• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI A. Kekerasan 1. Pengertian Kekerasan Pada Anak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN TEORI A. Kekerasan 1. Pengertian Kekerasan Pada Anak"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

19 BAB II KAJIAN TEORI

A. Kekerasan

1. Pengertian Kekerasan Pada Anak

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa yang dimaksud anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Dalam Islam, batas usia seorang anak adalah setelah dia mendapat tanda-tanda baligh (mumayyiz). Jika tanda- tanda ini mendatangi seorang anak, maka dia sudah beralih ke masa dewasa, yang kepadanya sudah dibebankan tanggungjawab (dunia dan akhirat). Pengertian kekerasan terhadap anak sebagaimana yang termaktub dalam UU Perlindungan Anak Pasal 13 adalah “diskriminasi, eksploitasi baik fisik maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan, ketidakadilan, dan perlakuan salah lainnya.”

(Herlina, 2010: 2).

Kata kekerasan disini adalah yang biasa diterjemahkan dari violence. Violence berkaitan erat dengan gabungan kata Latin “vis” (daya, kekuatan) dan “latus” (yang berasal dari ferre, membawa) yang kemudian berarti membawa kekuatan. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, karangan Poerwadarminta, kekerasan diartikan sebagai “sifat atau hal yang keras; kekuatan; paksaan”. Sedangkan “paksaan” berarti tekanan, desakan yang keras. Kata-kata ini bersinonim dengan kata “memperkosa” yang berarti menundukan dengan kekerasan; menggagahi; memaksa dengan kekerasan dan melanggar dengan kekerasan. Jadi, kekerasan berarti membawa kekuatan, paksaan dan tekanan. (Amirudin, 2007: 7-20)

Kekerasan merupakan tindakan yang disengaja yang mengakibatkan cidera fisik atau tekanan mental (Carpenito, 2009: 22-29). Campbell dan Humphrey mendefinisikan kekerasan anak sebagai berikut “setiap

(2)

tindakan yang mencelakakan atau dapat mencelakakan kesehatan dan kesejahteraan anak yang dilakukan oleh orang yang seharusnya bertanggung jawab terhadap kesehatan dan kesejahteraan anak tersebut”

(Yani, S.A. 2008: 22-29)

Kekerasan dalam berbagai bentuk menjadi motif sebagian perilaku budaya masyarakat Indonesia yang hingga kini merupakan mainstream yang mereduksi tata nilai kepribadian bangsa dan memberikan kesan betapa iklim kebersamaan manusia belum sepenuhnya mampu memiliki kepribadian mawas diri secara politis, ekonomis dan sosial kepribadian bangsa dan memberikan kesan betapa iklim kebersamaan manusia belum sepenuhnya mampu memiliki kepribadian mawas diri secara politis, ekonomis dan sosial, (Maghfur, 2003).

M. Marwan dan Jimmy (2009) menyatakan bahwa kekerasan adalah hal yang bersifat atau berciri keras yang menyebabkan cidera atau matinya orang lain kerusakan fisik, atau barang atau paksaan. Menurut Ricard J.

Gelles (Hurairah, 2012: 47), kekerasan terhadap anak merupakan perbuatan disengaja yang menimbulkan kerugian atau bahaya terhadap anak-anak (baik secara fisik maupun emosional). Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kekerasan terhadap anak adalah segala bentuk perlakuan baik secara fisik maupun psikis yang berakibat penderitaan terhadap anak.

Dari berbagai definisi kekerasan menurut para ahli tersebut penulis mengambil kesimpulan bahwa kekerasan merupakan tindakan yang tidak pantas utuk diterapkan dalam mendidik anak. Kekerasan termasuk tindakan yang mencelakakan kesehatan dan ketenangan anak, mengakibatkan cidera fisik atau tekanan mental pada anak. Yang seharusnya orang tua bertanggung jawab terhadap kesehatan dan masadepan anak, dari tindak kekerasan ini orang tua secara tidak langsung telah mematahkan kesehatan dan masadepan anaknya sendiri.

(3)

2. Orang Tua

Orang Tua adalah ayahatau ibu seorang anak, baik melalui hubungan biologis maupun sosial. Umumnya, orang tua memiliki peranan yang sangat penting dalam membesarkan anak, dan panggilan ibu/ayah dapat diberikan untuk perempuan/pria yang bukan orang tua kandung (biologis) dari seseorang yang mengisi peranan ini. Contohnya adalah pada orang tua angkat (karena adopsi) atau ibu tiri (istri ayah biologis anak) dan ayah tiri (suami ibu biologis anak).

Menurut, Thamrin Nasutionorangtua merupakan setiap orang yang bertanggung jawab dalam suatu keluarga atau tugas rumah tangga yang dalam kehidupan sehari-hari disebut sebagai bapak dan ibu.Jika menurut Hurlock, orang tua merupakan orang dewasa yang membawa anak sampaiberanjak dewasa, terutama dalam masa perkembangan. (Nasution:

1986: 59)

Tugas orang tua melengkapi dan mempersiapkan anak menujukedewasaan dengan memberikan bimbingan dan pengarahan yang dapat membantu anak dalam menjalani kehidupannya sampai mandiri.

Dalam memberikan bimbingan dan pengarahan pada anak akan berbeda pada masing-masing orang tua kerena setiap keluarga memiliki kondisi- kondisi tertentu yang berbeda corak dan sifatnya antara keluarga yang satu dengan keluarga yang lain-nya.

Adapun konflik anak dengan orang tua merupakan salah satu hal yang banyak mengandung perhatian para peneliti. Area yang menjadi perhatian pada umumnya adalah frekuensi terjadinya konflik, topik yang menjadi konflik dan cara yang digunakan untuk melakukan resolusi konflik. Beberapa peneliti menunjukkan pola kurvalinier pada intensitas konflik orang tua-anak, yaitu meningkat pada remaja awal, mencapai puncaknya pada remaja tengah, dan menurun pada remaja akhir (Montemayor, 1983). Sementara beberapa penelitian lain mengungkapkan kecenderungan menurun secara linear dengan intensitas konflik lebih tinggi terjadi pada remaja awal dan menurun pada remaja akhir (Allison&

(4)

Schultz, 2004; Laursen, Coy, & Collins, 1998). Walaupun terdapat kesamaan dalam hal tingginya intensitas konflik pada masa remaja awal, faktor usia ternyata tidak dapat digunakan sebagai patokan bagi kecenderungaan meningkat atau menurunnya konflik orang tua-anak.

Faktor pola interaksi mungkin bisa lebih memprediksikan intensitas konflik, sebagaimana diungkap oleh Rueter dan Conger (1995: 46) bahwa konflik orang tua-anak meningkat dalam keluarga dengan kondisi penuh permusuhan dan menurun dalam keluarga yang hangat dan sportif.

Konflik orang tua dengan anak pada umumnya bersifat hierarkis dan berkenaan dengan kewajiban (Adams & Laursen, 2001: 343-353). Orang tua berada di posisi yang lebih tinggi yang harus dipatuhi, dan anak dipandang memiliki kewajiban terhadap orang tua. Berbeda dengan konflik yang dialami dengan teman sebaya yang bersifat setara dan fakultatif. Konflik orang tua dengan anak juga cenderung memancing tindakan koersif, yang merupakan kombinasi antara efeksi negative, resolusi yang bersifat mendominasi dan akibat yang tidak setara pada masing-masing yang berkonflik.

Banyak yang beranggapan bahwa konflik orang tua-anak disebabkan oleh sikap anak yang menentang orang tuanya. Sebagian ilmuwan memandang penentangan anak merupakan tanda terkikisnya moral.

