SKRIPSI
HUBUNGAN POLA ASUH MAKAN BALITA DENGAN IBU PEKERJA
TERHADAP STATUS GIZI BALITA DI DESA BATUBULAN
KECAMATAN SUKAWATI
OLEH:
I MADE ARYADI PUTRA
1102105029
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
HUBUNGAN POLA ASUH MAKAN BALITA DENGAN IBU PEKERJA
TERHADAP STATUS GIZI BALITA DI DESA BATUBULAN
KECAMATAN SUKAWATI
Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan
OLEH:
I MADE ARYADI PUTRA
1102105029
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : I Made Aryadi Putra
NIM : 1102105029
Fakultas : Kedokteran Universitas Udayana
Program Studi : Ilmu Keperawatan
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Tugas Akhir yang saya tulis ini benar-benar hasil
karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pikiran orang lain yang
saya akui sebagai tulisan atau pikiran saya sendiri. Apabila dikemudian hari dapat dibuktikan
bahwa Tugas Akhir ini adalah hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas
perbuatan tersebut.
Denpasar, Mei 2015
Yang membuat pernyataan,
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi penelitian berjudul Hubungan
Pola Asuh Makan Balita dengan Ibu Pekerja terhadap Status Gizi Balita di Desa
Batubulan Kecamatan Sukawati.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
menyelesaikan skripsi penelitian ini. Ucapan terima kasih penulis berikan kepada:
1. Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT (K), M. Kes, sebagai Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana yang telah memberikan penulis kesempatan menuntut ilmu di PSIK
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
2. Prof. dr. Ketut Tirtayasa, MS., AIF, sebagai ketua Program Studi Ilmu Keperawatan
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang memberikan pengarahan dalam proses
pendidikan.
3. Ns. Made Rini Damayanti S, S.Kep., MNS, sebagai pembimbing utama yang telah
memberikan bantuan dan bimbingan sehingga dapat menyelesaikan skripsi penelitian ini
tepat waktu.
4. Ns. Sagung Mirah Lismawati, S.Kep, sebagai pembimbing pendamping yang telah
memberikan bantuan dan bimbingan sehingga dapat menyelesaikan skripsi penelitian ini
tepat waktu.
5. Ns. Kadek Eka Swedarma, S.Kep., M.Kes sebagai pembimbing utama pengganti yang
telah memberikan bantuan dan bimbingan sehingga dapat menyelesaikan skripsi
6. Dewa Gede Sumertha, SH., MH selaku Kepala Desa di Desa Batubulan Kecamatan
Sukawati yang telah memberikan kesempatan untuk melakukan penelitian di desa yang
dipimpin.
7. Ibu-ibu kader Posyandu balita di setiap banjar di Desa Batubulan Kecamatan Sukawati
yang membantu dalam pengambilan data sehingga penulis dapat menyelesaikan
penelitian tepat waktu.
8. Orang tua tercinta, Bapak I Made Suwetha dan Ibu Ni Ketut Murtini yang telah
memberikan bantuan dan dukungan moril dalam penulisan skripsi penelitian ini.
9. Ni Wayan Jumei Suniarthi, Amd.Kep dan Ns. I Kadek Dwipayana, S.Kep, atas waktunya
bersedia menjadi pendamping peneliti melakukan wawancara sehingga penulis dapat
menyelesaikan penelitian tepat waktu.
10. Sukma, Karsi, Fajar, Yoga, Jembo, Alam, Arya serta rekan-rekan seperjuangan PSIK A
2011 (Achillesextavortouz) di Program Studi Ilmu Keperawatan, atas semua dukungan,
masukan, dan semangat yang diberikan dalam menyelesaikan skripsi penelitian ini.
11. Seluruh pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah membantu dalam
menyelesaikan skripsi penelitian ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan tugas akhir ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu penulis membuka diri untuk menerima segala saran dan masukan yang bersifat
membangun.
Akhirnya, semoga skripsi penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan dunia
keperawatan dan pengetahuan secara luas.
Denpasar, Mei 2015
ABSTRAK
Putra, I Made Aryadi, 2015. Hubungan Pola Asuh Makan Balita dengan Ibu Pekerja terhadap Status Gizi Balita di Desa Batubulan Kecamatan Sukawati. Tugas Akhir, Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Pembimbing (1) Ns. Made Rini Damayanti S, S.Kep., MNS (2) Ns. Sagung Mirah Lismawati, S.Kep
Balita dengan ibu pekerja akan memberikan pengasuhan anaknya kepada orang lain dan akan mempengaruhi bagaimana status gizi balita tersebut. Jika pola asuh makan tidak tercapai dengan baik pada balita maka pertumbuhan balita akan terganggu. Pola asuh makan pada balita sangat berperan penting dalam proses pertumbuhan pada balita, karena dalam makanan banyak mengandung gizi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan pola asuh makan balita dengan ibu pekerja terhadap status gizi balita di Desa Batubulan Kecamatan Sukawati. Jenis Penelitian ini merupakan non-experimental design yang berupa penelitian korelasional yaitu dengan pendekatan cross-sectional. Analisis hubungan kedua variabel yang berskala ordinal digunakan uji statistik non-parametrik yaitu analisis korelasi
Rank Spearman. Teknik pengambilan sampel yang digunakan Non Probability Sampling
yaitu berupa Purposive Sampling sebanyak 160 responden yang dilaksanakan di Desa Batubulan Kecamatan Sukawati pada bulan Mei 2015. Pengumpulan data dilakukan dengan bantuan kuesioner dan perhitungan status gizi yang diukur menurut berat badan/umur (BB/U). Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan nilai p value 0,000 (p<0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara hubungan pola asuh makan balita dengan ibu pekerja terhadap status gizi balita di Desa Batubulan Kecamatan Sukawati. Menurut hasil penelitian ini, disarankan agar pengasuh balita yang sudah menerapkan pola asuh makan yang baik diharapkan tetap mempertahankannya, sedangkan pengasuh balita yang masih menerapkan pola asuh makan yang kurang diharapkan lebih memperhatikan jenis makanan, frekuensi makan dan cara pemberian makanan yang benar.
ABSTRACT
Putra, I Made Aryadi, 2015. The Correlation between Dietary Pattern and Working Mother with regard to the Nutritional Status of Toddler in the Village Batubulan Sub-District Sukawati. Final Project, Nursing Science Program, Faculty of
Medicine, Udayana University. Advisers (1) Ns. Made Rini Damayanti S, S.Kep., MNS (2) Ns. Sagung Mirah Lismawati, S.Kep
Toddler with working mothers would give their children care to others and it will be influence the nutritional status of children. If the dietary pattern is not well reached, the growth of children will be disturbed. Dietary pattern of toddler is very important in the process of growth in children, because the foods contain a lot of nutrients. The purpose of this study is to know the correlation between toddler dietary pattern and working mother with regard to the nutritional status of toddler in the Village Batubulan Sub-district Sukawati. This research is a type of non-experimental design in the form of a correlational study with the approach of cross-sectional. Analysis of the correlation between the two variables of ordinal scale used non-parametric statistical tests which is the Spearman Rank correlation analysis. The sampling technique used is the Non-Probability Sampling in the form of purposive sampling of 160 respondents conducted in the Village Batubulan Sub-district Sukawati in May 2015. The data was collected by questionnaire and calculation of nutritional status as measured by weight/age (W/A). Based on these results obtained p value of 0.000 (p <0.05), suggesting that there is a significant correlation between toddler dietary pattern and working mother with regard to the nutritional status of toddler in the Village Batubulan Sub-district Sukawati. According to these results, it is recommended that caregivers who have applied good dietary pattern to toddler is expected to keep doing so, while those caregivers who still applying the not-so good dietary pattern is expected to take good care on the type of food, meal frequency and feeding the right way.
2.1.5 Pola Asuh Makan Protein ... ...13
2.1.6 Pola Asuh Makan Lemak ... ...14
2.1.7 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh Makan Balita ... ...15 2.2. Metode Pengukuran Pola Asuh Makan... ...17
2.2.1 Metode Food Recall 24 Jam ... ...17
2.2.2 Metode Food Frequency ... ...20
2.5.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Status Gizi ... ...27
2.5.4 Kebutuhan Zat Gizi pada Balita ... ...32 2.6 Penilaian Status Gizi ... ...32
2.6.1 Pengertian Antropometri ... ...33
2.6.2 Syarat yang Mendasari Penggunaan Antropometri ... ...33
2.6.3 Keunggulan Antropometri ... ...34
2.6.4 Jenis Parameter Antropometri... ...34 2.7 Hubungan Pola Asuh Makan Balita dengan Ibu Pekerja terhadap Status Gizi Balita ... ...38
BAB III KERANGKA KONSEP
5.1.3 Hasil Pengamatan Terhadap Responden Berdasarkan Variabel Penelitian ... ...61 5.2 Hasil Analisis Data ... ...63
5.1.2 Pembahasan Hasil Penelitian ... ...64 5.3 Keterbatasan Penelitian ... ...70
BAB VI PENUTUP
6.1Simpulan ... ...72 6.2 Saran ... ...72
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Pola Pemberian Makanan Balita ... 11
Tabel 2.2 Pola Pemberian Makanan Balita Menurut Kecukupan Energi ... 11
Tabel 2.3 Klasifikasi Status Gizi Anak Bawah Lima Tahun (Balita) ... 26
Tabel 2.4 Kebutuhan Konsumsi Energi dan Protein Balita (AKG) Rata-Rata Per Hari. ...
