8 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Cacing Tanah (Lumbricus rubellus Hoffmeister, 1843)
Cacing tanah atau yang biasa disebut dengan Lumbricus rubellus Hoffmeister, 1843 dalam basaha latin digolongkan sebagai hewan invertebrate yang memiliki potensi dan keunggulan yang luar biasa dalam menjaga keseimbangan tanah (Mubarok dan Zalizar, 2003). Tubuh Lumbricus rubellus Hoffmeister, 1843 berupa simetri bilateral, berbentuk gilih, memanjang dengan segmentasi yang nampak jelas sebagai lipatan kutikula (Fatahilah, 2014). Lumbricus rubellus Hoffmeister, 1843 memiliki karakteristik berwarna merah kecoklatan pada tubuh bagian atas, sedangkan pada permukaan tubuh bagian bawah memiliki warna pucat (Arisandi, 2002). Panjang tubuh sekitar 8-14 cm (Fatahilah, 2014) dengan jumlah segmen kurang lebih 96-100 segmen (Indriyanti, 2016). Berikut klasifikasi dan bentuk Lumbricus rubellus Hoffmeister, 1843 yang dapat diliat pada Gambar 2.1.
Kingdom : Animalia
Phylum : Annelida
Class : Clitellata
Ordo : Opisthopora
Family : Lumbricidae
Genus : Lumbricus
Species : Lumbricus rubellus Hoffmeister, 1843 (www.itis.gov)
Gambar 2.1. Morfologi Lumbricus rubellus Hoffmeister, 1843 (Sumber: Gregor, 2012)
Bagian depan dari segmen Lumbricus rubellus Hoffmeister, 1843 terdapat mulut, sedangkan pada bagian belakang segmen terakhir terdapat anus. Bagian mulut Lumbricus rubellus Hoffmeister, 1843 dilengkapi dengan prostomium, berupa tonjolan yang dapat menutup lubang mulut. Fungsi dari prostomium adalah sebagai pengganti fungsi mata karena terdiri dari sel sensor yang berstruktur seperti lensa (Indriyanti, 2016). Prostomium juga mampu membedakan material berbahaya selama proses makan, mendeteksi glukosa, sukrosa, dan quinine (Amri dan Khairuman, 2009). Pada Lumbricus rubellus Hoffmeister, 1843 memiliki klitelium berupa kelenjar epidermis dengan arna yang lebih terang dari bagian tubuh lainnya, yang berfungsi dalam prodeksi kokon atau scara umum dapat dikatakan sebagai alat perkembangbiakan (Indriyanti, 2016).
2.1.1 Siklus Hidup
Lumbricus rubellus Hoffmeister, 1843 memiliki sifat hermaprodit atau disebut juga biseksual, yang artinya pada tubuh Lumbricus rubellus Hoffmeister, 1843 terdapat dalat kelamin jantan dan betina. Meskipun memiliki dua alat kelamin, untuk pembuahannya Lumbricus rubellus Hoffmeister, 1843 tidak dapat melakukan sendiri, harus dilakukan oleh sepasang cacing. Hasil dari kopulasi sepasang tersebut, masing-masing cacing akan menghasilkan sebuah kokon yang didalamnya terdapat beberapa butir telur (Indriyanti, 2016). Lumbricus rubellus Hoffmeister, 1843 basanya melakukan kopulasi dan prduksi kokon pada bulan panas atau musim kemarau (Subowo, 2008).
Lumbricus rubellus Hoffmeister, 1843 dikatakan telah siap melakukan kopulasi jika berumur diatas 2,5 bulan dan kliteliumnya telah terbentuk. Proses kopulasi terjadi secara silang dengan saling bertukar spermatozoid, dengan cara kedua Lumbricus rubellus Hoffmeister, 1843 akan berpasangan dan saling melekatkan bagian anterior dengan posisi berlawanan. Klitelium dari masing- masing cacing akan mengeluarkan lender untuk melindungi sel sperma yang dikeluarkan. Lumbricus rubellus Hoffmeister, 1843 membutuhkan waktu 2-3 jam untuk berkopulasi (Miller dan Harley, 2007), setelah masing-masing kantong ovarium telah terisi sel sperma, maka kantong ovarium akan terpisah. Setelah proses kopulasi akan terjadi proses pembentukan kokon (Indriyanti, 2016). Proses kopulasi Lumbricus rubellus Hoffmeister, 1843 dapat dilihat pada gambar 2.2 berikut ini.
