• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Religiusitas Terhadap Sikap Terhadap Kematian Pada Lansia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Religiusitas Terhadap Sikap Terhadap Kematian Pada Lansia"

Copied!
148
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH RELIGIUSITAS TERHADAP SIKAP TERHADAP

KEMATIAN PADA LANSIA

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh :

MARIA DEBORA PANJAITAN

051301043

FAKULTAS PSIKOLOGI

(2)

SKRIPSI

PENGARUH RELIGIUSITAS TERHADAP SIKAP TERHADAP

KEMATIAN PADA LANSIA

Dipersiapkan dan disusun oleh :

MARIA DEBORA PANJAITAN

051301043

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada tanggal

Mengesahkan, Dekan Fakultas Psikologi

Prof. Dr. Chairul Yoel, Sp. A(K) NIP.140 080 762

Tim Penguji

1. Dra. Meidriani Ayu Siregar. M,Kes Penguji I/Pembimbing NIP. 132 283 765

2. Dra. Elvi Andriani Yusuf Penguji II NIP. 132 255 307

(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul :

Pengaruh Religiusitas terhadap Sikap terhadap Kematian pada Lansia

adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun..

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Juni 2009

(4)

Pengaruh Religiusitas terhadap Sikap terhadap Kematian pada Lansia Maria Debora Panjaitan dan Meidriani Ayu Siregar

ABSTRAK

Masa dewasa akhir atau usia tua adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang, yaitu suatu periode dimana seseorang telah beranjak jauh dari periode dahulu yang lebih menyenangkan. Masa lanjut usia ditandai dengan terjadinya berbagai perubahan, baik perubahan fisik, psikologis maupun sosial. Perubahan-perubahan tersebut sesuai dengan hukum kodrat manusia yang pada umumnya dikenal dengan istilah ‘menua’. Perubahan-perubahan tersebut mempengaruhi struktur baik fisik maupun mental. Periode selama usia lanjut atau lansia yaitu ketika kemunduran fisik dan mental terjadi secara perlahan dikenal dengan istilah ‘senescence’ yaitu masa proses menjadi tua. Pada waktu kesehatannya memburuk, lansia cenderung berkonsentrasi pada masalah kematian. Semakin lanjut usia seseorang, biasanya individu menjadi lebih mementingkan tentang kematian itu sendiri dan kematian diri sendiri. Pemikiran tentang kematian merupakan bagian yang penting pada tahap akhir kehidupan bagi banyak individu. Sikap terhadap kematian merupakan

Penelitian ini merupakan penelitian yang bertujuan untuk melihat pengaruh religiusitas terhadap sikap terhadap kematian pada lansia.

Jumlah sampel penelitian ini adalah 60 orang lansia, yang terdiri dari 26 orang (43.33%) lansia pria dan 34 lansia wanita (56.67%). Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan Simple Random sampling. Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala model Likert dan model dikotomi yang kemudian dianalisa dengan menggunakan metode analisa regresi. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah tiga buah skala yaitu skala religiusitas I dan skala religiusitas II yang disusun oleh peneliti berdasarkan dimensi dari Gloack & Stark (dalam Rahkmat, 2003) serta skala sikap terhadap kematian yang disusun oleh peneliti berdasarkan aspek-aspek dari Corr, Nabe & Corr (2003). Skala religiusitas I memiliki nilai reliabilitas (rxx)=0.922, skala religiusitas II memiliki nilai reliabilitas (rxx)=0.664 dan nilai reliabilitas skala sikap terhadap kematian (rxx)=0.878

Hasil analisa data penelitian dengan menggunakan teknik analisa regresi menunjukkan ada pengaruh religiusitas yang signifikan terhadap sikap terhadap kematian pada lansia, dengan nilai R=0.641, nilai F=40.454, dengan tingkat signifikansi koefisien korelasi 0.000 (p = 0.000). Religiusitas memberikan sumbangan efektif sebesar 41.1 %.

(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas berkat dan kasih-Nya yang begitu besar, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Religiusitas terhadap Sikap terhadap Kematian pada Lansia”. Skripsi ini disusun guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara Medan.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan terwujud tanpa bantuan dari banyak pihak, baik dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi. Untuk itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. dr. Chairul Yoel, Sp.A(K) selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

2. Dra. Meidriani Ayu Siregar, M.Kes, Psikolog selaku dosen pembimbing penulis, yang telah memberikan waktu, bimbingan, saran dan masukan kepada penulis. Terima kasih buat semua kebaikan Ibu. Penulis berharap semoga Tuhan senantiasa memberkati ibu dan memberikan kesuksesan kepada Ibu. 3. Etti Rahmawati, M.Si yang selama ini telah memberikan waktu untuk

membimbing penulis selama penulisan skripsi ini. Terima kasih buat bimbingan ibu.

4. Dra. Gustiarti Leila, M.Psi, M.Kes, Psikolog selaku dosen pembimbing akademik penulis yang telah memberikan bimbingan, dorongan serta motivasi kepada penulis selama empat tahun menjalani perkuliahan di Psikologi USU. 5. Ayah dan Ibu penulis yang tercinta, Ir.R.Panjaitan dan Ir.M.Simanungkalit

(6)

membimbing penulis tanpa kenal lelah. Penulis berharap semoga dapat selalu memberikan yang terbaik untuk ayah dan ibu penulis. Terima kasih kepada adik-adik penulis yang selalu menemani penulis melewati hari-hari bersama. 6. Opung tercinta (Alm) Dr.PM.Simanungkalit dan (Alm) H.br.Siregar yang

telah menanamkan semua hal yang baik kepada penulis. Penulis tidak akan pernah melupakan semua cinta dan kebaikan yang telah kalian berikan.

7. Terima kasih kepada keluarga Tante Berlian, Tante Intan, Tulang Simon,

Tulang Napola dan Tulang Josua Simanungkalit yang selalu memberikan dukungan dan perhatian kepada penulis. Semoga suatu saat penulis bisa menjadi manusia yang berguna dan berhasil seperti tante dan tulang tercinta. 8. Teman-teman 2005, khususnya sahabat-sahabat terbaikku di Psikologi, Ezra,

Angie, Elsa, Nova, Yulinda, Purnama, Angeline H.Z, Nani, Novi, Edra, Margareth, Afnie, Paskah, Dewi, Efnita, Mia, Ika, Risda, Dian, Yani, Ririn, Yoland, Yefri, Geo. Terima kasih buat persahabatan, kebaikan, bantuan serta motivasi yang telah diberikan pada penulis.

Medan, Juni 2009

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

COVER HALAMAN DALAM ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR... vi

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR LAMPIRAN……… ………...xvi

BAB I. PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ...1

B. Rumusan Masalah ...8

C. Tujuan Penelitian...8

D. Manfaat Penelitian ...9

E. Sistematika Penulisan ...10

BAB II. LANDASAN TEORI ... 12

A. Sikap ... 12

1. Definisi Sikap ... 12

2. Komponen Sikap ... 14

(8)

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap ... 15

5. Perwujudan sikap dalam perilaku ... 18

B. Sikap terhadap kematian ... 20

1. Definisi sikap terhadap kematian ... 20

2. Aspek-aspek sikap terhadap kematian ... 21

3. Faktor yang mempengaruhi sikap terhadap kematian ... 22

C. Religiusitas ... 26

1. Definisi Religiusitas ... 23

2. Dimensi Religiusitas ... 24

D. Lansia ... 25

1. Definisi Lansia... 25

2. Ciri-ciri lansia ... 27

3. Tugas Perkembangan Lansia ... 35

E.Religiusitas pada masa lansia ... 36

F.Pengaruh religiusitas terhadap sikap terhadap kematian pada lansia 37 G. Hipotesa penelitian... 39

BAB III. METODE PENELITIAN ... 40

A. Identifikasi Variabel Penelitian...40

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian ...40

1. Religiusitas...40

2. Sikap terhadap kematian ...41

(9)

1. Populasi dan Sampel ...41

2. Metode Pengambilan Sampel ...42

D. Metode dan Alat Pengambilan Data ...43

1. Skala Religiusitas ………...43

2. Skala Sikap terhadap Kematian ...44

E. Validitas, Reliabilitas dan Daya Beda aitem ...45

1. Validitas Alat Ukur ...46

2. Reliabilitas Alat Ukur ...46

3. Uji Daya Beda Aitem...47

F. Hasil Uji Coba Alat Ukur ...47

1. Skala Religiusitas...47

2. Skala Sikap terhadap kematian ...49

G. Prosedur Penelitian ...51

1. Persiapan Penelitian ...51

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian...52

3. Tahap Pengolahan Data ...52

H. Metode Analisa Data...52

1. Uji Normalitas...52

2. Uji Linieritas ...53

BAB IV ANALISA DAN INTERPRETASI DATA ...54

A. Analisa Data ...54

(10)

a. Gambaran subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin ...54

b.Gambaran subjek penelitian berdasarkan usia ...55

2.. Hasil Penelitian ...56

a. Hasil Uji Asumsi ...56

1) Uji Normalitas ...56

2) Uji Linearitas Hubungan ...57

b. Hasil Analisa Data ...58

c. Deskripsi Data Penelitian ...61

1) Variabel Religiusitas...62

2)Variabel Sikap terhadap kematian ...63

3. Hasil Analisa Tambahan ...65

a.Gambaran sikap terhadap kematian berdasarkan usia...65

b. Gambaran sikap terhadap kematian berdasarkan jenis kelamin .66 c. Gambaran religiusitas berdasarkan jenis kelamin...68

