• Tidak ada hasil yang ditemukan

EFEKTIVITAS PELATIHAN RELAKSASI OTOT UNTUK MENURUNKAN KECEMASAN BERBICARA DI DEPAN UMUM PADA MAHASISWA STAKN MANADO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "EFEKTIVITAS PELATIHAN RELAKSASI OTOT UNTUK MENURUNKAN KECEMASAN BERBICARA DI DEPAN UMUM PADA MAHASISWA STAKN MANADO"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

46

Jurnal Tumou Tou

EFEKTIVITAS PELATIHAN RELAKSASI OTOT UNTUK MENURUNKAN KECEMASAN BERBICARA DI DEPAN UMUM PADA MAHASISWA

STAKN MANADO

Novita Sianturi

Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN) Manado

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara efikasi diri dan kecerdasan emosional dengan kecemasan berbicara di depan umum mahasiswa STAKN Manado. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan negatif dan signifikan antara efikasi diri dengan kecemasan berbicara di depan umum dan ada hubungan negatif dan signifikan antara kecerdasan emosional dengan kecemasan berbicara di depan umum. Subjek penelitian ini berjumlah 72 orang mahasiswa semester IV STAKN Manado. Data diperoleh dengan menggunakan skala kecemasan berbicara di depan umum, skala efikasi diri dan skala kecerdasan emosional. Hipotesis 1 dan 2 dalam penelitian ini diuji dengan menggunakan teknik uji korelasi product moment. Hasil uji pertama menunjukkan variabel efikasi diri dengan kecemasan berbicara di depan umum mempunyai hubungan negatif dengan taraf signifikan 0,000<0,05. Hasil analisis R2 sebesar -0,680 yang berarti sumbangan efikasi diri terhadap kecemasan berbicara di depan umum sebesar 68,0%. Hasil uji hipotesis kedua menunjukkan variabel kecerdasan emosional dengan kecemasan berbicara di depan umum mempunyai hubungan negatif dengan taraf signifikan 0,000<0,05. Berdasarkan hasil analisis juga diperoleh nilai R2 sebesar -0,572. Hal ini menunjukkan bahwa besaran sumbangan kecerdasan emosional terhadap kecemasan berbicara di depan umum adalah 57,2%. Hasil uji hipotesis ketiga menunjukkan bahwa efikasi diri dan kecerdasan emosional secara bersama-sama memiliki hubungan dengan kecemasan berbicara di depan umum dengan R2 sebesar0,469. Artinya besaran sumbangan secara efikasi diri dan kecerdasan emosional secara bersama-sama dengan kecemasan berbicara di depan umum sebesar 46,9%.

Kata Kunci : Efikasi Diri, Kecerdasan Emosional, Kecemasan Berbicara di Depan Umum

PENDAHULUAN

Pada era globalisasi yang didukung teknologi informasi dan komunikasi memerlukan sumber daya manusia yang berkualitas. Untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas diperlukan proses pembelajaran yang efektif dan efisien, salah satunya dapat diperoleh pada jenjang pendidikan tinggi. Perguruan tinggi merupakan satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi. Secara umum pendidikan perguruan tinggi bertujuan untuk meningkatkan taraf pendidikan masyarakat sehingga tercipta masyarakat sejahtera, adil dan makmur. Secara khusus pendidikan perguruan tinggi sangat berperan dalam pembentukan, peningkatan skill dan kualitas sumber daya manusia yang nantinya akan terjun di dunia kerja (PP No.60/1999).

Mahasiswa sebagai individu yang mengenyam pendidikan di perguruan tinggi diharapkan memiliki keahlian yang nantinya akan memudahkan mahasiswa mencapai apa yang dicita-citakan. Salah satu keahlian yang harus dikuasai atau dimiliki mahasiswa adalah kemampuan berkomunikasi dengan orang (interpersonal). Mahasiswa sebagai

(2)

47

Jurnal Tumou Tou

kelompok intelektual dan sebagai generasi penerus bangsa sangat diharapkan ide-ide dan gagasannya dalam mengisi pembangunan. Untuk mengungkapkan ide dan gagasan tersebut, diantaranya dibutuhkan kemampuan berbicara di depan umum (Utami &

Prawitasari, 1991). Namun kenyataanya berbeda, menurut pendapat yang dikemukakan oleh Utami (dalam Astrid, 2010) banyak mahasiswa yang masih takut berbicara di depan umum. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya mahasiswa yang datang ke Biro Konsultasi Psikologi dengan keluhan takut berbicara di muka umum, seperti tidak berani bertanya atau mengemukakan pendapat di forum kuliah, rapat, diskusi, maupun seminar. Bahkan banyak mahasiswa yang mengalami kecemasan bila harus mempresentasikan makalah di depan kelas.

Menurut Suhandang (2009) berbicara di muka umum pada hakikatnya adalah proses komunikasi antara kedua belah pihak yang terlibat dalam pembicaraan itu.

Rakhmat (1995) mengatakan bahwa ketakutan untuk melakukan komunikasi dikenal sebagai communication apprehension. Orang yang aprehensif (prihatin atau takut) di dalam berkomunikasi akan menarik diri dari pergaulan, berusaha sekecil mungkin untuk berkomunikasi, dan akan berbicara jika terdesak saja. Bila kemudian seseorang terpaksa berkomunikasi, sering pembicaraannya tidak relevan, sebab berbicara yang relevan tentu akan mengundang reaksi yang baik dari orang lain. Orang-orang yang mengalami inilah yang akan menjadi cikal bakal timbulnya kecemasan berbicara di muka umum, individu akan merasa bahwa orang tidak memberikan respon yang positif terhadap apa yang diucapkannya.

Kecemasan berbicara di depan umum pada mulanya dikenal dengan istilah

“demam panggung” dan difokuskan pada ketakutan berbicara di depan umum. Kecemasan berbicara di depan umum adalah suatu keadaan tidak nyaman yang sifatnya tidak menetap pada diri individu, baik ketika membayangkan maupun pada saat berbicara di depan orang banyak (Rogers dalam Astrid, 2010). McCroskey (dalam Devito, 1995) menyebutkan bahwa kecemasan berbicara di depan umum sebagai “communication apprehension” dan lebih khususnya lagi masuk ke dalam communication apprehension in generalized context.

Hal ini menunjukkan bahwa individu mengalami kecemasan berbicara saat berada pada situasi tertentu, tetapi tidak pada situasi lain.

Fenomena munculnya kecemasan berbicara di depan umum juga terjadi pada mahasiswa STAKN Manado. Berdasarkan hasil wawancara terhadap tujuh orang mahasiswa semester III di Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN) Manado (diambil secara acak) yang dilakukan pada tgl 20-7-2013 dan tgl 9-8-2013 di ruang perpustakaan,menunjukkan bahwa mereka masih takut dan cemas berbicara di depan umum.Mereka mengalami gejala kecemasan fisik seperti mual, jantung berdebar-debar, telapak tangan menjadi dingin, ada juga yang banyak mengeluarkan keringat saat

(3)

48

Jurnal Tumou Tou

berbicara di depan umum serta suara bergetar saat berbicara selain itu tak jarang mereka menjadi lupa dengan apa yang harus mereka katakan dan ingin secepatnya menyelesaikan presentasi dan proses tanya jawab.

Kecemasan yang dialami tidak hanya dirasakan saat mulai berbicara, tetapi sudah dirasakan sejak kuliah pada hari dimana mahasiswa harus presentasi dimulai. Ada juga yang merasakan kecemasan sejak hari sebelumnya sehingga sulit untuk tidur pada malam harinya. Hal ini diperkuat dengan hasil wawancara pada beberapa dosen (A.R, W.W, D.L, dan M.P) yang mengajar di STAKN Manado bahwa hanya beberapa mahasiswa saja dalam setiap kelas yang aktif dalam kegiatan diskusi serta terlihat berani dan penuh percaya diri dalam mempresentasikan tugas yang diberikan. Berdasarkan hasil pengamatan peneliti yang juga merupakan staf pengajar di STAKN Manado, kurang lebih 70 % mahasiswa yang terlihat cemas saat akan mempresentasikan tugas yang diberikan. Mahasiswa sering merasa belum siap untuk mempresentasikan tugas yang diberikan sehingga meminta waktu presentasi diakhir-akhir jam kuliah walaupun sudah dibagikan urutan presentasi. Ada juga mahasiswa yang tidak masuk saat waktu presentasinya tiba sehingga pada akhir semester mahasiswa tersebut hanya mendapatkan nilai yang minimal karena tidak mempresentasikan tugasnya. Fenomena ini sangat mencemaskan karena salah satu syarat untuk lulus dari studinya yaitu mahasiswa harus melakukan praktek kerja lapangan (PKL) baik di gereja atau pelayanan di jemaat bagi calon Pendeta, di sekolah bagi calon guru PAK maupun pelayanan konseling di jemaat.