Gambar 2.2 Proses kopulasi pada Lumbricus rubellus (Sumber: Miller dan Harley, 2007)
Siklus hidup Lumbricus rubellus Hoffmeister, 1843 berawal dari kokon, cacing muda (juvenile), cacing produktif, dan cacing tua. Faktor yang mempengaruhi lamanya siklus hidup Lumbricus rubellus Hoffmeister, 1843 diantaranya adalah kondisi lingkungan, jenis cacing tanah, dan keberadaan cadangan makanan (Nuraini et al., 2015). Kokon yang dihasilkan oleh Lumbricus rubellus Hoffmeister, 1843 akan menetas stelah berumur 14-21 hari. Lumbricus rubellus Hoffmeister, 1843 yang telah menetas akan mencapai dewasa dalam
kurun waktu kurang lebih 2,5-3 bulan. Lumbricus rubellus Hoffmeister, 1843 dewasa akan menghasilkan kokon dalam waktu 6-10 hari dan masa produktif berlangsung selama 4-10 bulan (Pandiangan, 2017). Proses siklus hidup Lumbricus rubellus Hoffmeister, 1843 dapat dilihat pada Gambar 2.3 berikut.
Gambar 2.3 Siklus Hidup Lumbricus rubellusHoffmeister, 1843 (Sumber: Pangestika, 2016)
2.1.2 Habitat
Lumbricus rubellus Hoffmeister, 1843 hidup dan berkembang di dalam tanah. Kehidupan Lumbricus rubellus Hoffmeister, 1843 dalam habitat alami dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya aalah suhu, kelembaban, pH, dan ketersediaan bahan makanan. Kelangsungan hidup Lumbricus rubellus Hoffmeister, 1843 akan terganggu jika faktor tersebut juga terganggu (Fitri et al., 2015). Kebanyakan dari Lumbricus rubellus Hoffmeister, 1843 hidup pada kedalaman kurang dari 2 m, namun adapula beberapa jenis yang dapat hidup pada kedalaman hingga 6 m. Karakteristik tanah yang disenangi Lumbricus rubellus Hoffmeister, 1843 untuk hidup adalah pada tanah lembab, suhu 21ºC, tata udara baik, dengan pH 5-8,4, memiliki banyak bahan organik, serta memiliki kandungan garam yang rendah (Firmansyah et al., 2014).
Lumbricus rubellus Hoffmeister, 1843 menyukai tempat yang lembab, tanah yang gembur, dan memiliki kebiasaan untuk mengeksplorasi makan pada malam hari. Kondisi habitat yang lembab bermanfaat untuk mempertahankan cadangan air di dalam tubuhnya karena hampir 85% dari berat tubuh berupa air (Amri dan Khairuman, 2009). Pada kondisi lingkungan yang kering, tubuh cacing akan mengeluarkan mucus untuk menjaga kelembaban. Penurunan kelembaban akan
menyebabkan Lumbricus rubellus Hoffmeister, 1843 tidak dapat bergerak dan bernapas, sehingga dapat mengakibatkan penurunan produktifitas hingga kematian (Tomy et al., 2015).
Kelangsungan hidup Lumbricus rubellus Hoffmeister, 1843 dipengaruhi oleh aspek ekologi, sedangkan kepadatan populasi Lumbricus rubellus Hoffmeister, 1843 dipengaruhi oleh faktor fisika, biologi, dan kimia pada lingkungan hidupnya. Habitat Lumbricus rubellus Hoffmeister, 1843 termasuk padatan mineral dengan ukuran kurang dari 2 mikrometer seperti tanah liat sampai dengan massa yang lebih besar seperti bebatuan, bahan organik seperti serpihan tumbuhan, akar tumbuhan yangmasih hidup maupun yang sudah mati, hifa jamur, dan bangkai invertebrate. Biomassa poplasi Lumbricus rubellus Hoffmeister, 1843 sangat dipengaruhi oleh kadar air (Fitri et al., 2015).
2.1.3 Peranan dan Manfaat
Lumbricus rubellus Hoffmeister, 1843 dianggap sebagai perekayasa ekosistem tanah yang baik. Bahan organik dan tanah digunakan sebagai bahan makanannya yang mudah dicerna. Sisa dari pencernaan akan di keluarkan dalam bentuk agregat granuler yang baik bagi tanaman karena memiliki kandungan unsur hara yang banyak. Selain itu, aktifitas Lumbricus rubellus Hoffmeister, 1843 dalam membuat liang tanah bermanfaat dalam membantu penyerapan air tanah menjadi efektif dan mempermudah pertumbuhan akar dalam menembus tanah (Aziz, 2015)
Lumbricus rubellus Hoffmeister, 1843 dikenal sebagai hewan pengurai bahan organik (Palungkung, 2010). Peranan kunci dalam biologi tanah sebagai bioreactor dengan memanfaatkan mikroflora tanah untuk menghancurkan pathogen tanah, sehingga akan mengubah sampah/bahan organik menjadi pupuk.
