• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.2. Indikator Biologi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "2.2. Indikator Biologi"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kualitas Udara

Kualitas udara yang baik tidak hanya sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia tetapi penting juga bagi tumbuhan, hewan, tanah dan air (Ahmad et al., 2020). Menurut Rasyidah (2018) kualitas udara yang menurun selain dapat mempengaruhi kesehatan manusia juga dapat mempengaruhi kondisi tumbuhan secara fisiologis, sehingga menyebabkan adanya suatu tingkatan kepekaan, peka dan kurang peka (resisten) serta dapat menyebabkan perubahan lingkungan khusunya kualitas udara. Secara umum pemantauaan kualitas lingkungan khususnya kualitas udara merupakan bagian dari upaya penanggulangan dan pencegahan terhadap pencemaran lingkungan (Hadiyati, 2013).

2.2. Indikator Biologi

Ada bebrapa indikator dalam pemantauaan kualitas udara bisa melalui indikator kimia, fisika, biologi. Indikator biologi merupakan kelompok organisme yang saling berhubungan dan keberadaannya atau perilakunya sangat erat berhubungan dengan kondisi pada lingkungan tertentu. Hal ini dapat digunakan sebagai suatu petunjuk kualitas lingkungan atau uji kuantitatif. Efektif tidaknya suatu indikator yang digunakan dapat ditentukan melalui keterkaitan faktor lingkungan dan parameter biologis. Karakteristik parameter biologis yaitu komposisi jenis, tubuh yang terkontaminasi polutan dan gejala kerusakaan suatu organisme. Organisme yang dapat digunakan sebagi acuan atau petunjuk pencemaran dikenal sebagai indikator biologis (Husamah, 2019).

Indikator biologis adalah penggunaan suatu organisme baik dari suatu individu atau suatu kelompok organisme untuk mendapatkan suatu informasi terhadap kualitas sebagian serta seluruh lingkungannya. Menurut (Roziaty, 2016) indikator biologis yaitu suatu sepesies yang mempengaruhi faktor-faktor biotik dan abiotik di suatu lingkungan, sebagai suatu keterwakilan atau yang mewakili dari dampak perubahan lingkungan terhadap perubahan habitat, komunitas atau ekosistem yang mengindikasikan keragaman taksa atau keragam hayati secara

(2)

keseluruhan dalam suatu area. Suatu sepesies atau kelompok spesies secara cepat dapat menggambarkan suatu kondisi lingkungan dari sebuah habitat, ekosistem atau mengindikasikan keragaman dari kelompok takson, atau keragaman secara keseleruhan dalam suatu wilayah. Berbagai sepesies merespon pada sekala yang beragam dengan cara yang paling sensitif, sensitif dan yang tahan resisten seringkali dianggap sebagai indikator akumulasi.

2.2.1 Keuntungan Penggunaan Lichenes Sebagai Indikator

Lichenes memiliki peran yang sangat penting dalam kelestarian suatu ekosistem. Lichenes berperan sebagai supplier oksigen dan manfaat lainnya sebagai bioindikator pencemaran udara dan biomonitoring kualitas udara. Hal ini yang menjadikan lichenes memiliki peranan yang sangat penting dalam keseimbangan ekosistem lingkungan. Selain itu lichenes juga memproduksi metabolit sekunder yang banyak dimanfaatkan sebagai salah satu komponen obat- obatan (Parmelia sulcata) serta beberapa sepesies Usnea untuk obat batuk, Certaria islandica sebagai obat diabetes, penyakit paru-paru, katarak, antimutagenik, antibiotik dan sebagai bahan-bahan pembuatan kosmetik untuk kecantikan (Muvidha, 2020).

Menurut Husamah (2019) keuntungan penggunaan Lichenes sebagai bioindikator sebagai berikut:

1. Kebanyakan spesies Lichenes memiliki rentang geografis yang luas sehingga memungkinkan studi gradien populasi jarak jauh.

2. Morfologi Lichenes tidak berfariasi dengan akumulasi polutan yang dapat terjadi sepanjang tahun dan musim.

3. Usia lichenes biasanya berumur panjang.

4. Proses pertukaran air dan gas di seluruh thallus Lichenes membuat mereka sensitif terhadap polusi.

5. Lichenes tidak memiliki akar dan juga tidak memiliki akses ke sumber nutrien tanah dan bergantung pada endapan, atmosfer, rembesan air dipermukaan substrat dan sumber nutrisi lain yang sangat encer.