B. Pembahasan ...69

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ...75

A. Kesimpulan ...75

B. Saran...76

1. Saran Metodologis ...76

2. Saran Praktis ...77

DAFTAR PUSTAKA... 79

(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Distribusi aitem skala religiusitas I sebelum uji coba ... 44

Tabel 2 : Distribusi aitem skala sikap terhadap kematian sebelum uji coba... 45

Tabel 3 : Distribusi aitem skala religiusitas I setelah uji coba……….47

Tabel 4 : Distribusi atem skala religiusitas I untuk penelitian………48

Tabel 5 : Distribusi atem skala sikap terhadap kematian setelah uji coba……..49

Tabel 6 : Distribusi atem skala sikap terhadap kematian untuk penelitian...50

Tabel 7 : Gambaran subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin...54

Tabel 8 : Gambaran subjek penelitian berdasarkan usia………55

Tabel 9 : Uji Sebaran Normalitas Kolmogorov-Smirnov...57

Tabel 10 : Hasil Uji Normalitas……..………...57

Tabel 11 : Uji Normalitas dengan One Sample Kolmogorov-Smirnov…………58

Tabel 12 : Hasil Analisa Regresi ... …...59

Tabel 13 : Parameter persamaan garis regresi ………...60

Tabel 14 : Skor Empirik Religiusitas...62

Tabel 15 : Kategorisasi Data Religiusitas ... …...62

Tabel 16 : Skor empirik& skor hipotetik skala terhadap kematian...62

Tabel 17 : Kategorisasi data sikap terhadap kematian……….64

Tabel 18 : Gambaran sikap terhadap kematian berdasarkan usia...65

Tabel 19 : Uji Homogenitas varians kelompok berdasarkan usia...65

(12)
(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Data Mentah Skala Penelitian ... 82

Lampiran 2 : Gambaran Subjek penelitian ... 88

Lampiran 3 : Analisa I Reliabilitas Skala Religiusitas I ... 91

Lampiran 4 : Analisa II Reliabilitas Skala Religiusitas I ... 96

Lampiran 5 : Analisa III Reliabilitas Skala Kecemasan ... 99

Lampiran 6 : Analisa I Reliabilitas Skala Dukungan Sosial ... 102

Lampiran 7 : Analisa II Reliabilitas Skala Dukungan Sosial ... 107

Lampiran 8 : Analisa III Reliabilitas Skala Dukungan Sosial ... 110

Lampiran 9 : Hasil Utama Penelitian ... 113

Lampiran 10 : Analisa Regresi Sebagai Hasil Tambahan Penelitian ... 115

Lampiran 11 : Analisa T-Test Sebagai Hasil Tambahan Penelitian ... 119

(14)

Pengaruh Religiusitas terhadap Sikap terhadap Kematian pada Lansia Maria Debora Panjaitan dan Meidriani Ayu Siregar

ABSTRAK

Masa dewasa akhir atau usia tua adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang, yaitu suatu periode dimana seseorang telah beranjak jauh dari periode dahulu yang lebih menyenangkan. Masa lanjut usia ditandai dengan terjadinya berbagai perubahan, baik perubahan fisik, psikologis maupun sosial. Perubahan-perubahan tersebut sesuai dengan hukum kodrat manusia yang pada umumnya dikenal dengan istilah ‘menua’. Perubahan-perubahan tersebut mempengaruhi struktur baik fisik maupun mental. Periode selama usia lanjut atau lansia yaitu ketika kemunduran fisik dan mental terjadi secara perlahan dikenal dengan istilah ‘senescence’ yaitu masa proses menjadi tua. Pada waktu kesehatannya memburuk, lansia cenderung berkonsentrasi pada masalah kematian. Semakin lanjut usia seseorang, biasanya individu menjadi lebih mementingkan tentang kematian itu sendiri dan kematian diri sendiri. Pemikiran tentang kematian merupakan bagian yang penting pada tahap akhir kehidupan bagi banyak individu. Sikap terhadap kematian merupakan

Penelitian ini merupakan penelitian yang bertujuan untuk melihat pengaruh religiusitas terhadap sikap terhadap kematian pada lansia.

Jumlah sampel penelitian ini adalah 60 orang lansia, yang terdiri dari 26 orang (43.33%) lansia pria dan 34 lansia wanita (56.67%). Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan Simple Random sampling. Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala model Likert dan model dikotomi yang kemudian dianalisa dengan menggunakan metode analisa regresi. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah tiga buah skala yaitu skala religiusitas I dan skala religiusitas II yang disusun oleh peneliti berdasarkan dimensi dari Gloack & Stark (dalam Rahkmat, 2003) serta skala sikap terhadap kematian yang disusun oleh peneliti berdasarkan aspek-aspek dari Corr, Nabe & Corr (2003). Skala religiusitas I memiliki nilai reliabilitas (rxx)=0.922, skala religiusitas II memiliki nilai reliabilitas (rxx)=0.664 dan nilai reliabilitas skala sikap terhadap kematian (rxx)=0.878

Hasil analisa data penelitian dengan menggunakan teknik analisa regresi menunjukkan ada pengaruh religiusitas yang signifikan terhadap sikap terhadap kematian pada lansia, dengan nilai R=0.641, nilai F=40.454, dengan tingkat signifikansi koefisien korelasi 0.000 (p = 0.000). Religiusitas memberikan sumbangan efektif sebesar 41.1 %.

(15)

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Masa dewasa akhir atau usia tua adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang, yaitu suatu periode dimana seseorang telah beranjak jauh dari periode dahulu yang lebih menyenangkan atau beranjak dari waktu yang penuh manfaat. Usia enampuluhan biasanya dipandang sebagai garis pemisah antara usia madya dan usia lanjut (Hurlock, 1999). Proses menua merupakan suatu proses biologis. Setelah bertahun-tahun, kondisi tubuh akan menurun, kulit menjadi kendur, berkerut, fungsi sistem jantung dan pernafasan juga menurun. Perubahan juga terjadi pada otak (Lahey, 2003). Beberapa perubahan fisik yang dihubungkan dengan proses penuaan dapat diobservasi secara langsung. Kulit individu yang menua menjadi lebih pucat, muncul bercak-bercak di kulit, kulit menjadi kurang elastis, dan seiring dengan lemak dan otot yang mulai mengendur, kulit menjadi berkerut. Muncul juga urat nadi yang menonjol pada kaki. Rambut di kepala mulai memutih dan mulai menipis serta rambut yang tumbuh di tubuh mulai menipis (Papalia, 2004)

(16)

dengan istilah ‘senescence’ yaitu masa proses menjadi tua (Hurlock, 1999). Kemunduran fisik dan mental ini dapat mengakibatkan kesehatan lansia menjadi buruk.

Pada waktu kesehatannya memburuk, lansia cenderung berkonsentrasi pada masalah kematian. Pertanyaan pertama tentang kematian yang menyelimuti orang berusia lanjut adalah,’kapan saya akan mati?’ padahal mereka tahu bahwa tidak ada orang yang dapat menduga jawabannya dengan tingkat ketepatan yang dapat diterima. Semakin lanjut usia seseorang, biasanya individu menjadi lebih mementingkan tentang kematian itu sendiri dan kematian diri sendiri. Pendapat semacam ini benar khususnya bagi orang yang kondisi fisik dan mentalnya semakin memburuk. (Hurlock, 1999).

Secara umum, pria memusatkan perhatian pada kematian diri sendiri yang antara lain meliputi pertanyaan apa yang akan menyebabkan kematiannya dan kapan kematian tersebut terjadi. Walaupun ia juga memperhatikan kemungkinan kematian istri, anak-anak, teman dekat dan saudara, tetapi lansia pria lebih mengutamakan kematian diri sendiri. Lansia wanita berkepentingan terhadap akibat kematian diri sendiri. Namun bagaimanapun juga, ketertarikan wanita terpusat pada masalah kematian suami dan diri sendiri. Beberapa wanita lebih tertarik untuk memikirkan kematian diri sendiri, akan tetapi lebih banyak wanita yang memikirkan kematian suami (Hurlock, 1999).

(17)

Merenung dan merencanakan kematian merupakan bagian yang normal dalam kehidupan lansia (Kalish & Reynolds, dalam Lahey, 2003). Pada usia tua, kematian seseorang lebih wajar dibicarakan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pemikiran dan pembicaraan mengenai kematian meningkat, perkembangan integritas pun meningkat melalui peninjauan hidup yang positif dan hal ini mungkin dapat membantu mereka untuk menerima kematian (Santrock, 2002).

Kematian secara umum dipandang sebagai proses musnahnya tubuh (Papalia, 2004). Definisi kata ‘mati’ dalam kamus sangat sederhana yaitu transisi antara kehidupan dan ketiadaan hidup (Cavanaugh & Kail, 2000). Menurut Rab, kematian dapat disebabkan empat faktor, yaitu berhentinya pernafasan, matinya jaringan otak, tidak berdenyutnya jantung serta adanya pembusukan pada jaringan tertentu oleh bakteri-bakteri. Individu dinyatakan mati menurut Sunatrio bilamana fungsi spontan pernafasan atau paru-paru dan jantung telah berhenti secara pasti atau telah terbukti terjadi kematian pada batang otak. Dengan demikian, kematian berarti berhentinya kerja paru-paru, jantung dan otak secara total pada manusia (dalam Stephen, 2007).

