• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Model Inkuiri Ilmiah Dan Inkuiri Terbimbing Terhadap Peningkatan Keterampilan Proses Sains Dan Penguasaan Konsep Siswa SMP Pada Materi Kalor Dalam Kehidupan.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Model Inkuiri Ilmiah Dan Inkuiri Terbimbing Terhadap Peningkatan Keterampilan Proses Sains Dan Penguasaan Konsep Siswa SMP Pada Materi Kalor Dalam Kehidupan."

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan memegang peranan yang penting dalam meningkatkan kualitas

sumber daya manusia untuk menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi yang terjadi secara terus menerus. Pendidikan yang baik akan

mengarahkan tenaga kerja yang handal dan mampu melaksanakan berbagai

kegiatan dalam rangka memacu pembangunan di berbagai bidang. Pendidikan

yang baik juga akan meningkatkan daya saing anak bangsa dalam kancah

pergaulan global.

Dalam mewujudkan pendidikan yang berkualitas, pemerintah telah

melakukan pembenahan dan peningkatan mutu pendidikan melalui kurikulum

pendidikan di Indonesia yang dikenal dengan Kurikulum 2013. Kurikulum 2013

memiliki tujuan utama yakni menjadikan siswa lebih aplikatif dan berkarakter

dalam pembelajaran. Siswa dituntut melalui pembelajaran yang berbasis konteks

yang mengarahkan siswa mampu memiliki sikap ilmiah dan menguasai ilmu yang

dipelajarinya serta dapat mengaplikasikan ilmu tersebut agar merasakan

manfaatnya.

Salah satu mata pelajaran yang di atur di dalam kurikulum 2013 tingkat

Sekolah Menengah Pertama atau Madrasah Tsanawiyah adanya mata pelajaran

IPA terpadu. Pembelajaran IPA sangat erat kaitannya dengan pemahaman konsep

dan kemampuan berinkuiri. Kementerian Pendidikan Nasional (2013) menyatakan

bahwa :

“Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan suatu kumpulan pengetahuan yang tersusun secara sistematis dan dalam penggunaanya secara umum terbatas pada gejala-gejala alam. Perkembangan IPA tidak hanya ditandai oleh adanya kumpulan fakta, tetapi memunculkan “metode ilmiah (scientific methods) yang terwujud melalui suatu rangkaian “ kerja ilmiah” (working scientifically), nilai dan “sikap ilmiah” (scientific attitudes)”.

Pembelajaran IPA merupakan pembelajaran yang berbasis keterpaduan.

Pembelajaran IPA di SMP dikembangkan sebagai mata pelajaran IPA terpadu

(2)

berorientasi aplikatif, pengembangan kemampuan berpikir, kemampuan belajar,

rasa ingin tahu, dan pembangunan sikap peduli dan bertanggung jawab terhadap

lingkungan alam dan sosial. Menurut Joni dalam Trianto (2014) pembelajaran

terpadu suatu sistem pembelajaran yang memungkinkan siswa, baik secara

individual maupun kelompok, aktif mencari, menggali dan menemukan konsep

serta prinsip keilmuan secara holistik, bermakna dan otentik.

Pendidikan IPA diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik

untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan

lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari. Proses

pembelajarannya menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk

mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan memahami alam sekitar secara

ilmiah. Pendidikan IPA diarahkan untuk inkuiri dan berbuat sehingga dapat

membantu peserta didik untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam

tentang alam.

Secara umum, guru IPA harus mempunyai empat kompetensi yaitu

kompetensi pedagogi, professional, kepribadian dan sosial. Kompetensi spesifik

guru IPA juga tertuang dalam NSTA (2003) yang merekomendasikan Standards

for Science Teacher Preparation. Standar ini memuat sejumlah standar yang

harus dimiliki oleh guru Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) meliputi standar content,

nature of science, inquiry, Issues, general skill of teaching, curriculum, science in

the community, assessment, safety and welfare, professional growth. Standar ini

konsisten dengan visi dari NSES (National Science Education Standards). NSTA

(2003) juga merekomendasikan agar guru-guru IPA Sekolah Dasar dan Menengah

harus memiliki kemampuan interdisipliner IPA. Hal ini yang mendasari perlunya

guru IPA memiliki kompetensi dalam membelajarkan IPA secara terpadu

(terintegrasi), meliputi integrasi dalam bidang IPA, integrasi dengan bidang lain

seperti teknologi, kesehatan serta integrasi dengan pencapaian sikap, proses

ilmiah dan keterampilan.

Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang standar isi untuk satuan

sekolah dasar dan menengah, mengharapkan pembelajaran IPA/ sains dapat

menumbuhkan kemampuan berpikir, bekerja dan bersikap ilmiah serta

(3)

tujuan pembelajaran IPA terpadu sebagai upaya kerangka model proses

pembelajaran yaitu (1) meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembelajaran; (2)

meningktakan minat dan motivasi; (4) beberapa kompetensi.

Menyadari akan tujuan dan peranan mata pelajaran IPA tersebut maka

diperlukan suatu pembelajaran IPA yang efektif dan bermakna bagi siswa. Oleh

karena itu siswa perlu memahami dan menguasai IPA sehingga berbagai

kompetensi yang diharapkan dapat tercapai dengan baik dan optimal. Namun

masalah utama yang melanda dunia pendidikan Indonesia dewasa ini adalah

belum tercapainya tujuan pembelajaran IPA dan nilai-nilai ilmiah (kognitif,

afektif dan psikomotorik).

Berdasarkan fakta di salah satu SMP di kota Padang, peneliti menemukan

beberapa permasalahan khususnya dalam menerapkan kurikulum 2013. Di dalam

proses pembelajaran, aktivitas siswa terlihat kurang menggali informasi sendiri,

kurangnya keaktifan dan motivasi belajar. Siswa cenderung masih pada tahapan

mengingat konsep, rendahnya keaktifan dan motivasi siswa dalam belajar, karena

proses pembelajaran banyak didominasi oleh guru atau pembelajaran terjadi satu

arah (teacher center). Akibatnya adalah kurangnya pemahaman konsep dan

aktivitas belajar Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) pada siswa. Hal ini

mengakibatkan jika ada soal yang sedikit berbeda dengan contoh soal yang

diberikan oleh guru, maka siswa mengalami kesulitan dalam menyelesaikannya.

Lemahnya analisis siswa saat disajikan contoh lain dalam kehidupan sehari–hari,

menurut saya karena kecenderungan siswa dalam mengingat konsep yang

diungkapkan guru dan dibatasi dari sumber buku pegangan siswa. Masalah lain

yang ditemukan di lapangan diantaranya guru-guru yang belum kreatif dan efisien

dalam menggunakan fasilitas yang ada. Manajemen waktu dalam pembelajaran

yang dianggap sedikit, tuntutan materi yang dianggap padat, alat dan bahan yang

tersedia tidak memadai, keterbatasan keterampilan guru dalam merancang

pembelajaran inovatif, serta berbagai alasan lainnya.

Hal ini serupa dengan kondisi yang terjadi di beberapa sekolah lain, seperti

yang dilaporkan oleh beberapa peneliti berdasarkan hasil pengamatan di salah satu

SMA Negeri di kota Bandung (Rizal, 2013), salah satu SMA Swasta di kota

(4)

(Norhamidah, 2013). Hasil penelitian mereka mengungkapkan bahwa proses

pembelajaran yang terjadi di kelas lebih menekankan pada proses transfer

pengetahuan dari guru ke siswa, sehingga kurang menampakkan siswa untuk

membangun pengetahuan. Akibatnya ketika siswa lulus dari sekolah, mereka

tidak memahami makna dari teori yang dihafalnya tersebut. Hal ini

mengakibatkan rendahnya kemampuan kognitif siswa.