Merombah sampah organik dengan memproduksi enzim untuk merombah polimer sampah menjadi molekul sederhana yang kemudian dimanfaatkan oleh mikroorganisme tanah (Indrayanti, 2016). Lumbricus rubellus Hoffmeister, 1843 mampu mengatur proses dekomposisi bahan organik sehingga penggunaan C organik tanah oleh mikroba tanah lebih efisien dan kelestarian fungsi bahan
organik dalam tanah dapat tetap terjaga. Bersama dengan mikroba tanah Lumbricus rubellus Hoffmeister, 1843 berperan dalam proses biogeokimia (Anwar, 2009).
Peranan Lumbricus rubellus Hoffmeister, 1843 sebagai organisme pengurai sampah organik merupakan terobosan baru untuk mendapatkan pupuk organik yang aman bagi lingkungan dan menghasilkan kandungan unsur hara yang optimal (Muhtadi et al., 2007). Proses penguraiaan sampah organik dengan menggunakan bantuan Lumbricus rubellus Hoffmeister, 1843 disebut dengan istilah vermikompos (Fatahillah, 2014). Prinsipnya, Lumbricus rubellus Hoffmeister, 1843 akan memakan semua sampah organik sehari semalam seberat tubuhnya, kotoran akan dikeluarkan sekitar 40-60% dari pakan yang dimakan cacing tanah (Latuperisa, 2011). Hewn ini mampu mencerna hampir seluruh sampah organik, namun lebih menyukai sampah orhanik yang telah melalui tahapan pengomposan lebih dahulu (Fatahillah, 2014).
Selain perannya sebagai pengrai sampah organik, Lumbricus rubellus Hoffmeister, 1843 juga memiliki berbagai manfaat diantaranya yaitu dapat digunakan sebagai bahan campuran kosmetik, obat-obatan, dan sebagai pakan ternak. Sebagai obat, Lumbricus rubellus Hoffmeister, 1843 diyakini dapat mengobati sakit typus, demam, antipiretik, antitrombosis, analgesic dan hipotensi (Amri dan Khairuman, 2009; Palungkung, 2010; Setiawan, 2008). Sebagai kosmetik, Lumbricus rubellus Hoffmeister, 1843 berguna dalam proses pergantian sel tubuh yang rusak teruama dalam melembutkan dan menghaluskan kulit karena dalam tubuh hewan tersebut mengandung enzim dan asam amino esensial (Palungkung, 2010). Sebagai pakan ternak, Lumbricus rubellus Hoffmeister, 1843 mengandung sumber gizi yang tinggi yang dibutuhkan oleh hewan ternak, diantaranya adalah sumber protein yang tinggi sekitar 76%, karbohidrat 17%, lemak 45%, dan kadar abu 1,5% (Rusmini et al., 2016).
2.2 Larva Black Soldier Fly (Hermetia illucens Linnaeus, 1758)
Larva Black Soldier Fly (BSF) yang dalam nama ilmiah Hermetia illucens Linnaeus, 1758 adalah jenis lalat dari famili Stratiomydae. Klasifikasi dan
morfologi Hermetia illucens Linnaeus, 1758 yang dapat dilihat pada Gambar 2.4 sebagai berikut.
Kingdom : Animalia Phylum : Arthropoda Class : Insecta
Ordo : Diptera
Family : Stratiomydae
Genus : Hermetia
Species : Hermetia illucens Linnaeus, 1758 (www.itis.gov)
Gambar 2.4. Morfologi larva, pupa dan Lalat Hermetia illucens Linnaeus, 1758 (Sumber: Wardhana, 2016)
Larva Hermetia illucens Linnaeus, 1758 dapat mencapai ukuran lebar 6 mm dan panjang 27 mm. Memiliki warna putih dan terdapat calon mulut pada bagian ujungnya. Fase larva terdiri dari 6 instar dan dalam menyelesaikan keseluruhan instar tersebut larva membutuhkan waktu 14 hari. Larva Hermetia illucens Linnaeus, 1758 sangat rakus mengonsumsi bahan organik yang akan dikonversi menjadi lemak sebagai cadangan untuk fase dewasa ( Sastro, 2016).