(18)

keyakinan filosofis atau kepercayaan keagamaan yang berkaitan dengan kematian (Hoyer & Roodin, 2003).

Secara umum, agama memiliki pandangan tentang kematian. Menurut pandangan agama Kristen, kematian membuat hidup manusia berhenti. Menurut theolog Kristen Yohanes Calvin, pada saat kematian, jiwa dibebaskan dari kungkungan tubuh. Tubuh yang fana (mortal body) identik dengan tubuh yang penuh dosa (sinful flesh). Kematian telah mengakhiri perjuangan individu yang percaya pada Tuhan dalam peperangan menghadapi keinginan-keinginan duniawi. Setelah kematian, jiwa menikmati damai sorgawi (heavenly peace) sambil menunggu kebangkitan tubuh. Agama Islam berpendapat bahwa mati adalah perpisahan roh atau jiwa dari jasad. Surat Al-Zumar ayat 47 menggambarkan bahwa kematian sama dengan tidur. Roh atau jiwa tanpa tubuh pada saat kematian akan segera pergi ke alam barzakh sebelum seseorang dibangkitkan untuk masuk surga atau terjerumus ke neraka, oleh sebab itu, Al-quran mengingatkan agar setiap orang selalu berbuat amal kebaikan selama hidupnya (Stephen, 2007).

(19)

memandang dan bersikap terhadap kematian. Sikap terhadap kematian meliputi sikap tentang diri individu pada saat sekarat, sikap tentang kematian diri, sikap tentang apa yang akan terjadi pada diri setelah kematian, serta sikap yang berkaitan dengan kematian atau rasa kehilangan orang lain yang dicintai (Corr, Nabe & Corr, 2003).

Satu hal pada lansia yang diketahui sedikit berbeda dari orang yang lebih muda yaitu sikap mereka terhadap kematian. Lansia cenderung tidak terlalu takut terhadap konsep dan realitas kematian (Kadir, 2007). Banyak faktor yang dapat mempengaruhi ketakutan lansia terhadap kematian. Frey menyatakan bahwa lansia yang memiliki efikasi diri yang positif memiliki tingkat ketakutan yang rendah tentang hal yang akan dialami pada saat kematian dan memiliki tingkat ketakutan yang sedikit terhadap rasa sakit yang mungkin dialami pada saat kematian menjelang (Newman & Newman, 2006). Individu yang mendeskripsikan diri mereka sebagai individu yang religius, yang memiliki sistem dukungan sosial yang kuat dan yang memiliki rasa keberhargaan diri yang kuat cenderung tidak mengalami ketakutan akan kematian (Tomer & Eliason dalam Newman & Newman, 2006). Ini terbukti dari hasil wawancara dengan Ibu AS, seorang lansia yang berusia 86 tahun :

”Umur saya sudah 86 tahun...sudah banyak bonus hidup yang diberikan Tuhan pada saya. Saya bersyukur atas itu. Kalau untuk mati, saya sudah siap, saya tidak takut karena seperti firman Tuhan di Mazmur 23, Tuhan adalah gembalaku...sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya sebab Tuhan besertaku....”

(20)

Selain itu, ibu AS juga menyatakan di hari tuanya ia merasa semakin dekat dengan Tuhan dan merasa hidupnya adalah milik Tuhan. Berikut petikan pernyataannya :

”Kalau berdoa..masih berdoa saya setiap hari..saya juga baca firman Tuhan setiap hari..hanya memang ke gereja saya tidak sanggup lagi. Tapi, syukur pada Tuhan karena rumah saya di dekat gereja, jadi setiap hari minggu saya tetap bisa dengar orang nyanyi dan pendeta berkhotbah walau saya tidak sanggup lagi ke gereja...hidup saya adalah milik Tuhan sekarang dan sampai nanti saya meninggal..”

(Komunikasi Personal, 15 Oktober 2008)

Pandangan masyarakat timur terhadap individu lanjut usia adalah suatu masa untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dan meninggalkan urusan atau kegiatan keduniawian. Masa ini diyakini sebagai masa yang sudah dekat bagi lansia untuk kembali ke hadirat Tuhan. (Helmi, 1995).

Lansia menjadi lebih tertarik pada kegiatan keagamaan karena hari kematiannya semakin dekat (Hurlock, 1999). Kondisi uzur di usia lanjut menyebabkan lansia senantiasa dibayang-bayangi oleh perasaan tak berdaya dalam menghadapi kematian. Rasa takut akan kematian ini pada lansia semakin meningkat. Bimbingan dan penyuluhan agama sangat dibutuhkan oleh individu yang berada pada tingkat usia lanjut ini untuk menghilangkan rasa kecemasan. Religiusitas atau penghanyatan keagamaan memiliki pengaruh yang ternyata besar terhadap kesehatan fisik dan mental lanjut usia. (Fitriyani, 2006).

(21)

sehingga mereka berusaha untuk melaksanakan keyakinan agama tersebut dan menghadiri pelayanan agama (Gallup & Jones, dalam Santrock, 2006). Seperti yang dijelaskan oleh Moberg (dalam Hurlock, 1999), agama adalah merupakan salah satu faktor penting dalam penyesuaian pada masa tua. Sementara, Koenig mengatakan bahwa individu yang berusia 65 tahun ke atas menemukan bahwa agama merupakan faktor terpenting yang membantu lansia mengatasi stress (Lowry & Conco, 2002). Agama dapat memenuhi beberapa kebutuhan psikologis yang penting pada lansia dalam hal menghadapi kematian, menemukan dan mempertahankan perasaan berharga dan penting dalam kehidupan, dan menerima kekurangan di masa tua (Daaleman, Perera &Studenski, Fry, Koenig & Larson, dalam Santrock, 2006).

Sebuah penelitian menyatakan bahwa lansia yang lebih dekat dengan agama menunjukkan tingkatan yang tinggi dalam hal kepuasan hidup, harga diri dan optimisme. Studi lain menyatakan bahwa praktik religius dan perasaan religius berhubungan dengan rasa kesejahteraan (sense of well being), terutama pada wanita dan individu berusia di atas 75 tahun (Koenig, Smiley, & Gonzales, dalam Santrock, 2006). Studi lain di San Diego menyatakan hasil bahwa lansia yang orientasi religiusnya sangat kuat diasosiasikan dengan kesehatan yang lebih baik (Cupertino & Haan, dalam Santrock, 2006).

(22)

Others, dalam Santrock, 2006). Hasil studi lainnya yang mendukung adalah dari Seybold&Hill (dalam Papalia, 2004) yang menyatakan bahwa ada asosiasi yang positif antara religiusitas atau spiritualitas dengan kesejahteraan atau well being,

kepuasan pernikahan, dan keberfungsian psikologis; serta asosiasi yang negatif dengan bunuh diri, penyimpangan, kriminalitas, dan penggunaan alkohol dan obat-obatan terlarang.

Idealnya, selama masa dewasa akhir, perhatian ego akan kematian berkurang. Individu akan menerima kehidupan mereka sebagaimana adanya dan mulai memandang kematian sebagai bagian yang alamiah dalam rentang kehidupan. Kematian tidak lagi menjadi ancaman bagi nilai pribadi seseorang (Newman & Newman, 2006).

Pada saat individu lansia mulai menyadari bahwa kondisi tubuhnya semakin lemah dan kematian semakin mendekat, maka individu lansia akan lebih memikirkan tentang kematian. Semakin usia bertambah lanjut, lansia juga semakin tertarik dengan kegiatan keagamaan. Bergerak dari teori dan fenomena di atas, maka peneliti bermaksud untuk melihat pengaruh religiusitas terhadap sikap terhadap kematian pada lansia.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah yang muncul adalah sebagai berikut : ”Seberapa besar pengaruh religiusitas terhadap sikap terhadap kematian pada lansia?”

(23)

Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat besarnya pengaruh religiusitas terhadap sikap terhadap kematian pada lansia.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis maupun secara praktis.

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memperkaya ilmu pengetahuan di bidang psikologi, khususnya psikologi perkembangan untuk masalah yang berkaitan dengan pengaruh religiusitas terhadap sikap terhadap kematian pada lansia.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini diharapkan memberi manfaat pada :

a. Lansia mendapatkan pengetahuan dan dapat lebih memahami tentang

seberapa besar pengaruh religiusitas terhadap sikap terhadap kematian

pada lansia. ...bentuk konkrit..

b. Keluarga mendapatkan informasi mengenai seberapa besar pengaruh

religiusitas terhadap sikap terhadap kematian pada lansia... bentuk

konkrit.

c. Masyarakat memperoleh informasi tentang religiusitas pada masa

lansia, sikap lansia terhadap kematian serta pengaruh religiusitas

(24)

E.Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan proposal penelitian ini adalah: BAB I : Pendahuluan

Bab ini menjelaskan tentang latar belakang masalah penelitian, rumusan masalah penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.

BAB II : Landasan Teori

Bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan masalah. Teori-teori yang dimuat adalah teori mengenai sikap terhadap kematian, religiusitas dan lansia. Bab ini diakhiri dengan mengajukan hipotesa sementara terhadap masalah penelitian yaitu ada pengaruh positif religiusitas terhadap sikap terhadap kematian pada lansia.

BAB III : Metodologi Penelitian

Memuat identifikasi variabel penelitian, definisi operasional dari variabel penelitian, populasi, sampel, metode pengambilan sampel, metode dan alat pengumpulan data, validitas dan reabilitas alat ukur, daya beda aitem dan metode analisa data.

