• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Sumatera Utara. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2008

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Sumatera Utara. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2008"

Copied!
67
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

Nias Barat merupakan salah satu kabupaten yang ada di Pulau Nias Sumatera Utara. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2008 Kabupaten Nias Barat merupakan daerah otonomi baru. Nias Barat, terletak pada 0012’-0032’ Lintang Utara ‘970-980’ Bujur Timur, luas wilayah area 520,34 Km², 0-800 m2 diatas permukaan laut, sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Nias Utara, sebelah selatan berbatasan dengan kabupaten Nias Selatan, dan sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Nias. Terdiri dari delapan kecamatan (Mandrehe, Mandehe Utara, Mandrehe Barat, Sirombu, Lahomi, Ulu Moro’õ, Lõlõfitu Moi, dan Moro’õ).1 Jumlah penduduk Kabupaten Nias Barat tahun 2020 adalah 82.154 jiwa yang terdiri dari 39.314 laki-laki atau sekitar 47,85 persen dan 42.840 perempuan atau sekitar 52,15 persen dengan kepadatan penduduk 157,89 jiwa/km2.2

Masyarakat Nias Barat masih menganut budaya patriarkhi yang sangat ketat. Segala aturan hidup masyarakat Nias Barat diatur dalam fondrakö.

Fondrakȍ berasal dari kata rakö berarti ketetapan/aturan bersama yang disepakati oleh satu kelompok yang menyebut diri öri.3 Fondrakȍ adalah

1Badan Pusat Statistik Kabupaten Nias Barat tahun 2020 https://www.northsumatrainvest.id/data/pdf/publication/Kabupaten%20Nias%20Barat%20Dalam%2 0Angka%202020.pdf. Diakses, Jumat 21 Mei 2021.

2Kabupaten Nias Barat dalam Angka,

ttps://www.northsumatrainvest.id/data/pdf/publication/Kabupaten Nias Barat Dalam Angka 2020.pdf. Diakses, Jumat 21 Mei 2021.

3 Öri adalah kumpulan dari beberapa kampung/desa dan membentuk satu peraturan adat yang disepakati bersama dan disahkan bersama sebagai hukum yang berlaku dimasyarakat Öri setempat yang disebut fondrakö.

(2)

kumpulan sumber hukum yang menjadi landasan hidup masyarakat Nias pada umumnya dan Nias Barat khususnya.4 Fondrakȍ, diseluruh pulau Nias berbeda disetiap daerah tergantung dengan öri. Nias Barat misalnya terdiri dari beberapa Fondrakȍ yaitu: fondrakȍ öri Ulu moro’ö, fondrakȍ öri si lima ina, fondrakȍ öri Moro’ö. Fondrakȍ disepakati para tua-tua adat yang terdiri dari Balugu atau Tuhenȍri, satua mbanua (kepala adat)/ yang dihadiri oleh Tuhenȍri, balȍ Zi’ulu, Si’ulu untuk menjamin keteraturan sosial, menjamin hak-hak seseorang atau kelompok.

Ada 5 pokok besar yang disepakati dalam fondrakȍ adalah:5 1) Huku sifakhai ba mboto niha (segala sesuatu yang berhubungan dengan keselamatan seseorang). Hukum adat mengatur hukum peradilan bagi pelaku kejahatan (ringan atau berat) yang mengancam kehidupan seseorang. 2) Huku sifakhai ba gokhȍta (hukum yang berhubungan dengan harta benda). Dalam hukum adat masyarakat Nias Barat ada penjaminan kepemilikan pribadi, dan juga kepemilikan bersama, misalnya tanah adat. Tanah adat tersebut berupa lahan atau hutan yang sangat luas yang menjadi milik masyarakat desa atau kampun tertentu. 3) Huku sifakhai ba zumange ba lakhȍmi (hukum yang berhubungan dengan harga diri dan martabat seseorang). Dalam hukum ini, disepakati hukum-hukum yang berhubungan dengan martabat seseorang terutama para tua-tua adat, strata sosial, dan lebih lagi pada martabat seorang perempuan, karena perempuan adalah seorang ibu. Contoh; bagaimana hukum bagi orang

4 Sokhiaro Welther Mendrofa, Fondrakȍ ono Niha, Agama purba-Hukum Adat-mitologi Hikayat Masyarakat, Jakarta: Inkultra Fondation,1981, 11.

5 Band. Tuhoni Telaumbanua & Uwe Hemmel, Salib dan Adu, Jakarta: BPK, Gunung Mulian, 2015, 28.

(3)

yang main mata, mencolek tangan saat bersalaman, mengintip orang mandi, dan lain-lain, Pihak yang dilindungi adalah perempuan. 4) Huku so’amakhaita ba wa’atumbu, falõwa, bõwõ, dalam kandungan, lahir, remaja, menikah, meninggal (hukum yang berkaitan kehidupan dalam lakhõmi). 5) Huku so’amakhaita lala halõwõ ba fondrõnia’õ (segala sesuatu yang berkaitan dengan pekerjaan, kepemimpinan baik dalam keluarga maupun dalam adat).

Fondrakȍ merupakan hukum yang secara turun temurun diwariskan kepada masyarakat, tetapi dapat merubah atau menambah sesuai konteks kebutuhan masyarakat setempat. Proses perubahan/penambahan fondrakȍ dihadiri oleh beberapa pimpinan kampung untuk bermusyawarah dan menetapkan hukum yang berlaku. Fondrakȍ disepakati untuk menjawab setiap kebutuhan sosial atas berbagai peristiwa atau perubahan sosial dalam masyarakat. Penentuan fondrakõ dihadiri oleh para laki-laki yang dipimpin oleh seorang Ere/pemimpin ritual, dan kemudian hasilnya diumumkan oleh Balugu atau Tuhenȍri/pimpinan adat tertinggi. Setelah pengumuman hasil pertemuan maka, pempimpin ritual membacakan sumpah dengan ritual-ritual, yang kemudian ditutup dengan jampi-jampi sambil memberkati peserta. Bagi yang melanggar fondrakõ akan mendapat kutukan dan hukuman yang seberat- beratnya.6 Peraturan-peraturan yang disahkan sebagai hukum adat yang disebut sebagai fondrakö nöri, menjadi pedoman hidup seluruh masyarakat dalam tujuan memperoleh lakhömi. Menurut Sikhiaro, dalam penentuan fondrakö

6 Sri Suwartiningsih dan David Samiyono, Kearifan Lokal Masyarakat Nias Dalam Mempertahankan Harmoni Sosial, Societas Dei, Vol. 1, No. 1, 2014, 236-269.

(4)

tidak pernah melibatkan perempuan, karena perempuan tidak pernah menjadi kepala/pimpinan adat.7

Kata lakhõmi dalam kamus bahasa Nias-Indonesia diartikan sebagai harga diri, kemuliaan dan identitas.8 Lakhõmi dapat direpresentasi melalui untuk mencapai status sosial, jabatan, kekayaan, banyak anak, kepemimpinan.

Lakhömi juga disebut sebagai tujuan kehidupan ono niha mulai dari lahir hingga mati. Ritual dimulai kelahiran, pemberian nama anak, pernikahan, dan upacara kematian. Seluruh ritus yang dilakukan dikaitkan dengan lakhömi.

Kata ono niha adalah sebutan bagi suku Nias.

Suku Nias adalah kelompok masyarakat yang hidup di pulau Nias.

Dalam bahasa aslinya, orang Nias menamakan diri mereka "Ono Niha"

(Ono = anak/keturunan; Niha = manusia) dan pulau Nias sebagai "Tanö Niha" (Tanö=tanah). Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi.Hukum adat Nias secara umum disebut fondrakö yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian.Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman pulau ini sampai sekarang.9

Masyarakat Nias Barat memahami, semakin mencapai dan taat melakukan lakhömi maka, dipercaya semakin diberkati roh nenek moyang. Diberkati dalam arti memiliki banyak harta, anak, gelar dan dihormati oleh sesama masyarakat Nias lainnya.10 Sebelum kekeristenan masuk ke pulau Nias, masyarakat Nias memahami bahwa diri adalah ciptaan para ilah. Orang Nias

7 Sokhiaro Welther Mendrofa, Fondrakȍ ono Niha, Agama purba-Hukum Adat-mitologi Hikayat Masyarakat, 12.

8 Apolonius Lase, kamus bahasa Nias-Indonesia, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2011, 194.

9Sokhiaro Welther Mendrofa, Fondrakȍ ono Niha, Agama purba-Hukum Adat-mitologi Hikayat Masyarakat, 7.

10Tuhoni, Telaumbanua, &Uwe Hummel, Salib dan Adu, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2015, 19.

