengganti dengan satu jenis organisasi pertanian yang disebut Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI).3

Pemerintah Indonesia meluncurkan suatu program pembangunan pertanian yang dikenal dengan program Revolusi Hijau tahun 1970-an. Tujuan utama dari program ini adalah menaikkan produktivitas sektor pertanian, khususnya sub-sektor pertanian pangan, melalui penerapan teknologi pertanian modern.4 Penerapan program Revolusi Hijau di Indonesia sejak tahun enam puluhan melalui Program Panca Usaha Pertanian (PUP) yang meliputi pendirian beberapa pabrik pupuk kimia, memproduksi alat pengolah pertanian, serta pendirian industri pestisida. Keberhasilan Gerakan Revolusi Hijau merupakan bukti upaya pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan petani.5

Kondisi perekonomian setelah tumbangnya kepemimpinan Soekarno dengan Demokrasi Terpimpinannya adalah masa-masa perekonomian krisis. Masa Demokrasi Terpimpin banyak rencana pembangunan yang tidak berjalan secara maksimal, hal inilah yang menimbulkan krisis oleh karena itu Pelita diambil oleh pemerintah Orde Baru guna memulihkan krisis pada saat itu.6 Titik awal pemerintah Orde Baru dengan program yang dikenal dengan Repelita I-IV menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang pesat di bidang pertanian. Hal ini dimulai sejak adanya Repelita I pada tahun 1969-1974. Repelita I dengan

3Loekman Soetrisno,op.cit.,hlm. 24. 4Ibid., hlm. 13.

5Ibid.

6

(27)

kebijakan di sektor pangan yaitu penyediaan beras bagi kesejahteraan rakyat. Program-progam bantuan pemerintah untuk meningkatkan usaha pertanian terus dikembangkan.7

Erupsi Gunung Merapi yang terjadi sebanyak tiga kali letusan. Letusan pertama dengan korban sebanyak 6 orang tahun 1961. Letusan kedua dengan korban sebanyak 3 orang tahun 1969. Letusan ketiga dengan korban 229 orang tahun 1976. Erupsi ini menimbulkan berbagai kerusakan terutama kerusakan di sektor pertanian. Akibat erupsi ini pertanian juga mengalami perubahan. Perubahan sistem pertanian terjadi dari sistem perladangan ke sistem tegalan kemudian ke sistem persawahan. Pertanian adalah suatu kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati, manusia sebagai pelaku dan mengelola lahan untuk menghasilkan bahan pangan dan bahan baku industri serta mendapatkan sumber energi yang dibutuhkan dari alam dan lingkungan hidupnya. Usaha pertanian juga memerlukan dasar-dasar pengetahuan tentang pengelolaan tempat usaha, cara pemilihan benih/bibit, tekhnik dan metode budidaya, pengumpulan hasil, mendistribusikan produk, pengolahan dan pengemasan produk, serta pemasaran.8 Sistem pertanian ada tiga meliputi: sistem ladang, sistem tegal, dan sistem sawah. 1. Sistem ladang disebut sistem pertanian tingkat rendah atau yang paling

primitif. Sistem ini merupakan sistem peralihan dari mulai tahap budaya pengumpulan ke tahapan budaya penanaman. Sistem ini pengolahan tanahnya

7Ibid.

8 “Definisi, Pengertian, dan Sistem Pertanian”,

(28)

masih sangat minim dan hasilnya bergantung ketersediaan lapisan-lapisan humus yang ada dalam sistem dan siklus hutan. Umumnya sistem ini ditemukan di daerah-daerah yang memiliki penduduk sedikit dengan adanya lahan yang tidak terbatas. Tanaman yang biasa ditanam adalah tanaman pangan, seperti padi, umbi-umbian, jagung dan lainnya.

2. Sistem tegal yaitu sistem yang dikembangkan pada lahan-lahan kering, yang jauh dari sumber-sumber air yang cukup. Pengelolaan tegal sangat jarang menggunakan tenaga hewan dalam pelaksanaannya. Sistem ini biasa dilakukan para petani yang sudah lama menetap dalam suatu wilayah, meskipun tingkat pengusahaannya rendah. Tanaman yang biasa diusahakan adalah tanaman-tanaman yang mampu bertahan pada kekeringan, seperti pohon-pohonan.

3. Sistem sawah adalah suatu sistem atau teknik budidaya tingkat tinggi, dalam hal pengolahan tanah dan pengelolaan sumber air, sehingga mampu mencapai stabilitas biologi yang tinggi dan kesuburan tanah dapat dipertahankan. Sistem sawah adalah sistem yang menghasilkan potensi besar untuk produksi tanaman pangan, baik dalam pengolahan sawah padi ataupun untuk tanaman palawija.9

Penduduk Kabupaten Sleman melakukan perladangan di dalam hutan sebelum tahun 1961. Sistem perladangan kemudian berubah dengan sistem tegalan. Tanaman utama di tegalan adalah jagung. Pekarangan rumah juga dijadikan kebun sayur-sayuran, obat-obatan, umbi-umbian, buah-buahan, nangka,

(29)

sengon, dan sebagainya. Sistem tegalan berubah ke sistem persawahan dengan tanaman utama yaitu penanaman padi.10 Hasil tegalan dan pekarangan biasanya hanya pas-pasan11 untuk dikonsumsi keluarga, jika terdapat kelebihan hasil pertanian mereka akan membawanya ke pasar dan ditukarkan dengan kebutuhan sehari-hari seperti garam, minyak goreng, minyak tanah, sabun, dan gula.

Kondisi pertanian di Sleman meliputi pendapatan petani yang masih rendah baik secara nominal maupun secara relatif dibanding dengan sektor lain. Usaha pertanian yang ada didominasi oleh ciri-ciri: skala kecil, sangat dipengaruhi musim, terjadinya involusi pertanian, akses terhadap kredit, teknologi dan pasar sangat rendah.12 Karakteristik sumber daya di wilayah Kabupaten Sleman terbagi menjadi 4 wilayah, yaitu:13 kawasan lereng Gunung Merapi, kawasan timur, wilayah tengah, dan wilayah barat.

Kawasan lereng Gunung Merapi di Kabupaten Sleman terkena dampak dari erupsi Gunung Merapi yang terjadi 5-8 tahun sekali. Menurut Clifford Geertz, bahwa sepanjang sejarah gunung-gunung berapi di Pulau Jawa selalu dipadati pemukiman penduduk karena dampak dari erupsi itu dapat menyuburkan tanah

10 Lucas Sasongko Triyoga,Manusia Jawa dan Gunung Merapi:Persepsi

dan Kepercayaannya, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991), hlm. 31-32.

11Pas-pasan(Bahasa Jawa): cukup dan tidak bersisa. Hasil pertanian yang

pas-pasan ini merupakan salah satu ciri utama pertanian di Indonesia yang biasanya disebut sebagai pertaniansubsisten.

12 “Kondisi Pertanian Kabupaten Sleman,

https://valkauts.wordpress.com/2012/04/18/kondisi-pertanian-kabupaten-sleman/, diakses 25 Maret 2015.