(25)

Bab ini berisi tentang hasil penelitian yang disertai dengan interpretasi dan pembahasan.

Bab V Kesimpulan dan Saran

(26)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Sikap

1. Definisi sikap

Mekanisme mental yang mengevaluasi, membentuk pandangan, mewarnai perasaan dan akan ikut menentukan kecenderungan perilaku individu terhadap manusia lainnya atau sesuatu yang sedang dihadapi oleh individu, bahkan terhadap diri individu itu sendiri disebut fenomena sikap. Fenomena sikap yang timbul tidak saja ditentukan oleh keadaan objek yang sedang dihadapi tetapi juga dengan kaitannya dengan pengalaman-pengalaman masa lalu, oleh situasi di saat sekarang, dan oleh harapan-harapan untuk masa yang akan datang. Sikap

manusia, atau untuk singkatnya disebut sikap, telah didefinisikan dalam berbagai versi oleh para ahli (Azwar, 2007).

Thurstone mendefinisikan sikap sebagai derajat afek positif atau afek negatif terhadap suatu objek psikologis (dalam Azwar, 2007). Sikap atau Attitude

(27)

dalam situasi sosial, atau secara sederhana, sikap adalah respon terhadap stimuli sosial yang telah terkondisikan. Definisi Petty & Cacioppo secara lengkap mengatakan sikap adalah evaluasi umum yang dibuat manusia terhadap dirinya sendiri, orang lain, objek atau isu-isu (dalam Azwar, 2007).

Menurut Fishben & Ajzen, sikap sebagai predisposisi yang dipelajari untuk merespon secara konsisten dalam cara tertentu berkenaan dengan objek tertentu. Sherif & Sherif menyatakan bahwa sikap menentukan keajegan dan kekhasan perilaku seseorang dalam hubungannya dengan stimulus manusia atau kejadian-kejadian tertentu. Sikap merupakan suatu keadaan yang memungkinkan timbulnya suatu perbuatan atau tingkah laku (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2003).

Azwar (2007), menggolongkan definisi sikap dalam tiga kerangka pemikiran. Pertama, kerangka pemikiran yang diwakili oleh para ahli psikologi seperti Louis Thurstone, Rensis Likert dan Charles Osgood. Menurut mereka sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada objek tersebut.

(28)

Ketiga, kelompok pemikiran ini adalah kelompok yang berorientasi pada skema triadik (triadic schema). Menurut pemikiran ini suatu sikap merupakan konstelasi komponen kognitif, afektif dan konatif yang saling berinteraksi didalam memahami, merasakan dan berperilaku terhadap suatu objek.

Jadi berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa sikap adalah kecenderungan individu untuk memahami, merasakan, bereaksi dan berperilaku terhadap suatu objek yang merupakan hasil dari interaksi komponen kognitif, afektif dan konatif.

2. Komponen sikap

Azwar (2007) menyatakan bahwa sikap memiliki 3 komponen yaitu: a. Komponen kognitif

Komponen kognitif merupakan komponen yang berisi kepercayaan seseorang mengenai apa yang berlaku atau apa yang benar bagi objek sikap.

b. Komponen afektif

Komponen afektif merupakan komponen yang menyangkut masalah emosional subjektif seseorang terhadap suatu objek sikap. Secara umum, komponen ini disamakan dengan perasaan yang dimiliki terhadap sesuatu. c. Komponen perilaku

Komponen perilaku atau komponen konatif dalam struktur sikap menunjukkan bagaimana perilaku atau kecenderungan berperilaku yang ada dalam diri seseorang berkaitan dengan objek sikap yang dihadapinya.

(29)

Menurut Brigham (dalam Dayakisni dan Hudiah, 2003) ada beberapa ciri atau karakteristik dasar dari sikap, yaitu :

a. Sikap disimpulkan dari cara-cara individu bertingkah laku.

b. Sikap ditujukan mengarah kepada objek psikologis atau kategori, dalam hal ini skema yang dimiliki individu menentukan bagaimana individu mengkategorisasikan objek target dimana sikap diarahkan.

c. Sikap dipelajari.

d. Sikap mempengaruhi perilaku. Memegang teguh suatu sikap yang mengarah pada suatu objek memberikan satu alasan untuk berperilaku mengarah pada objek itu dengan suatu cara tertentu.

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap

Azwar (2007) menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap adalah pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa, institusi atau lembaga pendidikan dan lembaga agama, serta faktor emosi dalam diri individu.

a. Pengalaman pribadi

(30)

Pada umumnya, individu cenderung untuk memiliki sikap yang konformis atau searah dengan sikap orang yang dianggapnya penting. Kecenderungan ini antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk berafiliasi dan keinginan untuk menghindari konflik dengan orang yang dianggap penting tersebut.

c. Pengaruh Kebudayaan

Burrhus Frederic Skinner, seperti yang dikutip Azwar sangat menekankan pengaruh lingkungan (termasuk kebudayaan) dalam membentuk pribadi seseorang. Kepribadian merupakan pola perilaku yang konsisten yang menggambarkan sejarah penguat (reinforcement)yang kita alami (Hergenhan dalam Azwar, 2007). Kebudayaan memberikan corak pengalaman bagi individu dalam suatu masyarakat. Kebudayaan telah menanamkan garis pengarah sikap individu terhadap berbagai masalah.

d. Media Massa

Berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah dan lain-lain mempunyai pengaruh yang besar dalam pembentukan opini dan kepercayaan individu. Media massa memberikan pesan-pesan yang sugestif yang mengarahkan opini seseorang. Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya sikap terhadap hal tersebut. Jika cukup kuat, pesan-pesan sugestif akan memberi dasar afektif dalam menilai sesuatu hal sehingga terbentuklah arah sikap tertentu.

(31)

Lembaga pendidikan serta lembaga agama sebagai sesuatu sistem mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap dikarenakan keduanya meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu. Pemahaman akan baik dan buruk, garis pemisah antara sesuatu yang boleh dan tidak boleh dilakukan, diperoleh dari pendidikan dan dari pusat keagamaan serta ajaran-ajarannya. Konsep moral dan ajaran agama sangat menetukan sistem kepercayaan sehingga tidaklah mengherankan kalau pada gilirannya kemudian konsep tersebut ikut berperanan dalam menentukan sikap individu terhadap sesuatu hal. Apabila terdapat sesuatu hal yang bersifat kontroversial, pada umumnya orang akan mencari informasi lain untuk memperkuat posisi sikapnya atau mungkin juga orang tersebut tidak mengambil sikap memihak. Dalam hal seperti itu, ajaran moral yang diperoleh dari lembaga pendidikan atau lembaga agama sering kali menjadi determinan tunggal yang menentukan sikap.

f. Faktor Emosional

Suatu bentuk sikap terkadang didasari oleh emosi, yang berfungsi sebagai semacam penyaluran frustrasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego. Sikap demikian dapat merupakan sikap yang sementara dan segera berlalu begitu frustrasi telah hilang akan tetapi dapat pula merupakan sikap yang lebih persisten dan bertahan lama.

(32)

a. Faktor internal (individu itu sendiri) yaitu cara individu dalam menanggapi dunia luar dengan selektif sehingga tidak semua yang datang akan diterima atau ditolak.

b. Faktor eksternal yaitu keadaan-keadaan yang ada di luar individu yang merupakan stimulus untuk membentuk atau mengubah sikap.

Sementara itu Mednick, Higgins dan Kirschenbaum (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2003) menyebutkan bahwa pembentukan sikap dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu :

a. Pengaruh sosial, seperti norma dan kebudayaan. b. Karakter kepribadian individu

c. Informasi yang selama ini diterima individu

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pembentukan sikap dipengaruhi oleh faktor ekstrinsik yang berasal dari luar individu dan faktor intrinsik yang berasal dari dalam individu.

5. Perwujudan sikap dalam perilaku

Werner dan Defleur (Azwar, 2007) mengemukakan 3 postulat guna mengidentifikasikan tiga pandangan mengenai hubungan sikap dan perilaku, yaitu

postulat of consistency, postulat of independent variation, dan postulate of

contigent consistency. Berikut ini penjelasan tentang ketiga postulat tersebut: a. Postulat Konsistensi

(33)

bila dihadapkan pada suatu objek sikap. Jadi postulat ini mengasumikan adanya hubungan langsung antara sikap dan perilaku.

b. Postulat Variasi Independen

Postulat ini mengatakan bahwa mengetahui sikap tidak berarti dapat memprediksi perilaku karena sikap dan perilaku merupakan dua dimensi dalam diri individu yang berdiri sendiri, terpisah dan berbeda.

c. Postulat Konsistensi Kontigensi

Postulat konsistensi kontigensi menyatakan bahwa hubungan sikap dan perilaku sangat ditentukan oleh faktor-faktor situasional tertentu. Norma-norma, peranan, keanggotaan kelompok dan lain sebagainya, merupakan kondisi ketergantungan yang dapat mengubah hubungan sikap dan perilaku. Oleh karena itu, sejauh mana prediksi perilaku dapat disandarkan pada sikap akan berbeda dari waktu ke waktu dan dari satu situasi ke situasi lainnya. Postulat yang terakhir ini lebih masuk akal dalam menjelaskan hubungan sikap dan perilaku.