Dengan demikian, kandungan jaringan mereka sebagian besar mencerminkan sumber nutrisi di atmosfer dan kontaminasi.

(3)

6. Lichenes tidak memiliki jaringan pelindung atau jenis sel yang diperlukan untuk menjaga kadar air internal agar tetap konstan.

Kebanyakan Lichenes yang melewati beberapa tahap siklus pembasahan dan pengeringan selama sehari. Ketika Lichenes terhidrasi, nutrisi dan kontaminan menyerap ke seluruh permukaan Lichenes. Selama dehidrasi, nutrisi dan banyak kontaminan terkonsentrasi dengan diubah menjadi bentuk slow release, yaitu diserap ke dinding sel, tertutup di dalam organel atau mengkristal di dalam sel-sel.

Nutrisi dan polutan secara bertahap tercuci selama hujan lebat. Keseimbangan yang dinamis dengan demikian ada antara akumulasi atau pencemaran atmosif dan kehilangan atmosfir, yang membuat Lichenes menjadi suatu alat analisis yang sensitif dalam mendeteksi kualitas udara dalam suatu lingkungan. Jika dalam mendeteksi kualitas udara dalam suatu lingkungan yang dibandingkan dengan indikator fisika-kimia, penggunaan Lichenes sebagai bioindikator tidak mahal untuk digunakan dalam mengevaluasi polusi udara. Menurut Abas (2017) penggunaan Lichenes dan pembiakannya perlu dilakukan karena lichen dianggap sebagai agen pembersih gas pencemaran di udara dan dapat membersihkan bahan- bahan pencemar yang bebas di udara.

2.3 Lumut Kerak Lichenes 2.3.1 Definisi Lichenes

Lumut memiliki keragaman yang sangat luas di dunia ini, namun sedikit orang yang memperhatikan keragaman lumut (Jannah, 2019). Salah satu lumut yang jarang diperhatikan yaitu lumut kerak (Lichenes). Tumbuhan Lichenes merupakan salah satu tumbuhan perintis yang memiliki keanekaragaman yang cukup tinggi. Jumlah total spesies Lichenes di Indinoseia mencapai ± 17.000, namun belum banyak di eksplorasi keberadaanya, sehingga konservasinya dan pemanfaatannya belum maksimal (Muvidha, 2020). Ketika dilihat dengan sekilas lichenes setipe dengan tumbuhan lumut (Roziaty, 2016). Lichenes merupakan tumbuhan yang bersimbiosis antara fungi dan alga (Mulyadi, 2017). Simbiosis tersebut dalam bentuk mutualistik dan helotisme. Disebut simbiosis mutualistik karena alga memiliki klorofil untuk menyediakan energi melalui suatu proses fotosintesis dan jamur mengambil air serta mineral lainnya dari lingkungan.

(4)

Namun disebut holotisme yaitu pada awlanya menguntungkan tapi selanjutnya fungi bersifat parasit pada alga karena hanya fungi yang memiliki alat perkembangbiakan berupa badan thalus atau buah (Roziaty, 2016).

2.3.2 Klasifikasi Lichenes

Klasifikasi merupakan suatu proses pengaturan tumbuhan dalam tingkat tertentu berdasarkan ketidaksamaan dan kesamaannya. Pada dasarnya Lichenes diklasifikasikan ke dalam tumbuhan Thallophyta yang merupakan tumbuhan komposit dan perpaduan fisiologik dari dua makhluk hidup yaitu antara jamur dan alga (Ernilasari, 2015). Menurut Laksono (2016) klasifikasi Lichenes menurut cendawan yang menyusunnya dibedakan menjadi dua kelas sebagai berikut:

1. Kelas Ascolichenes

a. Pyrenomucetales yaitu menghasilkan tubuh buah berupa perisetum, yang dapat hidup bebas dan berumur pendek. Contonya seperti Dermatocarpon dan Verrucaria dengan klasifikasi sebagai berikut:

1. Dermatocarpon miniatum berbentuk bulat seperti piring spesies ini termasuk dalam tipe morfologi Foliose karena sifatnya yang tidak menempel erat pada substrat yang ditumbuhinya dan mudah dipisah.

(Sumber: Utami, 2019) 2. Verrucaria ningrescens

Verrucaria ningrescens termasuk dalam tipe morfoogi crustose karena sifatnya yang sulit dipisahkan dari substrat yang di tumbuhinya.

Gambar 2. 1 Dermatocarpon miniatum

(5)

(Sumber: Utami, 2019)

b. Discomycetes yang membentuk tubuh buah berupa aposetium.

