• Tidak ada hasil yang ditemukan

TUGAS POKOK DAN FUNGSI BALAI HARTA PENINGGALAN DALAM LINGKUP KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA DIKAITKAN DENGAN PERATURAN-PERATURAN PELAKSANAAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TUGAS POKOK DAN FUNGSI BALAI HARTA PENINGGALAN DALAM LINGKUP KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA DIKAITKAN DENGAN PERATURAN-PERATURAN PELAKSANAAN"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS POKOK DAN FUNGSI BALAI HARTA PENINGGALAN DALAM LINGKUP KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA DIKAITKAN DENGAN

PERATURAN-PERATURAN PELAKSANAAN Oleh; SJAFRUDDIN, SH., M.Hum A. PENDAHULUAN

Secara filosofi bahwa suatu organisasi ada karena kebutuhan.

Dibentuknya BHP pada saat itu karena dibutuhkan yaitu untuk mewakili kepentingan para ahli waris dari anggota VOC yang ada di nederland. Selain itu juga sebagai Kurator berdasarkan Undan-Undang Kepailitan lama (faillisementsverordening Staatbald 1905 No. 217 jo staatblad 1906 No. 348).

Pada hakekatnya tugas Balai Harta Peninggalan sangat muliayaitu

“MEWAKILI DAN MENGURUS KEPENTINGAN ORANG-ORANG (BADAN HUKUM) YANG KARENA HUKUM ATAU PUTUSAN HAKIM TIDAK DAPAT MENJALANKAN SENDIRI KEPENTINGANNYA BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKU”.

Secara lengkap tugas Balai Harta Peninggalan yaitu melakukan pengawasan dalam hal Perwalian, Pengampuan, mengurus harta peninggalan yang tak ada kuasanya, mengurus harta kekayaan orang (subyek hukum) yang dinyatakan tidak hadir, membuka dan mendaftarkan wasiat terakhir pewaris, pembuatan Surat Keterangan Hak Waris dan Kurator dalam Kepailitan, dan tugas baru yang merupakan amanah dari Bank Indonesia yaitu menerima dan mengelola hasil transfer dana secara tunai yang tidak diklaim oleh pihak yang mentransfer maupun pihak yang ditransfer setelah dilakukan pemanggilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perbankan, sehingga secara sosiologi bahwa Balai Harta Peningalan merupakan lembaga yang diharapkan dapat memberikan pelayanan hukum di bidang harta peninggalan bagi yang membutuhkan.

Jika dilihat secara yuridis sebagian besar peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum pelaksanaan tugas dan fungsi Balai Harta Peninggalan, berasal sebelum kemerdekaan merupakan produk kolonial,yang hanya berlaku terhadap golongan penduduk tertentu, yaitu terhadap Warga Negara Indonesia Keturunan Eropa dan Timur Asing. Peraturan-peraturan tersebut dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan sekarang, karena tidak sejalan dengan amanat Pancasilan dan Undang-Undang Dasar 1945, oleh karena itu perlu disesuaikan melalui pembaharuan hukum.

Tugas dan fungsi Balai Harta Peninggalan dalam ketentuan lama lebih ditujukan bagi golongan Eropa dan Timur Asing, dapat dikatakan mempunyai peran dan cakupan yang cukup luas,namun eksistensinya dirasakan belum cukup kuat. Hal ini bisa terjadi karena perannya atau tugas dan fungsinya kurang

(2)

disosialisasikan, dan landasan hukum pengaturan tugas dan fungsi Balai Harta Peninggalan sangat tertinggal dan kurang memadai.

Peristiwa hukum yang terkait dengan tugas dan fungsi Balai harta Peninggalan dapat terjadi tidak hanya pada Warga Negara Indonesia keturunan Eropa atau Timur Asing,tetapi dapat terjadi bagi seluruh Warga Negara Indonesia, dan peristiwa-peristiwa hukum demikian akan tetap ada sepanjang aturan hukum masih berlaku. Dalam KUHPerdata misalnya pengaturan mengenai peristiwa hukum tidak mengenal klasifikasi penggolongan warga negara, hal ini dapat dilihat pada ketentuan Pasal 463 KUHPerdata (BW) yang menyebutkan bahwa ”Jika terjadi, seseorang meninggalkan tempat tinggalnya, dengan tidak memberikan kuasa kepada seorang wakil guna mewakili dirinya...

dst.1

Dari ketentuan Pasal 463 KUHPerdata tersebut, mengandung arti tidak adanya penggolongan warga negara, dan hal ini dapat berlaku untuk setiap atau seluruh warga negara Indonesia.

Atas dasar kenyataan-kenyataan tersebut diatas, maka perlu dilakukan sosialisasi tugas pokok dan fungsi Balai Harta Peninggalan, serta melakukan pembaharuan landasan hukum pengaturan tugas dan fungsi Balai Harta Peninggalan untuk menuju ke arah unifikasi dan modernisasi hukum sesuai dengan tuntutan kebutuhan dan kesadaran hukum masyarakat, dengan membentuk suatu ”Undang-Undang Tentang Balai Harta Peninggalan”.

B. SUBSTANSI PEMBAHASAN

Pembentukan Undang-Undang tentang Balai Harta Peninggalan, diharapkan dapat menjadi unifikasi dan pembaharuan hukum yang melandasi pelaksanaan tugas Balai Harta Peninggalan di berbagai bidang seperti2:

1. Perwalian;

2. Pengampuan;

3. Ketidakhadiran;

4. Harta Peninggalan yang tidak ada kuasanya;

5. Pendaftaran dan pembukaan surat-surat wasiat;

6. Pembuatan Surat Keterangan Hak Mewaris;

7. Pengelolaan uang pihak ketiga 8. Kurator dalam kepailitan;

9. Penerimaan dan pengelolaan hasil transfer dana secara tunai dari Bank Indonesia.

1 Pasal 463 KUHPerdata

2 Materi RUU BHP

(3)

Disamping beberapa pengaturan sebagaimana tersebut di atas, Rancangan Undang-Undang Balai Harta Peninggalan, juga memuat tentang usulan dari Bank Indonesia (BI) yaitu:

1. Mekanisme pelaksanaan penyerahan hasil Transfer Dana secara tunai yang tidak diambil oleh penerima transfer dan pengirim transfer setelah dilakukan pemanggilan sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

2. Penyelesaian Asset Bank Dalam Likwidasi (Asset BDL) yang belum selesai setelah batas waktu penyelesaian berakhir selama 5 (lima) tahun;

3. Pelimpahan Asset yang berasal dari Rekening Daluarsa kepada BHP, dan 4. Asset-asset titipan yang berada di Bank yang tidak diambil lagi oleh pihak yang

menitipkan atau pihak tersebut tidak diketahui lagi keberadaannya.

Untuk memperjelas permasalahan yang berkaitan dengan substansi Rancangan Undang-Undang Balai Harta Peninggalan, kami akan mengulas tentang sejarah, tugas pokok dan fungsi Balai Harta Peninggalan.

a. Sejarah Balai Harta Peninggalan

Balai Harta Peninggalan (wesboedel khamer) dibentuk pertama kali oleh pemerintah Hindia Belanda tepatnya pada tanggal 1 Oktober 1624.

Pembentukan Balai Harta Peninggalan dilakukan dalam rangka untuk dapat memenuhi kebutuhan bagi anggota VOC khususnya dalam hal mengurus harta-harta yang ditingggalkan oleh anggota VOC tersebut, bagi kepentingan para ahli warisnya yang berada di Nederland (Belanda).

Pada awalnya Balai Harta Peninggalan didirikan 5 (lima) Balai Harta Peninggalan di Indonesia yaitu; Balai Harta Peninggalan Jakarta, Balai Harta Peninggalan Semarang, Balai Harta Peninggalan Surabaya, Balai Harta Peninggalan Medan dan Balai Harta Peninggalan Ujung Panjang, dengan Perwakilan-Perwakilannya yang ditetapkan oleh Menteri Kehakiman sesuai Pasal 40 Instruksi Balai-balai Harta Peninggalan di Indonesia Stbl. 1872 No.