(34)

mengalami atau merasakan hambatan yang dapat mengganggu kebebasannya dalam mengatakan sikap yang sesungguhnya atau bila individu merasakan ancaman fisik maupun ancaman mental yang dapat terjadi pada dirinya sebagai akibat pernyataan sikap yang hendak dikemukakan maka apa yang diekspresikan oleh individu sebagai perilaku lisan atau perbuatan itu sangat mungkin tidak sejalan dengan sikap hati nuraninya, bahkan dapat sangat bertentangan dengan apa yang dipegangnya sebagai suatu keyakinan. Semakin kompleks situasinya dan semakin banyak faktor yang menjadi pertimbangan dalam bertindak maka semakin sulitlah mempediksikan perilaku dan semakin sulit pula menafsirkannya sebagai indikator (Azwar, 2007).

B. Sikap terhadap kematian

1. Definisi sikap terhadap kematian

Secara umum, kematian didefinisikan sebagai kehilangan permanen dari fungsi integratif manusia secara keseluruhan. Namun, terdapat banyak definisi kematian (Hasan, 2006). Kematian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti perihal mati. Mati itu sendiri dalam KBBI adalah sudah kehilangan nyawanya, tidak hidup lagi dan tidak bernyawa (Depdiknas, 2005).

(35)

ketiadaan secara total aktivitas otak selama paling tidak 10 menit serta kematian serebral (cerebral death) yaitu hilangnya aktivitas di cerebral cortex.

Kematian dapat disimpulkan sebagai proses biologis yang terjadi pada individu saat fungsi-fungsi organ tubuh individu secara fisiologis tidak berfungsi lagi atau tidak bernyawa lagi dan kondisi ini tidak dapat pulih kembali.

Berdasarkan berbagai uraian tentang sikap dan tentang kematian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sikap terhadap kematian adalah kecenderungan individu untuk memahami, merasakan, bereaksi dan berperilaku terhadap proses biologis yang terjadi saat fungsi-fungsi organ tubuh individu secara fisiologis tidak berfungsi lagi atau tidak bernyawa lagi dan kondisi ini tidak dapat pulih kembali. Hal ini merupakan hasil interaksi dari komponen kognitif, afektif dan perilaku.

2. Aspek-aspek sikap terhadap kematian

Sikap yang berkaitan dengan kematian dapat berfokus pada hal-hal berikut (Corr, Nabe & Corr, 2003) :

a. Sikap tentang diri individu pada saat sekarat yaitu merefleksikan ketakutan dan kecemasan tentang kemungkinan mengalami proses kematian yang panjang, sulit atau sakit.

b. Sikap tentang kematian diri yaitu berfokus kepada apa makna kematian bagi diri individu.

(36)

d. Sikap yang berkaitan dengan kematian atau rasa kehilangan orang lain yang dicintai yaitu berfokus pada bagaimana individu memandang kematian orang lain yan dicintai.

3. Faktor yang mempengaruhi Sikap terhadap Kematian

Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi sikap individu terhadap kematian adalah :

a. Usia

Ketakutan terhadap kematian berhubungan dengan variabel usia (Nelson & Nelson dalam Lahey, 2003). Lansia secara umum distreotipekan sebagai individu yang menunggu kematian tanpa rasa takut (Barrow, 1996). Lansia memiliki sedikit rasa takut terhadap kematian daripada individu pada usia dewasa awal (Lefrancois, 1993).

b. Agama

(37)

C.Religiusitas

1.Defenisi religiusitas

Menurut Drikarya (dalam Widiyanta, 2005) kata “religi” berasal dari bahasa latin ’religio’ yang akar katanya ’religare’ yang berarti mengikat. Maksudnya adalah suatu kewajiban-kewajiban atau atauran-aturan yang harus dilaksanakan, yang kesemuanya itu berfungsi untuk mengikat dan mengutuhkan diri seseorang atau sekelompok orang dalam hubungannya dengan Tuhan atau sesama manusia, serta alam sekitarnya. Mangunwijaya membedakan antara istilah religi atau agama dengan istilah religiusitas. Agama menunjuk pada aspek formal, yang berkaitan dengan aturan-aturan dan kewajiban-kewajiban, sedangkan religiusitas menunjuk pada aspek religi yang telah dihayati oleh individu di dalam hati. Glock & Stark memahami religiusitas sebagai kepercayaan individu tentang ajaran-ajaran agama tertentu yang dianut dan dampak dari ajaran agama, dalam kehidupan sehari-hari (dalam Pujiono, 2006).

(38)

Religius adalah suatu keadaan dimana individu merasakan dan mengajui adanya kekuatan tertinggi yang menaungi kehidupan manusia, dan hanya kepada-Nya manusia merasa bergantung serta berserah diri. Semakin seseorang mengakui adanya Tuhan dan kekuasaan-Nya, maka akan semakin tinggi tingkat religiusitasnya (Dister dalam Rahayu, 1997).

Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa religiusitas adalah penghayatan manusia akan ajaran, kewajiban dan aturan agama yang dianutnya yang diamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

2. Dimensi religiusitas

Menurut Glock dan Stark (dalam Rahmat, 2003), dimensi religiusitas antara lain :

a. Dimensi Ideologis

Dimensi ideologis merupakan bagian dari keberagamaan yang berisi kepercayaan atau doktrin agama yang harus dipercayai. Misalnya kepercayaan umat Kristen terhadap Ketuhanan Kristus dan kepercayaan umat Islam kepada Nabi Muhammad SAW.

b. Dimensi Ritualistik

Dimensi ritualistik berkaitan dengan perilaku, maksudnya perilaku yang mengacu pada perilaku-perilaku khusus yang ditetapkan agama. Seperti tata cara ibadah, berpuasa dan pengakuan dosa.

c. Dimensi Eksperensial

(39)

religius). Pengalaman keagamaan ini misalnya kekhusukan dalam sholat dan ketenangan batin saat berdoa.

d. Dimensi Intelektual

Dimensi intelektual yaitu informasi khusus tentang suatu agama yang harus diketahui oleh penganutnya. Dimensi ini berhubungan erat dengan pengetahuan tentang agama yang dianut oleh seseorang.

e. Dimensi Konsekuensial

Dimensi konsekuensial menunjukkan akibat ajaran agama dalam perilaku umum. Dimensi ini merupakan efek ajaran agama pada perilaku individu dalam kehidupan sehari-hari.

D. Lansia

1. Definisi lansia

Masa dewasa akhir atau lanjut usia adalah periode perkembangan yang bermula pada usia 60 tahun yang berakhir dengan kematian. Masa ini adalah masa pemyesuaian diri atas berkurangnya kekuatan dan kesehatan, menatap kembali kehidupan, masa pensiun dan penyesuaian diri dengan peran-peran sosial (Santrock, 2006).

(40)

Newman membagi masa lansia ke dalam 2 periode , yaitu masa dewasa akhir (later adulthood) (usia 60 sampai 75 tahun) dan usia yang sangat tua (very old age) (usia 75 tahun sampai meninggal dunia) (Newman & Newman , 2006).

Secara legal atau menurut peraturan pemerintah Indonesia, permulaan usia lanjut telah ditetapkan, yaitu usia untuk pensiun (Suling & Pelenkahu, 1996) :

a. Anggota Tentara Nasional Indonesia pensiun pada usia 55 tahun b. Pegawai Negeri Sipil pensiun pada usia 56-58 tahun

c. Profesor di perguruan tinggi pensiun pada usia 65 tahun

Tahap usia lanjut adalah tahap dimana terjadi penuaan dan penurunan. Penurunan lebih jelas dan lebih dapat diperhatikan pada usia lanjut daripada pada usia tengah baya. Penuaan merupakan perubahan kumulatif pada makhluk hidup, termasuk tubuh, jaringan dan sel yang mengalami kapasitas fungsional. Pada manusia, penuaan dihubungkan dengan perubahan degeneratif pada kulit, tulang, jantung, pembuluh darah, paru-paru, syaraf dan jaringan tubuh lainnya (Hasan, 2006).

Penuaan terbagi atas penuaan primer (primary aging) dan penuaan sekunder (secondary aging). Pada penuaan primer tubuh melemah dan mengalami penurunan karena proses normal yang alamiah. Pada penurunan sekunder terjadi proses penuaan karena faktor-faktor ekstrinsik seperti lingkungan atau perilaku (Hasan, 2006).

(41)

capai di masa lalu. Pada saat ini keadaan fisiknya sudah jauh menurun (Irwanto dkk, 1994).

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa masa dewasa akhir atau masa lanjut usia merupakan periode terakhir dalam rentang hidup manusia, dimulai pada usia 60 tahun dan akan berakhir dengan kematian. Individu pada usia ini diharapkan telah mencapai kematangan dan kebijaksanaan. Periode ini juga ditandai oleh penurunan fisik.