(30)

pertanian melalui air, mineral dan abu vulkanik yang selalu menutupi permukaan tanahnya, dan merupakan sumber bencana yang disebabkan oleh awan panas, lahar, dan letusan-letusannya.14 Sejarah letusan Gunung Merapi secara tertulis mulai tercatat sejak awal masa kolonial Belanda. Periode Merapi baru, terjadi beberapa kali letusan besar pada 1768, 1822, 1849, dan 1872 dan letusan berikutnya pada 1930-1931. Erupsi 1872 lebih besar dibanding letusan di 1931, di mana awan panas mencapai 20 kilometer dari puncak. Setelah 1931, letusan kembali terjadi pada 1961 dan 2010.15

Erupsi-erupsi Gunung Merapi yang pernah terjadi berdampak pada kerusakan hunian, pemukiman/pekarangan, lahan pertanian (sawah dan pertanian lahan kering) yang berada di kawasan puncak gunung, lereng gunung, dan sepanjang sungai yang dialiri material erupsi. Seperti pada daerah-daerah di sekitar gunung berapi lainnya, daerah sekitar gunung berapi pun merupakan daerah yang subur sebagai akibat material letusan yang tersebar dan bercampur dengan tanah setempat, dan sekaligus berfungsi sebagai penyubur lahan pertanian. Banyak orang tertarik untuk tinggal di daerah tersebut dan mengolah tanah untuk usaha pertanian.16

Pemilikan tanah pertanian keluarga petani di lereng Gunung Merapi di Kabupaten Sleman relatif lebih besar dibandingkan dengan pemilikan tanah

14Lucas Sasongko Triyoga,op.cit., hlm. 1.

15 Oris Riswan, Ini Sejarah Letusan Gunung Merapi, Okezone, Rabu 30 April 2014.

(31)

pertanian keluarga di dataran rendah yang memiliki kepadatan penduduk tinggi. Rata-rata pemilikan tanah tegalan dalam satu keluarga petani Merapi kurang lebih satu hektar yang dimanfaatkan.17 Pola kebudayaan manusia yang seragam juga menentukan corak pertaniannya.18 Untuk memahaminya, perlu mengetahui jenis-jenis pertanian dan sistem pertaniannya. Jenis-jenis-jenis pertanian berkaitan dengan tanaman pokok yang menjadi sumber kehidupan dari suatu masyarakat desa/petani. Perbedaan dalam jenis tanaman pokok juga menciptakan perbedaan dalam corak kehidupan masyarakatnya.19

Hubungan petani dengan golongan bukan petani dapat berubah-ubah pada setiap fase modernisasi, terutama mengenai masalah transaksi, material, politik, dan kultural pada satu pihak, serta hubungan sosial dengan pihak lain. Kedua aspek hubungan itu berkaitan erat dengan ekonomi desa yang dalam sistem

feodalistis20 serta teknologi primitif terbatas pada produksi subsistensi21.

17Lucas Sasongko Triyoga,op.cit., hlm. 31.

18 Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, (Jakarta: PN BALAI PUSTAKA, 1984), hlm. 100.

19 Rahardjo, Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1999), hlm. 127.

20 Feodalistis artinya bersifat feodal. Feodalistis dapat diartikan sistem sosial atau politik yang memberikan kekuasaan yang besar kepada golongan bangsawan. Sistem feodal yang mengagung-agungkan jabatan atau pangkat.

(32)

Timbulnya modernisasi teknologi pertanian dan organisasi ekonomi petani juga mengalami perubahan. Produksi pertanian berorientasi pada penjualan ke pasar nasional, regional, dan internasional.22

Mengenai pemilihan topik penelitian secara spasial memilih Kabupaten Sleman sebagai bahan kajian karena Sleman merupakan daerah domisili penulis. Latar belakang pemilihan topik tersebut dipandang memiliki sebuah permasalahan yaitu penulis ingin mengkaji tentang perubahan pola pertanian akibat erupsi Gunung Merapi tahun 1961 sampai 1976. Pemilihan untuk kajian dari tahun 1961 karena pada tahun ini letusan Gunung Merapi sangat dahsyat dan menimbulkan banyak kerusakan terutama kerusakan di sektor pertanian. Penulis juga ingin mengkaji dampak perubahan sistem pertanian bagi masyarakat di Kabupaten Sleman tahun 1961 sampai 1976, baik dampak sosial maupun dampak ekonomi. Pada akhirnya membawa keingintahuan penulis untuk mengkaji “Perubahan Sistem Pertanian dan Dampaknya terhadap Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat di Kabupaten Sleman Tahun 1961-1976”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah, dapat ditarik beberapa rumusan masalah sebagai landasan dasar penelitian yang akan dikaji. Adapun rumusan masalah dipaparkan sebagai berikut.

1. Bagaimana gambaran umum wilayah Kabupaten Sleman?

(33)

2. Mengapa terjadi perubahan sistem pertanian di Kabupaten Sleman tahun 1961-1976?

3. Bagaimana dampak perubahan sistem pertanian bagi masyarakat di Kabupaten Sleman tahun 1961-1976?

C. Tujuan Penelitian

Pengerjaan penelitian ini terdorong oleh beberapa tujuan yang hendak dicapai. Mengenai tujuan tersebut, dapat diklasifikasikan menjadi tujuan umum dan tujuan khusus.

1. Tujuan Umum

a. Mencapai taraf praktik dalam keilmuan sejarah jenjang strata 1 dengan menerapkan metodologi sejarah yang dipelajari dalam perkuliahan

b. Melatih berpikir kritis, analitis, dan sistematis dalam ilmu sejarah c. Menambah khasanah historiografi Indonesia demi tujuan pembangunan 2. Tujuan Khusus

a. Memahami gambaran umum wilayah Kabupaten Sleman

b. Memahami terjadinya perubahan sistem pertanian di Kabupaten Sleman tahun 1961-1976

(34)

D. Manfaat Penelitian

Pengerjaan penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pembaca dan penulis.

1. Bagi Pembaca

a. Menjelaskan gambaran umum wilayah Kabupaten Sleman

b. Menjelaskan terjadinya perubahan sistem pertanian di Kabupaten Sleman tahun 1961-1976

c. Menjelaskan dampak perubahan sistem pertanian bagi masyarakat di Kabupaten Sleman 1961-1976

2. Bagi Penulis

a. Menjadi tolok ukur sejauh mana penulis memahami pengetahuan kesejarahan dalam perkuliahan

b. Menjadi tolok ukur sejauh mana penulis mendalami cara berpikir kritis, analitis, dan sistematis dalam ilmu sejarah

c. Menjadi tolok ukur sejauh mana penulis turut serta dalam proses pembangunan

E. Kajian Pustaka

Kajian pustaka merupakan telaah terhadap pustaka-pustaka yang digunakan sebagai landasan pemikiran dalam penelitian dan acuan dalam mengambil jawaban sementara dari rumusan masalah.23 Skripsi ini menggunakan

(35)

beberapa pustaka atau literatur yang menjadi landasan pemikiran dalam penelitian, sumber-sumber yang digunakan sebagai acuan antara lain:

Buku Kabupaten Sleman karangan Biro Hubungan Masyarakat yang

diterbitkan oleh Biro Hubungan Masyarakat.24 Yogyakarta disebut Daerah Istimewa karena pada mulanya merupakan daerah berpemerintahan sendiri (swapraja). Kota ini merupakan satuan pemerintahan sendiri, sedangkan daerah-daerah lainnya dibagi menjadi empat kabupaten: Kulon Progo di sebelah barat, Sleman di sebelah utara, Bantul di tengah bagian selatan, dan Gunungkidul di selatan dan timur.

Kabupaten Sleman merupakan kabupaten yang memiliki posisi strategis yang menjadi penghubung Kota Yogyakarta dengan Magelang Jawa Tengah.