166 dan seorang anggota utusan Balai Harta Peninggalan Medan yang berkedudukan di Padang.3

Setelah Indonesia Merdeka tanggal 17 Agustus 1945, Belanda sudah tidak dapat lagi menjalankan kekuasaanya termasuk pengurusan berkaitan dengan Balai Harta Peninggalan. Dan seiring dengan perubahan dan perkembangan hukum yang terjadi di Indonesia, Pemerintah Indonesia telah beberapa kali melakukan penghapusan dan pembentukan kembali Balai Harta Peninggalan dan Perwakilannya. Tahun 1964 misalnya Pemerintah melalui Surat Keputusan Menteri Kehakiman No. JA.10/11/24 tanggal 12 Oktober 1964 telah menghapuskan Balai Harta Peninggalan dan Dewan Perwakilan

3 Instruksi Balai-balai harta peninggalan Stbl 1872 No. 166

(4)

Makassar beserta Perwakilan-Perwakilannya. Walaupun pada Tahun 1976 Pemerintah kembali membentuk Balai Harta Peninggalan di Ujung Pandang beserta Perwakilannya di Menado, Ambon dan Denpasar melalui Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor Y.S.4/9/1 Tahun 1976 tanggal 23 Agustus 1976, namun pada tahun 1987 tanggal 29 September 1987. Pemerintah kembali menghapus Perwakilan Balai Harta Peninggalan di Tanjung Pinang, Padang, Palembang, Bogor, Bandung, Tasikmalaya, Cirebon, Pekalongan, Surakarta dan Malang. Dan pada tahun 1987 semua perwakilan Balai Harta Peninggalan di Indonesia telah dihapuskan berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.06-PR.07.01 Tahun 1987 tanggal 29 Juni 1987.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman ini telah dihapus Perwakilan Balai Harta Peninggalan di Serang, Sukabumi, Purwakarta, Magelang, Tegal, Yogyakarta, Purwokerto, Madiun, Kediri, Probolinggo dan Jember.

Penghapusan Perwakilan Balai Harta Peninggalan tersebut dilakukan mengingat volume pekerjaan pada Perwakilan-Perwakilan Balai Harta Peninggalan terus berkurang bahkan menjadi nihil, hal ini tentunya dikarenakan bahwa tugas Perwakilan Balai Harta Peninggalan hanya mengurusi permasalahan berkaitan dengan harta peninggalan yang ditinggalkan oleh pemerintah kolonial Belanda, sedangkan setelah Indonesia Merdeka golongan Warga Negera Eropa dan Timur Asing merupakan segolongan masyarakat kecil dan terkesan diskriminatif.

Dengan telah dihapuskannya Perwakilan-Perwakilan Balai Harta Peninggalan, maka untuk tugas-tugasnya tersebut dikembalikan kepada Balai Harta Peninggalan yang membawahinya sesuai dengan lingkup wilayahnya.4 Wilayah Balai Harta Peninggalan meliputi:

1. Balai Harta Peninggalan Jakarta wilayah kerjanya meliputi 8 (delapan) propinsi antara lain: Wilayah DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Lampung, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Jambi dan Kalimantan Barat;

2. Balai Harta Peninggalan Surabaya wilayah kerjanya meliputi 4 (empat) wilayah antara lain: Jawa Timur, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah:

3. Balai Harta Peninggalan Semarang wilayah kerjanya meliputi 2 (dua) wilayah yaitu: Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Jogyakarta;

4. Balai Harta Peninggalan Medan wilayah kerjanya meliputi 8 (delapan) wilayah yaitu: Sumatera Utara

,

Jambi, Nangroe Aceh Darussallam, Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Barat, Bengkulu dan Bangka Belitung;

5. Balai Harta Peningggalan Makassar wilayah kerjanya meliputi 13 (tiga belas) wilayah yaitu: Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Bali, Papua, Papua Barat, Nusa

4 Pasal 40 Instruksi untuk Balai-balai harta peninggalan

(5)

Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Gorontalo, Maluku dan Maluku Utara.

b. Tugas Balai Harta Peninggalan

Balai Harta Peninggalan mempunyai tugas mewakili dan mengurus kepentingan orang-orang atau badan hukum karena hukum dan putusan hakim tidak dapat menjalankan sendiri kepentinganya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.5 Tugas tersebut dimaksudakan dapat memberikan perlindungan atau terayominya hak asasi manusia, khususnya yang karena hukum dan penetapan pengadilan dianggap tidak cakap bertindak di bidang hak milik (personal right) berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Landasan hukum pelaksanaan tugas Balai Harta Peninggalan bersumber pada KUHPerdata dan beberapa peraturan perundang-undangan yaitu UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindangunan Anak, UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, UU No. 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana dan beberapa peraturan pelaksana lainnya seperti Peraturan Pemerintah Peraturan Menteri Kehakiman RI dan Keputusan Menteri Kehakiman serta Staatblad dan Ordonatie.

c. Fungsi Balai Harta Peninggalan

Balai Harta Peninggalan menyelenggarakan fungsi antara lain:

1. Menyelesaikan masalah perwalian, pengampuan, ketidakhadiran dan harta peninggalan yang tidak ada kuasanya yang bersumber pada KUHPerdata

2. Menyelesaikan masalah pembukuan, pendaftaran surat wasiat;

3. Menyelesaikan masalah kepailitan;

4. Menyelesaikan permasalahan mengenai surat keterangan ahli waris;

5. Menyelesaikan pengelolaan uang pihak ketiga;

6. Menyelesaikan permasalahan transfer dana (belum dilaksankan)

Fungsi Balai Harta Peninggalan tersebut di atas diatur dalam suatu Rancangan Undang-Undang tentang Balai Harta Peninggalan. Mengenai beberapa fungsi Balai Harta Peninggalan dapat dilihat dari beberapa peraturan perundangn-undangan seperti:

a. Fungsi Pengampu atas anak-anak yang masih dalam kandungan (Ps. 348 KUHPerdata);

5 Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.01.PR.07.01-80 Tahun 1980

(6)

b. Pengampu Pengurus atas diri pribadi dan harta anak-anak yang masih belum dewasa selama bagi merika belum diangkat seorang wali (Ps. 359 KUHPerdata);

c. Sebagai wali pengawas (Ps. 366 KUHPerdata jo Ps 47 Instruksi Untuk Balai Harta Peninggalan di Indonesia);

d. Pengampu Anak Dalam Kandungan (Ps. 348 KUHPerdata jo. Ps 45 Instruksi untuk Balai Harta Peninggalan di Indonesia);

e. Selaku Wali sementara (Ps. 359 ayat terakhir KUHPerdata jo Ps. 55 Instruksi Untuk Balai Harta Peninggalan di Indonesia);

f. Mewakili kepentingan si belum dewasa apabila ini bertentangan dengan kepentingan si wali, dengan tidak mengurangi kewajiban2 yang teristimewa dibebankan kepada Balai Harta Peninggalan (Ps.