(5)

Barat menganggap diri sebagai ciptaan dari para ilah.11 Dalam mitos masyarakat Nias, para ilah adalah nenek moyang atau leluhur pertama orang Nias. Setiap peristiwa itu, mengandung nilai religius yang dikaitkan dengn kosmologi masyarakat Nias. Dalam kosmologi orang Nias, diceriterakan oleh Suzuki, masyarakat mengenal dua dunia yaitu dunia atas dan dunia bawah.12 Dunia atas dipimpin oleh ilah Lowalangi dan dunia bawah dipimpin oleh ilah Lature danö. Lowalangi dipahami sebagai pencipta manusia, sumber kehidupan, kebaikan, kemakmuran, dan semua hal baik. Sedangkan Lature danö adalah ilah angin ribut, gempa dan bencana alam. Dalam konsep keluarga, laki-laki digambarkan sebagai dunia atas dan perempuan sebagai dunia bawah, yang pada realitas keyakinan orang Nias, dunia atas adalah yang menguasai dunia bawah.13

Suku Nias memahami, seluruh rangkaian kehidupan dari masa lalu hingga masa kini dihubungkan dengan budaya lakhömi. Dengan tetap terhubung kepada leluhur, dipercaya akan memperoleh lakhömi yang dalam arti dikaruniakan kesehatan, kemakmuran, harta yang banyak, memiliki keturunan dan dihormati oleh orang Nias lainnya. Bambowo mengistilahkan “tuhanku adalah nenek moyangku”.14 Makna tuhanku adalah nenek moyangku, menjadi bagian yang tak terpisahkan dari adat masyarakat Nias Barat. Ketaatan pada adat, menjamin suatu kehidupan yang penuh berkat dan berkat tersebut

11 Peter Suzuki, The Religious system and Culture of Nias, Indonesian, 1959,102.

12 Peter T. Suzuki, The Religious System and Culture of Nias, Indonesia, 30.

13 Peter Suzuki, The Religious System and Culture of Nias, Indonesia, 31.

14 Bambowo Laiya, Solidaritas kekeluargaan dalam salah satu masyarakat desa di Nias- Indonesia, Gadjah Mada University Press, 1983, 28.

(6)

diperoleh melalui budaya lakhömi.15 Budaya lakhömi yang sangat dijunjung tinggi, telah melahirkan nilai-nilai sosial, budaya dan adat-istiadat dalam masyarakat, hal ini dapat dibandingkan dengan penentuan lakhömi melalui fondrakö. Masyarakat Nias Barat memaknai lakhömi sebagai representasi dari pola hidup, untuk itu seluruh aktivitas masyarakatnya diarahkan untuk mencapai tujuan lakhömi.16

Salah satu hal menarik dalam memaknai lakhömi adalah persoalan fenomena konsep diri perempuan di Nias Barat. Masyarakat Nias Barat memahami diri perempuan sebagai dunia bawah. Dalam mitologi Nias dipahami kesatuan antara laki-laki dan perempuan merupakan representasi kesatuan dua dunia yakni dunia atas dan dunia bawah. Perempuan sebagai dunia bawah identik dengan yang kacau, perusak, sumber malapetaka, sumber kutukan, mendatangkan maut dan objek lakhömi. Sedangkan laki-laki identik dengan sumber berkat, dihormati, dan subjek lakhömi.17

Perempuan sebagai dunia bawah dikonstruksikan melalui pemaknaan budaya Lakhömi di Nias Barat. Akibatnya, melahirkan nilai-nilai sosial, budaya dan adat-istiadat yang meninggikan derajat laki-laki dan menganggap perempuan sebagai objek lakhömi laki-laki. Perempuan sebagai objek lakhömi dilatih sedemikian rupa dengan konsep dominasi laki-laki.18

Posisi perempuan sebagai dunia bawah dalam budaya lakhömi menyebabkan berbagai persoalan terhadap perempuan baik sebagai pribadi,

15 Tuhoni, Telaumbanua, &Uwe Hummel, Salib dan Adu, 32.

16 Bnd. James Danandjaja, Ono Niha: Penduduk Pulau Nias, Jakarta: lembaga Penelitian dan Studi PGI, 1976, 106.

17 Nurcahaya Gea, Atas-bawah OK (Pemikiran Peter Suzuki Mengenai Agama Nias), dalam Buku tunaikan Tugas Pelayanan, Bandung: Media Perintis, 2010, 209.

18 Jajang A. Sonjaya, Melacak Batu Menguak Mitos, Yogyakarta: Kanisius, 2008, 115-117.

(7)

keluarga dan sosial. sebagai pribadi perempuan dianggap kelas dua, dalam keluarga dianggap sebagai pelayan/pekerja dan dalam sosial dianggap hanya sebagai pelengkap lakhömi.

Persoalan perempuan, dilanggengkan dengan sistem budaya pariarkhi, di mana laki-laki yang superior dan perempuan adalah inferior.19 Laki-laki sebagai superior memiliki hak sebagai pemimpin, penguasa terhadap yang inferior. Posisi perempuan sebagai dunia bawah dianggap sebagai yang kotor, rendah, tidak bisa menjadi pemimpin, sebagai pekerja dan pelayan bagi laki- laki. Pengalaman perempuan sebagai dunia bawah, telah mengideologi pemikiran, tindakan, yang dianggap sebagai pedoman hidup dalam memaknai lakhõmi dan diterapkan dari generasi kegenerasi untuk mengonstruksi posisi perempuan baik secara domestik maupun publik.

Pelanggengan budaya patriarkhi, dapat diamati melalui sistem kemasyarakatan yang disebut öri. Öri terdiri atas beberapa banua (kampung/desa) dan membentuk satu peraturan yang disebut dengan hukum adat. Pemimpin öri adalah laki-laki dan tidak pernah ada dalam catatan sejarah bahwa perempuan pernah mempimpin öri di Nias Barat.20 Alasan perempuan tidak layak menjadi pimpinan adat dikaitkan dengan sistem budaya patriarkhi dimana laki-laki yang dituankan dalam segala hal dan meneruskan silsilah keturunan ayahnya.21

19 Rosmerie Tong, Feminist Thought a Comprehensive introduction, America by westview Press, cet, 2006, 16.

20 Dalibudi Harefa, kepemimpinan dalam masyarakat tradisional Nias, UKSW: Tesis, 1996, 25.

21 Amstrong Harefa, Eksistensi”Fondrakõ” Dalam Hukum Adat Nias, Gunungsitoli: IKIP Gunungsitoli, ISSN:1978-1444xx, 2016, 1026-1039.

(8)

Bagi masyarakat Nias Barat Perempuan lebih dijadikan sebagai pekerja/pelayan dalam mendukung persiapan diberbagai pesta adat. Kenyataan tersebut dalam pengalaman perempuan sudah dibentuk sejak lahir dari kandungan ibunya, pernyataan ini didukung dengan pernyataan Moore yang mengatakan perempuan bukan hanya ketika ia telah menjadi dewasa diideologisasi pemikirannya tetapi dimulai sejak kecil sudah diajarkan tunduk terhadap kekuasaan laki-laki.22 Pernyataan Moore senada dengan Simone mengatakan “bahwa jika seseorang telah lama terkurung dalam ketidaksetaraan, maka sangat sulit baginya untuk melepaskan diri bahkan jika melepaskan diri dianggap sebagai ancaman dalam keberlangsungan kehidupannya”.23

Sonjaya dalan penelitiannya tentang Melacak Batu Menguat Mitos, mengalami sendiri ketika ia dilarang oleh tuan rumah tempat ia tinggal agar tidak melakukan pekerjaan dapur dan mencuci pakaiannya sendiri dengan perkataan sang ibu rumah tangga apa kata orang nanti jika kamu memasak dan menyuci pakaian, nanti tetangga bilang kayak tidak ada perempuan dalam rumah ini, bahkan ia menegaskan dalam tulisannya

“sangat sulit bergaul dengan ibu-ibu dan gadis Nias” dikarenakan sangat tabu bagi masyarakat jika orang asing bergaul dengan perempuan Nias.24 Sonjaya mengungkapkan dalam penelitiannya bahwa perempuan Nias terlegitimasi dalam keluarga dan masyarakat bahwa ia (perempuan) adalah milik laki-laki dan hal terkait membentuknya secara terstruktur dalam anggapan bahwa konstruksi sosial sebagai kenyataan dalam peran posisinya di keluarga dan masyarakat.25

Penelitian yang dilakukan oleh Rio F. Girsang tahun 2013, menemukan dari 271 responden perempuan yang sudah menikah, ada 147 orang

22 Bandingkan: Henrietta L.,Moore, Feminism and Antropology, Minneapolis: University of Minnesota Press, 1995; Beauvoir, Simone De, Second Sex kehidupan Perempuan (terjemahan), Yogyakarta: Pustaka Promethea, 1999, 29.