Kecemasan berbicara di depan umum bukan merupakan suatu sifat yang dibawa sejak lahir. Feldman dan Orford (1980) berpendapat bahwa pengalaman negatif di masa lalu yang berkaitan dengan situasi berbicara di depan umum akan mengarahkan individu yang bersangkutan ke perilaku penolakan atau penghindaran terhadap situasi serupa dimasa mendatang. Sementara itu Calhoun dan Acocella (1990) menyatakan bahwa perilaku penghindaran akan menyuburkan kecemasan. Pada akhirnya perilaku penolakan atau penghindaran terhadap situasi berbicara di depan umum akan mengarahkan individu tersebut pada kurangnya kemampuan atau keahlian yang berkaitan dengan situasi berbicara di depan umum.

Ketrampilan berbicara di depan umum ( Public Speaking ) adalah modal dasar untuk meraih kehidupan sukses yang lebih lengkap. Sebagaimana diketahui banyak kalangan, mulai dari owner, direktur, manager, marketing, salesman, dosen, guru, mahasiswa, pelajar dan bidang lainnya mengalami kesulitan untuk berbicara di depan umum. Ketakutan, trauma masa lalu dan cara berpikir yang salah menjadi hambatan utama bagi seseorang untuk berbicara di depan umum. Seorang mahasiswa yang jenius

(4)

49

Jurnal Tumou Tou

sekalipun belum tentu lulus sidang skripsi, dikarenakan ketidakmampuan menghadapi dosen penguji (Triana, 2005).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Louise Katz (dalam Utami dan Prawitasari, 1991) di University Of Tennessee At Martin yang berjudul Public Speaking Anxiety menunjukkan bahwa kecemasan berbicara di depan umum sangat umum baik di kalangan siswa, mahasiswa dan masyarakat umum. Hasil penelitian ini menunjukkan 20% sampai 85% orang mengalami kecemasan ketika mereka berbicara di depan umum.

Meskipun demikian kecemasan tersebut sedapat mungkin harus dikurangi agar individu dapat menjadi pembicara yang efektif (dalam Utami dan Purnamaningsih, 1998).Untuk mengurangi kecemasan berbicara di depan umum, dapat dilakuakan dengan beberapa cara antara lainteknik penerapan positive words/kata-kata positif sejak dini (Urban, 2007), terapi kognitif (mengubah mood dan perilaku individu dengan mempengaruhi pola pikirnya) dan teknik relaksasi (Utami & Prawitasari, 1991) dan beberapa teknik lainnya.

Dalam hal ini peneliti menggunakan teknik relaksasi otot dalam upaya menurunkan tingkat kecemasan berbicara di depan umum pada mahasiswa STAKN Manado. Hal ini disebabkan karena teknik relaksasi memiliki beberapa kelebihan bila dibandingkan dengan teknik yang lain. Teknik ini sudah dianggap cukup efektif untuk menurunkan tingkat kecemasan berbicara di depan umum, dimana beberapa penelitian telah membuktikan bahwa relaksasi efektif untuk mengurangi kecemasan berbicara di depan umum (Gatchel, dkk. 1997; Goldfried dan Trieb, 1974; dalam Utami & Prawitasari, 1991), waktu yang dibutuhkan untuk menerapkan teknik relaksasi ini relatif singkat.

Selain itu, setiap individu diberikan kesempatan untuk merasakan keadaan otot saat tegang dan keadaan otot saat rileks. Relaksasi otot ini merupakan suatu teknik atau metode di dalam terapi perilaku yang dapat digunakan untuk merilekskan otot-otot yang tegang ketika individu mengalami kecemasan berbicara di depan umum. Selain mempengaruhi kondisi fisiologis, relaksasi yang dilakukan juga dapat membantu individu secara emosional yaitu mengurangi munculnya rasa tidak mampu, takut dan rasa kehilangan kendali. Di lain pihak, relaksasi juga dapat membuat individu dapat dengan mudah mengingat fakta yang harus diucapkan dan tahu apa yang harus diucapkan selanjutnya saat berbicara di depan umum (Utami dan Purnamaningsih, 1998). Individu yang melakukan latihan-latihan relaksasi secara rutin dapat memperoleh ketrampilan untuk berbicara dengan lebih mudah dan percaya diri (dalam Utami dan Purnamaningsih, 1998).

Dari latar belakang di atas, penulis tertarik untuk melakukan suatu penelitian yang berkaitan dengan teknik relaksasi otot guna menurunkan tingkat kecemasan berbicara di depan umum. Penulis berkeinginan untuk melihat efektifitas pelatihan

(5)

50

Jurnal Tumou Tou

relaksasi otot terhadap penurunan tingkat kecemasan berbicara di depan umum. Dengan menurunnya kecemasan berbicara di depan umum, diharapkan prestasi akademis mahasiswa STAKN Manado bisa lebih baik lagi. Berdasarkan latar belakang tersebut, dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini yaitu apakah pelatihan relaksasi otot efektif di dalam menurunkan tingkat kecemasan berbicara di depan umum pada mahasiswa STAKN Manado.

LANDASAN TEORI

Kaplan, dkk (1994) mengatakan bahwa kecemasan adalah respon terhadap situasi tertentu yang mengancam, dan merupakan hal yang normal terjadi menyertai perkembangan, perubahan, pengalaman baru atau yang belum pernah dilakukan, serta dalam menentukan identitas diri dan arti hidup.

Blackburn dan Davidson (1990) mengemukakan bahwa kecemasan dapat dilihat dari gejala-gejala psikologis seperti :

a. Suasana hati, yang meliputi mudah marah, perasaan sangat tegang.

b. Pikiran, yang meliputi khawatir, sukar berkonsentrasi, pikiran kosong, membesar- besarkan ancaman, memandang diri sebagai sangat sensitif dan merasa tidak berdaya.

c. Motivasi, yang meliputi menghindari situasi, ketergantungan tinggi, ingin melarikan diri.

d. Perilaku, yang meliputi gelisah, gugup dan kewaspadaan yang berlebihan. Selain itu, kecemasan juga dapat dilihat dari gejala biologis seperti : berkeringat yang berlebihan, gemetar, pusing, jantung berdebar-debar dan gerakannya lebih kencang, mual dan mulut terasa kering.

Hudaniah dan Dayakisni (2002) menyatakan bahwa pada umumnya kecemasan berwujud ketakutan kognitif, keterbangkitan syaraf fisiologis dan suatu pengalaman subjektif dari ketegangan atau kegugupan. Beberapa individu yang mengalami perasaan tidak nyaman dengan kehadiran orang lain, biasanya disertai dengan perasaan malu yang ditandai dengan kekakuan, hambatan dan kecenderungan menghindari interaksi sosial.

Keadaan individu yang seperti ini dianggap mengalami kecemasan sosial.

Berdasarkan beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahli maka kecemasan dapat disimpulkan sebagai suatu perasaan yang bersifat subjektif, yang tidak menyenangkan bahkan dianggap mengancam ketika menghadapi suatu peristiwa yang biasanya disebabkan oleh pikiran-pikiran atau perasaan-perasaan dan bayangan akan akibat dari peristiwa tersebut, sehingga menimbulkan kekhawatiran atau kegelisahan, dan apabila dibiarkan berlarut-larut dapat menimbulkan gangguan yang kompleks yang kadang-kadang disertai perubahan pada fungsi fisiologis.

(6)

51

Jurnal Tumou Tou

Kecemasan berbicara di depan umum pada mulanya dikenal dengan istilah

“demam panggung” dan difokuskan pada ketakutan berbicara di depan umum. McCroskey (dalam Devito, 1995) menyebut kecemasan berbicara di depan umum sebagai

“communication apprehension”.Selanjutnya McCroskey (1984) menyatakan ada empat jenis communication apprehension (CA), yaitu CA as a trait, CA in generalized context, CA with generalized people, CA as a state. Kecemasan berbicara di depan umum termasuk dalam jenis CA in generalized context, dimana individu mengalami kecemasan berbicara saat berada pada satu situasi tertentu, tapi tidak pada situasi lainnya. McCroskey (1984) menambahkan, beberapa individu mengalami kecemasan hanya pada kondisi tertentu, maksudnya ada tipe general dari kondisi komunikasi yang menimbulkan kecemasan, yaitu komunikator.

Hal ini senada dengan yang dikemukakan oleh Devito (1995) yang memberikan istilah kecemasan berbicara di depan umum sebagai speaker apprehension, untuk menekankan bahwa fenomenanya berpusat pada pembicara. Menurut Devito (1995) speaker apprehension mengandung perspektif kognitif (bagaimana individu berprilaku).

Individu yang mengalami kecemasan berbicara di depan umum akan takut terlibat dalam transaksi komunikasi, ia mempunyai perasaan-perasaan negatif dan meramalkan hasil yang negatif sebagai fungsi keterlibatannya dalam situasi berbicara di depan umum. Dalam hal ini, individu akan menurunkan frekwensi dan intensitas keterlibatannya dalam transaksi berbicara di depan umum. Menurut Lazarus (1976) individu akan mengalami kecemasan apabila menghadapi situasi yang tidak menentu. Situasi berbicara di depan umum dapat juga menimbulkan kecemasan bagi individu.