370KUHPdt);

g. Mewakili kepentingan anak-anak belum dewasa dalam hal adanya pertentangan denag kepentingan wali mereka (Ps. 370 ayat terakhir KUHPerdata jo Ps 25 a Reglement voor Het Collegie vab Boedelmeesteren);

h. Melakukan pekerjaan Dewan Perwalian (Besluit van den Gouverneur Generaal tanggal 25 Juli 1927 No. 8 stb. 1927-382);

i. Selaku mengurus harta anak-anak belum dewasa dalam hal pengurusan itu dicabut dari wali mereka (Ps. 388 KUHerdata);

j. Pengampu pengawas dalam hal adanya orang-orang yang dinyatakan berada di bawah pengampuan (Ps. 449 KUHPerdata);

k. Mengurus harta kekayaan dan kepentingan orang yang dinyatakan tidak hadir (afwezig) (Ps. 463 KUHPerdata jo Ps. 61 Instruksi Untuk Balai Harta Peninggalan di Indonesia);

l. Mengurus atas harta peninggalan yang tidak ada kuasanya (Ps. 1126, 1127, 1128 dan seterusnya KUHPerdata);

m. Mendaftar dan membuka surat-surat Wasiat Ps. 41 dan Ps 42 OV dan Ps 937, 942 KUHPerdata);

n. Membuat Surat Keterangan Hak Mewaris bagi golongan Timur Asing selain Cina (Ps. 14 ayat 1 Instructie voor de gouvernements Landmeters in Indonesia Stb. 1916 No. 517 (Instruksi Bagi Para Pejabat Pendaftaran Tanah di Indonesia Dan Yang Bertindak Sedemikian, Surat Menteri Dalam Negeri cq. Kepala Direktorat Pendaftaran Tanah Direktorat Jnderal Agraria Departemen Dalam Negeri tanggal 20 Desember 1969 Nomor:Dpt/12/63/12/69) jo Peraturan Menteri Negara/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;

o. Melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit selaku Kurator (Ps.

70 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

(7)

Kewajiban Pembayaran Utang jo Ps. 70 Instruksi Untuk Balai Harta Peninggalan di Indonesia;

p. Melakukan pengelolaan dan pengembangan Uang Pihak Ketiga Balai Harta Peninggalan berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman.

q. Melakukan penerimaan dan pengelolaan hasil Transfer Dana secara tunai berdasarkan Pasal 37 UU No. 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana (belum dilaksanakan)

d. Struktur Organisasi Balai Harta Peninggalan

Balai Harta Peninggalan merupakan unit pelaksana teknis dalam lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor M.01.PR.07.10 Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI.6 Secara struktur organisasi di bawah Divisi Pelayanan Hukum dan Hak Asasi Manusia, namun secara teknis Balai Harta Peninggalan berada dan bertanggungjawab langsung kepada Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Hal ini tercermin dari ketentuan Pasal 1 ayat (1) Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.01.PR.07.01-80 tahun 1980 tanggal 19 Juni 1980 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Harta Peninggalan.7 Dalam Keputusan Menteri Kehakiman tersebut ditentukan bahwa Balai Harta Peninggalan adalah unit pelaksana penyelenggara hukum di bidang harta peninggalan dan perwalian dalam lingkungan Departemen Kehakiman, yang berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada Direktur Jenderal Hukum dan Peraturan Perundang-undangan melalui Direktur Perdata.

Sedangkan Divisi Pelayanan Hukum berdasarkan Pasal 45 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor RI M.01.PR.07.10 Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RIhanya berwenang melakukan pemantauan pelaksanaan tugas Balai Harta Peninggalan.

Mengingat secara teknis Balai Harta Peninggalan dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya bertanggungjawab kepada Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum melalui Direktur Perdata, maka dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi manusia RI Nomor M.HH- 05.OT.01.01 Tahun 2010 tanggal 30 Desember 2010, Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum mempunyai tugas melaksanakan pembinaan teknis dan pengawasan atas pelaksanaan tugas Balai Harta Peninggalan yang

6 Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor M.01.PR.07.10 Tahun 2005

7 Keputusan MEnteri Kehakiman RI Nomor M.01.PR.07.01-80 Tahun 1980

(8)

dalam hal ini dilaksanakan oleh Subdirektorat Harta Peninggalan Direktorat Perdata sebagaimana di atur dalam Pasal 308.

C. ANALISA TUGAS BALAI HARTA PENINGGALAN BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Berdasarkan struktur organisasi Balai Harta Peninggalan di bawah Divisi Pelayanan Hukum Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, akan tetapi secara Teknis Balai Harta Peninggalan bertanggungjawab langsung kepada Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum melalui Direktur Perdata. Walaupun Balai Harta Peninggalan merupakan unit pelaksana penyelenggara hukum dan perwalian dilingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, namun tugas Balai Harta Peninggalan justru bukan merupakan perintah langsung dari institusi yang berada di atasnya, baik Kepala Kantor Wilayah maupun Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum.

Pelaksanaan tugas Balai Harta Peninggalan dilakukan atas dasar Penetapan Pengadilan Negeri dan Penetapan Pengadilan Niaga.

Tugas Balai Harta Peninggalan yang berkaitan dengan Penetapan dan/atau Penunjukan dari Pengadilan Negeri diantaranya berkaitan dengan tugas sebagaimana di atur dalam Pasal-Pasal KUHPerdata sebagaimana sudah disebutkan di atas, sedangkan untuk tugas yang berkaitan dengan adanya Penetapan Pengadilan Niaga dalam hal Balai Harta Peninggalan ditunjuk selaku Kurator dalam Kepailitan sebagaimana diatur dalam UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU.

a. Perwalian/Voodgie;

Perwalian adalah pengawasan terhadap anak di bawah umur yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua serta pengurusan benda atau kekayaan anak tersebut sebagaimana diatur oleh Undang-Undang8

Berdasarkan ketentuan Pasal 331 KUHPerdata, setiap perwalian hanya ada satu orang wali, kecuali dalam hal perwalian dilakukan oleh seorang Ibu apabila menikah lagi, suaminya akan menjadi wali serta.

Ketentuan mengenai Perwalian diatur selain dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata (KHUPerdata) juga diatur dalam Instruksi untuk Balai Harta Peninggalan di Indonesia Lembaran Negara 1972 No. 166 Ps 47 sampai dengan Ps. 60, Peraturan-peraturan mengenai Majelis Budel, dan Undang- Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Lembaran Negara 1974 No.1 Perwalian menurut KUHPerdata adalah pengurusan terhadap anak-anak di

bawah umuryang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua serta mengurus

8 Prof. Soebekti, SH “Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hal 44

(9)

harta benda atau kekayaan anak tersebut sesuai dengan perundang- undangan.

Dalam Pasal 50 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang dimaksud dengan perwalian adalah;

1. Anak yang belum mencapai usia 18 Tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan yang tidak berada di bawah kekuasaaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali;

2. Perwalian adalah mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.9

Dari dua pengertian tersebut di atas terdapat persamaan jika ditinjau dari pribadi dan harta benda si anak, dan anak tersebut tidak berada di bawah kekuasaan orang tuanya. Perbedaaannya terletak pada penentuan tingkat usia si anak. Jika dalam Pasal 330 KUHPerdata batas umur anak di bawah perwalian yaitu belum mencapai usia 21 tahun atau belum menikah sedangkan dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan batas usia anak 18 tahun dan belum menikah.

Anak di bawah umum apabila melakukan perbuatan hukum harus diwakili oleh orang tuanya, jika anak tersebut berada di bawah kekuasaan orang tuanya, apabila anak tersebut berada dalam perwalian maka perbuatan hukum tersebut akan diwakili oelh walinya sampai anak tesrebut dewasa menurut undang-undang atau apabila orang tuanya tersebut dipecat sebagai wali.