23 Simone De Beauvoir, Second Sex Kehidupan perempuan, (Terjemahan), Yogyakarta: Narasi Pustaka Promethea,1999, 12.

24 Jajang A. Sonjaya, Melacak Batu Menguat Mitos, Yogyakarta: Kanisius, 2008, hlm. 103- 104.

25 Ketut, Wijaya, Legitimasi Kekuasaan Pada Budaya Nias, Jakarta: Obor Indonesia, 2010, 80.

(9)

pernah mengalami kekerasan baik secara fisik, psikologis, beban ganda, marjinalisasi dalam pendidikan maupun dalam hak waris.26

didukung oleh hasil pra penelitian yang dilakukan oleh penulis kepada salah satu tokoh perempuan di Nias Barat. G. mengatakan bahwa keberadaan seorang perempuan diadakan politisasi kekuasaan demi keuntungan bagi kaum laki-laki.27 G., menuturkan bahwa khususnya dalam pesta pernikahan diistilahkan dengan sangai tanõmõ zi sõkhi (mengambil bibit unggul).28 Istilah ini, dilabelkan kepada perempuan ketika keluarga mempelai laki-laki menyongsong untuk mengadakan pesta pernikahan. Makna mangai tanõmõ zi sõkhi berarti kepada seorang perempuan tertanam harapan bahwa akan melahirkan seorang anak sebagai salah satu pelengkap lakhõmi ayahnya dalam keluarga dan masyarakat. Melahirkan seorang anak khususnya anak laki-laki baerati memberi kehormatan bagi suaminya dan keluarga mertuanya. Ada istilah seorang perempuan yang telah melahirkan anak laki-laki dalam keluarga menandakan bahwa perempuan tersebut rahimnya diberkati Tuhan dengan memberi penerus garis keturunan serta menaikkan status/derajat keluarga suaminya dalam lingkungan sosial kemasyarakatan. Jadi dapat dipahami bahwa perempuan tunduk sepenuhnya dalam kenyataan legitimasi sosial yang dimulai dari pengalamannya secara pribadi dalam keluarga dan dikokohkan dalam sosial masyarakat.

26 Rio F. Girsang, Nias dalam Perspektif Gender, Guynungsitoli: Caritas keuskupan Sibolga, 2014, hlm. 14-15.

27G., Hasil Wawancara, Sabtu, 10 Oktober 2020, pkl 13.00 wib

28 G., Hasil Wawancara, Sabtu, 10 Oktober 2020, pkl 13.00 wib.

(10)

Selain itu, ada beberapa istilah yang dilabelkan kepada perempuan antara lain, pertama, sohalõwõ/pelayan, perempuan menerima kenyataan, bahwa hanya pelayan bagi ayahnya dan kaum laki-laki dalam komunitasnya atau dengan kata lain alat lakhõmi keluarga untuk memperoleh status yang lebih tinggi.29

Pelabelan perempuan sebagai pelayan diterima dengan istilah “apalah saya perempuan” tanpa melakukan perlawanan karena sudah menganggap bahwa itu adalah esensi hidupnya yang telah dikonstruksikan sejak kecil. Kolb mengatakan pembelajaran adalah proses pengetahuan yang diciptakan melalui pengalaman.30 Pengalaman sebagai sohalõwõ/pelayan mentransformasikan perempuan di Nias Barat dalam level sebagai pekerja dan bukan sebagai pemimpin. Akibatnya, konstruksi sebagai pelayan melekat pada dirinya yang menyebabkannya sulit berpartisipasi diruang publik.

Kelahiran anak perempuan berarti memberi investasi bagi orang tua.

Sistem Patriarkhi yang dianut dalam masyarakat Nias Barat menjadikan perempuan tidak memiliki posisi yang penting dalam keluarga. Kehadiran anak perempuan dalam keluarga dianggap sebagai alat lakhõmi ayahnya, artinya berkat dalam kelimpahan harta, atau dengan kata lain anak perempuan sebelum menikah merupakan pekerja bagi ayah dan saudaranya laki-laki untuk memenuhi bosi (status) dalam hal harta kekayaan. Dari hasil wawancara kepada tokoh adat (T. G., N. G., F. G.) dapat dipahami bahwa perempuan

29 T. G., Hasil wawancara, Jumat 09 Oktober 2020, Pkl 16.00 Wib

30 David A. Kolb, & Alice Y. Kolb, Experiential Learning Theory: A Dynamic, Holistic Approach to Management Learning, Education and Development, Weatherhead School of Management Case Western Reserve University, 2008, 4.

(11)

selalu di dapur dan di ladang demi memenuhi status ayahnya dalam kecukupan harta kekayaan. Konstruksi sosial yang demikian menurut Berger merupakan cara menujukan dominasi yang berkuasa terhadap yang dikuasai dalam kenyataan sosial.31 Dengan demikian, tidak mengherankan jika perempuan menjadi terhisap dalam ketundukan atas pemanfaatan laki-laki terhadap sifat perempuan.

Melalui legitimasi yang berkelanjutan dalam keluarga, akan membentuk perempuan dalam anggapan bahwa konstruksi sosial sebagai kenyataan dalam peran dan posisinya dalam keluarga. Jadi dapat dipahami bahwa perempuan tunduk sepenuhnya dalam kenyataan legitimasi sosial yang dimulai dari keluarga dan dikokohkan dalam sosial. Kebiasaan sebagai sohalõwõ dalam keluarga, perempuan menerima kenyataan, bahwa hanya sebagai pelayan ayahnya dan kaum laki-laki dalam komunitasnya atau dengan kata lain alat lakhõmi keluarga dalam memperoleh status yang lebih tinggi, tanpa melakukan perlawanan karena sudah dianggap sebagai hakekat hidupnya yang telah di konstruksikan sejak ia kecil.

Ada beberapa peran perempuan sebagai pelayan/pekerja dalam memaknai lakhõmi: 1) Perempuan adalah “harta” maka ada kekhawatiran bahwa di luar rumah ada banyak ancaman bagi harta tersebut, sehingga harta keluarga ini bisa hilang. Harta ini bisa hilang karena anak perempuan diculik orang, atau dilecehkan atau diperkosa.32 Bila hal itu terjadi maka proses adat pernikahan

31 Peter L. Berger, Langit Suci Agama Sebagai Realaitas Sosial, (terjemahan), Jakarta: LP3ES, 1991, 20.

32 Jika terjadi pemerkosaan diluar nikah kepada perempuan di Nias Barat khususnya, maka hal itu dianggap aib keluarga, akibatnya perempuan akan dinikahkan kepada orang yang mampu membayar uang denda. Hal ini, menurut kesaksian peneliti kebanyakan perempuan yang mengalami

(12)

bagi anak perempuan tidak bisa dilakukan, dan bila proses adat tidak dilakukan maka “bõwõ” untuk seorang perempuan hilang. Seorang perempuan yang dilecehkan atau diperkosa tidak dianggap sebagai anak gadis, karena itu keluarga besar akan memaksa pelaku kekerasan (perkosaan atau pelecehan) untuk memperistri perempuan tersebut tanpa “bȍwȍ”. yang dibayar hanya denda adat dan sanksi berupa kekerasan fisik. 2) rentan-nya perempuan dari tindakan kekerasan; seksual, pelecehan, kekerasan fisik dan psikis yang dilakukan oleh lingkungan. Hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Postinus menunujukan bahwa perempuan lebih rawan mengalami berbagai bentuk kekerasan dari orang terdekat atau orang yang tidak dikenal karena identitasnya sebagai perempuan yang diidentikkan sebagai pribadi penggoda, lemah, dan tidak berdaya.33 3) seorang anak perempuan tidak didorong untuk sekolah karena perempuan kelak hanya berkuasa hanya di dapur, sumur dan kasur dan ketika sudah menikah tidak lagi balas jasa orang tuanya melainkan yang menikmati adalah suaminya dan keluarga mertuanya. 4) dari sisi kepemimpinan, sebagaimana perempuan Nias Barat beranggapan bahwa anak laki-laki didorong mengenyam pendidikan setinggi-tingginya karena laki-laki dipersiapkan sebagai penerus kepemimpinan ayahnya dalam keluarga maupun dalam masyarakat.

Selain perempuan sebagai harta, perempuan juga di posisikan sebagai Solaya talingambatö (pemelihara rumah) diartikan sebagai pekerja rumah

hal tersebut akan dinikahkan kepada duda atau laki-laki yang berkebutuhan khusus. Jika tidak dinikahkan maka akan merantau diluar daerah Nias.

33 Postinus Gulo, Bõwõ dalam perkawinan adat õri moro’õ Nias Barat, Bandung: Umpar Press, 2015, 5.

(13)

tangga dalam arti memasak, menyiapkan, membereskan rumah serta menyediakan seluruh kebutuhan dalam keluarga, tidak dilakukan semata-mata karena berkuasa atas kebebasan dirinya, tetapi untuk memenuhi harmoni keluarga ayahnya dan suaminya dalam status terurus, sejahtera keluarga untuk memenuhi lakhõmi dalam masyarakat. Kesuksesan perempuan sebagai solaya tali ngambatõ dapat diukur dengan melahirkan anak laki-laki, berperilaku baik, tunduk tanpa bicara, dan jika anaknya telah besar dan tidak berlaku baik dalam keluarga dan masyarakat, yang dipersalahkana adalah ibunya dengan berkata

“lõ ni fahaõ ninau yaugõ ba nomo” (belum mendapat didikan dari ibumu di rumah), dalam masyarakat Nias Barat kebiasaan ini telah dibentuk menjadi ideologi dan dianggap sebagai peraturan yang harus dipenuhi oleh perempuan.

