BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan memegang peranan yang penting dalam meningkatkan kualitas
sumber daya manusia untuk menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang terjadi secara terus menerus. Pendidikan yang baik akan
mengarahkan tenaga kerja yang handal dan mampu melaksanakan berbagai
kegiatan dalam rangka memacu pembangunan di berbagai bidang. Pendidikan
yang baik juga akan meningkatkan daya saing anak bangsa dalam kancah
pergaulan global.
Dalam mewujudkan pendidikan yang berkualitas, pemerintah telah
melakukan pembenahan dan peningkatan mutu pendidikan melalui kurikulum
pendidikan di Indonesia yang dikenal dengan Kurikulum 2013. Kurikulum 2013
memiliki tujuan utama yakni menjadikan siswa lebih aplikatif dan berkarakter
dalam pembelajaran. Siswa dituntut melalui pembelajaran yang berbasis konteks
yang mengarahkan siswa mampu memiliki sikap ilmiah dan menguasai ilmu yang
dipelajarinya serta dapat mengaplikasikan ilmu tersebut agar merasakan
manfaatnya.
Salah satu mata pelajaran yang di atur di dalam kurikulum 2013 tingkat
Sekolah Menengah Pertama atau Madrasah Tsanawiyah adanya mata pelajaran
IPA terpadu. Pembelajaran IPA sangat erat kaitannya dengan pemahaman konsep
dan kemampuan berinkuiri. Kementerian Pendidikan Nasional (2013) menyatakan
bahwa :
“Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan suatu kumpulan pengetahuan yang tersusun secara sistematis dan dalam penggunaanya secara umum terbatas pada gejala-gejala alam. Perkembangan IPA tidak hanya ditandai oleh adanya kumpulan fakta, tetapi memunculkan “metode ilmiah (scientific methods) yang terwujud melalui suatu rangkaian “ kerja ilmiah” (working scientifically), nilai dan “sikap ilmiah” (scientific attitudes)”.
Pembelajaran IPA merupakan pembelajaran yang berbasis keterpaduan.
Pembelajaran IPA di SMP dikembangkan sebagai mata pelajaran IPA terpadu
berorientasi aplikatif, pengembangan kemampuan berpikir, kemampuan belajar,
rasa ingin tahu, dan pembangunan sikap peduli dan bertanggung jawab terhadap
lingkungan alam dan sosial. Menurut Joni dalam Trianto (2014) pembelajaran
terpadu suatu sistem pembelajaran yang memungkinkan siswa, baik secara
individual maupun kelompok, aktif mencari, menggali dan menemukan konsep
serta prinsip keilmuan secara holistik, bermakna dan otentik.
Pendidikan IPA diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik
untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan
lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari. Proses
pembelajarannya menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk
mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan memahami alam sekitar secara
ilmiah. Pendidikan IPA diarahkan untuk inkuiri dan berbuat sehingga dapat
membantu peserta didik untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam
tentang alam.
Secara umum, guru IPA harus mempunyai empat kompetensi yaitu
kompetensi pedagogi, professional, kepribadian dan sosial. Kompetensi spesifik
guru IPA juga tertuang dalam NSTA (2003) yang merekomendasikan Standards
for Science Teacher Preparation. Standar ini memuat sejumlah standar yang
harus dimiliki oleh guru Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) meliputi standar content,
nature of science, inquiry, Issues, general skill of teaching, curriculum, science in
the community, assessment, safety and welfare, professional growth. Standar ini
konsisten dengan visi dari NSES (National Science Education Standards). NSTA
(2003) juga merekomendasikan agar guru-guru IPA Sekolah Dasar dan Menengah
harus memiliki kemampuan interdisipliner IPA. Hal ini yang mendasari perlunya
guru IPA memiliki kompetensi dalam membelajarkan IPA secara terpadu
(terintegrasi), meliputi integrasi dalam bidang IPA, integrasi dengan bidang lain
seperti teknologi, kesehatan serta integrasi dengan pencapaian sikap, proses
ilmiah dan keterampilan.
Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang standar isi untuk satuan
sekolah dasar dan menengah, mengharapkan pembelajaran IPA/ sains dapat
menumbuhkan kemampuan berpikir, bekerja dan bersikap ilmiah serta
tujuan pembelajaran IPA terpadu sebagai upaya kerangka model proses
pembelajaran yaitu (1) meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembelajaran; (2)
meningktakan minat dan motivasi; (4) beberapa kompetensi.