Ada 3 (tiga) macam perwalian yaitu:

1. Perwalian menurut undang-undang: adalah perwalian oleh ayah atau ibu jika salah satu dari orang tuanya meninggal dunia, hal demikian jika terjadi demi hukum perwalian dilakukan oleh orang tuanya yang masih hidup (Ps. 345 KUHPerdata/BW);

2. Perwalian menurut wasiat: adalh perwalian yang ditunjuk oleh Bapak dan atau Ibu dengan surat wasiat atau dengan akta notaris (Ps.355 KUHPerdata/BW);

3. Perwalian karena putusan hakim: adalah pengangkatan seorang wali oleh hakim karena tidak ada wali menurut undang-undang dan menurut wasiat (Ps.359 KUHPerdata/BW)

Pada dasarnya semua orang dapat diangkat menjadi wali anak-anak di bawah umur kecuali yang dilarang oleh undang-undang. Adapun yang tidak dapat diangkat menjadi wali menurut Pasal 379 KUHPerdata antar lain:

1. Orang yang sakit ingatan;

2. Anak di bawah umur;

3. Orang yang berada di bawah pengampuan;

9 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

(10)

4. Orang yang telah dipecat dari kekuasaan orang tua dan perwalian;

5. Para Ketua, Wakil Ketua, Agen-Agen Balai Harta Peninggalan, Ketua Balai Harta Peninggalan, Wakil Ketua, Panitera pada pengadilan kecuali anak-anak atau anak tiri mereka.

Pemilihan wali biasanya lebih dititikberatkan pada orang yang masih memiliki hubungan keluarga. Hal ini dimaksudkan mengingat seorang wali melakukan semua tugas, kewajiban dan kekuasaaan orang tua si anak, yang meliputi pengurusan terhadap harta si anak. Diharapkan pemilihan wali yang masih memiliki hubungan keluarga dapat dihindari terjadinya kemungkinan hal-hal yang tidak diingingkan misalkan penyelewengan terhadap pemakaian harta si anak untuk keperluan pribadi si wali.10

Kewenangan Pengadilan memutuskan seorang wali. Dalam hal perwalian yang beragama Islam, maka yang berhak memutuskan masalah perwalian adalah Pengadilan Agama sedangkan perwalian selain beragama Islam yang berwenang memutus adalah Pengadilan Negeri setempat.

Untuk mendapatkan perwalian, seseorang harus mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri untuk non Muslim dan ke Pengadilan Agama untuk yang beragama Islam. Pengadilan akan memeriksa permohonan calon wali tersebut, misalkan bagaimana perilakunya, kehidupan pribadinya dan bagaimana tanggapan keluarga dari anak yang bersangkutan baik dari keluarga ayah maupun keluarga Ibu si anak terhadap calon wali tersebut. Jika dari hasil pemeriksaan tersebut terbukti bahwa calon wali dapat dipercana dan tidak ada keberatan dari pihak keluarga, serta si anak juga mau dijadikan anak perwalian dari wali yang bersangkutan, maka pengadilan akan memberikan hak perwalian kepada calon wali tersebut untuk menjadi wali.

b. Pengampuan (Curator)

Pengampuan adalah keadaan seseorang (curandus) karena sifat pribadinya dianggap tidak cakap atau di dalam segala hal tidak cakap bertindak sendiri (pribadi) dalam lalu lintas hukum. Atas dasar hal itu, orang tersebut dengan keputusan hakim dimasukan ke dalam golongan orang yang tidak cakap bertindak. Orang tersebut diberi wakil menurut undang-undang yang disebut pengampu (curator).

Dengan alasan tertentu seseorang yang sudah dewasa disamakan kedudukannya dengan seseorang yang minderjerig, karena walaupun sudah dewasa tetapi orang tersebut dianggap tidak cakap untuk bertindak melakukan perbuatan hukum. Dalam Ps. 433 s/d Ps. 462 KUHPerdata/BW,

10 Abdurrahman dan Riduan Syahrani, 1978:45

(11)

ditentukan bahwa alasan mengharuskan seseorang ditaruh di bawah pengampuan adalah:11

1. Dalam keadaan dungu;

2. Dalam keadaan sakit jiwa atau lupa ingatan;

3. Dalam keadaan kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya;

4. Karena keborosannya.

Dalam hal-hal tersebut di atas, Balai Harta Peninggalan bertindak sebagai Pengampu Pengawas (Toeziende curator) dalam pengampuan orang dewasa yang berada dalam keadaan dungu, gangguan kejiwaan, dan boros.

Berdasarkan ketentuan Pasal 449 KUHPerdata, setiap Keputusan Pengadilan terhadap pengampuan yang telah berkekuatan tetap, maka pengangkatan pengampu harus segera mungkin diberitahukan kepada Balai Harta Peninggalan selaku Pengampu Pengawas.

Berdasarkan ketentuan Pasal 434 dan 435 KUHPerdata, yang berhak meminta ke pengadilan agar seseorang ditaruh di bawah pengampuan adalah:

1. Keluarga sedarah;

2. Keluarga sedarah dalam garis lulur dan keluarga semenda dalam garis menyamping sampai derajat keempat;

3. Diri sendiri jika merasa tidak cakap atau tidak mampu;

4. Kejaksaan dalam hal orang yang bermata gelap.

Berdasarkan ketentuan Pasal 348 KUHPerdata ditentukan jika seseorang yang suaminya telah meninggal dunia, istrerinya menerangkan bahwa ia sedang mengandung, maka dalam hal ini Balai Harta Peninggalan harus menjadi Pengampu atas kandungan istri dan wajib mengadakan segala tindakan yang perlu dan mendesak guna menyelamatkan dan mengurus harta kekayaan bagi si anak bila ia hidup waktu dilahirkan.

Untuk keperluan tersebut, berdasarkan Pasal 45 Instruksi Untuk Balai Harta Peninggalan di Indonesia Lembaran Negara 1847 No.23, Balai Harta Peninggalan berkewajiban membuat akta atau berita acara kehamilan sebagai bukti penerimaan pengampuan atas anak dalam kandungan dan memberitahukannya kepada Jaksa.

Sebelum menjadi wali seseorang harus disumpah terlebih dahulu di depan Pejabat Balai Harta Peninggalan. Jika tempat tinggal si wali melebihi 15 Pal jaraknya tidak terdapat Kantor Balai Harta Peninggalan atau Perwakilannya, maka si wali dapat disupah di depan Pengadilan Negeri atau di muka Kepala Pemerintah Daerah tempat tinggal si wali (Pasal 362 KUHPerdata).

11 Ps. 433 s/d Ps 462 KUHPerdata.

(12)

Kewajiban Wali Menurut KUHPerdata antara lain:

1. Mengurus harta kekayaan anak yang berada di bawah perwaliannya;

2. Bertanggungjawab atas kerugian yang ditimbulkan karena pengurusan yang buruk;

3. Menyelenggarakan pemeliharaan dan pendidikan anak belum dewasa sesuai dengan harta kekayaannya dan mewakili anak dalam segala tindakan perdata;

4. Mengadakan pencatatan dan inventarisasi harta kekayaan si anak;

5. Mengadakan pertanggungjawaban pada akhir tugasnya sebagai wali.

Kedudukan Balai Harta Peninggalan adalah sebagai Wali Pengawas (Toeziende voogd). Sebagai wali pengawas tugas Balai Harta Peninggalan di ataur dalam Bab ke-15 Bagian ke-7 KUHPerdata. Dalam Pasal 366 KUHPrerdata disebutkan Balai Harta Peninggalan mempunyai tugas dan kewajiban sebagai wali pengawas tiap perwalian di Indonesia.

Tugas dan Kewajiban Balai Harta Peninggalan sebagai Wali Pengawas diatur dalam Pasal 360 dan Pasal 370 KUHPerdata antara lain:

1. mewakili si anak yang belum dewasa apabila kepentingannya bertentangan dengan kepentingan wali;

2. mewajibkan wali untuk membuat inventarisasi atau pencatatan barang- barang harta peninggalan yang jatuh kepada anak yang belum dewasa;

3. meminta pertanggungjawaban wali di setiap akhir tahun;

4. melaksanakan penyumpahan terhadap wali yang baru di angkat;

5. menuntut pencatatan wali apabila wali bertindak curang;

6. meminta pengangkatan wali baru atau wali sementara kepada Pengadilan apabila perwalian terluang atau ditinggalkan karena tidak hadirnya wali.

