• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Pola Asuh Makan Balita dengan Ibu Pekerja terhadap Status Gizi Balita di Desa Batubulan Kecamatan Sukawati.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Pola Asuh Makan Balita dengan Ibu Pekerja terhadap Status Gizi Balita di Desa Batubulan Kecamatan Sukawati."

Copied!
59
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

HUBUNGAN POLA ASUH MAKAN BALITA DENGAN IBU PEKERJA

TERHADAP STATUS GIZI BALITA DI DESA BATUBULAN

KECAMATAN SUKAWATI

OLEH:

I MADE ARYADI PUTRA

1102105029

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

(2)

HUBUNGAN POLA ASUH MAKAN BALITA DENGAN IBU PEKERJA

TERHADAP STATUS GIZI BALITA DI DESA BATUBULAN

KECAMATAN SUKAWATI

Untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan

OLEH:

I MADE ARYADI PUTRA

1102105029

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

(3)

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : I Made Aryadi Putra

NIM : 1102105029

Fakultas : Kedokteran Universitas Udayana

Program Studi : Ilmu Keperawatan

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Tugas Akhir yang saya tulis ini benar-benar hasil

karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pikiran orang lain yang

saya akui sebagai tulisan atau pikiran saya sendiri. Apabila dikemudian hari dapat dibuktikan

bahwa Tugas Akhir ini adalah hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas

perbuatan tersebut.

Denpasar, Mei 2015

Yang membuat pernyataan,

(4)
(5)
(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan

karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi penelitian berjudul Hubungan

Pola Asuh Makan Balita dengan Ibu Pekerja terhadap Status Gizi Balita di Desa

Batubulan Kecamatan Sukawati.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu

menyelesaikan skripsi penelitian ini. Ucapan terima kasih penulis berikan kepada:

1. Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT (K), M. Kes, sebagai Dekan Fakultas Kedokteran

Universitas Udayana yang telah memberikan penulis kesempatan menuntut ilmu di PSIK

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

2. Prof. dr. Ketut Tirtayasa, MS., AIF, sebagai ketua Program Studi Ilmu Keperawatan

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang memberikan pengarahan dalam proses

pendidikan.

3. Ns. Made Rini Damayanti S, S.Kep., MNS, sebagai pembimbing utama yang telah

memberikan bantuan dan bimbingan sehingga dapat menyelesaikan skripsi penelitian ini

tepat waktu.

4. Ns. Sagung Mirah Lismawati, S.Kep, sebagai pembimbing pendamping yang telah

memberikan bantuan dan bimbingan sehingga dapat menyelesaikan skripsi penelitian ini

tepat waktu.

5. Ns. Kadek Eka Swedarma, S.Kep., M.Kes sebagai pembimbing utama pengganti yang

telah memberikan bantuan dan bimbingan sehingga dapat menyelesaikan skripsi

(7)

6. Dewa Gede Sumertha, SH., MH selaku Kepala Desa di Desa Batubulan Kecamatan

Sukawati yang telah memberikan kesempatan untuk melakukan penelitian di desa yang

dipimpin.

7. Ibu-ibu kader Posyandu balita di setiap banjar di Desa Batubulan Kecamatan Sukawati

yang membantu dalam pengambilan data sehingga penulis dapat menyelesaikan

penelitian tepat waktu.

8. Orang tua tercinta, Bapak I Made Suwetha dan Ibu Ni Ketut Murtini yang telah

memberikan bantuan dan dukungan moril dalam penulisan skripsi penelitian ini.

9. Ni Wayan Jumei Suniarthi, Amd.Kep dan Ns. I Kadek Dwipayana, S.Kep, atas waktunya

bersedia menjadi pendamping peneliti melakukan wawancara sehingga penulis dapat

menyelesaikan penelitian tepat waktu.

10. Sukma, Karsi, Fajar, Yoga, Jembo, Alam, Arya serta rekan-rekan seperjuangan PSIK A

2011 (Achillesextavortouz) di Program Studi Ilmu Keperawatan, atas semua dukungan,

masukan, dan semangat yang diberikan dalam menyelesaikan skripsi penelitian ini.

11. Seluruh pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah membantu dalam

menyelesaikan skripsi penelitian ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan tugas akhir ini masih jauh dari sempurna, oleh

karena itu penulis membuka diri untuk menerima segala saran dan masukan yang bersifat

membangun.

Akhirnya, semoga skripsi penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan dunia

keperawatan dan pengetahuan secara luas.

Denpasar, Mei 2015

(8)

ABSTRAK

Putra, I Made Aryadi, 2015. Hubungan Pola Asuh Makan Balita dengan Ibu Pekerja terhadap Status Gizi Balita di Desa Batubulan Kecamatan Sukawati. Tugas Akhir, Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Pembimbing (1) Ns. Made Rini Damayanti S, S.Kep., MNS (2) Ns. Sagung Mirah Lismawati, S.Kep

Balita dengan ibu pekerja akan memberikan pengasuhan anaknya kepada orang lain dan akan mempengaruhi bagaimana status gizi balita tersebut. Jika pola asuh makan tidak tercapai dengan baik pada balita maka pertumbuhan balita akan terganggu. Pola asuh makan pada balita sangat berperan penting dalam proses pertumbuhan pada balita, karena dalam makanan banyak mengandung gizi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan pola asuh makan balita dengan ibu pekerja terhadap status gizi balita di Desa Batubulan Kecamatan Sukawati. Jenis Penelitian ini merupakan non-experimental design yang berupa penelitian korelasional yaitu dengan pendekatan cross-sectional. Analisis hubungan kedua variabel yang berskala ordinal digunakan uji statistik non-parametrik yaitu analisis korelasi

Rank Spearman. Teknik pengambilan sampel yang digunakan Non Probability Sampling

yaitu berupa Purposive Sampling sebanyak 160 responden yang dilaksanakan di Desa Batubulan Kecamatan Sukawati pada bulan Mei 2015. Pengumpulan data dilakukan dengan bantuan kuesioner dan perhitungan status gizi yang diukur menurut berat badan/umur (BB/U). Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan nilai p value 0,000 (p<0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara hubungan pola asuh makan balita dengan ibu pekerja terhadap status gizi balita di Desa Batubulan Kecamatan Sukawati. Menurut hasil penelitian ini, disarankan agar pengasuh balita yang sudah menerapkan pola asuh makan yang baik diharapkan tetap mempertahankannya, sedangkan pengasuh balita yang masih menerapkan pola asuh makan yang kurang diharapkan lebih memperhatikan jenis makanan, frekuensi makan dan cara pemberian makanan yang benar.

(9)

ABSTRACT

Putra, I Made Aryadi, 2015. The Correlation between Dietary Pattern and Working Mother with regard to the Nutritional Status of Toddler in the Village Batubulan Sub-District Sukawati. Final Project, Nursing Science Program, Faculty of

Medicine, Udayana University. Advisers (1) Ns. Made Rini Damayanti S, S.Kep., MNS (2) Ns. Sagung Mirah Lismawati, S.Kep

Toddler with working mothers would give their children care to others and it will be influence the nutritional status of children. If the dietary pattern is not well reached, the growth of children will be disturbed. Dietary pattern of toddler is very important in the process of growth in children, because the foods contain a lot of nutrients. The purpose of this study is to know the correlation between toddler dietary pattern and working mother with regard to the nutritional status of toddler in the Village Batubulan Sub-district Sukawati. This research is a type of non-experimental design in the form of a correlational study with the approach of cross-sectional. Analysis of the correlation between the two variables of ordinal scale used non-parametric statistical tests which is the Spearman Rank correlation analysis. The sampling technique used is the Non-Probability Sampling in the form of purposive sampling of 160 respondents conducted in the Village Batubulan Sub-district Sukawati in May 2015. The data was collected by questionnaire and calculation of nutritional status as measured by weight/age (W/A). Based on these results obtained p value of 0.000 (p <0.05), suggesting that there is a significant correlation between toddler dietary pattern and working mother with regard to the nutritional status of toddler in the Village Batubulan Sub-district Sukawati. According to these results, it is recommended that caregivers who have applied good dietary pattern to toddler is expected to keep doing so, while those caregivers who still applying the not-so good dietary pattern is expected to take good care on the type of food, meal frequency and feeding the right way.