2.2.1 Siklus Hidup Hermetia illucens Linnaeus, 1758
Siklus hidup dari Hermetia illucens Linnaeus, 1758 terdiri dari lima stadia, yaitu fase dewasa, fase telur, fase prepupa, dan fase pupa ( Suciati dan Faruq, 2017). menurut Tomberlin et al. (2002) menyatakan bahwa siklus hidup
Hermetia illucens Linnaeus, 1758 mulai dari telur hingga menjadi lalat dewasa berlangsung sekitar 40-43 hari pada suhu 27ºC, tergantung dari kondisi lingkungan dan media pakan yang diberikan. Fase telur dalam larva Hermetia illucens Linnaeus, 1758 sebagai tanda permulaan siklus hidup sekaligus berakhirnya tahap hidup sebelumnya. Hermetia illucens Linnaeus, 1758 betina akan meletakkan sekitar 400-800 telur di dekat bahan organik yang membusuk supaya ketika menetas, larva dapat dengan mudah menemukan sumber makanan yang ada di sekitar (Mentari, 2018). Agar terlindungi dari pengaruh lingkungan dan tidak terusik apabila bertelur, Hermetia illucens Linnaeus, 1758 betina tidak meletakkan telur di atas sumber pakan secara langsung, namun akan diletakkan pada rongga-rongga kecil atau daun pisang yang kering ( Wardhana, 2016).
Telur Hermetia illucens Linnaeus, 1758 umunya akan menatas dalam waktu satu hingga dua hari menjadi larva instar satu dan berkembang hingga instar enam dalam waktu 22-24 hari dengan rata-rata 18 hari (Barros et al., 2014). Larva yang baru menetas segera mencari makan dengan memakan bahan organik yang ada disekitarnya dengan rakus, sehingga ukuran tubuhnya yang awalnya hanya beberapa millimeter akan bertambah panjangnya menjadi 2,5 cm dan lebar 0,5 cm dengan warna tubuh menjadi agak krem. Pertumbuhan larva akan berlangsung selama 12-13 hari pada kondisi yang optimal dengan kualitas dan kuantitas makanan yang ideal (Mentari, 2018). Siklus hidup dari Hermetia illucens Linnaeus, 1758 dapat dilihat pada Gambar 2.5.
Gambar 2.5. Siklus Hidup Hermetia illucens Linnaeus, 1758 (Sumber: Caruso, Devic, Subamia, Talamond, & Baras, 2014)
Setelah melalui fase larva, larva akan memasuki fase pre-pupa. Pada fase pre-pupa ini struktur mulut akan berubah menjadi bentuk seperti kait dengan warna coklat tua hingg abu-abu arang. Mulut yang berbentuk kait akan memudahkan untuk keluar dan berpindah dari sumber makanannya ke lingkugan baru yang kering, bertekstur seperti humus, teduh, dan terlindung dari predator.
Kondisi tempat tersebut pupa menjadi imago dan emudian akan terbang (Dengah et al., 2016).
Fase selanjutnya adalah pupasi yang merupakan proses perubahan ari pupa menjadi lalat. Tahap pupasi terjadi ketika saat pre-pupa menemukan lingkungan atau tempat yang cocok untuk berhenti beraktifitas dan menjadi kaku. Tahapan ini berlangsung selama 6 hari, emudia imago mulai muncul pada hari ke-32. Akhir dari pupasi ditadai dengan keluarnya lalat dari dalam pupa, dimana prosesnya berlangsung sangat singkat sekitar kurang dari lima menit. (Rachmawati, 2010).
Pupa dan imago Hermetia illucens Linnaeus, 1758 dapat dilihat pada Gambar 2.6.
Gambar 2.6. (a) pupa Hermetia illucens Linnaeus, 1758 dan (b) imago Hermetia illucens Linnaeus, 1758
(Sumber: Mentari, 2018)
2.2.2 Habitat Larva Hermetia illucens Linnaeus, 1758
Larva Hermetia illucens Linnaeus, 1758 dapat tumbuh dan berkembang pada media organik BIS, kotoran ternak, sampah buah, dan limbah organik lainnya. Hermetia illucens Linnaeus, 1758 sangat menyukai aroma media yang khas, sehingga tidak semua media dapat dijadikan tempat bertelur (Katayane et al., 2014). Kemampuan larva Hermetia illucens Linnaeus, 1758 yang dapat hidup dalam berbagai media terkait dengan karakteristiknya yang toleransi terhadap pH
a b
yang luas (Mangunwardoyo, 2011). Suhu yang optimum untuk pertumbuhan Hermetia illucens Linnaeus, 1758 antara 30ºC hingga 36ºC. Larva Hermetia illucens Linnaeus, 1758 tidak dapat bertahan pada suhu kurang dari 7ºC dan suhu lebih dari 45ºC (Mentari, 2018).
Kondisi lingkungan yang terlalu panas menyebabkan larva akan keluar dari sumber makanannya untuk mencari tempat yang lebih dingin. Namun, pada kondisi lingkungan yang terlalu dingin metabolisme larva akan menjadi lebih lambat, akibatnya konsumsi makan larva lebih sedikit sehingga pertumbuhannya akan menjadi lambat. Sifat larva selalu menghindari cahaya dan selalu mencari lingkungan yang teduh (Diener, 2010).