Aposetium pada Lichenes berumur panjang yang bersifat seperti tulang rawan dan mempunyai akus yang berdinding tebal. Misanyal seperti Pamelia yang berupa lembaran-lembaran seperti kulit yang hidup pada batu-batu dan pohon-pohon dan Usnea berbentuk semak kecil dan banyak terdapat di pohon-pohon dalam hutan.

(Sumber: Utami, 2019)

(Sumber: Utami, 2019) 2. Kelas Basidiolichenes

Lichen ini memiliki talus yang memiliki lembaran-lembaran pada tubuh buah berbentuk lapisan himenium yang mengandung basidium yang sangat

Gambar 2. 2 Verrucia ningrescens

Gambar 2. 3 Parmelia Sulcata

Gambar 2. 4 Usnea australis

(6)

menyerupai tubuh buah hymenmycetales, Contohnya seperti Cora pavonia.

Lichenes dipisahkan dari fungi dan dijadikan suatu golongan yang berdiri sendiri. Berasal dari alga Mycophyceae dan jamur Basidiomycetes. Famili dari Basidiomycetes yaitu Thelephoraceae dengan tiga genus Corella, Cora dan Dyctionema. Mycophyceae berupa filament yaitu scytinema dan tidak berbentuk filamen yaitu Chrococcus.

(Sumber: Utami, 2019) 2.3.3 Morfologi Lichenes

Struktur morfologi Lichenes tidak memiliki lapisan kutikula, organ absorptif dan stomata di bagian luar sehingga memaksa Lichenes untuk bertahan hidup di lingkungan tercemar dan berpolusi (Fatimaturrohmah, 2020).

Kemampuan bertahan hidup di lingkungan tercemar dan berpolusi menjadikan lumut sebagai bioindikator (Valina, 2019). Struktur Lichenes memiliki warna yang bervariasi seperti hijau keabu-abuan, putih, oranye, coklat, kuning, hitam dan merah. Tubuh Lichenes antara lain Thallus, Isidia, Aphothecia, Pynicidia dan Rhizines. Tubuh Lichenes disebut dengan thallus yang tersusun atas hifa. Hifa ini sangat penting dalam proses identifikasi. Hifa adalah organ vegetatif dari thallus dan thallus merupakan bagian yang mirip dengan daun. Thallus memiliki fungsi sebagai tempat berlangsungnya proses fotosintesis. Thallus yang menyebar dan melengkung dari pusat tubuh Lichenes dinamakan dengan lobus (Muvidha, 2020).

Organ reproduksi aseksual pada tubuh Lichenes yang sukar dibedakan yaitu Isidia dan soredia. Isidia umumnya berukuran kecil seperti tanduk yang terletak pada permukaan thallus. Soredia merupakan ficobiont yang terlapis oleh hifa mycobiont yang nantinya akan pecah dan keluar dari thallus. Soredia yang

Gambar 2. 5 Cora Pavonia

(7)

keluar atau pecah dari thallusnya akan terbang dan jatuh ketempat baru di tempat yang sesuai dan soredia akan tumbuh menjadi Lichenes baru (Muvidha, 2020).

Menurut Handoko (2012) Lichen dikelompokan dalam empat tipe berdasarkan morfologi thallusnya sebagai berikut:

1. Thallus Crustosa yaitu dengan ukurannya bermacam-macam dengan bentuk thallus tipis, rata dan pada umumnya memiliki bentuk askokarp yang hampir sama (Handoko, 2012). Thallus Crustosa bentuknya mirip dengan cangkang yang permukaannya keras dan datar. Tumbuhan pada kulit batang pohon berbentuk seperti coret-coret kecil dan pada batang kayu yang sudah mati. Jenis tipe seperti ini susah untuk mencabutnya tanpa merusak substratnya. Jenis tallus tipe Crustosa contohnya seperti Pleopsidium, Caraspora, Graphis scipta dan Haematomma puniceum (Roziaty and Utari, 2017).

(Sumber: Hasanuddin, 2014)

2. Thallus Foliose yaitu antara bagian atas dan bagian bawah berbeda, yang membedakan warna bagian bawah lebih terang dan pada pada bagian tepi thallusnya biasanya menggulung ke atas (Handoko, 2012). Menurut (Roziaty & Utari, 2017) bentuk tallus tipe ini seperti daun dengan korteks atas dan bawah memiliki lapisan epidermal daun dan lapisan alga serta medulla mewakili mesofil. Seperti contohnya Parmelia sulcata, Xantoria elegans, Physcia apolia dan Peltigera malacea.