2. Ciri-ciri lansia

Sama seperti periode sebelumnya dalam rentang kehidupan seseorang, usia lanjut ditandai dengan perubahan fisik dan psikologis tertentu. Efek-efek tersebut menentukan, sampai sejauh tertentu, apakah pria atau wanita usia lanjut akan melakukan penyesuaian diri secara baik atau buruk (Hurlock, 1999).

a. Lanjut usia merupakan periode kemunduran

Kemunduran yang dialami individu lanjut usia berupa kemunduran fisik dan mental. Kemunduran itu sebagian datang dari faktor fisik dan sebagian lagi dari faktor psikologis. Penyebab kemunduran fisik ini merupakan suatu kemunduran pada sel-sel tubuh, bukan karena penyakit khusus tapi karena proses menua. Kemunduran dapat juga mempunyai penyebab psikologis, sikap tidak senang terhadap diri sendiri, orang lain, pekerjaan dan kehidupan.

b. Perbedaan individual pada efek menua

(42)

jenis kelamin yang sama, dan semakin nyata bila pria dibandingkan dengan wanita karena menua terjadi dengan laju yang berbeda pada masing-masing jenis kelamin. Bila perbedaan-perbedaan tersebut bertambah sesuai dengan usia, perbedaan-perbedaan tersebut akan membuat individu bereaksi secara berbeda terhadap situasi yang sama.

c. Usia tua dinilai dengan kriteria yang berbeda

Arti usia tua itu sendiri kabur dan tidak jelas dan tidak dapat dibatasi pada anak muda, maka individu cenderung menilai tua itu dalam hal penampilan dan kegiatan fisik. Bagi usia tua, anak-anak adalah lebih kecil dibandingkan dengan orang dewasa dan harus dirawat, sedang orang dewasa adalah sudah besar dan dapat merawat diri sendiri. Orangtua mempunyai rambut putih dan tidak lama lagi berhenti dari pekerjaan sehari-hari. Banyak individu berusia lanjut melakukan segala apa yang dapat disembunyikan atau disamarkan yang menyangkut tanda-tanda penuaan fisik dengan memakai pakaian yang biasa dipakai orang muda dan berpura-pura mempunyai tenaga muda. Inilah cara lansia untuk menutupi diri dan membuat ilusi bahwa lansia belum berusia lanjut.

d. Berbagai stereotipe orang lanjut usia

(43)

sering pikun, jalan membungkuk, dan sulit hidup bersama dengan siapa pun, karena hari-harinya yang penuh dengan manfaat sudah lewat, sehingga perlu dijauhkan dari orang-orang yang lebih muda.

e. Sikap sosial terhadap lanjut usia

Pendapat klise tentang usia lanjut mempunyai pengaruh yang besar terhadap sikap sosial baik terhadap usia lanjut maupun terhadap individu berusia lanjut. Kebanyakan pendapat klise tersebut tidak menyenangkan, sehingga sikap sosial tampaknya cenderung menjadi tidak menyenangkan.

f. Orang lanjut usia mempunyai status kelompok-minoritas

Terdapat fakta bahwa jumlah orang usia lanjut dewasa ini bertambah banyak, tetapi status mereka dalam kelompok-minoritas, yaitu suatu status yang dalam beberapa hal mengecualikan lansia untuk tidak berinteraksi dengan kelompok lainnya, dan memberi sedikit kekuasaan atau bahkan tidak memperoleh kekuasaan apapun. Status kelompok-minioritas ini terutama terjadi sebagai akibat dari sikap sosial yang tidak menyenangkan terhadap individu usia lanjut dan diperkuat oleh pendapat klise yang tidak menyenangkan tentang mereka.

g. Menua membutuhkan perubahan peran

(44)

h. Penyesuaian yang buruk merupakan ciri-ciri lanjut usia

Sikap sosial yang tidak menyenangkan bagi individu usia lanjut, nampak dalam cara orang memperlakukan lansia, maka tidak heran lagi kalau banyak individu usia lanjut mengembangkan konsep diri yang tidak menyenangkan. Hal ini cenderung diwujudkan dalam bentuk perilaku yang buruk. Lansia yang pada masa lalunya sulit dalam menyesuaikan diri cenderung untuk semakin jahat ketimbang mereka yang dalam menyesuaikan diri pada masa lalunya mudah dan menyenangkan.

i. Keinginan menjadi muda kembali sangat kuat pada lanjut usia

Status kelompok-minioritas yang dikenakan pada individu berusia lanjut secara alami telah membangkitkan keinginan untuk tetap muda selama mungkin dan ingin dipermuda apabila tanda-tanda menua tampak. Berbagai cara-cara kuno, obat yang termanjur untuk segala penyakit, zat kimia, tukang sihir dan ilmu gaib digunakan untuk mencapai tujuan tersebut. Kemudian timbul orang-orang yang bisa membuat orang tetap awet muda, yang dipercaya mempunyai kekuatan magis untuk mengubah usia lanjut menjadi muda lagi.

Individu yang memasuki masa lanjut usia mengalami perubahan-perubahan sebagai berikut (Hutapea, 2005) :

a. Perubahan fisik

Perubahan fisik yang terjadi sewaktu memasuki usia tua antara lain :

(45)

2) Konsumsi energik turun secara nyata diikuti dengan menurunnya jumlah energi yang dikeluarkan tubuh atau energy expenditure.

3) Air dalam tubuh turun secara signifikan karena bertambahnya sel-sel mati yang diganti oleh lemak maupun jaringan konektif.

4) Sistem pencernaan mulai terganggu, gigi mulai tanggal, kemampuan mencerna makanan serta penyerapannya menjadi lamban dan kurang efisien, gerakan peristaltik usus menurun sehingga sering konstipasi (susah ke belakang).

5) Perubahan pada sistem metabolik, yang menyebabkan gangguan metabolisme glukosa karena sekresi insulin yang menurun. Sekresi insulin juga menurun karena timbulnya lemak.

6) Sistem saraf menurun yang menyebabkan munculnya rabun dekat, kepekaan bau dan rasa berkurang, kepekaan sentuhan berkurang, pendengaran berkurang, reaksi menjadi lambat, fungsi mental menurun dan ingatan visual berkurang.

7) Perubahan pada sistem pernafasan ditandai dengan menurunnya elastisitas paru-paru yang mempersulit pernafasan sehingga dapat mengakibatkan munculnya rasa sesak dan tekanan darah meningkat.

8) Kehilangan elastisitas dan fleksibilitas persendian, tulang mulai keropos. b. Perubahan psikososial

(46)

finansial pada waktu pensiun membawa serta kehilangan rasa bangga, hubungan sosial, kewibawaan dan sebagainya.

Rasa kesepian bisa muncul karena semua anak telah meninggalkan rumah dan makin sedikitnya teman akrab yang sebaya. Kecemasan dan mudah marah merupakan gejala yang umum yang dapat menyebabkan keluhan susah tidur atau tidur tidak tenang.

c. Perubahan emosi dan kepribadian

Setiap ada kesempatan, lansia selalu mengadakan introspeksi diri. Terjadi proses pematangan dan bahkan tidak jarang terjadi pemeranan gender yang terbalik. Para wanita lansia bisa menjadi lebih tegar dibandingkan lansia pria, apalagi dalam memperjuangkan hak mereka. Sebaliknya, pada saat lansia, banyak pria tidak segan-segan memerankan peran yang sering distreotipekan sebagai pekerjaan wanita, seperti mengasuh cucu, menyiapkan sarapan, membersihkan rumah dan sebagainya. Persepsi tentang kondisi kesehatan berpengaruh pada kehidupan psikososial, dalam hal memilih bidang kegiatan yang sesuai dan cara menghadapi persoalan hidup.

Menurut Mubin dan Cahyadi (2006), fase lanjut usia ditandai dengan perubahan-perubahan sebagai berikut :

a. Perubahan yang bersifat fisik :

1) Kekuatan fisik & motorik yang sangat kurang, terkadang ada sebagian fungsi organ tubuhnya tidak dapat dipertahankan lagi.

(47)

1) Munculnya rasa kesepian, yang mungkin disebabkan karena putra atau putrinya sudah besar dan berkeluarga, sehingga tidak tinggal serumah lagi. Lansia biasanya suka memelihara cucu-cucu untuk mengatasi rasa kesepian tersebut.

2) Berkurangnya kontak sosial dan tugas-tugas sosial akibat kondisi fisik yang menurun.

3) Lekas merasa jenuh dan kadang-kadang menjadi cerewet.

4) Mengalami penurunan dalam hal ingatan, penglihatan atau pendengaran dan kadang-kadang dapat menjadi pikun.

5) Suka bercerita atau bernostalgia tentang kehebatannya di masa lampau. 6) Kehidupan keagamaan sangat baik, terutama dalam hal beribadah dan

beramal, karena dari segi usia rata-rata lansia sudah mendekati kematian yang pasti datang menjemputnya.

Lansia atau Masa dewasa akhir juga ditandai dengan berbagai tantangan. Tantangan ini termasuk penyesuaian pada masa pensiun, menyesuaikan diri dengan perubahan dalam jaringan dukungan sosial, mengatasi masalah kesehatan dan menghadapi kematian (Wayne & Llyod, 2006). Selain menghadapi kematian diri sendiri, lansia juga kemungkinan menghadapi kematian pasangan, saudara kandung, teman dan individu lain yang penting dalam hidupnya (Corr, Nabe & Corr, 2003).

(48)

hidup, sebaliknya keputusasaan (despair) adalah kecenderungan untuk tinggal dalam kesalahan masa lalu, meratapi pilihan yang tidak diambil dan merenung tentang kematian yang semakin dekat dengan kepahitan. Erikson menekankan bahwa lebih baik menghadapi masa depan dengan penerimaan daripada tenggelam dalam penyesalan dan kesedihan. Hasil yang diharapkan pada usia ini adalah pemenuhan dan kepuasan hidup dan kesediaan untuk menghadapi kematian (Wayne & Llyod, 2006).

Tujuan tugas perkembangan lansia adalah menyelesaikan konflik pada masa lalu & meraih makna hidup yang baru, baik sebagai penerimaan akan masa lalu lansia maupun sebagai persiapan untuk menghadapi kematian. Jika proses ini berhasil, hasilnya adalah integritas (Integrity) dan kebijaksanaan (Wisdom) (Erickson & Erickson dalam Corr, Nabe & Corr, 2003). Jika tidak berhasil, maka lansia akan merasa tidak puas dengan hal yang telah dilakukan dalam hidupnya (Corr, Nabe & Corr, 2003).