Secara geografis Kabupaten Sleman terletak diantara 110° 33′ 00″ dan 110° 13′

00″ Bujur Timur, 7° 34′ 51″ dan 7° 47′ 30″ Lintang Selatan. Wilayah Kabupaten

Sleman sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Boyolali, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Klaten, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Magelang, dan sebelah selatan berbatasan dengan Kota Yogyakarta. Kabupaten Sleman terbagi menjadi dalam beberapa wilayah seperti berdasarkan karakteristik wilayah di beberapa daerah di Kabupaten Sleman, kemudian berdasarkan letak kota dan mobilitas kegiatan masyarakat, dapat dibedakan fungsi kota sebagai berikut: wilayah aglomerasi, wilayah sub urban, dan wilayah fungsi khusus/wilayah penyangga.

(36)

Handojo Adi Pranowo DS dalam buku berjudul Manusia dan Hutan:

Proses Perubahan Ekologi di Lereng Gunung Merapi terbitan Gadjah Mada University Press.25 Contoh sebelum tahun 1912 penduduk Sleman atau penduduk lereng Merapi melakukan perladangan di dalam hutan. Sistem perladangan, lama periode penggarapan ladang, dan lama periode bero (rotasi perladangan). Setiap keluarga rata-rata memiliki area perladangan di dalam hutan sebanyak tiga sampai empat tempat. Masing-masing tanah garapan diolah sebanyak tiga sampai empat kali masa panen. Ciri-ciri perladangan menurut Gourou antara lain: perladangan dijalankan di tanah tropis yang gersang, teknik pertanian yang elementer tanpa menggunakan alat-alat kecuali kampak, kepadatan penduduk rendah, dan menyangkut tingkat konsumsi yang rendah. Menurut Otto Soemarwoto sistem perladangan ditandai dengan kerusakan hutan, erosi, banjir, dan kekeringan tanah. Sistem pertanian kemudian berubah ke sistem tegalan. Tanaman utama di tegalan adalah jagung. Tanaman lain yang ditanam di tegalan dan berfungsi sebagai tanaman penyeling adalah kara, kentang, garut, keladi, dan jenis umbi-umbian lainnya.

Lucas Sasongko Triyoga dalam buku Manusia Jawa dan Gunung Merapi:

Persepsi dan Kepercayaannya terbitan Gadjah Mada University Press.26 Dampak ekonomi perubahan sistem pertanian menghasilkan jenis-jenis pertanian dan sistem pertanian yang kemudian memunculkan pertanian tradisional dan pertanian

25 Handojo Adi Pranowo DS, Manusia dan Hutan: Proses Perubahan

Ekologi di Lereng Gunung Merapi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1985).

26Lucas Sasongko Triyoga, Manusia Jawa dan Gunung Merapi:Persepsi

(37)

modern. Dampak lain seperti adanya hama perusak tanaman menjelang masa panen jagung adalah binatang hutan yang tinggal di dalam hutan Merapi, seperti celeng, burung betet, dan kera. Dampak sosial perubahan sistem pertanian adalah kebudayaan manusia yang seragam dan keadaan alam sekitar juga menentukan corak pertanian. Corak kehidupan masyarakat desa/petani juga perlu mengenal jenis dan sistem pertanian. Jenis-jenis pertanian berkaitan dengan tanaman pokok yang menjadi sumber kehidupan dari suatu masyarakat desa/petani. Perbedaan jenis tanaman pokok juga menciptakan perbedaan dalam corak kehidupan masyarakatnya.

Penelitian ini menggunakan teori involusi pertanian. Menurut Geertz, involusi adalah suatu proses kemerosotan pola kebudayaan yang sudah mencapai bentuk pasti tetapi, tidak berhasil menstabilkannya atau mengubahnya menjadi suatu pola baru dan terus berkembang menjadi semakin rumit.27 Model perekonomian makro berdasarkan pandangan ekologi budaya yang banyak membantu Geertz adalah gambaran tiga sistem pengolahan (sumber daya) pertanian yaitu persawahan (dengan irigasi yang kompleks), perladangan (pertanian ekstensif), dan perkebunan (pertanian yang sangat padat modal).28

Sepanjang sejarah gunung-gunung berapi di Pulau Jawa selalu dipadati pemukiman penduduk karena merupakan sumber bagi kehidupan yaitu menyuburkan tanah pertanian melalui air, mineral dan abu vulkanik yang selalu

27 Mubyarto,” Involusi Pertanian dan Pemberantasan Kemiskinan: Kritik Terhadap Clifford Geertz”,Prisma, No. 2/VII/1978, hlm. 58.

(38)

menutupi permukaan tanahnya, dan merupakan sumber bencana yang disebabkan oleh awan panas, lahar, dan letusan-letusannya.29

F. Historiografi yang Relevan

Historiografi yang relevan merupakan suatu karya sejarah yang mendahului penelitian yang akan ditulis. Karya sejarah terdahulu kemudian dibedah untuk mengetahui kekurangan penelitian terdahulu. Kekurangan peneliti tersebut, digunakan sebagai landasan pembeda karya yang akan ditulis.30

Historiografi yang relevan pertama menggunakan karya dari Siti Alfiah Mukmin dengan judul Kehidupan Sosial Ekonomi Penduduk Sleman di Sekitar Gunung Merapi Tahun 1930-1969. Dalam tulisan ini mengidentifikasi mengenai segala sesuatu yang dikaitkan dengan akibat dari letusan Gunung Merapi dalam kurun waktu 39 tahun (1930-1969). Penelitian ini sangat berbeda dengan penelitian sebelumnya, karena penulis lebih menekankan pada perubahan sistem pertanian dan dampaknya bagi masyarakat di Kabupaten Sleman tahun 1961-1976.

Historiografi yang relevan kedua menggunakan karya dari Trihapsari Nina Hadiastuti dengan judul Pengaruh Modernisasi Pertanian pada Kehidupan Masyarakat Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman Tahun

1970-1984. Tulisan ini memaparkan tentang pengaruh modernisasi pertanian baik dalam bidang sosial maupun ekonomi. Karya ini juga memaparkan tentang usaha

29 Clifford Geertz, Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di

Indonesia, (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1983). 30

(39)

pemerintah dalam memodernisasi pertanian serta penerapan modernisasi pertanian dan reaksi masyarakat terhadap modernisasi pertanian. Penelitian ini sangat berbeda dengan penelitian sebelumnya, karena penulis lebih menekankan pada perubahan sistem pertanian di Kabupaten Sleman akibat adanya erupsi Merapi.

Hitoriografi yang relevan ketiga menggunakan karya dari Zuminati Rahayu dengan judul Revolusi Hijau dan Perubahan Sosial Ekonomi Petani Wanita di Kabupaten Sleman Tahun 1970-1984. Tulisan ini memaparkan tentang dampak Revolusi Hijau terhadap keadaan sosial ekonomi petani wanita di Kabupaten Sleman. Tulisan ini juga memaparkan tentang hilangnya peran petani wanita dalam pertanian karena digantikan oleh teknologi yang lebih modern. Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya, karena penulis lebih menekankan pada dampak sosial ekonomi akibat perubahan sistem pertanian.