(10)
(11)

2.1.5 Pola Asuh Makan Protein ... ...13

2.1.6 Pola Asuh Makan Lemak ... ...14

2.1.7 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh Makan Balita ... ...15 2.2. Metode Pengukuran Pola Asuh Makan... ...17

2.2.1 Metode Food Recall 24 Jam ... ...17

2.2.2 Metode Food Frequency ... ...20

2.5.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Status Gizi ... ...27

2.5.4 Kebutuhan Zat Gizi pada Balita ... ...32 2.6 Penilaian Status Gizi ... ...32

2.6.1 Pengertian Antropometri ... ...33

2.6.2 Syarat yang Mendasari Penggunaan Antropometri ... ...33

2.6.3 Keunggulan Antropometri ... ...34

2.6.4 Jenis Parameter Antropometri... ...34 2.7 Hubungan Pola Asuh Makan Balita dengan Ibu Pekerja terhadap Status Gizi Balita ... ...38

BAB III KERANGKA KONSEP

(12)
(13)

5.1.3 Hasil Pengamatan Terhadap Responden Berdasarkan Variabel Penelitian ... ...61 5.2 Hasil Analisis Data ... ...63

5.1.2 Pembahasan Hasil Penelitian ... ...64 5.3 Keterbatasan Penelitian ... ...70

BAB VI PENUTUP

6.1Simpulan ... ...72 6.2 Saran ... ...72

(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Pola Pemberian Makanan Balita ... 11

Tabel 2.2 Pola Pemberian Makanan Balita Menurut Kecukupan Energi ... 11

Tabel 2.3 Klasifikasi Status Gizi Anak Bawah Lima Tahun (Balita) ... 26

Tabel 2.4 Kebutuhan Konsumsi Energi dan Protein Balita (AKG) Rata-Rata Per Hari. ...

... 32

Tabel 3.1. Definisi Operasional Variabel ... 42

Tabel 4.1. Daftar Nama Posyandu Di Desa Batubulan Kecamatan Sukawati ... 45

Tabel 5.1. Karakteristik Responden Berdasarkan Rentang Usia pada balita dengan ibu pekerja

di Desa Batubulan Kecamatan Sukawati ... 58

Tabel 5.2. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin pada balita dengan ibu

pekerja di Desa Batubulan Kecamatan Sukawati ...58

Tabel 5.3. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan pada pengasuh balita

dengan ibu pekerja di Desa Batubulan Kecamatan Sukawati ...59

Tabel 5.4. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan Ibu pada balita dengan ibu

pekerja di Desa Batubulan Kecamatan Sukawati ...59

Tabel 5.5 Karakteristik Responden Berdasarkan Hubungan Responden Dengan Pengasuh

pada balita dengan ibu pekerja di Desa Batubulan Kecamatan Sukawati ...60

Tabel 5.6. Karakteristik Responden Berdasarkan Rentang Berat Badan pada balita dengan

(15)

Tabel 5.7. Data Pola Asuh Makan Pada Balita Dengan Ibu Pekerja di Desa Batubulan

Kecamatan Sukawati ...61

Tabel 5.8. Data Status Gizi Pada Balita di Desa Batubulan Kecamatan Sukawati ...62

Tabel 5.9 Distribusi Pola Asuh Makan Balita Dengan Ibu Pekerja Terhadap Status Gizi Balita

di Desa Batubulan Kecamatan Sukawati bulan Mei 2015 ...62

Tabel 5.10. Nilai Korelasi Pola Asuh Makan Balita dengan Ibu Pekerja terhadap Status Gizi

(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Kerangka Konsep Penelitian ……… 40

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Baku rujukan status gizi balita perempuan usia 12-59 bulan menurut berat

badan dan umur (BB/U)

Lampiran 2 : Baku rujukan status gizi balita laki-laki usia 12-59 bulan menurut berat

badan dan umur (BB/U)

Lampiran 3 : Jadwal Penelitian

Lampiran 4 : Penjelasan Penelitan

Lampiran 5 : Instrumen Pengumpulan Data

Lampiran 6 : Daftar Bahan Makanan Penukar Ukuran Rumah Tangga (URT)

Lampiran 7 : Angka Kecukupan Gizi Balita

Lampiran 8 : Anggaran Dana Penelitian

Lampiran 9 : Surat Permintaan Menjadi Responden

Lampiran 10 : Surat Persetujuan Menjadi Responden

Lampiran 11 : SOP Pengukuran Berat Badan menurut Umur (BB/U)

Lampiran 12 : Lembar Observasi Status Gizi Balita

Lampiran 13 : Master Tabel

Lampiran 14 : Distribusi Frekuensi Karakteristik

Lampiran 15 : Distribusi Frekuensi Karakteristik Berdasarkan Variabel Penelitian

(18)

Lampiran 17 : Lembar Konsultasi

Lampiran 18 : Surat Izin Penelitian

(19)

DAFTAR SINGKATAN

AKABA : Angka Kematian Balita

AKG : Angka Kecukupan Gizi

ASI : Air Susu Ibu

Baduta : Anak bawah dua tahun

Balita : Anak bawah lima tahun

Batita : Anak bawah tiga tahun

BB : Berat Badan

BB/TB : Indeks Berat Badan menurut Tinggi Badan

BB/U : Indeks Berat Badan menurut Umur

CIS : Commonwealth of Independent States

DGKA : Daftar Kecukupan Gizi yang Dianjurkan

DKBM : Daftar Komposisi Bahan Makanan

gr : Gram

HCL : Hidrogen Klorida

IMT : Indeks Masa Tubuh

ISPA : Infeksi Saluran Pernafasan Atas

kkal : Kilo kalori

LILA : Lingkar Lengan Atas

LILA/U : Indeks Lingkar Lengan Atas menurut Umur

MP-ASI : Makanan Pendamping Air Susu Ibu

Persagi : Persatuan Ahli Gizi Indonesia

PSG : Penilaian Status Gizi

(20)

SD : Standar Deviasi

TB/U : Indeks Tinggi Badan menurut Umur

UNICEF : United Nations International Children's Emergency Fund URT : Ukuran Rumah Tangga

WHO : World Health Organization

(21)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masa anak bawah lima tahun (balita) merupakan masa golden period, suatu periode dalam proses pertumbuhan dan perkembangan anak

(Moersintowarti, 2005). Anak merupakan kelompok penduduk yang paling rentan

terhadap gangguan kesehatan dan gizi karena status imunitas, diet, dan psikologi

anak belum matang atau masih dalam taraf perkembangan. Kelangsungan serta

kualitas hidup anak pun sangat tergantung pada pola asuh makan orang dewasa

terutama ibu atau orang tuanya (Soekirman, 2006).

Pola asuh makan adalah bimbingan dan pengawasan terhadap aktivitas

makan anak sehari-hari melalui interaksi antara pengasuh dan anak yang

berlangsung secara rutin sehingga membentuk suatu pola (Mahlia, 2009). Pola

asuh makan balita banyak berhubungan dengan berbagai kebiasaan kaum wanita

(ibu). Wanita berperan sebagai seorang istri yang sekaligus merangkap sebagai

seorang ibu yang memiliki ikatan dengan anak-anaknya. Mengenai pembentukan

pola asuh makan balita ini terdapat tiga faktor yang mempengaruhi yaitu:

pengetahuan ibu, pendidikan ibu, dan status pekerjaan ibu (Suharjo, 2003). Pada

masyarakat pedesaan yang biasanya masih berpegangan pada tradisi, dimana

seorang ibu hanya boleh bekerja di rumah saja, sebagian besar waktunya

dicurahkan untuk mengasuh anak-anaknya. Namun belakangan ini emansipasi

(22)

2

wanita menyebabkan wanita itu sendiri banyak bekerja di berbagai bidang yang

menjadikan wanita tidak terikat hanya di rumah saja. Emansipasi wanita banyak

merubah adat istiadat atau kebiasaan-kebiasaan tersebut. Peranan wanita semakin

banyak dibicarakan baik secara nasional maupun internasional (Soekirman, 2006).

Status pekerjaan ibu pada ibu pekerja akan sulit untuk memberikan

pengasuhan pada anaknya (Purwati, 2012). Balita pada umumnya mendapat

makanannya secara dijatah oleh ibunya dan tidak memilih serta mengambil

sendiri makanan yang disukainya. Dalam kondisi bekerja, ibu seringkali

melibatkan orang lain untuk mengasuh anaknya (Handayani, 2008). Dari hasil

penelitian Purwati (2012), anak bawah dua tahun (baduta) yang diasuh oleh orang

lain selain orang tuanya seringkali mengalami masalah, yang salah satunya adalah

pertumbuhan yang tidak normal. Seringkali orang lain kurang peduli mengenai

pemberian makan anak yang menyebabkan kebutuhan gizinya kurang memadai.

Akibatnya status gizinya menjadi tidak baik. Pendapat yang sama juga

dikemukakan oleh Linda (2011), bahwa pola asuh makan anak bawah tiga tahun

(batita) dan kesehatan dengan status gizi batita memiliki hubungan yang cukup

bermakna terhadap status gizi batita.

Status gizi adalah keadaan keseimbangan sebagai akibat konsumsi

makanan dan penggunaannya. Dibedakan antara status gizi buruk, kurang, baik

dan lebih. Tiap orang memiliki status gizi yang berbeda antara satu dengan yang

lainnya (Almatsier, 2004). Status gizi balita dipengaruhi oleh dua faktor yaitu

faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam merupakan faktor-faktor yang ada di

(23)

3

seperti hal-hal yang diturunkan oleh orang tua atau generasi sebelumnya, unsur

berfikir dan kemampuan intelektual. Sedangkan faktor luar terdiri atas pola

pengasuhan, konsumsi makanan, dan lingkungan bergaul (Citrawati, 2003).