Larva Hermetia illucens Linnaeus, 1758 dapat juga hidup di lingkungan yang cukup ekstrem, seperti di media sampah yang mengandung banyak garam, alkohol, asam, dan ammonia. Lingkungan yang sesuai adalah pada suasana yang hangat. Jika udara lingkungan sekitar sangat dingin atau kekurangan makanan, larva tidak mati tetapi menunggu suasana menjadi hangat atau makanan tersedia kembali. (Suciati dan Faruq, 2016).
2.2.3 Komposisi Kimia Tubuh Larva Hermetia illucens
Kandungan protein pada tbuh larva Hermetia illucens Linnaeus, 1758 memiliki kandungan yang relative lebih tinggi. Kulit kering dari Hermetia illucens Linnaeus, 1758 dan larva mati yang diperoleh dapat dimanfaatkan sebagai bahan campuran pakan ternak. Hasil analisis kimia menunjukkan bahwa larva Hermetia illucens Linnaeus, 1758 kaya akan kandungan protein dan lemak yang bernilai ekonomi untuk pembuatan pakan ternak. Kandungan lemak dari larva Hermetia illucens Linnaeus, 1758 dapat dimanfaatkan untuk biodiesel, dimana biodiesel tersebut dapat digunakan untuk mendegradasi kotoran hewan karena diperkirakan nilai energi yang dimiliki sebanding dengan gas metana (CH4) yang dihasilkan oleh kotoran hewan yang didegradasinya. Pra-pupa dan pupa Hermetia illucens Linnaeus, 1758 memiliki kandungan kalsium dan fosfor yang tinggi (Mentari, 2018). Kanduangan kimia tubuh Hermetia illucens Linnaeus, 1758 dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut.
Tabel 2.1. Kanduangan Kimia Tubuh Hermetia illucens Linnaeus, 1758 Kandungan Kimia Larva Prematur
(%)
Pre-Pupa (%) Pupa (%)
Protein 17,3 36,0-48,0 42,1
Lemak 9,4 28,0-35,0 34,8
Kalium 0,8 5,0 5,0
Fosfor 0,5 0,9-1,5 1,5
Debu ̴15,0 14,6-16,6 14,6
Nilai Kalori 0,0 3,5-5,9 0,0
(Sumber: Mentari, 2018)
Larva Hermetia illucens Linnaeus, 1758 mampu mengekstrak sampah organik dengan sangat efektif dibandingakan dengan serangga atau hewan lainnya. Kemampuan tersebut diperoleh karena kadar enzim pencernaan yang terdapat pada mulut Hermetia illucens Linnaeus, 1758 lebih tinggi dibanding pada kelenjar pencernaanya. Berdasarkan analisis kualitas dan kuantitas yang telah dilakukan menunjukkan larva Hermetia illucens Linnaeus, 1758 memiliki enzim pencernaan yang lebih variatif dibanding dengan lalat rumah. Tingkat aktivitas dari enzim leusin arilamidase, α-galaktosidase, β-galaktosidase, α-mannosidase, α-fukosidase yang terdapat pada larva Hermetia illucens Linnaeus, 1758 lebih tinggi daripada lalat rumah. Karena lebih banyaknya kandungan enzim pencernaan membuat larva mampu mencerna sampah organik lainnya dengan sangat baik (Kim et al., 2011).
2.3 Komposisi Sampah
Komposisi sampah merupakan berbagai komponen fisik sampah padat yang meliputi sisa makanan, karbon, kain tekstil, kertas, kayu, plastic, kaca, karet kulit, logam besi dan non besi. Komposisi sampah terdiri dari dua komponen, yaitu sampah padat organik dan sampah padat anorganik. Suatu daerah biasanya memiliki komposisi sampah yang dibagi menurut kebijakan daerah. Penyebab pembagian tersebut dikarenakan komposisi sampah pada setiap daerah berbeda- beda dan sesuai dengan perkembangan daerah tersebut. Komposisi sampah dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diataranya adalah sumber sampah, aktivitas
penduduk, sistem pengumpulan dan pembuangan yang dipakai, geografi, social ekonomi, musim atau iklim, teknologi, dan waktu (Fadhilah, 2012).
Komposisi dan timbulan sampah di negara maju akan berbeda dengan di negara berkembang. Faktor yang mempengaruhi hal tersebut adalah tingkat pendapatan dan tingkat penddikan penduduk. Pramono (2004) menyatakan bahwa Srilangka dan Indonesia sebagai negara yang memiliki jumlah sampah organik tertinggi sesuai pada Tabel 2.2 berikut.