... 32
Tabel 3.1. Definisi Operasional Variabel ... 42
Tabel 4.1. Daftar Nama Posyandu Di Desa Batubulan Kecamatan Sukawati ... 45
Tabel 5.1. Karakteristik Responden Berdasarkan Rentang Usia pada balita dengan ibu pekerja
di Desa Batubulan Kecamatan Sukawati ... 58
Tabel 5.2. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin pada balita dengan ibu
pekerja di Desa Batubulan Kecamatan Sukawati ...58
Tabel 5.3. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan pada pengasuh balita
dengan ibu pekerja di Desa Batubulan Kecamatan Sukawati ...59
Tabel 5.4. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan Ibu pada balita dengan ibu
pekerja di Desa Batubulan Kecamatan Sukawati ...59
Tabel 5.5 Karakteristik Responden Berdasarkan Hubungan Responden Dengan Pengasuh
pada balita dengan ibu pekerja di Desa Batubulan Kecamatan Sukawati ...60
Tabel 5.6. Karakteristik Responden Berdasarkan Rentang Berat Badan pada balita dengan
Tabel 5.7. Data Pola Asuh Makan Pada Balita Dengan Ibu Pekerja di Desa Batubulan
Kecamatan Sukawati ...61
Tabel 5.8. Data Status Gizi Pada Balita di Desa Batubulan Kecamatan Sukawati ...62
Tabel 5.9 Distribusi Pola Asuh Makan Balita Dengan Ibu Pekerja Terhadap Status Gizi Balita
di Desa Batubulan Kecamatan Sukawati bulan Mei 2015 ...62
Tabel 5.10. Nilai Korelasi Pola Asuh Makan Balita dengan Ibu Pekerja terhadap Status Gizi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 Kerangka Konsep Penelitian ……… 40
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Baku rujukan status gizi balita perempuan usia 12-59 bulan menurut berat
badan dan umur (BB/U)
Lampiran 2 : Baku rujukan status gizi balita laki-laki usia 12-59 bulan menurut berat
badan dan umur (BB/U)
Lampiran 3 : Jadwal Penelitian
Lampiran 4 : Penjelasan Penelitan
Lampiran 5 : Instrumen Pengumpulan Data
Lampiran 6 : Daftar Bahan Makanan Penukar Ukuran Rumah Tangga (URT)
Lampiran 7 : Angka Kecukupan Gizi Balita
Lampiran 8 : Anggaran Dana Penelitian
Lampiran 9 : Surat Permintaan Menjadi Responden
Lampiran 10 : Surat Persetujuan Menjadi Responden
Lampiran 11 : SOP Pengukuran Berat Badan menurut Umur (BB/U)
Lampiran 12 : Lembar Observasi Status Gizi Balita
Lampiran 13 : Master Tabel
Lampiran 14 : Distribusi Frekuensi Karakteristik
Lampiran 15 : Distribusi Frekuensi Karakteristik Berdasarkan Variabel Penelitian
Lampiran 17 : Lembar Konsultasi
Lampiran 18 : Surat Izin Penelitian
DAFTAR SINGKATAN
AKABA : Angka Kematian Balita
AKG : Angka Kecukupan Gizi
ASI : Air Susu Ibu
Baduta : Anak bawah dua tahun
Balita : Anak bawah lima tahun
Batita : Anak bawah tiga tahun
BB : Berat Badan
BB/TB : Indeks Berat Badan menurut Tinggi Badan
BB/U : Indeks Berat Badan menurut Umur
CIS : Commonwealth of Independent States
DGKA : Daftar Kecukupan Gizi yang Dianjurkan
DKBM : Daftar Komposisi Bahan Makanan
gr : Gram
HCL : Hidrogen Klorida
IMT : Indeks Masa Tubuh
ISPA : Infeksi Saluran Pernafasan Atas
kkal : Kilo kalori
LILA : Lingkar Lengan Atas
LILA/U : Indeks Lingkar Lengan Atas menurut Umur
MP-ASI : Makanan Pendamping Air Susu Ibu
Persagi : Persatuan Ahli Gizi Indonesia
PSG : Penilaian Status Gizi
SD : Standar Deviasi
TB/U : Indeks Tinggi Badan menurut Umur
UNICEF : United Nations International Children's Emergency Fund URT : Ukuran Rumah Tangga
WHO : World Health Organization
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masa anak bawah lima tahun (balita) merupakan masa golden period, suatu periode dalam proses pertumbuhan dan perkembangan anak
(Moersintowarti, 2005). Anak merupakan kelompok penduduk yang paling rentan
terhadap gangguan kesehatan dan gizi karena status imunitas, diet, dan psikologi
anak belum matang atau masih dalam taraf perkembangan. Kelangsungan serta
kualitas hidup anak pun sangat tergantung pada pola asuh makan orang dewasa
terutama ibu atau orang tuanya (Soekirman, 2006).
Pola asuh makan adalah bimbingan dan pengawasan terhadap aktivitas
makan anak sehari-hari melalui interaksi antara pengasuh dan anak yang
berlangsung secara rutin sehingga membentuk suatu pola (Mahlia, 2009). Pola
asuh makan balita banyak berhubungan dengan berbagai kebiasaan kaum wanita
(ibu). Wanita berperan sebagai seorang istri yang sekaligus merangkap sebagai
seorang ibu yang memiliki ikatan dengan anak-anaknya. Mengenai pembentukan
pola asuh makan balita ini terdapat tiga faktor yang mempengaruhi yaitu:
pengetahuan ibu, pendidikan ibu, dan status pekerjaan ibu (Suharjo, 2003). Pada
masyarakat pedesaan yang biasanya masih berpegangan pada tradisi, dimana
seorang ibu hanya boleh bekerja di rumah saja, sebagian besar waktunya
dicurahkan untuk mengasuh anak-anaknya. Namun belakangan ini emansipasi
2
wanita menyebabkan wanita itu sendiri banyak bekerja di berbagai bidang yang
menjadikan wanita tidak terikat hanya di rumah saja. Emansipasi wanita banyak
merubah adat istiadat atau kebiasaan-kebiasaan tersebut. Peranan wanita semakin
banyak dibicarakan baik secara nasional maupun internasional (Soekirman, 2006).
Status pekerjaan ibu pada ibu pekerja akan sulit untuk memberikan
pengasuhan pada anaknya (Purwati, 2012). Balita pada umumnya mendapat
makanannya secara dijatah oleh ibunya dan tidak memilih serta mengambil
sendiri makanan yang disukainya. Dalam kondisi bekerja, ibu seringkali
melibatkan orang lain untuk mengasuh anaknya (Handayani, 2008). Dari hasil
penelitian Purwati (2012), anak bawah dua tahun (baduta) yang diasuh oleh orang
lain selain orang tuanya seringkali mengalami masalah, yang salah satunya adalah
pertumbuhan yang tidak normal. Seringkali orang lain kurang peduli mengenai
pemberian makan anak yang menyebabkan kebutuhan gizinya kurang memadai.
Akibatnya status gizinya menjadi tidak baik. Pendapat yang sama juga
dikemukakan oleh Linda (2011), bahwa pola asuh makan anak bawah tiga tahun
(batita) dan kesehatan dengan status gizi batita memiliki hubungan yang cukup
bermakna terhadap status gizi batita.
Status gizi adalah keadaan keseimbangan sebagai akibat konsumsi
makanan dan penggunaannya. Dibedakan antara status gizi buruk, kurang, baik
dan lebih. Tiap orang memiliki status gizi yang berbeda antara satu dengan yang
lainnya (Almatsier, 2004). Status gizi balita dipengaruhi oleh dua faktor yaitu
faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam merupakan faktor-faktor yang ada di
3
seperti hal-hal yang diturunkan oleh orang tua atau generasi sebelumnya, unsur
berfikir dan kemampuan intelektual. Sedangkan faktor luar terdiri atas pola
pengasuhan, konsumsi makanan, dan lingkungan bergaul (Citrawati, 2003).