Nunuk mengatakan bahwa individu yang terideologi oleh budaya akan membentuk ide dalam menonsepkan diri dalam sosial.34

Perempuan sebagai solaya tali ngambatõ dipercayakan untuk mengurus rumah tangga dalam arti memasak, menyiapkan, membereskan rumah serta menyediakan seluruh kebutuhan dalam keluarga. Kesuksesan perempuan sebagai solaya tali ngambatõ, tidak untuk dirinya sendiri melainkan untuk lelaki yang dilayaninya dalam keluarga. Contoh, melahirkan anak laki-laki, menjaga agar berperilaku baik “tunduk tanpa bicara”.

Balkin mengatakan bahwa ideologi yang dilestarikan secara turun temurun dalam kebudayaan secara radikal dipertahankan dan dianggap sebagai

34 A. Nunuk P. Murniati, Getar Gender Perempuan di Indonesia dalam perspektif Sosial, Politik, Ekonomi, Hukum, dan HAM, Magelang: Indonesiatera, 2004, 52.

(14)

kehendak yang ilahi dalam menata kehidupan sosial masyarakat,35 sehingga meskipun pada masa kini telah terjadi perubahan zaman, namun realitas posisi perempuan dalam pandangan laki-laki tetap dipelihara sebagai solaya tali ngambatõ. Pemaknaan perempuan dalam memenuhi lakhõmi sebagai solaya tali ngambatõ, menujukan kepemimpinan perempuan seperti yang dikatakan oleh Engineer hanya sekitar dapur, kasur, dan sumur.36 Berger juga menegaskan bahwa dalam konstruksi kenyataan sosial menjadi pihak yang di kurang baik secara budaya, agama dan sosial. Dengan demikian meskipun perempuan mendapat posisi pempimpin karena telah berpendidikan, namun ketika kembali ke rumah tetap menjadi solaya tali ngambatõ yang artinya beban ganda kerja bertumpuk kepada perempuan. menjadi solaya tali ngambatõ, perempuan meskipun berkarir dalam ranah publik, namun ketika kembali ke rumah, beban ganda dipikul untuk memenuhi makna diri sebagai solaya tali ngambatõ demi lakhõmi keluarganya dalam masyarakat.

Label sebagai solaya tali ngambatõ menjadikan perempuan di Nias Barat melakukan pekerjaan ganda baik dalam ranah domestik dan ranah publik.

Kekuasaan ini bersumber dari beberapa bentuk, yakni; harta, status sosial dan budaya. Posisi perempuan dapat dipahami dalam suatu konteks sosio-gender dari suatu masyarakat dan lewat pola pembagian kuasa berdasarkan jenis kelamin yakni pola penguasaan sumber daya seperti; ekonomi pendidikan, pengalaman, ketrampilan, kepemilikan tanah, pola yang berlaku dalam masyarakat dalam kategori perilaku dan segi ideologi.

35 J.M. Balkin, Ideology as Cultural Software: A Theory of Ideology, Yale Universitas Press, 1998, 221

36 Asghar Ali Engineer, Tafsir Perempuan Antara Doktrin&Dinamika konteporer, 7.

(15)

Dari konsep tersebut perempuan berada dalam dua posisi yang saling bertentangan, di satu sisi perempuan sebagai anak hanyalah sebagai pribadi pelayan, dan sebagai istri, mendapat posisi sebagai kuda pekerja yang tidak pernah berhenti bekerja dan selalu berada pada posisi yang subordinat

Pengalaman konkret perempuan sebagai solaya talingambatö menyebabkannya kesulitan menghilangkan perasaan malu dan takut salah, kurang berani, akibatnya sukar menemukan identitas dirinya. Konstruksi terhadap perempuan yang dibatasi sebagai solaya talingambatö, telah mendorongnya membentuk konsep diri berdasarkan pengalamannya dan hal ini, dilakukan secara trus-menerus yang berdampak pada ketidakmampuannya berjuang dan bersaing dalam keluarga dan sosial.

Ketiga, owöliwa/pembelian dan bõli gana’a Artinya perempuan dibeli melalui sistem böwö yang telah dibayarkan kepada orang tua perempuan.37 Makna pembelian ini adalah perempuan lebih rendah derajatnya dari laki- laki,38 akibatnya perempuan dianggap sebagai pekerja dirumah suaminya untuk melunasi böwö yang telah dibayarkan kepada orang tua perempuan dengan demikian perempuan harus tetap menjaga derajat suaminya meskipun ditiadakan haknya sebagai makhluk sosial dalam keluarga, dan masyarakat.

Perempuan dalam makna owöliwa tidak hanya tunduk sepenuhnya kepada suaminya tetapi juga harus tunduk kepada keluarga mertuanya

37 Band. Asghar Ali Engineer, Tafsir perempuan Antara Doktrin &Dinamika Konteporer, Yogyakarta: Kaktus, 2018, 6.

38 Band. George Ritzer, Teori Sosiologi, dari sosiologi klasik sampai perkembangan terakhir postmodern, (terjemahan), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014, 772.

(16)

(sowõli/pembeli).39 Meskipun Peter Suzuki mengatakan bahwa arti owöliwa tidak terkait dengan harga pasar40 namun realitas yang terjadi, seperti dalam tulisan Postinus bahwa perempuan secara realitas dianggap sebagai “orang yang sudah dibeli” karena itu dapat diperlakukan sebagai warga kelas dua dalam keluarga.41 Realitas diskriminatif ini diperkuat oleh suatu makna perempuan dianggap berharga jika berkontribusi terhadap kelangsungan dan status suaminya dalam masyarakat. Kontribusi ini bisa berupa, dapat melahirkan anak laki-laki, dapat mengurus rumah tangga dengan baik, dan bisa bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan dalam keluarga.

Perempuan dengan label owöliwa harus tetap menjaga derajat suaminya meskipun ditiadakan haknya sebagai makhluk sosial dalam keluarga, dan masyarakat. Perempuan dalam makna owöliwa tidak hanya tunduk sepenuhnya kepada suaminya tetapi juga harus tunduk kepada keluarga mertuanya (sowõli/pembeli). Realitas diskriminatif ini diperkuat oleh suatu makna perempuan dianggap berharga jika berkontribusi terhadap kelangsungan dan status suaminya dalam masyarakat. Kontribusi ini bisa berupa, melahirkan anak laki-laki, mengurus rumah tangga dengan baik, bekerja keras untuk utang dari pernikahan dan memenuhi kebutuhan dalam keluarga.42 Hasil wawancara terhadap R. (tidak ingin disebut nama) mengatakan menjadi owöliwa tidaklah mudah, karena harus tunduk kepada suami dan mertua. Segala keputusan

39 Postinus Gulo, Bõwõ dalam perkawinan adat õri moro’õ Nias Barat, Bandung: Umpar Press, 2015, 5.

40 Peter Suzuki, The regious System and Culture of Nias Indonesia, USA: Washington, 1959, 95.

41 Postinus Gulo, Bõwõ dalam perkawinan adat õri moro’õ Nias Barat, 15.

42 Rosemary Putnam Tong, Feminist Thought, (terjemahan), Yogyakarta: Jalasutra, 1998, 20.

(17)

dalam keluarga, R. hanya sebagai pelaksana tanpa diperhitungkan pendapatnya.43

Selain perempuan sebagai owöliwa, ia juga dilabelkan sebagai Bõli gana’a. Bõli gana’a dianggap menjadi simbol lakhömi bagi mertua dan suaminya. Simbol lakhömi dalam arti bertindak sebagai perempuan yang telah dibeli dengan emas. Tindakan ini, dapat ditunjukkan melalui ketundukkan sepenuhnya sebagai yang dibeli. Untuk menyempurnakan bõli gana’a maka, berbagai ritus dilakukan supaya memperoleh berkat dari leluhurnya. Melalui bõli gana’a, identitas keluarga baru diharapkan melanjutkan berkat dan kemakmuran. Dengan demikian, dituntut tunduk sepenuhnya kepada keluarga suaminya, meskipun ia mengalami ketidakadilan, tidak boleh melawan kerena ia telah dibeli. Selain itu, perempuan yang dibeli harus menikah dengan yang sederajat jika tidak, dianggap telah menghina status keluarganya.44 Perempuan sebagai yang dibeli, sering dinikahkan dengan paksa/dijodohkan, misalnya jika perempuan hamil di luar nikah atau kedapatan berzinah, maka kebanyakan tidak dinikahkan dengan laki-laki yang telah menghamilinya melainkan dinikahkan dengan lelaki lain yang mampu membayar bõwõ kepada orang tuanya (perempuan).45

Menurut pemahaman T.G., istilah bõli gana’a dapat diartikan sebagai pengganti emas atau dibeli dengan emas. Bagi masyarakat Nias Barat, emas merupakan alat tukar yang sangat tinggi nilainya, secara positif jika dikaitkan

43 R (nama disamarkan), perempuan Nias Barat, hasil wawancara, 11 Januari 2021, pkl. 16.00.

44 Bambõwõ La’iya, Solidaritas kekeluargaan dalam salah satu masyarakat Desa di Nias- Indonesia, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1983, 41.

45 Bambõwõ La’iya, Solidaritas kekeluargaan dalam salah satu masyarakat Desa di Nias- Indonesia, 45.

(18)

dengan perempuan maka, nilai perempuan dianggap setera dengan emas yang bernilai tinggi.46 Oleh karenanya perempuan disebut si nõwu gana,a (tebusan emas), dalam keluarga perempuan dianggap mahkota keluarga yang harus dengan sempurna untuk melakukan pelayananya kepada kaum laki-laki karena telah ditebus dengan nilai benda tertinggi dalam masyarakat Nias Barat.