Tabel 2.2. Pebandingan Komposisi Sampah di Lima Negara Asia
Komponen Persentase Komposisi Sampah (%)
Indonesia Filipina China India Srilangka
Sampah organik 70,2 41,6 35,8 41,8 76,4
Kertas 10,9 19,5 3,7 5,7 10,6
Plastic 8,7 13,8 3,8 3,9 5,7
Gelas 1,7 2,5 2,0 2,1 1,3
Besi 1,8 4,8 0,3 1,9 1,3
Lainnya 6,2 17,9 54,8 44,6 4,7
(Sumber: Pramono, 2004)
2.4 Sampah Organik
Sampah organik merupakan sampah yang tersusun dari senyawa organik dan bersifat degradable, yang secara alami dapat dengan mudah diuraikan oleh jasad hidup khususnya mikroorganisme (Monita et al., 2017). Sampah organik pada umumnya dapat membusuk seperti sisa-sisa makanan, daunan, dan bah-buahan (Brata dan Nelistya, 2008). Sampah organik memiliki banyak jenis yang beragam.
Namun secara spesifik untuk tingkat rumah tangga, yang termasuk sampah organik adalah sisa-sisa makanan (kulit buah-buahan, sisa sayuran yang tidak terpakai), setra dedaunan yang berguguran (Hartono, 2012). Sampah organik dibedakan menjadi sampah organik lunak dan sampah organik padat/keras.
Umumnya, sampah organik lunak dapat didaur ulang dengan menggunakan teknologi pengomposan yang akan menghasilkan kompos (Gani, 2007), dan anaerobic disgestion untuk menghasilkan biogas (Davis et al., 2014) dengan melibatkan aktivitas mikroorganisme (Monita et al., 2017). Sampah organik padat
sulit unuk diurai menggunakan bantuan mikroorganisme, maka perlu dikelola dengan menggunakan teknologi konversi termal meliputi pirolisis, gasifikasi dan insenerasi menghasilkan energi listrik, gas, cair (bio-oil dan asap cair) dan arang (Widyawidura dan Pongoh, 2016).
2.4.1 Sayuran
Sayuran merupakan salah satu komoditas hortikultura yang berkembang pesat di Indonesia baik dari segi jumlah produksi maupun mutu. Umumnya tanaman sayuran memiliki umur yang relatif pendek dibandingkankan tanaman hortikultura lainnya, namun ada beberapa tanaman yang dalam pemanfaatannya sebagai sayuran tetapi memiliki umur yang relatif panjang. Kebanyakan yang dimanfaatkan sebagai sayuran adalah bagian dari vegetatif tanaman seperti daun, batang, dan umbi, namun ada juga sayuran yang berasal dari organ generatif seperti bunga, buah, dan tongkol. Berdasarkan hasil pengumpulan dan pengelolaan data tahun 2014, terdapat 5 (lima) jenis tanaman sayuran yang memberikan kontribusi produksi terbesar terhadap total produksi sayuran di Indonesia yaitu kol/kubis (12,05%), kentang (11,31%), bawang merah (10,35%), cabai merah (9,02%), tomat (7,69%), sedangkan sisanya (20 jenis sayuran lainnya) persentase produksinya masing-masing kurang dari tujuh persen (Taufik, 2015).
Komponen kimia yang terdapat dalam sayuran diantaranya adalah air, protein, karbohidrat, mineral dan vitamin, serta lipid. Protein dan asam amino yang terkandung dalam sayuran relative rendah, sehingga tidak diposisikan sebagai sumber protein. Sekitar 80%-90% kandungan air yang dimiliki oleh sayuran (Pardede, 2013). Sayuran merupakan sumber penting dari banyak nutrisi, termasuk didalamnya potasium, asam folat, serat makanan, vitamin A, vitamin E, vitamin C dan antara satu sayuran dengan sayuran lainnya memiliki kandungan gizi atau nutrisi yang berbeda.
Meningkatnya pertumbuhan penduduk maka permintaan terhadap sayuran juga akan meningkat, mengingat nutrisi atau gizi yang terkandung dalam sayuran sangat dibutuhkan untuk memenuhi nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh. Hal
tersebut akan menghasilkan sampah sayuran yang dihasilkan dari sisa atau potongan sayur-sayuran yang dikonsumsi. Kandungan air yang tinggi yaitu sekitar 80%-90% pada sayuran mengakibatkan sayuran mudah busuk jika penyimpanannya tidak baik. Namun, kandungan air yang relatif cukup tinggi tersebut memungkinkan untuk dapat dijadikan media tumbuh larva Hermetia illucens Linnaeus, 1758. Menurut Mentari dan Yuwono (2018), sumber makanan yang memiliki kandungan air 60% - 90% dapat memudahkan larva Hermetia illucens Linnaeus, 1758 dalam mencerna makanan. Begitupun dengan cacing Lumbricus rubellus Hoffmeister, 1843 yang juga dapat dengan mudah mencerna pakan yang mengandung air sebesar 80 % (Palungkun, 1999).