Terdapat perbedaan antara berbicara di depan umum dengan pembicaraan biasa.

Pada konteks pembicaraan biasa, individu merasa aman untuk menyampaikan pikiran- pikirannya. Bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pembicaraan biasa adalah adanya proses memberi dan menerima, proses komunikasi dua arah (dialog). Berbeda dengan berbicara di depan umum, begitu individu mulai berbicara di depan umum, secara otomatis individu tersebut menjadi pemimpin dan memegang kendali penuh dari banyak orang.

Proses komunikasi berubah menjadi satu arah (monolog). Ketakutan atau kecemasan berbicara di depan umum, ditandai dengan perasaan gelisah dan perasaan tertekan (Rogers, dalam Astrid 2010).

Berdasarkan penjelasan yang dikemukakan oleh para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kecemasan berbicara di depan umum adalah suatu keadaan tidak nyaman yang sifatnya tidak menetap pada diri individu, baik ketika membayangkan maupun pada saat berbicara di depan orang banyak. Apabila peristiwa itu sudah berlalu maka individu tersebut dapat melakukan komunikasi dengan lancar tanpa kesulitan.

Sebenarnya kecemasan berbicara di depan umum bukan sesuatu yang abnormal,

(7)

52

Jurnal Tumou Tou

karena sebagian besar orang mengalami kecemasan saat berbicara di depan umum.

Namun demikian kecemasan berbicara di depan umum harus dikurangi agar individu tersebut dapat berbicara dengan efektif dan dapat menikmati kehidupannya dengan lebih baik juga individu tersebut dapat melakukan fungsi sosialnya dengan lebih baik.

Menurut Burgon dan Ruffner (1978)komponen kecemasan berbicara di depan umum yang terdiri dari aspek unwillingness, unrewarding dan control, sedangkan menurut Rogers (dalam Astrid, 2010) komponen kecemasan berbicara di depan umum adalah komponen fisik, komponen mental dan komponen emosional. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan komponen kecemasan berbicara di depan umum yang dikemukakan oleh Rogers (dalam Astrid, 2010). Hal ini dikarenakan komponen kecemasan berbicara di depan umum yang dikemukakan oleh Roger lebih mudah dikemukakan dan diobservasi.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan berbicara di depan umum adalah pengalaman negatif dimasa lalu, pikiran yang tidak rasional, kurangnya keahlian dan pengalaman, tingkat evaluasi, status lebih rendah, tingkat kemungkinan menjadi pusat perhatian serta tingkat perbedaan.

Berdasarkan beberapa cara atau teknik mengatasi atau mengurangi kecemasan berbicara di depan umum yang telah dikemukakan oleh beberapa ahli di atas, peneliti memilih teknik relaksasi otot dalam mengurangi tingkat kecemasan berbicara di depan umum pada mahasiswa STAKN Manado. Alasan dipilihnya teknik relaksasi otot dalam penelitian ini karena teknik relaksasi otot pada beberapa penelitian terdahulu dengan menggunakan subjek mahasiswa dianggap efektif dalam menurunkan tingkat kecemasan berbicara di depan umum.

Menurut kamus bahasa Indonesia (Purwodarminto, 1976), pelatihan adalah pelajaran untuk membiasakan/memperoleh suatu kecakapan. Jewell & Siegall (Huda, 2004) menyebutkan bahwa pelatihan adalah pengalaman belajar yang terstruktur dengan tujuan untuk mengembangkan kemampuan, ketrampilan khusus dan pengetahuan/sikap tertentu. Kemampuan itu meliputi potensi fisik dan mental sedangkan keterampilan merupakan potensi khusus. Selain itu, Wheelen (dalam Wulandari, 2005) juga menjelaskan bahwa pelatihan adalah salah satu metode untuk mendidik seseorang sehingga menguasai kemampuan-kemampuan yang diperlukan untuk berfungsi lebih efektif dalam melakukan aktivitas. Individu yang telah mengikuti pelatihan akan dituntut untuk dapat berlatih mengenai materi yang disampaikan dalam pelatihan.

Parcek (dalam Harjana, 2002) mengatakan bahwa pelatihan merupakan salah satu metode yang cukup efektif untuk mengembangkan sumber daya manusia. Thanan (2001) menandaskan bahwa metode pelatihan saat ini telah menjadi sarana pendidikan yang penting, karena pendidikan tidaklah cukup dengan mengubah pengetahuan

(8)

53

Jurnal Tumou Tou

semata, melainkan juga harus merubah aspek lain seperti keterampilan, keyakinan, orientasi serta pengalaman lapangan dengan mengubah metode, suasana dan waktu.

Dalam penelitian ini, pelatihan dipandang sebagai suatu metode pembelajaran yang bertujuan untuk mempelajari suatu keterampilan melalui metode yang terstruktur dan terencana guna mengembangkan potensi individu secara pribadi. Pelatihan yang diberikan diharapkan efektif untuk membentuk individu-individu yang mampu berbicara di depan umum tanpa merasakan adanya kecemasan. Hal ini sesuai dengan tujuan pelatihan sehingga pada akhirnya terbentuklah suatu keterampilan dan kemampuan tertentu yang relatif permanen.

a. Metode Pelatihan.

Sebelum pelatihan dilakukan, diperlukan suatu metode atau cara agar tujuan dari pelatihan dapat tercapai (Hardjana, 2002). Pelatihan ini menggunakan tiga metode yaitu metode awal sebagai pemanasan, metode tengah untuk menyampaikan keseluruhan materi pelatihan dan metode akhir untuk menyimpulkan pelatihan dan evaluasi.

Relaksasi adalah status hilang dari ketegangan otot rangka dimana individu dapat mencapainya melalui praktek yang disengaja (Carpenito, dalam Wulandari, 2005).

Carpenito (dalam Wulandari, 2005) menyebutkan beberapateknik relaksasi yaitu biofeedback, yoga, meditasi dan latihan relaksasi progresif. Selain itu relaksasi dapat diartikan sebagai keadaan yang menggambarkan bahwa tidak terdapat ketegangan baik secara fisik, emosi maupun secara mental (Syer &Connonlly dalam Wulandari, 2005). Jadi latihan relaksasi adalah latihan untuk mendapatkan keadaan tersebut. Relaksasi otot atau relaksasi progresif adalah teknik melemaskan otot yang berdasarkan pada keyakinan bahwa tubuh merespon keadaan yang menegangkan atau mencemaskan yang menyebabkan terjadinya ketegangan otot (Davis, 1995).

Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa teknik relaksasi otot adalah salah satu bentuk terapi berupa pemberian instruksi kepada seseorang dalam bentuk gerakan-gerakan yang tersusun secara sistematis untuk merilekskan otot-otot dan mengembalikan kondisi dari keadaan tegang kekeadaan rileks, normal dan terkontrol dari gerakan tangan sampai kepada gerakan kaki (Utami, 2002).

b. Dasar Teori Relaksasi Otot.

Didalam sistem saraf manusia terdapat sistem saraf pusat dan sistem saraf otonom. Fungsi sistem saraf pusat adalah mengendalikan gerakan yang dikehendaki, misalnya gerakan tangan, kaki, leher, dan jari-jari. Sistem saraf otonom berfungsi mengendalikan gerakan yang otomatis, misalnya fungsi digestif, poses kardiovaskuler dan gairah seksual.

Sistem saraf otonom terdiri dari dua subsistem yang kerjanya saling berlawanan, yaitu (1) sistem saraf simpatis yang kerjanya meningkatkan rangsangan atau memacu

(9)

54

Jurnal Tumou Tou

organ-organ tubuh, memacu meningkatnya denyut jantung dan pernafasan, serta menimbulkan penyempitan pembuluh darah tepi (pheripheral) dan pembesaran pembuluh darah pusat, serta menurunkan temperatur kulit dan daya tahan kulit, serta akan menghambat proses digestif dan seksual; (2) sistem saraf parasimpatis menstimulasi menurunnya semua fungsi yang dinaikkan oleh sistem saraf simpatis, dan menstimulasi naiknya semua fungsi yang diturunkan oleh sistem saraf simpatis. Selama sistem berfungsi normal dalam keseimbangan, bertambahnya aktivitas sistem yang satu akan menghambat atau menekan efek sistem lain. Pada waktu orang mengalami ketegangan dan kecemasan yang bekerja adalah sistem saraf simpatis, sedangkan pada waktu rileks yang bekerja adalah sistem saraf parasimpatis. Dengan demikian relaksasi dapat menekan rasa tegang dan rasa cemas dengan resiprok, sehingga timbul counter conditioning dan penghilangan ketegangan (Bellack dan Hersen, 1977; dalam Utami dan Prawitasari, 1991).