Rendahnya aktivitas, motivasi dan pengalaman kerja siswa dalam

menemukan konsep dan fakta tersebut tidak dapat dengan metode konvensional,

Hal ini sangat berpengaruh pada penguasaan konsep siswa dan Keterampilan

Proses Sains dalam menguasai materi kalor. Keterampilan Proses Sains yang

rendah dapat terlihat dengan kondisi kelas yang cenderung ribut saat

pembelajaran dan berpengaruh kepada pengausan konsep siswa nantinya. Adanya

pemikiran siswa yang menganggap bahwa materi kalor dalam kehidupan yang

merupakan bagian dari Ilmu Fisika, Biologi dan Kimia adalah pelajaran yang sulit

karena terkait dengan ranah abstrak (Rustaman, 2005). Hal ini akan berpengaruh

pada materi selanjutnya terutama pada bidang Kimia dan Fisika tingkat SMA.

Sesungguhnya sarana dan prasarana laboratorium di sekolah adalah

penunjang pembelajaran untuk mengajarkan kepada siswa kebenaran teori dengan

fakta dari hasil penyelidikan. Akan tetapi tidak semua sekolah melengkapi sarana

laboratorium tersebut atau tidak sepenuhnya dimanfaatkan oleh guru IPA di

sekolah. Diharapkan guru mampu bertindak kreatif dalam menunjang

pembelajaran agar praktikum dapat dilaksanakan walaupun dengan keterbatasan

alat dan bahan serta mengoptimalkan sarana laboratorium yang ada. Kurikulum

2013 yang mensyaratkan beberapa kompetensi dasar dapat dicapai dengan

melaksanakan beberapa kegiatan di laboratorium. Laboratorium adalah tempat

untuk menemukan teori keilmuan, pengujian teoretis, pembuktian uji coba,

penelitian, dan sebagainya dengan menggunakan alat bantu yang menjadi

kelengkapan dari fasilitas dengan kuantitas dan kualitas yang memadai.

Laboratorium IPA SMP merupakan tempat peserta didik melakukan kegiatan

penyelidikan yang dapat menghasilkan pengalaman belajar dimana peserta didik

berinteraksi dengan berbagai alat dan bahan untuk mengobservasi gejala-gejala

(5)

dipelajari (Nuh, 2014). Harapan adanya proses penyelidikan tersebut, agar

meningkatkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah dan memberikan

pengalaman langsung dalam proses pembelajaran untuk menemukan

konsep-konsep dalam tujuan pembelajaran

Salah satu cara dalam memperbaiki masalah di atas, maka dilakukan

proses pembelajaran melalui model inkuiri. Apabila mengacu kepada NRC

(2000), inkuiri memegang peranan penting dalam pembelajaran IPA. Inkuiri

diperlukan sebagai alat untuk mengukur Keterampilan Proses Sains (KPS) dan

penguasaan konsep berupa berfikir scientific, investigasi serta membangun

konsep. Di samping itu inkuiri dibangun berdasarkan pemahaman bahwa

pembelajaran IPA pada hakekatnya adalah pembelajaran yang meliputi konten

dan proses serta sikap.

Faktor-faktor penyebab dari rendahnya pengusaan konsep dan

Keterampilan Proses Sains siswa dalam belajar IPA khususnya materi kalor dalam

kehidupan, maka peneliti tertarik untuk melakukan upaya perbaikan dengan

menggunakan perbandingan dua model yaitu inkuiri ilmiah dan inkuiri terbimbing

dengan bantuan praktikum dan diskusi kelas. Melalui model inkuiri ilmiah dan

inkuiri terbimbing sehingga diharapkan mampu meningkatkan penguasaan konsep

dan Keterampilan Proses Sains siswa.