Dengan demikian dalam makna tebusan emas, perempuan dilambangkan sebagai perekat kekerabatan antara keluarga laki-laki dang keluarga perempuan yang diantarai oleh kesepakatan bõwõ dalam pesta pernikahan. Sebutan perempuan sebagai bõli gana’a atau si nõwu gana’a, melalui transaksi bõwõ, perempuan dilabelkan sebagai benda yang dapat diperjual belikan melalui hasil kesepakatan antara dua keluarga. Hal ini dikatakan Rokhmansyah bahwa dalam budaya Patriarkhi perempuan sering dirugikan untuk memenuhi kekuasaan laki-laki.47 Pelabelan sebagai bõli gana’a atau si nõwu gana’a, terhadap perempuan setelah menikah dikonstruksikan untuk mengokohkan kekuasaan laki-laki dan juga keluarga mertuanya.

Postinus mengungkapkan, perempuan yang hendak menjadi istri dari seorang laki-laki dalam keluarga dianggap sebagai benda mati, yakni emas.48 Melalui posisi perempuan sebagai bõli gana’a atau si nõwu gana’a, laki-laki memiliki zona nyaman dan dapat mempertahankan posisinya sebagai yang berkuasa atas perempuan. Dengan adanya kesepakatan bõwõ, Dia melanjutkan bahwa seorang istri dalam keluarga setara dengan komoditas atau barang dagangan dan orang tua sebagai penjual putrinya. Dalam makna sebagai beli

46 T. G., Ketua Adat Õri Ulu Moro’ õ, hasil wawancara. 14 Mei 2021.

47 Alfian Rokhmansyah, Pengantar Gender & Feminis, Samarinda: Garudhawaca, 2016, 24.

48 Postinus Gulo, Böwö dalam perkawina di Nias Barat, 89.

(19)

gana’a perempuan dikonstruksikan dalam lakhõmi laki-laki dan dikurung dalam tidaksadaran untuk mengenal dan mengakui haknya sejajar dengan laki- laki dalam dalam keluarga, dengan makna bõli gana’a, perempuan ditundukkan sepenuhnya dibawah kuasa mertuanya dan juga suaminya.

Penuturan U.Z. bahwa dirinya sebagai yang sudah dibeli, harus memiliki tingkah laku sebagai bõli gana’a. Misalnya, pada saat selesai pesta nikah, seluruh pakaian dan perhiasannya dibagikan kepada keluarga suaminya. Selain itu, tiga tahun awal pernikahan sering mengalami kekerasan visual dan mental dari keluarga dan suaminya disebabkan oleh banyaknya utang pada saat pesta pernikahan.49 Perempuan di Nias Barat dengan label yang dibeli dengan tebusan emas, memberinya pengalaman yang mendalam untuk tunduk sepenuhnya terhadap yang membelinya. Label diri perempuan sebagai yang dibeli, memberi refleksi pengalaman dirinya dengan menganggap sebagai milik dari tuannya. Pengalaman sebagai yang dibeli, menyebabkan mengonsepkan diri dan pemikiran bahwa dirinya layak disebut sebagai yang dikuasai.

Dikuasai dalam arti menghilangkan ambisinya berperan sama seperti laki-laki, menerima dengan damai jika diperlakukan sebagai subordinasi, dirinya menganggap memiliki kelainan jika menuntut keadilan, dirinya menganggap aib jika memberitahu publik bahwa ia mengalami kekerasan, penurut dan diam adalah menganggap sifat yang ideal.

Perempuan sebagai Ana’a Zatua (harta ayahnya), anak perempuan dibentuk dan diasah berdasarkan kebutuhan orang tua yang menganggapnya

49 U.Z. (nama Disamarkan), perempuan Nias Barat, hasil wawancara, 12 Februari 2021, pkl 13.00.

(20)

sebagai harta. Jajang Sonjaya mengartikannya bahwa perempuan dipekerjakan dengan keras dan dijaga dengan hati-hati (bapak, abangnya, adiknya dan pamannya).50 Dijaga selain berarti melindungi namun ada arti yang lebih dalam lagi yaitu, perempuan dijaga supaya tidak melakukan hal-hal yang melanggar peraturan yang berlaku, misalnya, hamil di luar nikah. Jika seorang perempuan hamil diluar nikah maka, böwö (mahar) dari si perempuan tidak lagi sama besarnya dengan perempuan yang tetap menjaga dirinya dalam tatanan masyarakat. Oleh karenanya, perempuan dijaga agar keluarganya dapat menerima böwö selayaknya ketika pesta pernikahan.51

Menurut pemahaman A. F. Zebua, dalam budaya patriarkhi, ayah menjadi pimpinan dalam menentukan kehidupan perempuan dalam keluarga. Berkaitan dengan bõwõ, kaum laki-laki dari pihak perempuan meminta sebuah pengorbanan materi dari keluarga laki-laki yang melamar kaum perempuan.52 Dalam kesadaran menyebut bahwa bõwõ yang diminta oleh keluarga pengantin perempuan merupakan transaksional menjual anak perempuan, hal ini sepadan dengan filosofi anak perempuan sebagai ana`a zatua. Sebagai ana’a zatua, anak perempuan tidak berhak menentukan pasangan hidupnya dan juga bõwõ dalam melangsungkan pernikahan. Alasannya adalah anak perempuan merupakan milik laki-laki sehingga apapun yang dilakukan terhadapnya, anak perempuan harus tetap menjadi sebagai ana’a zatua.

50 Jajang A. Sonjaya, Melacak Batu Menguat Mitos, Yogyakarta: Kanisius, 2008, 103-104.

51 Postinus gulo, Böwö dalam Perkawinan Öri Moro’ö Nias Barat, bandung: Umpar Press, 2015, 88-89.

52 A.F. Zebua, Ketua Adat õri Badalu, hasil wawancara 12 Juni 2021.

(21)

Dalam posisinya sebagai ana’a zatua, tidak hanya terletak pada “bõwõ”

yang diterima oleh orang tua saat pernikahan anaknya, tetapi yang menjadikan perempuan sebagai ana’a zatua adalah perannya dalam mendorong dan menyokong perekonomian keluarga melalui tenaganya. Anak perempuan tidak didorong untuk sekolah, supaya mengabdikan diri dan tenaganya untuk membangun perekonomian keluarga. Moore menyebut bahwa perempuan- perempuan menjadi pembantu atau bahkan budak dalam keluarga, namun bila dilihat dalam konteks Moore bahwa yang dimaksud dengan kepala pembantu atau budak dalam keluarga adalah para perempuan-perempuan dewasa atau istri yang memiliki segudang pekerjaan namun tidak mendapat bayaran.53 Dalam memaknai lakhõmi di Nias Barat, perempuan bukanlah kepala pembantu melainkan pelayan dan pekerja. Perempuan dalam keluarga yang diwajibkan bekerja di sawah, mengurus ternak (mengambil makanan babi dan memberi makan babi), berkebun. Bersama dengan ibu dan ayahnya bekerja untuk membangun perekonomian semakin mapan, maka harta menujukkan lakhõmi ayahnya dalam sosial masyarakat, namun di saat perempuan menikah, orang tua bersama keluarga besar mengambil bõwõ (emas kawin) sesuai dengan strata sosial ayahnya.

Menurut penuturan T.G., dalam penentuan bõwõ tanpa keterlibatan perempuan dimaknai sebagai lakhõmi ayah perempuan dan juga kerabatnya laki- laki.54 Seperti yang sudah dijelaskan di bab tiga bahwa seluruh rangkaian yang dialami oleh perempuan dalam hidupnya dimaknai sebagai pemenuhan lakhõmi

53 Moore, Feminism AndAntropology,

54 T. G., Hasil Wawancara, Salasa 15 Mei 2021.

(22)

laki-laki dalam status sosial. Penentuan bõwõ dipengaruhi oleh harta dan jabatan (strata sosial) orang tua yang telah dibangun bersama, namun tidak diwariskan kepada anak perempuan, karena ada anggapan bahwa perempuan akan mendapatkan segalanya di rumah keluarga suaminya.

Pengalaman perempuan dengan label sebagai harta orang tua, menyebabkan memiliki sifat kurang berminat dalam meningkatkan kemampuan berpikir dan lebih tertarik pada keterampilan motorik, mengalah, kerap ditinggalkan dalam mengambil keputusan, rendah diri, bermental sebagai makhluk dependen. Pengalaman konkrit ini, telah menjadi konsep abstrak diri perempuan di Nias Barat yang terus merefleksikan diri. Akibatnya, kutukan baginya jika menuntut haknya sebagai anak yang sama derajatnya dengan laki- laki.