Jumlah penderita gizi kurang di dunia mencapai 104 juta anak, dan
keadaan kurang gizi menjadi penyebab sepertiga dari seluruh penyebab kematian
anak di seluruh dunia (WHO, 2013). Dari data United Nations International
Children's Emergency Fund (UNICEF), Asia Selatan merupakan daerah yang
memiliki prevalensi kurang gizi terbesar di dunia, yaitu sebesar 46%, disusul sub-
Sahara Afrika 28%, Amerika Latin/Caribbean 7%, dan yang paling rendah
terdapat di Eropa Tengah, Timur, dan Commonwealth of Independent States (CEE/CIS) sebesar 5% (UNICEF, 2006). Keadaan kurang gizi pada anak balita
juga dapat dijumpai di negara berkembang, termasuk di Indonesia. Menurut data
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 prevalensi gizi kurang di Indonesia
pada balita (BB/U<‒2SD) memberikan gambaran ada penurunan dari 18,4%
(tahun 2007) menurun menjadi 17,9% (tahun 2010) kemudian menurun menjadi
13,9% (tahun 2013)dari sekitar 20 juta balita di Indonesia.
Kabupaten Gianyar memiliki jumlah balita sebanyak 28.839 jiwa. Pada
tahun 2013 sebanyak 2,5% balita menderita gizi kurang dan 0,98% mengalami
gizi lebih (Dinas Kesehatan Provinsi Bali, 2013). Jumlah kejadian gizi kurang
terbanyak ada di wilayah kerja Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kesehatan
Masyarakat Sukawati II (Dinas Kesehatan Kabupaten Gianyar, 2013). Unit
Pelaksana Teknis (UPT) Kesehatan Masyarakat Sukawati II, memiliki enam desa
4
Desa Singapadu, Desa Batubulan, Desa Batubulan Kangin dan Desa Celuk
dengan jumlah balita sebanyak 1.749 jiwa. Prevalensi tertinggi balita dengan ibu
pekerja di Desa Batubulan Kecamatan Sukawati sebanyak 269 jiwa (UPT
Kesehatan Masyarakat Sukawati II, 2013).
Berdasarkan dari hasil studi pendahuluan di Desa Batubulan Kecamatan
Sukawati, banyak terdapat ibu pekerja yang mempunyai anak balita. Ibu pekerja
tersebut setiap hari kerja meninggalkan anak di rumah. Ada yang ditinggalkan
dari pagi hari (± 06.30 wita) sampai siang hari (± 14.00 wita) dan ada pula
ditinggalkan dari pagi hari sampai sore hari (± 17.00 wita). Oleh karena itu
penulis tertarik untuk melaksanakan penelitian tentang hubungan pola asuh makan
balita dengan ibu pekerja terhadap status gizi balita di Desa Batubulan Kecamatan
Sukawati.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti merumuskan masalah
penelitian sebagai berikut: “Apakah ada hubungan antara pola asuh makan balita
dengan ibu pekerja terhadap status gizi balita di Desa Batubulan Kecamatan
5
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengidentifikasi pola asuh
makan dengan status gizi balita dengan ibu pekerja di Desa Batubulan Kecamatan
Sukawati.
1.3.2 Tujuan Khusus
Secara khusus penelitian ini bertujuan:
a. Mengidentifikasi pola asuh makan balita dengan ibu pekerja.
b. Mengidentifikasi status gizi balita.
c. Menganalisis hubungan pola asuh makan balita dengan ibu pekerja terhadap
status gizi balita di Desa Batubulan Kecamatan Sukawati.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
a. Bagi peneliti
Hasil penelitian ini dapat digunakan peneliti untuk menambah
pembendaharaan ilmu pengetahuan berkaitan dengan pemberian pola asuh makan
balita dengan ibu pekerja terhadap status gizi balita.
b. Bagi perawat
Hasil penelitian ini dapat digunakan perawat untuk mengembangkan ilmu di
bidang keperawatan anak khususnya mengenai pertumbuhan, perkembangan dan
6
c. Bagi peneliti selanjutnya
Hasil penelitian dapat digunakan sebagai data dasar dan bahan masukan
bagi peneliti selanjutnya khususnya mengenai faktor lain yang mempengaruhi
status gizi pada balita.
1.4.2 Manfaat Praktis
a. Bagi masyarakat
Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi kepada keluarga dan
masyarakat tentang pola asuh makan balita dengan ibu pekerja dalam
hubungannya dengan status gizi balita.
b. Bagi puskesmas
Hasil penelitian ini dapat memberikan masukan kepada UPT Kesmas
Sukawati II yang membawahi Desa Batubulan dalam wilayah kerjanya untuk
lebih aktif dalam memberikan penyuluhan dan pendidikan kesehatan khususnya
tentang status gizi balita.
c. Bagi petugas kesehatan
Hasil penelitian ini dapat dijadikan pedoman bagi petugas puskesmas dan
penyelenggara kesehatan lain dalam meningkatkan pelayanan kesehatan khusunya
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Dasar Pola Asuh Makan
2.1.1 Pengertian Pola Asuh
Pengertian pola asuh menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
merupakan suatu bentuk (struktur), sistem dalam menjaga, merawat, mendidik
dan membimbing anak kecil (Departemen Pendidikan Nasional, 2005). Sunarti,
dkk (2004) mendefinisikan pola asuh sebagai suatu model atau cara mendidik
anak yang merupakan suatu kewajiban dari setiap orang tua dalam usaha
membentuk pribadi anak yang sesuai dengan harapan masyarakat pada umumnya.
Pola asuh merupakan pola pengasuhan yang diberikan orangtua untuk
membentuk kepribadian anak. Pola asuh orangtua adalah pola perilaku yang
diterapkan pada anak dan bersifat relatif konsisten dari waktu ke waktu. Pola
perilaku ini dapat dirasakan anak dari segi negatif maupun segi positif (Sunarti,
2004).
Peranan ibu dalam pola pengasuhan anak berupa sikap dan praktek
pengasuhan ibu dalam kedekatannya dengan anak, merawat, cara memberi makan,
serta kasih sayang. Pengasuhan anak adalah suatu fungsi penting pada berbagai
kelompok sosial dan kelompok budaya. Peranan ibu dalam pola pengasuhan anak
juga meliputi pemenuhan kebutuhan dasar anak seperti memberi makan, mandi,
menyediakan dan memakaikan pakaian buat anak. Termasuk didalamnya adalah
8
memantau kesehatan anak, menyediakan obat, dan membawanya ke petugas
kesehatan profesional (Soekirman, 2006).
2.1.2 Pengertian Pola Asuh Makan
Pola asuh makan adalah cara makan seseorang atau sekelompok orang
dalam memilih makanan dan memakannya sebagai tanggapan terhadap pengaruh
fisiologi, psikologi budaya dan sosial (Waryana, 2010). Untuk kebutuhan
pangan/gizi balita, ibu menyiapkan diri sejak prenatal dalam mengatur dietnya
selama kehamilan, masa neonatal berupa pemberian air susu ibu (ASI),
menyiapkan makanan tambahan berupa makanan padat yang lebih bervariasi
bahannya atau makanan yang diperkaya, dan dukungan emosional untuk anak
(Kartini, 2006).
Pengasuhan makanan anak fase enam bulan pertama adalah pemenuhan
kebutuhan anak oleh ibu dalam bentuk pemberian ASI atau makanan pendamping
air susu ibu (MP-ASI) pada anak. Pengasuhan makanan dinyatakan cukup bila
diberi ASI semata sejak lahir sampai usia 4-6 bulan dengan frekuensi kapan saja
anak minta dan dinyatakan kurang bila tidak memenuhi kriteria tersebut.
Pengasuhan makanan anak pada fase enam bulan kedua adalah pemenuhan
kebutuhan makanan untuk bayi yang dilakukan ibu, dinyatakan cukup bila anak
diberikan ASI plus makanan lumat (berupa bubur atau nasi biasa) bersama ikan,
daging atau putih telur ditambah sayuran (dalam bentuk kombinasi atau tunggal)
diberi dalam frekuensi sama atau lebih 3 kali per hari, dan kurang bila tidak
9
dan bervariasi, mulai dari bentuk bubur, sari buah, buah segar, makanan lumat,
makanan lembek dan akhirnya makanan padat (Soekirman, 2006).
Pada prinsipnya pemberian makanan kepada bayi bertujuan untuk
mencukupi zat-zat gizi yang dibutuhkan bayi. Menurut Widyakarya Nasional
Pangan dan Gizi (2004), jumlah zat gizi, terutama energi dan protein yang harus
dikonsumsi bayi usia 6-12 bulan adalah 650 kalori dan 16 gram protein.