Jumlah penderita gizi kurang di dunia mencapai 104 juta anak, dan

keadaan kurang gizi menjadi penyebab sepertiga dari seluruh penyebab kematian

anak di seluruh dunia (WHO, 2013). Dari data United Nations International

Children's Emergency Fund (UNICEF), Asia Selatan merupakan daerah yang

memiliki prevalensi kurang gizi terbesar di dunia, yaitu sebesar 46%, disusul sub-

Sahara Afrika 28%, Amerika Latin/Caribbean 7%, dan yang paling rendah

terdapat di Eropa Tengah, Timur, dan Commonwealth of Independent States (CEE/CIS) sebesar 5% (UNICEF, 2006). Keadaan kurang gizi pada anak balita

juga dapat dijumpai di negara berkembang, termasuk di Indonesia. Menurut data

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 prevalensi gizi kurang di Indonesia

pada balita (BB/U<‒2SD) memberikan gambaran ada penurunan dari 18,4%

(tahun 2007) menurun menjadi 17,9% (tahun 2010) kemudian menurun menjadi

13,9% (tahun 2013)dari sekitar 20 juta balita di Indonesia.

Kabupaten Gianyar memiliki jumlah balita sebanyak 28.839 jiwa. Pada

tahun 2013 sebanyak 2,5% balita menderita gizi kurang dan 0,98% mengalami

gizi lebih (Dinas Kesehatan Provinsi Bali, 2013). Jumlah kejadian gizi kurang

terbanyak ada di wilayah kerja Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kesehatan

Masyarakat Sukawati II (Dinas Kesehatan Kabupaten Gianyar, 2013). Unit

Pelaksana Teknis (UPT) Kesehatan Masyarakat Sukawati II, memiliki enam desa

(24)

4

Desa Singapadu, Desa Batubulan, Desa Batubulan Kangin dan Desa Celuk

dengan jumlah balita sebanyak 1.749 jiwa. Prevalensi tertinggi balita dengan ibu

pekerja di Desa Batubulan Kecamatan Sukawati sebanyak 269 jiwa (UPT

Kesehatan Masyarakat Sukawati II, 2013).

Berdasarkan dari hasil studi pendahuluan di Desa Batubulan Kecamatan

Sukawati, banyak terdapat ibu pekerja yang mempunyai anak balita. Ibu pekerja

tersebut setiap hari kerja meninggalkan anak di rumah. Ada yang ditinggalkan

dari pagi hari (± 06.30 wita) sampai siang hari (± 14.00 wita) dan ada pula

ditinggalkan dari pagi hari sampai sore hari (± 17.00 wita). Oleh karena itu

penulis tertarik untuk melaksanakan penelitian tentang hubungan pola asuh makan

balita dengan ibu pekerja terhadap status gizi balita di Desa Batubulan Kecamatan

Sukawati.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti merumuskan masalah

penelitian sebagai berikut: “Apakah ada hubungan antara pola asuh makan balita

dengan ibu pekerja terhadap status gizi balita di Desa Batubulan Kecamatan

(25)

5

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengidentifikasi pola asuh

makan dengan status gizi balita dengan ibu pekerja di Desa Batubulan Kecamatan

Sukawati.

1.3.2 Tujuan Khusus

Secara khusus penelitian ini bertujuan:

a. Mengidentifikasi pola asuh makan balita dengan ibu pekerja.

b. Mengidentifikasi status gizi balita.

c. Menganalisis hubungan pola asuh makan balita dengan ibu pekerja terhadap

status gizi balita di Desa Batubulan Kecamatan Sukawati.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

a. Bagi peneliti

Hasil penelitian ini dapat digunakan peneliti untuk menambah

pembendaharaan ilmu pengetahuan berkaitan dengan pemberian pola asuh makan

balita dengan ibu pekerja terhadap status gizi balita.

b. Bagi perawat

Hasil penelitian ini dapat digunakan perawat untuk mengembangkan ilmu di

bidang keperawatan anak khususnya mengenai pertumbuhan, perkembangan dan

(26)

6

c. Bagi peneliti selanjutnya

Hasil penelitian dapat digunakan sebagai data dasar dan bahan masukan

bagi peneliti selanjutnya khususnya mengenai faktor lain yang mempengaruhi

status gizi pada balita.

1.4.2 Manfaat Praktis

a. Bagi masyarakat

Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi kepada keluarga dan

masyarakat tentang pola asuh makan balita dengan ibu pekerja dalam

hubungannya dengan status gizi balita.

b. Bagi puskesmas

Hasil penelitian ini dapat memberikan masukan kepada UPT Kesmas

Sukawati II yang membawahi Desa Batubulan dalam wilayah kerjanya untuk

lebih aktif dalam memberikan penyuluhan dan pendidikan kesehatan khususnya

tentang status gizi balita.

c. Bagi petugas kesehatan

Hasil penelitian ini dapat dijadikan pedoman bagi petugas puskesmas dan

penyelenggara kesehatan lain dalam meningkatkan pelayanan kesehatan khusunya

(27)

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Pola Asuh Makan

2.1.1 Pengertian Pola Asuh

Pengertian pola asuh menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah

merupakan suatu bentuk (struktur), sistem dalam menjaga, merawat, mendidik

dan membimbing anak kecil (Departemen Pendidikan Nasional, 2005). Sunarti,

dkk (2004) mendefinisikan pola asuh sebagai suatu model atau cara mendidik

anak yang merupakan suatu kewajiban dari setiap orang tua dalam usaha

membentuk pribadi anak yang sesuai dengan harapan masyarakat pada umumnya.

Pola asuh merupakan pola pengasuhan yang diberikan orangtua untuk

membentuk kepribadian anak. Pola asuh orangtua adalah pola perilaku yang

diterapkan pada anak dan bersifat relatif konsisten dari waktu ke waktu. Pola

perilaku ini dapat dirasakan anak dari segi negatif maupun segi positif (Sunarti,

2004).

Peranan ibu dalam pola pengasuhan anak berupa sikap dan praktek

pengasuhan ibu dalam kedekatannya dengan anak, merawat, cara memberi makan,

serta kasih sayang. Pengasuhan anak adalah suatu fungsi penting pada berbagai

kelompok sosial dan kelompok budaya. Peranan ibu dalam pola pengasuhan anak

juga meliputi pemenuhan kebutuhan dasar anak seperti memberi makan, mandi,

menyediakan dan memakaikan pakaian buat anak. Termasuk didalamnya adalah

(28)

8

memantau kesehatan anak, menyediakan obat, dan membawanya ke petugas

kesehatan profesional (Soekirman, 2006).

2.1.2 Pengertian Pola Asuh Makan

Pola asuh makan adalah cara makan seseorang atau sekelompok orang

dalam memilih makanan dan memakannya sebagai tanggapan terhadap pengaruh

fisiologi, psikologi budaya dan sosial (Waryana, 2010). Untuk kebutuhan

pangan/gizi balita, ibu menyiapkan diri sejak prenatal dalam mengatur dietnya

selama kehamilan, masa neonatal berupa pemberian air susu ibu (ASI),

menyiapkan makanan tambahan berupa makanan padat yang lebih bervariasi

bahannya atau makanan yang diperkaya, dan dukungan emosional untuk anak

(Kartini, 2006).

Pengasuhan makanan anak fase enam bulan pertama adalah pemenuhan

kebutuhan anak oleh ibu dalam bentuk pemberian ASI atau makanan pendamping

air susu ibu (MP-ASI) pada anak. Pengasuhan makanan dinyatakan cukup bila

diberi ASI semata sejak lahir sampai usia 4-6 bulan dengan frekuensi kapan saja

anak minta dan dinyatakan kurang bila tidak memenuhi kriteria tersebut.

Pengasuhan makanan anak pada fase enam bulan kedua adalah pemenuhan

kebutuhan makanan untuk bayi yang dilakukan ibu, dinyatakan cukup bila anak

diberikan ASI plus makanan lumat (berupa bubur atau nasi biasa) bersama ikan,

daging atau putih telur ditambah sayuran (dalam bentuk kombinasi atau tunggal)

diberi dalam frekuensi sama atau lebih 3 kali per hari, dan kurang bila tidak

(29)

9

dan bervariasi, mulai dari bentuk bubur, sari buah, buah segar, makanan lumat,

makanan lembek dan akhirnya makanan padat (Soekirman, 2006).

Pada prinsipnya pemberian makanan kepada bayi bertujuan untuk

mencukupi zat-zat gizi yang dibutuhkan bayi. Menurut Widyakarya Nasional

Pangan dan Gizi (2004), jumlah zat gizi, terutama energi dan protein yang harus

dikonsumsi bayi usia 6-12 bulan adalah 650 kalori dan 16 gram protein.

Kandungan gizi Air Susu Ibu (ASI) adalah 400 Kalori dan 10 gram protein, maka

kebutuhan yang diperoleh dari MP-ASI adalah 250 Kalori dan 6 gram protein.

Sedangkan menurut Departemen Kesehatan (2006), kandungan gizi ASI adalah

sekitar 350 kalori dan 8 gram protein, maka kebutuhan yang diperoleh dari

MP-ASI adalah sekitar 500 Kalori dan 12 gram protein.