Berbagai label disematkan pada anak, seperti malas, kurang hormat, dan liar. Kajian tentang penentangan anak sudah di mulai oleh David M. Levy dan Simon H. Tulchin (1923,1925: 296), yang menyimpulkan bahwa prilaku menentang anak dimulai pada usia antara delapan bulan sampai dua tahun, memuncak pada usia antara tiga setengah sampai empat tahun dan mulai menurun sejak usia lima hingga enam tahun. Levy mendefinisikan penentangan sebagai prilaku menolak untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan otoritas dan prilaku yang menjadi kebiasaan umum (Grieshaber, 2004: 15-16).

Kedekatan anak dengan orang tua para anak menyatakan memiliki kedekatan dengan orang tua yang berbeda-beda. anak yang tinggal satu

(5)

rumah dengan orang tuanya dan merasa nyaman berinteraksi dengan ayah ibunya mengungkapkan perasaan dekat dengan keduanya. Mereka bisa berbagi cerita dengan kedua orang tuanya tentang peristiwa yang di alami di sekolah dan melakukan kegiatan bersama seperti menonton TV, melakukan tugas rumah, dan ada pula yang berekreasi. Para anak tersebut jarang mengalami masalah di sekolah, sehingga tidak pernah berurusan dengan guru BK di sekolah karena prilakunya, (Lestari 2012: 178)

Anak yang bermasalah di sekolah pada umumnya adalah anak yang berasal dari keluarga yang bermasalah. Masalah di dalam keluarga tersebut dapat berupa relasi ayah ibu yang bermasalah dan sering mengalami konflik, prilaku orang tua yang bermasalah seperti sering mabuk akibat minum minuman keras dan berjudi, dan relasi orang tua-anak yang bermasalah. Masalah dalam relasi orang tua anak misalnya adalah orang tua terlalu sering memarahi anak tanpa melakukan klarifikasi pada anak, dan mudah memberikan hukuman pada anak. Bahkan dalam memberikan hukuman ada yang bersifat fisik seperti menjewer, mencetot, mencubit, memukul dengan sapu, memukul dengan ikat pinggang, dan memukul dengan tangan.

Ketika ditanyakan pada anak tentang harapannya pada orang tua, anak yang sering dihukum berharap orang tuanya tidak lagi memberikan hukuman fisik. Pemberian hukuman fisik pada mereka tidak hanya dirasakan sebagai sakit fisik, tetapi juga dimaknai sebagai rasa tidak sayang orang tua kepada diri mereka. anak mengharapkan orang tuanya tidak mudah marah, karena dalam persepsi mereka kemarahan dan penghukuman yang dilakukan orang tua menandakan orang tua tidak menghendaki keberadaan mereka secara pribadi. Respons psikologis yang anak kembangkan adalah mereka tidak merasa betah di rumah, dan membayangkan untuk pergi dari rumah begitu mereka selesai sekolah, , (Lestari 2012: 178-179)

Berbeda halnya dengan remaja yang relatif tidak bermasalah di sekolah dan tidak mengalami problem relasi dengan orang tua. Pada

(6)

umumnya mereka masih bisa menerima kemarahan orang tua bila mereka berbuat kesalahan. Bahkan remaja yang merasa dekat dengan orang tua mempersepsikan kemarahan orang tua sebagai salah satu tanda orang tua menyayangi mereka. Walaupun demikian, mereka juga mengungkapkan harapan agar orang tua tidak terlalu mudah marah, dan mau memperlakukan mereka dengan penuh kelembutan dan kasih sayang, juga lebih memperhatikan mereka, (Lestari 2012:179)

3. Dampak Kekerasan Orang Tua Terhadap Perkembangan Psikologis Anak

Anak-anak korban kekerasan umumnya psikologisnya menjadi sakit, dendam, dan menampilkan perilaku menyimpang di kemudian hari.

Bahkan, Komnas Perlindungan Anak dalam Nataliani, (2004) mencatat, seorang anak yang berumur 9 tahun yang menjadi korban kekerasan, memiliki keinginan untuk membunuh ibunya.

Berikut ini adalah dampak-dampak yang ditimbulkan kekerasan orangtuaterhadap fisik maupun psikologis anak antara lain:

1) Dampak kekerasan fisik

Anak yang mendapat perlakuan kejam dari orang tuanya akan menjadi sangat agresif, dan setelah menjadi orang tua akan berlaku kejam kepada anak-anaknya. Orang tua agresif melahirkan anak-anak yang agresif, yang pada gilirannya akan menjadi orang dewasa yang menjadi agresif. Lawson (dalam Sitohang, 2004) menggambarkan bahwa semua jenis gangguan mental ada hubungannya dengan perlakuan buruk yang diterima manusia ketika dia masih kecil.

Kekerasan fisik yang berlangsung berulang-ulang dalam jangka waktu lama akan menimbulkan cedera serius terhadap anak, meninggalkan bekas luka secara fisik hingga menyebabkan korban meninggal dunia.

2) Dampak kekerasan psikis

UNICEF (1986) mengemukakan, anak yang sering dimarahi orang tuanya, apalagi diikuti dengan penyiksaan, cenderung meniru perilaku buruk (coping mechanism) seperti bulimia nervosa

(7)

(memuntahkan makanan kembali), penyimpangan pola makan, anorexia (takut gemuk), kecanduan alkohol dan obat-obatan, dan memiliki dorongan bunuh diri. Menurut Nadia (1991: 83), kekerasan psikologis sukar diidentifikasi atau didiagnosa karena tidak meninggalkan bekas yang nyata seperti penyiksaan fisik. Jenis kekerasan ini meninggalkan bekas yang tersembunyi yang termanifestasikan dalam beberapa bentuk, seperti kurangnya rasa percaya diri, kesulitan membina persahabatan, perilaku merusak, menarik diri dari lingkungan, penyalahgunaan obat dan alkohol, ataupun kecenderungan bunuh diri.

3) Dampak kekerasan seksual

Menurut Mulyadi (Sinar Harapan, 2003: 18) diantara korban yang masih merasa dendam terhadap pelaku, takutmenikah, merasa rendah diri, dan trauma akibat eksploitasi seksual, meski kini mereka sudah dewasa atau bahkansudah menikah. Bahkan eksploitasi seksual yang dialami semasa masih anak-anak banyak ditengarai sebagaipenyebab keterlibatan dalam prostitusi. Jika kekerasan seksual terjadi pada anak yang masih kecil pengaruh burukyang ditimbulkan antara lain dari yang biasanya tidak mengompol jadi mengompol, mudah merasa takut, perubahanpola tidur, kecemasan tidak beralasan, atau bahkan simtom fisik seperti sakit perut atau adanya masalah kulit, dll(Nadia, 1991: 83).

4) Dampak penelantaran anak

Pengaruh yang paling terlihat jika anak mengalami hal ini adalah kurangnya perhatian dan kasih sayang orang tua terhadap anak, Hurlock (1990: 74-82) mengatakan jika anak kurang kasih sayang dari orang tua menyebabkan berkembangnya perasaan tidak aman, gagal mengembangkan perilaku akrab, dan selanjutnya akan mengalami masalah penyesuaian diri pada masa yang akan datang.

5) Dampak kekerasan lainnya

Dampak kekerasan terhadap anak lainnya (Sitohang, 2004) adalah kelalaian dalam mendapatkan pengobatan menyebabkan kegagalan

(8)

dalam merawat anak dengan baik. Kelalaian dalam pendidikan, meliputi kegagalan dalam mendidik anak mampu berinteraksi dengan lingkungannya gagal menyekolahkan atau menyuruh anak mencari nafkah untuk keluarga sehingga anak terpaksa putus sekolah.

Berdasarkan uraian diatas dampak kekerasan terhadap anak antara lain:

a) Kerusakan fisik atau luka fisik

b) Anak akan menjadi individu yang kurang percaya diri, pendendam dan agresif

c) Memiliki perilaku menyimpang, seperti: menarik diri dari lingkungan, penyalahgunaan obat dan alkohol sampaidengan kecenderungan bunuh diri.

d) Jika anak mengalami kekerasan seksual maka akan menimbulkan trauma mendalam pada anak, takut menikah,merasa rendah diri, dan lain-lain.

e) Pendidikan anak yang terabaikan.