G. Metode Penelitian dan Pendekatan Penelitian 1. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini metode yang akan digunakan adalah metode sejarah. Proses penyusunan hasil penelitian diperoleh melalui tahapan, yaitu: heuristik (metode pengumpulan data), verifikasi (kritik sumber), interpretasi (penafsiran), dan historiografi (penulisan sejarah).31 Dari empat langkah tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

(40)

a. Heuristik

Heuristik adalah kegiatan awal untuk mendapatkan data-data atau materi sejarah.32 Dapat dikatakan bahwa tahapan ini merupakan pengumpulan data atau sumber dan informasi yang relevan. Hanya data atau informasi yang berhubungan dengan segi-segi tertentu dari pokok permasalahan yang perlu dikumpulkan. Pengumpulan sumber yang sudah penulis lakukan yaitu dengan mengunjungi beberapa perustakaan dan arsip, seperti: Perpustakaan UNY, Perpustakaan FIS, Perpustakaan UGM, dan Jogja Library Centre. Perpustakaan menjadi tempat pencarian utama penulis, dari hasil kunjungan tersebut penulis menemukan beberapa buku yang dapat menjawab pertanyaan penulis dalam rumusan masalah. Dalam penulisan ini, penulis mengumpulkan sumber-sumber yang berhubungan dengan masalah yang akan di bahas. Sumber-sumber tersebut berupa arsip, majalah dan buku-buku. Sumber primer antara lain:

Biro Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta, Statistik Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 1964-1966, Yogyakarta: Biro Statistik, 1967. Biro Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta, Statistik Pemerintah Daerah Daerah

Istimewa Yogyakarta Tahun 1969, Yogyakarta: Biro Statistik, 1970. Biro Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta, Statistik Pemerintah Daerah Daerah

Istimewa Yogyakarta Tahun 1972,Yogyakarta: Biro Statistik, 1973. Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta dalam

Angka Tahun 1976, Yogyakarta: Biro Statistik, 1976.

Penulisan karya ini juga menggunakan sumber lisan berupa wawancara. Beberapa daftar narasumber yang telah diwawancara antara lain:

1. Bapak Mujiyat pekerjaan sebagai pensiunan

(41)

2. Bapak Sapari pekerjaan sebagai petani 3. Ibu Mujilah pekerjaan sebagai petani 4. Ibu Suyadi pekerjaan sebagai petani 5. Bapak Ponimin pekerjaan sebagai petani

Sumber sekunder antara lain:

Biro Hubungan Masyarakat, Kabupaten Sleman, Yogyakarta: Biro Hubungan Masyarakat, tt.

Geertz, Clifford, Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia, Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1983.

Handojo Adi Pranowo,Manusia dan Hutan:Proses Perubahan Ekologi di Lereng Gunung Merapi, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1985.

Koentjaraningrat,Kebudayaan Jawa, Jakarta: PN BALAI PUSTAKA, 1984. Leirissa, R.Z dkk, Sejarah Perekonomian Indonesia. Jakarta: Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 1996.

Loekman Soetrisno, Pertanian Pada Abad Ke-21, Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998.

Lucas Sasongko Triyoga, Manusia Jawa dan Gunung Merapi: Persepsi dan Kepercayaannya, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991. Wahyunto dan Wasito, “Lintasan Sejarah Erupsi Gunung Merapi”, Bogor: Balai

Besar Sumber Daya Lahan dan Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian.

b. Verifikasi (Kritik Sumber)

(42)

Fakta sejarah dapat diartikan sebagai kesimpulan dari kenyataan yang diperoleh dari hasil penyelidikan terhadap sumber sejarah sehingga mengandung unsur subjektivitas.

c. Interpretasi (Penafsiran)

Proses interpretasi, berusaha mencapai pengertian faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya peristiwa. Proses ini sering diwarnai dengan subjektivitas. Interpretasi dibedakan menjadi dua, yaitu interpretasi analitis dan interpretasi sintesis. Interpretasi analitis merupakan proses menguraikan. Karena dalam beberapa sumber sejarah terdapat beberapa kemungkinan pemahaman. Sedangkan interpretasi sintesis merupakan proses penyatuan. Mengenai interpretasi analitis, memungkinkan untuk menggunakan ilmu bantu yang berupa teori-teori politik.

d. Historiografi (Penulisan Sejarah)

Suatu tahapan untuk melakukan pemaparan dari hasil penelitian sejarah yang telah dilakukan. Pada tahap ini dituntut kemahiran dalam menguraikan temuan-temuan sehingga menjadi sebuah kisah sejarah. Penyajian laporan harus dilakukan secara jelas, sistematis, dan terperinci dalam bentuk kalimat yang efektif.

2. Pendekatan Penelitian

(43)

digunakan adalah pendekatan geografi, pendekatan ekonomi, dan pendekatan ekologi.

a. Pendekatan geografi

Geografi adalah ilmu yang mempelajari tentang penguraian dan pembahasan serta pemahaman atas perbedaan-perbedaan kewilayahan dalam distribusi lokasi. Fokusnya adalah pada sifat dan saling keterkaitan antara lingkungan, tata ruang, dan tempat.33 Pendekatan geografi digunakan untuk mengetahui gambaran umum wilayah di Kabupaten Sleman.

b. Pendekatan Ekonomi

Sejarah ekonomi dalam berbagai aspek semakin menonjol pada awal abad ini. Terutama setelah adanya proses modernisasi dan lebih memfokuskan perhatian pada pembangunan ekonomi. Perkembangan selanjutnya sejarah ekonomi mengalami perubahan dengan munculnya sejarah pertanian, sejarah kota, sejarah bisnis, sejarah perburuhan, dan formasi kapital.34 Pendekatan ekonomi digunakan untuk mengetahui tentang sejarah pertanian serta dampak ekonomi yang disebabkan oleh perubahan sistem pertanian di Kabupaten Sleman akibat erupsi Gunung Merapi.

c. Pendekatan Ekologi

Pendekatan ekologi melihat lingkungan hidup manusia sebagai suatu kesatuan yang secara menyeluruh saling berinteraksi. Pendekatan ekologi ini digunakan untuk mengetahui erupsi Gunung Merapi yang berdampak buruk pada

33 Abd Rahman Hamid dan Muhammad Saleh Madjid, Pengantar Ilmu

Sejarah, (Yogyakarta: Ombak, 2011), hlm. 36. 34

(44)

lingkungan dan sumber daya alam di sekitarnya, di antaranya adalah sumber daya air yang berujung pada terganggunya penyediaan air untuk berbagai penggunaan terutama pertanian, domestik, dan industri.

d. Pendekatan Sosial

Sejarah sosial mempunyai bahan kajian yang luas dan beraneka ragam. Kebanyakan sejarah sosial juga mempunyai hubungan erat dengan sejarah ekonomi, dapat disebut juga sejarah sosial ekonomi. Sejarah sosial juga mengambil tema-tema seperti kemiskinan, perbanditan, kekerasan, kriminalitas, pertumbuhan penduduk, migrasi dan urbanisasi.35 Perbanditan terjadi di Yogyakarta bagian dari Vorstenlanden dengan kehidupan penduduknya bertani tahun 1860-an. Perbanditan atau lebih dikenal dengan kecu adalah perampokan yang dilakukan lebih dari lima orang dengan korban orang-orang perkebunan dan orang Cina. Perbanditan ini berdampak pada keadaan sosial dan ekonomi masyarakat Yogyakarta.36Pendekatan sosial digunakan untuk mengetahui dampak sosial dari perubahan sistem pertanian di Kabupaten Sleman.

H. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi yang berjudul “Perubahan Sistem Pertanian dan Dampaknya terhadap Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat di Kabupaten Sleman Tahun 1961-1976”. Secara sistematis terdiri dari lima bab. Untuk memperoleh

35 Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), hlm. 39-41.

(45)

gambaran yang jelas tentang skripsi ini, maka penulis akan memberikan gambaran singkat tentang sistematika penulisan sebagi berikut.