Menurut Wolpe (dalam Utami dan Prawitasari, 1991), efek otonomis yang menyertai relaksasi dilawankan dengan ciri-ciri kecemasan. Penelitian yang dilakukan oleh Jacobson dan Wolpe (dalam Utami dan Prawitasari, 1991) menunjukan bahwa denyut nadi dan tekanan darah dapat dikurangi dengan relaksasi otot. Wolpe (dalam Utami dan Prawitasari, 1991) juga membuktikan bahwa daya tahan kulit (skin conductance) meningkat dan pernafasan menjadi lebih pelan dan teratur selama relaksasi.

Penelitian ini akan digunakan relaxation via tension-relaxation. Hal ini bertujuan agar individu benar-benar mengenal terlebih dahulu perbedaan ketika otot tegang dan ketika otot lemas dan mampu untuk menikmati perbedaan tersebut.

1. Pelatihan Relaksasi Otot.

Secara umum pelatihan terbagi menjadi tiga sesi yaitu sebelum pelatihan, pada saat pelatihan dan sesudah pelatihan (Lynton & Pareek, 1990). Proses pelatihan meliputi penjelasan mengenai materi pelatihan, memberi contoh secara langsung dan kesempatan pada treini untuk mempraktekkan. Sesudah pelatihan, dilakukan evaluasi mengenai pelatihan yang telah dilakukan.

Pengaruh Pelatihan RelaksasiOtot Progresif Dalam Menurunkan Kecemasan Berbicara Di Depan Umum pada Mahasiswa STAKN Manado

Relaksasi otot progresif adalah teknik melemaskan otot yang berdasarkan keyakinan bahwa tubuh merespon pada keadaan yang menegangkan atau mencemaskan yang menyebabkan terjadinya ketegangan otot (Davis, 1995).Pelatihan relaksasi otot dalam penelitian ini adalah program instruksi sistematis untuk mengatasi kecemasan saat berbicara di depan umum melalui belajar membedakan antara perasaan tegang dan rileks pada sekelompok otot tubuh secara bertahap. Dalam pelatihan relaksasi otot ini, peserta diminta untuk mengevaluasi kecemasan dan mencari sebab kecemasan sehingga peserta

(10)

55

Jurnal Tumou Tou

dapat berfungsi lebih optimal dalam menjalankan kehidupaannya sehari-hari terutama menjalankan tugas sebagai mahasiswa calon pendeta, guru agama dan konselor. Dengan belajar mengidentifikasi dan melemaskan otot-otot yang tegang dalam badan maka rasa takut dapat dikontrol. Individu dalam hal ini mahasiswa yang melakukan latihan-latihan relaksasi secara rutin dapat memperoleh keterampilan untuk berbicara dengan lebih mudah dan percaya diri (dalam Utami dan Purnamaningsih, 1998).

Dengan demikian apabila individu melakukan relaksasi ketika ia mengalami kecemasan berbicara di depan umum, maka reaksi-reaksi fisiologis yang dirasakan individu akan berkurang, sehingga individu tersebut akan merasa rileks. Dalam keadaan rileks, seseorang dapat berbicara dengan tenang dan berkonsentrasi sehingga individu dapat mengingat dengan baik apa yang harus dikatakan saat berbicara di depan umum . Hal ini akan membawa dampak positif, dimana seseorang akhirnya dapat berbicara dengan penuh percaya diri dan lancar (Bowerdalam Utami & Prawitasari, 1991). Bila kecemasan berbicara di depan umum pada mahasiswa STAKN Manado menurun, maka prestasi akademik yang diraih terutama saat melakukan PPL diharapkan bisa lebih baik.

Karena penilaian yang diberikan saat PPL akan sangat mempengaruhi kelulusan para mahasiswa STAKN Manado.

Pelatihan relaksasi otot dalam penelitian ini terdiri dari beberapa sesi, yaitu sesi perkenalan, identifikasi ketegangan otot danrelaksasi otot yang diasumsikan dapat menurunkan tingkat kecemasan berbicara di depan umum.

Menurut Runck (dalam Suyamto, 2009), variabel yang paling penting dalam proses relaksasi otot adalah adanya kesadaran individu untuk belajar cara rileks. Hal ini penting untuk diketahui karena ketegangan otot-otot rangka hanya merupakan respon sinyal dari otak, sehingga untuk menghentikannya adalah dengan mengetahui apakah ketegangan itu dan menetukan cara untuk tidak mengirim sinyal cemas dari otak ke otot.Berstein &

Borcovec (dalam Suyamto, 2009), mengemukakan bahwa relaksasi bukan melakukan sesuatu tetapi memperhatikan perbedaan antara ketegangan dan rileks.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pelatihan relaksasi dapat menurunkan tingkat kecemasan berbicara di depan umum. Dalam hal ini peneliti menggunakan pelatihan relaksasi otot sebagai upaya untuk mengurangi tingkat kecemasan berbicara di depan umum pada mahasiswa STAKN Manado.

Hipotesis

Berdasarkan uraian teoritis yang telah dikemukakan, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah kecemasan berbicara di depan umum pada mahasiswa yang mendapatkan pelatihan relaksasi otot lebih rendah dari pada mahasiswa yang tidak mendapatkan pelatihan relaksasi otot.

(11)

56

Jurnal Tumou Tou

METODE PENELITIAN

Rancangan eksperimen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pre-Test Post- Test Control Group Design. Desain tersebut digunakan karena dalam penelitian ini efek suatu perlakuan terhadap variabel tergantung diuji dengan cara membandingkan keadaan kelompok eksperimen setelah dikenai perlakuan, dengan kelompok kontrol yang tidak dikenai perlakuan.

Kelompok eksperimen adalah kelompok yang akan diberikan pelatihan relaksasi otot. Sedangkan kelompok kontrol adalah kelompok yang tidak mendapatkan perlakuan sama sekali. Penempatan subjek pada masing-masing kelompok dilakukan dengan Random Assignment yaitu penempatan subjek ke dalam kelompok yang dilakukan secara random (Azwar, 2003). Adapun bentuk rancangan Pre-test Post-test Control Group Design seperti pada tabel 1 di bawah ini :

Tabel 1

Rancangan Eksperimen

R

Pre- test

Perlakuan Post- test 1

Post- test 2

KE T1 X T2 T3

KK T1 - T2 -

Keterangan :

KE : Kelompok Eksperimen KK : Kelompok Kontrol R : Random Assignment

T1 : Pengukuran kecemasan berbicara di muka umum T2 : Pengukuran kecemasan berbicara di muka umum T3 : Follow Up

X : Pelatihan relaksasi otot - : Tanpa perlakuan

Melalui desain eksperimen Pre-test Post-test Control Group Design, peneliti dapat mengetahui penurunan kecemasan berbicara di muka umum pada mahasiswa yang mendapatkan perlakuan pelatihan relaksasi otot, dengan membandingkan skor kecemasan sebelum (Pre-test) dan setelah (Post-test) diberikan perlakuan pelatihan relaksasi otot. Apabila hasil Post-test lebih rendah dari hasil Pre-test pada kelompok eksperimen, maka terjadi penurunan tingkat kecemasan setelah diberikan perlakuan.

(12)

57

Jurnal Tumou Tou

Apabila hasil post-test kelompok eksperimen lebih rendah sedangkan hasil post-test kelompok kontrol tidak terjadi penurunan, maka eksperimen tersebut dinyatakan berhasi serta perubahan yang terjadi pada kelompok eksperimen memang disebabkan oleh perlakuan (Sugiyono, 2009).

Manipulasi Variabel Independen

Penelitian mengenai pelatihan rekasasi otot untuk menurunkan tingkat kecemasan berbicara di depan umum merupakan penelitian eksperimental. Ciri dari penelitian eksperimental adalah adanya manipulasi atau adanya perlakuan pada variabel independen bagi kelompok eksperimen. Subjek dalam kelompok eksperimen diberi perlakuan berupa pelatihan relaksasi otot dengan dipandu langsung oleh fasilitator.

Adapun isi pelatihan ini meliputi perkenalan, identifikasi ketegangan otot, kenali lebih jauh, relaksasi otot progresif dan evaluasi. Pelatihan relaksasi otot dilakukan sebanyak dua kali. Tujuannya adalah memberi waktu pada subjek untuk menyadari dan mengevaluasi kecemasan serta mempraktekkan teknik relaksasi otot untuk mengatasi kecemasan tersebut. Sedangkan kelompok kontrol akan diberikan pelatihan yang sama dengan kelompok eksperimen setelah kelompok kontrol dikenai post-test. Adapun instruksi relaksasi otot saat pelatihan akan diberikan langsung oleh fasilitator, sedangkan untuk panduan pembelajaran subjek di rumah akan diberikan dalam bentuk CD sehingga subjek bisa melakukan latihan di rumah tanpa harus dibimbing oleh fasilitator.

