• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI PENGARUH DIPLOMASI KEMANUSIAAN INDONESIA TERHADAP KRISIS KEMANUSIAAN ROHINGYA DI MYANMAR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRIPSI PENGARUH DIPLOMASI KEMANUSIAAN INDONESIA TERHADAP KRISIS KEMANUSIAAN ROHINGYA DI MYANMAR"

Copied!
121
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

PENGARUH DIPLOMASI KEMANUSIAAN INDONESIA TERHADAP KRISIS KEMANUSIAAN ROHINGYA DI MYANMAR

OLEH

ARBI HAMZAH E 131 14 007

DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR

2018

(2)

HALAMAN JUDUL

PENGARUH DIPLOMASI KEMANUSIAAN INDONESIA TERHADAP KRISIS KEMANUSIAAN ROHINGYA DI MYANMAR

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana S-1 pada Departemen Ilmu Hubungan Internasional

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin

OLEH

ARBI HAMZAH E 131 14 007

DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR

2018

(3)

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI

ii

(4)

HALAMAN PENERIMAAN TIM EVALUASI

(5)

MOTTO

“Lihatlah apa yang dikatakan, tapi jangan melihat siapa yang mengatakan”

“Bentangkan sayap, teruslah berlayar, kesuksesan ada diseberang”

۞۞۞۞۞

iv

(6)

ABSTRAKSI

Arbi Hamzah, E13114007, ―Pengaruh Diplomasi Kemanusiaan Indonesia terhadap Krisis Kemanusiaan Rohingya di Myanmar” dibawah bimbingan Muhammad Nasir Badu, Ph. D sebagai Pembimbing I dan Muh Ashry Sallatu, S. IP., M. Si sebagai pembimbing II, Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin, Makassar.

Penelitian ini menggambarkan Pengaruh diplomasi kemanusiaan Indonesia terhadap krisis kemanusiaan Rohingya di Myanmar. Secara spesifik, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui diplomasi kemanusiaan Indonesia dan Implikasi Diplomasi Kemanusiaan Indonesia terhadap Krisis Kemanusiaan Rohingya di Myanmar. Metode Penelitian yang digunakan adalah Tipe Dekriptif dengan Teknik Pengumpulan Data Studi kepustakaan (Library Research) yang bersumber dari buku, artikel, jurnal, dokumen, tabloid, analisis video dan website yang valid.

Penulis menggunakan teknik analisis Kualitatif dengan penulisan deduktif.

Hasil Penelitian menunjukkan bahwa Diplomasi Kemanusiaan Indonesia lahir karena adanya krisis kemanusiaan (complex emergencies) yang diakibatkan oleh konflik dan sikap represif kebijakan pemerintah Myanmar terhadap etnis muslim minoritas Rohingya. Diplomasi Kemanusiaan Indonesia pada kenyataanya mempengaruhi Myanmar dalam krisis kemanusiaan Rohingya. Hal tersebut dapat dilihat melalui komitmen Myanmar menerapkan usulan formula 4+1 yang menjadi tuntutan Indonesia untuk menyelesaikan krisis Rohingya di Myanmar.

Adapun diplomasi kemanusiaan Indonesia sebagai instrumen terhadap krisis kemanusiaan Rohingya seperti amanat konstitusi, negara demokrasi, negara yang peduli kemanusiaan dan negara pemimpin ASEAN. Sedangkan, Implikasi Diplomasi Kemanusiaan Indonesia terhadap krisis kemanusiaan Rohingya yaitu adanya kesepakatan dalam pembukaan border Myanmar, untuk masuknya bantuan kemanusiaan Indonesia dan ASEAN serta Internasional, disamping keterlibatan AKIM (Aliansi Kemanusiaan Indonesia untuk Myanmar).

Kata Kunci: Diplomasi Kemanusiaan, Krisis Kemanusiaan, Etnis Rohingya, Indonesia, Myanmar.

(7)

ABSTRACT

Arbi Hamzah, E13114007 Thesis entitled “The Influences of Indonesian Humanitarian Diplomacy towards Humanitarian Crisis of Rohingya in Myanmar”, under the guidance of Muhammad Nasir Badu, Ph.D as First Supervisor and Muh Ashry Sallatu, S. IP., M. Si as Second Supervisor.

Departement of International Relations, Faculty of Social and Political Sciences, Hasanuddin University, Makassar.

This Paper aims to describe the influences of Indonesian Humanitarian Diplomacy towards the humanitarian crisis of Rohingya in Myanmar. Specifically, this study aims to find out Indonesia‘s background uses Humanitarian diplomacy as instrument towards humanitarian crisis of Rohingya in Myanmar and the implication of Indonesia in humanitarian diplomacy towards humanitarian crisis of Rohingya in Myanmar while how it could be effective. The research method which writer use is descriptive as type of research and data collection techniques performed with literature sourced from books, journals, documents, articles, tabloids, videos and a valid websites. Whereas for analyzing the data, the writer uses qualitative analysis techniques, besides use the techniques of writing with the deductive.

The results of this paper indicate that humanitarian diplomacy was born caused by humanitarian crisis which is consequences of the conflict and repressive decisions of Myanmar‘s government towards Ethnic Moslim minority Rohingya. In fact, Indonesian humanitarian diplomacy affects to Myanmar through this crisis. This can be seen with commitment of Myanmar to implement the proposal formula 4+1 to overcome the crisis in Rakhine state. Indonesian Humanitarian Diplomacy as instrument toward this crisis of Rohingya, such as Mandate of Indonesia constitution, democration country, humanity and leader of ASEAN. Meanwhile, the Implications of Indonesian humanitarian diplomacy towards humanitarian crisis of Rohingya is the existing agreement of Myanmar to open border so that Indonesian Aid could reach the vulnerable people, ASEAN and the International Assistances besides the Involvement AKIM (alliance of Indonesian Humanitarian for Myanmar).

Keywords: Humanitarian Diplomacy, Humanitarian Crisis, Ethnic Rohingya, Indonesia and Myanmar.

vi

(8)

KATA PENGANTAR

ِ ب ـــــــــــــــ

ِ رلاِاللهِ نْس

ِ رلاِ يو ْح

ِ نْي ح

ِ إ

ِ ى

ِ حلِِْا

ِْو

ِ لِلِ د

ِْحِِ ً

ِ و

ِ د

ِ ٍ

ِ ِّ

ِْسِِ ً

ِ عِ ت

ِ ي

ِ َِ ٌـ

ِْس ًِ ِّ

ِ ت

ِ فِْغ

ِ ر

ِ ٍ

ِ

ِ عِ ًّ

ِْْ

ِِ بِ ذ

ِ لِلا

ِ هِ

ِْي

ِ

ِ رِ ش

ِِّْ

ِ ر

ِِ أ

ًِْ

ِ سِ ف

ِ ٌ

ِ ِّا

ِ هِ

ِْي

ِ سِ

ِ ي

ِ ـِـ

ِ ت

ِِ ا

ِ وِْع

ِ لِا

ِ هِ.اِ ٌ

ِِ يِْي

ِ دِِْ

ِ ٍِِ دِْبِ عِاِ دِ وِ حِ هِِ ىِِ أِ دِ ِِْشِِ أِ ِّ.ِ َِِ لِ كِْيِ رِ شِِ لِِ ٍِ دِْحِ ِِّ اللهِ لِِ إِ َِ لِ إِِ لِِْىِِ أِ دِ ِِْشِ أِ.ِ َِِ لِ يِ داِ ُِِ لِِ فِ َِْلِ لـِ ضِِ يِْيِ هِ ِِّ َِِ لِ لـِ ضِ هِِ لِِ فِ الله

ِ ٍ

ِ

ِ ّ

ِ ر

ِِْْ س

ِ َِِ ل

،

ِ هِِ ا

ِ بِا

ِ ع

ِْد .

ِ

Alhamdulillāhirabbil‟ālamĭn, tiada kata yang paling pantas penulis ucapkan melainkan ungkapan rasa syukur kehadirat Allah Azza wa jalla „ala.

Karena, atas limpahan rahmat, taufiq dan segala kenikmatan serta karunia lainnya yang tiada tara kepada kita sekalian sebagai makhluk ciptaan-Nya. Semoga kita senantiasa diberi hidayah untuk senantiasa melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala apa yang di larang-Nya.

Sholawat dan salam juga senantiasa teriring kepada junjungan kita Nabi Muhammad Shallallahu „alaihi wasallam, beliau merupakan sosok panutan dan suri tauladan yang memiliki kepribadian yang kompleks, berkat perjuangan dan kemuliaan beliau sehingga kita semua dapat terbimbing dan berada pada jalan yang di ridhai lagi berkah.

Segala puji hanya milik Allah Subhanahu wata‟ala, tuhan penyeru sekalian alam karena atas izin-Nyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan dan penyusunan Skripsi ini dengan judul “Pengaruh Diplomasi Kemanusiaan Indonesia terhadap Krisis Kemanusiaan Rohingya di Myanmar”. Penulisan Skripsi ini dilaksanakan dalam rangka pemenuhan salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana pada Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin.