Gambar 2. 6 Haematomma accolens

(8)

(Sumber: Hasanuddin, 2014)

3. Thallus Fructicose yaitu thallus hanya menempati bagian dasar dan cakram bertingkat. Lichenes ini lebih menunjukan perkembangannya hanya pada cabang pohon, batu-batuan dan daun (Handoko, 2012).

Menurut (Roziaty & Utari, 2017) hidup thallus tipe ini bergelantungan di udara dan menempel pada pohon-pohon di pegunungan serta menempel pada substrat satu akar atau lebih. Memiliki struktur yang sama dengan jaringannya cenderung membentuk silinder, bukan lapisan hirizontal, tegan dan bercabang. Contohnya seperti Ramalina, Stenospora dan Usnea longissima.

(Sumber: Hasanuddin, 2014)

4. Thallus Squamulose yaitu memiliki struktur askokap disebut podetia dan tidak memiliki rhizin (Handoko, 2012). Menurut (Roziaty & Utari, 2017) bentuk thallusnya seperti neraca atau timbangan yang berbentuk dari banyak lubang-lubang kecil squamules dan juga memliki bentuk seperti crustose dengan pinggiran yang terangkat ke atas di tempat hidupnya.

Contohnya seperti Psora pseudorusselli dan Claodonia carneola.

Gambar 2. 7 Xantoria elegans

Gambar 2. 8 Ramalina stenospora

(9)

(Sumber : Hasanuddin, 2014) 2.3.4 Habitat Lichenes

Lichenes pada umumnya hidup pada ekosistem teristerial dan dapat tumbuh hidup di dataran rendah, pegunungan, pantai hingga dataran tinggi serta keberadaan suatu jenis Lichenes sangat bergantung pada inangnnya. Akan tetapi Lichenes tidak mengambil makanan dari organisme yang ditempelinya tetapi memanggil makanan di atmofer. Ada tidaknya suatu Lichen bergantung pada kelembaban atmosfir seperti kabut, hujan, dan embun yang dijadikan sebagai model pertumbuhan Lichenes. (Muvidha, 2020).

Syarat hidup Lichenes tidak membutuhkan syarat hidup yang tinggi, tahan terhadap suatu kondisi kekurangan air dalam jangka waktu yang cukup lama serta tahan terhadap terik. Jika keadaan cuaca panas lichen akan berubah warna seperti kekeringan namun tidak mati tetapi jika disiram hujan Lichenes akan hidup kembali (Putri, 2020). Kebanyakan Lichenes menyukai tempat kelembaban berkisar antara 40-69% sehingga kelembaban dan intesitas cahaya mempengaruhi pertumbuhan Lichenes (Muvidha, 2020).

Berdasarkan substrat tempat tumbuhnya, menurut Fithri (2017) lichenes dibagi menjadi 4 yaitu:

1. Komunitas Corticolous

Lichenes yang berkembang permukaan pohon, memiliki pertumbuhan Lichenes di permukaan pohon tergantung pada kestabilan pohon tersebut, PH, tekstur dan ketersediaan air. Permukaan yang kasar merangkap spora-nya atau diaspora vegetatif dan menyediakan kelembaban dalam waktu yang lama.

Menurut Murningsih (2016) jenis species ini terbatas pada daerah tropis dan Gambar 2. 9 Psora pseudorusselli

(10)

subtropis dan sebagian besar dalam kondisi lingkungan yang lembab. Jenis spesies yang tumbuh yaitu species foliose dan fruticose contohnya Usnea, Evernia dan Parmelia.

(Sumber: Fithri, 2017) 2. Komunitas Follicolous

Lichenes ini tumbuh pada kebanyakan daun yang terkena sinar matahari, licin, di bawah tegakan, di batas cahaya di dekat permukaan badan air dan berwarna hijau sepanjang tahun yang terletak di bagian luar kanopi pohon.

(Sumber: Fithri, 2017) 3. Komunitas Saxicolous

Lichenes yang tumbuh dan berkembang di substrat bebatuan dan jenisnya sangat tergantung tipe batu. Faktor tipe batu dan Ph yang penting dan bertanggung jawab atas permukaan koloni komunitas species Caloplecta, Aspicilia, Lepraria, Verrucaria dan Cystocoleus. Menempel pada substrat yang padat dan di daerah yang dingin. Menurut Murningsih, (2016) spesies yang termasuk di dalamnya seperti Caloplecta, Aspicilia yang tumbuh diatas permukaan batu akik. Spesies

Gambar 2. 10 Corticolous

Gambar 2. 11 Follicolous

(11)

Lepraria, komunitas Cystocoleus dapat di temukan di batu silika serta spesies Verrucaria dapat di temukan di permukaan batu silika.