Kandungan gizi Air Susu Ibu (ASI) adalah 400 Kalori dan 10 gram protein, maka
kebutuhan yang diperoleh dari MP-ASI adalah 250 Kalori dan 6 gram protein.
Sedangkan menurut Departemen Kesehatan (2006), kandungan gizi ASI adalah
sekitar 350 kalori dan 8 gram protein, maka kebutuhan yang diperoleh dari
MP-ASI adalah sekitar 500 Kalori dan 12 gram protein.
Hasil penelitian Tati (2008), mengungkapkan bahwa di Indonesia jenis
MP-ASI yang umum diberikan kepada bayi sebelum usia empat bulan adalah
pisang 57,3%. Disamping itu akibat rendahnya sanitasi dan higiene MP-ASI
memungkinkan terjadinya kontaminasi oleh mikroba, sehingga meningkatkan
resiko infeksi yang lain pada bayi. Ada perbedaan antara proporsi berat badan
bayi yang diberi ASI Eksklusif dan yang diberi MP-ASI dibawah usia empat
bulan, sedangkan berdasarkan panjang badan tidak ada perbedaan.
Makanan yang baik untuk bayi dan balita harus memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:
1. Memenuhi kecukupan energi dan semua zat gizi yang sesuai dengan
10
2. Susunan hidangan disesuaikan dengan pola menu seimbang, bahan
makanan yang tersedia di tempat tinggal, kebiasaan makan dan selera
terhadap makanan tersebut.
3. Bentuk dan porsi makanan disesuaikan dengan daya terima, toleransi, dan
keadaan faal bayi/anak.
4. Memperhatikan kebersihan perorangan dan lingkungan.
Menurut Persatuan Ahli Gizi Indonesia/Persagi (1992) yang dikutip oleh
Kristiadi (2007), berdasarkan karakteristiknya balita usia 1-5 tahun dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu anak usia dari 1-3 tahun yang dikenal dengan anak
bawah tiga tahun (batita) dan anak usia dari 3-5 tahun yang dikenal dengan usia
prasekolah. Anak usia 1-3 tahun merupakan konsumen pasif, yaitu anak menerima
makanan dari apa yang disediakan ibunya.
Penyajian makanan untuk balita diperlukan kreatifitas ibu agar makanan
terlihat menarik sehingga dapat menimbulkan selera makan anak balita. Penyajian
makanan yang akan diberikan kepada anak balita harus memperhatikan porsi atau
takaran konsumsi makan serta frekuensi makan yang dianjurkan dalam sehari.
Pemberian makanan dibagi menjadi tiga waktu makan yaitu pagi hari pada pukul
07.00-08.00, siang hari pada pukul 12.00-13.00, dan malam hari pada pukul
18.00-19.00. Pemberian makanan selingan yaitu antara dua waktu makan yaitu
pukul 10.00-11.00 dan pukul 16.00-17.00 (Depkes RI, 2006). Waktu penyajian
11
Tabel 2.1 Pola Pemberian Makanan Balita
Umur Bentuk Makanan Frekuensi
0 - 6 bulan ASI eksklusif Sesering mungkin minimal 8 kali/hari 6 - 9 bulan Makanan lumat/lembek 2 kali sehari, 2 sendok makan setiap kali
makan
9 - 12 bulan Makanan lembek 3 kali sehari ditambah 2 kali makanan selingan
1 - 3 tahun Makanan keluarga
1 - 1½ piring nasi/pengganti 2 - 3 potong sedang lauk
Tabel 2.2 Pola Pemberian Makanan Balita Menurut Kecukupan Energi
Umur Balita
Total Energi
(kkal)
Waktu Pemberian Makanan Sehari Balita Menurut Kecukupan Energi
Pagi Selingan Pagi Siang Selingan Siang
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan untuk pengaturan makan yang tepat
adalah umur, berat badan, keadaan mulut sebagai alat penerima makanan,
kebiasaan makan, kesukaan dan ketidaksukaan, dan toleransi anak terhadap
12
Dengan memperhatikan dan memperhitungkan faktor-faktor tersebut di
atas umumnya tidak akan terjadi kekeliruan dalam mengatur makanan untuk
balita. Pada umumnya, anak balita telah dapat diberikan jadwal waktu makan tiga
kali makan sehari dan diantaranya dua kali makanan selingan (Soekirman, 2006).
2.1.3 Asupan Kalori Total
Energi merupakan hasil dari metabolism karbohidrat, lemak, dan protein.
Fungsi energi adalah sebagai sumber tenaga untuk metabolisme, pengaturan suhu
tubuh, pertumbuhan dan kegiatan fisik. Keseimbangan energi dicapai bila energi
yang masuk ke dalam tubuh sama dengan energi yang dikeluarkan. Bila energi
dalam jumlah besar (dalam bentuk makanan) yang masuk ke dalam tubuh
melebihi jumlah yang dikeluarkan, berat badan akan bertambah, dan sebagian
besar kelebihan energi tersebut akan disimpan sebagai lemak. Begitu pula
sebaliknya jika energi dalam jumlah besar (dalam bentuk makanan) yang masuk
ke dalam tubuh kurang dari jumlah yang dikeluarkan, berat badan akan menurun
dan akan terjadi gangguan gizi (Guyton, 2006).
2.1.4 Pola Asuh Makan Karbohidrat
Karbohidrat memiliki fungsi utama dalam tubuh manusia yaitu sebagai
sumber energi. Kandungan kalori pada setiap 1 gram karbohidrat adalah 4 kkal.
Contoh bahan makanan yang mengandung karbohidrat yaitu, beras, jagung,
gandum, ubi, kentang, sagu, roti, dan mie. Pencernaan karbohidrat dimulai dari
amilum (zat tepung) yang sudah mulai mengalami prosesnya di mulut oleh enzim
13
pencernaan amilum berlanjut ke digaster. Cairan yang disekresi lambung tidak
mengandung enzim yang dapat memecah karbohidrat, makanan hanya akan
tinggal di lambung sementara. Selanjutnya pencernaan karbohidrat lebih banyak
terjadi pada usus bagian atas. Di dalam duodenum chymus dicampur dengan
sekresi pankreas dan sekresi dinding duodenum yang keduanya mengandung
enzim yang dapat memecah karbohidrat dan menghasilkan energi. Sisa
karbohidrat yang ada dibuang sebagai tinja (Sulistyaningsih, 2011).
Karbohidrat tersusun atas untaian molekul glukosa. Apabila kadar glukosa
berlebih di dalam tubuh maka kelebihannya akan disimpan sebagai glikogen atau
diubah menjadi lemak. Kelebihan tersebut dengan cepat diubah menjadi
trigliserida (lemak) dan kemudian disimpan dalam jaringan adipose. Pada
manusia, kebanyakan sintesis trigliserida terjadi di dalam hati, tetapi sejumlah
kecil juga dibentuk di dalam jaringan adipose (Guyton, 2006). Konsumsi
karbohidrat atau makanan pokok yang dianjurkan adalah 50-60% dari kebutuhan
total energi/hari (Depkes RI, 2002).
2.1.5 Pola Asuh Makan Protein
Protein merupakan zat gizi sebagai pelengkap makanan pokok yang
memberikan rasa pada makanan. Protein diperlukan untuk pertumbuhan dan
pemeliharaan sel-sel tubuh. Terdapat dua sumber zat gizi protein, yaitu (1) berasal
dari hewan, contohnya daging, ikan, telur, susu, udang dan hasil olahannya; dan
(2) berasal dari tumbuhan, contohnya kacang-kacangan, serta hasil olahannya.
Selain membantu pertumbuhan dan pemeliharaan sel-sel tubuh, protein juga
14
amino yang diperlukan dalam membentukan enzim pencernaan dan metabolisme
serta antibodi yang dibutuhkan tubuh, mengangkut zat gizi dari saluran cerna, dan
mengatur keseimbangan air (Sulistyaningsih, 2011).
Proses pencernaan protein akan terjadi di lambung, dengan adanya enzim
pepsin yang bekerjasama dengan hidrogen klorida/asam klorida (HCL) untuk
memecah protein. Protein makanan dicerna total menjadi asam amino di dalam
usus halus. Semua asam amino larut dalam air sehingga dapat berdifusi secara
pasif ke dalam membran sel (Sulistyaningsih, 2011). Konsumsi protein yang
dianjurkan adalah 10-15% dari kebutuhan total energi/hari (Depkes RI, 2002).