Pertama-tama penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya, kepada pihak yang telah berpartisipasi dalam penyusunan skripsi ini, Penulis menyadari bahwa selama penulisan skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Karenanya, skripsi ini khusus penulis persembahkan sebagai ucapan terima kasih dan rasa cinta yang mendalam kepada orang-orang yang telah

(9)

sangat berjasa dan rela meluangkan waktu, tenaga, pikiran serta dukungan berupa moral maupun materiil. Penulis menyadari bahwa tanpa adanya bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, penulis akan sangat sulit untuk menyelesaikan Skripsi ini. Oleh karena itu, perkenankanlah bagi penulis untuk mengucapkan rasa hormat dan terima kasih kepada:

1. Rektor Universitas Hasanuddin, Ibu Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, MA, dan seluruh Wakil Rektor berserta jajarannya di Universitas dan Almamater kebanggaan “The Red Jacket”.

2. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin, Bapak Prof. Dr. Alimuddin Unde, S. Sos., M. Si, dan seluruh Pembantu Dekan beserta jajarannya di Bumi Biru Kuning.

3. Ketua Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Ayahanda Dr. H.

Darwis, MA., Ph. D, dan Kakanda Muh. Ashry Sallatu, S. IP., M. Si, selaku Sekertaris Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin.

4. Seluruh tenaga pengajar Bapak dan Ibu Dosenku serta staff di Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin: Pak Patrice Lumumba, Prof. S M Noor, Prof.

Baasyir Syam, Pak Husain Abdullah, Pak Aswin Baharuddin, Pak Burhanuddin, Pak Aspi, Pak Ishaq Rahman, Pak Munjin Syafik, Pak Adi Suryadi, Pak Agussalim, Ibu Seniwati, Ibu Pusparida, Ibu Isdah, Kak Bama dan Kak Jannah yang telah berbagi Ilmu dan pengalamannya selama perkuliahan. Kak Rahma dan Kak Tia di Sekretariat Departemen Hubungan Internasional, terima kasih atas bantuan dan layanannya.

5. Terspesial untuk kedua orangtua penulis, ayahanda dan ibunda terkasih dan tersayang yang telah memberikan dukungan moral, moril serta materil, ayahanda Hamzah bin Mada dan ibunda tercinta Rusmiah binti Ramalang, dengan kesabaran yang tak pernah luntur dalam mendidik dan mengajarkan kepada penulis benih-benih dari nilai-nilai kebaikan dari

viii

(10)

kehidupan dalam setiap gerak langkah hingga penulis bisa duduk dibangku perkuliahan, satu hal yang masih begitu segar terngiang di telinga ini ialah petuah-petuah yang begitu membekas di dalam dada sehingga menjadi energi dan motivasi dari diri penulis hingga saat ini,

6. Kedua orang yang telah bersusah payah mengandung dan melahirkan penulis ke dunia ini, namun belum sempat merawat penulis hingga seperti sekarang ini, kenangan fhoto pernikahan kalian masih aku simpan. Entah dimanakah dirimu kini berada, semoga Allah Subhanahu Wata‟ala senantiasa melimpahkan rahmat dan taufik kasih sayangnya kepada dirimu berdua.

7. Teman, sohib, kerabat, lawan ataupun kawan angkatan AGRESI’14, terima kasih atas kebersamaanya Afu, Hendro, Ashar, Wira, Mario, Bowo, Zulmi, Ferdi, Dika, Anwar, Rizaldy, Teguh, Felix, Batara, Kiki, Rani, Indah, Tiwi, Nabila, Wulan, Anna, Ani, Devina, Aul, Febe, Ulfa, Ni Putu Tirza, Tina, Marwah, Anita, Hadija, Husnul, Israwati, Siti Aisyah, Nisa, Andira, Tiara, Ghandi, Qoanita, Uthe, Fira, Rahmi, Inggi, Suci, Acha’, Aisy, Nurul Fhadillah, Asri Pricilia, Anisa Safitri Soed.

8. Ikhwanku Dunia dan Akhirat para perindu Syurga di UKM LDK MPM UNHAS (Unit Kegiatan Mahasiswa Lembaga Dakwah Kampus Mahasiswa Pencinta Mushalla) terima kasih atas amanahnya selama dua periode, banyak pelajaran yang penulis peroleh, belajar agama, bakti sosial dan tentunya semakin istiqamah dan dekat di jalan Allah subhanahu wata‟ala.

9. Teman-teman dan Kanda-kandaku di BEM KEMA FISIP UNHAS Periode 2017-2018 (Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik) kak Chaerol, Kak Fuad, Kak Oskar, Kak Idan, Kak Fadhil, Kak Ibnu, kak Hasyim, Kak Teti, kak

(11)

Fatwa, Endah, dan lain-lain terima kasih atas ilmunya dan kebersamaanya.

10. Kanda-kakandaku di Departemen Ilmu Hubungan Internasional, khususnya yang ada di HIMAHI (Himpunan Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional), yang telah menginjeksikan nilai-nilai kemahasiswaan dan akademik kepada penulis, kala kali pertama menginjakkan kaki di Departemen.

11. Kawan – kawan seperjuangan Internship Kantor Imigrasi Kelas 1 Makassar, tahun 2017, Fatri dan Pona dari UIM, Jaka dan Roni dari Unifa, Erin, Asma, Anwar, dan lain-lain. Juga rekan-rekan staf yang sudah sudi berbaik hati, berbagi ilmu dan pengalaman dengan penulis.

12. Saudara-saudaraku Umar yang kerap penulis panggil Mark, Usman dengan panggilan Farel dan Udhin yang kerap penulis panggil dengan sebutan Eno serta kakak perempuan ku Nhana, terima kasih banyak atas dukungan materiilmu selama ini, engkau senantiasa memberiku nasihat agar aku bersungguh-sungguh dalam kuliah dan tidak boros dengan uang hasil jerih payahmu bekerja.

13. Sepupuku Yuyung yang manis, lemah lembut dan baik hati, terima kasih banyak atas kesediaanya mengantar dan menjemput penulis selama masa tahap verifikasi masuk Universitas Hasanuddin.

14. Ibu Arma Ramli, Guru Sosiologiku, sosok guru yang tidak akan pernah penulis lupa atas jasa-jasa, kala penulis masih mengenyam pendidikan dibangku sekolah menengah SMAN 1 Duampanua (sekarang sudah menjadi SMAN 2 Pinrang), terima kasih banyak atas semua kebaikan, tidak hanya sebagai sosok pendidik tetapi juga sebagai sahabat, teman dan keluarga. Terima kasih atas kebaikan yang engkau curahkan kepada anak walimu ini.

x

(12)

15. Paman Syam dan Bibi Anti yang sudah mau berbaik hati untuk mengizinkan penulis numpang dirumahnya, selama penulis berkuliah di Universitas Hasanuddin Makassar.

16. Asdar atau Odda, sohib dan kawan di kampung, yang senantiasa hadir dan menyemarakkan suasana kehidupan sehari-hari Penulis, kala berada di kampung tercinta Kappe, Kabupaten Pinrang, Wanua Penrang.

17. Kak Wandy Abbas, sohib travelling ketika melakukan Pengabdian Masyarakat Pulau pada Program Kementrian Koordinator Bidang Kemaritiman Ekspedisi Nusantara Jaya Jalur Pemuda Sulawesi Barat 2017, terima kasih atas nasehat, motivasi, dan bantuannya,

Akhirnya, sudilah rasanya penulis jika mencantumkan semua nama, oleh karena itu, penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya, jika masih terdapat pihak yang belum dicantumkan namanya dalam penyusunan Skripsi ini,

Akhir kata ―tiada gading yang tak retak". Begitu pun halnya dengan karya penulis ini yang jauh dari kata ‗sempurna‘. Oleh karena itu, Penulis berharap semoga penelitian ini menjadi sumbangsih yang bermanfaat dan berguna bagi dunia pendidikan dan Ilmu Pengetahuan di Indonesia, wabilkhusus disiplin keilmuan yang Penulis dalami. Lebih lanjut, penulis mengharapkan masukan yang membangun dari pembaca yang budiman, baik berupa kritik ataupun saran, dapat menghubungi penulis melalui sambungan by Via Email;

hamzaha14e@student.unhas.ac.id.