Hasil penelitian Tati (2008), mengungkapkan bahwa di Indonesia jenis

MP-ASI yang umum diberikan kepada bayi sebelum usia empat bulan adalah

pisang 57,3%. Disamping itu akibat rendahnya sanitasi dan higiene MP-ASI

memungkinkan terjadinya kontaminasi oleh mikroba, sehingga meningkatkan

resiko infeksi yang lain pada bayi. Ada perbedaan antara proporsi berat badan

bayi yang diberi ASI Eksklusif dan yang diberi MP-ASI dibawah usia empat

bulan, sedangkan berdasarkan panjang badan tidak ada perbedaan.

Makanan yang baik untuk bayi dan balita harus memenuhi syarat-syarat

sebagai berikut:

1. Memenuhi kecukupan energi dan semua zat gizi yang sesuai dengan

(30)

10

2. Susunan hidangan disesuaikan dengan pola menu seimbang, bahan

makanan yang tersedia di tempat tinggal, kebiasaan makan dan selera

terhadap makanan tersebut.

3. Bentuk dan porsi makanan disesuaikan dengan daya terima, toleransi, dan

keadaan faal bayi/anak.

4. Memperhatikan kebersihan perorangan dan lingkungan.

Menurut Persatuan Ahli Gizi Indonesia/Persagi (1992) yang dikutip oleh

Kristiadi (2007), berdasarkan karakteristiknya balita usia 1-5 tahun dapat

dibedakan menjadi dua, yaitu anak usia dari 1-3 tahun yang dikenal dengan anak

bawah tiga tahun (batita) dan anak usia dari 3-5 tahun yang dikenal dengan usia

prasekolah. Anak usia 1-3 tahun merupakan konsumen pasif, yaitu anak menerima

makanan dari apa yang disediakan ibunya.

Penyajian makanan untuk balita diperlukan kreatifitas ibu agar makanan

terlihat menarik sehingga dapat menimbulkan selera makan anak balita. Penyajian

makanan yang akan diberikan kepada anak balita harus memperhatikan porsi atau

takaran konsumsi makan serta frekuensi makan yang dianjurkan dalam sehari.

Pemberian makanan dibagi menjadi tiga waktu makan yaitu pagi hari pada pukul

07.00-08.00, siang hari pada pukul 12.00-13.00, dan malam hari pada pukul

18.00-19.00. Pemberian makanan selingan yaitu antara dua waktu makan yaitu

pukul 10.00-11.00 dan pukul 16.00-17.00 (Depkes RI, 2006). Waktu penyajian

(31)

11

Tabel 2.1 Pola Pemberian Makanan Balita

Umur Bentuk Makanan Frekuensi

0 - 6 bulan ASI eksklusif Sesering mungkin minimal 8 kali/hari 6 - 9 bulan Makanan lumat/lembek 2 kali sehari, 2 sendok makan setiap kali

makan

9 - 12 bulan Makanan lembek 3 kali sehari ditambah 2 kali makanan selingan

1 - 3 tahun Makanan keluarga

1 - 1½ piring nasi/pengganti 2 - 3 potong sedang lauk

Tabel 2.2 Pola Pemberian Makanan Balita Menurut Kecukupan Energi

Umur Balita

Total Energi

(kkal)

Waktu Pemberian Makanan Sehari Balita Menurut Kecukupan Energi

Pagi Selingan Pagi Siang Selingan Siang

Faktor-faktor yang perlu diperhatikan untuk pengaturan makan yang tepat

adalah umur, berat badan, keadaan mulut sebagai alat penerima makanan,

kebiasaan makan, kesukaan dan ketidaksukaan, dan toleransi anak terhadap

(32)

12

Dengan memperhatikan dan memperhitungkan faktor-faktor tersebut di

atas umumnya tidak akan terjadi kekeliruan dalam mengatur makanan untuk

balita. Pada umumnya, anak balita telah dapat diberikan jadwal waktu makan tiga

kali makan sehari dan diantaranya dua kali makanan selingan (Soekirman, 2006).

2.1.3 Asupan Kalori Total

Energi merupakan hasil dari metabolism karbohidrat, lemak, dan protein.

Fungsi energi adalah sebagai sumber tenaga untuk metabolisme, pengaturan suhu

tubuh, pertumbuhan dan kegiatan fisik. Keseimbangan energi dicapai bila energi

yang masuk ke dalam tubuh sama dengan energi yang dikeluarkan. Bila energi

dalam jumlah besar (dalam bentuk makanan) yang masuk ke dalam tubuh

melebihi jumlah yang dikeluarkan, berat badan akan bertambah, dan sebagian

besar kelebihan energi tersebut akan disimpan sebagai lemak. Begitu pula

sebaliknya jika energi dalam jumlah besar (dalam bentuk makanan) yang masuk

ke dalam tubuh kurang dari jumlah yang dikeluarkan, berat badan akan menurun

dan akan terjadi gangguan gizi (Guyton, 2006).

2.1.4 Pola Asuh Makan Karbohidrat

Karbohidrat memiliki fungsi utama dalam tubuh manusia yaitu sebagai

sumber energi. Kandungan kalori pada setiap 1 gram karbohidrat adalah 4 kkal.

Contoh bahan makanan yang mengandung karbohidrat yaitu, beras, jagung,

gandum, ubi, kentang, sagu, roti, dan mie. Pencernaan karbohidrat dimulai dari

amilum (zat tepung) yang sudah mulai mengalami prosesnya di mulut oleh enzim

(33)

13

pencernaan amilum berlanjut ke digaster. Cairan yang disekresi lambung tidak

mengandung enzim yang dapat memecah karbohidrat, makanan hanya akan

tinggal di lambung sementara. Selanjutnya pencernaan karbohidrat lebih banyak

terjadi pada usus bagian atas. Di dalam duodenum chymus dicampur dengan

sekresi pankreas dan sekresi dinding duodenum yang keduanya mengandung

enzim yang dapat memecah karbohidrat dan menghasilkan energi. Sisa

karbohidrat yang ada dibuang sebagai tinja (Sulistyaningsih, 2011).

Karbohidrat tersusun atas untaian molekul glukosa. Apabila kadar glukosa

berlebih di dalam tubuh maka kelebihannya akan disimpan sebagai glikogen atau

diubah menjadi lemak. Kelebihan tersebut dengan cepat diubah menjadi

trigliserida (lemak) dan kemudian disimpan dalam jaringan adipose. Pada

manusia, kebanyakan sintesis trigliserida terjadi di dalam hati, tetapi sejumlah

kecil juga dibentuk di dalam jaringan adipose (Guyton, 2006). Konsumsi

karbohidrat atau makanan pokok yang dianjurkan adalah 50-60% dari kebutuhan

total energi/hari (Depkes RI, 2002).

2.1.5 Pola Asuh Makan Protein

Protein merupakan zat gizi sebagai pelengkap makanan pokok yang

memberikan rasa pada makanan. Protein diperlukan untuk pertumbuhan dan

pemeliharaan sel-sel tubuh. Terdapat dua sumber zat gizi protein, yaitu (1) berasal

dari hewan, contohnya daging, ikan, telur, susu, udang dan hasil olahannya; dan

(2) berasal dari tumbuhan, contohnya kacang-kacangan, serta hasil olahannya.

Selain membantu pertumbuhan dan pemeliharaan sel-sel tubuh, protein juga

(34)

14

amino yang diperlukan dalam membentukan enzim pencernaan dan metabolisme

serta antibodi yang dibutuhkan tubuh, mengangkut zat gizi dari saluran cerna, dan

mengatur keseimbangan air (Sulistyaningsih, 2011).

Proses pencernaan protein akan terjadi di lambung, dengan adanya enzim

pepsin yang bekerjasama dengan hidrogen klorida/asam klorida (HCL) untuk

memecah protein. Protein makanan dicerna total menjadi asam amino di dalam

usus halus. Semua asam amino larut dalam air sehingga dapat berdifusi secara

pasif ke dalam membran sel (Sulistyaningsih, 2011). Konsumsi protein yang

dianjurkan adalah 10-15% dari kebutuhan total energi/hari (Depkes RI, 2002).

Menurut Almatsier (2003) dalam Sulistyaningsih (2011), maksimal asupan

protein yang boleh dikonsumsi adalah dua kali dari Angka Kecukupan Gizi

(AKG). Apabila pemenuhan kebutuhan energi tidak tercukupi dari karbohidrat

maka protein dapat digunakan sebagai sumber energi. Protein melalui proses

glukoneogenesis akan merubah asam amino menjadi glukosa. Kekurangan energi

dari karbohidrat akan meningkatkan sekresi kortikotropin. Kortikotropin

merangsang korteks adrenal untuk menghasilkan sejumlah besar hormon

glukokortikoid, terutama kortisol. Kortisol memobilisasi protein terutama dari

seluruh sel tubuh dan segera mengalami desimilasi dalam hati dan menghasilkan

zat untuk diubah menjadi glukosa. Hampir 60% asam amino dalam protein tubuh

dapat diubah menjadi karbohidrat (Guyton, 2006).