4. Kekerasan Psikologis Pada Anak

Menurut Soenarto seorang ahli psikologis menjelaskan: kekerasan psikologis adalah kekerasan yang dilakukan oleh pelaku terhadap mental korban dengan cara membentak, menyumpah, mengancam, merendahkan, memerintah, melecehkan, menguntit, dan memata-matai, atau tindakan- tindakan lain yang menimbulkan rasa takut (termasuk yang diarahkan kepada orang-orang dekat korban, misalnya keluarga, anak, suami, teman, atau orangtua).Tindak kekerasan psikologis yang dialami oleh anak didik ternyata belum berakhir. Dalam kenyataan masih banyak kita lihatadanya bentakan, ejekan dan bahkan hukuman yang diberikan oleh para pendidik terhadap anak didik yang melakukan pelanggaran tata tertib.

Begitu marahnya para pendidik sehingga tidak mampu menahan emosi, sampai muncul ucapan-ucapan yang menghardik, memarahi, menyindir bahkan terkadang menghujat. Kaka-kata seperti, dasar pemalas, dasar pembolos, susah diatur,dan sejenisnya seakan meluncur dengan

(9)

mudahnya dari mulut para pendidik, anak dididik dalam situasi ini telah mengalami suatu bentuk kekerasan psikologis.

Secara fisik mungkin anak-anak tidak sakit, namun secara psikologis pasti mereka merasa disakiti perasaannya. Jika boleh membalas mungkin anak-anak akan melakukan pembalasan dengan kata-kata yang lebih menantangnya bahkan memukul orangtuanya jika anak yang terlalu berani.

Maka tak mengherankan jika akhirnya anak-anak melampiaskan kekesalannya dengan mengumpat, mencoret-coret tembok, merusak fasilitas, dan pada masa dewasa anak bisa saja menghujat anaknya pula dengan kata-kata kotor. Ini wujud balasan anak-anak yang merasa tersakiti akhibat didikan orangtuanya sampai anak(korban) melakukan hal yang sama terhadap anaknya.

5. Bentuk-Bentuk Kekerasan Orang Tua Pada Anak

Terry E. Lawson (dalam Huraerah, 2007: 47), psikiater internasional yang merumuskan definisi tentang child abuse, menyebut ada empat macam abuse, yaitu emotional abuse, verbal abuse, physical abuse, dan sexual abuse).

a) Kekerasan secara Fisik (physical abuse)

Physical abuse, terjadi ketika orang tua/pengasuh dan pelindung anak memukul anak (ketika anak sebenarnya memerlukan perhatian). Pukulan akan diingat anak itu jika kekerasan fisik itu berlangsung dalam periode tertentu. Kekerasan yang dilakukan seseorang berupa melukai bagian tubuh anak. Seperti orangtua memukul anaknya ketika menyuruh anaknya mandi, membersihkan rumah, selalu menggunakan tangan-nya karena itu sudah menjadi suatu kebiasaan ketika anaknya tidak menuruti perintah orangtuanya.

b) Kekerasan Emosional (emotional abuse)

Emotional abuse terjadi ketika orang tua/pengasuh dan pelindung anak setelah mengetahui anaknya meminta perhatian, mengabaikan anak itu. Ia membiarkan anak basah atau lapar karena ibu terlalu sibuk atau tidak ingin diganggu pada waktu itu. Ia boleh jadi

(10)

mengabaikan kebutuhan anak untuk dipeluk atau dilindungi. Anak akan mengingat semua kekerasan emosional jika kekerasan emosional itu berlangsung konsisten. Orang tua yang secara emosional berlaku keji pada anaknya akan terusmenerus melakukan hal sama sepanjang kehidupan anak itu.

c) Kekerasan secara Verbal (verbal abuse)

Biasanya berupa perilaku verbal dimana pelaku melakukan pola komunikasi yang berisi penghinaan, ataupun kata-kata yang melecehkan anak. Pelaku biasanya melakukan tindakan mental abuse, menyalahkan, melabeli, atau juga mencari kesaalahanSeperti orangtua merendahkan martabat seorang anak, dan menurut orangtua seperti ini anak harus ada dibawah naungan/kekuasaan orangtua-nya.

d) Kekerasan Seksual (sexual abuse)

Sexual abuse meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut (seperti istri, anak dan pekerja rumah tangga). Selanjutnya dijelaskan bahwa sexual abuse adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersil dan atau tujuan tertentu.Seperti anak dipaksa oleh orangtua-nya atau kerabat disekitarnya untuk memuaskan birahi orangtua/kerabatnya.

Sementara Suharto dalam Huraerah, (2007:47) mengelompokkan child abuse menjadi physical abuse (kekerasan secarafisik), psychological abuse (kekerasan secara psikologis), sexual abuse (kekerasan secara seksual), dan social abuse (kekerasan secara sosial). Keempat bentuk child abuse ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Kekerasan anak secara fisik, adalah penyiksaan, pemukulan, dan penganiayaan terhadap anak dengan atau tanpa menggunakan benda -benda tertentu, yang menimbulkan luka-luka fisik atau

(11)

kematian pada anak. Bentuk luka dapat berupa lecet, atau memar akibat persentuhan atau kekerasan benda tumpul, seperti bekas gigitan, cubitan, ikat pinggang atau rotan.

b. Kekerasan anak secara psikis, meliputi penghardikan, penyampaian kata-kata kasar dan kotor, memperlihatkan buku gambar, dan film pornografi pada anak. Anak yang mendapatkan perlakuan ini umumnya menunjukan gejala perilaku maladaftif, seperti menarik diri, pemalu, menangis jika didekati, takut ke luar rumah dan takut bertemu dengan orang lain.

c. Kekerasan anak secara seksual, dapat berupa perlakuan prakontrak seksual antara anak dengan orang yang lebih besar (melalui kata, sentuhan, gambar visual), maupun perlakuan kontrak seksual secara langsung antara anak dengan orang dewasa (incest, perkosaan, eksploitasi seksual).

d. Kekerasan secara sosial, dapat mencakup penelantaran anak dan eksploitasi anak. Penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orang tua yang tidak memberikan perhatian layak terhadap proses tumbuh kembang anak. Misalnya, anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga, atau tidak diberikan pendidikan dan perawatan kesehatan yang layak. Eksploitasi anak menunjukan pada sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yang dilakukan keluarga atau masyarakat.

Sebagai contoh, memaksa anak untuk melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi, sosial atau politik tanpa memperhatikan hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan sesuai dengan perkembangan fisik, psikisnya dan status sosialnya. Misalnya anak dipaksa untuk bekerja demi kepentingan ekonomi yang harus terpenuhi.

(12)

Bentuk perlakuan salah pada anak terbagi sebagai berikut (Soetjiningsih, (1995) dan Lidya, 2009: 511-525) :

a. Penganiayaan fisik

Penganiayaan ini termasuk cedera fisik sebagai akibat hukuman badan diluar batas, kekejaman atau pemberian racun.

b. Kelalaian

Kelalaian ini selain tidak sengaja, juga akibat dari ketidaktahuan atau kesulitan ekonomi. Bentuk kelalain ini antara lain

1) Pemeliharaan yang kurang memadai, yang dapat mengakibatkan gagal tumbuh, akan merasa kehilangan kasih sayang, gangguan kejiwaan, keterlambatan perkembangan.

2) Pengawasan yang kurang, dapat menyebabkan anak mengalami resiko untuk terjadinya trauma fisik dan jiwa.