ِ ّ

ِ سلِا

ِ مِِ ل

ِ ع

ِ لِْي

ِْنِِ ك

ِ ّ

ِ رِ

ِ وِْح

ِ ة

ِ لِلِاِ

ِ ِّ

ِ ب

ِ ر

ِ ك

ِ تِا

َِْ

Makassar, 04 Desember 2017

Penyusun,

(13)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI ... ii

HALAMAN PENERIMAAN TIM EVALUASI ... iii

MOTTO... iv

ABSTRAKSI... v

ABSTRACT ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang ... 1

B.Batasan dan Rumusan Masalah ... 8

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

1. Tujuan Penelitian ... 8

2. Manfaat Penelitian ... 9

D.Kerangka konseptual ... 9

E.Metode penelitian ... 12

1. Pendekatan / Jenis Penelitian. ... 12

2. Teknik Pengumpulan Data ... 13

3. Jenis Data ... 13

4. Teknik Analisis Data ... 14

5. Metode Penulisan ... 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 15

A.Konsep tentang Humanitarian Diplomacy ... 15

B.Konsep tentang National Interest. ... 24

BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG DIPLOMASI KEMANUSIAAN INDONESIA DAN KRISIS KEMANUSIAAN ROHINGYA... 31

xii

(14)

A.Diplomasi Kemanusiaan Indonesia ... 31

1. Pengiriman Pasukan Perdamaian (Kemanusiaan) ... 39

2. Resolusi Konflik (Krisis Kemanusiaan Rohingya) ... 41

a) Mengembalikan Stabilitas dan Keamanan ... 42

b) Menahan diri secara Maksimal dan tidak menggunakan Kekerasan ... 43

c) Memberikan Perlindungan kepada semua orang di Rakhine tanpa memandang Suku dan Agama ... 44

d) Pentingya dibuka Akses untuk Bantuan Kemanusiaan... 45

e) Implementasi Laporan Koffi Annan ... 46

3. Penanganan Bencana (Program AKIM) ... 48

B.Krisis Kemanusiaan Rohingya di Myanmar ... 50

1. Etnis Rohingya Myanmar ... 50

2. Dinamika Krisis Rohingya Myanmar ... 51

3. Perkembangan Hubungan Indonesia – Myanmar berhubungan dengan Krisis Rohingya ... 60

BAB IV IMPLIKASI DIPLOMASI KEMANUSIAAN INDONESIA TERHADAP KRISIS KEMANUSIAAN ROHINGYA DI MYANMAR ... 64

A.Diplomasi Kemanusiaan Indonesia sebagai Instrumen terhadap Krisis Kemanusiaan Rohingya di Myanmar ... 64

B.Implikasi Diplomasi Kemanusiaan Indonesia terhadap Krisis Kemanusiaan Rohingya di Myanmar ... 78

BAB V PENUTUP ... 91

A.Kesimpulan... 91

B.Saran ... 92

DAFTAR PUSTAKA ... 95

(15)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Bantuan Diplomasi Indonesia periode 2012-2017 ... 38 xiv

(16)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Sikap Indonesia dalam Krisis Rakhine... 32 Gambar 2 Kelompok Etnis di Myanmar ... 51 Gambar 3 Titik Api Kebakaran di Rakhine State ... 57

(17)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Pasca berakhirnya Perang Dingin tahun 1990-an, banyak memberikan perubahan pada hal-hal mendasar dalam wajah politik Internasional, yang kemudian banyak bermunculan isu-isu baru, serta aktor-aktor baru. Isu-isu mengenai politik dan keamanan, tidak lagi menjadi satu topik yang terlihat stand out, tapi kini telah merambah kepada isu-isu kemanusiaan, seperti pemerintahan yang baik (Good Governance), demokratisasi, HAM, dan lain sebagainya (Djelantik, 2006, p. 410).

Hak Asasi Manusia atau HAM pun masih menjadi satu topik dan bahasan yang masih luas dan menarik untuk di perbincangkan apalagi untuk didiskusikan.

Hal ini kemudian bukan dengan tanpa alasan yang mendasar pasalnya, ketika sesuatu disangkut pautkan dengan yang namanya Hak Asasi Manusia. Maka, seyogyanya Hak Asasi Manusia merupakan Hak yang diperoleh manusia sejak lahir hingga matinya.

Sejak berdirinya Organisasi Dunia Perserikatan Bangsa-bangsa atau United Nations (UN) tahun 1945, atas persetujuan negara-negara di dunia, sebagai sebuah kritikan terhadap kondisi dan keadaan dunia yang carut marut. Seolah-olah manusia tidak memiliki belas kasih, cinta dan kasih sayang terhadap siapa pun.

Secara substansinya, mengingkari kodratinya sebagai seorang manusia yang berperikemanusiaan. Tokoh Thommas Hobbes menggambarkan Sebagai Homo Homini Lupus atau orang lain adalah dipandang sebagai serigala bagi yang

(18)

lainnya. Pada tahun 1948, Eleannor Roosevelt as Chairs in Commission kala itu, bertempat di Sekretariat Perserikatan Bangsa-bangsa di Amerika Serikat memproklamirkan The Universal Declaration on Human Rights yang pada awalnya Hak Asasi Manusia bernama The Natural Rights menjadi The Human Rights seperti yang kita kenali detik ini.

Menurut Franz (1997) dalam (Karim, Jeihan, Efendi, Hidayat, & Zain, n.d., p. 853) Hak Asasi Manusia adalah Hak yang dimiliki oleh Manusia bukan karena pemberian atau diberikan oleh suatu komunitas, bukan juga dari hukum positif, tetapi berdasarkan kepada Harkat dan Martabat yang dimiliki sebagai seorang manusia. Lebih lanjut, Brzezinski dalam (Carlsnaes, Risse, & Simmons, 2013, p. 1073) menyebutkan bahwa hak asasi manusia merupakan satu-satunya gagasan politik era kontemporer yang paling menarik.

Oleh karena itu, Hak Asasi Manusia dapat diartikan sebagai suatu hak yang melekat pada diri segenap manusia, dengan dalih bahwa mereka diakui keberadaannya tanpa melihat perbedaan atas dasar suku, jenis kelamin, ras, warna kulit, bahasa, agama, politik, kewarganegaraan, kekayaan dan kelahiran.

Sebagai seorang manusia yang memiliki hak asasi karena diri kita adalah manusia, sudah seharusnya tidak mempermasalahkan lagi atas dasar latar belakang yang berbeda seperti suku, orientasi politik, kekayaan, kelahiran, agama, ras, bahasa, etnis, warna kulit, jenis kelamin, budaya, pekerjaan dan lain – lainnya.

Namun sebaliknya, rasa kebanggaan, menghormati (respect) dan apresiasi (appreciate) atas pemberian dari Tuhan Yang Maha Esa atas perbedaan ini, bukankah Perbedaan itu hadir agar saling mengenal dan saling berbagi kebaikan,

(19)

3

perbedaan tidak untuk digaduhkan tapi dirayakan, terlebih lagi Dunia ini akan terasa lebih bermakna dan berwarna dengan hadirnya perbedaan itu.

Pada faktanya terkadang Individu, kelompok atau group melakukan pembenaran terhadap apa yang ada dalam benak mereka dan sesuai dengan keinginan atau kehendak mereka, tanpa sadar bahwa mereka juga memiliki kewajiban untuk kemudian menghormati dan menghargai / respect terhadap hak asasi yang kemudian dimiliki oleh individu, kelompok atau Group Lainnya. Lebih lanjut, manusia sepatutnya hidup dalam kebersamaan, saling bekerja bersama – sama, hidup berdampingan serta hidup dalam damai dan terjamin keamanannya.

akan tetapi, kadangkala timbul rasa ego dan selfish dalam diri individu atau kelompok tersebut. Alhasil, yang hadir kemudian adalah sebuah konflik kepentingan / conflict of Interest dari pihak-pihak tertentu yang menimbulkan masalah hingga berujung kepada krisis dan tragedi kemanusiaan, meskipun kedengarannya begitu normatif, tetapi pada hakekatnya adalah demikian.

Keamanan sebagai poin utama nan klimaks yang dibutuhkan manusia, Individu atau kelompok. Jika poin rasa aman dan damai telah terpenuhi barulah kemudian hal – hal lain seperti keperluan sandang, pangan dan papan ikut menjadi prioritas.

Krisis kemanusiaan merupakan suatu kondisi dimana adanya ambiguitas atas hak-hak dasar sebagai seorang manusia yang tidak terpenuhi. Alhasil, hak- hak itu dapat berupa hak untuk mendapatkan rasa aman, hak untuk bertahan hidup, hak untuk memperoleh keadilan, dan lain-lain. Penyebabnya bisa datang dari banyak hal seperti konflik dan sikap represif pemerintah. Alhasil, dampak

(20)

krisis kemanusiaan akan berbanding lurus dan bersinggungan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) itu sendiri.

Hadirnya tindakan dan aksi yang jauh dari esensi perikemanusiaan ini, menjadi satu isu kemanusiaan dalam percaturan studi ilmu hubungan internasional pada dekade dewasa ini, yang hangat dan menarik untuk di diskusikan terlebih lagi untuk di kaji. Krisis kemanusiaan yang menimpa etnis Rohingya di Myanmar yang belakangan menarik perhatian, bukan hanya negara – negara se-kawasan Regional ASEAN bahkan, dunia Internasional pun ikut melirik konflik krisis kemanusiaan yang menimpa Etnis Rohingya ini.