Inkuiri ilmiah menurut Huann. dkk (2009) adalah suatu tahapan atau

proses menggali informasi melalui penyelidikan atau observasi yang dilakukan

secara ilmiah melalui suatu pengamatan atau fenomena yang terjadi berdasarkan

penalaran dan kreativitas siswa. Inkuiri ilmiah merupakan bagian dari jenis model

inkuiri bebas termodifikasi. inkuiri terbimbing merupakan inkuiri yang digunakan

karena pada pelaksanaannya guru memberikan bimbingan atau petunjuk yang

cukup luas kepada siswa dalam merencanakan eksperimen dan perumusan

kegiatan. Dengan adanya penggunaan model inkuiri ilmiah dan inkuiri terbimbing

maka siswa akan menikmati proses pembelajaran tersebut sehingga dapat diamati

melalui Keterampilan Proses Sains siswa (KPS) dan hasil pembelajaran tersebut

dapat diukur dengan penguasaan konsep. Keterampilan Proses Sains merupakan

keterampilan kognitif yang melibatkan keterampilan penalaran fisik seseorang

(6)

menyempurnakan suatu gagasan yang sudak terbentuk (Trianto, 2014). Jadi,

Keterampilan Proses Sains menekankan pada bagaimana siswa belajar, bagaimana

mengelola informasi, sehingga dipahami dan dapat dipakai sebagai bekal untuk

memenuhi kebutuhan dalam kehidupannya di masyarakat. Penguasaan konsep

adalah suatu kemampuan individu dalam menerangkan sesuatu dengan bahasa

sendiri atau mengenal sesuatu yang dinyatakan dengan kata-kata yang berbeda

dengan kata-kata dalam buku teks terkait dengan konsep yang akan dicapai.

Berdasarkan paparan di atas, peneliti merealisasikan upaya tersebut dalam

suatu penelitian dengan judul “Pengaruh model pembelajaran inkuiri ilmiah dan

inkuiri terbimbing terhadap peningkatan Keterampilan Proses Sains dan

penguasaan konsep siswa SMP pada materi kalor dalam kehidupan”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, maka

rumusan masalah dalam penelitian adalah

1. Bagaimanakah peningkatan Keterampilan Proses Sains siswa yang

memperoleh pembelajaran model inkuiri terbimbing dengan model inkuiri

ilmiah?

2. Bagaimanakah peningkatan penguasaan konsep siswa yang memperoleh

pembelajaran model inkuiri terbimbing dengan model inkuiri ilmiah ?

3. Bagaimanakah tanggapan siswa dan guru terhadap model inkuiri ilmiah

dan model inkuiri terbimbing?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini

adalah:

1. Menganalisis pengaruh model inkuiri ilmiah dan inkuiri terbimbing

terhadap peningkatan Keterampilan Proses Sains siswa.

2. Menganalisis pengaruh model inkuiri ilmiah dan inkuiri terbimbing

terhadap peningkatan penguasaan konsep siswa.

3. Menganalisis tanggapan siswa dan guru terhadap model inkuiri ilmiah

(7)

4. Menganalisis perbedaan peningkatan Keterampilan Proses Sains siswa

setelah mendapatkan pembelajaran dengan model pembelajaran inkuiri

ilmiah dan model inkuiri terbimbing.

5. Menganalisis perbedaan peningkatan penguasaan konsep siswa setelah

mendapatkan model pembelajaran inkuiri ilmiah dengan model inkuiri

terbimbing.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memberikan manfaat atau kontribusi berbagai kalangan

yakni :

1. Bagi guru, model ini diharapkan mampu menjadi alternatif dalam

meningkatkan Keterampilan Proses Sains siswa dan penguasaan konsep.

2. Bagi siswa, model ini diharapkan dapat membantu mengembangkan

Keterampilan Proses Sains siswa dan penguasaan konsep.

3. Bagi peneliti, diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan dan referensi

tambahan untuk penelitian selanjutnya.