Berdasarkan KUHPerdata dan Instruksi Untuk Balai Harta Peninggalan di Indonesia Lembaran Negara 1972 No. 166, Perwalian Pengawas hanya berlaku bagi golongan Eropa dan Golongan Timur Asing Tionghoa, dan tidak berlaku bagi golongan Timur Asing bukan Tionghoa.

Proses Pengurusan perwalian oleh Balai Harta Peninggalan adalah sebagai berikut.

1. Balai Harta Peninggalan menerima laporan kematian dari Kantor Catatan Sipil bagi golongan yang tunduk pada hukum perdata dan Peraturan Catan Sipil untuk mendapatkan penyelesaian sebagaimana mestinya;

2. Menyiapkan dan mengirim surat panggilan Anggota Teknis Hukum kepada ahli waris untuk menghadap.

(13)

c. Ketidakhadiran (afwezigheid)

Ketidakhadiran (afwezigheid) adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak dapat menempati atau berdiam disuatu tempat tinggalnya karena sebab tertentu dan tidak diketahui secara jelas keberadaaanya. Seseorang yang tidak berada ditempatnya atau berada dalam keadaan tidak berada di tempat tidak menghentikan kewenangan berhak seseorang dan tidak menghentikan statusnya sebagai subyek hukum. Dalam Pasal 463 KUHPerdata disebutkan, Bila seseorang meninggalkan tempat tinggalnya tanpa memberi kuasa untuk mewakilinya dalam urusan-urusan dan kepentingan-kepentingannya, atau untuk mengatur pengelolaannya mengenai hal itu, ataupun bila kuasa yang diberikannya tidak berlaku lagi, sedangkan keadaan sangat memerlukan mengatur pengelolaan itu seluruhnya atau sebagian, atau untuk mengusahakan wakil baginya, maka atas permohonan pihak-pihak yang berkepentingan, atau atas tuntutan Kejaksaan, Pengadilan Negeri di tempat tinggal orang yang dalam keadaan tidak hadir itu harus memerintahkan Balai Harta Peninggalan untuk mengelolan barang-barang dan kepentingan-kepentingan orang itu seluruhnya atau sebagian, membela hak-haknya, dan bertindak sebagai wakilnya.

Balai Harta Peninggalan berkewajiban, jika perlu setelah penyegelan, untuk membuat daftar, lengkap harta kekayaan yang pengelolaan harta kekayaan anak-anak yang masih di bawah umur, sejauh peraturan- peraturan itu dapat diterapkan pada pengelolaannya, kecuali bila pengadilan negeri menentukan lain mengenai hal-hal tersebut, (Ps. 464 KUHPerdata).

Balai Harta Peninggalan berkewajiban untuk memberikan perhitungan dan pertanggungjawaban secara singkat dan memperlihatkan efek-efek dan surat-surat yang berhubungan dengan pengelolaan itu kepada jawatan Kejaksaan pada Pengadilan Negeri yang telah mengangkatnya.

Perhitungan ini dapat dibuat di atas kertas yang tidak bermaterai dan disampaikan tanpa tatacata peradilan. Terhadap perhitungan dan pertanggungjawaban ini jawatan Kejaksaan boleh mengajukan usul-usul kepada Pengadilan Negeri, sejauh hal itu dianggapnya perlu untuk kepentingan orang yang dalam keadaan tidak hadir itu atau pihak-pihak lain yang berkepentingan untuk mengajukan keberatan-keberatan terhadap perhitungan itu, (Ps. 456 KUHPerdata).

Ketidakhadiran (afwezigheid) ditetapkan oleh Pengadilan Negeri setempat diajukan oleh pemohon (yang menguasai obyek/penghuni) dimana penghuni telah mendapatkan ijin perumahan untuk menempati rumah dari instansi setempat, dan memperoleh Surat Keterangan Pendaftaran Tanah dari Badan Pertanahan Kota setempat.

(14)

Dalam diktum Penetapannya, Pengadilan Negeri selain menetapakan obyek berupa banguna/tanah sebagai (afwezigheid) juga penetapan penunjukkan Balai Harta Peninggalan sebagai intansi untuk mewakili dan mengurus harta berupa tanah/bangunan yang pemiliknya dinyatakan tidak hadir tersebut. Atas dasar Penetapan Pengadilan maka Balai Harta Peninggalan memiliki kewenangan untuk mengelola lebih lanjut harta tak hadir (afwezigheid) tersebut. Yang pengelolaannya di atur dalam beberapa ketentuan dalan KUHPerdata maupun dalam Surat Keputusan Menteri Kehakiman RI sebagai aturan pelaksananya.

Unsur-Unsur Suatu Obyek Tertentu Untuk Dapat Dinyatakan Ketidakhadiran Seseorang Sehubungan Dengan Pengurusan Hartanya Yaitu:

1. Adanya orang yang telah meninggalkan tempat tinggalnya;

2. Tidak adanya kuasa dari orang yang tak hadir untuk memenuhi kepentinganya atau bila ada kuasa, kuasa tersebut telah berakhir;

3. Adanya harta kekayaan dari orang yang dinyatakan tak hadir;

4. Adanya alasan-alasan yang mendesak guna mengurus seluruh atau sebagian harta kekayaann itu;

5. Adanya Penetapan Pengadilan Negeri setempat tentang ketidakhadiran (afweizigheid) seseorang;

6. Adanya permintaan dari yang berkepentingan atau tuntutan Kejaksaan.

Setelah menerima salinan Penetapan dari Pengadilan maka Balai Harta Peninggalan sudah dapat bertindak mewakili dan mengurus harta orang yang dinyatakan tidak hadir diantaranya sebagaiman telah disebutkan di atas dalam Psl 456, 563, 464, KUHPerdata.

Proses Penanganan Boedel Afwezigheid

Dalam melaksanakan tugas pengurusan boedel afwezig selain sebagaimana telah disebutkan di beberapa pasal KHUPerdata tersebut di atas, Balai Harta Peninggalan juga melakukan tindakan-tindakan antara lain:

1. Membuat Berita Acara Pencatatan Harta;

2. Memberitahukan kepada Kejaksaan Negeri setempat tentang adanya Penetapan Afwzig dari Pengadilan Negeri dan Penunjukka BHP sebagai Instansi yang mengurus dan mewakili kepentingan orang yang dinyatakan tak hadir;

3. Memberitahukan kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK RI);

4. Mengumumkan dalam Berita Negara dan sedikitnya 2 (dua) Surat Kabar tentang Penetapan Afwezig;

(15)

5. Meminta surat keterangan dari Pengadilan Negerei setempat mengenai apakah terhadap Penetapan afwezig tersebut ada pihak-pihak ketiga yang keberatan/menggugat?;

6. Meminta Surat Bukti Ijin Penghunian dari penghuni yang dikeluarkan oleh Instansi setempat;

7. Membuat perjanjian sewa-menyewa antara Balai Harta Peninggalan dengan penghuni;

8. Menerima pembayaran sewa-menyewa dari penghuni yang dibukukan dalam Kas Bendaharawan:

d. Harta Peninggalan yang tidak ada Kuasanya (tidak terurus/onbeheerde nalatenschap);

Secara singkat dapat dikatakan bahwa pengertian Onbeheerde adalah tidak ada yang menguasai/memiliki/mengurus, hal ini dapat dilihat dalam ketentuan (Pasal 520, 1126 KUHPerdata/BW). Sedangkan untuk harta tak terurus berdasarkan (Pasal 1126, 1127, 1128 KUHPerdata/BW) dapat diberikan batasan yaitu ”Jika suatu warisan terbuka, tida seorangpun menuntutnya ataupun semua ahli waris yang dikenal menolaknya, maka dianggaplah warisan itu sebagai tak terurus.