Krisis kemanusiaan yang menimpa etnis Rohingya di Myanmar menarik perhatian dunia internasional, termasuk negara Indonesia. Meskipun krisis kemanusiaan yang terjadi di negara tersebut terbilang sudah cukup lama. Namun kemudian bergema lagi kepermukaan baru – baru ini pada hari Jum‘at tanggal 25 Agustus 2017 setelah terjadi serangan yang mematikan dari kelompok pemerintah Militer Myanmar melawan kelompok pembela Rohingya atau ARSA (Arakhan Rohingya Salvation Army) atau Haraqah Al-Yaqin (Azra, 2017, pp. 01–02).

Tindakan diskriminasi, kekerasan, pembantaian, pembunuhan, pembasmian massal / genocide, dan pengusiran yang terjadi pada etnis Rohingya mutlak tindakan pelangaran HAM berat.

Secara subsansial, krisis kemanusiaan etnis Rohingya di Rakhine State Myanmar mutlak bersifat multidimensional. Pada satu dimensi, Myanmar masih dalam proses demokratisasi, sehingga dalam masa transisi ini, berdampak kepada warga sipil dan militer sedangkan pada dimensi lainnya krisis kemanusiaan ini,

(21)

5

memperlihatkan kegagalan sosok figur penerima Nobel Perdamaian dunia Aung San Suu Kyi yang juga pemimpin de facto negara tersebut(Azra, 2017, p. 01) .

Ada sekitar 10 persen orang tanpa kewarganegaraan di dunia tinggal di Myanmar(Al-Qurtuby, n.d.). Konkretnya, etnis Rohingya mengalami nasib yang begitu tragis. dibayang-bayangi tindak diskriminasi, hak asasi manusia seolah kebal. Karena kelompok etnis minoritas ini, secara resmi tidak diakui eksistensinya oleh Pemerintah Myanmar.

Melirik kasus Etnis Rohingya ini, dalam hemat penulis semoga tidak terulang lagi yang pernah – pernah terjadi di Afrika sebut saja tragedi Rwandan Genocide, penulis mengutip sebuah pernyataan dari Francoise bahwa; “United Nations has taken 20 years to apologize its failure to recognize And prevent the Rwandan genocide, the international community should not repeat the same mistake in Myanmar”(Francoise, 2016). Penulis berani kemudian untuk mengutip pernyataan tersebut, agar pembaca dan dunia mau kemudian untuk melirik dengan serius krisis kemanusiaan yang menimpa etnis Rohingya ini, seolah keterlibatan dari organisasi Perserikatan Bangsa – Bangsa yang sangat reaktif, lamban, dan represif terhadap pelanggaran hak asasi manusia ini.

Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai salah satu negara-bangsa (nation-state), baik posisinya yang berada dalam satu kawasan ASEAN, ataupun sebagai negara yang mengedepankan prinsip – prinsip atas dasar peri kemanusiaan dan peri keadilan, sesuai konteks konstitusi yang berlaku dalam domain domestik negara Indonesia, ikut merespon tragedi kemanusiaan Rohingya ini. Sebagaimana terkandung dalam Undang – Undang Dasar 1945, ikut menjaga

(22)

perdamaian dunia merupakan kewajiban bagi bangsa Indonesia. Kewajiban ini salah satunya diterjemahkan dengan membantu warga belahan dunia lain yang sedang berkabung luka akibat tragedi dan krisis kemanusiaan (Zulivan, 2017).

Perjuangan nilai-nilai kemanusiaan bagi pemerintah Indonesia telah ditegaskan dalam Pancasila dan UUD (Jusrianto, n.d.). Lebih lanjut, sudah menjadi tuntutan Indonesia untuk mengambil peran besar untuk menyelesaikan permasalahan yang menimpa etnis Rohingya, terlibat karena didasarkan atas panggilan semangat kemanusiaan.

Tragedi Rohingya menjadi bukti nyata bahwa masyarakat Rakhine yang terlibat langsung sebagai pelaku serta mendapat sokongan dari militer dan pemerintah Myanmar, telah mengabaikan sisi kemanusiaan. Seiring dengan bergulirnya krisis kemanusiaan etnis rohingya ini, yang gemanya begitu riuh dalam domain domestik Indonesia. Lebih lanjut, Perlunya untuk menjalin hubungan dan upaya diplomasi dan negosiasi yang intens dengan para pemangku kebijakan dan aktor-aktor yang berpengaruh di negara Myanmar, namun tetap memperhatikan sisi kepentingan nasional Indonesia.

Di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014) Indonesia telah ambil bagian dalam penyelesaian konflik Rohingya, sejak tahun 2012 ketika eskalasi konflik komunal kemanusiaan Rohingya kembali meningkat.

Indonesia yang secara historis memiliki hubungan dekat dengan Myanmar menerapkan pendekatan berbeda ketimbang negara lain. Apa yang disebut Jusuf Kalla, kala itu menjabat sebagai Ketua Umum PMI, Sebagai Saroong Diplomacy

(23)

7

(Azra, 2017, p. 01). Wal hasil, Indonesia menjadi negara yang diberikan akses oleh pemerintah Myanmar untuk menjalankan misi kemanusiaan di Rakhine State.

Pasca bergulirnya kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono, saat ini kepemimpinan Presiden Jokowi-Jusuf Kalla pun turut melirik krisis ini mengikuti pemerintah sebelumnya. oleh karena itu, Presiden menugaskan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi ke Myanmar. Indonesia melakukan pertemuan dengan beberapa aktor-aktor yang berpengaruh di Myanmar.

Dalam pertemuan pertama, Menteri Luar negeri bertemu dengan Jenderal Senior Tathmadaw U Ming Aung Hlaing, Indonesia menuntut agar Myanmar bisa menciptakan kondisi keamanan dan stabilitas di Rakhine State (tnr & Akbar, 2017). Pertemuan kedua menlu bertemu dengan State Counsellor Daw Aung Saan Suu Kyi, Menlu Retno menyampaikan usulan formula 4+1 untuk penyelesaian krisis kemanusiaan di Rakhine. Formula itu adalah; 1) mengembalikan stabilitas dan keamanan; 2) menahan diri secara maksimal dan tidak menggunakan kekerasan; 3) memberikan perlindungan kepada semua orang yang berada di Rakhine tanpa memandang suku dan agama; serta 4) membuka akses untuk bantuan kemanusiaan. Adapun plus 1-nya adalah agar Myanmar segera mengimplementasikan rekomendasi laporan Komisi Penasihat untuk Rakhine yang dipimpin mantan Sekjen PBB Koffi Annan, selain itu Menlu Retno juga menegaskan kembali keterlibatan masyarakat sipil Indonesia dengan pembentukan Aliansi Kemanusiaan Indonesia untuk Myanmar (AKIM) (Azra, 2017, pp. 02–03).

(24)

Merujuk pada latar belakang diatas maka, penulis menganggap bahwa permasalahan yang menimpa etnis rohingya ini dengan statusnya yang kini menjadi Imigran atau refugees bahkan sebagai Boat People adalah kemudian menarik dan penting untuk di angkat dalam karya ilmiah Skripsi ini, dengan mengangkat judul “Pengaruh Diplomasi Kemanusiaan Indonesia terhadap Krisis Kemanusiaan Rohingya di Myanmar”.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Dalam penelitian ini, penulis tidak akan mengkaji kebijakan Pemerintah Indonesia secara keseluruhan, dalam hal upaya menyelesaikan konflik krisis kemanusiaan yang menimpa etnis Rohingya, utamanya etnis muslim Rohingya mengingat, adanya prinsip Non intervensi yang dianut dalam kawasan ASEAN bagi negara – negara anggotanya. Penulis memfokuskan kepada pengkajian item – item dari Diplomasi Kemanusiaan Indonesia dan Implikasinya dalam penyelesaian Krisis Kemanusiaan Rohingya di Myanmar. Untuk mengetahui dan menjawab permasalahan tersebut, maka rumusan masalah dari latar belakang tersebut, adalah:

1. Mengapa Indonesia menggunakan Diplomasi Kemanusiaan sebagai Instrumen terhadap Krisis Kemanusiaan Rohingya di Myanmar?

2. Bagaimana Implikasi Diplomasi Kemanusiaan Indonesia terhadap Krisis Kemanusiaan Rohingya di Myanmar ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

(25)

9

1. Untuk mengetahui Diplomasi Kemanusiaan Indonesia sebagai Instrumen terhadap Krisis Kemanusiaan Rohingya di Myanmar.

2. Untuk menjelaskan Implikasi Diplomasi Kemanusiaan Indonesia terhadap Krisis Kemanusiaan Rohingya di Myanmar.

2. Manfaat Penelitian

Apabila tujuan dari penelitian diatas telah tercapai, maka penelitian ini:

1. Dapat dijadikan sebagai bahan acuan dan komparasi bagi akademisi dan penstudi Hubungan Internasional yang mempunyai ketertarikan, perhatian dan minat yang sama dalam hal mengkaji Pengaruh Diplomasi Kemanusiaan yang ditempuh Indonesia terhadap krisis kemanusiaan Rohingya di Myanmar.