3) Kelalaian dalam pendidikan yang meliputi kegagalan dalam mendidik anak untuk mampu berinteraksi dengan lingkungannya, gagal menyekolahkannya atau menyuruh anak mencari nafkah untuk keluarga sehingga anak terpaksa putus sekolah.

c. Penganiayaan emosional

Penganiayaan ini ditandai dengan kecaman kata-kata yang merendahkan anak, atau tidak mengakui sebagai anak. Keadaan ini sering kali berlanjut dengan melalaikan anak, mengisolasikan anak dari lingkungan atau hubungan sosial atau menyalahkan anak secara terus menerus. Penganiayaan emosi seperti ini umumnya selalu diikuti bentuk penganiayaan lain.

d. Penganiayaan seksual

Mengajak anak untuk melakukan aktivitas seksual yang melanggar norma-norma sosial yang berlaku di masyarakat, dimana anak tidak memahami atau tidak bersedia.

e. Sindrom Munchausen

Sindrom ini merupakan permintaan pengobatan terhadap penyakit

(13)

yang dibuat-buat dan pemberian keterangan palsu untuk menyokong tuntutan.

6. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Orang Tua Terhadap Anak

Delsboro (dalam Soetjiningsih, 2005) menyebutkan perlakuan salah terhadap anak adalah sebagai akibat dari pelepasan tujuan hidup orangtua, hubungan orangtua dengan anak tidak lebih dari hubungan biologi saja.

Kehidupan orangtua sebagian besar diliputi pelanggaran hukum, penyalahgunaan penghasilan, pengusiran berulang, penggunaan alkohol yang berlebihan, dan keadaan rumah yang menyedihkan. Orangtua seperti ini kelihatannya tidak mampu menolong dirinya sendiri. Mereka menganiaya anaknya seolah-olah sebagai pelampiasan rasa frustasinya, ketidaktanggungjawabannya, ketidak berdayannya dan sebagainya. Orang tua seperti kasus di atas, lebih sering menganiaya anak yang lebih besar, karena pada umumnya mereka lebih mawas terhadap sesuatu perbedaan dengan orangtua mereka, sehingga seolah-olah anak tersebut melawan orangtuanya. Anak yang dianiaya tersebut tampak oleh penganiaya sebagai saingan atau penghalang yang harus dihancurkan atau paling tidak harus disakiti.

Terjadinya kekerasan terhadap anak disebabkan oleh beberapa faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor yang mempengaruhinya begitu kompleks, seperti yang dijelaskan oleh Suharto (1997: 366-367), kekerasan terhadap anak umumnya disebabkan oleh faktor internal yang berasal dari anak sendiri maupun faktor eksternal yang berasal dari kondisi keluarga dan masyarakat, seperti:

a. Anak mengalami cacat tubuh, gangguan tingkah laku, autisme, ketidaktahuan anak akan hak-haknya, anak terlalu tergantung kepada orang dewasa.

b. Kemiskinan keluarga, orang tua menganggur, penghasilan tidak cukup, banyak anak.

c. Keluarga tunggal atau keluarga pecah (Broken Home).

(14)

d. Keluarga yang belum matang secara psikologis, ketidaktahuan mendidik anak, harapan orang tua yang tidak realistis, anak yang tidak diinginkan, anak lahir di luar nikah.

e. Penyakit parah atau gangguan mental pada salah satu atau kedua orang tua. Gangguan mental pada orang tua bisa juga memegang peran penyebab timbulnya penganiayaan atau penelantaran anak karena pola berfikir atau keputusan-keputusan orang tua menjadi terganggu.

f. Sejarah penelantaran anak. Orang tua yang semasa kecilnya mengalami perlakuan salah cenderung memperlakukan salah anak- anaknya.

g. Kondisi lingkungan sosial yang buruk, permukiman kumuh, tergusurnya tempat bermain anak, sikap acuh tak acuh terhadap tindakan eksploitasi, pandangan terhadap nilai anak yang terlalu rendah.

Menurut Gelles Richard J. (1982: 67) mengemukakan bahwa kekerasan terhadap anak terjadi akibat kombinasi beberapa faktor, yaitu :

a. Pewarisan Kekerasan Antargenerasi

Banyak anak belajar perilaku kekerasan dari orang tuanya dan ketika tumbuh menjadi dewasa mereka melakukan tindakan kekerasan kepada anaknya. Dengan demikian perilaku kekerasan diwarisi (transmitted) dari generasi ke generasi. Studi menunjukkan bahwa lebih kurang 30 persen anak-anak yang diperlakukan dengan kekerasan menjadi orang tua yang bertindak keras kepada anak- anaknya. Sementara itu, hanya 2 sampai 3 persen dari semua individu menjadi orang tua yang memperlakukan kekerasan kepada anak- anaknya.

b. Stress Sosial

Stress yang ditimbulkan oleh berbagai kondisi sosial meningkatkan resiko kekerasan terhadap anak dalam keluarga.

Kondisi-kondisi sosial ini mencakup: pengangguran (unemployment),

(15)

penyakit (illness), kondisi perumahan buruk (poor housing conditions), ukuran keluarga besar dari rata-rata (a large-than- avarage family size), kelahiran bayi baru (the presence of a new baby), orang berkebutuhan khusus (disable person) di rumah, dan kematian (death) seorang anggota keluarga. Sebagian besar kasus- kasus dilaporkan tentang tindakan kekerasan terhadap anak berasal dari keluarga yang hidup dalam kemiskinan (poverty). Tindakan kekerasan terhadap anak juga terjadi dalam keluarga-keluarga kelas menengah dan kaya, tetapi tindakan kekerasan kepada anak dilaporkan lebih banyak di antara keluarga miskin karena beberapa alasan.

c. Isolasi sosial dan Keterlibatan Masyarakat Bawah

Orang tua dan pengganti orang tua yang melakukan tindakan kekerasan terhadap anak cenderung terisolasi secara sosial. Sedikit sekali orang tua yang bertindak keras ikut serta dalam suatu organisasi masyarakat dan kebanyakan mempunyai hubungan yang sedikit dengan teman atau kerabat.

d. Struktur Keluarga

Tipe-tipe keluarga tertentu memiliki resiko yang meningkat untuk melakukan tindakan kekerasan dan pengabaian kepada anak.

Misalnya, orang tua memungkinkan melakukan tindakan kekerasan terhadap anak dibandingkan dengan orang tua utuh. Karena keluarga dengan orang tua tunggal biasanya berpendapatan lebih kecil dibandingkan keluarga lain, sehingga hal tersebut dapat dikatakan sebagai penyebab meningkatkan tindakan kekerasan terhadap anak.

Keluarga-keluarga yang sering bertengkar secara kronis atau istri yang diperlakukan salah mempunyai tingkat tindakan kekerasan terhadap anak yang lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga-keluarga yang tanpa masalah. Selain itu, keluarga-keluarga dimana baik suami atau istri mendominasi di dalam membuat keputusan penting, seperti:

dimana bertempat tinggal, pekerjaan apa yang mau diambil bilamana

(16)

mempunyai anak, dan berapa banyak uang yang dibelanjakan untuk makan dan perumahan mempunyai tingkat kekerasan terhadap anak yang lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga-keluarga yang suami- istri sama-sama bertanggungjawab atas keputusan-keputusan tersebut.