Subjek Penelitian

Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa semester III STAKN Manado dan yang belum pernah mengikuti pelatihan relaksasi otot. Sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah mahasiswa yang memiliki skor kecemasan > 50 yang dapat dilihat dari hasil data pretest.Data tersebut dapat dilihat pada tabel 2 di bawah ini. Adapun jumlah subjek dalam penelitian ini adalah 15 orang untuk kelompok eksperimen dan 15 orang untuk kelompok kontrol.Namun pada pelaksanaannya yang hadir sembilan orang untuk kelompok eksperimen dan 11 orang untuk kelompok kontrol. Pada proses analisis, jumlah kelompok kontrol disamakan dengan jumlah kelompok eksperimen.

Sehingga yang dianalisis untuk kelompok eksperimen sembilan orang dan kelompok kontrol sembilan orang. Penempatan subjek kedalam kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol dilakukan secara random melalui proses pengundian.

(13)

58

Jurnal Tumou Tou

Tabel 2.

Kategorisasi Data dan Distribusi Skor Subjek

Pedoman Skor Kategorisasi Jumlah

X ≥ (µ + 1,8. σ) X ≥ 61 Sangat Tinggi 1

(µ + 0,6 . σ) < X ≤(µ + 1,8 . σ) 50 < X ≤ 61 Tinggi 29 (µ - 0,6 . σ) < X < (µ + 0,6 . σ) 39 < X < 50 Sedang 32 (µ - 1,8 . σ) < X < (µ - 0,6 . σ) 28 < X < 39 Rendah 23

X ≤ (µ - 1,8 . σ) X ≤ 28 Sangat Rendah 17

TOTAL 102

Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang akan digunakan pada penelitian ini adalah metode skala kecemasan berbicara di depan umum. Metode skala ini digunakan karena data yang akan diukur berupa konsep psikologis yang dapat diungkap secara tidak langsung melalui indikator-indikator perilaku yang diterjemahkan dalam bentuk item-item pernyataan (Azwar, 2000).

Menurut Hadi (2000), skala psikologis mendasarkan daripada laporan pribadi (self- report). Selain itu skala psikologis memiliki kelebihan dengan asumsi sebagai berikut : 1. Subjek adalah orang yang paling tahu tentang dirinya.

2. Apa yang dikatakan oleh subjek tentang dirinya pada peneliti adalah benar dan dapat dipercaya.

3. Interpretasi subjek terhadap pernyataan-pernyataan yang diajukan sama dengan apa yang dimaksudkan oleh peneliti.

Selain itu penggunaan skala psikologis dalam penelitian ini didasarkan juga pada beberapa pertimbangan yaitu :

1. Metode skala psikologis merupakan metode yang praktis.

2. Dalam waktu yang relatif singkat dapat diperoleh banyak informasi yang ingin diketahui.

3. Merupakan metode yang dapat menghemat tenaga dan bersifat ekonomis.

Dalam penelitian ini, model skala yang akan digunakan adalah penskalaan model Likert yang dimodifikasi dengan meniadakan jawaban netral guna menghilangkan central tendency effect yang sering muncul. Penskalaan ini merupakan pernyataan sikap yang menggunakan distribusi respons sebagai dasar penentuan nilai sikap (Azwar, 2000).

Prosedur penskalaan model Likert ini didasarkan pada dua asumsi, yaitu :

1. Setiap pernyataan sikap yang disepakati sebagai pernyataan yang favourable (mendukung) atau yang unfavourable (tidak mendukung).

2. Jawaban dari individu yang mempunyai sikap positif (sesuai dengan apa yang diharapkan) harus diberi bobot yang lebih tinggi daripada jawaban yang diberikan oleh responden yang memiliki sikap negatif (tidak sesuai dengan yang diharapkan).

(14)

59

Jurnal Tumou Tou

Subjek penelitian dalam hal ini diminta untuk menentukkan satu dari empat pilihan jawaban yang disediakan berupa : Sangat setuju (SS), Setuju (S), tidak setuju (TS) dan Sangat tidak setuju (STS) untuk semua pernyataan yang ada pada skala kecemasan berbicara di depan umum. Untuk pernyataan yang favourable, skor yang diberikan bergerak dari empat untuk sangat setuju sampai satu untuk sangat tidak setuju, sedangkan untuk pernyataan yang unfavourable skor yang diberikan bergerak dari satu untuk sangat setuju sampai empat untuk sangat tidak setuju.

Skala kecemasan berbicara di depan umum disusun berdasarkan komponen- komponen kecemasan yang dikemukakan oleh Rogers (dalam Astrid, 2010) dimana ada tiga aspek atau komponen kecemasan berbicara di depan umum yaitu komponen fisik, komponen proses mental dan komponen emosional. Semakin tinggi nilai yang diperoleh dari skala kecemasan berbicara di depan umum berarti semakin tinggi kecemasan yang dimiliki subjek penelitian. Sebaliknya semakin rendah nilai yang diperoleh menunjukkan semakin rendah kecemasan berbicara di depan umum pada subjek penelitian.

Skala ini terlebih dahulu diujicobakan untuk mengetahui validitas item dan reliabilitas skala kecemasan berbicara di depan umum pada mahasiswa semester III STAKN Manado. Ujicoba skala dilaksanakan pada tgl 28 Juni – 18 Juli 2012. Ujicoba dilakukan dengan menyebar 53 skala pada mahasiswa semester III UKI Tomohon di Manado. Hasil yang diperoleh dari ujicoba tersebut menunjukkan 12 item yang gugur dari 30 item, dengan koefisien validitas 0,250 dengan asumsi batas koefisien validitas terendah adalah 0,200. Koefisien reliabilitas sebesar 0,825, hal ini mengindikasikan bahwa pengukuran skala kecemasan berbicara di depan umum pada mahasiswa semester III memiliki tingkat kepercayaan sebesar 82,5%.

Skala yang telah diuji coba digunakan sebagai skala pretest.

Metode Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif dengan teknik statistik non parametrik. Penggunaan statistik non parametrik dalam penelitian ini disebabkan karena subjek yang digunakan tergolong kecil. Untuk menguji perbedaan skor antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol sebelum (Pretest) dan setelah (posttest) pelatihan digunakan uji statistik non parametrik model Mann-Whitney Test (Uyanto, 2009). Sedangkan untuk menganalisis perbedaan skor pretest dengan posttestdan posttestdengan follow up pada kelompok eksperimen digunakan Uji Wilcoxon.

Proses analisisnya dilakukan dengan menggunakan program SPSS versi 16.

(15)

60

Jurnal Tumou Tou

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil

Deskripsi Data

Hasil pengukuran secara empirik sebelum pelatihan (pretest) pada kelompok eksperimen ditemukan skor minimal = 51, skor maksimal = 62, nilai mean = 53,33 dan nilai standar deviasi = 3,31. Sedangkan pada kelompok kontrol ditemukan skor minimal = 51, skor maksimal = 58, nilai mean = 52,33dan nilai standar deviasi = 2,23.

Hasil pengukuran secara empirik setelah pelatihan (posttest) pada kelompok eksperimen ditemukan skor minimal = 31, skor maksimal = 47, nilai mean = 38,67dan nilai standar deviasi = 5,43. Sedangkan pada kelompok kontrol ditemukan skor minimal = 51, skor maksimal = 54, nilai mean = 52,11dan nilai standar deviasi = 1,16.

Dari hasil deskripsi data di atas, dapat disimpulkan bahwa skor data posttestyang diperoleh kelompok eksperimen lebih kecil dari skor data posttest yang diperoleh kelompok kontrol.

1. Uji Hipotesis

Untuk menguji hipotesis, dilakukan uji perbedaan nyata antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol setelah kelompok eksperimen diberi perlakuan dengan menggunakan teknik Uji Mann-Withney. Hipotesis yang diajukan adalah kelompok eksperimen mengalami penurunan kecemasan berbicara di depan umum setelah diberi perlakuan.

Hasil uji beda pada saat pretestditemukan nilai Z sebesar -1,388 dan Sig = 0,190 (p>0,05). Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Pada skor posttestditemukan nilai Z sebesar -3,604 dan Sig = 0,000 (p<0,05). Hasil analisis ini menunjukkan bahwa setelah kelompok eksperimen diberi perlakuan, tingkat kecemasan berbicara di depan umum mengalami perbedaan yaitu kecemasan berbicara di depan umum pada kelompok eksperimen mengalami penurunan skor kecemasan bila dibandingkan dengan kelompok kontrol. Ringkasan hasil analisis dapat dilihat pada tabel 11 di bawah ini.

(16)

61

Jurnal Tumou Tou

Tabel 11.

Analisis Uji Mann-Whitney Pretest Posttest

Z -1,388 -3,604

Asymp (2- tailed)

0,165 0,000

Exact Sig (1-tailed)

0,190 0,000

Untuk lebih jelasnya lagi, hasil analisis di atas dibuat dalam bentuk grafik perbedaan kelompok eksperimen dan kelompok kontrol setelah kelompok eksperimen diberi perlakuan. Hasil tersebut dapat dilihat pada grafik gambar 2 di bawah ini.

Gambar 2.