2. Penulis berharap hasil dari penelitian ini dapat memberikan masukan kepada semua pihak yang berminat membahas topik yang sama ataupun yang ada kaitannya dengan diplomasi kemanusiaan / Humanitarian Diplomacy Indonesia dalam merespon krisis kemanusiaan Rohingya di Myanmar.

D. Kerangka konseptual

Kepentingan Nasional (National Interest) merupakan tujuan mendasar dan faktor yang paling menentukan dan memandu para pembuat keputusan dalam merumuskan politik luar negeri, kepentingan nasional merupakan konsep umum, tapi merupakan unsur yang menjadi kebutuhan sangat vital bagi negara(Plano &

Olton, 1982, p. 07). Lebih lanjut, Rudi mengemukakan bahwa kepentingan

(26)

nasional adalah tujuan-tujuan yang ingin dicapai sehubungan dengan kebutuhan negara atau sehubungan dengan hal yang dicita-citakan (Rudi, 2002, p. 116).

Unsur kepentingan nasional mencakup keberlangsungan hidup bangsa dan negara, kemerdekaan, keutuhan wilayah, kemanan militer dan kesejahteraan ekonomi. Kepentingan nasional sering dijadikan tolak ukur kriteria pokok bagi pengambilan keputusan (decision makers) masing-masing negara sebelum merumuskan dan menetapkan sikap atau tindakan. Bahkan, setiap langkah kebijakan luar negeri (Foreign Policy) perlu dilandaskan kepada kepentingan nasional dan diarahkan untuk mencapai serta melindungi apa yang dikategorikan atau ditetapkan sebaga kepentingan nasional (Rudi, 2002). Alhasil, kepentingan nasional akan sangat berimplikasi terhadap persoalan dalam domain domestik dan luar negeri.

Dalam beberapa literatur dan sumber-sumber akademik menyebutkan bahwa Diplomasi Kemanusiaan dipandang sebagai sebuah bagian dari upaya untuk melakukan negosiasi demi mendapatkan akses terhadap masyarakat yang mengalami dampak dari krisis (Larry Minear dan Hazel Smith dalam(Gita Srikandini, 2017). Pendapat ini, sejalan dengan upaya yang diambil Indonesia, bertemu dengan aktor-aktor kunci yang memiliki pengaruh di Myanmar, bernegosiasi dan menyampaikan solidaritas masyarakat Indonesia dan Internasional terhadap krisis yang terjadi, disamping untuk memperoleh akses terhadap masyarakat yang terkena dampak dari krisis. Lebih lanjut, diplomasi kemanusiaan lebih bersifat ad hoc, karena diplomasi ini dalam prakteknya berhubungan pada sebuah konteks krisis yang terjadi baik pada rentan waktu nya

(27)

11

maupun teritorialnya. Secara sederhana, diplomasi kemanusiaan dipahami sebagai

“Humanitarian Diplomacy is persuading decision makers and opinion leaders to act all times in the interests of vulnerable people, and with full respect for fundamental humanitarian principles‖(‗Humanitarian Diplomacy | The Foreign Service Journal - April 2016‘, n.d.). Dari pengertian dan uraian diatas, secara entry point diplomasi kemanusiaan sebagai upaya untuk mengajak para pemangku kebijakan untuk kemudian bagaimana memperhatikan kepentingan dari mereka yang lemah yang didasarkan pada aspek dan prinsip kemanusiaan.

Lebih lanjut, krisis kemanusiaan yang menimpa etnis rohingya ini merupakan sebuah complex emergencies atau sebuah keadaan darurat yang sangat kompleks, hal ini terjadi karena adanya konflik disertai tindakan represif dari pemerintah Myanmar kepada etnis rohingya sehingga berujung kepada sebuah tragedi krisis. Melihat keadaan yang carut marut menimpa etnis Rohingya ini, Indonesia sebagai sebuah negara dalam satu kawasan memainkan diplomasinya secara serius dengan mengutus Pejabat menteri Luar Negeri Retno Marsudi. Pun tak dapat dipungkiri, setiap negara, termasuk dalam hal ini Indonesia memiliki kepentingan nasional (National Interest) dalam krisis ini. terlebih lagi, Indonesia sebagai bagian dari masyarakat Internasional (International Society), diupayakan agar bisa sejalan dan menjembatani antara kepentingan nasional dan kepentingan Global / internasional.

Dua konsep yang penulis gunakan tersebut diatas, mengindikasikan adanya keterkaitan satu dengan yang lain. Lebih lanjut, konsep mengenai kepentingan nasional (National Interest) merujuk kepada tujuan, cita-cita dan

(28)

ambisi negara yang mendasarinya untuk melakukan hubungan dengan negara lain, atau dengan kata lain, sebagai pondasi dari kebijakan luar negeri suatu negara, dan diplomasi sebagai alat untuk mewujudkannya. Dalam perspektif non-material, kepentingan nasional saat ini sebagai alat yang digunakan negara berdasarkan kepada norma-norma, prinsip dan nilai sebagai international society untuk kepentingan bersama / collective of interest dalam misi-misi ataupun operasi kemanusiaan. Sedangkan diplomasi kemanusiaan sebagai daya, cara dan upaya damai dalam mengajak para pemangku kepentingan yang memiliki otoritas untuk memperhatikan kepentingan dari pihak lemah yang tekena dampak dari krisis.

E. Metode penelitian

1. Pendekatan / Jenis Penelitian.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan tipe atau jenis penelitian yang bersifat deskriptif kualitatif. John W. Cresswell dalam (Suryadi Bakry, 2016, p.

14) mendefiniskan metodologi penelitian kualitatif sebagai prosedur pendekatan dalam menggali dan memahami maksud yang terkandung dari individu atau kelompok yang berasal dari masalah sosial dan kemanusiaan.

Lebih lanjut, Norman Denzin dan Yvonna Lincoln dalam (Suryadi Bakry, 2016, p. 62) mengatakan bahwa penelitian kualitatif adalah bidang yang lintas disiplin ilmu sosial, artinya mencakup berbagai metode mulai dari observasi literatur, wawancara, analisis wacana dan historis atau dengan kata lain menggunakan multimetode. Sehingga metodologi kualitatif penelitian ini merujuk kepada suatu prosedur dalam penelitian yang menghasilkan data deskriptif atau menggambarkan dan menafsrikan berupa kata-kata tertulis /

(29)

13

berbasis dokumen atau lisan dari orang lain / wawancara serta perilaku sosial lainnya yang diamati.

2. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, penulis melakukan teknik pengumpulan data berbasis telaah pustaka / literatur (library research), yakni pengumpulan data melalui telaah literatur berupa buku, jurnal, dokumen, tabloid, artikel, surat kabar, majalah, video dan penelusuran melalui media internet berupa website yang valid.

3. Jenis Data

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis data sekunder. Data sekunder yaitu data yang tidak langsung atau data yang diperoleh peneliti melalui orang lain (Hardjodipuro, 1986, p. 29). Lebih lanjut, Kenneth D.

Bailey dalam (Suryadi Bakry, 2016, p. 69) mendefiniskan Data sekunder sebagai dokumen yang diperoleh orang-orang yang tidak hadir di tempat kejadian, tetapi mereka menerima informasi dengan mewawancarai saksi mata atau dengan membaca dokumen primer.

Sehingga dapat dikatakan Data sekunder merupakan data yang diperoleh bukan deri sumbernya secara langsung. Sumber data sekunder merupakan data tertulis atau informasi yang berupa dokumen atau informasi yang memiliki kaitan dengan objek yang ditelilti, dapat berupa Sumber buku-buku, atau dokumen lain serta penelusuran melalui media internet, majalah ilmiah, maupun dokumen-dokumen terkait. Lebih lanjut, data sekunder akan digunakan penulis sebagai acuan dalam menganalisis pembahasan secara

(30)

maksimal. Adapun data yang penulis butuhkan ialah sehubungan dengan aktivitas-aktivitas dan upaya diplomasi kemanusiaan Indonesia dalam merespon krisis kemanusiaan Rohingya di Myanmar.

4. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik analisis data bersifat Kualitatif. Lebih lanjut, teknik ini menganalisis permasalahan yang akan digambarkan berdasarkan pada fakta yang terjadi. Setelah itu, fakta tersebut dikaitkan dengan fakta yang lain sehingga mendapatkan tujuan yang diinginkan. Lebih lanjut, Teknik analisis data, permasalahan digambarkan dan dipaparkan berdasarkan konsep, data dan keterkaitan fakta-fakta yang ada satu sama lain, sehingga dapat ditarik kesimpulan.

5. Metode Penulisan

Dalam penelitian ini, Penulis menggunakan metode penulisan deduktif.

Lebih lanjut, metode deduktif digunakan penulis untuk menggambarkan secara umum masalah yang diteliti, kemudian diakhiri dengan penarikan kesimpulan yang lebih spesifik dan khusus dalam menganalisis datanya. Metode ini dilakukan dengan cara menggambarkan bagaimana strategi dan langkah- langkah yang diambil peneliti dalam menjawab rumusan masalah dari penelitian. Kemudian, hasil dari jawaban atas perumusan masalah tersebut akan diuraikan dalam bab selanjutnya yaitu BAB IV hasil penelitian dan pembahasan.