Menurut Almatsier (2003) dalam Sulistyaningsih (2011), maksimal asupan
protein yang boleh dikonsumsi adalah dua kali dari Angka Kecukupan Gizi
(AKG). Apabila pemenuhan kebutuhan energi tidak tercukupi dari karbohidrat
maka protein dapat digunakan sebagai sumber energi. Protein melalui proses
glukoneogenesis akan merubah asam amino menjadi glukosa. Kekurangan energi
dari karbohidrat akan meningkatkan sekresi kortikotropin. Kortikotropin
merangsang korteks adrenal untuk menghasilkan sejumlah besar hormon
glukokortikoid, terutama kortisol. Kortisol memobilisasi protein terutama dari
seluruh sel tubuh dan segera mengalami desimilasi dalam hati dan menghasilkan
zat untuk diubah menjadi glukosa. Hampir 60% asam amino dalam protein tubuh
dapat diubah menjadi karbohidrat (Guyton, 2006).
2.1.6 Pola Asuh Makan Lemak
Lemak merupakan zat gizi yang memiliki fungsi sebagai sumber energi,
15
K, sebagai bantalan organ tubuh, serta membantu memelihara suhu tubuh dan
melindungi tubuh dari hawa dingin (Sulistyaningsih, 2011). Sejumlah besar lemak
disimpan dalam dua jaringan tubuh utama, jaringan adiposa (deposit lemak) dan
hati. Fungsi utama jaringan adiposa adalah menyimpan trigliserida sampai
diperlukan kembali menjadi energi dalam tubuh. Sumber lemak diantaranya
diperoleh dari minyak kelapa, minyak sawit, telur, susu, dan keju. Konsumsi
lemak yang dianjurkan sebanyak 15-25% dari kebutuhan energi total/hari
(Depkes, 2002). Sebagian lemak yang dikonsumsi sehari-hari sebaiknya tidak
lebih dari 10% berasal dari lemak jenuh dan 3-7% berasal dari lemak tidak jenuh
ganda, sedangkan konsumsi kolesterol yang dianjurkan adalah kurang dari 300
mg dalam sehari (Almatsier, 2003).
2.1.7 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh Makan Balita
1. Pengetahuan ibu mengenai makanan yang bergizi
Pengetahuan adalah hasil dari “tahu” dan ini terjadi setelah orang
melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan merupakan
domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Dari perilaku
yang didasari oleh pengetahuan, akan lebih “langgeng” dibandingkan perilaku
yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmojo, 2003). Jika tingkat
pengetahuan gizi ibu baik, maka diharapkan status gizi ibu dan balitanya baik,
sebab gangguan gizi adalah karena kurangnya pengetahuan ibu tentang gizi
16
2. Pendidikan ibu
Peranan ibu sangat penting dalam penyediaan makanan bagi anaknya.
Pendidikan ibu sangat menentukan dalam pilihan makanan dan jenis makanan
yang dikonsumsi oleh anak dan anggota keluarga lainnya. Pendidikan gizi ibu
bertujuan meningkatkan penggunaan sumber daya makanan yang tersedia. Hal ini
dapat diartikan bahwa tingkat kecukupan zat gizi pada anak tinggi bila pendidikan
ibu tinggi (Almatsier, 2011)
3. Pekerjaan ibu
Status ekonomi rumah tangga dapat dilihat dari pekerjaan yang dilakukan
oleh kepala rumah tangga maupun anggota rumah tangga yang lain. Jenis
pekerjaan yang dilakukan oleh kepala rumah tangga dan anggota keluarga lain
akan menentukan seberapa besar sumbangan mereka terhadap keuangan rumah
tangga yang kemudian akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga,
seperti pangan yang bergizi dan perawatan kesehatan. Jadi, terdapat hubungan
antara konsumsi pangan dan status ekonomi rumah tangga serta status gizi
masyarakat (Almatsier, 2011)
Tingkat pendapatan akan menentukan jenis dan ragam makanan yang akan
dibeli dengan uang tambahan. Keluarga dengan penghasilan rendah akan
menggunakan sebagian besar dari keuangannya untuk membeli makanan dan
bahan makanan. Penghasilan yang rendah berarti rendah pula jumlah uang yang
akan dibelanjakan untuk makanan, sehingga bahan makanan yang dibeli untuk
keluarga tersebut tidak mencukupi untuk mendapat dan memelihara kesehatan
17
dalam susunan makanan, karena peningkatan pendapatan tersebut memungkinkan
mereka mampu membeli pangan yang berkualitas dan berkuantitas lebih baik.
Namun perlu diketahui, bahwa pengeluaran uang yang lebih banyak untuk pangan
tidak menjamin lebih beragamnya konsumsi pangan. Kadang perubahan utama
yang terjadi dalam kebiasaan makan yaitu pangan yang dimakan itu lebih mahal.
Asupan makanan yang tidak cukup baik dari segi jumlah maupun kulaitas dalam
jangka lama akan menyebabkan terjadinya gangguan gizi. Keadaan kurang gizi
akan mengurangi daya tahan tubuh terhadap penyakit, mempengaruhi tingkat
kecerdasan dan prestasi belajar, produktifitas kerja dan pendapatan (Almatsier,
2011).
2.2 Metode Pengukuran Pola Asuh Makan
Metode pengukuran pola asuh makan atau konsumsi individu ada dua
jenis, yaitu metode kualitatif dan kuantitatif. Metode kuantitatif meliputi metode
food recall 24 jam, perkiraan makanan (estimated food records), penimbangan
makanan (food weighing), food account, metode inventaris (inventory method),
dan metode pencatatan (household food records). Adapun metode kualitatif meliputi metode food frequency, metode dietary history, metode telepon dan
metode food list (Gibson, 2005).
2.2.1 Metode FoodRecall 24 Jam
Metode food recall 24 jam adalah salah satu metode kuantitatif pengukuran konsumsi pangan. Prinsip metode food recall 24 jam yaitu mencatat
18
Bahan makanan dan minuman yang ditanyakan adalah bahan makanan dan
minuman yang dikonsumsi sejak responden bangun pagi kemarin sampai dia
istirahat tidur malam harinya atau dapat dimulai dari waktu saat dilakukan
wawancara mundur sampai 24 jam penuh. Data bahan makanan yang telah
dikumpulkan kemudian dikonversikan ke dalam zat gizi dengan menggunakan
Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM). Selanjutnya, hasil yang diperoleh
dibandingkan dengan Daftar Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan di Indonesia
(Gibson, 2005).
Kelebihan metode food recall 24 jam adalah mudah dilaksanakan dan
tidak terlalu membebani responden, biaya relatif murah, cepat dan dapat
memberikan gambaran nyata tentang makanan yang benar-benar dikonsumsi
individu, sehingga dapat dihitung intake gizi sehari. Kekurangan metode food
recall 24 jam adalah tidak dapat dilakukan pada hari besar (masa panen dan pada
saat melakukan upacara keagamaan atau selamatan), ketepatan hasil pengukuran
sangat tergantung pada daya ingat dan kejujuran responden (Supariasa, 2002).
Langkah-langkah pelaksanaan food recall 24 jam (Supariasa, 2002) adalah:
a. Petugas atau pewawancara menanyakan kembali dan mencatat semua
makanan dan minuman yang dikonsumsi responden dalam ukuran rumah
tangga selama kurun waktu 24 jam yang lalu.
b. Menganalisis bahan makanan ke dalam zat gizi dengan menggunakan
19
c. Membandingkan dengan daftar Kecukupan Gizi yang Dianjurkan (DGKA)
atau Angka Kecukupan Gizi (AKG).
Agar wawancara berjalan secara sistematis, perlu dipersiapkan kuisioner
sehingga wawancara terarah menurut urutan waktu dan pengelompokan bahan
makanan. Untuk waktu makan sehari dapat disusun berupa makanan pagi, siang,
malam dan selingan.
Data food recall berupa jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi dalam
ukuran rumah tangga (URT) atau dalam satuan gram, kemudian dikonversi dalam
satuan energy (kkal), protein (gr), lemak (gr), karbohidrat (gr) dengan merujuk
pada Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) tahun 2004. Konversi dihitung
dengan menggunakan rumus (Hardinsyah & Briawan, 1994 dalam Rakhmawati
2009) sebagai berikut:
Kgij = (Bj/100) x Gij x (BDD/100)
Keterangan:
Kgij : Kandungan zat gizi i dalam bahan makanan j
Bj : Berat makanan j yang dikonsumsi
Gij : Kandungan zat gizi dalam 100 gram BDD bahan makanan j
BDDj : Bagian bahan makanan j yang dapat dimakan
Selanjutnya, tingkat kecukupan zat gizi yang diperoleh dengan cara
membandingkan jumlah konsumsi zat gizi tersebut dengan kecukupannya. Berikut
rumus tingkat kecukupan zat gizi yang digunakan:
20
Keterangan:
TKG : Tingkat kecukupan zat gizi
K : Konsumsi pangan
AKG : Kecukupan zat gizi yang dianjurkan
2.2.2 Metode Food Frequency
Metode frekuensi makanan (food frequency) adalah salah satu metode kualitatif pengukuran konsumsi pangan. Metode frekuensi makanan digunakan
untuk memperoleh data frekuensi makanan konsumsi sejumlah bahan makanan
atau makanan jadi selama periode waktu tertentu seperti hari, minggu, bulan dan
tahun. Metode frekuensi makanan dapat menggambarkan pola konsumsi bahan
makanan secara kualitatif. Metode frekuensi makanan dapat membedakan
individu berdasarkan ranking tingkat konsumsi zat gizi karena periode
pengamatannya lebih lama, sehingga cara ini sering digunakan dalam penelitian
gizi (Supariasa, 2002).