Menyadari akan tujuan dan peranan mata pelajaran IPA tersebut maka
diperlukan suatu pembelajaran IPA yang efektif dan bermakna bagi siswa. Oleh
karena itu siswa perlu memahami dan menguasai IPA sehingga berbagai
kompetensi yang diharapkan dapat tercapai dengan baik dan optimal. Namun
masalah utama yang melanda dunia pendidikan Indonesia dewasa ini adalah
belum tercapainya tujuan pembelajaran IPA dan nilai-nilai ilmiah (kognitif,
afektif dan psikomotorik).
Berdasarkan fakta di salah satu SMP di kota Padang, peneliti menemukan
beberapa permasalahan khususnya dalam menerapkan kurikulum 2013. Di dalam
proses pembelajaran, aktivitas siswa terlihat kurang menggali informasi sendiri,
kurangnya keaktifan dan motivasi belajar. Siswa cenderung masih pada tahapan
mengingat konsep, rendahnya keaktifan dan motivasi siswa dalam belajar, karena
proses pembelajaran banyak didominasi oleh guru atau pembelajaran terjadi satu
arah (teacher center). Akibatnya adalah kurangnya pemahaman konsep dan
aktivitas belajar Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) pada siswa. Hal ini
mengakibatkan jika ada soal yang sedikit berbeda dengan contoh soal yang
diberikan oleh guru, maka siswa mengalami kesulitan dalam menyelesaikannya.
Lemahnya analisis siswa saat disajikan contoh lain dalam kehidupan sehari–hari,
menurut saya karena kecenderungan siswa dalam mengingat konsep yang
diungkapkan guru dan dibatasi dari sumber buku pegangan siswa. Masalah lain
yang ditemukan di lapangan diantaranya guru-guru yang belum kreatif dan efisien
dalam menggunakan fasilitas yang ada. Manajemen waktu dalam pembelajaran
yang dianggap sedikit, tuntutan materi yang dianggap padat, alat dan bahan yang
tersedia tidak memadai, keterbatasan keterampilan guru dalam merancang
pembelajaran inovatif, serta berbagai alasan lainnya.
Hal ini serupa dengan kondisi yang terjadi di beberapa sekolah lain, seperti
yang dilaporkan oleh beberapa peneliti berdasarkan hasil pengamatan di salah satu
SMA Negeri di kota Bandung (Rizal, 2013), salah satu SMA Swasta di kota
(Norhamidah, 2013). Hasil penelitian mereka mengungkapkan bahwa proses
pembelajaran yang terjadi di kelas lebih menekankan pada proses transfer
pengetahuan dari guru ke siswa, sehingga kurang menampakkan siswa untuk
membangun pengetahuan. Akibatnya ketika siswa lulus dari sekolah, mereka
tidak memahami makna dari teori yang dihafalnya tersebut. Hal ini
mengakibatkan rendahnya kemampuan kognitif siswa.
Rendahnya aktivitas, motivasi dan pengalaman kerja siswa dalam
menemukan konsep dan fakta tersebut tidak dapat dengan metode konvensional,
Hal ini sangat berpengaruh pada penguasaan konsep siswa dan Keterampilan
Proses Sains dalam menguasai materi kalor. Keterampilan Proses Sains yang
rendah dapat terlihat dengan kondisi kelas yang cenderung ribut saat
pembelajaran dan berpengaruh kepada pengausan konsep siswa nantinya. Adanya
pemikiran siswa yang menganggap bahwa materi kalor dalam kehidupan yang
merupakan bagian dari Ilmu Fisika, Biologi dan Kimia adalah pelajaran yang sulit
karena terkait dengan ranah abstrak (Rustaman, 2005). Hal ini akan berpengaruh
pada materi selanjutnya terutama pada bidang Kimia dan Fisika tingkat SMA.
Sesungguhnya sarana dan prasarana laboratorium di sekolah adalah
penunjang pembelajaran untuk mengajarkan kepada siswa kebenaran teori dengan
fakta dari hasil penyelidikan. Akan tetapi tidak semua sekolah melengkapi sarana
laboratorium tersebut atau tidak sepenuhnya dimanfaatkan oleh guru IPA di
sekolah. Diharapkan guru mampu bertindak kreatif dalam menunjang
pembelajaran agar praktikum dapat dilaksanakan walaupun dengan keterbatasan
alat dan bahan serta mengoptimalkan sarana laboratorium yang ada. Kurikulum
2013 yang mensyaratkan beberapa kompetensi dasar dapat dicapai dengan
melaksanakan beberapa kegiatan di laboratorium. Laboratorium adalah tempat
untuk menemukan teori keilmuan, pengujian teoretis, pembuktian uji coba,
penelitian, dan sebagainya dengan menggunakan alat bantu yang menjadi
kelengkapan dari fasilitas dengan kuantitas dan kualitas yang memadai.