Pengalaman perempuan sebagai pelayan, pemelihara rumah, dibeli dengan tebusan emas, dan harta orang tua, mengakibatkan konsep diri perempuan dianggap lebih lemah dibanding dengan laki-laki, dari data badan statistik kabupaten Nias Barat menujukkan kesenjangan antara laki-laki dan perempuan. Bias kesenjangan konsep diri perempuan menyebabkannya tertinggal diberbagai kesempatan. Perempuan sebagai individu mengosepkan diri menerima dengan lapang dada ketika diperlakukan berbeda/lebih rendah dibanding dengan laki-laki, baik sebagai saudara maupun sebagai suami.

Konsep diri sebagai individu diajar dan dibentuk lebih mengalah kepada laki- laki. Dalam konteks yang ekstrim kekerasan fisik dan mental dianggap wajar jika diberlakukan kepadanya (perempuan).

(23)

Perempuan dalam konsep keluarga memiliki posisi sebagai yang kuasai oleh laki-laki. Efentinus mengatakan perempuan dalam keluarga tidak terlibat dalam mengambil keputusan maupun dalam menentukan hidup dan masa depannya.55 Kelahiran anak laki-laki, maka baginya diberi julukan sebagai

“fangali mbȍrȍ zisi fangali mbu’u kawongo (seorang pewaris dan penerus keluarga), sementara bila seorang anak perempuan yang lahir, maka baginya diberi julukan ana’a zatua atau famakhai zitenga bȍ’ȍ (harta keluarga dan penghubung /pemersatu dengan keluarga atau desa yang lain). Nama atau julukan tersebut adalah harapan-harapan keluarga yang didalamnya disertai konstruksi perilaku bagi masing-masing pribadi berdasarkan jenis kelaminya.

Jenis kelamin seseorang sangat menentukan perlakuan orang lain terhadap dirinya sekaligus kedudukanya dalam sebuah keluarga.

Posisi perempuan sangat identik dengan pribadi yang bertugas pemelihara rumah tangga56 dan terkait dengan harta. Bila seorang ibu mengandung dan melahirkan anak perempuan maka, julukan untuk bayi adalah ana’a zatua (emas keluarga), itulah sebabnya sejak kecil sampai besar, perempuan sangat di jaga57 dengan tujuan agar harta itu jangan sampai tercemar dan hilang “dicuri orang”. Karena perempuan identik dengan harta, maka seorang perempuan dalam keluarga tidak memiliki hak (hak harta warisan), tidak memiliki hak

55 Efentinus Ndruru, Perempuan dan Adat Perkawinan (Studi tentang Marginalisasi Perempuan dalam Jujuran Adat Istiadat Perkawinan di Nias), Jurnal Community, 3 (1), April 2017, 50-58.

56 F.A. Yana Zebua, Sumber-sumber Kebudayaan Tradisional Ono Niha, (Gunungsitoli:1985), 265

57 S.W., Mendrofa, Tingkatan Dan Proses Hukum Tradisional Ono Niha, Sejak Manusia Itu Lahir Sampai Menikah—Berumah Tangga, (Gunungsitoli, 1992), 2-3

(24)

bersuara, baik saat masih muda maupun setelah menikah (dirumah orang tuanya dan dirumah suaminya).

Perempuan dalam konsep masyarakat identik dengan pemilahara rumah, dibeli dengan emas dan harta, menyebabkannya tidak memiliki kemampuan untuk memimpin baik diadat maupun dalam pemerintahan. Konsep diri sebagai yang lebih rendah derajatnya dibanding dengan laki-laki menyebabkan perempuan tidak memiliki kesempatan untuk berjuang diakibatkan konsep diri perempuan berada pada posisi yang diatur. Data BPS Kabupaten Nias Barat pada tahun 2020 menujukkan kesenjangan antara laki-laki dan perempuan diranah publik, perbandingan sex ratio jika ada 100 perempuan, maka ada 91 atau 92 laki-laki. Penduduk Nias Barat mayoritas yang petani sekitar 74,91%

dan 25,09% terdiri dari PNS, DPRD, wiraswasta. PNS sebanyak 1734, laki-laki 1057 jiwa dan perempuan 677 jiwa. DPRD sebanyak 20 orang, 18 orang atau 90% laki-laki dan 2 orang atau 10% perempuan.58 Dari data perbandingan jenis kelamin secara jumlah perempuan lebih banyak dibanding laki-laki, namun sumber daya manusia yang dimiliki oleh perempuan sangat rendah, hal ini dapat dilihat mulai dari pegawai negeri sipil hingga ke dewan perwakilan rakyat. Artinya minat dan perjuangan perempuan sangat jauh tertinggal dibanding dengan laki-laki. Dari hasil BPS Sumatera Utara dalam pembangunan manusia berbasis gender dari 2010-2021 memuat bahwa di

58Kabupaten Nias Barat dalam Angka,

ttps://www.northsumatrainvest.id/data/pdf/publication/Kabupaten Nias Barat Dalam Angka 2020.pdf. Diakses, Jumat 21 Mei 2021.

(25)

Kabupaten Nias Barat berdasarkan pendidikan antara laki-laki dan perempuan memiliki presentase, laki-laki 8,18% sedangkan perempuan 5,70 %.59

Konsep perempuan baik sebagai individu, keluarga dan masyarakat tidak memiliki posisi yang penting. Perempuan Nias menurut tradisi bahwa nenek moyang ono niha yang turun ke tanõ niha (daerah Nias) adalah laki-laki, oleh karena itu yang meneruskan generasi adalah laki-laki sekaligus dari seluruh tanggung jawab. yang menaikkan status sosial (bosi) dalam keluarga dan masyarakat Nias Barat untuk mencapai kuasa, wibawa dan kedudukan yang lebih tinggi adalah laki-laki bukan perempuan. Laki-laki dengan nama keluargalah yang melaksanakan pesta adat yang disebut owasa (Pesta Adat Besar) misalnya pemberian gelar Balugu, perempuan dari keluarga raja hingga rakyat jelata hanya duduk sebagai pelengkap yang menjadi pemimpin dalam mengambil keputusan dalam masyarakat Nias Barat mulai dari keluarga sampai pada kesatuan masyarakat yang terbesar adalah laki-laki.

Dari realitas yang penulis paparkan dilatar belakang masalah, perempuan mengonsepkan berbagai pengalaman yang membentuk esensi dan struktur pengalamanya baik sebagai individu, kelompok dan sosial, dan diwariskan turun temurun kegenerasi berikutnya. Pengalaman perempuan khususnya di Nias Barat yang dikonstruksi melalui lakhömi, dan identitasnya sebagai perempuan menjadikannya kehilangan identitas setara dengan laki-laki.

Ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan menurut Moore diakibatkan

59Analisis pembangunan manusia berbasis gender 2010-2021 https://sumut.bps.go.id/publication/download.html?nrbvfeve=Y2U2NWFiZGY3NmU2ZjkwMzU3ZT EyYzEz&xzmn=aHR0cHM6Ly9zdW11dC5icHMuZ28uaWQvcHVibGljYXRpb24vMjAyMi8wNi8yM C9jZTY1YWJkZjc2ZTZmOTAzNTdlMTJjMTMvYW5hbGlzaXMtcGVtYmFuZ3VuYW4tbWFudXNpYS 1iZXJiYXNpcy1nZW5kZXItcHJvdmluc2ktc3VtYXRlcmEtdXRhcmEtMjAyMS5odG1s&twoadfnoarfea uf=MjAyMi0wOC0xMCAxMToyNToxOQ%3D%3D, diakses 09 Agustus 2022.

(26)

oleh pengontrolan yang sangat ketat dari yang dominan sehingga yang dikuasai menjadi bungkam dan mengukur ekspresinya berdasarkan struktur yang dominan.60

Lebih lanjut Moore mengatakan kebungkaman ini diakibatkan oleh realitas pengalaman yang dialami secara berkesinambungan dimana dunianya terhalangi kebebasan berekspresi yang akhirnya membentuk pemahamannya berdasarkan model dari kelompok yang dominan.61 Kenyataan ini, telah dikonstruksikan dalam pikiran dan tindakan perempuan sejak kecil dengan semua aspek senantiasa lebih rendah derajatnya dibanding laki-laki. Ketika masih anak-anak dan remaja ia hanya dianggap sebagai harta dan pekerja untuk memenuhi lakhömi ayahnya, setelah menikah dimaknai sebagai yang dibeli dan tebusan emas untuk memenuhi lakhömi suami dan mertuanya, dan pada masa tua maupun mati, ritual kematiannya tergantung pada anak-anaknya laki-laki.62 dengan pegawai negeri sipil (PNS), perempuan 1/3 dari jumlah laki-laki.63

Menurut Berger dan M. Fakih selaras dengan pemahaman Irwan Abdulah, mengatakan bahwa konstruksi sosial hadir untuk menguatkan tatanan yang dikostruksi oleh masyarakat melalui aktivitas dan menciptakan kekuasaan sesuai dengan keadaan dimana ia berinteraksi.64 Nunuk menegaskan bahwa manusia belajar dari hidup dan mempertahankan hidup melalui peraturan-

60 Henrietta L Moore, Feminisme & Antropolofi, diterjemahkan oleh Tim proyek studi gender FISIP-UI, Jakarta: Obor Indoensia, 1998, 12.

61 Henrietta L Moore, Feminisme & Antropolofi, 13.

62Bambowo, Laiya, Solidaritas kekeluargaan dalam salah satu masyarkat desa di Nias- Indonesia, Yogyakarta: UGM, 1983, 40.