E. Definisi Operasional

Defenisi operasional dijelaskan agar menghindari adanya salah penafsiran

dari setiap istilah yang digunakan dalam penelitian ini, maka secara operasional

istilah-istilah tersebut didefenisikan sebagai berikut :

1. Model inkuiri ilmiah didefenisikan suatu model penyelidikan ilmiah yang

digunakan dalam menunjang kegiatan pembelajaran di mana guru sebagai

fasilitator. Model pembelajaran ini menuntut siswa untuk bekerja

mengkonstuk pengetahuan melalui kerja ilmiah. Tujuan dari model

tersebut untuk membangun pengetahuan sehingga diharapkan agar tercipta

peserta didik yang aktif, kreatif, afektif, dan produktif dalam membentuk

suatu pengetahuan baru yang tergambar dalam nilai kognitif dan

psikomotorik siswa (Hosnan, 2014). Model inkuiri ilmiah dan model

inkuiri terbimbing dilaksanakan dengan mengkolaborasikan metode

praktikum sederhana dan diskusi kelompok dibantu dengan panduan

(8)

2. Tahapan dalam model pembelajaran inkuiri ilmiah meliputi: (1)

mengajukan pertanyaan, (2) Menyusun hipotesis penelitian, (3) merancang

penelitian, (4) Melakukan observasi dan mengumpulkan data, (5) analisis

data, (6) Kesimpulan dan mengkomunikasikan. Tahapan pembelajaran ini

akan dilampirkan dan dijelaskan dalam RPP setiap pembelajaran. Model

inkuiri ilmiah akan dilaksanakan pada kelas eksperimen I. Dalam

mendukung dari keterlaksanaan model ini maka digunakan instrumen

lembar observasi keterlaksanaan model pembelajaran inkuiri ilmiah.

3. Model inkuiri terbimbing merupakan model mengajar yang berusaha

meletakan dasar dan mengembangkan cara berfikir ilmiah, model ini

menempatkan siswa lebih banyak belajar sendiri atau dalam bentuk

kelompok guna memecahkan permasalahan yang diberikan oleh guru.

Dengan demikian model ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk

mengembangkan kreativitasnya dalam memecahkan masalah yang

diberikan (Mangantung, 2008). Model ini lebih banyak diarahkan oleh

guru dalam proses pembelajaran. Dalam pembelajaran model inkuiri

terbimbing metode yang sama dengan model inkuiri ilmiah yakni dengan

diskusi dan praktikum. Dalam proses pembelajaran nantinya dibantu

dengan LKS yang dibuat oleh guru yang disesuikan dengan tahapan model

inkuiri terbimbing. Tahapan-tahapan dari inkuiri terbimbing: (1)

mengajukan pertanyaan, (2) Membuat hipotesis penelitian, (3) Merancang

percobaan, (4) Melakukan percobaan, (5) Analisis data dan hasil laporan

percobaan (6) membuat kesimpulan. Untuk mendukung dari

keterlaksanaan model ini maka digunakan instrumen lembar observasi

keterlaksanaan model pembelajaran inkuiri terbimbing.

4. Keterampilan Proses Sains merupakan keterampilan yang melibatkan

keterampilan kognitif atau intelektual, manual dan sosial yang diperlukan

untuk memperoleh dan mengembangkan fakta, konsep dan prinsip IPA

(Rustaman, 2005). Di dalam penelitian ini keterampilan proses yang akan

di tuntut untuk mengamati keterampilan: (1) mengamati, (2) menafsirkan

(9)

atau prinsip, (5) mengajukan pertanyaan, (6) meramalkan, (7)

merencanakan percobaan, (8) menggunakan alat dan bahan, (9)

mengkomunikasikan. Penilaian Keterampilan Proses Sains diukur melalui

LKS dan lembar observasi serta post test berupa soal essay. Peningkatan

Keterampilan Proses Sains siswa yang dimaksud adalah peningkatan

Keterampilan Proses Sains siswa (normalized gain), yaitu peningkatan

keterampilan yang telah ternormalisasi antara keterampilan proses sains

siswa sebelum dan setelah siswa diberikan perlakuan dengan model inkuiri

terbimbing dengan model inkuiri ilmiah.