2.1.6 Pola Asuh Makan Lemak

Lemak merupakan zat gizi yang memiliki fungsi sebagai sumber energi,

(35)

15

K, sebagai bantalan organ tubuh, serta membantu memelihara suhu tubuh dan

melindungi tubuh dari hawa dingin (Sulistyaningsih, 2011). Sejumlah besar lemak

disimpan dalam dua jaringan tubuh utama, jaringan adiposa (deposit lemak) dan

hati. Fungsi utama jaringan adiposa adalah menyimpan trigliserida sampai

diperlukan kembali menjadi energi dalam tubuh. Sumber lemak diantaranya

diperoleh dari minyak kelapa, minyak sawit, telur, susu, dan keju. Konsumsi

lemak yang dianjurkan sebanyak 15-25% dari kebutuhan energi total/hari

(Depkes, 2002). Sebagian lemak yang dikonsumsi sehari-hari sebaiknya tidak

lebih dari 10% berasal dari lemak jenuh dan 3-7% berasal dari lemak tidak jenuh

ganda, sedangkan konsumsi kolesterol yang dianjurkan adalah kurang dari 300

mg dalam sehari (Almatsier, 2003).

2.1.7 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh Makan Balita

1. Pengetahuan ibu mengenai makanan yang bergizi

Pengetahuan adalah hasil dari “tahu” dan ini terjadi setelah orang

melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan merupakan

domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Dari perilaku

yang didasari oleh pengetahuan, akan lebih “langgeng” dibandingkan perilaku

yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmojo, 2003). Jika tingkat

pengetahuan gizi ibu baik, maka diharapkan status gizi ibu dan balitanya baik,

sebab gangguan gizi adalah karena kurangnya pengetahuan ibu tentang gizi

(36)

16

2. Pendidikan ibu

Peranan ibu sangat penting dalam penyediaan makanan bagi anaknya.

Pendidikan ibu sangat menentukan dalam pilihan makanan dan jenis makanan

yang dikonsumsi oleh anak dan anggota keluarga lainnya. Pendidikan gizi ibu

bertujuan meningkatkan penggunaan sumber daya makanan yang tersedia. Hal ini

dapat diartikan bahwa tingkat kecukupan zat gizi pada anak tinggi bila pendidikan

ibu tinggi (Almatsier, 2011)

3. Pekerjaan ibu

Status ekonomi rumah tangga dapat dilihat dari pekerjaan yang dilakukan

oleh kepala rumah tangga maupun anggota rumah tangga yang lain. Jenis

pekerjaan yang dilakukan oleh kepala rumah tangga dan anggota keluarga lain

akan menentukan seberapa besar sumbangan mereka terhadap keuangan rumah

tangga yang kemudian akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga,

seperti pangan yang bergizi dan perawatan kesehatan. Jadi, terdapat hubungan

antara konsumsi pangan dan status ekonomi rumah tangga serta status gizi

masyarakat (Almatsier, 2011)

Tingkat pendapatan akan menentukan jenis dan ragam makanan yang akan

dibeli dengan uang tambahan. Keluarga dengan penghasilan rendah akan

menggunakan sebagian besar dari keuangannya untuk membeli makanan dan

bahan makanan. Penghasilan yang rendah berarti rendah pula jumlah uang yang

akan dibelanjakan untuk makanan, sehingga bahan makanan yang dibeli untuk

keluarga tersebut tidak mencukupi untuk mendapat dan memelihara kesehatan

(37)

17

dalam susunan makanan, karena peningkatan pendapatan tersebut memungkinkan

mereka mampu membeli pangan yang berkualitas dan berkuantitas lebih baik.

Namun perlu diketahui, bahwa pengeluaran uang yang lebih banyak untuk pangan

tidak menjamin lebih beragamnya konsumsi pangan. Kadang perubahan utama

yang terjadi dalam kebiasaan makan yaitu pangan yang dimakan itu lebih mahal.

Asupan makanan yang tidak cukup baik dari segi jumlah maupun kulaitas dalam

jangka lama akan menyebabkan terjadinya gangguan gizi. Keadaan kurang gizi

akan mengurangi daya tahan tubuh terhadap penyakit, mempengaruhi tingkat

kecerdasan dan prestasi belajar, produktifitas kerja dan pendapatan (Almatsier,

2011).

2.2 Metode Pengukuran Pola Asuh Makan

Metode pengukuran pola asuh makan atau konsumsi individu ada dua

jenis, yaitu metode kualitatif dan kuantitatif. Metode kuantitatif meliputi metode

food recall 24 jam, perkiraan makanan (estimated food records), penimbangan

makanan (food weighing), food account, metode inventaris (inventory method),

dan metode pencatatan (household food records). Adapun metode kualitatif meliputi metode food frequency, metode dietary history, metode telepon dan

metode food list (Gibson, 2005).

2.2.1 Metode FoodRecall 24 Jam

Metode food recall 24 jam adalah salah satu metode kuantitatif pengukuran konsumsi pangan. Prinsip metode food recall 24 jam yaitu mencatat

(38)

18

Bahan makanan dan minuman yang ditanyakan adalah bahan makanan dan

minuman yang dikonsumsi sejak responden bangun pagi kemarin sampai dia

istirahat tidur malam harinya atau dapat dimulai dari waktu saat dilakukan

wawancara mundur sampai 24 jam penuh. Data bahan makanan yang telah

dikumpulkan kemudian dikonversikan ke dalam zat gizi dengan menggunakan

Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM). Selanjutnya, hasil yang diperoleh

dibandingkan dengan Daftar Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan di Indonesia

(Gibson, 2005).

Kelebihan metode food recall 24 jam adalah mudah dilaksanakan dan

tidak terlalu membebani responden, biaya relatif murah, cepat dan dapat

memberikan gambaran nyata tentang makanan yang benar-benar dikonsumsi

individu, sehingga dapat dihitung intake gizi sehari. Kekurangan metode food

recall 24 jam adalah tidak dapat dilakukan pada hari besar (masa panen dan pada

saat melakukan upacara keagamaan atau selamatan), ketepatan hasil pengukuran

sangat tergantung pada daya ingat dan kejujuran responden (Supariasa, 2002).

Langkah-langkah pelaksanaan food recall 24 jam (Supariasa, 2002) adalah:

a. Petugas atau pewawancara menanyakan kembali dan mencatat semua

makanan dan minuman yang dikonsumsi responden dalam ukuran rumah

tangga selama kurun waktu 24 jam yang lalu.

b. Menganalisis bahan makanan ke dalam zat gizi dengan menggunakan

(39)

19

c. Membandingkan dengan daftar Kecukupan Gizi yang Dianjurkan (DGKA)

atau Angka Kecukupan Gizi (AKG).

Agar wawancara berjalan secara sistematis, perlu dipersiapkan kuisioner

sehingga wawancara terarah menurut urutan waktu dan pengelompokan bahan

makanan. Untuk waktu makan sehari dapat disusun berupa makanan pagi, siang,

malam dan selingan.

Data food recall berupa jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi dalam

ukuran rumah tangga (URT) atau dalam satuan gram, kemudian dikonversi dalam

satuan energy (kkal), protein (gr), lemak (gr), karbohidrat (gr) dengan merujuk

pada Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) tahun 2004. Konversi dihitung

dengan menggunakan rumus (Hardinsyah & Briawan, 1994 dalam Rakhmawati

2009) sebagai berikut:

Kgij = (Bj/100) x Gij x (BDD/100)

Keterangan:

Kgij : Kandungan zat gizi i dalam bahan makanan j

Bj : Berat makanan j yang dikonsumsi

Gij : Kandungan zat gizi dalam 100 gram BDD bahan makanan j

BDDj : Bagian bahan makanan j yang dapat dimakan

Selanjutnya, tingkat kecukupan zat gizi yang diperoleh dengan cara

membandingkan jumlah konsumsi zat gizi tersebut dengan kecukupannya. Berikut

rumus tingkat kecukupan zat gizi yang digunakan:

(40)

20

Keterangan:

TKG : Tingkat kecukupan zat gizi

K : Konsumsi pangan

AKG : Kecukupan zat gizi yang dianjurkan

2.2.2 Metode Food Frequency

Metode frekuensi makanan (food frequency) adalah salah satu metode kualitatif pengukuran konsumsi pangan. Metode frekuensi makanan digunakan

untuk memperoleh data frekuensi makanan konsumsi sejumlah bahan makanan

atau makanan jadi selama periode waktu tertentu seperti hari, minggu, bulan dan

tahun. Metode frekuensi makanan dapat menggambarkan pola konsumsi bahan

makanan secara kualitatif. Metode frekuensi makanan dapat membedakan

individu berdasarkan ranking tingkat konsumsi zat gizi karena periode

pengamatannya lebih lama, sehingga cara ini sering digunakan dalam penelitian

gizi (Supariasa, 2002).

Metode frekuensi makanan akurat untuk menentukan rata-rata asupan zat

gizi jika menu makanan sehari-hari sangat bervariasi. Kelebihan metode ini adalah

dapat memperoleh data asupan zat gizi dalam jumlah besar yang mencakup

50-150 jenis makanan (Arisman, 2004).