63Nias Barat dalam Angka 2020,ttps://www.northsumatrainvest.id/data/pdf/publication/Kabupaten Nias Barat Dalam Angka 2020.pdf. Diakses, Jumat 21 Mei 2021.

64 Berger, Peter L dan Luckman, The Sosial Construction, of Reality, Garden City: dobleday, 1996.; Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014, 9.; Irwna Abdulah, penelitian berwawasan gender dalam ilmu sosial, Jurnal Humaniora, volume 15, Oktober 2003, 265-275.

(27)

peraturan yang melahirkan ideologi yang membentuk satu konsep ide. Ide inilah yang kemudian individu dan kelompok mengggunakanya untuk mengonstruksi pribadinya dalam keluarga, sosial dan politik.65

David A. Kolb mengungkapkan bahwa individu dalam membentuk pengalamannya dapat diperoleh melalui pengalaman konkret berulang-ulang dialami baik sebagai individu maupun sebagai bagaian dari kelompok sosial.

Berdasarkan pengalaman konkretnya, individu mengonsepkan identitas dirinya dan memberi makna.66 Melalui pengalaman konkretnya, perempuan di Nias Barat diindikasikan ada ideologisasi dalam memaknai lakhőmi secara konstruksi sosio-kultural. Situasi demikian, membutuhkan kesadaran bersama antara perempuan dan laki-laki, dalam merekayasa transformasi pemikiran perempuan sebagai individu, keluarga, dan masyarakat.

Pengalaman adalah subjek pengetahuan seseorang yang terlibat secara aktif dengan dunia yang takkan terpisah darinya. Pengalaman yang dialami, sebagaimana realitas terwujud didalamnya baik yang dialami individu maupun kelompok.67 Riyanto mengatakan bahwa pengalaman tidak hanya cara pandang yang diasumsikan berdasarkan objek tetapi interpretasi yang dilakukan berdasarkan pemaknaan subjektif oleh tindakan dan sifat yang dimunculkan dalam pengalaman sehari-harinya.68 Wirawan dengan mengutip Schutz (1967),

65 A. Nunuk, P. Murniati, Getar Gender perempuan Indonesia dalam perspektif agama, budaya dan keluarga, Magelang: Indonesia Tera, 2004, hlm. 78.

66 Alice Y. Kolb dan David A. Kolb, Experiential Learning Theory: A Dynamic, Holistic Approach to Management Learning, Education and Development, Weatherhead School of Management Case Western Reserve University, 2008, 5.

67 Edmund Husserl dalam buku Donny Graha Ardian, Pengantar Fenomenologi, Depok:

Koekoesan, 2010, 6.

68 E. Armada Riyanto, 2018, Fenomenologi dalam Penelitian Sosial, Jakarta: PRRNADA MEDIA GROUP, 128

(28)

beranggapan bahwa dunia sosial keseharian merupakan fenomena yang diperlihatkan oleh individu didasari dengan refleksinya terhadap pengalaman yang transendental dalam memaknai dirinya.69 Hal ini, menurut Ekeke & Cike dengan mengutip Husserl mengatakan bahwa budaya tidak hanya membangun pengalaman yang terlihat, tetapi dibalik realitas yang tampak ada struktur dan esensi pengalaman subjek yang dibentuk secara terulang dan menjadi identitasnya baik secara pribadi, kelompok dan sosial.70 Selanjutnya, subjek dalam memaknai pengalamannya diorganisir secara bersama melalui proses tipifikasi. Berdasarkan tipifikasi pengalamannya, subjek merefleksikan tindakan yang sesungguhnya untuk mengonsepkan diri.

Perempuan merupakan salah satu subjek yang membangun struktur pengalamannya berdasarkan dimana ia berinteraksi. Melalui struktur pengalaman perempuan memuat presepsi, gagasan, memori, imajinasi, emosi, hasrat, kemauan, keluhan hingga ke tindakan. Menurut Ekeke & Cike dengan mengutip Husserl mengatakan dalam budaya patriarkhi, perempuan tidak hanya membangun pengalaman, struktur dan esensi pengalamannya dengan apa yang kelihatan melainkan ada makna yang dibentuk dibalik realitas kenyataan sosial secara terstruktur.71 Hal ini, menurut Berger ketika individu telah dibentuk sebagai pribadi, dengan suatu identitas yang dikenal secara subjektif dan objektif maka, individu dapat membentuk struktur

69 I.B. Wirawan, Teori-Teori Sosial dalam Tiga Paradigma, Fakta sosial, Definisi Sosial,

&Perilaku Sosial, Jakarta: Prenada Media, 2012, 134.

70 Emeka C. Ekeke & Cike Ekeopara, Phenomenological Approach to the Study of Religion: A Historical Perspective, European Journal of Scientific Research, Vol.44 No.2 (2010), 266-274

71 Emeka C. Ekeke & Cike Ekeopara, Phenomenological Approach to the Study of Religion: A Historical Perspective, European Journal of Scientific Research, Vol.44 No.2 (2010), 266-274

(29)

pengalamannya berdasarkan apa yang labelkan padanya.72 Nunuk menegaskan bahwa manusia belajar dari hidup dan mempertahankan hidup melalui peraturan-peraturan yang melahirkan ideologi yang membentuk satu konsep ide. Konsep ideologi berdasarkan struktur pengalaman hidup perempuan membentuk dan mengarahkannya untuk bertindak.73 Kolb lebih lanjut mengatakan bahwa individu akan mengonsepkan diri melalui realitas yang dialaminya dan membentuk struktur pengalamannya yang tercermin berdasarkan tindakannya baik sebagai pribadi maupun sosial.74

Menurut David Kolb pengalaman adalah proses pengalaman konkret pribadi baik sebagai laki-laki maupun perempuan melalui pengamatan observasi terhadap peristiwa dan direfleksikan berdasarkan konstruksi yang menghasilkan konseptualisasi abstrak. Hasil konseptual absrak, individu membentuk konsep yang menghasilkan esensi pengalamannya. Dari hal itulah, individu akan bertindak dan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga menjadi pengalaman konkret.75

Selanjutnya Kolb mengatakan bahwa pengalaman individu yang menjadi konsep akan menjadi pelangalaman kelompok dan dari kelompok akan menjadi sosial.76 konsep pengalaman yang telah menjadi sosial secara konkret akan menjadi pengalaman aktif yang melalui konsep diberi makna dan dilakukan

72Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 1997), 9.

73 A. Nunuk, P. Murniati, Getar Gender perempuan Indonesia dalam perspektif agama, budaya dan keluarga, Magelang: Indonesia Tera, 2004, hlm. 78.

74Alice Y. Kolb dan David A. Kolb, Experiential Learning Theory: A Dynamic, Holistic Approach to Management Learning, Education and Development, Weatherhead School of Management Case Western Reserve University, 2008, 11.

75Alice Y. Kolb dan David A. Kolb, Experiential Learning Theory: A Dynamic, Holistic Approach to Management Learning, Education and Development, 7-8.

76 Alice Y. Kolb dan David A. Kolb, Experiential Learning Theory: A Dynamic, Holistic Approach to Management Learning, Education and Development, 12.

(30)

secara berkelanjutan sehingga membentuk struktur dan esensi pengalaman yang dimulai dari pribadi kemudian menjadi pengalaman kelompok, dan kemudian menjadi pengalaman sosial. Suatu peristiwa yang telah menjadi pengalaman sosial dan akan disebut sebagai aksi atau suatu peraturan mutlak, dimana suatu pengalaman tersebut akan menjadi pedoman tata kehidupan masyarakat. Kolb menerangkan dalam proses mengalami peristiwa seseorang dipanggil untuk bergerak bolak-balik antara model refleksi dan tindakan yang berlawanan terhadap perasaan dan pemikiran. Hal ini yang menyebabkan individu bertindak sesuai dengan pengalamannya tersebut.77

Struktur pengalaman adalah pengaturan, elemen, dan unsur-unsur yang terorganisisr pada pengalaman individu yang menghubungkannya memaknai tatanan sosial dalam kehidupan masyarakat yang dinampakkan melalui pola perilakunya.78 Riyanto mengatakan bahwa struktur pengalaman tidak hanya cara pandang yang diasumsikan berdasarkan objek tetapi interpretasi yang dilakukan berdasarkan pemaknaan subjektif oleh tindakan dan sifat yang dimunculkan dalam pengalaman sehari-harinya.79 Atau dengan kata lain, sebagai abstraksi tindakan individu atau kelompok dalam proses pengalaman konkret.80

Struktur pengalaman mengarahkan perhatian seseorang keaspek pengalaman yang ditangkap agar dianggap relevan. Pengalaman seseorang adalah proses sekunder untuk mewakili aspek-aspek tertentu dari realitas yang

77 Alice Y. Kolb dan David A. Kolb, Experiential Learning Theory: A Dynamic, Holistic Approach to Management Learning, Education and Development, 10.