Sementara itu, menurut Rusmil dalam (Huraerah, 2007) menjelaskan bahwa penyebab terjadinya kekerasan dan penelantaran terhadap anak dibagi menjadi tiga faktor:

a. Faktor Orang tua atau Keluarga

Faktor orang tua memegang peranan penting terjadinya kekerasan dan penelantaran terhadap anak. Faktor-faktor yang menyebabkan orang tua melakukan hal tersebut adalah:

1) Praktik-praktik budaya yang merugikan anak, 2) Dibesarkan dengan penganiayaan,

3) Gangguan mental,

4) Belum mencapai kematangan fisik, emosi maupun sosial, 5) Pecandu minuman keras dan obat.

b. Faktor Lingkungan sosial/komunitas

Kondisi sosial juga dapat menjadi penyebab terjadinya kekerasan dan penelantaran terhadap anak. Lingkungan adalah berbagai faktor dan kondisi yang melingkupi dan sedikit banyak mempengaruhi kehidupan serta kehidupan seorang anak. Faktor lingkungan yang dapat menyebabkan terjadinya kekerasan terhadap anak antara lain:

1) Kemiskinan dalam masyarakat dan tekanan nilai materialistis, 2) Kondisi sosial ekonomi yang rendah,

3) Adanya anggapan orang tua bahwa anak adalah milik orang tua sendiri,

4) Status wanita yang dianggap rendah,

5) Nilai masyarakat yang terlalu individualistis.

c. Faktor anak itu sendiri

Faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan dan penelantaran terhadap anak dari anak itu sendiri antara lain:

(17)

1) Penderita gangguan perkembangan, menderita penyebab penyakit kronis disebabkan ketergantungan anak kepada lingkungannya, 2) Perilaku menyimpang pada anak

Berdasarkan beberapa hal diatas, maka dapat disimpulkan bahwa penyebab dari kekerasan yang dialami pada anak hanya dipengaruhi oleh faktor internal yaitu anak, namun juga dipengaruhi oleh berbagai macam faktor eksternal seperti kondisi keluarga dan masyarakat. Hal tersebut menunjukkan bahwa ada banyak kemungkinan yang timbul dan dapat menjadi penyebab munculnya perlakuan kekerasan terhadap anak.

7. Dampak Tindak Kekerasan Terhadap Anak

Kekerasan terhadap anak memiliki faktor-faktor yang telah diuraikan sebelumnya di mana dari faktor-faktor yang menjadi penyebab kekerasan terhadap anak dalam keluarga tentu saja mempunyai dampak baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap anak, baik secara fisik, tumbuh kembang dan psikologi pertumbuhan anak. Anak merupakan mahluk ciptaan Tuhan yang dititipkan kepada orang tua untuk dijaga, dirawat, dan diberikan pendidikan serta penghidupan yang layak bukan untuk dianiaya maupun ditelantarkan yang tidak lain dilakukan oleh orang tua si anak itu sendiri.

Dampak yang terjadi akibat kekerasan tersebut mungkin saja diingat dalam jangka panjang oleh anak hingga ia beranjak dewasa. Dan tidak menutup kemungkinan kekerasan yang menimpanya akan ia lakukan juga terhadap anaknya nanti.

Selama ini, berbagai kasus telah membuktikan bahwa terjadinya kekerasan terhadap anak sering disertai dengan penelantaran terhadap anak. Baik penganiayaan terhadap anak maupun penelantaran terhadap anak dapat memberikan dampak pada kesehatan fisik dan kesehatan mental anak.

Pertumbuhan dan perkembangan anak yang mengalami perlakuan salah pada umumnya lebih lambat daripada anak yang normal, yaitu

(18)

(Soetjiningsih, 2005: 525) :

a. Pertumbuhan fisik anak pada umumnya kurang dari anak-anak sebayanya yang tidak mendapat perlakuan salah.

b. Perkembangan kejiwaan juga mengalami gangguan, yang meliputi : 1) Kecerdasan

a) Berbagai penelitian melaporkan keterlambatan dalam perkembangan kognitif, bahasa, membaca dan motorik.

b) Retardasi mental dapat diakibatkan trauma langsung pada kepala, juga karena malnutrisi.

c) Pada beberapa kasus keterlambatan ini diperkuat oleh lingkungan anak, dimana tidak adanya stimulasi yang kuat atau karena gangguan emosi.

2) Emosi

a) Terjadi gangguan emosi pada perkembangan konsep diri yang positif dalam mengatasi sifat agresif, perkembangan hubungan sosial dengan orang lain, termasuk untuk percaya diri.

b) Terjadi pseudomaturitas emosi. Beberapa anak menjadi agresif atau bermusuhan dengan orang dewasa, sedang yang lainnya menjadi menarik diri menjauhi pergaulan. Anak suka ngompol, hiperaktif, perilaku aneh, kesulitan belajar, gagal sekolah, sulit tidur, temper tantrum dan sebagainya.

3) Konsep diri

Anak yang mendapat perlakuan salah merasa dirinya jelak, tidak dicintai, tidak dikehendaki, muram tidak bahagia, tidak mampu menyenangi aktivitas dan bahkan ada yang mencoba bunuh diri.

4) Agresif

Anak yang mendapat perlakuan salah secara badan, lebih agresif terhadap teman sebayanya. Sering tindakan agresif tersebut meniru tindakan orang tua mereka atau mengalihkan perasaan agresif kepada teman sebayanya sebagai hasil miskinnya konsep

(19)

diri.

5) Hukuman sosial

Pada anak-anak ini sering kurang dapat bergaul dengan teman sebayanya atau dengan orang dewasa. Mereka mempunyai sedikit teman, dan suka mengganggu orang dewasa misalnya dengan melempari batu, atau perbuatan-perbuatan kriminal lainnya.

Menurut Lidya (2009: 526), dampak lain dari kekerasan pada anak secara umum adalah :

a. Anak berbohong, ketakutan, kurang dapat mengenal cinta atau kasihsayang, sulit percaya dengan orang lain.

b. Harga diri anak rendah dan menunjukkan perilaku yang destruktif.

c. Mengalami gangguan dalam perkembangan psikologis dan interaksi sosial.

d. Pada anak yang lebih besar anak melakukan kekerasan pada temannya dan anak yang lebih kecil.

e. Kesulitan untuk membina hubungan dengan orang lain.

f. Kecemasan berat atu panik , depresi anak mengalami sakit fisik dan bermasalah disekolah.

Anak yang mengalami kekerasan fisik dan seksual akan memperlihatkan tanda-tanda sebagai berikut (Soetjiningsih, 2005: 511) :

a. Tanda akibat trauma atau infeksi lokal, misalnya memar, nyeri perineal, sekret vagina dan nyeri serta perdarahan anus.

b. Tanda gagguan emosi, misalnya konsentrasi berkurang, enuresis,enkopresis, anoreksia atau perubahan tingkah laku.

c. Tingkah laku atau perilaku seksual anak yang tidak sesuai dengan umurnya.

Anak yang mengalami atau menyaksikan peristiwa kekerasan dalam keluarga dapat menderita post traumatic stress disorder (stres pascatrauma), yang dapat tampil dalam bentuk sebagai gangguan tidur, sulit memusatkan perhatian, keluhan psikosomatik (sakit kepala atau sakit perut). Anak juga akan mengalami frustrasi yang dapat membuatnya

(20)

berusaha mencari pelarian yang negatif seperti melalui alkohol atau penggunaan napza.

B. Perkembangan Psikologis Anak 1. Perkembangan Anak

Perkembangan adalah suatu perubahan fungsional yang bersifat kualitatif, baik dari fungsi-fungsi fisik maupun mental sebagai hasil keterkaitannya dengan pengaruh lingkungan. Perkembangan ditunjukkan dengan perubahan yang bersifat sistematis, progresif dan berkesinambungan,Sampai beranjak dewasa dan mengerti dengan sendirinya mana yang harus dilakukan dan mana pula yang harus di abaikan/tinggalkan dalam semasa hidupnya.