(Sumber: Fithri, 2017) 4. Komunitas Tericolous

Lichenes yang tumbuh dan berkembang di permukaan halaman atau tanah dan seringkali membentuk komponen yang dominan pada vegetasi lahan biasa di lingkungan ekstrim. Komunitas ini semakin berkurang dari waktu ke waktu yang di akibatkan kegiatan manusia. Menurut Murningsih (2016) Lichen Tericolous tidak membutuhkan syarat-syarat hidup yang tinggi, tahan terhadap panas terik atau cuaca yang panas serta tahan dalam kondisi kekurangan air dalam jangka waktu yang lama. Ketika kondisi cuaca panas Lichenes akan berubah warna seperti kekeringan namun tidak mati dan jika di siram air maka Lichenes akan hidup kembali. Tumbuhan ini mampu dengan cepat menyimpan dan menyerap air dari banyak sumber maka memungkinkan bagi Lichenes untuk hidup di lingkungan yang keras seperti kutup dan gurun dan mampu hidup terpapar pada suatu permukaan yang datar, atap dinding dan material buatan manusia seperti logam, gelas dan lain-lainya.

(Sumber: Fithri, 2017) Gambar 2. 12 Saxicolous

Gambar 2. 13 Tericolous

(12)

2.3.5 Lichenes Sebagai Indikator Kualitas Udara

Lichenes sebgai organisme yang dapat dijadikan sebagai indikator kualitas udara, karena struktur morfologi Lichenes tidak memiliki kutikula, stomata serta organ absortif yang akan membuat Lichenes mampu mempertahankan hidup di bawah cengkaman polutan yang ada di udara dalam suatu lingkungan. Memilki permukaan thallus Lichenes yang sempit dan thallus yang tipis, sehingga menyebabkan penguapan yang terjadi sangat kecil dan dapat menghambat persediaan air. Morfologi Lichenes yang tidak memiliki kutikula sehingga Lichenes dapat menyerap gas dan partikel polutan secara langsung melalui permukaan talus (Muvidha, 2020). Meurut Husamah (2019) Lichenes sangat sensitif terhadap polusi di udara karena Lichenes tidak memiliki akar sehingga Lichen banyak menyerap bahan mentahannya langsung dari udara dan uap air di dalam suatu lingkungan. Hal ini membuat Lichenes sangat sensitif terhadap polusi udara dan hujan asam karena Lichenes tidak memiliki cara untuk mengeluarkan polutan yang mereka serap sehingga bahan-bahan ini tetap berada di dalam sel mereka. Karena polutan menumpuk didalamnya maka Lichenes dapat digunakan untuk memantau akumulasi polutan jangka panjang. Jadi menurut Muvidha (2020) sensitivitas Lichenes terhadap polutan udara berfungsi sebagai indikator peringatan awal untuk membantu memberikan informasi kondisi suatu lingkungan. Namun perbedaan sentivitas Lichenes terhadap polusi udara berkaitan dengan kemmapuannya dalam mengakumulasikan polutan.

Jenis Lichenes yang toleran dapat hidup di tempat yang tercemar sedangkan jenis Lichenes yang sensitif biasanya tidak dapat bertahan di Lingkungan dengan kualitas udara yang buruk. Lichenes di daerah tercemar pertumbuhannya kurang baik dengan warna menjadi pucat atau berubah warna.

Misalnya warna lumut kerak yang berwarna hijau cerah yang terpapar zat pencemar secara terus menerus, lama kelamaan akan beruah warna menjadi hijau pucat atau kusam. Persebaraan dan keberadaan Lichenes di suatu wilayah dapat dijadikan sebagai identifikasi kulitas udara di suatu daerah. Jika suatu daerah kualitas udaranya menurun, maka bisa dilihat dari perubahan keanekaragaman Lichenes pada daerah tersebut (Muvidha, 2020).