78 Michael Jibrael Rorong, Fenomenologi, Sleman: Deepublish, 2020, 17.

79 E. Armada Riyanto, 2018, Fenomenologi dalam Penelitian Sosial, Jakarta: PRRNADA MEDIA GROUP, 128

80 Soerjono Soekanto, Kamus Sosiologi, Jakarta: CV. Rajawali, 1983, 351.

(31)

ditangkap. Melalui proses struktur pengalaman secara kritis mampu memilih dan membentuk kembali pengalaman yang dipahami dengan cara yang lebih kuat dan mendalam. Kekuatan pengalaman dalam memaknai tindakanya mengarah pada penemuan cara-cara baru dalam melihat dunia, yang erat kaitannya antara pikiran dan realitas untuk memaknai tindakan sosial.

Intesionalitas perilaku perempuan yang terstruktur dalam memaknai lakhömi mengarahkan bagian integral pada kesadaran dengan menghubungkan data dengan objek. Menurut Donny dengan mengutip Husserl “pengarahan intesionalitas menujukkan adanya struktur untuk menjelaskan pengalaman perempuan yang diintegrasikan secara objektif oleh peneliti”.81 Melalui struktur pengalaman perempuan memuat presepsi, gagasan, memori, imajinasi, emosi, hasrat, kemauan, keluhan hingga ke tindakan baik dalam bentuk sosial maupun dalam bentuk bahasa yang menganalisis struktur pengalaman perempuan tentang sesuatu objek.82

Struktur pengalaman individu dibentuk dan diarahkan berdasarkan apa yang dicirikan kepadanya dalam masyarakat dan disebut sebagai esensi dari pengalaman ketika telah mengalami pencapaian refleksi dari struktur pengalamannya. Dengan demikian individu bertindak bukan sebagai dirinya sendiri melainkan berdasarkan struktur pengalamannya dalam kelompoknya.

Hal ini, menurut Farid telah dibentuk secara struktural dalam diri individu yang dianggap lemah dan mudah dikuasai dalam masyarakat.83 Schutz mengakui

81 Donny Gahral, 2010, Pengantar Fenomenologi, Depok: Koekoesan, 31.

82 Engkus Kuswarno, Fenomenologi, Konsep, pedoman, dan contoh penelitian, Bandung:

Widya Padjadjaran, 2009, 22.

83Mohamad Farid, Fenomenogi dalam Penelitian Ilmu Sosial, Jakarta: Prenamedia Group, 2018, 127.

(32)

bahwa kekuatan penggerak dibalik tindakan individu memaknai dirinya merupakan konstruksi sosial mengenai realitas dan direfleksikan melalui tindakan baik sebagai pribadi maupun kelompok sosial. Struktur pengalaman individu menentukan refleksi tindakan dalam proses berkesinambungan yang mengahsilkan esensi pengalaman pribadi hingga ke jenjang sosial.

Keberlangsungan kehidupan sehari-hari (durèe of day to day life) mengalir sebagai arus tindakan disengaja. Namun, tindak-tindak memiliki konsekuensi yang tidak disengaja. Konsekuensi tidak disengaja bisa secara sistematis memberikan umpan balik untuk menjadi konsep bastrak dari tindakan-tindakan selanjutnya.84

Esensi adalah suatu hal yang mendasar dan paling bermakna dalam suatu tindakan, atau pengalaman seseorang.85 Menurut David Kolb pengalaman langsung adalah tindakan perhatian, penilaian, dan penegasan dengan analisis tidak memihak, dan skeptisisme.86 Pengalaman konkret secara empiris, memahami realitas melalui proses pemahaman langsung, dan konseptualisasi rasionalis, untuk menangkap realitas melalui proses pemaknaan diri individu berdasakan pengalamannya. Schutz & Luckman mengatakan bahwa pengalaman individu “suatu proses sosialisasi kesadaran yang unik”, unik

84 Anthony, Giddens, Problematika Utama dalam Teori Sosial; Aksi, Struktur, dan Kontradiksi dalam Analisis Sosial, 3.

85 Agung Triharta & Eko Sujatmiko, Kamus Sosiologi, Surakarta: Sinergi Media, 2012, 246- 247.

86 David A Kolb, (1984) Experiential Learning Experience as the Source of Learning and Development, (second edition), United States of America, 204.

(33)

karena individu akan terjebak dalam dunia pengalamannya untuk menentukan tindakan sosialnya.87

Esensi pengalaman perempuan dalam memaknai lakhömi merupakan isi penting yang muncul dari kesadaran manusia atas refleksi diri berdasarkan pengalaman konkretnya yang kemudian dikonsepkan dalam tindakannya.

Individu melalui pengalaman konkretnya mengonsep diri dengan membentuk struktur pengalaman dan kemudian merefleksikan diri yang menghasilkan esensi pengalamannya dan dari hasil refleksi itulah individu bertindak secara berkelanjutan.88

Memaknai sesuatu merupakan isi penting yang muncul dari kesadaran manusia untuk mengidentifikasi makna yang esensi dari kesadaran manusia.

Esensi pengalaman individu memberi dasar dalam memaknai sesuatu dimasa depan, sehingga apa yang dialami dalam setiap peristiwa ada makna kesadaran untuk menemukan hakikat pengalaman sebagai konsep pembelajaran selanjutnya. David Kolb mengatakan pengalaman individu akan menentukan konsepsi, presepsi dan penilaian individu, untuk memaknai tindakan secara sosial.89 Dari sini dapat disimpulkan bahwa pengalaman adalah pengetahuan pribadi individu secara langsung yang diperoleh melalui pengalaman konkret secara pribadi dan sosial dan dikonsepkan diri untuk berefleksi yang kemudian menjelaskan dan membimbing tindakan individu baik sebagai pribadi maupun

87Alfred Scutz & Thomas L, The Struktur of the life-word, IL: North Western University Press, 1973, 243&264.

88 Alice Y. Kolb dan David A. Kolb, Experiential Learning Theory: A Dynamic, Holistic Approach to Management Learning, Education and Development.

89 David A Kolb, Experiential Learning Experience as the Source of Learning and Development, xi.

(34)

sebagai kelompok sosial. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa tindakan sosial individu dipengaruhi oleh pengalamannya berinteraksi di masyarakat.

Untuk mengidentifikasi makna struktur dan esensi dari pengalaman konkret, peneliti dengan mendalam melakukan analisis pengalaman konkrit sebagaimana yang di alami secara ideal dari objek-objek sebagai korelasi kesadaran perempuan dalam memaknai lakhömi.90 pengalaman konkrit perempuan memberi dasar refleksi dalam memaknai lakhömi yang menghasilkan konsep abstrak yang membentuk struktur dan esensi pengalaman tindakan baik sebagai pribadi maupun sebagai kelompok, sehingga apa yang tampak dari objek yang diteliti ada makna kesadaran untuk menemukan hakikat pengalaman dengan penundaan asumsi tentang kenyataan untuk memunculkan esensi pengalaman objek.

Berdasarkan uraian tersebut, Penelitian ini menempatkan pada aspek realitas, kesadaran dan makna sebagai refleksi konsep diri perempuan dalam masyarakat menghasilkan struktur dan esensi pengalaman perempuan dalam memaknai lakhömi. Posisi penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang mengangkat tema fenomena struktur dan esensi pengalaman perempuan dalam memaknai lakhömi dalam masyarakat baik dalam keluarga, adat isitiadat, sosial dan budaya.

Struktur dan esensi pengalaman perempuan dalam memaknai lakhömi, menekankan konsep diri perempuan sebagai objek penelitian dengan menempatkan pemaknaan lakhömi sebagai salah satu alasan perempuan

90 Armada Riyanto, Fenomenologi dalam penelitian sosial, Jakarta: Prenada Media Group, 2018, 109

Referensi

Dokumen terkait

1) Pencegahan dan penindakan kekarantinaan kesehatan untuk menindaklanjuti hasil pemeriksaan ICV bagi calon jemaah haji/umroh yang tidak valid. Penindakan terhadap ICV

Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan hubungan antara defleksi lateral dan radial pada jenis tumpaun jepit-bebas, jepit-roll, dan jepit-jepit; sebuah

probability sebesar 0,0205 < alpha 0.05 maka keputusannya adalah Ho ditolak dan Ha diterima sehingga dapat disimpulkan bahwa return on asset berpengaruh negatif

Penggunaan air kelapa dalam sex reversal dengan lama perendaman 5 jam dan 10 jam efektif dilakukan pada ikan lele Masamo ( Clarias sp) yang barumur 7 hari setelah menetas dapat

Dimensi ini merupakan komponen emosional dari kepemimpinan (Antonakis dalam Northouse, 2013: 181). Pengaruh ideal mendeskripsikan pemimpin yang bertindak sebagai teladan yang

Berdasarkan hasil uji statistik Fisher’s Exact Test pada tabel 1 hubungan antara kondisi dasar kontainer dengan keberadaan jentik Aedes aegypti di peroleh p=

Teknologi proses yang banyak digunakan untuk pembuatan mikrosensor atau mikrodevices adalah silicon-based microfabrication yang dapat menghasilkan struktur yang berukuran

Determinan bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) di Kecamatan Sumberasih Tahun 2013 yaitu umur ibu ketika hamil, LILA ibu, dan keterpaparan ibu terhadap asap rokok