Metode frekuensi makanan akurat untuk menentukan rata-rata asupan zat
gizi jika menu makanan sehari-hari sangat bervariasi. Kelebihan metode ini adalah
dapat memperoleh data asupan zat gizi dalam jumlah besar yang mencakup
50-150 jenis makanan (Arisman, 2004).
Pelaksanaan metode frekuensi makanan dilakukan dengan menggunakan
kuisioner. Kuisioner tersebut terdiri dari dua komponen, yaitu daftar jenis pangan
dan daftar konsumsi pangan. Bahan makanan atau makanan yang ada dalam
kuisioner tersebut adalah bahan makanan atau makanan yang dikonsumsi dalam
21
Langkah metode frekuensi makanan adalah responden diminta memberi
tanda pada daftar bahan makanan yang tersedia pada kuisioner mengenai
frekuensi penggunannya dan ukuran porsinya. Pewawancara kemudian melakukan
rekapitulasi tentang frekuensi penggunaan jenis bahan makanan, terutama bahan
makanan yang merupakan sumber zat gizi tertentu selama periode tertentu pula
(Supariasa, 2002).
Kelebihan metode frekuensi makanan adalah relatif murah dan sederhana,
dapat dilakukan sendiri oleh responden, tidak membutuhkan latihan khusus serta
dapat membantu menjelaskan hubungan antara penyakit dan kebiasaan makan
(Supariasa, 2002). Adapun kelemahan metode ini adalah tidak dapat
menghasilkan data kuantitatif, pengisisan kuisioner hanya mengandalkan ingatan,
responden sering malas mengisi formulir dengan lengkap dan tanpa bantuan
komputer, proses analisis menjadi sulit dan melelahkan. Pengisian kuisioner yang
hanya mengandalkan ingatan menyebabkan data yang dihasilkan tidak akurat.
Sumber ketidakuratan tersebut antara lain: daftar makanan tidak lengkap,
kekeliruan dalam menentukan frekuensi dan daftar bahan makanan yang terlalu
panjang atau terlalu pendek (Arisman, 2004).
2.3 Konsep Balita
Balita merupakan individu yang berumur 1-5 tahun, dengan tingkat
plastisitas otak yang masih sangat tinggi sehingga akan lebih terbuka untuk proses
pembelajaran dan pengayaan (Kemenkes RI, 2009). Balita terbagi menjadi dua
golongan yaitu balita dengan usia satu sampai tiga tahun (batita) dan balita dengan
22
kebutuhan akan aktivitas hariannya masih tergantung penuh terhadap orang lain,
mulai dari makan, buang air besar maupun air kecil dan kebersihan diri. Masa
balita merupakan masa yang sangat penting bagi proses kehidupan manusia. Pada
masa ini akan berpengaruh besar terhadap keberhasilan anak dalam proses tumbuh
kembang selanjutnya (Nicki, 2007).
2.3.1 Karakteristik Balita
Anak usia 1-3 tahun merupakan konsumen pasif, artinya anak menerima
makanan dari apa yang disediakan ibunya. Laju pertumbuhan masa batita lebih
besar dari masa usia pra-sekolah sehingga diperlukan jumlah makanan yang relatif
besar. Namun perut yang masih lebih kecil menyebabkan jumlah makanan yang
mampu diterimanya dalam sekali makan lebih kecil dari anak yang usianya lebih
besar. Oleh karena itu, pola makan yang diberikan adalah porsi kecil dengan
frekuensi sering. Pada usia pra-sekolah anak menjadi konsumen aktif. Mereka
sudah dapat memilih makanan yang disukainya. Pada usia ini anak mulai bergaul
dengan lingkungannya atau bersekolah playgroup sehingga anak mengalami beberapa perubahan dalam perilaku. Pada masa ini anak akan mencapai fase
gemar memprotes sehingga mereka akan mengatakan “tidak” terhadap setiap
ajakan. Pada masa ini berat badan anak cenderung mengalami penurunan, akibat
dari aktivitas yang mulai banyak dan pemilihan maupun penolakan terhadap
23
2.4 Konsep Ibu Pekerja
Menurut Encyclopedia of Children’s Health, ibu bekerja adalah seorang
ibu yang bekerja di luar ataupun di dalam rumah untuk mendapatkan penghasilan
di samping membesarkan dan mengurus anak di rumah. Menurut Lerner (2001),
yang dimaksud ibu bekerja adalah wanita yang sudah bersuami dalam kehidupan
atau kegiatan sehari-harinya bekerja di luar rumah mencari nafkah baik sebagai
pegawai negeri ataupun swasta dan mendapatkan imbalan berupa uang atau jasa.
2.4.1 Dampak Positif Ibu Pekerja
Ibu yang bekerja akan memiliki penghasilan yang dapat menambah
pendapatan rumah tangga. Mereka yang bekerja lebih memiliki akses dan kuasa
terhadap pendapatan yang dihasilkan untuk digunakan untuk keperluan anak
mereka (UNICEF, 2007). Para ibu akan lebih memilih membeli sesuatu seperti
makanan bergizi berimbang yang dapat menunjang pemenuhan kebutuhan pangan
anak mereka (Glick, 2002). McIntosh dan Bauer (2006), juga mengatakan bahwa
dengan pendapatan rumah tangga yang ganda (suami dan istri bekerja), banyak
wanita lebih mampu menentukan banyak pilihan untuk keluarga mereka di dalam
hal nutrisi dan pendidikan. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Gennetian
et al. (2009), bahwa ibu yang bekerja memiliki kemampuan untuk membeli
makanan berkualitas tinggi, kebutuhan rumah tangga lainnya dan biaya kesehatan.
Dampak positif ibu bekerja dapat juga dilihat dari efek yang didapat
apabila anak mereka dititipkan di tempat penitipan anak. Mereka yang dititipkan
di tempat penitipan anak yang memperkerjakan pengasuh terlatih, memiliki
24
dibandingkan dengan anak yang hanya berada di rumah bersama ibunya yang
tidak bekerja (McIntosh dan Bauer, 2006).
2.4.2 Dampak Negatif Ibu Pekerja
Status gizi kurang atau gizi buruk yang dialami balita juga dapat terjadi
akibat memendeknya durasi pemberian Air Susu Ibu (ASI) oleh ibu karena harus
bekerja (Glick, 2002). Reynolds (2003) juga mengatakan bahwa sekitar satu
pertiga dari ibu yang bekerja saat mengandung, kembali bekerja penuh waktu saat
anak mereka berusia 11 bulan. Mereka kembali bekerja saat-saat kritis di mana
perkembangan otak sedang berlangsung dan membutuhkan ASI sebagai nutrisi
utama.
Akibat jam kerja, waktu kebersamaan atau quality time antara ibu dan anak pun akan berkurang (Glick, 2002). Sehingga perkembangan mental dan
kepribadian anak akan terganggu, mereka lebih sering mengalami cemas akan
perpisahan atau separation anxiety (Mehrota, 2011). Hal ini dikarenakan akibat
jadwal kerja yang terlalu sibuk, mengakibatkan para ibu tidak dapat mengawasi
dan ikut berpartisipasi dalam setiap kegiatan anak (Fertig et al., 2009).
2.5 Konsep Dasar Status Gizi
2.5.1 Pengertian Status Gizi
Status gizi adalah keadaan keseimbangan sebagai akibat konsumsi
makanan dan penggunannya. Dibedakan antara status gizi buruk, kurang, baik dan
lebih. Tiap orang memiliki status gizi yang berbeda antara satu dengan yang
25
dalam bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutrisi dalam bentuk variabel
tertentu (Supariasa, 2002).
Status gizi balita adalah hasil penilaian status gizi pada balita usia (1-5)
tahun dengan pengukuran indeks antropometri gizi yaitu berat badan dalam
kilogram menurut umur, dimana status gizi dapat diklasifikasikan menurut World
Health Organization-National Center for Health Statistics (WHO-NCHS).