Unsur-unsur harta tak terurus antara lain:

1. Adanya orang yang meninggal dunia;

2. Adanya harta yang ditinggalkan oleh almarhum/almarhumah;

3. Tidak ada ahli waris, atau jika ada para ahli waris menolah adanya warisan tersebut;

4. Tidak terdapat bukti otentik yang berisikan pengurusan harta peninggalan itu;

Dasar hukum Pengurusan Harta Tak terurus Oleh Balai Harta Peninggalan 1. KUHPerdata, Buku II Bagian XVIII Pasal 1126 s/d Pasal 1130;

2. KUHPerdata, Buku II dalam Pasal 1036, 1037, 1038 dan 1040, berlaku pula pada pengurusan harta peninggalan tak terurus;

3. Instruksi Untuk Balai Harta Peninggalan di Indonesia, Ordonansi tanggal 5 Oktober 1872 lembaran Negara Tahun 1872 No. 166, Bab VI Pasal 64 s/d Pasal 74

Proses Penanganan dan Pengurusan Harta Tak Terurus (Onbeheerde) Pada dasarnya proses pengurusan harta peninggalan tak terurus tidak jauh berbeda dengan proses pengurusan harta orang yang dinyatakan tidak hadir yang berawal dari adanya Penetapan dari Pengadilan Negeri Setempat akan adanya ketidak hadiran (afwezig) maupun harta tak terurus (onbeheerde nalatenschap). Pengurusan harta tak terurus bertolak dari

(16)

proses pemeriksaan harta peninggalan seseorang yang telah meninggalan dunia yang akta kematiannya diperoleh dari Kantor Catatan Sipil yang dilaporkan kepada Balai Harta Peninggalan. Setelah menerima laporan kematian tersebut, Balai Harta Peninggalan wajib mengurus harta tersebut dengan malakukan langkah-langkah antara lain:

1. Pendaftaran budel bila dirasakan perlu;

2. melakukan penyegelan terhadap budel tersebut;

3. Memberitahukan kepada Kejaksaan Negeri setempat;

4. Memberitahukan kepada Badan Pemeriksa Keuangan;

5. Mengumumkan dalam Berita Negara dan sedikitnya 2 (dua) surat kabar dengan ikhtisar pengumuman mengenai pemanggilan para ahli waris atau pihak yang berkepentingan;

e. Pengelolaan Uang Pihak Ketiga Balai Harta Peninggalan

Secara umum yang dimaksud dengan uang pihak ketiga adalah uang yang diperoleh dari hasil penjualan atas harta kekayaan yang pemiliknya dinyatakan tidak hadir (budel afwezig) dan hasil penjualan dari harta kekayaan yang tidak terurus (onbeheerde nalatenchap) yang berada dalam pengurusan dan pengawasan Balai Harta Peninggalan juga hasil penjualan budel pailit yang tidak diambil oleh Kreditor dalam suatu kepailitan dalam hal BHP bertindak selaku Kurator.

Dalam Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M-14.UM.01.06 tanggal 22 September 1986 tentang Peniertiban Pengembangan Uang Pihak Ketiga yang Dikelola Oleh Balai Harta Peninggalan jo Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.02.UM.01.06-Tahun 1998 tanggal 1 Juli 1998 tentang Pengelolaan Uang Pihak Ketiga Oleh Balai Harta Peninggalan dalam Pasal 1 desebutkan yang dimaksud dengan uang pihak ketiga adalah uang yang berdasarkan Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan dikelola oleh Balai Harta Peninggalan.

Harta Kekayaan berupa uang pihak ketiga yang berada dalam pengelolaan Balai Harta Peninggalan terdiri dari:

1. Uang tunai adalah uang yang berasal dari hasil penjualan harta kekayaan orang yang dinyatakan tidak hadir dan uang yang tidak diambil oleh kreditor dalam suatu kepailitan.;

2. Barang tetap yaitu bangunan/tuman dan tanah yang telah ditetapkan oleh Pengadilan Negeri ditetapkan sebagai budel afwezig maupun onbeheerden nalatenschap, dimana bangunan rumah/tanah tersebut disewakan kepada penghuni yang sah dan hasil uang sewa tersebut dimasukan dalam kas bendaharawan.

Pengurusan mengenai pengelolaan uang pihak ketiga Balai Harta Peninggalan berpedoman pada Keputusan Menteri KEhakiman RI Nomor

(17)

M.02.UM.01.06-Thn. 1998 tanggal 1 Juli 1998 tentang Pengelolaan Uang Pihak Ketiga Oleh Balai Harta Peninggalan.

Uang pihak ketiga BHP disimpan dalam bentk Deposito pada Bank Pemerintah selama 1 (satu) tahun dan setelah jatuh tempo diperpanjang untuk jangka waktu 1 (satu) tahun dan seterusnya.

Hasil dari pengelolaan uang pihak ketiga berupa bunga deposito dalam Pasal 5 Keputusan Menteri Kehakiman RI tersebut ditentukan yaitu:

a. 50% (limapuluh persen) ditambahkan ke budel yang bersangkutan;

b. 50% (limapuluh persen) digunakan untuk biaya operasional Balai Harta Peninggalan.

Sejak tanggal 13 Nopember 2008 penggunaan 50% (limapuluh persen) bunga uang pihak ketiga Balai Harta Peninggalan dihentikan melalui Surat Sekretaris Jenderal Nomor SEK.KU.02.02-225 jo surat Pelaksana Harian Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Nomor AHU.KU.02.02-56 tanggal 13 Nopember 2008. Dengan dihentikannya 50%

(limapuluh persen) bunga deposito untuk biaya operasional Balai Harta Peninggalan, maka seluruh bunga deposito masuk dalam budel bersangkutan. Uang pihak ketiga Balai Harta Peninggalan dilaksanakan dengan melakukan pembukuan uang pihak ketiga Balai Harta Peninggalan oleh Bendaharawan Pengelolaan Uang Pihak Ketiga.

Pengelolaan dan Pengurusan Uang Pihak Ketiga

Mengenai Pengelolaan dan Pengurusan Uang Pihak Ketiga Balai Harta Peninggalan telah mengalami beberapa perubahan dan tatacara pengelolaan dan pengurusannya setelah dikeluarkannya Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M-14-UM.01.06 Th. 1986 tanggal 22 September 1986 tentang Penertiban Pengembangan Uang Pihak Ketiga Yang Dikelola Oleh Balai Harta Peninggalan sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.02.UM.01.06-Thn 1998 tanggal 1 Juli 1998 tentang Pengelolaan Uang Pihak Ketiga Oleh Balai Harta Peninggalan.

Sebelum tahun 1986 yaitu sebelum dikeluarkannya Keputusan Menteri Kahakiman Nomor M-14-UM.01.06 Th. 1986 tanggal 22 September 1986, Balai harta Peninggalan dapat meminjamkan uang pihak ketiga yang berada dalam pengelolaan Balai Harta Peninggalan langsung kepada orang perorangan dengan memakai jaminan (borg).

Untuk menentukan besarnya bunga/jasa yang dibebankan kepada peminjam ditetapkan oleh Menteri Kehakiman. Besarnya bunga/jasa yang dibebankan kepada peminjam setiap tahunnya berubah, dimana untuk setiap tahunnya Ketua Balai Harta Peninggalan menerima pemberitahuan

(18)

besarnya bunga/jasa yang ditetapakan dari Menteri Kehakiman RI cq.

Direktur Jenderal Hukum dan Perundang-Undangan.

Dalam praktek pengelolaan dan pengurusan uang pihak ketiga banyak menimbulkan masalah karena para peminjam sulit untuk mengembalikan pinjamannya, sehinggal Balai Harta Peninggalan terpaksa harus mengajukan gugatan perdata melalui Pengadilan Negeri terhadap para peminjam agar dapat memenuhi kewajibannya.