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini dipaparkan mengenai: latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, historiografi yang relevan, metode penelitian dan pendekatan penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II GAMBARAN UMUM KABUPATEN SLEMAN

Bab ini memaparkan tentang gambaran umum kabupaten Sleman. Gambaran umum tersebut meliputi keadaan geografis, karakteristik wilayah, keadaan demografi, dan keadaan sosial ekonomi.

BAB III PERUBAHAN SISTEM PERTANIAN DI KABUPATEN SLEMAN Bab ini memaparkan tentang aktivitas erupsi Gunung Merapi tahun 1961-1976. Kemudian sistem pertanian di kabupaten Sleman sebelum tahun 1961. Terakhir membahas tentang sistem pertanian di kabupaten Sleman tahun 1961-1976.

BAB IV DAMPAK PERUBAHAN SISTEM PERTANIAN TERHADAP MASYARAKAT DI KABUPATEN SLEMAN

Bab ini memaparkan tentang dampak perubahan sistem pertanian di kabupaten Sleman, baik dampak sosial maupun dampak ekonomi.

BAB V KESIMPULAN

(46)

22 A. Latar Belakang Sejarah

Nama “Sleman” berasal dari kata “Saliman” atau “Salimar” yang berarti “Gajah”. Penemuan prasasti bertuliskan “Sa Sima” yang berarti dimedakakan

dengan angka tahun 700 Masehi ditemukan tahun 1963. Reorganisasi besar-besaran sebagai akibat menyusutnya wilayah Kasultanan Yogyakarta tahun 1831, yang terbagi dalam 3 kawasan yaitu:1

1. Mataram yang terletak di Yogyakarta bagian tengah antara Kali Progo dan Kali Opak (termasuk daerah Sleman) sebagai daerah “Negoro-Gung” diperuntukkantanah lungguh2kraton

2. Kulon Progo yang diperuntukkan sebagai tanah lungguh Adipati Anom dan

tanah pamajegan dalem3

3. Gunungkidul yang diperuntukkan sebagaitanah pamajegan dalem

Reorganisasi daerah Mataram menjadi kabupaten, yaitu Kalasan, Sleman, dan Bantul tahun 1916. Reorganisasi kembali terjadi dan membagi Yogyakarta bagian tengah menjadi 2 kabupaten, yaitu Yogyakarta dan Bantul tahun 1927. Reorganisasi yang terakhir pada zaman penjajahan Belanda terjadi pada tahun

1 Biro Hubungan Masyarakat, Kabupaten Sleman, (Yogyakarta: Biro Hubungan Masyarakat, tt), hlm. 1.

2 Tanah lungguh adalah tanah garapan yang diberikan kepada pegawai kerajaan sebagai pengganti gaji sesuai dengan kebutuhannya atau jabatannya.

(47)

1940 yang membagi wilayah Kasultanan Yogyakarta menjadi 4 kabupaten, yaitu Yogyakarta, Bantul, Kulon Progo, dan Gunungkidul. penggabungan wilayah Kasultanan dan Pakualaman yang terbagi dalam 6 kabupaten, yaitu Yogyakarta, Sleman, Bantul, Gunungkidul, Kulon Progo, dan Adikarto pada masa pendudukan Jepang tahun 1945. Kabupaten Sleman dibentuk berdasarkan Undang-undang No. 15 tahun 1950 berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 32 tahun 1950. Kabupaten Kulon Progo dan Adikarto digabungkan menjadi Kabupaten Kulon Progo pada tahun 1951.4

Keberadaan Kabupaten Sleman dapat diketahui dalam Rijksblad No. 11 tahun 1916 tanggal 15 Mei 1916 yang membagi wilayah Kasultanan Yogyakarta dalam 3 Kabupaten, yakni Kalasan, Bantul, dan Sulaiman (yang kemudian disebut Sleman). Rijksblad juga disebutkan bahwa Kabupaten Sulaiman (Sleman) terdiri dari 4distrikyakni:5

1. Distrik Mlati terdiri 5onderdistrikdan 46 kelurahan 2. Distrik Klegoeng terdiri 6onderdistrikdan 52 kelurahan 3. Distrik Joemeneng terdiri 6onderdistrikdan 58 kelurahan 4. Distrik Godean terdiri 8onderdistrikdan 55 kelurahan

Berdasarkan Perda No.12 tahun 1998, tanggal 15 Mei tahun 1916 akhirnya ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Sleman. Menurut Almanak6, hari tersebut

4Biro Hubungan Masyarakat,loc.cit.

5 “Kabupaten Sleman”, http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Sleman diakses 24 Maret 2015.

(48)

tepat pada hari Senin Kliwon, tanggal 12 Rejeb. Berdasar pada perhitungan tahun masehi, hari jadi Kabupaten Sleman ditandai dengan surya sengkala7

"Rasa Manunggal Hanggatra Negara" yang memiliki sifat bilangan Rasa = 6, Manunggal = 1, Hanggatra = 9, Negara = 1, sehingga terbaca tahun 1916. Sengkalan tersebut, walaupun melambangkan tahun, memiliki makna yang jelas bagi masyarakat Jawa, yakni dengan rasa persatuan membentuk negara. Sedangkan dari perhitungan tahun Jawa diperoleh candra sengkala8 "Anggana Catur Salira Tunggal". Anggana = 6, Catur = 4, Salira = 8, Tunggal = 1. Dengan demikian dari candra sengkala tersebut terbaca tahun 1846.9

Kabupaten Sleman diturunkan statusnya menjadi distrik di bawah wilayah Kabupaten Yogyakarta dan pada tanggal 8 April 1945, Sri Sultan Hamengkubuwono IX melakukan penataan kembali wilayah Kasultanan Yogyakarta melalui Jogjakarta Koorei10 angka 2 (dua). Penataan ini menempatkan Sleman pada status semula, sebagai wilayah Kabupaten dengan Kanjeng Raden Tumenggung Pringgodiningrat sebagai bupati. Wilayah Sleman membawahi 17 kapenewon/kecamatan (son) yang terdiri dari 258 kelurahan (Ku). Ibu kota kabupaten berada di wilayah utara, yang saat ini dikenal sebagai Desa 7 Sengkala atau sengkalan adalah angka tahun yang disimbolkan dengan kata-kata, gambar, atau benda. Sengkala dapat terwujud, karena dalam budaya Jawa masing-masing benda, sifat, atau kondisi alam memiliki angka. Menurut jenis kalender yang digunakan, terdapat surya sengkala dan candra sengkala.

Surya sengkala menggunakan kalender berdasarkan perhitungan matahari. “Sengkala”,http://id.wikipedia.org/wiki/Sengkala diakses 4 Mei 2015.

8 Candra sengkala menggunakan perhitungan bulan, seperti tahun saka, tahun Jawa, atau tahun Hijriah.

9

Biro Hubungan Masyarakat,loc.cit. 10Jogjakarta Koorei

(49)

Triharjo, melalui Maklumat Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 5 tahun 1948 tentang perubahan daerah-daerah kelurahan, maka 258 kelurahan di Kabupaten Sleman saling menggabungkan diri hingga menjadi 86 kelurahan/desa. Kelurahan/desa tersebut membawahi 1.212 padukuhan.11

B. Keadaan Geografis 1. Letak Wilayah

Yogyakarta disebut Daerah Istimewa karena pada mulanya merupakan daerah berpemerintahan sendiri (swapraja). Kota ini merupakan satuan pemerintahan sendiri, sedangkan daerah-daerah lainnya dibagi menjadi empat kabupaten: Kulon Progo di sebelah barat, Sleman di sebelah utara, Bantul di tengah bagian selatan, dan Gunungkidul di selatan dan timur.12

Secara geografis Daerah Tingkat II Sleman terletak di bagian utara Daerah Istimewa Yogyakarta bentuknya mirip segitiga dengan puncaknya Gunung Merapi setinggi 2.911 m di atas permukaan laut dan wilayah ini termasuk daerah Hinterland13. Secara geografis daerah ini terletak pada posisi 7o 34' 51" 7o 03" Lintang Selatan dan 107o15'03-110o28'30"Bujur Timur. Adapun batas-batasnya sebelah utara Kabupaten Daerah Tingkat II Magelang dan Boyolali, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Klaten, sebelah tenggara Kabupaten Gunung Kidul

11Biro Hubungan Masyarakat,loc.cit.