Pelaksanaan metode frekuensi makanan dilakukan dengan menggunakan

kuisioner. Kuisioner tersebut terdiri dari dua komponen, yaitu daftar jenis pangan

dan daftar konsumsi pangan. Bahan makanan atau makanan yang ada dalam

kuisioner tersebut adalah bahan makanan atau makanan yang dikonsumsi dalam

(41)

21

Langkah metode frekuensi makanan adalah responden diminta memberi

tanda pada daftar bahan makanan yang tersedia pada kuisioner mengenai

frekuensi penggunannya dan ukuran porsinya. Pewawancara kemudian melakukan

rekapitulasi tentang frekuensi penggunaan jenis bahan makanan, terutama bahan

makanan yang merupakan sumber zat gizi tertentu selama periode tertentu pula

(Supariasa, 2002).

Kelebihan metode frekuensi makanan adalah relatif murah dan sederhana,

dapat dilakukan sendiri oleh responden, tidak membutuhkan latihan khusus serta

dapat membantu menjelaskan hubungan antara penyakit dan kebiasaan makan

(Supariasa, 2002). Adapun kelemahan metode ini adalah tidak dapat

menghasilkan data kuantitatif, pengisisan kuisioner hanya mengandalkan ingatan,

responden sering malas mengisi formulir dengan lengkap dan tanpa bantuan

komputer, proses analisis menjadi sulit dan melelahkan. Pengisian kuisioner yang

hanya mengandalkan ingatan menyebabkan data yang dihasilkan tidak akurat.

Sumber ketidakuratan tersebut antara lain: daftar makanan tidak lengkap,

kekeliruan dalam menentukan frekuensi dan daftar bahan makanan yang terlalu

panjang atau terlalu pendek (Arisman, 2004).

2.3 Konsep Balita

Balita merupakan individu yang berumur 1-5 tahun, dengan tingkat

plastisitas otak yang masih sangat tinggi sehingga akan lebih terbuka untuk proses

pembelajaran dan pengayaan (Kemenkes RI, 2009). Balita terbagi menjadi dua

golongan yaitu balita dengan usia satu sampai tiga tahun (batita) dan balita dengan

(42)

22

kebutuhan akan aktivitas hariannya masih tergantung penuh terhadap orang lain,

mulai dari makan, buang air besar maupun air kecil dan kebersihan diri. Masa

balita merupakan masa yang sangat penting bagi proses kehidupan manusia. Pada

masa ini akan berpengaruh besar terhadap keberhasilan anak dalam proses tumbuh

kembang selanjutnya (Nicki, 2007).

2.3.1 Karakteristik Balita

Anak usia 1-3 tahun merupakan konsumen pasif, artinya anak menerima

makanan dari apa yang disediakan ibunya. Laju pertumbuhan masa batita lebih

besar dari masa usia pra-sekolah sehingga diperlukan jumlah makanan yang relatif

besar. Namun perut yang masih lebih kecil menyebabkan jumlah makanan yang

mampu diterimanya dalam sekali makan lebih kecil dari anak yang usianya lebih

besar. Oleh karena itu, pola makan yang diberikan adalah porsi kecil dengan

frekuensi sering. Pada usia pra-sekolah anak menjadi konsumen aktif. Mereka

sudah dapat memilih makanan yang disukainya. Pada usia ini anak mulai bergaul

dengan lingkungannya atau bersekolah playgroup sehingga anak mengalami beberapa perubahan dalam perilaku. Pada masa ini anak akan mencapai fase

gemar memprotes sehingga mereka akan mengatakan “tidak” terhadap setiap

ajakan. Pada masa ini berat badan anak cenderung mengalami penurunan, akibat

dari aktivitas yang mulai banyak dan pemilihan maupun penolakan terhadap

(43)

23

2.4 Konsep Ibu Pekerja

Menurut Encyclopedia of Children’s Health, ibu bekerja adalah seorang

ibu yang bekerja di luar ataupun di dalam rumah untuk mendapatkan penghasilan

di samping membesarkan dan mengurus anak di rumah. Menurut Lerner (2001),

yang dimaksud ibu bekerja adalah wanita yang sudah bersuami dalam kehidupan

atau kegiatan sehari-harinya bekerja di luar rumah mencari nafkah baik sebagai

pegawai negeri ataupun swasta dan mendapatkan imbalan berupa uang atau jasa.

2.4.1 Dampak Positif Ibu Pekerja

Ibu yang bekerja akan memiliki penghasilan yang dapat menambah

pendapatan rumah tangga. Mereka yang bekerja lebih memiliki akses dan kuasa

terhadap pendapatan yang dihasilkan untuk digunakan untuk keperluan anak

mereka (UNICEF, 2007). Para ibu akan lebih memilih membeli sesuatu seperti

makanan bergizi berimbang yang dapat menunjang pemenuhan kebutuhan pangan

anak mereka (Glick, 2002). McIntosh dan Bauer (2006), juga mengatakan bahwa

dengan pendapatan rumah tangga yang ganda (suami dan istri bekerja), banyak

wanita lebih mampu menentukan banyak pilihan untuk keluarga mereka di dalam

hal nutrisi dan pendidikan. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Gennetian

et al. (2009), bahwa ibu yang bekerja memiliki kemampuan untuk membeli

makanan berkualitas tinggi, kebutuhan rumah tangga lainnya dan biaya kesehatan.

Dampak positif ibu bekerja dapat juga dilihat dari efek yang didapat

apabila anak mereka dititipkan di tempat penitipan anak. Mereka yang dititipkan

di tempat penitipan anak yang memperkerjakan pengasuh terlatih, memiliki

(44)

24

dibandingkan dengan anak yang hanya berada di rumah bersama ibunya yang

tidak bekerja (McIntosh dan Bauer, 2006).

2.4.2 Dampak Negatif Ibu Pekerja

Status gizi kurang atau gizi buruk yang dialami balita juga dapat terjadi

akibat memendeknya durasi pemberian Air Susu Ibu (ASI) oleh ibu karena harus

bekerja (Glick, 2002). Reynolds (2003) juga mengatakan bahwa sekitar satu

pertiga dari ibu yang bekerja saat mengandung, kembali bekerja penuh waktu saat

anak mereka berusia 11 bulan. Mereka kembali bekerja saat-saat kritis di mana

perkembangan otak sedang berlangsung dan membutuhkan ASI sebagai nutrisi

utama.

Akibat jam kerja, waktu kebersamaan atau quality time antara ibu dan anak pun akan berkurang (Glick, 2002). Sehingga perkembangan mental dan

kepribadian anak akan terganggu, mereka lebih sering mengalami cemas akan

perpisahan atau separation anxiety (Mehrota, 2011). Hal ini dikarenakan akibat

jadwal kerja yang terlalu sibuk, mengakibatkan para ibu tidak dapat mengawasi

dan ikut berpartisipasi dalam setiap kegiatan anak (Fertig et al., 2009).

2.5 Konsep Dasar Status Gizi

2.5.1 Pengertian Status Gizi

Status gizi adalah keadaan keseimbangan sebagai akibat konsumsi

makanan dan penggunannya. Dibedakan antara status gizi buruk, kurang, baik dan

lebih. Tiap orang memiliki status gizi yang berbeda antara satu dengan yang

(45)

25

dalam bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutrisi dalam bentuk variabel

tertentu (Supariasa, 2002).

Status gizi balita adalah hasil penilaian status gizi pada balita usia (1-5)

tahun dengan pengukuran indeks antropometri gizi yaitu berat badan dalam

kilogram menurut umur, dimana status gizi dapat diklasifikasikan menurut World

Health Organization-National Center for Health Statistics (WHO-NCHS).

2.5.2 Klasifikasi Status Gizi

Keadaan kesehatan gizi sesuai dengan tingkat konsumsi dibagi menjadi

tiga yaitu: gizi lebih (overnutritional state), gizi baik (eunutritional state) dan gizi

kurang (undernutrition) (Sediaoetama, 2003). a. Status Gizi Lebih (overnutritional state)

Gizi lebih (overnutritional state) adalah tingkat kesehatan gizi sebagai

hasil konsumsi berlebih. Dalam keadaan demikian, timbul penyakit-penyakit

tertentu yang sering dijumpai pada orang kegemukan seperti: penyakit

kardiovaskuler yang menyerang jantung dan sistem pembuluh darah, hipertensi,

diabetes mellitus dan lainnya (Sediaoetama, 2006).

b. Status Gizi Baik (eunutritional state)

Tingkat kesehatan gizi terbaik adalah kesehatan gizi optimum

(eunutritional state). Dalam kondisi ini jaringan penuh oleh semua zat tersebut.

Tubuh terbebas dari penyakit dan mempunyai daya kerja dan efisiensi yang

sebaik-baiknya. Tubuh juga mempunyai daya tahan yang setinggi-tingginya

(46)

26

c. Status Gizi Kurang (undernutrition)

Gizi kurang (undernutrition) adalah kekurangan bahan-bahan nutrisi

seperti protein, karbohidrat, lemak dan vitamin yang dibutuhkan oleh tubuh. Berat

badan akan lebih rendah dari berat badan ideal dan penyediaan zat-zat gizi bagi

jaringan tidak mencukupi, sehingga akan menghambat fungsi jaringan tersebut

(Sediaoetama, 2006).