Laboratorium IPA SMP merupakan tempat peserta didik melakukan kegiatan
penyelidikan yang dapat menghasilkan pengalaman belajar dimana peserta didik
berinteraksi dengan berbagai alat dan bahan untuk mengobservasi gejala-gejala
dipelajari (Nuh, 2014). Harapan adanya proses penyelidikan tersebut, agar
meningkatkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah dan memberikan
pengalaman langsung dalam proses pembelajaran untuk menemukan
konsep-konsep dalam tujuan pembelajaran
Salah satu cara dalam memperbaiki masalah di atas, maka dilakukan
proses pembelajaran melalui model inkuiri. Apabila mengacu kepada NRC
(2000), inkuiri memegang peranan penting dalam pembelajaran IPA. Inkuiri
diperlukan sebagai alat untuk mengukur Keterampilan Proses Sains (KPS) dan
penguasaan konsep berupa berfikir scientific, investigasi serta membangun
konsep. Di samping itu inkuiri dibangun berdasarkan pemahaman bahwa
pembelajaran IPA pada hakekatnya adalah pembelajaran yang meliputi konten
dan proses serta sikap.
Faktor-faktor penyebab dari rendahnya pengusaan konsep dan
Keterampilan Proses Sains siswa dalam belajar IPA khususnya materi kalor dalam
kehidupan, maka peneliti tertarik untuk melakukan upaya perbaikan dengan
menggunakan perbandingan dua model yaitu inkuiri ilmiah dan inkuiri terbimbing
dengan bantuan praktikum dan diskusi kelas. Melalui model inkuiri ilmiah dan
inkuiri terbimbing sehingga diharapkan mampu meningkatkan penguasaan konsep
dan Keterampilan Proses Sains siswa.
Inkuiri ilmiah menurut Huann. dkk (2009) adalah suatu tahapan atau
proses menggali informasi melalui penyelidikan atau observasi yang dilakukan
secara ilmiah melalui suatu pengamatan atau fenomena yang terjadi berdasarkan
penalaran dan kreativitas siswa. Inkuiri ilmiah merupakan bagian dari jenis model
inkuiri bebas termodifikasi. inkuiri terbimbing merupakan inkuiri yang digunakan
karena pada pelaksanaannya guru memberikan bimbingan atau petunjuk yang
cukup luas kepada siswa dalam merencanakan eksperimen dan perumusan
kegiatan. Dengan adanya penggunaan model inkuiri ilmiah dan inkuiri terbimbing
maka siswa akan menikmati proses pembelajaran tersebut sehingga dapat diamati
melalui Keterampilan Proses Sains siswa (KPS) dan hasil pembelajaran tersebut
dapat diukur dengan penguasaan konsep. Keterampilan Proses Sains merupakan
keterampilan kognitif yang melibatkan keterampilan penalaran fisik seseorang
menyempurnakan suatu gagasan yang sudak terbentuk (Trianto, 2014). Jadi,
Keterampilan Proses Sains menekankan pada bagaimana siswa belajar, bagaimana
mengelola informasi, sehingga dipahami dan dapat dipakai sebagai bekal untuk
memenuhi kebutuhan dalam kehidupannya di masyarakat. Penguasaan konsep
adalah suatu kemampuan individu dalam menerangkan sesuatu dengan bahasa
sendiri atau mengenal sesuatu yang dinyatakan dengan kata-kata yang berbeda
dengan kata-kata dalam buku teks terkait dengan konsep yang akan dicapai.
Berdasarkan paparan di atas, peneliti merealisasikan upaya tersebut dalam
suatu penelitian dengan judul “Pengaruh model pembelajaran inkuiri ilmiah dan
inkuiri terbimbing terhadap peningkatan Keterampilan Proses Sains dan
penguasaan konsep siswa SMP pada materi kalor dalam kehidupan”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, maka
rumusan masalah dalam penelitian adalah
1. Bagaimanakah peningkatan Keterampilan Proses Sains siswa yang
memperoleh pembelajaran model inkuiri terbimbing dengan model inkuiri
ilmiah?