Erickson memandang bahwa lansia mencoba untuk menemukan makna dalam hidup yang akan membantu lansia untuk menghadapi kematian yang tidak dapat dielakkan. Ahli gerontologi Robert Butler mengatakan bahwa lansia terlibat dalam proses yang disebut meninjau kehidupan atau life review dimana lansia merefleksikan konflik yang tidak dapat diselesaikan pada masa lalu untuk mendapatkan makna bagi diri sendiri, menemukan makna hidup yang baru dan sesuai serta mempersiapkan diri untuk kematian (Sigelman & Rider, 2003).

(49)

Kemampuan melihat hidup sebagai sesuatu yang memuaskan dan bermakna mengarah pada penerimaan kematian. Individu yang putus asa (despair) memandang hidup sebagai hal yang tidak memuaskan, mengalami penyesalan yang besar, menghindari perubahan serta mengalami ketakutan akan kematian (Lemme, 1995). Integritas sebagaimana yang digunkan dalam teori Erickson merupakan kemampuan untuk menerima kenyataan hidup dan menghadapi kematian tanpa rasa takut (Newman & Newman, 2006).

3. Tugas perkembangan lansia

Menurut Robert Peck, tahap akhir dari perkembangan Erickson yaitu integritas versus keputusasaan dapat digambarkan dengan tiga tugas-tugas perkembangan atau isu-isu yang dihadapi pria dan wanita saat mereka tua, yaitu :

a. Diferensiasi versus kesibukan dengan peran (Differentiation versus preoccupation)

Merupakan tugas perkembangan dari Peck dimana individu dewasa lanjut harus mendefinisikan nilai diri dalam istilah yang berbeda dari peran-peran kerja. Peck percaya individu dewasa lanjut perlu mengejar serangkaian aktivitas yang bernilai sehingga dapat mengisi waktu yang sebelumnya diisi dengan pekerjaan dan mengasuh anak.

b. Kekuatiran pada tubuh versus kesibukan pada tubuh (Body transcendence versus body preoccupation)

(50)

penurunan kapasitas fisik. Bagi pria dan wanita yang identitasnya berkisar di sekitar kesehatan fisik, penurunan kesehatan dan kerusakan kapasitas fisik akan menghadirkan beberapa ancaman bagi identitas diri dan perasaan akan kepuasan hidup. Namun, beberapa individu lansia menikmati hidup melalui hubungan-hubungan antar manusia yang memberi kesempatan untuk keluar dari kesibukan dengan tubuhnya.

c. Melampaui ego versus kesibukan dengan ego (Ego transcendence versus ego preoccupation)

Merupakan tugas perkembangan dari Peck dimana individu lanjut usia harus menyadari bahwa saat kematian tidak dapat dihindari dan mungkin waktunya tidak terlalu lama, merasa tentram dengan dirinya dengan menyadari individu lansia telah memberikan sumbangan untuk masa depan melalui pengasuhan yang kompeten terhadap anak-anak atau melalui pekerjaan dan ide-ide yang dimiliki oleh lansia.

E. Religiusitas pada Masa Lansia

Mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa biasanya merupakan gejala menjadi tua yang amat wajar. Keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa merupakan benteng pertahanan mental yang amat ampuh dalam melindungi diri dari berbagai ancaman masa tua (Munandar, 2001).

(51)

kesepian (Koenig & Larson dalam Santrock, 2004). Pada banyak komunitas di dunia, individu yang berusia lanjut merupakan pemimpin spiritual dalam gereja dan komunitas. Agama merupakan hal yang penting dalam kehidupan para lansia. Lansia sering berdoa, membaca materi-materi keagamaan dan mendengarkan program-program keagamaan (Levin, Taylor & Chatten dalam Santrock, 2004). Lansia wanita memiliki ketertarikan terhadap agama yang lebih besar dibandingkan lansia pria (Santrock, 2004). Bukti dalam sebuah literatur juga menunjukkan bahwa wanita memiliki tingkat yang lebih tinggi dalam hal kehadiran di gereja, lebih patuh pada perintah agama dan lebih sering berbicara kepada pendeta dibandingkan pria (Chatters & Taylor, Cornwall, Greeley, Levin, dalam Smith, Fabricatori & Peyrot, 1999).

Suatu penelitian yang berhubungan dengan sikap terhadap kegiatan keagamaan dan agama pada usia tua membuktikan bahwa ada fakta-fakta tentang meningkatnya minat terhadap agama sejalan dengan bertambahnya usia (Hurlock, 1999). Banyak individu yang percaya bahwa agama memainkan peran sentral yang semakin meningkat dalam kehidupan seseorang yang mulai bertambah tua (Sigelman & Rider, 2003).

F. Pengaruh Religiusitas Terhadap Sikap terhadap Kematian pada Lansia

(52)

individu di atas dunia ini terputus karena individu yang meninggal tidak dapat kembali lagi ke dunia, bersama-sama dengan keluarga, kerabat dan teman yang dicintai (Hasan, 2006).

Walaupun kematian dipandang sebagai hal yang paling buruk, namun menurut Erickson kematian merupakan peristiwa alamiah dan dapat diterima setelah memiliki kehidupan yang utuh. Kematian merupakan saat untuk bertemu Tuhan, untuk bersatu kembali dengan orang-orang yang dikasihi yang telah pergi sebelumnya (Ross & Pollio, dalam Belsky, 1997).

Pemikiran akan kematian meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Hal ini dapat dipahami sebab lansia lebih cenderung mengalami kematian teman-teman dan individu yang dicintai serta cenderung lebih dekat dengan kematian diri sendiri (Lemme, 1995). Lansia secara umum distereotipekan sebagai individu yang menunggu kematian tanpa rasa takut (Barrow, 1996). Lansia memiliki sedikit rasa takut terhadap kematian daripada individu pada usia dewasa awal (Lefrancois, 1993). Alasan lansia lebih tidak takut terhadap kematian daripada individu dewasa awal sebagaimana yang dinyatakan oleh Kalish (dalam Barrow, 1996) adalah karena lansia merasa bahwa tugas-tugas penting di dunia ini telah selesai, lansia cenderung telah mengalami penyakit kronis atau merasakan sakit pada tubuh dan lansia telah banyak kehilangan teman-teman dan kerabat. Kehilangan ini membuat lansia lebih mampu merasakan realitas kematian.

(53)

dengan sakit atau meninggalnya teman-teman dan keluarga yang dimiliki. Lansia didorong untuk lebih sering menguji arti kehidupan dan kematian dibandingkan dengan individu dewasa muda (Santrock, 2006).

Ketakutan seseorang akan kematian berhubungan dengan variabel lain selain variabel usia. Salah satu faktor yang signifikan adalah keyakinan agama. Individu yang tingkat religiusitasnya tinggi cenderung mengalami sedikit rasa takut akan kematian. Individu yang tidak religius mengalami tingkat kecemasan akan kematian pada level sedang, sedangkan individu religius yang tidak mempraktikkan kepercayaan mereka secara konsisten mengalami ketakutan akan kematian dengan tingkat yang paling besar (Nelson & Nelson dalam Lahey, 2003). Ketakutan akan kematian berhubungan dengan rendahnya tingkat religiusitas, kurangnya dukungan sosial dan pusat kendali eksternal (external locus of control) (Newman & Newman, 2006).

Agama dapat menambah kebutuhan psikologis yang penting pada individu lansia, membantu mereka menghadapi kematian, menemukan dan menjaga rasa kebermaknaan dalam hidup, serta menerima kehilangan yang tak terelakkan di masa tua (Koenig & Larson, dalam Santrock 1999). Banyak studi menunjukkan bahwa individu yang religius memiliki tingkat ketakutan yang sedikit atas kematian diri sendiri dan orang yang dikasihi. Individu yang religius lebih cenderung mendeskripsikan kematian dengan cara yang positif (Belsky, 1997).

G.Hipotesa Penelitian

(54)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan salah satu elemen penting dalam suatu penelitian sebab metode penelitian menyangkut cara yang benar dalam pengumpulan data, analisis data, dan pengambilan keputusan hasil penelitian. Pembahasan dalam metode penelitian meliputi : identifikasi variabel penelitian, definisi operasional, subjek penelitian, serta metode analisis data (Hadi, 2000).

A.Identifikasi Variabel Penelitian

Sebelum menguji hipotesa penelitian terlebih dahulu diidentifikasikan variabel-variabel penelitian. Dalam penelitian ini variabel-variabel penelitian yang digunakan terdiri dari:

1. Variabel bebas : Religiusitas

2. Variabel tergantung : Sikap terhadap kematian

B.Definisi Operasional Variabel Penelitian

Definisi variabel-variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1.Religiusitas

(55)

oleh Glock dan Stark (dalam Rahmat, 2003) yaitu dimensi ideologis, dimensi ritualistik, dimensi eksperensial, dimensi intelektual dan dimensi konsekuensial.

Pada penelitian ini, religusitas yang dimaksud adalah religiusitas pada lansia. Skor tinggi pada skala ini menunjukkan religiusitas yang tinggi dan sebaliknya skor rendah pada skala ini menunjukkan religiusitas yang rendah pada lansia.