12Selo Soemardjan,Perubahan Sosial di Yogyakarta, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1981), hlm. 15.

(50)

dan sebelah selatan Kabupaten Bantul dan Kota Madya Yogyakarta serta sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Kulon Progo.14

2. Luas Wilayah

Luas wilayah Kabupaten Sleman adalah 57.482 ha atau 574,82 km2 atau sekitar 18% dari luas wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang seluas 3.185,80 km2. Jarak terjauh utara-selatan wilayah Kabupaten Sleman 32 km, sedangkan jarak terjauh timur-barat 35 km. Secara administratif, Kabupaten Sleman terdiri atas 17 wilayah kecamatan, 86 desa, dan 1.212 Padukuhan. Kecamatan dengan wilayah paling luas adalah Cangkringan (4.799 ha), dan yang paling sempit adalah Berbah (2.299 ha). Kecamatan dengan padukuhan terbanyak adalah Tempel (98 padukuhan), sedangkan kecamatan dengan padukuhan paling sedikit adalah Turi (54 padukuhan). Kecamatan dengan Desa terbanyak adalah Tempel (8 desa), sedangkan Kecamatan dengan Desa paling sedikit adalah Depok (3 desa). Pembagian wilayah administrasi Kabupaten Sleman dapat dilihat pada tabel berikut ini.

14

(51)
[image:51.595.112.512.151.491.2]

Tabel 1

Pembagian Wilayah Administrasi Kabupaten Sleman

No. Kecamatan Banyaknya Luas (Ha)

Desa Padukuhan

1. Moyudan 4 65 2.762

2. Minggir 5 68 2.727

3. Seyegan 5 67 2.663

4. Godean 7 77 2.684

5. Gamping 5 59 2.925

6. Mlati 5 74 2.852

7. Depok 3 58 3.555

8. Berbah 4 58 2.299

9. Prambanan 6 68 4.135

10. Kalasan 4 80 3.584

11. Ngemplak 5 82 3.571

12. Ngaglik 5 87 3.852

13. Sleman 6 83 3.132

14. Tempel 8 98 3.249

15. Turi 4 54 4.309

16. Pakem 5 61 4.384

17. Cangkringan 5 73 4.799

Jumlah 86 1.212 57.482

Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Sleman, 2010. 3. Topografi

(52)
[image:52.595.112.512.205.586.2]

Ketinggian wilayahnya dapat dibagi menjadi 4 kelas dapat dilihat pada tabel berikut ini.15

Tabel 2

Ketinggian Wilayah Kabupaten Sleman

No. Kecamatan

< 100 m 100-499 500-999 > 1.000 Jumlah

dpl m dpl m dpl m dpl (Ha)

(ha) (ha) (ha) (ha)

1. Moyudan 2.407 355 - - 2.762

2. Minggir 357 2.370 - - 2.727

3. Godean 209 2.475 - - 2.684

4. Seyegan - 2.663 - - 2.663

5. Tempel - 3.172 77 - 3.249

6. Gamping 1.348 1.577 - - 2.925

7. Mlati - 2.852 - - 2.852

8. Sleman - 3.132 - - 3.132

9. Turi - 2.076 2.155 78 4.309

10. Pakem - 1.664 1.498 1.222 4.384

11. Ngaglik - 3.852 - - 3.852

12. Depok - 3.555 - - 3.555

13. Kalasan - 3.584 - - 3.584

14. Berbah 1.447 852 - - 2.299

15. Prambanan 435 3.700 - - 4.135

16. Ngemplak - 3.571 - - 3.571

17. Cangkringan - 1.796 2.808 195 4.799

Jumlah 6.203 43.246 6.538 1.495 57.482

Prosentase 10,79 75 11,38 2,6 100

Sumber: Dinas Pengendalian Pertanian Kabupaten Sleman, 2010. 4. Geohidrologi

Kondisi geologi di Kabupaten Sleman didominasi oleh keberadaan Gunung Merapi dengan dan merupakan gunung berapi paling aktif di Indonesia. Adanya Gunung merapi membuat wilayah ini sangat subur. Lava dan debu akibat

(53)

erupsi berubah menjadi tanah yang amat subur dan menguntungkan untuk kaum petani.16

Kabupaten Sleman terdapat 4 jalur mata air (springbelt) yaitu: jalur mata air Bebeng, jalur mata air Sleman-Cangkringan, jalur mata air Ngaglik dan jalur mata air Yogyakarta. Mata air ini telah banyak dimanfaatkan untuk sumber air bersih maupun irigasi. Kabupaten Sleman terdapat 154 sumber mata air, yang airnya mengalir ke sungai-sungai utama yaitu sungai Boyong, Kuning, Gendol, dan Krasak.

5. Jenis Tanah

Sebagian besar tanah di wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman adalah regosol yang terletak di kaki Gunung Merapi, dari sekitar Kota Madya Yogyakarta hingga Kaliurang jenis tanahnya regosol17 agak kelabu. Bagian tenggara Kecamatan Prambanan tanahnya berjenis gromosol18 kelabu tua dan

litosol19. Sedangkantanah aluvial20kelabu dan aluvialcoklat keabu-abuan ada di

16Selo Soemardjan,op.cit., hlm. 14.

17 Tanah Regosol adalah tanah yang berbutir kasar dan berasal dari material gunung api. Tanah regosol berupa tanah aluvial yang baru diendapkan. Material jenis tanah ini berupa abu vulkanik dan pasir vulkanik. Jenis tanah ini terdapat di daerah iklim beragam dengan permukaan yang bergelombang. Tanah regosol dapat dimanfaatkan untuk tanaman tembakau, kelapa, sayuran, dan tebu.

18 Tanah gromosol adalah jenis tanah yang terdapat di daerah yang memiliki rata-rata curah hujan tahunan antara 1.000 mm sampai dengan 2.000 mm. Tanah gromosol dapat dimanfaatkan untuk tanaman padi, jagung, kapas, dan kedelai.

(54)

bagian barat tepi Kali Progo sekitar Kecamatan Minggir. Mediteran coklat tua di sekitar Kecamatan Godean asosiasi litosol kuning dan renzina21 ada di sekitar Moyudan.

6. Luas dan Komposisi Tanah

Luas keseluruhan Kabupaten Sleman 574,82 km2 terbagi atas 17 kecamatan, 86 kelurahan, dan 1.207 padukuhan, 20% merupakan daerah perkotaan dan 80% daerah pedesaan hampir separuh dari luas wilayah merupakan daerah pertanian yang subur dengan komposisi penggunaan sebagai berikut:22 sawah dengan luas 27.387 ha, tegal seluas 6.915 ha, pekarangan seluas 16.110 ha, hutan seluas 1.545 ha, dan ain-lain seluas 5.609 ha.