2.4.2 Buah-buahan
Buah-buahan merupakan salah satu sumber komoditas holtikultura yang potensial dan banyak mengandung zat gizi terutama vitamin, serat dan mineral yang sangat baik jika dikonsumsi sehari-hari. Sebagian vitamin dan mineral yang terkandung dalam buah-buahan berperan sebagai anti oksidan. Karbohidrat dalam bentuk fruktosa dan glukosa banyak dijumpai pada kelompok buah-buahan daripada kelompok sayuran (Pardede, 2014). Buah memiliki kandungan protein dan asam amino yang reatif rendah sehingga buah tidak dapat dijadikan sebagai sumber protein utama bagi manusia. Buah-buahan banyak dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan vitamin dan mineral yang dibutuhkan oleh tubuh.
Kebutuhan manusia untuk mengkonsumsi buah-buahan demi memenuhi kebutuhan vitamin dan mineral akan menghasilkan sampah yang berasal dari sisa bagian buah yang tidak dapat dikonsumsi. Selain itu, penyimpanan buah yang kurang baik akan berdampak pada daya simpan dan kualitas buah tersebut sehingga buah dengan kualitas buruk tidak dapat dikonsumsi. Sampah buah- buahan yang biasanya dibuang secara open duming tanpa pengelolaan lebih lanjut akan menyebabkan gangguan lingkungan dan bau tidak sedap.
Sampah buah-buahan memiliki kandungan air yang cukup tinggi, sehingga cocok jika digunakan sebagai media larva Hermetia illucens Linnaeus, 1758.
Dalam pertumbuhannya, larva Hermetia illucens Linnaeus, 1758 akan lebih
mudah mencerna bahan organik yang memiliki kadar air yang cukup tinggi. Sama halnya dengan larva Hermetia illucens Linnaeus, 1758, cacing Lumbricus rubellus Hoffmeister, 1843 juga lebih cepat mencerna bahan organik yang memiliki kadar air yang tinggi.
2.5 Sumber Belajar
Siswa dalam proses pembelajaran membutuhkan sumber belajar sebagai pedoman untuk mendapatkan informasi. Menurut Daryanto (2016) dalam proses pembelajaran ada enam hal yang perlu diperhatikan, yaitu:
1. Menciptakan dan menjaga perhatian. Perhatian perlu diciptakan agar proses belajar dapat terjadi. Seorang pengajar perlu memancing ketertarikan siswa akan pembelajaran untuk menciptakan perhatian dan perhatian tersebut perlu dijaga hingga proses pembelajaran berakhir.
2. Tunjukkan ketertarikan pesan yang sedang diajarkan dengan pesan yang telah diterima sebelumnya.
3. Arahkan proses belajar dengan menggunakan bahan-bahan baik secara visual, audio, verbal dan kombinasi dari bahan- bahan tersebut.
4. Menciptakan komunikasi dua arah yang leluasa dan seimbang, untuk menciptakan persepsi yang sama.
5. Menciptakan dan memelihara kondisi untuk mengingat, menganalisis, menyimpulkan, menginventarisir, menerapkan, dan mengevaluasi pesan yang diterima.
6. Mengevaluasi kegiatan belajar baik pada saat proses belajar berlangsung atau setelah selesai belajar.
Sumber belajar adalah segala sesuatu yang dapat dimanfaatkan dan diperlukan dalam proses pembelajaran baik berupa buku teks, media cetak, narasumber, media elektronik, lingkungan dan sebagainya yang berfungsi untuk mmbantu mengoptimalkan hasil belajar peserta didik (Purnomo, 2012). Dalam pembelajaran biologi, sumber belajar dapat diperoleh di sekolah maupun di luar sekolah. Sumber belajar dibedakan menjadi dua, yaitu sumber belajar yang siap digunakan tanpa ada penyederhanaan serta modifikasi, dan sumber belajar yang
disederhanakan atau yang dimodifikasi (Suhardi, 2012). Menurut Suhardi (2012), peran dari sumber belajar bagi peserta didik dalam proses pembelajaran yaitu : 1. Meningkatkan produktifitas pembelajaran dengan mempercepat proses
pembelajaran, mengembangkan smangat belajar, penggunaan waktu lebih baik, memberikan peserta didik untuk berkembang sesuai kemampuannya dan mengarahkan kegiatan kearah lebih individual.