Secara umum, dapat diartikan bahwa perkembangan merupakan pola perubahan yang dimulai pada saat konsepsi (pembuahan) dan berlanjut di sepanjang rentang kehidupan. Kebanyakan perkembangan melibatkan pertumbuhan, meskipun perkembangan juga meliputi penurunan (Santrock, 2009). Dalam Papalia, Olds, dan Feldman (2009:

565-573) disebutkan bahwa perkembangan manusia merupakan suatu studi ilmiah tentang pola-pola perubahan dan stabilitas di sepanjang rentang kehidupan manusia. Hal itu menunjukkan bahwa manusia mengalami perubahan dalam beberapa hal, misalnya dalam hal tinggi dan berat badan, perbendaharaan kata, dan kematangan berpikir. Akan tetapi, ada pula hal-hal yang cenderung menetap, seperti temperamen dan kepribadian.

Perkembangan bersifat sistematis, artinya perkembangan bersifat berkesinambungan dan terorganisir (Papalia dkk, 2009: 136). Kita ambil saja contohnya perkembangan bicara pada anak. Kemampuan bicara diperoleh melalui perkembangan yang bertahap dan saling berhubungan, mulai dari membuat bunyi-bunyi suara, misalnya “aaa... ooo … uuu”;

berceloteh, misalnya “mamama … tatata”; berbicara dengan satu kata, misalnya “mama… papa” hingga berbicara dengan dua sampai banyak

(21)

kata.

Perkembangan bersifat adaptif, artinya perkembangan terjadi untuk menghadapi kondisi-kondisi dalam kehidupan (Papalia dkk., 2009: 144).

Misalnya, mengapa bayi kemudian bisa berjalan. Hal itu tentulah untuk mendukung proses mobilitas si bayi karena sejalan dengan bertambahnya usia, keinginan eksplorasi seseorang akan semakin meningkat dan tidak mungkin baginya untuk terus mengandalkan orang lain untuk berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain.

Perkembangan juga bersifat Berkesinambungan ditunjukkan dengan adanya perubahan yang berlangsung secara beraturan atau berurutan, tidak bersifat meloncat-loncat atau karena unsur kebetulan.

Misalnya, agar anak mampu berlari maka sebelumnya anak harus mampu berdiri dan merangkak terlebih dahulu. Melalui belajar anak akan berkembang, dan akan mampu mempelajari hal-hal yang baru.

Perkembangan akan dicapai karena adanya proses belajar, sehingga anak memperoleh pengalaman baru dan menimbulkan perilaku baru.

2. Prinsip-prinsip Perkembangan Anak

Baltes, dkk. (dalam Papalia, dkk., 2009: 145) mengidentifikasi tujuh prinsip kunci tentang pendekatan perkembangan sepanjang hidup.

Prinsip-prinsip tersebut menjadi kerangka konseptual untuk mempelajari perkembangan sepanjang hidup (life-span development).

a. Development is Lifelong

Perkembangan adalah proses perubahan sepanjang hidup.

Setiap periode dari rentang kehidupan dipengaruhi oleh apa yang terjadi pada periode sebelumnya dan apa yang terjadi saat ini akan pula mempengaruhi apa yang akan terjadi kemudian. Sebagai contoh, memiliki orang tua yang responsif dan sensitif dapat mengembangkan rasa percaya (trust) pada bayi. Rasa percaya ini selanjutnya akan membantu si bayi pada masa kanak-kanak untuk dapat bersosialisasi dengan baik. Berkaitan dengan periode perkembangan dapat dikatakan bahwa setiap periode memiliki

(22)

karakteristik dan nilai yang unik sehingga tidak ada satu periode pun yang lebih atau kurang penting daripada periode yang lainnya.

b. Development is Multidimensional

Perkembangan berlangsung dalam banyak dimensi (multidimensional). Maksudnya, perkembangan terjadi pada dimensi biologis, psikologis, dan sosial. Setiap dimensi dapat berkembang dalam derajat yang bervariasi, misalnya seorang anak berusia 4 tahun yang sangat cerdas, belum tentu memiliki kematangan emosi pada tingkat yang seimbang dengan kecerdasannya.

c. Development is Multidirectional

Perkembangan berlangsung dalam lebih dari satu arah (multidirectional). Sejalan dengan meningkatnya kemampuan di satu area, seseorang mungkin akan mengalami penurunan dalam area yang lain dalam waktu yang bersamaan. Anak-anak kebanyakan tumbuh dalam satu arah, yaitu ke arah peningkatan, baik dalam ukuran maupun kemampuan. Remaja, secara khusus, mengalami peningkatan dalam kemampuan fisik, tetapi kecakapannya dalam belajar bahasa mengalami penurunan. Beberapa kemampuan, seperti perbendaharaan kata, secara khusus berlanjut meningkat sepanjang masa dewasa; hal yang lain, seperti kemampuan memecahkan masalah yang asing bagi seseorang, mungkin menurun. Akan tetapi, beberapa hal, seperti keahlian, meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Manusia belajar untuk memaksimalkan hal-hal yang dapat ditingkatkan dan meminimalkan penurunan dengan cara belajar mengelola atau mengompensasi hal-hal tersebut. Sebagai contoh, seorang atlet yang sudah tua dan tidak sanggup lagi berlari kencang mungkin akan memilih untuk menjadi pelatih atau penulis buku olahraga, sementara seorang nenek yang mengalami penurunan dalam daya ingat, mungkin akan membuat catatancatatan kecil untuk membantunya mengingat daftar belanjaan. (Papalia, 2009: 147).

(23)

d. Relative Influences of Biology and Culture Shift Over the Life Span Proses perkembangan dipengaruhi oleh faktor biologis dan budaya. Keseimbangan di antara kedua pengaruh tersebut berubah sepanjang waktu. Pengaruh biologis, seperti ketajaman sensoris dan memori, menurun sejalan dengan bertambahnya usia. Akan tetapi, dukungan budaya, seperti penemuan kacamata dan buku agenda, dapat mengompensasi penurunan yang terjadi. Contoh lainnya, otot yang belum matang mungkin menghambat seorang bayi untuk bisa memenuhi kebutuhan dasarnya sendiri. Akan tetapi adanya tuntutan dari masyarakat terhadap orang tua untuk mengasuh anak membuat bayi tersebut tetap dapat melangsungkan hidupnya.

e. Development Involves Changing Resource Allocations

Seseorang dapat mengalokasikan sumber-sumber yang ada, seperti : waktu, energi, talenta, uang, dan dukungan sosial dalam cara yang beragam. Pertama, sumber-sumber tersebut mungkin digunakan untuk pertumbuhan. Sebagai contoh, seseorang mungkin menggunakan waktu dan uang yang dimilikinya untuk belajar berenang. Kedua, sumber tersebut digunakan untuk memelihara atau memperbaiki diri, misalnya seseorang yang belajar bermain piano supaya bakat musiknya tidak hilang atau seorang anak yang menggunakan waktunya untuk mengikuti kursus bahasa Perancis sepulangnya ia dari Perancis selama beberapa tahun.

Dengan mengikuti kursus tersebut, keterampilan berbahasa Prancisnya diharapkan akan tetap bertahan. Ketiga, sumber-sumber tersebut dipakai untuk menghadapi kehilangan atau penurunan ketika perbaikan tidak dapat lagi dilakukan. Sebagai contoh, ketika seseorang merasa tidak lagi semampu masa-masa sebelumnya, baik secara fisik maupun finansial, dukungan sosial dari orangorang di sekitarnya mungkin menjadi sesuatu yang diperlukan. Alokasi sumber-sumber ke dalam tiga fungsi tersebut berubah sepanjang

(24)

hidup, sejalan dengan menurunnya sumber-sumber tersebut.

Misalnya, sumber energi menurun dengan bertambahnya usia sementara sumber waktu menjadi meningkat. Pada masa anak-anak dan dewasa muda, sumber-sumber tersebut digunakan untuk pertumbuhan. Orang-orang lanjut usia menggunakan sumber yang ada untuk menghadapi kehilangan atau penurunan. Pada usia tengah baya, alokasi antara ketiga fungsi tersebut terlihat lebih seimbang.