2. Bagaimanakah peningkatan penguasaan konsep siswa yang memperoleh
pembelajaran model inkuiri terbimbing dengan model inkuiri ilmiah ?
3. Bagaimanakah tanggapan siswa dan guru terhadap model inkuiri ilmiah
dan model inkuiri terbimbing?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini
adalah:
1. Menganalisis pengaruh model inkuiri ilmiah dan inkuiri terbimbing
terhadap peningkatan Keterampilan Proses Sains siswa.
2. Menganalisis pengaruh model inkuiri ilmiah dan inkuiri terbimbing
terhadap peningkatan penguasaan konsep siswa.
3. Menganalisis tanggapan siswa dan guru terhadap model inkuiri ilmiah
4. Menganalisis perbedaan peningkatan Keterampilan Proses Sains siswa
setelah mendapatkan pembelajaran dengan model pembelajaran inkuiri
ilmiah dan model inkuiri terbimbing.
5. Menganalisis perbedaan peningkatan penguasaan konsep siswa setelah
mendapatkan model pembelajaran inkuiri ilmiah dengan model inkuiri
terbimbing.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini memberikan manfaat atau kontribusi berbagai kalangan
yakni :
1. Bagi guru, model ini diharapkan mampu menjadi alternatif dalam
meningkatkan Keterampilan Proses Sains siswa dan penguasaan konsep.
2. Bagi siswa, model ini diharapkan dapat membantu mengembangkan
Keterampilan Proses Sains siswa dan penguasaan konsep.
3. Bagi peneliti, diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan dan referensi
tambahan untuk penelitian selanjutnya.
E. Definisi Operasional
Defenisi operasional dijelaskan agar menghindari adanya salah penafsiran
dari setiap istilah yang digunakan dalam penelitian ini, maka secara operasional
istilah-istilah tersebut didefenisikan sebagai berikut :
1. Model inkuiri ilmiah didefenisikan suatu model penyelidikan ilmiah yang
digunakan dalam menunjang kegiatan pembelajaran di mana guru sebagai
fasilitator. Model pembelajaran ini menuntut siswa untuk bekerja
mengkonstuk pengetahuan melalui kerja ilmiah. Tujuan dari model
tersebut untuk membangun pengetahuan sehingga diharapkan agar tercipta
peserta didik yang aktif, kreatif, afektif, dan produktif dalam membentuk
suatu pengetahuan baru yang tergambar dalam nilai kognitif dan
psikomotorik siswa (Hosnan, 2014). Model inkuiri ilmiah dan model
inkuiri terbimbing dilaksanakan dengan mengkolaborasikan metode
praktikum sederhana dan diskusi kelompok dibantu dengan panduan
2. Tahapan dalam model pembelajaran inkuiri ilmiah meliputi: (1)
mengajukan pertanyaan, (2) Menyusun hipotesis penelitian, (3) merancang
penelitian, (4) Melakukan observasi dan mengumpulkan data, (5) analisis
data, (6) Kesimpulan dan mengkomunikasikan. Tahapan pembelajaran ini
akan dilampirkan dan dijelaskan dalam RPP setiap pembelajaran. Model
inkuiri ilmiah akan dilaksanakan pada kelas eksperimen I. Dalam
mendukung dari keterlaksanaan model ini maka digunakan instrumen
lembar observasi keterlaksanaan model pembelajaran inkuiri ilmiah.
3. Model inkuiri terbimbing merupakan model mengajar yang berusaha
meletakan dasar dan mengembangkan cara berfikir ilmiah, model ini
menempatkan siswa lebih banyak belajar sendiri atau dalam bentuk
kelompok guna memecahkan permasalahan yang diberikan oleh guru.
Dengan demikian model ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengembangkan kreativitasnya dalam memecahkan masalah yang
diberikan (Mangantung, 2008). Model ini lebih banyak diarahkan oleh
guru dalam proses pembelajaran. Dalam pembelajaran model inkuiri
terbimbing metode yang sama dengan model inkuiri ilmiah yakni dengan
diskusi dan praktikum. Dalam proses pembelajaran nantinya dibantu
dengan LKS yang dibuat oleh guru yang disesuikan dengan tahapan model
inkuiri terbimbing. Tahapan-tahapan dari inkuiri terbimbing: (1)
mengajukan pertanyaan, (2) Membuat hipotesis penelitian, (3) Merancang
percobaan, (4) Melakukan percobaan, (5) Analisis data dan hasil laporan
percobaan (6) membuat kesimpulan. Untuk mendukung dari
keterlaksanaan model ini maka digunakan instrumen lembar observasi
keterlaksanaan model pembelajaran inkuiri terbimbing.