(13)

2.4 Indeks Keanekaragaman

Konsep keanekaragaman jenis tumbuhan (species diversity) dimulai dari apa yang disebutkan sebagai keanekaragaman hayati (biodiversity). Berdasarkan definisi yang luas keanekaragaman hayati merupakan keanekaragaman kehidupan dalam berbagai bentuk dan tingkatan organisasi, termasuk fungsi, struktur serta proses-proses ekologi di semua tingkatan. Suatu komunitas dikatakan memiliki keanekaragaman spesies yang tinggi jika suatu komunitas tersebut disusun oleh banyak spesies. Namun sebaliknya, jika suatu komunitas dikatakan memiliki keanekaragaman spesies yang rendah dan komunitas itu di susun oleh sedikit spesies maka hanya sedikit saja spesies yang dominanan. Jadi karakteristik komunitas dalam suatu lingkungan adalah keanekaragaman (Laksono, 2016).

Indeks keanekaragaman merupakan suatu parameter vegetasi untuk membandingkan berbagai komunitas tumbuhan yang berguna untuk mempelajari pengaruh gangguan-gangguan faktor lingkungan atau abiotik terhadap komunitas atau untuk mengetahui keadaan stabilitas komunitas. Jadi makin stabil keadaan komunitas maka semakin tinggi keanekaragaman jenis tumbuhannya (Susilawati, 2017). Kelimpahan suatu tumbuhan dapat juga dihitung menggunakan indeks keanekaragaman dengan menggunakan analisis kuantitatif menggunakan rumus Shannonn-Wiener (H’) (Marianingsih,2017). Data keanekaragaman dalam penelitian ini dilihat melalui jenis Lichens dihitung menggunakan rumus menurut Panggabean (2020) yaitu Indeks Diversitus Shannon-Wiener (H’) sebagai berikut:

∑ Keterangan:

H’ = Indeks Keanekaragaman.

Pi = ni/N, perbandingan antara jumlah individu spesies ke-I dengan jumlah total individu.

ni = Jumlah individu dari suatu jenis ke-i N = Jumlah total individu seluruh jenis Dengan Kriteria:

H’<1 = Keanekaragaman rendah, penyebaran jumlah individu tiap spesies rendah dan kestabilan komunitas rendah

(14)

1<H’<3 = Keanekaragaman sedang, penyebaran jumlah individu tiap spesies sedang dan kestabilan komunitas sedang H’>3 = Keanekaragaman tinggi, penyebaran jumlah individu tiap

spesies tinggi dan kesetabilan komunitas tinggi 2.5 Pengaruh Lingkungan Terhadap Pertumbuhan Lichenes

Pengaruh distribusi lichenes dipengaruhi oleh banyaknya faktor yang saling berinteraksi seperti topografi, substrat, kelembaban dan intensitas cahaya (Jannah, 2019). Keberadaan Lichenes juga di pengaruhi oleh faktor abiotik meliputi suhu, kelembaban intensitas cahaya dan faktor biotik meliputi substrat Lichenes (Zuhri, 2020). Pertumbuhan Lichenes menurut Ulfira (2017) dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan antara lain sebagai berikut:

1. Suhu udara

Suhu udara bervariasi menurut tempat dan dari waktu ke waktu di dalam suatu lingkungan (Karyati, 2016). Lichenes memiliki kisaran toleransi suhu yang cukup luas seperti dapat hidup baik pada suhu yang sangat rendah atau pada suhu sangat tinggi. Lichenes dengan cepat akan menyesuaikan diri bila keadaan lingkungan kembali normal. Faktor kondisi suatu tempat tumbuh Lichenes sangat berpengaruh terhadap jumlah jenis Lichenes. Contoh dari alga jenis Trebouxia tumbuh baik antara kisaran suhu 12-24ºC serta fungi penyusun Lichen tumbuh baik kisaran 18-21ºC (Ulfira, 2017). Menurut Murningsih (2016) suhu optimal untuk pertumbuhan Lichenes dibawah 40ºC namun untuk suhu di atas 45ºC dapat merusak klorofil Lichenes sehingga aktifitas fotosintesis dapat terganggu.

2. Kelembaban Udara

Kelembaban udara merupakan faktor yang sangat penting untuk distribusi Lichenes. Lichenes dapat tumbuh di lingkungan yang lemabab (Ulfira, 2017).

Kelembaban udara berkaitan dengan suhu, semakin rendah suhu umumnya akan menaikkan kelembaban (Sudrajat, 2013). Tingkat kelembaban yang berbeda menunjukan variasi spesies-spesies dalam suatu komunitas Lichenes. Ketika thallus kering Lichenes banyak ditemukan pada pohon yang berdekatan dengan sungai namun ketika dibandingkan dengan thallus Lichenes basah secara fisiologi

(15)

lebih aktif dan sensitif terhadap pencemaran udara (Ulfira, 2017). Lichenes menyukai tempat dengan kisaran kelembaban antara 70-98% (Sudrajat, 2013).