(Papalia, 2009).

f. Development Shows Plasticity

Banyak kemampuan dapat ditingkatkan melalui latihan.

Misalnya, anakanak yang mengalami kesulitan untuk membaca dan menulis, dapat dilatih dengan mengikuti program remedial. Namun, beberapa kemampuan tetap memiliki keterbatasan sekalipun telah dimodifikasi.

g. Development is Influenced by the Historical and Cultural Context Manusia tidak hanya mempengaruhi tetapi juga dipengaruhi oleh konteks sejarah dan budayanya. Sebagai contoh, seorang anak yang terbiasa hidup bebas, mungkin akan memberontak saat berada di lingkungan yang penuh dengan keteraturan. Contoh lainnya, anak yang diasuh dalam keluarga yang demokratis mungkin akan berkembang menjadi anak yang penuh inisiatif di lingkungan teman- temannya.

Dalam perkembangan anak dikenal prinsip-prinsip perkembangan sebagai berikut , Syaodih (2004):

a. Perkembangan berlangsung seumur hidup dan meliputi semua aspek.

Perkembangan bukan hanya berkenaan dengan aspek-aspek tertentu tetapi menyangkut semua aspek. Perkembangan aspek tertentu mungkin lebih terlihat dengan jelas, sedangkan aspek yang lainnya lebih tersembunyi. Perkembangan tersebut juga berlangsung terus sampai akhir hayatnya, hanya pada saat tertentu perkembangannya lambat bahkan sangat lambat, sedangkan pada saat lain sangat cepat. Jalannya

(25)

perkembangan individu itu berirama dan irama perkembangan setiap anak tidak selalu sama.

b. Setiap anak memiliki kecepatan (tempo) dan kualitas perkembangan yang berbeda. Seorang anak mungkin mempunyai kemampuan berpikir dan membina hubungan sosial yang sangat tinggi dan tempo perkembangannya dalam segi itu sangat cepat, sedang dalam aspek lainnya seperti keterampilan atau estetika kemampuannya kurang dan perkembangannya lambat. Sebaliknya, ada anak yang keterampilan dan estetikanya berkembang pesat sedangkan kemampuan berpikir dan hubungan sosialnya agak lambat.

c. Perkembangan secara relatif beraturan, mengikuti pola-pola tertentu.

Perkembangan sesuatu segi didahului atau mendahului segi yang lainnya.

Anak bisa merangkak sebelum anak bisa berjalan, anak bisa meraban sebelum anak bisa berbicara, dan sebagainya.

d. Perkembangan berlangsung secara berangsur-angsur sedikit demi sedikit.

Secara normal perkembangan itu berlangsung sedikit demi sedikit tetapi dalam situasi-situasi tertentu dapat juga terjadi loncatan-loncatan.

Sebaliknya dapat juga terjadi kemacetan perkembangan aspek tertentu.

e. Perkembangan berlangsung dari kemampuan yang bersifat umum menuju ke yang lebih khusus, mengikuti proses diferensiasi dan integrasi.

Perkembangan dimulai dengan dikuasainya kemampuan-kemampuan yang bersifat umum, seperti kemampuan memegang dimulai dengan memegang benda besar dengan kedua tangannya, baru kemudian memegang dengan satu tangan tetapi dengan kelima jarinya.

Perkembangan berikutnya ditunjukkan dengan anak dapat memegang dengan beberapa jari, dan akhirnya menggunakan ujung-ujung jarinya.

f. Secara normal perkembangan individu mengikuti seluruh fase, tetapi karena faktor-faktor khusus, fase tertentu dilewati secara cepat, sehingga nampak ke luar seperti tidak melewati fase tersebut, sedangkan fase lainnya diikuti dengan sangat lambat, sehingga nampak seperti tidak berkembang.

(26)

g. Sampai batas-batas tertentu, perkembangan sesuatu aspek dapat dipercepat atau diperlambat. Perkembangan dipengaruhi oleh faktor pembawaan dan juga faktor lingkungan. Kondisi yang wajar dari pembawaan dan lingkungan dapat menyebabkan laju perkembangan yang wajar pula. Kekurangwajaran baik yang berlebih atau berkekurangan dari faktor pembawaan dan lingkungan dapat menyebabkan laju perkembangan yang lebih cepat atau lebih lambat.

h. Perkembangan aspek-aspek tertentu berjalan sejajar atau berkorelasi dengan aspek lainnya. Perkembangan kemampuan sosial berkembang sejajar dengan kemampuan berbahasa, kemampuan motorik sejajar dengan kemampuan pengamatan dan lain sebagainya.

i. Pada saat-saat tertentu dan dalam bidang-bidang tertentu perkembangan pria berbeda dengan wanita. Pada usia 12-13 tahun, anak wanita lebih cepat matang secara sosial dibandingkan dengan laki-laki. Fisik laki-laki umumnya tumbuh lebih tinggi dibandingkan dengan wanita. Laki-laki lebih kuat dalam kemampuan inteleknya sedangkan wanita lebih kuat dalam kemampuan berbahasa dan estetikanya.

3. Aspek-Aspek Perkembangan

Perkembangan sebenarnya tidak terjadi dalam kotak yang terpisah- pisah namun untuk menyederhanakan dan mempermudah pembahasan, perkembangan sering dibagi ke dalam beberapa aspek. Sebagai contoh, Dodge, Colker, dan Heroman (2002: 20) membagi area perkembangan ke dalam empat aspek, yaitu aspek sosial-emosional, aspek fisik, aspek kognitif, dan aspek bahasa. Dalam pendidikan TK di Indonesia, ada enam aspek yang menjadi fokus program pengembangan, yaitu aspek pengembangan fisik, bahasa, kognitif, sosial-emosional, seni, serta moral dan nilai-nilai agama (Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas, 2002).

Secara umum, para ahli perkembangan sering membagi aspek- aspek tersebut ke dalam tiga area besar, dengan istilah yang berbeda- beda. Di dalam Santrock (2009: 26) disebutkan bahwa aspek tersebut meliputi aspek biologis, kognitif, dan sosioemosional. Berk (2009)

(27)

membaginya menjadi aspek fisik, kognitif, serta emosional dan sosial.

Hal itu juga kurang lebih serupa dengan Papalia dkk. (2009) yang membagi aspek-aspek perkembangan ke dalam aspek fisik, kognitif, dan psikososial.

Menurut Hadis (2003: 5), secara garis besar ada empat aspek perkembangan yang perlu ditingkatkan dalam kegiatan pengembangan anak, yaitu: perkembangan fisik, kognitif, bahasa, dan sosial-emosional.

Namun dalam bahasan kali ini hanya akan dibicarakan tentang perkembangan fisikmotorik, kognitif dan bahasa, sedangkan perkembangan sosial-emosional

akan dibahas secara terpisah. Empat aspek perkembangan anak diantaranya yaitu:

a. Perkembangan Motorik

Pertumbuhan fisik pada setiap anak tidak selalu sama, ada beberapa anak yang mengalami pertumbuhan secara cepat, tetapi ada pula yang mengalami keterlambatan. Pada masa kanak-kanak, pertumbuhan tinggi badan dan berat badan relatif seimbang, tetapi secara bertahap tubuh anak akan mengalami perubahan. Bilamana di masa bayi anak memiliki penampilan yang gemuk maka secara perlahan-lahan tubuhnya berubah menjadi lebih langsing, sedangkan kaki dan tangannya mulai memanjang. Ukuran kepalanya masih tetap besar jika dibandingkan dengan tubuhnya, namun pada akhir masa kanak-kanak ukuran kepalanya tidak lagi terlalu besar jika dibandingkan dengan tubuhnya.