Grafik Perbedaan Uji Beda Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol

Pada gambar 2 di atas, dapat dilihat bahwa hasil pretest antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol tidak mengalami perbedaan. Setelah kelompok eksperimen diberi perlakuan dan dilakukan pengukuran ulang (posttest) baik pada kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol, terlihat jelas kalau grafik kelompok eksperimen mengalami penurunan kecemasan berbicara di depan umum.

Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat kecemasan berbicara di depan umum antara kelompok eksperimen yang diberi perlakuan dengan kelompok kontrol yang tidak diberi perlakuan.

Berdasarkan perolehan skor dan kategori, diketahui bahwa subjek penelitian baik kelompok eksperimen dan kelompok kontrol memiliki tingkat kecemasan tinggi sampai sangat tinggi sebelum diberi perlakuan. Selanjutnya subjek pada kelompok eksperimen diberi pelatihan relaksasi otot sedangkan kelompok kontrol tidak diberikan perlakuan.

Setelah kelompok eksperimen diberi perlakuan, maka dilakukan pengukuran ulang (posttest) baik pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Dari hasil pengukuran,

0 20 40 60

pretest posttest

kelompok eksperimen kelompok kontrol

(17)

62

Jurnal Tumou Tou

kelompok eksperimen memiliki kecemasan berbicara di depan umum yang lebih rendah bila dibandingkan dengan kelompok kontrol.

Bahwa subjek penelitian yang masuk dalam kelompok kontrol tidak mengalami perubahan tingkat kecemasan berbicara di depan umum. Walaupun terdapat penurunan skor pada subjek namun tidak mengalami perubahan kategori tingkat kecemasan berbicara di depan umum. Semua subjek pada kelompok kontrol masih memiliki tingkat kecemasan yang tinggi saat berbicara di depan umum.

Selanjutnya subjek yang termasuk dalam kelompok eksperimen yang sudah mendapatkan perlakuan menunjukkan bahwa sembilan subjek mengalami penurunan tingkat kecemasan berbicara di depan umum. Hal ini menunjukkan bahwa ada penurunan yang signifikan sebelum (pretest) dan setelah (posttest) pemberian pelatihan relaksasi otot pada kelompok eksperimen. Secara keseluruhan skor subjek penelitian baik kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol

Selain menggunakan uji non parametrik dengan teknik Uji Mann-Whitney dalam melihat perbedaan antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, dalam penelitian ini digunakan juga uji non parametrik dengan teknik Wilcoxon.Hal ini bertujuan untuk melihat apakah ada perbedaan antara skor pretest dan posttest pada kelompok eksperimen. Dari hasil uji Wilcoxon, diperoleh nilai Z sebesar -2,668; Sig = 0,008 (p<0,05).Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan skor antara pretest dengan posttest pada kelompok eksperimen. Selain melihat perbedaan skor pretest dan posttest pada kelompok eksperimen, hal yang sama juga dilakukan pada kelompok kontrol. Hasil yang diperoleh menunjukkan nilai Z = -0,171 dengan Sig = 0,864 (p>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan skor antara pretest dan posttest pada kelompok kontrol.

Hal ini dapat dilihat secara jelas pada tabel 15 di bawah ini.

Tabel 15.

Hasil Analisis Wilcoxon Pretest dan Posttest

Kelompok Penelitian Pretest – Posttest

Eksperimen Z = -2,668

Sig = 0,008

Kontrol Z = -0,171

Sig = 0,864

Perbedaan antara skor posttest dan follow up pada kelompok eksperimen, diperoleh nilai Z sebesar-2,173; Sig = 0,030 (p<0,05); mean posttest = 38,78 dan mean follow up sebesar 33,33. Berdasarkan hasil mean follow up diketahui bahwa subjek mengalami penurunan kecemasan berbicara di depan umum sebesar 5 poin. Hal ini menunjukkan bahwa pelatihan relaksasi otot yang diberikan pada kelompok eksperimen

(18)

63

Jurnal Tumou Tou

bisa dikatakan efektif dalam menurunkan kecemasan berbicara di depan umum. Hal ini dapat dilihat secara jelas pada tabel 16 di bawah ini.

Tabel 16.

Hasil Analisis Wilcoxson Posttes-Follow-up Kelompok Eksperimen

Follow Up – Posttest

Z -2,173

Asymp. Sig (2-tailed)

0,030

Mean Posttest

38,78

Mean Follow Up

33,33

(19)

64

Jurnal Tumou Tou

Pembahasan

Berdasarkan hasil analisis terhadap uji hipotesis, diketahui bahwa terdapat perbedaan tingkat kecemasan berbicara di depan umum pada kelompok eksperimen sebelum perlakuan (pretest) dan setelah perlakuan (posttest) berupa Pelatihan Relaksasi Otot. Para subjek kelompok eksperimen yang diberi pelatihan relaksasi otot mengalami penurunan tingkat kecemasan berbicara di depan umum bila dibandingkan dengan subjek kelompok kontrol yang tidak diberi pelatihan relaksasi otot. Hal ini dapat dilihat dari nilai Sig = 0,000 (p<0,05). Nilai tersebut membuktikan bahwa hipotesis yang diajukan peneliti bahwa pelatihan relaksasi otot efektif untuk menurunkan tingkat kecemasan berbicara di depan umum pada mahasiswa semester III STAKN Manado dapat diterima.

Setelah diberi perlakuan (posttest), kelompok eksperimen mengalami penurunan tingkat kecemasan berbicara di depan umum bila dibandingkan dengan kelompok kontrol.

Berdasarkan perolehan skor dan kategori seperti pada tabel 14, diketahui bahwa pada saat posttest yaitu pengukuran ulang tingkat kecemasan berbicara di depan umum pada kelompok eksperimen setelah mendapat pelatihan relaksasi otot diketahui ada penurunan kecemasan berbicara di depan umum yang signifikan pada sembilan orang subjek. Ada satu subjek pada saat pretest memiliki skor dalam kategori sangat tinggi, tetapi setelah posttest subjek tersebut mengalami penurunan kecemasan berbicara di depan umum menjadi kategori rendah. Sementara empat orang subjek saat pretest memiliki skor dalam kategori tinggi, tetapi setelah posttest keempat subjek tersebut mengalami penurunan kecemasan berbicara di depan umum menjadi kategori sedang. Pada tiga orang subjek lainnya saat pretest memiliki skor dalam kategori tinggi, tetapi setelah posttest ketiga subjek tersebut mengalami penurunan tingkat kecemasan berbicara di depan umum menjadi kategori rendah. Berdasarkan perolehan skor dan hasil analisis pada tabel 16 juga diketahui bahwa pada saat tindak lanjut (follow up) yaitu pengukuran ulang setelah sembilan hari mendapatkan perlakuan pelatihan relaksasi diketahui subjek kelompok eksperimen mengalami perubahan yang signifikan dari posttest dan follow up.

Berdasarkan analisis kualitatif yang diperoleh dari pernyataan subjek pada lembar kerja dan lembar evaluasi pelatihan, terlihat bahwa subjek kelompok eksperimen mengalami penurunan kecemasan setelah mengikuti pelatihan relaksasi otot. Subjek pertama merasa pikiran menjadi lebih tenang, sedikit mulai dapat mengatasi rasa cemas, mulai mampu mengatasi detak jantung yang berdebar kencang. Subjek kedua merasa pelatihan relaksasi yang dilaksanakan membuat subjek mampu menguasai ketegangan dan menjadikannya rileks dan relaksasi ini bisa dilaksanakan kapan saja. Subjek ketiga mengemukakan bahwa subjek merasa menjadi lebih santai, berpikir menjadi lebih lancar dan meningkatkan rasa percaya diri. Bagi subjek keempat, pelatihan ini dirasa mampu membuat perasaan menjadi lebih baik, pikiran menjadi lebih jernih (fres dan plong) serta

(20)

65

Jurnal Tumou Tou

ketegangan pada otot mulai berkurang. Selanjutnya subjek kelima mengatakan bahwa setelah mengikuti pelatihan relaksasi, subjek merasa benar-benar nyaman, tidak ada ketegangan lagi, menjadi mampu untuk merilekskan otot-otot saat tegang. Menurut subjek keenam, perasaan terasa lebih tenang, beban-beban terasa hilang dan kegugupan saat pertama mengikuti pelatihan relaksasi menjadi hilang. Subjek ketujuh mengatakan bahwa setelah mengikuti pelatihan relaksasi, subjek merasa lebih tenang dan nyaman baik pikiran maupun fisiknya. Bagi subjek kedelapan, hal yang dirasakan setelah mengikuti pelatihan ini adalah perasaan menjadi lebih tenang karena biasanya kalau lagi tegang, perasaan tidak tenang, badan terasa lebih rileks dan nyaman. Subjek kesembilan mengatakan bahwa setelah mengikuti pelatihan relaksasi perasaan menjadi tenang, rasa cemas dan takut mulai hilang serta badan terasa nyaman.