3. Intensitas Cahaya

Faktor penting yang membantu menentukan penyebaran dan pertumbuhan keanekaragaman Lichenes yaitu intensitas cahaya. Terlalu banyak atau terlalu sedikit intensitas cahaya berpengaruh terhadap tumbuhan dan hewan yang ada disekitar lingkungan tersebut. Beberapa jenis tumbuhan ada yang memerlukan cahaya penuh dan ada juga yang tidak memerlukan cahaya penuh. Intensitas cahaya rendah yang diperlukan Lichenes untuk fotosintesis secara efektif 1025 Lux (Mafaza et al., 2019).

2.6 Penelitian Terdahulu Tentang Lichenes Sebagai Indikator Kualitas Udara Berdasarkan penelitian terdahulu tentang keanekaragaman lumut kerak (Lichenes) sebagai bioindikator pencemaran udara di taman wisata alam Camplong kabupaten Kupang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pencemaran udara oleh aktivitas kendaraan bermotor dengan melihat keanekaragaman Lichenes. Teknik pengambilan sampel secara purposive sampling kemudian diidentifikasi berdasarkan ciri morfologi. Untuk mengetahui jenis Lichenes dengan pengamatan makroskopik yaitu melihat bentuk, keadaan serta warna talus dan dicocokan dengan pustaka. Indeks keanekaragaman Lichenes yang ditemukan sebesar 0,72. (Madjeni, 2019).

Penelitian Moscow (2019) tentang potensi Lichenes sebagai bioindikator kualitas udara di kawasan sentul Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis Lichenes yang dapat dijadikan sebagai bioindikator untuk memonitoring kualitas udara di kawasan sentul. Metode yang digunakan yaitu deskriptif eksploratif dan pengambilan data menggunakan purposive sampling yaitu memilih dengan sengaja yang dianggap tingkat polusi yang berbeda berdasarkan aktivitas manusia. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat sembilan jenis yang ditemukan dan dua jenis tipe tallus yaitu Foliose dan Crustose. Jenis Parmelia paling sedikit ditemukan karena merupakan jenis Lichenes yang paling sensitif sedangkan Crypotochenia effusa ditemukan paling banyak dan ada pada semua lokasi penelitian sehingga jenis Lichenes ini tergolong toleran terhadap

(16)

perubahan kualitas udara. Berdasarkan penelitian Valina (2019) identifikasi lumut sebagai bioindikator kualitas udara di kampus Institut Agama Islam Negeri Raden Intan Lampung. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengidentifikasi keragaman lumut dan responnya sebagai bioindikator pencemaran udara. penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dan menggunakan metode transek. Hasil nilai indeks keanekaragaman 1,98, jadi lumut tidak hanya berfungsi sebagai indikator pencemaran udara tetapi mengetahui sejauh mana pencemaran-pencemaran udara tersebut sehingga semakin buruk kualitas udara maka tingkat keragaman semakin rendah.

2.7 Pemanfaatan Hasil Penelitian Sebagai Sumber Belajar

Sumber belajar adalah semua sumber daya yang dapat di gunakan dalam proses pembelajaran baik secara tidak langsung maupun secara langsung sehingga dapat memberikan perubahan yang positif. Sumber belajar dapat berupa bentuk, data, orang atau suatu bentuk wujud apapun yang dapat diguankan dalam proses pembelajaran. Pada umumnya sumber belajar saat ini terbatas hanya pada guru dan buku paket, padahal banyak sumber belajar antara lain poster, benda nyata, lingkungan alam dan sosial. Namun fakta di lapang di dalam lingkup pembelajaran yang sering kita temukan yaitu sumber belajar yang hanya berasal dari buku dan guru itu sendiri (Lilawati, 2017). Pemanfaatan lingkungan alam yang ada disekitar kita merupakan segala sesuatu yang mempengaruhi perkembangan dan tingkah laku organisme. Sumber belajar berbasis lingkungan, alam yang dapat dimanfaatkan contohnya seperti materi lokal. Tentu juga materi dalam sumber belajar yang digunakan relevan dengan materi bidang studi yang dibahas.