2. Mengembangkan bahan pengajaran yang dilandasi penelitian berdasarkan fakta di lingkungan sehingga dapat memberikan dasar lebih ilmiah.
3. Pemantapan pengajaran dengan meningkatkan kemampuan menggunakan fasilitas berupa media komunikasi, penyajian data dan informasi lebih konkrit sehingga dapat mengurangi sifat verbalistik dan abstrak dengan kenyataan.
Mulyasa (2007) menyatakan bahwa segala sesuatu yang dapat memberikan kemudahan belajar untuk memperoleh informasi, pengetahuan, pengalaman dan keterampilan yang diperlukan disebut sebagai sumber belajar.
Secara garis besar sumber belajar dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Manusia, yaitu orang yang menyampaikan pesan secara langsung seperti narasumber, guru, dan konselor.
2. Bahan, yaitu sesuatu yang mengandung pesan pembebajaran baik yang dirancang khusus maupun bahan yang bersifat umum. Contohnya seperti film pendidikan, peta, buku, arca.
3. Lingkungan, yaitu ruang dan tempat dimana peserta didik mendapatkan informasi baik yang dirancang secara sengaja untuk kepentingan belajar maupun tidak. Contohnya ruang kelas, laboratorium, kebun, taman, dan lain-lain.
4. Alat dan peralatan, yaitu sumber belajar untuk produksi atau memainkan sumber-sumber lain. Contohnya tape recorder, kamera, TV.
5. Aktivitas, yaitu sumber belajar yang biasanya merupakan kombinasi antara teknik dengan sumber lain untuk memudahkan belajar.
Lingkungan alam disekitar merupakan tempat atau laboratorium yang mempunyai peranan penting karena setiap gejala alam yang terjadi dapat
memunculkan persoalan - persoalan sains. Alam merupakan obyek biologi dengan seluruh fenomenanya dapat memberikan informasi yang dapat digunakan dalam kehidupan manusia. Namun untuk menjadikan fenomena alam tersebut sehingga dapat digunakan sebagai sumber belajar biologi perlu memenuhi beberapa syarat.
Syarat-syarat sumber belajar yaitu memiliki kejelasan potensi, kejelasan sasaran, memiliki kesesuaian dengan tujuan belajar, informasi yang diungkap jelas, pedoman penelitian jelas, serta terdapat kejelasan perolehan yang diinginkan (Suratsih, 2010). Selain syarat tersebut terdapat faktor yang juga dapat mempengaruhi sumber belajar. Menurut Mudlofir & Ruydiyah (2016) faktor – faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan sumber belajar untuk mencapai tujuan pembelajaran sebagai berikut:
1. Perkembangan teknologi, semakin cepatnya perkembangan teknologi sangat berpengaruh pada sumber belajar karena dari perkembangan tersebut akan lebih memudahkan peserta didik maupun guru mendapatkan informasi yang menunjang pembelajaran salah satu contohnya yaitu internet.
2. Nilai – nilai budaya setempat, nilai budaya setempat dapat menjadi faktor pendukung atau sebaliknya menjadi faktor penghambat.
Misalnya terdapat tempat yang biasa digunakan ritual di masa lalu dan masih dianggap tabu sehingga sampai saat ini tempat tersebut tidak diperbolehkan dikunjungi akan sulit untuk dijadikan sebagai sumber belajar.
3. Situasi ekonomi, keadaan ekonomi akan berdampak pada pengadaan sumber belajar atau upaya untuk menyebarkan sumber belajar kepada peseta didik maupun khalayak umum.
4. Keadaan pemakai sumber belajar, keadaan dan sifat pemakai sumber belajar turut mempengaruhi sumber belajar yang dimanfaatkan.
2.6 Kerangka Konseptual
Gambar 2.7. Kerangka Konseptual Pemanfaatan
Percepatan Sampah
Organik Anorganik
Kompos Degradasi
Pendegradasi Biologi
Cacing Lumbricus rubellus Hoffmeister, 1843
Larva Hermetia illucens Linnaeus,
1758
Sampah Sayur, Buah, Campur (Sayur+ Buah)
Biomassa Efektifitas
Kajian sumber belajar biologi
2.7 Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Terdapat pengaruh jenis pendegradasi (larva Hermetia illucens Linnaeus, 1758 dan cacing Lumbricus rubellus Hoffmeister, 1843) terhadap proses degradasi sampah organik pasar Landungsari.
2. Terdapat pengaruh jenis sampah (sayuran, buah-buahan, dan campuran) terhadap proses degradasi sampah organik pasar Landungsari.
3. Terdapat interaksi antara jenis pendegradasi dan jenis sampah terhadap proses degradasi sampah organik pasar Ladungsari.