Selain berubahnya berat dan tinggi badan, anak juga mengalami perubahan fisik secara proporsional. Pada masa kanak- kanak, anak mengalami perubahan fisik menuju proporsi tubuh yang lebih serasi, walaupun tidak seluruh bagian tubuh dapat mencapai proporsi kematangan dalam waktu yang bersamaan.

(28)

b. Perkembangan Kognitif

Kognitif atau sering disebut kognisi mempunyai pengertian yang luas mengenai berfikir dan mengamati. Ada yang mengartikan bahwa kognitif adalah tingkah laku-tingkah laku yang mengakibatkan orang memperoleh pengetahuan atau yang dibutuhkan untuk menggunakan pengetahuan. Selain itu kognitif juga dipandang sebagai suatu konsep yang luas dan inklusif yang mengacu kepada kegiatan mental yang terlibat di dalam perolehan, pengolahan, organisasi dan penggunaan pengetahuan. Proses utama yang digolongkan di bawah istilah kognisi mencakup : mendeteksi, menafsirkan, mengelompokkan dan mengingat informasi;

mengevaluasi gagasan, menyimpulkan prinsip dan kaidah, mengkhayal kemungkinan, menghasilkan strategi dan berfantasi.

Bila disimpulkan maka kognisi dapat dipandang sebagai kemampuan yang mencakup segala bentuk pengenalan, kesadaran, pengertian yang bersifat mental pada diri individu yang digunakan dalam interaksinya antara kemampuan potensial dengan lingkungan seperti : dalam aktivitas mengamati, menafsirkan memperkirakan, mengingat, menilai dan lain-lain.

Proses kognitif penting dalam membentuk pengertian karena berhubungan dengan proses mental dari fungsi kognitif. Hubungan kognisi dengan proses mental disebut sebagai aspek kognitif.

Faktor kognitif memiliki pemahaman bahwa ciri khasnya terletak dalam belajar memperoleh dan menggunakan bentuk-bentuk representasi yang mewakili obyek-obyek yang dihadapi dan dihadirkan dalam diri seseorang melalui tanggapan, gagasan atau lambang yang semuanya merupakan sesuatu yang bersifat mental.

c. Perkembangan Bahasa

Bahasa merupakan suatu urutan kata-kata, dan bahasa dapat digunakan untuk menyampaikan informasi mengenai tempat yang berbeda atau waktu yang berbeda. Vygotsky (1978: 80) berpendapat

(29)

bahwa “perkembangan bahasa seiring dengan perkembangan kognitif, malahan saling melengkapi, keduanya berkembang dalam satu lingkup sosial”.

Piaget (Santrock, 1995: 238) berpendapat bahwa “berpikir itu mendahului bahasa dan lebih luas dari bahasa”. Bahasa adalah salah satu cara yang utama untuk mengekspresikan pikiran, dan dalam seluruh perkembangan, pikiran selalu mendahului bahasa. Bahasa dapat membantu perkembangan kognitif. Bahasa dapat mengarahkan perhatian anak pada benda-benda baru atau hubungan baru yang ada di lingkungan, mengenalkan anak pada pandangan-pandangan yang berbeda dan memberikan informasi pada anak. Bahasa adalah salah satu dari berbagai perangkat yang terdapat dalam sistem kognitif manusia.

Piaget menekankan bahwa anak adalah makhluk yang aktif dan adaptif namun bersifat egosentris yang proses berpikirnya sangat berbeda dengan orang dewasa, maka pengalaman belajar disesuaikan dengan pemahaman mereka.

C. Kekerasan Psikologis Pada Anak

Azevedo dan Viviane (2008: 21) mengklasifikasikan bentuk kekerasan psikologis pada anak. Bentuk kekerasan ini dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini:

Tabel 2.1

Klasifikasi Kekerasan Psikologis pada Anak

Klasifikasi Contoh Prilaku

Indifference (tidak peduli)

Tidak berbicara kepada anak kecuali jika perlu, mengabaikan kebutuhan anak, tidak merawat, tidak memberi perlindungan dan kurangnya interaksi dengan anak.

Humiliation Menghina, mengejek, menyebut nama-nama

(30)

(penghinaan) yang tidak pantas, membuat mereka merasa kekanak-kanakan, menentang identitas mereka, martabat dan harga diri anak, mempermalukan dan sebagainya

Isolation (mengisolasi

Menjauhkan anak dari teman-temannya, memutuskan kontak anak dengan orang lain, mengurung anak sendiri dan sebagainya.

Rejection (penolakan)

Menolak atau mengabaikan kehadiran anak, tidak menghargai gagasan dan prestasi anak, mendiskriminasi anak.

Terror (teror) Menimbulkan situasi yang menakutkan bagi anak, rasa

khawatir dan sebagainya

Unicef (2000) meneliti keumuman bentuk kekerasan yang terjadi pada anak sesuai tingkatan usianya. Berikut adalah bentuk-bentuk kekerasan yang ditampilkan pada tabel 2 berikut ini:

Tabel 2.2

Bentuk-bentuk Kekerasan pada Anak

Fase Bentuk Kekerasan

Pralahir Aborsi dan risiko janin ketika mengalami pemukulan fisik

Bayi Pembunuhan anak, kekerasan fisik, psikologis dan seksual

Anak Pernikahan dini, kekerasan alat genital, inses, kekerasan fisik, psikologis dan seksual.

Remaja Pemerkosaan, pelecehan seksual di lingkungan sosial, dijadikan wanita penghibur, kehamilan paksa, perdagangan remaja, pembunuhan, pelecehan psikologis.

(31)

Menurut (Sudaryono, 2007: 3) membagi bentuk kekerasan pada anak yang diatur dalam UU KDRT menjadi melakukan kekerasan fisik dalam rumah tangga, melakukan kekerasan psikis dalam rumah tangga, melakukan kekerasan seksual, dan menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangga. Bentuk-bentuk kekerasan tersebut memang tidak secara khusus ditujukan kepada anak, namun yang jelas kekerasan itu dapat mengenai anak, karena dalam keluarga dimungkinkan ada penghuni yang masih anak.

Semua kekerasan yang diterima anak akan direkam dalam alambawah sadar mereka dan akan dibawa sampai pada masa dewasa dan terus sepanjang hidupnya. Akibatnya si anak setelah tumbuh dan berkembang menjadi dewasa akan sangat agresif dan melakukan kekerasan yang serupa terhadap anak-anak.

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan menurut responden HW pemakaian tanah yang dilakukan oleh masyarakat Gampong Lamreung Menasah Baktrieng Kecamatan Kreung Barona Jaya Aceh Besar di

Hasil penelitian menunjukkan: Pertama, Pertimbangan hakim dalam memutus pidana minimum 1 (Satu) bulan penjara kepada pelaku yang didakwa melakukan tindak

Proses penyidikan yang dilakukan oleh penyidik di Polres Kota Batu terutama di bagian Unit PPA yang menangani masalah tindak pidana perdagangan orang telah sesuai

Jadi Penggunaan umpan buatan dengan posisi peletakkan di atas tidak berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan rajungan pada bottom set gill net.. Jadi Penggunaan umpan

Jawab : Visi ini muncul, waktu itu saya sebagai Ketua Departemen Anak, berpikir bahwa untuk menangani anak bukan hanya di sekolah minggu tetapi juga dengan

Adapun hasil penelitian ini adalah kelima sampel memiliki nilai keausan yang lebih rendah dari pasaran tetapi hanya sampel 4 dengan komposisi 15% serbuk tempurung kemiri, 30%

Selanjunya langkah terakhir adalah menentukan posisi kinerja Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintahan Kabupaten Magelang dalam salah satu kuadran dari empat kuadran

Daripada pencerapan yang diperhatikan semasa persampelan dan maklumat yang diperolehi dari penduduk setempat, kawasan tadahan Tasik Chini menghadapi masalah banjir dan aliran