5. Penguasaan konsep merupakan kemampuan siswa dalam menguasai

konsep-konsep kalor dalam kehidupan, baik konsep secara teori maupun

penerapannya dalam kehidupan sehari-hari (Dahar, 2000). Penguasaaan

konsep diukur melalui tes dalam bentuk pilihan ganda yang disusun sesuai

dari tujuan pembelajaran, tujuan pembelajaran dihubungkan dengan level

berfikir dari domain kognitif Bloom revisi dari C1 hingga C6. Penguasaan

konsep yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pemahaman siswa

secara mendalam terhadap konsep kalor dalam kehidupan. Jumlah soal

yang disediakan dalam mengukur penguasaan konsep siswa berjumlah 30

butir soal yang telah disesuaikan dengan tujuan pembelajaran yang

dituntut. Tes penguasan konsep dilakukan dua kali yaitu pada pretest dan

post test. Dengan alasan bahwa penelitian ini merupakan penelitian

(10)

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, Lorin W. (2001). Pembelajaran, Pengajaran, dan Assesmen Revisi Taksonomi Pendidikan Bloom. Jakarta: Pustaka Pelajar.

Arends, R. I. Learning to Teach: Belajar untuk Mengajar ( edisi ketujuh). Helly P.S & Sri M. S. (penerjemah). Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Arikunto, S. (2013). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Chin, C & Malhotra, B. (2002). Epistemologically authentic inquiry in schools: a theoretical framework for evaluating inquiry tasks. Science Education, 86 (2), hlm 175-218.

Creswell, J.W. (2010). Research Design: Model Kualitatif, Kuantitatif and Mixed (third ed). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Dahar, R.W. (2000). Teori-teori Belajar. Jakarta: Erlangga.

David, Ben, A., & Zohar, A. (2009). Contribution of meta-strategic knowledge to scientific inquiry learning. International Journal of Science Education. Vol 31, hlm 12.

Depdiknas. (2006). Kurikulum SMA: GBPP Mata Pelajaran Fisika Kelas I, II, III. Jakarta: Depdiknas.

Dirgantara, Y. (2009). Model Pembelajaran Laboratorium Berbasis Inkuiri Meningkatkan Penguasaaan Konsep dan Keterampilan Proses Sains Siswa MTs pada Pokok Bahasan Kalor. [online] Tersedia:

http://ydgfis.blogspot.com/2009/03/model-latihan -inkuiri.html. [1 April 2015]

Eggen, P. & Kauchak, D. (2012). Strategi dan Model Pembelajaran Mengajarkan Konten dan Keterampilan Berpikir Edisi Enam. Jakarta: PT Indeks Permata Puri Media.

Eko, J. S. (2012). Implementasi Model Pembelajaran Berbasis Masalah dan Inkuiri Terbimbing untuk Meningkatkan Keterampilan Proses Sains dan Pemahaman Konsep Gelombang Siswa SMP. (Tesis). Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandun: Tidak diterbitkan.

(11)

Giancoli, D. C. (1998). Fisika/ edisi kelima. Jakarta: PT Erlangga.

Hamdayana, J. (2014). Model dan Metode Pembelajaran Kreatif dan Berkarakter.

Bogor: Ghalia Indonesia.

Hofsein, A., Navon, O., Kipnis, M & Mamlok-Naarman, R. (2005). The laboratory in science education: faundation for the 21st century. Science education, 88, hlm. 28-54.

Hosnan, M. (2014). Model Saintifik Kontekstual dalam Pembelajaran abad 21. Bogor: Ghalia Indonesia

Huann-Shyang, Lin., Zuway-R. H., & Ying-Yao Cheng. (2009). The interplay of the classroom learning environment and inquiry-based activities. International Journal of Science Education, Vol 31, No. 8, 15 May 2009, pp 1013-1024.

Joyce, et al. (2006). Models of Teaching, Sixth Edition. Boston: Allyn and Bacon.

Karim, S (1998). Panduan Model Pembelajaran Fisika SLTP. Jakarta: Depdikbud.

Kemendiknas. (2013). Kompetensi Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam Sekolah Menengah Pertama (SMP)/ Madrasah Tsanawiyah (MTs). Jakarta: kemendiknas.