(31)

15 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep tentang Humanitarian Diplomacy

Untuk menjamin hubungan kerjasama yang baik antar negara, maka diperlukan sebuah cara atau mekanisme sebagai sebuah proses dalam memperjuangkan kepentingan masing-masing. Komunikasi yang efektif merupakan salah satu faktor penting yang dapat mendukung hubungan kerjasama, dalam disiplin Ilmu Hubungan Internasional sering disebut dengan diplomasi (Fathun, 2014, p. 75). Lebih lanjut, Lakhdar Brahimi mengemukakan;

Diplomacy has been practised differently in different places and at different times in history. It generally involves the ability to define one‟s own objectives and at the same time to be fully aware of the views, interests, circumstances and objectives of the other side. The negotiations which the diplomat engages will have a better chance of success of his or her approach is informed by at least a degree of empathy, understanding and significantly, knowledge of the overall situation (Minear & Smith, 2007, p. xiv).

Secara substansial, Ambassador Lakhdar Brahimi dalam buku tentang Humanitarian diplomacy; practisioner and their craft edited by Larry Minear and Hazel Smith beropini bahwa diplomasi dalam sejarahnya, telah mengalami perbedaan dalam praktek, baik tempat maupun waktunya, yang secara umum diketahui sebagai keterlibatan dari seorang yang memiliki kemampuan dalam hal cara pandang, kepentingan, keadaan dan sikap objektif. Namun, negosiasai yang dilakukan oleh para diplomat dengan melihat sisi pendekatan yang mengutamakan sikap empati, rasa saling pengertian dengan dilandasi oleh pengetahuan dalam membaca keadaan, dipandang dapat menjanjikan sebuah kesempatan yang lebih baik dalam kesuksesan negosiasinya.

(32)

Konsep tentang diplomasi kemanusiaan atau Humanitarian Diplomacy dalam ranah akademik studi Ilmu Hubungan Internasional, memang acap kali dipandang skeptis. Pasalnya, kemunculan konsep yang diiringi skeptisisme ini didasari oleh dua terma atau konsep yang saling berbeda atau Contradictio in Terminis (Sugiono & Rosyidin, n.d.). Namun, melalui karya tulis ini, penulis mencoba untuk mencari dan mengumpulkan beberapa sumber dan pendapat serta kajian para akademisi yang menggeluti diplomasi kemanusiaan menjadi sebuah kerangka berfikir belakangan ini dalam studi HI. Lebih lanjut, konsep ini kian mencuat diiringi oleh isu-isu dan fenomena dibidang krisis dan tragedi kemanusiaan di panggung intenasional.

Secara substansial, terma diplomasi dan kemanusiaan hakekatnya dalam hubungan internasional merupakan dua konsep yang terpisah, namun dari berbagai literatur dan kajian dari akademis dan praktisi yang menggeluti diplomasi kemanusiaan ini, khususnya dalam disiplin ilmu Hubungan Internasional, mencoba untuk menawarkan solusi bahwa diplomasi kemanusiaan bisa saling menjembatani antara kepentingan nasional dan kepentingan Global / internasional.

Diplomasi memang seyogyanya dipahami secara konvensional sebagai sebuah upaya yang dilakukan untuk memperjuangkan kepentingan nasional.

Melalui utusan para diplomat sebagai representasi dari negara yang memiliki tugas penting untuk melakukan dialog dengan perwakilan negara lain, dimana masing-masing perwakilan tersebut membawa misi untuk mengedepankan kepentingan negara mereka, melalui berbagai cara-cara dan upaya apapun. Disisi

(33)

17

lain, konsep kemanusiaan sendiri mengacu kepada kepatuhan terhadap prinsip- prinsip, nilai dan norma internasional yang diakui secara universal. Artinya bahwa konsep kemanusiaan tidak tersekat oleh batas-batas tradisional suatu kekuasaan negara (Sugiono & Rosyidin, n.d., p. 15).

Hal inilah yang menyebabkan kemudian banyak anggapan bahwa hakekat diplomasi dan kemanusiaan tidak dapat dipadupadankan, atau belum memiliki leader formal untuk dijadikan sebagai landasan berfikir dalam menganalisis suatu isu atau fenomena tertentu dalam lingkup hubungan internasional. Sehingga para akademisi dalam hubungan Internasional mencoba mencari dan mengemukakan pendapat mereka, agar diplomasi kemanusiaan bisa menjadi sebuah kerangka berfikir agar doktrinisasi konvensional bisa dipatahakan dan bahwa kepentingan nasional dan kepentingan global atau internasional bisa saling menjembatani atau interconnected atau saling terhubung. Dengan syarat bahwa kepentingan nasional dijadikan alat untuk mencapai kepentingan Global atau Internasional. Lebih lanjut, Pendekatan atau konsep Humanitarian Diplomacy sangat tepat untuk menganalisis krisis kemanusiaan yang diakibatkan oleh konflik, tindak kekerasan serta berbagai tindakan dikriminatif lainnya, yang kemudian mempengaruhi bagaimana suatu negara berperilaku dan merefleksikan hubungannya dengan negara lain demi untuk ambisi, tujuan dan cita-cita dari kepentingan nasionalnya.

Dalam beberapa literatur menyebutkan bahwa, diplomasi kemanusiaan dipahami sebagai sebuah upaya damai yang dilakukan untuk mencapai kesepakatan utamanya terhadap komitmen yang didasarkan kepada prinsip – prinsip, nilai dan norma kemanusiaan yang universal (Sugiono & Rosyidin, n.d.,

(34)

pp. 13–14). Sedangkan dalam pandangan dan perspektif lain yang menyatakan mengenai diplomasi kemanusiaan, diantaranya “Humanitarian diplomacy is persuading decision-makers and opinion leaders to act, at all times, in the interests of vulnerable people, and with full respect for fundamental humanitarian principles”(‗Humanitarian Diplomacy | The Foreign Service Journal - April 2016‘, n.d.).

Pendapat ini mengatakan bahwa diplomasi kemanusiaan sebagai sebuah upaya untuk mengajak para pemegang kekuasan yang memiliki otoritas dan kewenangan untuk bagaimana kemudian memberikan perhatian kepada kepentingan-kepentingan dari mereka yang lemah. Sedangkan, dalam pendapat lain mengatakan bahwa;

Human rights and humanitarian diplomacy is defined as the negotiating, bargaining, and advocating process associated with the promotion and protection of international human rights and humanitarian principles (Kate Pease, n.d.).

Sedangkan persepsi ini, dipomasi kemanusiaan dipandang sebagai suatu proses negosiasi, proses tawar-menawar, dan proses advokasi (anjuran) melalui promosi dan perlindungan akan hak-hak kemanusiaan.

Lebih lanjut, diplomasi kemanusiaan memiliki tujuan, diantaranya:

Humanitarian diplomacy aims to mobilise public and governmental support and resources for humanitarian operations and programmes, and to facilitate effective partnerships for responding to the needs of vulnerable people. Humanitarian diplomacy includes advocacy, negotiation, communication, formal agreements, and other measures.

It is a field with many players, including governments, international organisations, NGOs, the private sector, and individuals (Kate Pease, n.d.)

Berdasarkan uraian diatas, tujuan dari diplomasi kemanusiaan adalah bagaimana kemudian bisa menjangkau publik secara luas dalam artian bagaimana

(35)

19

memobilisasi publik serta mendapat dukungan dan sokongan dari pemerintah, serta sumber daya lainnya demi menjalankan operasi dan program kemanusiaan.

Konkretnya, diplomasi kemanusiaan termasuk didalamnya proses advokasi, negosiasi, komunikasi, persetujuan formal serta berbagai bentuk ukuran lainnya, yang dimainkan oleh banyak pemain termasuk didalamnya aktor pemerintah- negara, organisasi internasional, pihak swasta, individu, dan lain-lainnya.

Oleh karena itu, diplomasi kemanusiaan sangat kaya dalam hal pemaknaan yang pada konkretnya, merujuk kepada satu hal yakni suatu upaya damai yang dilakukan karena didasari oleh nilai-nilai, prinsip-prinsip kemanusiaan karena diri kita manusia, disamping untuk mendapatkan akses dalam memberikan bantuan kepada mereka yang lemah yang menjadi korban dari konflik, kekerasan, dan perang sehingga berakhir pada sebuah titik yang disebut sebagai krisis kemanusiaan.

Penulis berpedoman kepada buku yang diedit oleh Larry Minnear dan Hazel Smith yang berjudul Humanitarian Diplomacy: Practitioners and Their Craft sebagai acuan dalam menganalisis aktivias Indonesia dalam diplomasi kemanusiaan. Alhasil, Diplomasi kemanusiaan dalam buku yang diedit oleh Larry Minear dan Hazel Smith, mengutarakan bahwa diplomasi kemanusiaan merupakan bagian dari upaya untuk melakukan negosiasi demi mendapatkan akses terhadap masyarakat yang mengalami dampak dari krisis.