Berdasarkan pernyataan para subjek kelompok eksperimen, maka dapat disimpulkan bahwa setelah mendapatkan pelatihan relaksasi otot, subjek memiliki kemampuan untuk mengontrol detak jantung, rasa takut mulai berkurang, mengetahui bagaimana cara mengurangi ketegangan, subjek menjadi lebih bersemangat, berpikir menjadi lebih lancar dan lebih yakin dengan kemampuan yang dimiliki serta mengurangi rasa gugup yang biasanya muncul saat berhadapan dengan orang baru. Hal ini sesuai dengan pendapat Bower (dalam Utami & Purnamaningsih, 1998), bahwa relaksasi otot dapat digunakan untuk merilekskan otot-otot yang tegang ketika individu mengalami kecemasan berbicara di depan umum. Dengan belajar melemaskan otot-otot yang tegang dalam badan, maka rasa takut dapat dikontrol. Individu yang melakukan latihan-latihan relaksasi otot secara rutin dapat memperoleh ketrampilan berbicara di depan umum dengan lebih mudah (Bower dalam Utami & Purnamaningsih, 1998).

Penelitian ini mendukung beberapa penelitian sebelumnya. Penelitian yang dilakukan oleh Prawitasari dan Utami (1991) pada mahasiswa psikologi UGM menunjukkan bahwa relaksasi dan terapi kognitif efektif untuk menurunkan kecemasan berbicara di depan umum. Dimana antara relaksasi dan terapi kognitif tidak terdapat perbedaan dalam mengurangi kecemasan berbicara di depan umum. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Marchira, Prabandari dan Suyamto (2009), menunjukkan bahwa relaksasi otot efektif dalam menurunkan kecemasan yang terjadi pada mahasiswa Akademi Keperawatan Notokusumo Yogyakarta menjelang ujian akhir program.

Relaksasi adalah status hilang dari ketegangan otot rangka dimana individu dapat mencapainya melalui praktek yang disengaja (Carpenito, 2000). Carpenito (2000) menyebutkan beberapa bentuk teknik relaksasi yaitu biofeedback, yoga, meditasi dan latihan relaksasi progresif. Selain itu relaksasi dapat diartikan sebagai keadaan yang menggambarkan bahwa tidak terdapat ketegangan baik secara fisik, emosi maupun secara mental (Syer & Connonlly dalam Wulandari, 2005). Jadi latihan relaksasi adalah latihan

(21)

66

Jurnal Tumou Tou

untuk mendapatkan keadaan tersebut. Relaksasi otot atau relaksasi progresif adalah teknik melemaskan otot yang berdasarkan pada keyakinan bahwa tubuh merespon keadaan yang menegangkan atau mencemaskan yang menyebabkan terjadinya ketegangan otot (Davis, 1995).

Pelatihan relaksasi otot merupakan salah satu terapi berupa pemberian instruksi kepada seseorang dalam bentuk gerakan-gerakan yang tersusun secara sistematis untuk merilekskan otot-otot dan mengembalikan kondisi dari keadaan tegang ke keadaan rileks, normal dan terkontrol dari gerakan tangan sampai kepada gerakan kaki (Utami, 2002).

Pelatihan relaksasi otot yang dilaksanakan selama dua hari bagi kelompok eksperimenterdiri dari tiga tahap.Hari pertama, tahap awal terdiri daridua sesi yaitu perkenalan dan ice breaking, diawali dengan pengisian lembar kontrak pelatihan dan informed concern dan pembacaan tata tertip.

Tahap tengah merupakan inti pelatihan yang terdiri dari tiga sesi yaitu kenali lebih jauh (konsep dan teknik relaksasi), sesi pelaksanaan relaksasi serta sesi evaluasi praktik.

Hari kedua dimulai dengan senam alam, sesi ini bertujuan untuk mempersiapkan kondisi fisik peserta agar siap melanjutkan proses pelatihan. Dalam sesi ini, peserta diminta membentuk beberapa baris berjajar. Setelah sesi senam alam, dilanjutkan dengan review hasil belajar hari pertama dan tugas praktik relaksasi otot progresif di rumah.

Setelah melakukan review, diadakan praktik tahap kedua. Pada tahap ini, peserta diminta untuk kembali melakukan praktik relaksasi otot progresif. Hal ini bertujuan agar peserta semakin menguasai cara-cara menegangkan dan merilekskan otot dengan benar.

Tahap akhir berisi evaluasi atau pemberikan penilaian terhadap pelatihan secara keseluruhan baik dari segi materi dan fasilitas yang diberikan selama pelatihan berlangsung serta saran yang dapat diberikan untuk pelatihan yang telah dilakukan.Dari hasil evaluasi pelatihan, proses pelatihan dinilai baik oleh subjek baik subjek yang termasuk dalam kelompok eksperimen maupun subjek yang masuk dalam kelompok kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa materi yang diberikan dapat diterima dengan baik dan sesuai dengan kebutuhan untuk menurunkan kecemasan berbicara di depan umum terutama dalam mempresentasikan tugas-tugas di depan teman-teman. Berdasarkan hasil evaluasi pelatihan terlihat kalau para peserta menginginkan agar pelatihan ini sering diadakan. Karena dengan adanya pelatihan relaksasi otot ini para peserta merasa lebih bersemangat dan yakin bahwa mereka mampu mengontrol ketegangan-ketegangan yang dialami dalam kehidupan sehari-hari terlebih dalam dunia akademik.

Pelatihan relaksasi otot progresif ini dilakukan selama tiga hari, dua hari untuk kelompok eksperimen dan satu hari untuk kelompok kontrol. Pelatihan relaksasi otot ini diberikan oleh seorang psikolog yang sudah berpengalaman dalam memberikan pelatihan relaksasi otot. Selama pelatihan para peserta terlihat antusias dan semangat dalam

(22)

67

Jurnal Tumou Tou

mengikuti sesi demi sesi pelatihan hingga sesi terakhir yaitu sesi evaluasi dan penutupan pelatihan. Dalam pelatihan ini, para peserta terlibat aktif dalam permainan, latihan relaksasi otot serta dalam diskusi yang dilakukan.

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan secara menyeluruh bahwa pelatihan relaksasi otot dapat menurunkan kecemasan berbicara di depan umum pada mahasiswa semester III yang mengalami kecemasan berbicara di depan umum.

(23)

68

Jurnal Tumou Tou

PENUTUP Kesimpulan

Hasil penelitian ini membuktikan bahwa terdapat perbedaan tingkat kecemasan berbicara di depan umum sebelum dan setelah diberi pelatihan relaksasi otot. Mahasiswa yang diberi pelatihan relaksasi otot memiliki kecemasan yang lebih rendah dibandingkan dengan mahasiswa yang tidak diberikan pelatihan relaksasi otot. Sebelum mendapatkan pelatihan relaksasi otot progresif satu subjek memiliki kecemasan berbicara di depan umum tergolong sangat tinggi. Namun setelah diberi pelatihan relaksasi otot mengalami penurunan kecemasan berbicara di depan umum menjadi rendah. Selain itu sembilan subjek yang awalnya memiliki kecemasan berbicara di depan umum tinggi, setelah diberi pelatihan lima subjek mengalami penurunan ketaraf sedang dan empat subjek mengalami penurunan kecemasan berbicara di depan umum pada taraf rendah.

Hasil analisis menggunakan teknik Wilcoxon pada kelompok eksperimen menunjukkan bahwa pelatihan relaksasi otot efektif untuk menurunkan kecemasan berbicara di depan umum pada mahasiswa semester III STAKN Manado.

Saran

Berdasarkan pelaksanaan penelitian dan hasil yang diperoleh, maka saran yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut :

1. Kepada mahasiswa semester III STAKN Manado yang menjadi subjek penelitian, disarankan untuk dapat memanfaatkan secara maksimal pelatihan yang telah diikuti, serta dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam dunia akademik meskipun tanpa bimbingan trainer.

2. Kepada pimpinan STAKN Manado, disarankan untuk mengadakan pelatihan relaksasi otot pada kesempatan yang lain. Hal ini bertujuan untuk menurunkan kecemasan berbicara di depan umum pada mahasiswa. Sehingga pada saat mahasiswa melakukan praktek dilapangan tidak lagi mengalami kecemasan saat harus berbicara di depan umum.

3. Hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu referensi bagi mahasiswa program profesi psikologi untuk menggunakan teknik relaksasi otot sebagai salah satu teknik intervensi dalam mengatasi kasus yang berkaitan dengan kecemasan berbicara di depan umum, khususnya pada kasus perguruan tinggi.

(24)

69

Jurnal Tumou Tou

DAFTAR PUSTAKA

Adler, R.B, & Rodman, G. (1991). Understanding human communication (4ͭ ͪ ed). Fort Worth: Holt, Rinehart & Winston Inc.

Astrid, I.D.A. (2010). Hubungan Antara Self-Efficacy dengan Kecemasan Berbicara di Depan Umum Pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatra Utara.

Skripsi (tidak diterbitkan) [On-Line].

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/14504/1/10E00001.pdf. Tanggal Akses 27 Mei 2012.