Mangantung, J. (2008). Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing pada Materi Energi dan Penggunaannya untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Pemecahan Masalah Sains Sekolah Dasar. (Tesis). Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.

Meltzer, E. D. (2002). The relationship between mathematics preparation and conceptual learning gains in physics: a possible hidden variable in diagnostic pretest score. American Journal Physics, 70 (2), hlm 1259-1268.

Muslich, M. (2009). KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual. Jakarta: Bumi Aksara.

Nuh, M. (2014). Buku Guru Ilmu Pengetahuan Alam SMP/MTs Kelas VII. Jakarta: Depdikbud.

(12)

Belajar Kognitif Siswa pada Topik Suhu dan Kalor. (Tesis). Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung: Tidak diterbitkan.

NRC (National Research Council). (2000). Inquiry and the National Science Education Standards: A Guid for Teaching and Learning. Washington: National Academy Press.

NSTA (National Science teacher Association) & AETS. (2003). Standarts for Science Teacher Preparation. Washington.

Oktifiyanti. (2012). Penerapan Multirepresentasi pada Pembelajaran CTL Untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep dan Kemampuan Menjelaskan Fenomena Fisis. (Tesis). Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung: Tidak diterbitkan.

Pitasari, R. (2002). Model Pembelajaran Hidrolisis Garam untuk Meningkatkan Keterampilan Berfikir Kritis dan Keterampilan Proses Sains Siswa SMU. (Tesis). Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung: Tidak diterbitkan.

Rizal, R. (2013). Penerapan Pendekatan Demonstrasi Interaktif dalam Pembelajaran Listrik Dinamis untuk Meningkatkan Kemampuan Kognitif dan Keterampilan Proses Sains Siswa SMA. (Tesis). Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung: Tidak diterbitkan.

Robert, R., & Gott, R. (2000). Procedural understanding in biology: How is it charecterized in texts?. School Science Review: 27. hlm 110-112.

Rustaman, N.Y. (2005). Perkembangan Penelitian Pembelajaran Berbasis Inkuiri Dalam Pendidikan Sains. Makalah. UPI

Rustaman, N. Y (2005). Strategi Belajar Mengajar Biologi. Malang: UM Press.

Rustaman, N.Y (2007). Keterampilan Proses Sains. Makalah. UPI

Sari, Milya. (2012). Hakekat pembelajaran Sains/IPA. (online). Diakses dari

http://kajianipa.wordpress.com/2012/03/28/hakekat-pendidikan-sians/. [20 Desember 2014]

Sudjana, N. (2008). Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

(13)

Tipler, P. A. (1998). Fisika untuk Sains dan Teknik. Jakarta: Erlangga.

Toharudin, U. dkk. (2011). Membangun Literasi Sains Peserta Didik. Bandung: UPI

Trianto (2011). Mendesain Model Pembelajaran Inovatif – Progresif. Jakarta: Prenada

Trianto. (2014). Model Pembelajaran Terpadu. Jakarta: Bumi Aksara

Wartono. (2003). Strategi Belajar Mengajar Fisika. Bandng: JICA.

Yusa., Sutresna, Nana., & Saripudin. A. (2014). Ilmu Pengetahuan Alam untuk kelas VII Sekolah Menengah Pertama. Jakarta : Grafindo Media Utama.

Referensi

Dokumen terkait

LOKASI KEGIATAN Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu

Pada tahun 2013 ini berjanji akan mewujudkan target kinerja tahunan sesuai lampiran perjanjian ini dalam rangka mencapai target kinerja jangka menengah

Students Perception of Peer Response Activity in English Writing Instruction.. CELEA

Abbreau et al (2003) mengamati bahwa pada sistem tenaga listrik terisolasi yang terhubung dengan beban non linear akan menghasilkan arus harmonik yang menyebabkan distorsi

Dengan perencanaan yang tepat, maka retak geser pada balok tidak akan terjadi karena tulangan sengkang pada arah vertikal ini telah direncanakan mampu menahan beban gaya

[r]

[r]

High Gain Active Microstrip Antena for 60-GHz.