Menentukan klasifikasi status gizi harus ada ukuran baku yang sering

disebut reference. Penentuan status gizi di lapangan masih menggunakan kalsifikasi yang berbeda-beda sehingga data yang dihasilkan sulit untuk dianalisis

lebih lanjut baik untuk hubungan maupun analisis perbandingan. Sesuai dengan

perkembangan ilmu, teknologi serta hasil temu pakar gizi Indonesia, standar baku

antropometri yang digunakan secara nasional di Indonesia disepakati

menggunakan standar baku World Health Organization-National Center for

Health Statistics (WHO-NCHS). Standar baku ini kemudian ditetapkan dalam

Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor: 920/Menkes/SK/VIII/2002 (Depkes RI,

2005).

Tabel 2.3 Klasifikasi Status Gizi Anak Bawah Lima Tahun (Balita)

Indeks Status Gizi Ambang Batas *)

Berat Badan menurut Umur

(47)

27

2.5.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Status Gizi

Untuk mencapai status gizi sebagaimana yang diharapkan, maka perlu

diperhatikan beberapa faktor yang mempengaruhi status gizi, antara lain faktor

yang terdapat dalam diri balita (faktor internal), dan yang terdiri dari luar balita

(faktor eksternal) (Citrawati, 2003).

a. Faktor Internal

Faktor gizi internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri seseorang

(Almatsier, 2011). Faktor gizi internal yang mempengaruhi gizi balita, meliputi:

1. Genetik

Faktor bawaan atau genetik juga mempengaruhi status gizi seorang anak,

seperti keluarga dengan obesitas maka kemungkinan besar anak akan mengalami

obesitas juga (Citrawati, 2003).

2. Asupan makanan

Anak harus selalu cukup dengan makanan yang seimbang untuk

menunjang pertumbuhan dan perkembangannya. Makanan yang seimbang untuk

memenuhi gizi seseorang anak harus diberikan sejak dalam kandungan (Citrawati,

2003).

3. Nilai cerna makanan

Penganekaragaman makanan erat kaitannya dengan nilai cerna makanan.

Makanan yang disediakan untuk konsumsi manusia mempunyai nilai cerna yang

berbeda. Hal ini dipengaruhi oleh keadaan makanan, misalnya keras atau lembek

(48)

28

4. Status kesehatan

Status kesehatan seseorang turut menentukan kebutuhan nutrisi.

Kebutuhan nutrisi orang sakit berbeda dengan orang sehat, karena sebagian sel

tubuh orang sakit telah mengalami kerusakan dan perlu diganti, sehingga

membutuhkan nutrisi yang lebih banyak. Selain untuk membangun kembali sel

tubuh yang telah rusak, nutrisi lebih ini diperlukan juga untuk pemulihan

(Almatsier, 2011).

5. Keadaan infeksi

Di Indonesia dan juga negara berkembang lainnya, penyakit infeksi masih

banyak menyerang kesehatan balita. Gangguan defisiensi gizi dan rawan infeksi

adalah suatu hubungan yang erat, maka perlu ditinjau kaitannya satu sama lain.

Infeksi bisa berhubungan dengan gangguan gizi melalui beberapa cara, yaitu

mempengaruhi nafsu makan, menyebabkan kehilangan bahan makanan karena

muntah/diare, atau mempengaruhi metabolisme makanan. Gizi buruk dan infeksi,

keduanya dapat bermula dari kemiskinan dan lingkunagn yang tidak sehat dengan

sanitasi buruk. Selain itu, juga diketahui bahwa infeksi menghambat reaksi

imunologis yang normal dengan menghabiskan sumber energi pada tubuh.

Adapun penyebab utama gizi buruk adalah penyakit infeksi bawaan balita seperti

diare, campak, infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) dan rendahnya asupan gizi

akibat kurangnya ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga atau karena pola

(49)

29

6. Umur

Anak balita yang sedang mengalami pertumbuhan dan perkembangan

memerlukan makanan bergizi yang lebih banyak dibandingkan orang dewasa per

kilogram berat badannya. Dengan semakin bertambahnya umur, semakin

meningkat pula kebutuhan nutrisi bagi tubuh.

Pada usia 1-5 tahun adalah masa golden age dimana pada masa tersebut dibutuhkan nutrisi yang diperlukan bagi tubuh untuk pertumbuhannya. Semakin

bertambah usia akan semakin meningkat kebutuhan nutrisi yang dibutuhkan oleh

tubuh untuk mendukung meningkatnya dan semakin beragamnya kegiatan fisik

(Suharjo, 2003).

7. Jenis kelamin

Jenis kelamin menentukan besar kecilnya kebutuhan gizi seseorang. Anak

laki-laki lebih banyak membutuhkan nutrisi daripada anak perempuan, karena

secara kodrati laki-laki memang diciptakan lebih kuat daripada perempuan. Dan

hal ini dengan mudah dapat dilihat dari aktivitas yang dilakukan oleh laki-laki dan

perempuan (Suharjo, 2003).

8. Riwayat ASI eksklusif

Pemberian ASI secara eksklusif untuk bayi hanya diberikan ASI tanpa

diberi tambahan cairan lain. Pemberian ASI eksklusif dianjurkan untuk jangka

waktu minimal empat bulan atau enam bulan. ASI adalah satu-satunya makanan

ideal yang terbaik dan paling sempurna bagi bayi untuk memenuhi kebutuhan

fisik dan psikologis bayi yang sedang tumbuh dan berkembang. Air Susu Ibu

(50)

30

dan mengandung zat kekebalan yang mampu melindungi bayi dari berbagai

penyakit infeksi. Selain itu, ASI juga dapat menurunkan angka kematian bayi baru

lahir karena diare (Almatsier, 2011).

9. Riwayat makanan pendamping ASI (MP-ASI)

Makanan pendamping ASI adalah makanan yang diberikan kepada bayi

disamping ASI untuk memenuhi kebutuhan gizi anak mulai usia empat bulan

sampai usia 24 bulan. Bayi membutuhkan nutrisi yang tinggi untuk pertumbuhan

dan perkembangannya. Seiring dengan pertumbuhan umur anak, kebutuhan

nutrisinya juga juga meningkat. Memasuki usia 4-6 bulan bayi telah siap

menerima makanan bukan cair, karena gigi telah tumbuh dan lidah siap menelan

makanan setengah padat. Disamping itu, lambung juga telah lebih baik mencerna

zat tepung. Di awal kehidupannya, lambung dan usus bayi sesungguhnya belum

sepenuhnya matang. Bayi dapat mencerna gula dalam susu (laktase) tetapi belum

mampu menghasilkan amilase dalam jumlah yang cukup. Jika kemudian bayi

disapih pada usia 4-6 bulan, tidak berarti karena bayi telah siap menerima

makanan selain ASI, tetapi karena kebutuhan gizi bayi tidak lagi cukup dipasok

hanya oleh ASI. Memang ada sebagian bayi yang terus tumbuh dengan

memuaskan meskipun tidak diberikan makanan tambahan. Namun di lain pihak,

cukup banyak bayi yang membutuhkan nutrisi dan energi lebih dari sekedar yang

tersedia di dalam ASI (Arisman, 2004).

b. Faktor Eksternal

Faktor gizi eksternal adalah faktor yang berpengaruh di luar diri seseorang

(51)

31

1. Faktor pertanian

Faktor pertanian meliputi seluruh usaha pertanian mulai dari penanaman

sampai dengan produksi dan pemasaran, jika sektor pertanian melemah (terjadi

gagal panen) maka masyarakat akan kesulitan dalam memperoleh makanan untuk

dikonsumsi, sehingga secara tidak langsung akan mempengaruhi status gizi

(Almatsier, 2011).

2. Faktor ekonomi

Penghasilan keluarga mempengaruhi dan menentukan daya beli keluarga

termasuk makanan, tersedia atau tidaknya makanan dalam keluarga akan

menentukan kualitas bahan makanan yang dikonsumsi oleh anggota yang

sekaligus mempengaruhi asupan gizi (Almatsier, 2011).

3. Faktor sosial budaya

Pola kebudayaan juga mempengaruhi orang dalam memilih pangan.

Faktor sosial budaya meliputi kebiasaan makan, kesukaan terhadap jenis makanan

tertentu dan anggapan terhadap suatu makanan yang berkaitan dengan agama dan

kepercayaan tertentu (Almatsier, 2011).

4. Jumlah anggota keluarga

Kasus balita gizi kurang banyak ditemukan pada keluarga dengan jumlah

anggota keluarga yang besar dibandingkan dengan keluarga kecil. Keluarga

dengan jumlah anak yang banyak dan jarak kelahiran yang sangat dekat akan

menimbulkan lebih banyak masalah, yakni pendapatan keluarga yang pas-pasan,

sedangkan anak banyak maka pemerataan dan kecukupan makan di dalam

(52)

32

yang lebih sedikit, karena makanan lebih banyak diberikan kepada kakak mereka

yang lebih besar sehingga mereka menjadi kurang gizi dan rawan terkena penyakit

(Almatsier, 2011).