7. Keadaan Iklim

Kabupaten Sleman terletak pada iklim hujan seperti pada daerah yang lain. Musim hujan dari bulan Oktober sampai April saat bertiup angin muson barat daya dengan arah 200o bersifat basah. Curah hujan tertinggi pada bulan April sampai Oktober saat bertiup angin muson tenggara yang agak kering dengan arah 90osampai 140odengan kecepatan 15-16 knot per jam, hujan terendah pada bulan

20 Tanah aluvial adalah tanah yang terbentuk akibat proses pengendapan kerikil, pasir, dan lumpur yang terangkut oleh angin, air, dan sungai menuju pantai. Tanah aluvial dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku bangunan.

21Tanah renzinaadalah tanah hasil pelapukan batuan kapur di daerah yang memiliki curah hujan yang tinggi. Tanah renzina memiliki warna hitam sedikit unsur hara. Tanah renzina banyak terdapat di daerah bergamping seperti di Gunung Kidul, Yogyakarta.

22

(55)

Juni dan Juli. Kelembaban udara dengan intensitas rata-rata per bulan sebesar 78% dan tekanan udara 1.007 mbs.23

C. Karakteristik Wilayah

Karakteristik wilayah di Kabupaten Sleman dibagi menjadi tiga, yaitu: karakteristik sumber daya, karakteristik jalur lintas antar daerah, dan karakteristik fungsi kota.24

1. Berdasarkan karakteristik sumber daya wilayah Kabupaten Sleman terbagi menjadi 4 kawasan, yaitu:

a. Kawasan Lereng Gunung Merapi, dimulai dari jalan yang menghubungkan kota Tempel, Pakem, dan Cangkringan (ringbelt) sampai dengan puncak Gunung Merapi. Wilayah ini merupakan sumber daya air dan ekowisata yang berorientasi pada kegiatan Gunung Merapi dan ekosistemnya

b. Kawasan Timur meliputi Kecamatan Prambanan, sebagian Kecamatan Kalasan, dan Kecamatan Berbah. Wilayah ini merupakan tempat peninggalan purbakala (candi) yang merupakan pusat wisata budaya dan daerah lahan kering serta sumber bahan batu putih

23Ibid.

24 “Kondisi Pertanian Kabupaten Sleman”,

(56)

c. Wilayah Tengah yaitu wilayah aglomerasi kota Yogyakarta yang meliputi Kecamatan Mlati, Sleman, Ngaglik, Ngemplak, Depok, dan Gamping. Wilayah ini merupakan pusat pendidikan, perdagangan dan jasa

d. Wilayah Barat meliputi Kecamatan Godean, Minggir, Seyegan, dan Moyudan, merupakan daerah pertanian lahan basah yang tersedia cukup air dan sumber bahan baku kegiatan industri kerajinan mendong, bambu, serta gerabah

2. Berdasar jalur lintas antar daerah, kondisi wilayah Kabupaten Sleman dilewati jalur jalan negara merupakan jalur ekonomi yang menghubungkan Sleman dengan kota-kota pelabuhan utama (Semarang, Surabaya, dan Jakarta). Jalur ini melewati wilayah Kecamatan Prambanan, Kalasan, Depok, Mlati, Tempel, dan Gamping. Selain itu, wilayah Kecamatan Depok, Mlati, dan Gamping jalan arteri primer, sehingga kecamatan-kecamatan tersebut menjadi wilayah yang cepat berkembang, yaitu dari pertanian menjadi industri, perdagangan, dan jasa.

3. Berdasarkan pusat-pusat pertumbuhan, wilayah Kabupaten Sleman merupakan wilayah hulu kota Yogyakarta. Berdasar letak kota dan mobilitas kegiatan masyarakat, dapat dibedakan fungsi kota sebagai berikut.

(57)

b. Wilayah Sub-Urban (wilayah perbatasan antara desa dan kota) meliputi kota Kecamatan Godean, Sleman, dan Ngaglik terletak agak jauh dari kota Yogyakarta dan berkembang menjadi tujuan kegiatan masyarakat di wilayah kecamatan sekitarnya, sehingga menjadi pusat pertumbuhan c. Wilayah Fungsi Khusus/Wilayah Penyangga (buffer zone) meliputi

kecamatan Tempel, Pakem, dan Prambanan yang merupakan pusat pertumbuhan bagi wilayah sekitarnya

D. Keadaan Demografi 1. Kondisi Kependudukan

Kabupaten Sleman dengan luas wilayah 574,82 km2 sejak tahun 1960 sampai akhir 1976 jumlah penduduknya terus meningkat yaitu tahun 1960 sebanyak 518.911 dan pada akhir 1976 sebanyak 624.523. Angka ini menunjukkan bahwa ratio antara jumlah penduduk terhadap luas daerah sudah cukup tinggi, mengingat Kabupaten Sleman sebagai daerah agraris. Berikut ini beberapa tabel jumlah penduduk di Kabupaten Sleman:

a. Perkembangan jiwa dan kepala keluarga di Kabupaten Sleman pada tiap-tiap akhir tahun 1960-1966

(58)
[image:58.595.112.511.255.456.2]

adanya korban meninggal akibat erupsi Merapi. Banyaknya penduduk yang ikut transmigrasi untuk menghindari daerah bahaya Merapi juga menyebabkan penurunan jumlah penduduk. Perkembangan jiwa dan kepala keluarga dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 3

Perkembangan Jiwa dan Kepala Keluarga di Kabupaten Sleman

Akhir

Djiwa Tambah % Kepala

Keluarga Tambah

% Tahun

1960 518.911 - - 130.455 -

-1961 526.597 7.686 1,48 132.089 1.634 1,25

1962 524.707 -1.890 -0,35 134.588 2.499 1,89

1963 532.082 7.375 1,4 136.357 1.769 1,31

1964 540.108 8.026 1,5 137.584 1.227 0,89

1965 551.453 11.345 2,1 141.012 3.428 2,49

1966 562.792 11.339 2,05 140.414 -598 -0,42

Sumber: Biro Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta, Statistik Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 1964-1966, (Yogyakarta: Biro Statistik, 1967), hlm 31.

b. Perkembangan jiwa dan kepala keluarga di Kabupaten Sleman pada tahun 1960-1969

(59)
[image:59.595.114.512.154.559.2]

Tabel 4

Perkembangan Jiwa dan Kepala Keluarga di Kabupaten Sleman

Tahun

Penduduk/Kepala Keluarga

pada Achir Tahun

Laki-laki Perempuan Djumlah

1960 a 250.014 268.897 518.911

b 100.328 30.127 130.455

1961 a 253.855 272.742 526.597

b 101.833 30.256 132.089

1962 a 252.796 271.911 524.707

b 103.388 31.200 134.588

1963 a 257.089 274.993 532.082

b 104.982 31.375 136.357

1964 a 261.358 278.750 540.108

b 105.888 31.696 137.584

1965 a 266.971 284.482 551.453

b 108.871 32.141 141.012

1966 a 272.403 289.840 562.243

b 110.228 32.316 142.544

1967 a 279.271 295.006 574.277

b 109.090 32.294 141.384

1968 a 284.137 300.992 585.129

b 107.977 32.428 140.405

1969 a 287.781 303.062 592.843

b 108.256 31.841 140.097

Keterangan: a = jiwa, b = kepala keluarga

Sumber: Biro Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta,Statistik Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 1969, (Yogyakarta: Biro Statistik, 1970), hlm 32.

c. Perkembangan penduduk Kabupaten Sleman pada tahun 1963-1972

(60)
[image:60.595.112.510.148.549.2]