2. Sikap terhadap kematian

Sikap terhadap kematian adalah kecenderungan lansia untuk memahami, merasakan, bereaksi dan berperilaku terhadap kematian, yang merupakan hasil interaksi dari komponen kognitif, afektif dan perilaku. Sikap terhadap kematian diungkap melalui skala sikap terhadap kematian yang disusun berdasarkan komponen-komponen sikap yaitu kognitif, afektif dan perilaku serta aspek-aspek sikap yang berkaitan dengan kematian yaitu sikap tentang diri yang sedang sekarat, kematian diri, hal yang akan terjadi pada diri setelah kematian dan kematian orang lain yang dicintai.

Semakin tinggi skor pada skala ini menunjukkan sikap yang positif terhadap kematian dan sebaliknya semakin rendah skor pada skala ini menunjukkan sikap yang negatif terhadap kematian.

C. Populasi, Sampel dan Metode Pengambilan sampel

1. Populasi dan sampel

(56)

populasinya (Sugiarto, Siagian, Sunaryanto, & Oetomo, 2001). Populasi dalam penelitian ini adalah lansia yang beragama Kristen Protestan yang terdaftar sebagai anggota jemaat gereja HKBP ressort Jalan Jendral Sudirman Medan.

Pada penelitian ini, karakteristik populasi yang akan diteliti adalah : a. Lansia yaitu individu yang berusia 60 tahun ke atas

Menurut Gay, besarnya sampel yang dapat diterima dalam penelitian minimal sebanyak 30 orang subjek (Sevilla et all, 1993). Menurut Azwar (2006), jumlah sampel yang lebih dari 60 orang sudah cukup banyak Maka, jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebanyak 60 orang subjek

2. Metode pengambilan sampel

Pengambilan sampel atau sampling adalah suatu proses yang dilakukan untuk memilih dan mengambil sampel secara benar dari suatu populasi, sehingga digunakan sebagai wakil yang sahih atau dapat mewakili bagi populasi tersebut (Sugiarto, Siagian, Sunaryanto & Oetomo, 2003).

(57)

D. Metode dan Alat Pengambilan Data

Penelitian ini menggunakan metode skala. Metode skala digunakan mengingat data yang ingin diukur berupa konstrak atau konsep psikologis yang dapat diungkap secara tidak langsung melalui indikator-indikator perilaku yang diterjemahkan dalam bentuk aitem-aitem pernyataan (Azwar, 2004).

Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan dua skala, yaitu : skala religiusitas dan skala sikap terhadap kematian.

1. Skala religiusitas

Skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala religiusitas yang menggunakan lima dimensi religiusitas yang dikemukakan oleh Glock dan Stark (dalam Rahmat, 2003).

(58)

Berikut adalah blue print yang menyajikan distribusi aitem-aitem skala religiusitas :

Tabel 1 Distribusi Susunan Aitem-Aitem Skala Religiusitas I Sebelum Uji Coba

No. Dimensi Komponen Religiusitas Total Bobot (%)

Favorable Unfavorable

1 Ideologis 2,6,19,24,29 9,15,26,34,39 10 25 %

2 Ritualistik 1,12,17,25,30 5,10,16,36,38 10 25 %

3 Eksperensial 7,11,18,28,37 3,14,22,32,40 10 25 %

4 Konsekuensial 4,13,23,31,35 8,20,21,27,33 10 25 %

TOTAL 20 20 40 100 %

Sedangkan skala religiusitas II berisi dimensi intelektual yaitu informasi khusus tentang suatu agama yang harus diketahui oleh penganutnya. Dimensi ini diukur dengan menggunakan pilihan benar atau salah kepada subjek. Jawaban benar diberi skor 1 dan jawaban salah diberi skor 0.

2. Skala sikap terhadap kematian

Skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala sikap terhadap kematian yang disusun berdasarkan komponen-komponen sikap yaitu komponen kognitif, afektif dan perilaku serta aspek-aspek sikap yang berkaitan dengan kematian yaitu sikap tentang diri yang sedang sekarat, kematian diri, apa makna hal yang akan terjadi pada diri setelah kematian dan kematian atau rasa kehilangan orang lain yang dicintai.

(59)

untuk pernyataan yang mendukung (favorable), yaitu SS=4, S=3, TS=2, STS=1 sedangkan untuk pernyataan yang tidak mendukung (unfavorable), yaitu SS=1, S=2, TS=3, STS=4

Berikut adalah blue print yang menyajikan distribusi aitem-aitem skala sikap terhadap kematian :

Tabel 2 Distribusi Susunan Aitem-Aitem Skala Sikap Terhadap Kematian Sebelum Uji Coba

No. Komponen Objek

Sikap Komponen Sikap

Kognitif Afektif Konatif

F UF F UF F UF

Keterangan : F= aitem Favorable

(60)

E. Validitas, Reliabilitas dan Daya Beda Aitem

Sebelum diberikan pada subjek penelitian, alat ukur terlebih dahulu diseleksi dengan melihat validitas, reliabilitas dan uji daya beda aitem.

1. Validitas alar ukur

Validitas berasal dari kata validity yang mempunyai arti sejauhmana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Suatu tes atau instrumen pengukur dapat dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila alat tersebut menjalankan fungsi ukurnya, atau memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut (Azwar, 2004).

Validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas isi (content validity). Validitas isi menunjukkan sejauhmana aitem-aitem dalam skala mencakup keseluruhan kawasan isi objek yang hendak diukur atau sejauhmana isi tes mencerminkan ciri atribut yang hendak diukur. Validitas isi diestimasi lewat pengujian terhadap isi tes dengan analisis rasional atau lewat professional judgment (Azwar, 2004).

2. Reliabilitas alat ukur

Ide pokok yang terkandung dalam konsep reliabilitas adalah sejauhmana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya. Pengukuran yang memiliki reliabilitas tinggi disebut sebagai pengukuran yang reliabel (reliable) (Azwar, 2004).

(61)

teknik koefisien reabilitas Alpha dari Cronbach.

3.Uji daya beda aitem

Uji daya beda aitem dilakukan untuk melihat sejauh mana aitem mampu untuk membedakan antara individu ataupun kelompok individu yang memiliki atau tidak memiliki atribut yang diuku. Pengujian daya beda aitem ini dilakukan dengan komputasi koefisien korelasi Pearson Product Moment. Prosedur pengukuran konsistensi aitem total ini akan menghasilkan koefisien korelasi aitem total yang dikenal dengan indeks daya beda aitem (Azwar, 2004). Uji daya beda aitem ini akan dilakukan pada alat ukur penelitian ini yaitu skala religiusitas dan skala sikap terhadap kematian.

F.Hasil Uji Coba Alat Ukur

1. Skala religiusitas

Setelah diujicobakan pada subjek penelitian, dari 40 aitem yang terdapat pada skala religiusitas I, ternyata sebanyak 16 aitem yang dinyatakan gugur yaitu aitem 4, 5, 8, 13, 14, 15, 20, 21, 23, 26, 27, 30, 33, 34, 38, 40. Koefisien korelasi aitem total yang memenuhi kriteria bergerak bergerak dari rxy = 0.310 sampai dengan rxy = 0.774. Distribusi aitem hasil uji coba skala akan dijelaskan pada Tabel. 3.

Tabel 3.Distribusi Aitem-Aitem Skala Religiusitas Setelah Uji Coba

No. Dimensi Komponen Religiusitas Total Bobot (%)

Favorable Unfavorable

1 Ideologis 2,6,19,24,29 9,39 7 29,16 %

2 Ritualistik 1,12,17,25 10,16,36 7 29,16 %

3 Eksperensial 7,11,18,28,37 3,22,32 8 33,33%

4 Konsekuensial 31,35 --- 2 8,33%

Gambar

Tabel 1 Distribusi Susunan Aitem-Aitem Skala Religiusitas I Sebelum Uji Coba
Tabel 3.Distribusi Aitem-Aitem Skala Religiusitas Setelah Uji Coba
Tabel 4 Distribusi Aitem-Aitem Skala Religiusitas Pada Saat Penelitian
Tabel 5. Distribusi Aitem-Aitem Skala Sikap terhadap Kematian  Setelah Uji Coba
+7

Referensi

Dokumen terkait

Informasi berupa masukan variabel/attribut pada kasus baru yang tidak ditemukan kemiripannya dengan basis kasus tersebut akan ditampung pada suatu tabel khusus

Beda Pengaruh Berdasarkan Perubahan Earning Terhadap Stock Return Dari penelitian yang dilakukan oleh Charitou, Clubb dan Andreou, dijelaskan bahwa dalam hipotesis

jabatan atau pekerjaan hanya dapat diberikan kepada seseorang yang memerlukannya, yang menginginkannya dan yang mendapat untung darinya; (6) Pendidikan kejuruan

Nilai Confidency Interval antara 1,59 sampai dengan 10,41 yang memiliki angka lebih dari 1 menunjukkan semakin kuat dugaan bahwa kejadian persalinan ekstraksi vakum pada

1. Tidak ada hubungan yang signifikan pekerjaan ibu dengan pemberian ASI Eksklusif di Wilayah kerja Puskesmas Benu – benua Kota Kendari. Tidak ada hubungan

9 Dari pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa purchasing atau pembelian adalah suatu usaha dalam memenuhi kebutuhan atas barang dan jasa yang

2811123011, Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung, dengan judul “Upaya Sekolah Dalam Mengatasi

Tujuan yang akan dicapai melalui penelitian ini adalah untuk menjelaskan dinamika sosial dan solidaritas antar perempuan menurut kisah Debora, Yael dan ibu