4. Keterampilan Proses Sains merupakan keterampilan yang melibatkan
keterampilan kognitif atau intelektual, manual dan sosial yang diperlukan
untuk memperoleh dan mengembangkan fakta, konsep dan prinsip IPA
(Rustaman, 2005). Di dalam penelitian ini keterampilan proses yang akan
di tuntut untuk mengamati keterampilan: (1) mengamati, (2) menafsirkan
atau prinsip, (5) mengajukan pertanyaan, (6) meramalkan, (7)
merencanakan percobaan, (8) menggunakan alat dan bahan, (9)
mengkomunikasikan. Penilaian Keterampilan Proses Sains diukur melalui
LKS dan lembar observasi serta post test berupa soal essay. Peningkatan
Keterampilan Proses Sains siswa yang dimaksud adalah peningkatan
Keterampilan Proses Sains siswa (normalized gain), yaitu peningkatan
keterampilan yang telah ternormalisasi antara keterampilan proses sains
siswa sebelum dan setelah siswa diberikan perlakuan dengan model inkuiri
terbimbing dengan model inkuiri ilmiah.
5. Penguasaan konsep merupakan kemampuan siswa dalam menguasai
konsep-konsep kalor dalam kehidupan, baik konsep secara teori maupun
penerapannya dalam kehidupan sehari-hari (Dahar, 2000). Penguasaaan
konsep diukur melalui tes dalam bentuk pilihan ganda yang disusun sesuai
dari tujuan pembelajaran, tujuan pembelajaran dihubungkan dengan level
berfikir dari domain kognitif Bloom revisi dari C1 hingga C6. Penguasaan
konsep yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pemahaman siswa
secara mendalam terhadap konsep kalor dalam kehidupan. Jumlah soal
yang disediakan dalam mengukur penguasaan konsep siswa berjumlah 30
butir soal yang telah disesuaikan dengan tujuan pembelajaran yang
dituntut. Tes penguasan konsep dilakukan dua kali yaitu pada pretest dan
post test. Dengan alasan bahwa penelitian ini merupakan penelitian
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, Lorin W. (2001). Pembelajaran, Pengajaran, dan Assesmen Revisi Taksonomi Pendidikan Bloom. Jakarta: Pustaka Pelajar.
Arends, R. I. Learning to Teach: Belajar untuk Mengajar ( edisi ketujuh). Helly P.S & Sri M. S. (penerjemah). Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Arikunto, S. (2013). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Chin, C & Malhotra, B. (2002). Epistemologically authentic inquiry in schools: a theoretical framework for evaluating inquiry tasks. Science Education, 86 (2), hlm 175-218.
Creswell, J.W. (2010). Research Design: Model Kualitatif, Kuantitatif and Mixed (third ed). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Dahar, R.W. (2000). Teori-teori Belajar. Jakarta: Erlangga.
David, Ben, A., & Zohar, A. (2009). Contribution of meta-strategic knowledge to scientific inquiry learning. International Journal of Science Education. Vol 31, hlm 12.
Depdiknas. (2006). Kurikulum SMA: GBPP Mata Pelajaran Fisika Kelas I, II, III. Jakarta: Depdiknas.
Dirgantara, Y. (2009). Model Pembelajaran Laboratorium Berbasis Inkuiri Meningkatkan Penguasaaan Konsep dan Keterampilan Proses Sains Siswa MTs pada Pokok Bahasan Kalor. [online] Tersedia:
http://ydgfis.blogspot.com/2009/03/model-latihan -inkuiri.html. [1 April 2015]
Eggen, P. & Kauchak, D. (2012). Strategi dan Model Pembelajaran Mengajarkan Konten dan Keterampilan Berpikir Edisi Enam. Jakarta: PT Indeks Permata Puri Media.
Eko, J. S. (2012). Implementasi Model Pembelajaran Berbasis Masalah dan Inkuiri Terbimbing untuk Meningkatkan Keterampilan Proses Sains dan Pemahaman Konsep Gelombang Siswa SMP. (Tesis). Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandun: Tidak diterbitkan.
Giancoli, D. C. (1998). Fisika/ edisi kelima. Jakarta: PT Erlangga.