Tabel 5

Perkembangan Penduduk di Kabupaten Sleman

Tahun

Penduduk/Kepala Keluarga

pada Akhir Tahun

Laki-laki Perempuan Jumlah

1963 a 257.089 274.993 532.082

b 104.982 31.375 136.357

1964 a 261.358 278.750 540.108

b 105.888 31.696 137.584

1965 a 266.971 284.482 551.543

b 108.871 32.141 141.012

1966 a 272.403 289.840 562.243

b 110.228 32.316 142.544

1967 a 279.271 295.006 574.277

b 109.090 32.294 141.384

1968 a 284.137 300.992 585.129

b 107.977 32.428 140.405

1969 a 287.781 305.062 592.843

b 108.256 31.841 140.097

1970 a 289.169 306.307 595.476

b 107.439 31.063 138.502

1971 a 287.800 304.173 591.973

b 106.110 29.374 135.484

1972 a 287.488 304.752 592.240

b 104.047 28.791 132.838

Sumber: Biro Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta,Statistik Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 1972, (Yogyakarta: Biro Statistik, 1973), hlm 82.

d. Penduduk Kabupaten Sleman pada tahun 1967-1976

(61)
[image:61.595.112.512.146.549.2]

Tabel 6

Penduduk di Kabupaten Sleman

Tahun

Penduduk/Kepala Keluaga

pada Akhir Tahun

Laki-laki Perempuan Jumlah

1967 a 279.271 295.006 574.277

b 109.090 32.294 141.384

1968 a 284.137 300.992 585.129

b 107.977 32.428 140.405

1969 a 287.781 305.062 592.843

b 108.256 31.841 140.097

1970 a 289.169 306.307 595.476

b 107.439 31.063 138.502

1971 a 287.800 304.173 591.973

b 106.110 29.374 135.484

1972 a 287.488 304.752 592.240

b 104.047 28.791 132.838

1973 a 291.306 308.891 600.197

b 104.222 28.832 133.054

1974 a 194.956 312.707 507.663

b 104.302 28.926 133.228

1975 a 299.411 316.906 616.317

b 104.399 29.174 133.573

1976 a 303.358 321.165 624.523

b 104.683 29.559 134.242

(62)

2. Penyebaran Penduduk

[image:62.595.109.513.284.641.2]

Sensus penduduk di Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 1961 sebanyak 2.410.000 orang, tahun 1971 sebanyak 2.488.544 orang, dan tahun 1980 sebanyak 2.750.128 orang.25Sensus penduduk di Kabupaten Sleman sebagai berikut.

Tabel 7

Penduduk Hasil Sensus dan Pendaftaran Rumah Tangga di Kabupaten Sleman

No. Kecamatan Oktober 1961 Juli 1968 Juli 1970 Oktober

1971

1. Sleman 30.282 39.473 41.879 43.077

2. Mlati 36.828 38.583 40.313 40.995

3. Gamping 35.297 37.835 39.453 40.649

4. Godean 5.441 5.712 5.686 5.822

5. Moyudan 27.964 28.746 29.106 29.371

6. Minggir 28.669 29.752 30.675 30.493

7. Seyegan 31.837 32.405 33.111 33.630

8. Tempel 33.995 36.455 38.030 38.504

9. Turi 24.218 24.911 24.929 25.576

10. Pakem 18.301 26.426 19.523 25.912

11. Cangkringan 20.695 22.698 22.646 22.779

12. Ngemplak 29.993 24.822 31.659 32.211

13. Ngaglik 25.201 35.446 36.539 37.413

14. Depok 30.589 35.632 25.677 46.786

15. Kalasan 34.966 37.405 38.384 38.705

16. Berbah 25.614 27.471 28.769 29.305

17. Prambanan 30.335 31.972 32.513 33.116

Jumlah 470.255 515.744 518.892 944.344

Sumber: Biro Statistik dan Kantor Sensus Daerah Istimewa Yogyakarta, Statistik Berbagai Segi Indikator Sosial dan Ekonomi Daerah Istimewa Yogyakarta 1973, (Yogyakarta: Biro Statistik dan Kantor Sensus, 1975), hlm 315-316.

25 Kantor Pusat Data Provinsi DIY, Monografi Daerah Istimewa

(63)
[image:63.595.109.510.151.518.2]

Tabel 8

Penyebaran Penduduk per Kecamatan

No. Kecamatan Hasil Sensus

Penduduk 1980

1. Moyudan 30.444

2. Minggir 31.056

3. Seyegan 36.524

4. Godean 44.137

5. Gamping 48.514

6. Mlati 50.328

7. Depok 82.661

8. Berbah 32.515

9. Prambanan 37.322

10. Kalasan 43.543

11. Ngemplak 35.732

12. Ngaglik 42.471

13. Sleman 45.285

14. Tempel 40.076

15. Turi 26.037

16. Pakem 26.762

17. Cangkringan 23.916

Jumlah 677.323

Sumber: Kantor Statistik Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Penduduk Kabupaten Sleman: Hasil Sensus Penduduk 1990, (Yogyakarta: Kantor Statistik, 1991), hlm 35-51.

3. Mata Pencaharian Penduduk

Berdasarkan hasil sensus 1971 potensi angkatan kerja atau penduduk usia kerja yang berumur 10 tahun ke atas di Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman berjumlah 425.092 jiwa.26 Jumlah angkatan kerja usia 15-64 tahun berjumlah 315.622 jiwa berdasarkan hasil sensus tahun 1971. Usia pendidikan 5-24 tahun berjumlah 253.686 jiwa. Usia 65 tahun ke atas berjumlah 31.420 jiwa. Usia 15

26

(64)

tahun ke bawah berjumlah 241.262 jiwa. Wanita yang bekerja dari usia 15-49 tahun berjumlah 12.422 jiwa.27

4. Struktur Perekonomian Daerah

Peranan dari masing-masing kegiatan ekonomi terhadap pembentukan PDRB (Produk Domestik Regional Bruto), sektor pertanian ternyata masih merupakan sekt

Gambar

Tabel 1
Tabel 2Ketinggian Wilayah Kabupaten Sleman
Tabel 3Perkembangan Jiwa dan Kepala Keluarga
Tabel 4Perkembangan Jiwa dan Kepala Keluarga
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah membangun sistem klasifikasi multi-label dengan menggunakan TAN, menganalisis pengaruh penggunaan MI dalam pemabngunan struktur TAN,

Berdasarkan identifikasi hasil pengolahan data menggunakan integrasi SERVQUAL dan Model Kano, pemilihan atribut kebutuhan dengan mempertimbangkan keluhan customer kafe

• Pasien posisi terlentang, buka jalan nafasnya dengan tehnik head tilt chin lift atau Jaw thrust • berikan nafas buatan sambil melihat pengembangan dada untuk meyakinkan bahwa

Berdasarkan hal tersebut (Gambar 1) baik pada kelas kontrol maupun kelas eksperimen memiliki skor rata-rata information processing yang lebih tinggi bila

Hasil percobaan menunjukkan tingkat naungan dan cekaman air berpengaruh nyata pada beberapa variabel pengamatan, yaitu Laju Pertumbuhan Relatif, bobot segar, bobot kering, dan

Rumusan masalah umum penelitian ini adalah “ “apakah implementasi supervisi akademik kepala sekolah dalam peningkatan profesionalisme guru di SMP Negeri 7 seluma telah

Program- program acara di stasiun Nyenyes TV antara lain adalah mengulas tentang bahasa- bahasa Palembang, jajanan Palembang, sitkom-sitkom, film pendek maupun karya- karya

On behalf of Universitas Gadjah Mada, I am happy to welcome you and present a high appreciation for your participation in joining the 6th International Seminar on Tropical Animal