Penyimpanan uang pihak ketiga pada Bank Indonesia juga ternyata merugikan uang pihak ketiga yang dikelola oleh Balai harta Peninggalan, karena untuk penyimpanan uang pihak ketiga tersebut Balai Harta Peninggalan tidak menerima bunga/jasa dari Bank Indonesia melainkan biaya penyimpanan dibebankan pada uang pihak ketiga sehingga besarnya uang pihak ketiga bukannya bertambah melainkan berkurang setelah dikurangi jasa penyimpanan. Kondisi seperti ini menimbulkan kesan bahwa Balai Harta Peninggalan merupakan suatu lembaga keuangan, karena dalam operasionalnya BHP dapat meminjamkan uang secara langsung kepada orang perorangan dengan memakai jaminan.

Untuk menertibkan pengembangan/pengelolaan pengurusan uang pihak ketiga tersebut Menteri Kehakiman kemudian mengeluarkan Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M-14-UM.01.06 Th. 1986 tanggal 22 September 1986. Sebelum dikeluarkan Keputusan Menteri Kehakiman tersebut telah dikeluaran Instruksi Menteri Kehakiman Nomor N.01.HT.05.10 Tahun 1984 tentang Penertiban Pengawasan Harta Kekayaan Yang Dikelola oleh Balai Harta Peninggalan dan Instruksi Menteri Kehakiman Nomor M.05.UM.01.06 tahun 1984 tentang Larangan Penggunaan Uang Pihak Ketiga.

Setelah berlakunya Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M-14- UM.01.06 Th. 1986 tanggal 22 September 1986, maka Balai Harta Peninggalan tidak diperkenankan untuk meminjamkan uang pihak ketiga kepada orang perorangan dengan jaminan (borg), dan uang pihak ketiga kemudian didopositokan di bank pemerintah dengan memperoleh bunga sebagaimana ditetapkan oleh bank. Dengan memproleh bunga deposito dari bank, maka jumlah uang pihak ketiga bertambah.

a. Dasar Hukum Balai Harta Peninggalan BHP mengelola Uang Pihak Ketiga adalah:

1. Instruksi Untuk Balai Balai Harta Peninggalan di Indonesia (Ordonantie tanggal 5 Oktober 1872 Lembaran Negara 1872- No.166);

2. Penyatuan Masa dari Kas-Kas Balai Harta Peninggalan dan Balai Balai Boedel, dan Peraturan tentang Pengurusan Kas-Kas itu

(19)

(Ordonantie tanggal 19 September 1897 Lembaran Negara 1897 No.

231);

3. Kitab Undang Undang Hukum Perdata;

4. Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;

5. Instruksi Menteri Kehakiman Nomor M.05.UM.01.06 tahun 1984;

6. Surat Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.14.UM.01.06 Tahun 1986 tanggal 22 September 1986;

7. Surat Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M-01.UM.01.06 tahun 1998 tanggal 6 Maret 1998;

8. Surat Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M-01.UM.01.06 tahun 1998 tanggal 1 juli 1998.

b. Pengalihan Uang Pihak Ketiga Balai Harta Peninggalan Menjadi Milik Negara.

Uang pihak ketiga yang dikelola oleh Balai Harta Peninggalan terdapat batasan waktu pengelolaanya yaitu 1/3 (satu pertiga) abad.

Dalam hal uang pihak ketiga telah lewat 1/3 (satu per tiga abad) maka Balai Harta Peninggalan harus menyerahkan uang pihak ketiga tersebut menjadi milik negara ( ke Kas Negara).

Dasar hukum penyerahan uang pihak ketiga yang dikelola Balai Harta Peninggalan ke kas negara (menjadi milik negara adalah Ketentuan Pasal 73 Instruksi Untuk Balai-Balai Harta Peninggalan di Indonesia (Ordonantie tanggal 5 Oktober 1972 No. 166) jo Instruksi Menteri Kehakiman RI Nomor M.05.UM.01.06 Tahun 1984 tanggal 10 September 1984 tentang Penertiban dan Pengurusan Harta Kekayaan Yang dikelola oleh Balai Harta Peninggalan, yang menginstruksikan Balai Harta Peninggalan mengalihkan harta kekayaan milik pihak ketiga yang dikelola selama lebih dari 1/3 (satu pertiga) abad menjadi milik negara.

Apabila harta kekayaan pihak ketiga tersebut berupa uang tunai, maka penyerahannya dilakukan dengan cara menyetorkan ke kas Nagara dengan terlebih dahulu mengajukan persetujuan menteri Hukum dan HAM untuk di ajukan ke pengadilan negeri untuk mendapatkan penetapan pengadilan negeri. Sebelum diserahkan ke negara, Balai Harta Peninggalan melakukan langkah-langkah:

a. Menginventarisasi harta kekayaan pihak ketiga yang dikelola olen BHP lebih dari 1/3 (satu pertiga) abad;

b. Membuat dan menyampaikan penghitungan penutup disertai data pendukung yang merupakan bukti pengelolaan harta kekayaan

(20)

pihak ketiga tersebut telah lebih dari 1/3 (satu pertiga) abad kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK RI);

c. Setelah mendapatkan persetujuan dari Badan Pemeriksa Keuangan RI, maka Balai Harta Peninggalan selanjutnya mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri untuk mendapatkan Penetapan Penyerahan Uang Pihak Ketiga yang dikelola BHP lebih dari 1/3 (satu pertiga) abad menjadi milik negara;

d. Menyampaikan laporan pertanggungjawaban atas segala pengelolaan uang pihak ketiga yang telah dikelola Balai Harta Peninggalan lebih dari 1/3 (satu pertiga) abad kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Cq. Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum;

e. Atas perintah menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia cq. Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Balai Harta Peninggalan menyerahkan uang pihak ketiga yang diklola BHP lebih dari 1/3 (satu pertiga) abad yang sudah ditetapkan oleh Pengadilan Negeri menjadi milik negara kepada negara.

f. Pendaftaran dan pembukaan surat-surat Wasiat

Salah satu tugas Balai Harta Peninggalan adalah menerima pendaftaran akta wasiat dari Notaris, yang mana wasiat yang didaftarkan di Balai Harta Peninggalan adalah wasiat terakhir yang dibuat oleh pewasiat.

Hal ini dapat dilihat dari ketentuan sebagai berikut:

a. Ps 41 Ordonantie Verordening (OV)

Dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 943 KUHPerdata, maka setelah meninggalnya si pewaris, Notaris yang menyimpan akta-akta wasiat umum asli harus menyampaikan salinan-salinan lengkap akta- akta tersebut kepada Balai Harta Peninggalan

b. Ps 42

Selain mengindahkan ketentuan-ketentuan undang-undang mengenai penyegelan setelah kematian, para pelaksana wasiat juga para ahli waris dari orang yang meninggal dunia dan para walinya, para pemegang kuasa atau wakil-wakil lain, diharuskan agar dalam waktu 14 hari setelah kematian itu menyampaikan kepada BHP setiap akta wasiat yang mereka temukan dalam boedel untuk didaftarkan

c. Pasal 937 KUHPerdata

Tiap-tiap surat wasiat tertulis sendiri yang ditujukkan tertutup kepada Notaris, harus setelah meninggalnya si yang mewariskan disampaikannya kepada Balai, yang mana harus berbuat terhadapnya seperti diatur dalam Pasal 942 terhadap surat-surat wasiat tertutup;

d. Pasal 942 KUHperdata

(21)

Setelah si yang mewariskan meninggal dunia, maka surat wasiat tertutup atau rahasia tadi harus disampaikan kepada Balai Harta Peninggalan, yang mana daerahnya warisan yang bersangkutan telah jatuh meluang; Balai harus membuka surat itu dan membuat proses verbal dari penerimaan dan membuka surat wasiat, seperti pun dari keadaan dalam mana surat wasiat itu berada, untuk akhirnya mengembalikannya kepada Notaris.

g. Surat Keterangan Hak Mewaris;

Balai Harta Peninggalan melaksanakan fungsi membuat Surat Keterangan Hak Mewaris atau sering disebut dengan Surat Keterangan Ahli Waris, khususnya untuk warga negara golongan Timur Timur asing non Cina yaitu Keturuanan Arab, India, dan Pakistan.