2.5.4 Kebutuhan Zat Gizi pada Balita

Pemberian kebutuhan gizi balita harus disesuaikan dengan umur, jenis

kelamin, berat badan, aktivitas, jumlah yang cukup, bergizi dan seimbang (Uripi,

2004). Kebutuhan energi protein balita berdasarkan Angka Kecukupan Gizi

(AKG) rata-rata perhari yang dianjurkan oleh Widyakarya Pangan dan Gizi dapat

dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 2.4 Kebutuhan Konsumsi Energi dan Protein Balita Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi Anjuran (AKG) Rata-Rata Per Hari

No Kelompok Umur Berat badan (kg)

Sumber: Widyakarma Pangan dan Gizi, 2004

2.6 Penilaian Status Gizi

Malnutrisi pada individu atau masyarakat dapat diketahui melalui

penilaian status gizi (PSG). Penilaian status gizi adalah interpretasi dari data yang

didapatkan dengan menggunakan berbagai metode untuk mengidentifikasi

populasi atau individu yang berisiko atau dengan status gizi buruk (Syafiq, 2009).

Cara penilaian status gizi yang paling sering digunakan di masyarakat adalah

(53)

33

2.6.1 Pengertian Antropometri

Asal kata: antropos (tubuh) dan metros (ukuran), antropometri berarti ukuran dari tubuh (Supariasa, 2002). Antropometri gizi berhubungan dengan

berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai

tingkat umur dan tingkat gizi. Antropometri sangat umum digunakan untuk

mengukur status gizi dari berbagai ketidakseimbangan antara asupan protein dan

energi. Gangguan ini biasanya terlihat dari pola pertumbuhan fisik dan proporsi

jaringan tubuh, seperti lemak, otot dan jumlah air dalam tubuh (Supariasa, 2002).

2.6.2 Syarat yang Mendasari Penggunaan Antropometri

1. Alat mudah didapat dan digunakan, seperti dacin, pita lingkar lengan atas, dan

alat pengukur panjang bayi yang dapat dibuat sendiri di rumah.

2. Pengukuran dapat dilakukan berulang-ulang dengan mudah dan objektif.

3. Pengukuran bukan hanya dilakukan dengan tenaga khusus profesional, dapat

oleh tenaga lain setelah mendapat pelatihan.

4. Biaya relatif murah, karena alat mudah didapat dan tidak memerlukan

bahan-bahan lainnya.

5. Mudah disimpulkan, karena mempunyai ambang batas (cutt of point) dan baku

rujukan yang sudah pasti.

6. Secara ilmiah diakui kebenarannya. Hampir semua negara menggunakan

antropometri sebagai metode untuk mengukur satatus gizi masyarakat,

(54)

34

2.6.3 Keunggulan Antropometri

1. Prosedur sederhana, aman dan dapat dilakukan dalam jumlah sampel cukup

besar

2. Relatif tidak membutuhkan tenaga ahli

3. Alat murah, mudah dibawa, tahan lama, dapat dipesan dan dibuat di daerah

setempat.

4. Metode ini tepat dan akurat, karena dapat dibakukan.

5. Dapat mendeteksi atau menggambarkan riwayat gizi di masa lampau.

6. Umumnya dapat mengidentifikasi status gizi sedang, kurang, buruk dan baik,

karena sudah ada ambang batas yang jelas.

7. Dapat mengevaluasi perubahan status gizi pada periode tertentu, atau dari satu

generasi ke generasi berikutnya.

8. Dapat digunakan untuk penapisan kelompok yang rawan terhadap gizi

(Hammond, 2004).

2.6.4 Jenis Parameter Antropometri

Antropometri sebagai indikator status gizi dapat dilakukan dengan

mengukur beberapa parameter. Parameter adalah ukuran tunggal dari tubuh

manusia antara lain: umur, berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, lingkar

kepala, lingkar dada, lingkar pinggul dan tebal lemak di bawah kulit. Parameter

antropometri adalah dasar dari penilaian status gizi (Supariasa, 2002). Kombinasi

antara parameter disebut indeks antropometri, terdiri dari:

(55)

35

Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran

massa tubuh yang sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang mendadak,

misalnya karena terserang penyakit infeksi, maka nafsu makan atau jumlah makan

yang dikonsumsi akan berkurang dan akan mengakibatkan menurunnya berat

badan. Mengingat karakteristik berat badan yang labil, maka indeks BB/U lebih

menggambarkan status gizi seseorang saat ini (current nutritional status). Penilaian dilakukan dengan menghitung presentase capaian berat badan (BB)

standar berdasarkan usia anak. Selanjutnya, konsultasikan dengan tabel baku

rujukan status gizi balita usia 12-59 bulan menurut berat badan dan umur (BB/U)

pada lampiran.

Cara penilaian indeks berat badan/umur ini memiliki kelebihan dan kekurangan.

Berikut adalah kelebihan indeks BB/U:

1) Lebih mudah dan lebih cepat dimengerti oleh masyarakat umum.

2) Baik untuk mengukur status gizi akut atau kronis.

3) Berat badan dapat berfluktuasi.

4) Sangat sensitif terhadap perubahan kecil.

5) Dapat mendeteksi kegemukan (overweight).

Sementara itu, kekurangan indeks BB/U adalah:

1) Dapat mengakibatkan interpretasi status gizi yang salah bila terdapat

edema maupun asites.

2) Di daerah pedesaan yang masih terpencil dan tradisional, umur sering sulit

ditaksir secara tepat karena sistem pencatatan kependudukan yang belum

(56)

36

3) Memerlukan data umur yang akurat, terutama untuk anak dibawah usia

lima tahun.

4) Sering terjadi kesalahan dalam pengukuran, seperti pengaruh pakaian atau

gerakan anak pada saat penimbangan.

5) Secara operasional sering mengalami hambatan karena masalah sosial

budaya setempat. Dalam hal ini orang tua tidak mau menimbang anaknya

karena dianggap seperti barang dagangan (Supariasa, 2002).

2. Tinggi badan menurut umur (TB/U)

Tinggi badan adalah antropometri yang menggambarkan keadaan

pertumbuhan skeletal. Perubahan tinggi badan tidak seperti berat badan, relatif

kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam jangka pendek. Pengaruh

defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan nampak dalam jangka waktu relatif

lama. Berdasarkan karakteristik tersebut, maka indeks ini menggambarkan status

gizi masa lalu (Supariasa, 2002).

3. Berat badan menurut tinggi badan (BB/TB)

Berat badan memiliki hubungan yang linier dengan tinggi badan. Dalam

keadaan normal, perkembangan berat badan searah dengan pertumbuhan tinggi

badan dengan kecepatan tertentu. Indeks BB/TB adalah indeks yang independen

terhadap umur. Penilaian ini lebih peka daripada penilaian berdasarkan berat

badan menurut umur (Supariasa, 2002).

4. Lingkar lengan atas menurut umur (LILA/U)

Lingkar lengan atas memberikan gambaran tentang keadaan jaringan otot

Gambar

Tabel 2.2 Pola Pemberian Makanan Balita Menurut Kecukupan Energi
Tabel 2.3 Klasifikasi Status Gizi Anak Bawah Lima Tahun (Balita)
Tabel 2.4  Kebutuhan Konsumsi Energi dan Protein Balita Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi Anjuran (AKG) Rata-Rata Per Hari

Referensi

Dokumen terkait

Pengetahuan responden tentang periaran lebak lebung mencakup manfaat secara ekonomi dan ekologis serta pelestarian perairan lebak lebung. Pengetahuan responden dikelompokkan

Berdasarkan uraian tersebut, peneliti tertarik untuk mengangkat permasalahan ini sebagai skripsi dengan judul: “Pengaruh Atribut Produk dan Persepsi Harga Terhadap

Tujuan dari penelitian dan perancangan kampanye ini untuk memberikan edukasi pada remaja Kota Semarang tentang bahaya minuman keras pada usia remaja sehingga dapat

Dinas mempunyai tugas membantu Bupati melaksanakan Urusan Perpustakaan dan Kearsipan yang meliputi pengembangan perpustakaan, layanan dan koleksi perpustakaan, pembinaan

pengembangan pada Kampung Pesindon. Pada tahun 2011, Kampung Pesindon ditetapkan menjadi salah satu destinasi wisata batik di Kota Pekalongan yang mengalami perubahan

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa karya ilmiah (Skripsi) yang berjudul PERSEPSI PEMBUBARAN ORMAS ISLAM (Studi Kualitatif tentang Persepsi Komunikasi Mengenai

Penelitian yang dilakukan oleh Selvi Indah Ria (2008) memberikan Usulan Perancangan Postur Kerja dengan Mengggunakan Pendekatan Biomekanika dan Fisiologi Pada

Vaikka roskaluokkia voidaan tyypillisesti pitää virheellisenä valintana luokittamisen kannalta, Bowkerin ja Starin (1999, 149-161) mukaan roskaluokkien hyödyntäminen on kuitenkin sekä