2.5.2 Klasifikasi Status Gizi
Keadaan kesehatan gizi sesuai dengan tingkat konsumsi dibagi menjadi
tiga yaitu: gizi lebih (overnutritional state), gizi baik (eunutritional state) dan gizi
kurang (undernutrition) (Sediaoetama, 2003). a. Status Gizi Lebih (overnutritional state)
Gizi lebih (overnutritional state) adalah tingkat kesehatan gizi sebagai
hasil konsumsi berlebih. Dalam keadaan demikian, timbul penyakit-penyakit
tertentu yang sering dijumpai pada orang kegemukan seperti: penyakit
kardiovaskuler yang menyerang jantung dan sistem pembuluh darah, hipertensi,
diabetes mellitus dan lainnya (Sediaoetama, 2006).
b. Status Gizi Baik (eunutritional state)
Tingkat kesehatan gizi terbaik adalah kesehatan gizi optimum
(eunutritional state). Dalam kondisi ini jaringan penuh oleh semua zat tersebut.
Tubuh terbebas dari penyakit dan mempunyai daya kerja dan efisiensi yang
sebaik-baiknya. Tubuh juga mempunyai daya tahan yang setinggi-tingginya
26
c. Status Gizi Kurang (undernutrition)
Gizi kurang (undernutrition) adalah kekurangan bahan-bahan nutrisi
seperti protein, karbohidrat, lemak dan vitamin yang dibutuhkan oleh tubuh. Berat
badan akan lebih rendah dari berat badan ideal dan penyediaan zat-zat gizi bagi
jaringan tidak mencukupi, sehingga akan menghambat fungsi jaringan tersebut
(Sediaoetama, 2006).
Menentukan klasifikasi status gizi harus ada ukuran baku yang sering
disebut reference. Penentuan status gizi di lapangan masih menggunakan kalsifikasi yang berbeda-beda sehingga data yang dihasilkan sulit untuk dianalisis
lebih lanjut baik untuk hubungan maupun analisis perbandingan. Sesuai dengan
perkembangan ilmu, teknologi serta hasil temu pakar gizi Indonesia, standar baku
antropometri yang digunakan secara nasional di Indonesia disepakati
menggunakan standar baku World Health Organization-National Center for
Health Statistics (WHO-NCHS). Standar baku ini kemudian ditetapkan dalam
Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor: 920/Menkes/SK/VIII/2002 (Depkes RI,
2005).
Tabel 2.3 Klasifikasi Status Gizi Anak Bawah Lima Tahun (Balita)
Indeks Status Gizi Ambang Batas *)
Berat Badan menurut Umur
27
2.5.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Status Gizi
Untuk mencapai status gizi sebagaimana yang diharapkan, maka perlu
diperhatikan beberapa faktor yang mempengaruhi status gizi, antara lain faktor
yang terdapat dalam diri balita (faktor internal), dan yang terdiri dari luar balita
(faktor eksternal) (Citrawati, 2003).
a. Faktor Internal
Faktor gizi internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri seseorang
(Almatsier, 2011). Faktor gizi internal yang mempengaruhi gizi balita, meliputi:
1. Genetik
Faktor bawaan atau genetik juga mempengaruhi status gizi seorang anak,
seperti keluarga dengan obesitas maka kemungkinan besar anak akan mengalami
obesitas juga (Citrawati, 2003).
2. Asupan makanan
Anak harus selalu cukup dengan makanan yang seimbang untuk
menunjang pertumbuhan dan perkembangannya. Makanan yang seimbang untuk
memenuhi gizi seseorang anak harus diberikan sejak dalam kandungan (Citrawati,
2003).
3. Nilai cerna makanan
Penganekaragaman makanan erat kaitannya dengan nilai cerna makanan.
Makanan yang disediakan untuk konsumsi manusia mempunyai nilai cerna yang
berbeda. Hal ini dipengaruhi oleh keadaan makanan, misalnya keras atau lembek
28
4. Status kesehatan
Status kesehatan seseorang turut menentukan kebutuhan nutrisi.
Kebutuhan nutrisi orang sakit berbeda dengan orang sehat, karena sebagian sel
tubuh orang sakit telah mengalami kerusakan dan perlu diganti, sehingga
membutuhkan nutrisi yang lebih banyak. Selain untuk membangun kembali sel
tubuh yang telah rusak, nutrisi lebih ini diperlukan juga untuk pemulihan
(Almatsier, 2011).
5. Keadaan infeksi
Di Indonesia dan juga negara berkembang lainnya, penyakit infeksi masih
banyak menyerang kesehatan balita. Gangguan defisiensi gizi dan rawan infeksi
adalah suatu hubungan yang erat, maka perlu ditinjau kaitannya satu sama lain.
Infeksi bisa berhubungan dengan gangguan gizi melalui beberapa cara, yaitu
mempengaruhi nafsu makan, menyebabkan kehilangan bahan makanan karena
muntah/diare, atau mempengaruhi metabolisme makanan. Gizi buruk dan infeksi,
keduanya dapat bermula dari kemiskinan dan lingkunagn yang tidak sehat dengan
sanitasi buruk. Selain itu, juga diketahui bahwa infeksi menghambat reaksi
imunologis yang normal dengan menghabiskan sumber energi pada tubuh.
Adapun penyebab utama gizi buruk adalah penyakit infeksi bawaan balita seperti
diare, campak, infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) dan rendahnya asupan gizi
akibat kurangnya ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga atau karena pola
29
6. Umur
Anak balita yang sedang mengalami pertumbuhan dan perkembangan
memerlukan makanan bergizi yang lebih banyak dibandingkan orang dewasa per
kilogram berat badannya. Dengan semakin bertambahnya umur, semakin
meningkat pula kebutuhan nutrisi bagi tubuh.
Pada usia 1-5 tahun adalah masa golden age dimana pada masa tersebut dibutuhkan nutrisi yang diperlukan bagi tubuh untuk pertumbuhannya. Semakin
bertambah usia akan semakin meningkat kebutuhan nutrisi yang dibutuhkan oleh
tubuh untuk mendukung meningkatnya dan semakin beragamnya kegiatan fisik
(Suharjo, 2003).
7. Jenis kelamin
Jenis kelamin menentukan besar kecilnya kebutuhan gizi seseorang. Anak
laki-laki lebih banyak membutuhkan nutrisi daripada anak perempuan, karena
secara kodrati laki-laki memang diciptakan lebih kuat daripada perempuan. Dan
hal ini dengan mudah dapat dilihat dari aktivitas yang dilakukan oleh laki-laki dan
perempuan (Suharjo, 2003).
8. Riwayat ASI eksklusif
Pemberian ASI secara eksklusif untuk bayi hanya diberikan ASI tanpa
diberi tambahan cairan lain. Pemberian ASI eksklusif dianjurkan untuk jangka
waktu minimal empat bulan atau enam bulan. ASI adalah satu-satunya makanan
ideal yang terbaik dan paling sempurna bagi bayi untuk memenuhi kebutuhan
fisik dan psikologis bayi yang sedang tumbuh dan berkembang. Air Susu Ibu
30
dan mengandung zat kekebalan yang mampu melindungi bayi dari berbagai
penyakit infeksi. Selain itu, ASI juga dapat menurunkan angka kematian bayi baru
lahir karena diare (Almatsier, 2011).
9. Riwayat makanan pendamping ASI (MP-ASI)
Makanan pendamping ASI adalah makanan yang diberikan kepada bayi
disamping ASI untuk memenuhi kebutuhan gizi anak mulai usia empat bulan
sampai usia 24 bulan. Bayi membutuhkan nutrisi yang tinggi untuk pertumbuhan
dan perkembangannya. Seiring dengan pertumbuhan umur anak, kebutuhan
nutrisinya juga juga meningkat. Memasuki usia 4-6 bulan bayi telah siap
menerima makanan bukan cair, karena gigi telah tumbuh dan lidah siap menelan
makanan setengah padat. Disamping itu, lambung juga telah lebih baik mencerna
zat tepung. Di awal kehidupannya, lambung dan usus bayi sesungguhnya belum
sepenuhnya matang. Bayi dapat mencerna gula dalam susu (laktase) tetapi belum
mampu menghasilkan amilase dalam jumlah yang cukup. Jika kemudian bayi
disapih pada usia 4-6 bulan, tidak berarti karena bayi telah siap menerima
makanan selain ASI, tetapi karena kebutuhan gizi bayi tidak lagi cukup dipasok
hanya oleh ASI. Memang ada sebagian bayi yang terus tumbuh dengan
memuaskan meskipun tidak diberikan makanan tambahan. Namun di lain pihak,
cukup banyak bayi yang membutuhkan nutrisi dan energi lebih dari sekedar yang
tersedia di dalam ASI (Arisman, 2004).
b. Faktor Eksternal
Faktor gizi eksternal adalah faktor yang berpengaruh di luar diri seseorang
31
1. Faktor pertanian
Faktor pertanian meliputi seluruh usaha pertanian mulai dari penanaman
sampai dengan produksi dan pemasaran, jika sektor pertanian melemah (terjadi
gagal panen) maka masyarakat akan kesulitan dalam memperoleh makanan untuk
dikonsumsi, sehingga secara tidak langsung akan mempengaruhi status gizi
(Almatsier, 2011).