Azwar, S. (2000). Sikap Manusia. Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Aryuni, A.U. (2007). Efek Musik Mozart terhadap Penurunan Kecemasan Berbicara Di Muka Umum.Skripsi (tidak diterbitkan). Makassar: Fakultas Psikologi Universitas Negeri Makassar.

Bandura, A. (1997). Self Efficacy-The Exercise of Control. New York: Freeman and Company.

Beck, R.C. (2000). Motivation Theories and Principles. New Jersey: Prentice-Hall.

Blackburn, I.M & Davidson, K.M. (1990). Cognitive Therapy for Depression & Anxiety.

(Terjemahan). Semarang: IKIP Semarang Press.

Brody, M & Kent, S. (1993). Power Presentation. New York: John Wiley & Sons Inc.

Burgoon, M & Ruffner, M. (1978). Human Communication. New York : Holt Rinehart and Winston Inc.

Byers, P.Y & Weber, C.S. (1995). The Timing Of Speech Anxiety Reduction Treatments in the Public Speaking Classroom. The Southern Communication Journal, 60, 246- 256.

Calhoun, J.F & Acocella, J.r. (1990).Psikologi Tentang Penyesuaian dan Hubungan Kemanusiaan (alih bahasa Satmoko). Semarang. IKIP Semarang Press.

Chandra, P.E. (2001). Menjadi Enterpreneur Sukses. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.

Chaplin, J.P. (1995). Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: Rajawali Grafindo Persada.

Davis. (1995). Panduan Relaksasi dan Reduksi Stres. Edisi III. Ahli bahasa: Achir Yani &

Anna Keliat. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran. EGC.

Davidson, C, G. (2008). Psikologi Abnormal. (Nurmalasari, F., Terj). Jakarta: Raja Grafindo Persada. (Karya asli terbit 2004).

Dewi, A.P &Andrianto, S. (2007). Hubungan antara Pola Pikir dengan Kecemasan Berbicara di Depan Umum Pada Mahasiswa Fakultas Keguruan. [On-Line]

http://www28.indowebster.com/ac2d8c89734f144a40a1a4f5790e6a83.phdf. Tanggal Akses 7 Januari 2012.

(25)

70

Jurnal Tumou Tou

Devito, J.A. (1995). The Interpersonal Communication Book (7ᵗ ͪ ed). New York Harper Collins College Publisher.

Durand. V.M & Barlow. D.H. (2006). Intisari Psikologi Abnormal edisi ketujuh. (terj) Hally Prajitno dan Sri Mulyantini Soetjipto. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Feist, J & Feist, G.J. (2010). Theories of Personality. Edisi Ketujuh. Penerjemah Smitha Prathita Sjahputri. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Feldman, P & Orford, J. (1980). Psychological Problems. New York : John Wiley & Sons Inc.

Hadi, S. (2000). Statistik. Jilid 2. Yogyakarta: Andi Offset.

Hardjana, A.M. (2002). Stres tanpa Distres. Seni Mengelola Stres. Yogyakarta: Liberty.

Hardjana, A.M. (2003). Training SDM yang Efektif. Yogyakarta: Karnisius.

Huda, S. (2004). Perbedaan Kecakapan Hidup (life skill) antara Peserta dan Bukan Peserta Pelatihan Managemen Diri (PMI). Skripsi (tidak diterbitkan). Yogyakarta:

Universitas Wangsa Manggala.

Hudaniah & Dayakisni, T. (2002). Psikologi Sosial. Edisi Revisi. Malang: Penerbit Universitas Muhammadiyah.

Karyono. (1994). Efektivitas Relaksasi Dalam Menurunkan Tekanan Darah Pada Penderita Hipertensi Ringan. Tesis (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

Lazarus, R.S. (1976). Patterns of Adjustment and Human Effectiveness. Tokyo: McGraw – Hill Kogakesha.

Lynton, R.P & Pareek, U. (1990). Training for Development, 2nd. New Delhi: Vistaar Publication.

Maramis, W.F. (2005). Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi kedua. Surabaya: Airlangga University Press.

McCroskey, J.R. (1984). The Communication Apprehension Perspective. [On-Line].

http://www.jamesmccroskey.com/publications/bookchapters/003_1984_C1.pdf.

Tanggal Akses 7 Januari 2012.

Nevid, J.S., Rathus, S.A & Greene, B. (2005). Psikologi Abnormal Jilid 1. Jakarta : Erlangga.

Ochs, D.J & Winkler, A.C. (1979). A Brief Introduction to Speech. New York: Harcourt Brace Jovanovich, Inc.

Opt, S.K & Loffredo, D.A. (2000). Rethinking Communication Apprehension : A Myers – Briggs Perspective. The Journal Psychology. 134 (5). 556-570.

Prawitasari, J.E. (1993). Efektifitas Terapi Relaksasi. Jurnal Psikologi. 30 (XIII), 19-33.

Rahkmat, S. (1995). Psikologi Komunikasi. Edisi revisi, cetakan ke-22. Bandung: PT.

Remaja Rosda Karya.

Sugiyono. (2009). Statistik Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.

(26)

71

Jurnal Tumou Tou

Suhandang, K. (2009). Retorika Strategi Teknik dan Taktik Pidato. Bandung: Nuansa.

Sundari, S. (2005). Kesehatan Mental dalam Kehidupan. Jakarta: Rineka Cipta.

Suyamto., Prabandari, Y.S., Marchira, C.R. (2009). Pengaruh Relaksasi Otot dalam Menurunkan Skor Kecemasan T-TMAS Mahasiswa Menjelang Ujian Akhir Program di Akademik Keperawatan NOTOKUSUMO. Jurnal Berita Kedokteran Masyarakat. Vol 25 No. 3, hal 142-149.

Thanan, M. (2001). Risalah Pergerakan Pemuda Islam. Jakarta: Visi Media.

Triana, R. (2005). Hubungan antara Citra Raga dengan Kecemasan Berbicara di Depan Umum. [On-Line]. http://www.pdf-search-engine.com/berbicara-di-depan-umum- pdf-html. Tanggal Akses 17 Januari 2012.

Urban. (2007). Positive Words; Powerful Results. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer.

Utami, M.S & Prawitasari, J.E. (1991). Efektivitas Relaksasi dan Terapi Kognitif Untuk Mengurangi Kecemasan Berbicara di Muka Umum. Jurnal BPPS-UGM. 4 (2A), hal 311-321.

Utami, M.S & Purnamaningsih, E.H. (1998). Efektivitas Terapi Perilaku Kognitif Untuk Mengurangi Kecemasan Berbicara di Muka Umum. Jurnal Psikologi. No. 1, 65- 76.

Utami, M.S. (2002). Prosedur-Prosedur Relaksasi. Psikoterapi Pendekatan Konvensional dan Kontemporel. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Uyanto, S.S. (2009). Pedoman Analisis Data dengan SPSS. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Wulandari, I. (2005). Efektivitas Pelatihan Relaksasi Progresif untuk Mengurangi Stres pada Ibu Rumah Tangga Tidak Bekerja. Skripsi (tidak diterbitkan). Yogyakarta:

Universitas Wangsa Manggala.

Gambar

Tabel 1  Rancangan Eksperimen  R   Pre-test  Perlakuan  Post-test 1  Post-test 2  KE  T1  X  T2  T3  KK  T1  -  T2  -  Keterangan :  KE  : Kelompok Eksperimen  KK  : Kelompok Kontrol  R  : Random Assignment

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Ayat-ayat Alquran menyebut keadilan dalam konteks yang sangat beragam, mulai dari proses penetapan hukum, adil terhadap diri sendiri, adil dalam berbagai aktivitas dan keadilan

1. Assesment bicara aspetual individual adalah assesment yang dilakukan oleh seorang penilai yang hanya ditujukan pada salah satu aspek bicara tertentu saja, dimana data yang

Dalam rangka memberikan arah dan tujuan dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan pembangunan daerah sesuai dengan visi misi Gubernur berdasarkan Undang-Undang Nomor

Dari hasil perhitungan diperoleh balok dimensi 50/70 dengan kebutuhan tulangan tumpuan, lapangan dan geser yang dapat dilihat pada Tabel 7 dan Tabel 8.. Penulangan Lentur

Sedangkan metode yang digunakan oleh dosen dalam mengajarkan Muhadatsah III adalah dengan mengistruksikan mahasiswa untuk menyiapkan materi kemudian meminta mereka

Dari hasil analisis data secara uji laboratorium dan statistik bahwa besar debit aliran pada pipa ventllrimeter melalui pengukllran cara pertama tidak berbeda

pelayanan dalam penelitian ini dikumpulkan melalui kuesioner, sedangkan kepatuhan wajib pajak merupakan data sekunder yang diperoleh dari Kantor Pelayanan Pajak Pratama, agar

Sedangkan minyak dan lemak merupakan campuran dari berbagai jenis asam lemak berupa trigliserida sehingga tidak memiliki titik cair yang tajam dan digunakan slip melting