Dasar hukum pelaksanaan tugas Balai Harta Peninggalan dalam mengeluarkan Surat Keterangan Hak Mewaris adalah Pasal 14 ayat (1) Instruksi voor de gouvernements staatblad 1916 No. 517 jo Peraturan Menteri Negara/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 24 Tahun 1997.

Tentang kewenangan pembuatan hukum waris dan Surat Keterangan Hak Waris (SKHW) hingga sekarang belum ada peraturan tertentu dalam bentuk undang-undang (unifikasi) yang mengatur tentang pejabat yang diberi kewenangan khusus untuk membuat surat keterangan hak waris.

Adapun beberapa ketentuan yang mengatur tentang kewenangan pembuatan surat keterangan hak waris baik sebelum maupun setelah kemerdekaan RI, antara lain sebagai berikut :

1. Sebelum kemerdekaan

Dalam Lembaran Negara 1916 No 517 tentang Instruksi Bagi Juru Ukur Tanah Guverneman di Indonesia serta Para Tenaga Pelaksana Pasal 14 ayat 1, terhadap orang Indonesia yang mendapat persamaan hak (setara dengan orang Eropa) dan kewenangan pembuatan surat keterangan hak waris dibuat oleh Balai Harta Peninggalan.

2. Sesudah kemerdekaan

Setelah berlakunya Undang-undang No 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan beberapa ketentuan pelaksanaannya antara lain mengatur bahwa setiap peralihan hak atas tanah harus dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam praktek banyak yang merangkap sebagai Notaris, yang terkait dengan pembuatan Surat Keterangan Hak Waris, sehingga keluarlah Surat Direktur Jenderal Agraria (Kepala Direktorat Pendapatan tanah) Nomor Dpt/12/63/12/69

(22)

tanggal 20 Desember 1969 tentang Surat Keterangan Warisan dan Pembuktian Kewarganegaraan jo. Fatwa Mahkamah Agung RI tanggal 25 Maret 1991, Nomor KMA/041/III/1991 dan Surat Direktur Hukum dan Pengadilan Tinggi, Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama di seluruh Indonesia Nomor MA/Kumdil/171/V/K/1991 tanggal 8 Mei 1991, mengatur kewenangan pembuatan Surat Keterangan Warisan (waris) sebagai berikut :

1. Golongan keturunan Barat (Eropa) dibuat oleh Notaris.

2. Golongan Penduduk Asli Surat Keterangan oleh ahli waris, disaksikan oleh Lurah dan diketahui oleh Camat.

3. Golongan keturunan Tionghoa dibuat oleh Notaris.

4. Golongan asing lainnya, dibuat oleh Balai Harta Peninggalan.

Dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Pasal 49 ayat 1 dan ayat 3 mengenai kewarisan diatur sebagai berikut :

Ayat 1 : “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang.

Ayat 3 “Bidang kewarisan sebagaimana yang dimaksud ayat (1) huruf b ialah penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut.

h. Kepailitan.

Faillisements Verrordening Staatblad 1905 No. 217 jo Staatblad 1906 No. 348 merupakan undang-undang kepailitan yang berlaku di Indonesia sebelum Perpu No. 1 Tahun 1998 yang disahkan menjadi UU No. 4 Tahun 1998. Dalam undang-undang kepailitan lama, Balai Harta Peninggalan selaku Kurator tunggal dalam Kepailitan. Sejak berlakunya UU No. 4 Tahun 1998 yang kemudian disempurnakan dengan UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, munculah Kurator lain selain Balai Harta Peninggalan.

Dalam ketentuan Pasal 1 ayat (5) disebutkan bahwa Kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perorangan yang diangkat oleh Pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta harta Debitor Pailit di bawah pengawasan Hakim Pengawas sesuai dengan undang-undang ini.

Ketentuan ini juga diatur dalam Pasal 70 ayat (1) Kurator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 adalah:

a. Balai Harta Peninggalan;

b. Kurator lainnya.

Tugas Kurator adalah melakukan pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit. Baik Kurator BHP maupun Kurator lainnya (swasta) dalam

(23)

melaksanakan tugas pengurusan dan pemberesan harta pailit berpedoman pada UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dan peraturan pelaksana lainnya.

D. KESIMPULAN

1. Balai Harta Peninggalan (wesboedel khamer) dibentuk pertama kali oleh pemerintah Hindia Belanda tepatnya pada tanggal 1 Oktober 1624.

Pembentukan Balai Harta Peninggalan dilakukan dalam rangka untuk dapat memenuhi kebutuhan bagi anggota VOC khususnya dalam hal mengurus harta-harta yang ditingggalkan oleh anggota VOC tersebut, bagi kepentingan para ahli warisnya yang berada di Nederland (Belanda). Tugas Balai Harta Peninggalan sekarang mewakili dan pengurus kepentingan orang yang karena hukum dan putusan hakim tidak dapat menjalankan sendiri kepentingannya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

2. Balai Harta Peninggalan menyelenggarakan fungsi perwalian, pengampuan, ketidakhadiran, harta peninggalan tidak ada kuasanya, pembukan dan pendaftaran surat wasiat, membuat surat keterangan hak mewaris, kurator dalam kepailitan, pengelolaan uang pihak ketiga dan tugas yang belum dilaksanakan adalah mengenai hasil transfer dana dari Bank Indonesia;

3. Dasar hukum pelaksanaan tugas Balai Harta Peninggalan sebagian besar masih menggunakan peraturan yang dibuat sebelum kemerdekaan dan terkesan diskriminatif sehingga tidak sejalan dengan amanat Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945;

4. Untuk dapat menyesuaikan perkembangan dan pembaharuan hukum di bidang harta peninggalan perlu dilakukan unifikasi hukum dalam bentuk suatu Undang-Undang tentang Balai Harta Peninggalan maka disusunlah RUU BHP.

E. SARAN

Melihat tugas pokok dan fungsi Balai Harta Peninggalan adalah memberikan pelayanan hukum di bidang harta peninggalan khususnya yang karena hukum dan putusan hakim tidak dapat menjalankan sendiri kepentingannya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga terayominya hak-hak asasi manusia, maka sudah selayaknya dibuat suatu Undang-Undang tentang Balai Harta Peninggalan, sehingga landasan hukum pelaksanaan tugas Balai Harta Peninggalan menjadi lebih kuat dan berkepastian hukum mengingat garis besar tugas Balai Harta Peninggalan mewakili kepentingan orang lain.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Guru meminta siswa untuk menggunakan strategi-strateginya dalam menyelesikan masalah yang berkaitan dengan menghitung keliling dan luas bangun segitiga

Maka dari itu kami berusaha untuk mencari ide agar roti tersebut tidak dibuang, lalu setelah kami mendapatkan ide untuk membuat roti tersebut dapat membuahkan hasil

konsentrasi krim santan berpengaruh nyata terhadap karakteristik sensoris (rasa dan tekstur) terhadap rendang buah nangka yang dihasilkan.. Rendang

Artinya pelayanan yang diberikan kepada wisatawan ikut menentukan wisatawan berkunjung ke suatu objek/daya tarik wisata, jika kota Padang ingin kunjungan wisatawan meningkat,

Pada penelitian kali ini, dilakukan dua tahapan untuk melihat daerah mana saja yang memiliki kerawanan tinggi dan model dengan skenario seperti apa yang sesuai

Nahiz eta, gure ustez, argi dagoen Fredulforen eta Valpuestaren arteko lotura (jarraikortasun bat duena bere familiako kideen artean eta Joanen dohaintza

Jadi, dapat disimpulkan bahwa disiplin karyawan adalah perilaku seseorang yang sesuai dengan peraturan, prosedur kerja yang ada atau disiplin sikap, tingkah laku,