2. Faktor ekonomi
Penghasilan keluarga mempengaruhi dan menentukan daya beli keluarga
termasuk makanan, tersedia atau tidaknya makanan dalam keluarga akan
menentukan kualitas bahan makanan yang dikonsumsi oleh anggota yang
sekaligus mempengaruhi asupan gizi (Almatsier, 2011).
3. Faktor sosial budaya
Pola kebudayaan juga mempengaruhi orang dalam memilih pangan.
Faktor sosial budaya meliputi kebiasaan makan, kesukaan terhadap jenis makanan
tertentu dan anggapan terhadap suatu makanan yang berkaitan dengan agama dan
kepercayaan tertentu (Almatsier, 2011).
4. Jumlah anggota keluarga
Kasus balita gizi kurang banyak ditemukan pada keluarga dengan jumlah
anggota keluarga yang besar dibandingkan dengan keluarga kecil. Keluarga
dengan jumlah anak yang banyak dan jarak kelahiran yang sangat dekat akan
menimbulkan lebih banyak masalah, yakni pendapatan keluarga yang pas-pasan,
sedangkan anak banyak maka pemerataan dan kecukupan makan di dalam
32
yang lebih sedikit, karena makanan lebih banyak diberikan kepada kakak mereka
yang lebih besar sehingga mereka menjadi kurang gizi dan rawan terkena penyakit
(Almatsier, 2011).
2.5.4 Kebutuhan Zat Gizi pada Balita
Pemberian kebutuhan gizi balita harus disesuaikan dengan umur, jenis
kelamin, berat badan, aktivitas, jumlah yang cukup, bergizi dan seimbang (Uripi,
2004). Kebutuhan energi protein balita berdasarkan Angka Kecukupan Gizi
(AKG) rata-rata perhari yang dianjurkan oleh Widyakarya Pangan dan Gizi dapat
dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 2.4 Kebutuhan Konsumsi Energi dan Protein Balita Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi Anjuran (AKG) Rata-Rata Per Hari
No Kelompok Umur Berat badan (kg)
Sumber: Widyakarma Pangan dan Gizi, 2004
2.6 Penilaian Status Gizi
Malnutrisi pada individu atau masyarakat dapat diketahui melalui
penilaian status gizi (PSG). Penilaian status gizi adalah interpretasi dari data yang
didapatkan dengan menggunakan berbagai metode untuk mengidentifikasi
populasi atau individu yang berisiko atau dengan status gizi buruk (Syafiq, 2009).
Cara penilaian status gizi yang paling sering digunakan di masyarakat adalah
33
2.6.1 Pengertian Antropometri
Asal kata: antropos (tubuh) dan metros (ukuran), antropometri berarti ukuran dari tubuh (Supariasa, 2002). Antropometri gizi berhubungan dengan
berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai
tingkat umur dan tingkat gizi. Antropometri sangat umum digunakan untuk
mengukur status gizi dari berbagai ketidakseimbangan antara asupan protein dan
energi. Gangguan ini biasanya terlihat dari pola pertumbuhan fisik dan proporsi
jaringan tubuh, seperti lemak, otot dan jumlah air dalam tubuh (Supariasa, 2002).
2.6.2 Syarat yang Mendasari Penggunaan Antropometri
1. Alat mudah didapat dan digunakan, seperti dacin, pita lingkar lengan atas, dan
alat pengukur panjang bayi yang dapat dibuat sendiri di rumah.
2. Pengukuran dapat dilakukan berulang-ulang dengan mudah dan objektif.
3. Pengukuran bukan hanya dilakukan dengan tenaga khusus profesional, dapat
oleh tenaga lain setelah mendapat pelatihan.
4. Biaya relatif murah, karena alat mudah didapat dan tidak memerlukan
bahan-bahan lainnya.
5. Mudah disimpulkan, karena mempunyai ambang batas (cutt of point) dan baku
rujukan yang sudah pasti.
6. Secara ilmiah diakui kebenarannya. Hampir semua negara menggunakan
antropometri sebagai metode untuk mengukur satatus gizi masyarakat,
34
2.6.3 Keunggulan Antropometri
1. Prosedur sederhana, aman dan dapat dilakukan dalam jumlah sampel cukup
besar
2. Relatif tidak membutuhkan tenaga ahli
3. Alat murah, mudah dibawa, tahan lama, dapat dipesan dan dibuat di daerah
setempat.
4. Metode ini tepat dan akurat, karena dapat dibakukan.
5. Dapat mendeteksi atau menggambarkan riwayat gizi di masa lampau.
6. Umumnya dapat mengidentifikasi status gizi sedang, kurang, buruk dan baik,
karena sudah ada ambang batas yang jelas.
7. Dapat mengevaluasi perubahan status gizi pada periode tertentu, atau dari satu
generasi ke generasi berikutnya.
8. Dapat digunakan untuk penapisan kelompok yang rawan terhadap gizi
(Hammond, 2004).
2.6.4 Jenis Parameter Antropometri
Antropometri sebagai indikator status gizi dapat dilakukan dengan
mengukur beberapa parameter. Parameter adalah ukuran tunggal dari tubuh
manusia antara lain: umur, berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, lingkar
kepala, lingkar dada, lingkar pinggul dan tebal lemak di bawah kulit. Parameter
antropometri adalah dasar dari penilaian status gizi (Supariasa, 2002). Kombinasi
antara parameter disebut indeks antropometri, terdiri dari:
35
Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran
massa tubuh yang sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang mendadak,
misalnya karena terserang penyakit infeksi, maka nafsu makan atau jumlah makan
yang dikonsumsi akan berkurang dan akan mengakibatkan menurunnya berat
badan. Mengingat karakteristik berat badan yang labil, maka indeks BB/U lebih
menggambarkan status gizi seseorang saat ini (current nutritional status). Penilaian dilakukan dengan menghitung presentase capaian berat badan (BB)
standar berdasarkan usia anak. Selanjutnya, konsultasikan dengan tabel baku
rujukan status gizi balita usia 12-59 bulan menurut berat badan dan umur (BB/U)
pada lampiran.
Cara penilaian indeks berat badan/umur ini memiliki kelebihan dan kekurangan.
Berikut adalah kelebihan indeks BB/U:
1) Lebih mudah dan lebih cepat dimengerti oleh masyarakat umum.
2) Baik untuk mengukur status gizi akut atau kronis.
3) Berat badan dapat berfluktuasi.
4) Sangat sensitif terhadap perubahan kecil.
5) Dapat mendeteksi kegemukan (overweight).
Sementara itu, kekurangan indeks BB/U adalah:
1) Dapat mengakibatkan interpretasi status gizi yang salah bila terdapat
edema maupun asites.
2) Di daerah pedesaan yang masih terpencil dan tradisional, umur sering sulit
ditaksir secara tepat karena sistem pencatatan kependudukan yang belum
36
3) Memerlukan data umur yang akurat, terutama untuk anak dibawah usia
lima tahun.
4) Sering terjadi kesalahan dalam pengukuran, seperti pengaruh pakaian atau
gerakan anak pada saat penimbangan.
5) Secara operasional sering mengalami hambatan karena masalah sosial
budaya setempat. Dalam hal ini orang tua tidak mau menimbang anaknya
karena dianggap seperti barang dagangan (Supariasa, 2002).
2. Tinggi badan menurut umur (TB/U)
Tinggi badan adalah antropometri yang menggambarkan keadaan
pertumbuhan skeletal. Perubahan tinggi badan tidak seperti berat badan, relatif
kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam jangka pendek. Pengaruh
defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan nampak dalam jangka waktu relatif
lama. Berdasarkan karakteristik tersebut, maka indeks ini menggambarkan status
gizi masa lalu (Supariasa, 2002).
3. Berat badan menurut tinggi badan (BB/TB)
Berat badan memiliki hubungan yang linier dengan tinggi badan. Dalam
keadaan normal, perkembangan berat badan searah dengan pertumbuhan tinggi
badan dengan kecepatan tertentu. Indeks BB/TB adalah indeks yang independen
terhadap umur. Penilaian ini lebih peka daripada penilaian berdasarkan berat
badan menurut umur (Supariasa, 2002).
4. Lingkar lengan atas menurut umur (LILA/U)
Lingkar lengan atas memberikan gambaran tentang keadaan jaringan otot