Hamdayana, J. (2014). Model dan Metode Pembelajaran Kreatif dan Berkarakter.
Bogor: Ghalia Indonesia.
Hofsein, A., Navon, O., Kipnis, M & Mamlok-Naarman, R. (2005). The laboratory in science education: faundation for the 21st century. Science education, 88, hlm. 28-54.
Hosnan, M. (2014). Model Saintifik Kontekstual dalam Pembelajaran abad 21. Bogor: Ghalia Indonesia
Huann-Shyang, Lin., Zuway-R. H., & Ying-Yao Cheng. (2009). The interplay of the classroom learning environment and inquiry-based activities. International Journal of Science Education, Vol 31, No. 8, 15 May 2009, pp 1013-1024.
Joyce, et al. (2006). Models of Teaching, Sixth Edition. Boston: Allyn and Bacon.
Karim, S (1998). Panduan Model Pembelajaran Fisika SLTP. Jakarta: Depdikbud.
Kemendiknas. (2013). Kompetensi Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam Sekolah Menengah Pertama (SMP)/ Madrasah Tsanawiyah (MTs). Jakarta: kemendiknas.
Mangantung, J. (2008). Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing pada Materi Energi dan Penggunaannya untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Pemecahan Masalah Sains Sekolah Dasar. (Tesis). Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
Meltzer, E. D. (2002). The relationship between mathematics preparation and conceptual learning gains in physics: a possible hidden variable in diagnostic pretest score. American Journal Physics, 70 (2), hlm 1259-1268.
Muslich, M. (2009). KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual. Jakarta: Bumi Aksara.
Nuh, M. (2014). Buku Guru Ilmu Pengetahuan Alam SMP/MTs Kelas VII. Jakarta: Depdikbud.
Belajar Kognitif Siswa pada Topik Suhu dan Kalor. (Tesis). Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung: Tidak diterbitkan.
NRC (National Research Council). (2000). Inquiry and the National Science Education Standards: A Guid for Teaching and Learning. Washington: National Academy Press.
NSTA (National Science teacher Association) & AETS. (2003). Standarts for Science Teacher Preparation. Washington.
Oktifiyanti. (2012). Penerapan Multirepresentasi pada Pembelajaran CTL Untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep dan Kemampuan Menjelaskan Fenomena Fisis. (Tesis). Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung: Tidak diterbitkan.
Pitasari, R. (2002). Model Pembelajaran Hidrolisis Garam untuk Meningkatkan Keterampilan Berfikir Kritis dan Keterampilan Proses Sains Siswa SMU. (Tesis). Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung: Tidak diterbitkan.
Rizal, R. (2013). Penerapan Pendekatan Demonstrasi Interaktif dalam Pembelajaran Listrik Dinamis untuk Meningkatkan Kemampuan Kognitif dan Keterampilan Proses Sains Siswa SMA. (Tesis). Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung: Tidak diterbitkan.
Robert, R., & Gott, R. (2000). Procedural understanding in biology: How is it charecterized in texts?. School Science Review: 27. hlm 110-112.
Rustaman, N.Y. (2005). Perkembangan Penelitian Pembelajaran Berbasis Inkuiri Dalam Pendidikan Sains. Makalah. UPI
Rustaman, N. Y (2005). Strategi Belajar Mengajar Biologi. Malang: UM Press.
Rustaman, N.Y (2007). Keterampilan Proses Sains. Makalah. UPI
Sari, Milya. (2012). Hakekat pembelajaran Sains/IPA. (online). Diakses dari
http://kajianipa.wordpress.com/2012/03/28/hakekat-pendidikan-sians/. [20 Desember 2014]
Sudjana, N. (2008). Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Tipler, P. A. (1998). Fisika untuk Sains dan Teknik. Jakarta: Erlangga.
Toharudin, U. dkk. (2011). Membangun Literasi Sains Peserta Didik. Bandung: UPI
Trianto (2011). Mendesain Model Pembelajaran Inovatif – Progresif. Jakarta: Prenada
Trianto. (2014). Model Pembelajaran Terpadu. Jakarta: Bumi Aksara
Wartono. (2003). Strategi Belajar Mengajar Fisika. Bandng: JICA.
Yusa., Sutresna, Nana., & Saripudin. A. (2014). Ilmu Pengetahuan Alam untuk kelas VII Sekolah Menengah Pertama. Jakarta : Grafindo Media Utama.