Sedangakan definisi yang lebih mendetail tentang diplomasi kemanusiaan terdapat dalam publikasi organisasi kemanusiaan Internasional yang dipandang sebagai sebuah ‗aktivitas‘ dalam hal upaya yang dilakukan untuk mengajak para

(36)

pembuat kebijakan yang memiliki otoritas dan kewenangan untuk kemudian bagaimana memperhatikan kepentingan golongan atau orang – orang yang lemah baik konflik dan perang serta bencana alam secara maksimal dan menghormati yang didasarkan pada prinsip kemanusiaan yang mendasar (‗Humanitarian Diplomacy policy‘, n.d.).

Seperti yang diungkapkan pada paragraf sebelumnya, bahwa diplomasi mengacu kepada upaya untuk memperjuangkan kepentingan nasional. Dimana, para diplomat sebagai representasi negara memiliki tugas utama untuk melakukan dialog dengan perwakilan negara lain dimana masing-masing perwakilan membawa misi untuk mengedepankan kepentingan negara mereka melalui cara dan upaya apapun. Sedangkan konsep kemanusiaan mengacu pada kepatuhan terhadap prinsip-prinsip, nilai-nilai, dan norma-norma internasional yang diakui secara universal. Artinya bahwa konsep kemanusiaan tidak tersekat oleh batas- batas tradisional kekuasaan negara. sehingga kedua pemahaman inilah yang mengakibatkan munculnya skeptisisme bahwa hakekat diplomasi dan kemanusiaan tak dapat dipertemukan.

Secara umum, dalam diplomasi kemanusiaan mencoba untuk menjembatani antara kepentingan nasional dan kepentingan internasional, artinya bahwa diplomasi kemanusiaan tidak serta merta hanya berada pada ranah aktivitas pelayanan kepada negara, tetapi juga kepada kepentingan-kepentingan pihak yang lemah, dengan begitu, diplomasi kemanusiaan bukan dalam artian akan mengesampingkan kepentingan nasionalnya. Lebih lanjut, misi penting dari diplomasi kemanusiaan adalah bagaimana kepentingan nasional itu dapat

(37)

21

berkontribusi pada prinsip-prinsip moralitas universal, artinya bahwa kepentingan nasional dan kepentingan internasional bukan dua hal yang terpisah yang tak dapat di damaikan.

Dalam krisis Kemanusiaan Rohingya ini, dipandang sebagai sebuah Complex Emergencies dalam tataran International Society. Disebut sebagai keadaan darurat yang cukup kompleks (Complex Emergencies) karena Krisis Kemanusiaan etnis Rohingya di Myanmar merupakan akibat dari konflik yang menahun yang disokong dengan sikap represif dari kebijakan Pemerintah Myanmar terhadap Etnis Rohingya. Lebih lanjut, Indonesia memiliki tujuan untuk meningkatkan prestise sebagai negara yang mampu menyelesaikan, mendamaikan dan melakukan mediasi atau menjadi negara fasilitator dalam konteksnya konflik domestik negara lain. Indonesia, acap kali mengidentifikasi dirinya sebagai pemimpin di ASEAN, terlepas status keanggotaannya dari sebuah komunitas Internasional terbesar yaitu dibawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa, merasa memiliki sebuah tanggung jawab untuk memberikan perlindungan atau Responsibility to Protect (R2P), kepada warga etnis Rohingya ini, disebabkan karena pemerintah Myanmar telah lalai dan gagal dari tanggung jawabnya, sehingga seolah terlihat melimpahkan masalah ini kepada negara-negara se kawasan dan dunia internasional.

Secara sederhana, Responsibility to Protect merupakan adanya tanggungung jawab untuk kemudian melindungi hak asasi manusia tanpa mengganggu atau menentang kedaulatan atau sovereignty suatu negara yang bersangkutan (Marelda, 2011, pp. 35–45). Penulis melihat, hal ini tercermin dari

(38)

respon Sikap pemerintah Indonesia terhadap negara Myanmar. Dewan Keamanan PBB / United Nations Security Council merumuskan tiga prinsip mengenai Responsibility to Protect, bagi negara-negara anggotanya, Pertama, prinsip negara bahwa memiliki tanggung jawab untuk kemudian melindungi warga negaranya dari genosida dan kejahatan perang, penghapusan etnis, dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Kedua, prinsip menyatakan bahwa komitmen komunitas internasional atau dalam hal ini anggota PBB untuk kemudian membantu negara- negara dalam melindungi warga negaranya dari kejahatan kemanusiaan. Ketiga, prinsip atas tanggung jawab setiap warga negara dalam anggota PBB untuk merespon atau mengambil tindakan yang tepat untuk mencegah dan menghentikan kejahatan kemanusiaan ketika suatu negara gagal memberikan perlindungan kemanusiaan yang dimaksud (Marelda, 2011).

Dari uraian ini dapatlah kita lihat dengan sangat jelas, Posisi Indonesia berada pada poin ketiga, memainkan peran yang begitu elok dalam mengintervensi krisis kemanusiaan yang ada di Rakhine state, dengan pendekatan konstruktif melalui pesan dan cara-cara damai disamping menegosiasikan dengan para pemangku kebijakan, duduk berdiskusi dan membicarakan cara-cara dan upaya untuk menyelesaikan krisis kemanusiaan di rakhine state, tanpa menganggu kedaulatan negara yang bersangkutan. Alhasil, otoritas pemerintah Myanmar sendirilah yang kemudian membukakan dan memberikan akses kepada Indonesia.

Sekali lagi, Indonesia memainkan peran serta pengaruhnya di ASEAN, sebagai sebuah negara yang dipandang besar oleh negara-negara se kawasan lainnya, Indonesia memiliki citra positif dalam memberikan jurus jitu dalam

(39)

23

mengatasi persoalan-persoalan yang terjadi di kawasan dan dunia internasioanl.

Power yang dimiliki Indonesia tidak hanya sebagai sebuah negara besar di Kawasan, negara besar dengan penduduk muslim moderat, negara demokrasi serta disokong melalui values atau nilai-nilai toleransi yang begitu tinggi.

Sehingga, Indonesia sebagai negara majemuk, namun mampu bersatu dalam satu payung hukum negara kesatuan republik Indonesia dengan semboyan negara yang semakin mempererat, berbeda agama, ras, etnik, golongan dan lainnya tapi dapat satu padu. Sebagaimana yang diketahui bahwa, prinsip non intervensi berlaku dalam regional kawasan ASEAN, tapi Indonesia dapat mengambil peran untuk kemudian melakukan sedikit pressure atau tekanan terhadap negara yang bersangkutan melalui tuntutan serta resolusinya. Lebih lanjut, Diplomasi yang dijalankan dan diterapkan Indonesia merupakan diplomasi politik dalam bingkai nilai-nilai kemanusian, atau dalam artian bahwa, etnis Rohingya butuh diperlakukan sebagai manusia seperti halnya masyarakat Myanmar lainnya.

Lebih lanjut, Indonesia akan terus meningkatkan peran aktifnya baik dikawasan maupun didunia internasional. Dalam konteks kawasan, Indonesia akan terus memprioritaskan setiap kebijakannya, terlepas dari kedudukannya sebagai negara terbesar di Asia Tenggara, Indonesia memiliki kewajiban untuk kemudian menciptakan stabilitas dan perdamaian di kawasan asia tenggara, sehingga pertumbuhan dan pembangunan akan berimbas di bidang ekonomi yang akan terus simultan berjalan dengan baik, sehingga keberdaan ASEAN dirasakan manfaatnya bagi ASEAN for the people. Sedangkan dalam konteks dunia

(40)

internasional, Indonesia akan terus aktif berkontribusi dalam kegiatan pemeliharaan perdamaian dunia.

B. Konsep tentang National Interest.

Berbicara mengenai konsep kepentingan nasional dalam hubungan Internasional, secara substansial sangatlah penting. Lebih lanjut, jika yang menjadi objek dari level unit analisisnya ialah negara. atau dalam hal ini pemerintah Indonesia. Secara sederhana, konsep ini mencoba untuk memperlihatkan, menjelaskan dan memahami perilaku suatu negera dalam hubungannya di panggung internasional. Dari sudut pandang historisnya, konsep kepentingan nasional awalnya dikenal dengan nama Raison d‟etat Machiavelli, muncul di Eropa, negara Prancis sebelum perjanjian westphalia. Dicetukan pertama kali oleh menteri pertama Prancis bernama Kardinal de Richelieu tahun 1624-1642 (Burchill, 2005, p. 18).