Sumber belajar berupa penelitian dapat dimanfaatkan sebagai sumber belajar yang harus melalui kajian proses dan identifikasi hasil penelitian. Syarat agar dapat digunakan sebagai sumber belajar, maka penelitian tersebut harus dilakukan peninjauan dari kajian proses dan hasil penelitian. Proses kajian penelitiannya berkaitan dengan pengembangan keterampilan sedangkan hasil penelitiannya berupa fakta dan konsep (Susilo, 2015). Penelitian ini tentang Analisis kenaekaragaman lumut kerak sebagai indikator kualitas udara di taman

(17)

wisata Waduk Gondang Lamongan sebagai sumber belajar biologi. Maka penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai sumber belajar biologi oleh guru ataupun siswa.

Ermawati (2019) menyatakan bahwa pemanfaatan hasil penelitian dapat digunakan sebagai alternatif sumber belajar Biologi memiliki syarat pemanfaatan hasil penelitiannya antara lain:

1. Kajian Potensi yaitu dengan syarat kejelasan potensi yang berhubungan dengan masalah serta objek yang berhubungan dengan fakta ataupun konsep penelitian.

2. Kesesuaian dengan tujuan belajar yaitu dengan sayarat hasil penelitian dengan tujuan dalam kompetensi dasar (KD) harus memiliki kesesuaian.

3. Kejelasan sasaran yaitu dengan syarat memiliki kejelasan sasaran dalam penelitian berupa objek dan subjek belajar yang ada.

4. Kejelasan informasi yang diungkap yaitu dengan syarat jelasnya suatu informasi meliputi proses dan produk penelitian yang sesuai dengan kurikulum.

5. Kejelasan pedoman eksplorasi diperlukan dalam melaksanakan kegiatan penelitian meliputi penentuan sampel penelitian, alat dan bahan, cara kerja, pengolahan data dan kesimpulan. Namun keterbatasan waktu disekolah dan kemampuan peserta didik menjadi pertimbangan. Oleh sebab itu diperlukan suatu pemilahan kegiatan yang akan dilaksanakan siswa.

6. Kejelasan perolehan yang diharapkan yang dimaksud meliputi kejelasan perolehan proses dan produk penelitian yang didasarkan pada aspek-aspek dalam tujuan pembelajaran meliputi aspek kognitif, aspek afektif dan aspek psikomotorik sehingga bisa digunakan sebagai sumber belajar Biologi.

(18)

2.8 Kerangka Konsep

Gambar. 2.14. Kerangka Konsep Kualitas udara di area Taman Wisata

Waduk Gondang Lamongan

Keanekaragaman Lumut Kerak (Lichenes) berpotensi sebagai indikator kualitas udara

Parameter

Faktor Abiotik Faktor Biotik

Suhu

Kelembaban

Intensitas Cahaya

Jenis pohon sebagai rana habitat Lichenses

Indikator Biologi

Analisis Keanekaragaman Lumut Kerak (Lichens) Sebagai Indikator Kualitas Udara

Sumber Belajar Biologi Identifikasi Lichenes berdasarkan

morfologi

Bentuk Warna

Klasifiksi

Gambar

Gambar 2. 1 Dermatocarpon miniatum
Gambar 2. 2 Verrucia ningrescens
Gambar 2. 5 Cora Pavonia
Gambar 2. 6 Haematomma accolens
+4

Referensi

Dokumen terkait

Beberapa penelitian telah dilakukan berkaitan dengan kemampuan berfikir kritis salah satunya oleh Herti Patmawati (2011) yang menyatakan bahwa indikator ketrampilan berfikir

Menjelaskan Struktur Dan Fungsi Organ Manusia Dan Hewan Tertentu , Kelainan/Pen yakit Yang Mungkin Terjadi Serta Implikasinya Pada Salingtemas 3.1 Menjelaskan keterkaitan

Standar : Menjelaskan struktur dan fungsi sistem organ manusia serta Kompetensi kelainan/penyakit yang mungkin terjadi pada organ tersebut Lulusan. Uraian Kompetensi :

Apa yang membuat diferensiasi sedemikian menarik adalah bahwa sel- sel sautu organisme yang sedang berkembang mensintesis protein yang berbeda dan memiliki struktur dan fungsi

20 15 Menganalisis hubungan antara struktur jaringan penyusun organ pada sistem koordinasi dan mengaitkannya dengan proses koordinasi sehingga dapat menjelaskan peran saraf

Kompetensi Dasar Materi Pokok Indikator Soal L1Level KognitifL2 L3 Bentuk Soal sistem pencernaan manusia 3.8 Menganalisis hubungan antara struktur jaringan penyusun organ pada sistem