Perkembangan saat ini, kepentingan nasional merupakan landasan dari kebijkan luar negeri. Sehingga untuk mencapainya, diplomasi memainkan peran yang cukup utama. Oleh karena itu, semua yang berhubungan dengan aktivitas diplomasi, hakekatnya untuk kepentingan nasional, konkretnya berwujud kepada diplomat yang haruslah mereka yang unggul dan ‗jago‘ dalam menggunakan national power of source domestic nation-state untuk mencapai cita dan tujuan serta ambisi suatu negara. Mantan Sekretaris Jenderal PBB Koffi Annan, sekaligus saat ini ditunjuk oleh State Counsellor Daw Aung San Suu Kyi sebagai salah satu peneliti untuk Rakhine State Advisory Commission on Rakhine State, Koffi Annan mengatakan bahwa:

(41)

25

A new, broader definition of national interest is needed in the new century, which would induce states to find greater unity in the pursuit of common goals and values. In the context of many of the challenges facing humanity today, the collective interest is the national interest (Annan, 1999).

Lebih lanjut menurutnya, ‗kepentingan nasional‘ adalah Inklusifitas kebalikan dari Eksklusifitas Menurutnya, sirkumstansi dewasa ini merujuk kepada peningkatan kerjasama sebagai dampak dari globalisasi sehingga kepentingan nasional seharusnya tidak lagi dimaknai secara sempit sebagai kepentingan negara secara individual. Konkretnya, ia menuntut setiap negara memasukkan kepentingan internasional ke dalam konsepsi kepentingan nasionalnya. Jadi di samping mengejar apa yang menjadi cita-cita dan tujuannya, negara sebagai anggota dari masyarakat internasional juga menanggung kewajiban untuk mewujudkan kepentingan bersama (collective of Interest). Thomas W Robinson mengemukakan bahwa kepentingan nasional terdiri atas beberapa kategori dan tipe, diantaranya;

Primary interest, there are vital interests of nation like security and survival, includes preservation of physical, political, and cultural identity of the state agains the possible enroachment from outside power, secondary interest, these are less significant than the first category but quite important to the existence of the state, include the protection of the citizens abroad, protection of diplomatic immunities..., permanent interest, These refers to relatively the long term interests of the state which rarely changes, variable interest, Refers to those interests of a nation which are considered vital for national good in a given set of circumstance, besides, General interest, these refers to those positive conditions which apply to a large number of nations or in several specified fields such as economics, trade, diplomatic intercourse, etc, Spesific Interest, it is the logical outcome of the general interest but are defined in terms of time or space, Identical Interest, These refers to interests which are held in common by a number of states, Complementary Interest, These are not identical interests but form some kind of basis for agreements & compromise, Conflicting Interest, These are opposed

(42)

Interests. These Conflicting interests some times becomes complimentary interests or identical interest (Robinson, 2000).

Dari uraian tersebut diatas, Thomas W. Robinson mengklasifikasikan tipe- tipe kepentingan nasional / National Interest, menjadi enam kategori, diantaranya;

Primary interest, sebagai kepentingan vital suatu negara yang terdiri atas penjagaan fisik / kemanan, politik, identitas budaya terhadap kekuatan dari luar, Secondary Interest, meski dipandang tidak begitu penting dibanding yang pertama, tap ini penting untuk tetap menjaga eksistensi suatu negara dalam hal penjagaan kepada rakyat dan menjamin imunitas diplomatik bagi pekerja diplomatik, permanent Interest, ini merujuk kepada kepentingan jangka panjang dan kepentingan konstan, Variable Interest, yang merujuk kepada kepentingan sebuah negara yang dianggap vital bagi kebaikan nasional. General Interest, yang merujuk kepada kondisi positif suatu bangsa di beberapa bidang yang spesifik, seperti ekonomi, perdagangan, dan sebagainya. Specific Interest, yang didefinisikan dalam hal ruang dan waktu. Lebih lanjut, Robinson menambahkan tiga kepentingan sebagai national interest. Identical Interest, kepentingan yang sama, Complementary Interest, yang memungkinkan walau suatu kepentingan berbeda dapat menjadi basis suatu persetujuan, dan Conflicting Interest, yang sering mengalami perubahan dan dapat berubah menjadi Complementary Interest pada suatu saaat nanti.

Alhasil, dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa national interest sangat penting bagi suatu negara karena mencerminkan karakter dan identitas Negara-bangsa dalam panggung dunia internasional. Menurut Jospeh Samuel Nye Jr, bahwa;

(43)

27

In a Democracy, the National Interest is simply the set of shared priorities regarding relations with the rest of the world. It is broader than strategic interest, though they are part of it. It can include values such as human rights and democracy, if the public feels that those values are so important to its identify that it is willing to pay a price to promote them...A democratic definition of the national interest does not accept the distinction between a morality-based and an interest intangible interests. Leaders and experts may point out the costs of indulging these values. But if an informed public disagrees, experts cannot deny the legitimacy o public opinion...(Jr, 1999).

Dari uraian diatas, Nye mengatakan bahwa, nilai-nilai, moral merupakan bagian dari kepentingan nasional, lebih lanjut nilai-nilai yang dimaksudnya adalah seperti hak asasi manusia dan demokrasi sedangkan nilai moralitas dipahami secara sederhana sebagai kepentingan yang berharga atau tak ternilai harganya.

Lebih lanjut, untuk menjamin eksistensi negara secara holistik, maka diperlukan indikator atau variabel-variabel yang dapat mengukur secara tepat kebijakan dan pencapaian pemerintah sebagai pelaksana hubungan luar negeri. Beberapa variable tersebut, diantaranya (Colombus, 1990, p. 110):

1. Kualitas, kepribadian, dan cita-cita para pengambil keputusan;

2. Tipe filosofi struktur dan proses pemerintah;

3. Adat istiadat dan gaya kultur masyarakat;

4. Lokasi geopolitik dan kapabilitas berbagai negara;

5. Jenis-jenis tantangan dan tekanan yang dihadapi oleh setiap negara tetangganya, negara-negara besar dan organisasi internasional.

Kualitas kepribadian atau karakteristik aktor yang terlibat dalam pengambilan keputusan sangat berpengaruh pada hasil keputusan kepentingan nasional. Latar belakang pendidikan dan pandangan politik aktor akan berpengaruh secara tidak langsung pada hasil keputusan. Komponen ini

(44)

berpengaruh lebih kuat dibandingkan elemen lainnya dalam pengambilan keputusan. Kelompok-kelompok kepentingan seperti organisasi internasional, MNC dan individu yang memliki akses pada pembuat kebijakan.

Kepentingan nasional dipandang sebagai cerminan kondisi domestik negara dan menyiratkan keterkaitan internasional dari keberadaan suatu negara.

Di satu sisi, kepentingan nasional merupakan rumusan mengenai kebutuhan- kebutuhan dalam negara yang diharapkan terpenuhi melalui berbagai bentuk hubungan luar negeri. Sementara disisi lain, konsep ini juga diarahkan pada tanggungjawab internasional dari setiap negara di dunia. Namun, kedua sisi tersebut harus menggambarkan suatu kondisi yang berimbang dan memiliki keuntungan baik terhadap kondisi dalam negeri serta citra yang baik dihadapan dunia internasional.

Indonesia secara de facto dan de jure telah memproklamirkan kebijakan luar negeri Bebas Aktif yang dirumuskan dan dijalankan untuk mampu mempertemukan kepentingan Nasional / National Interest dengan lingkungan Internasional yang selalu berubah. Sesuai dalam landasan Konstitusional yaitu Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, bahwa;

―...melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia...‖.

Dalam isu kemanusiaan di rakhine state, dalam perspektif sebagai bagian dari international society, Indonesia bisa Menjadikan kepentingan nasional sebagai alat berarti negara menggunakan norma-norma domestik suatu negara

Referensi

Dokumen terkait

Peserta didik diberikan stimulus berupa Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD) 1 berbagai contoh atau persoalan untuk menentukan salah satu sisi siku-siku pada segitiga siku-siku

pendidikan yaitu ikut mencetak dan mencerdaskan masyarakat dengan memberikan pengetahuan, keterampilan yang dilandasi dengan nilai-nilai agama. Demikian halnya pada

Bahwa unsur setiap orang mengandung pengertian orang perorangan, kelompok orang baik sipil maupun militer yang bertanggung jawab secara individual atau

Namun demikian, di- lakukan evaluasi terhadapprototipe yang dibuat berdasarkan konsep rancangan terpilih dengan menghitung nilai risiko yang dihasilkan dari skenario penggunaan

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana bentuk delik gratifikasi dalam bidang kedokteran dikaitkan dengan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999

Lazimnya suka dipertentangkan dengan nilai-nilai tradisi.Tujuan dengan adanya tulisan ini untuk mengetahui bagaimana perubahan sosial terjadi dan sejauh mana hukum

personal characteristic mempengaruhi perilaku merokok pada remaja, dari hasil wawancara dengan ketiga subjek bahwa subjek mempunyai keyakinan diri untuk merokok..

sekurang-kurangnya satu dari elemen tersebut adalah elemen aktif, serta sebagian atau semua interkoneksi dalam suatu Sirkuit Terpadu dan peletakan tiga. dimensi tersebut