• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN YURIDIS TENTANG HAK ASUH ANAK DIBAWAH UMUR KEPADA AYAH AKIBAT PERCERAIAN ( ANALISIS PUTUSAN NOMOR : 1743/Pdt.G/2017/PA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TINJAUAN YURIDIS TENTANG HAK ASUH ANAK DIBAWAH UMUR KEPADA AYAH AKIBAT PERCERAIAN ( ANALISIS PUTUSAN NOMOR : 1743/Pdt.G/2017/PA."

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN YURIDIS TENTANG HAK ASUH ANAK DIBAWAH UMUR KEPADA AYAH AKIBAT PERCERAIAN ( ANALISIS PUTUSAN NOMOR :

1743/Pdt.G/2017/PA.Mdn )

JURNAL

Disusun dan diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

Penulis : Ika Riani Pasaribu Dosen Pembimbing I : Dr. Edy Ikhsan,S.H.,M.A.

Dosen Pembimbing II : Syaiful Azam,S.H.,M.hum.

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

(2)
(3)

ABSTRAK

TINJAUAN YURIDIS TENTANG HAK ASUH ANAK DIBAWAH UMUR KEPADA AYAH AKIBAT PERCERAIAN ( ANALISIS PUTUSAN NOMOR :

1734/Pdt.G/2017/PA.Mdn ) Ika Riani Pasaribu*

Edy Ikhsan**

Syaiful Azam***

Dewasa ini cerai dianggap sebagai jalan keluar untuk rumah tangga yang tidak bisa lagi diselamatkan. Setiap pasangan yang menikah tentu tidak mengharapkan terjadinya perceraian sebelumnya. Namun, nyatanya perceraian tak jarang terjadi.

Hal ini terbukti dengan angka perceraian di Indonesia yang cukup tinggi setiap tahunnya. Salah satu dampak dari percerain terjadi bersangkutan dengan anak.

Terlebih bila dari hasil pernikahan tersebut sudah dikaruniai buah hati. Hak asuh anak membutuhkan kesepakatan. Karena itulah, tak jarang mengenai hak asuh ini kerap memunculkan perdebatan hebat antara orang tua anak. Pasalnya tidak jarang masing-masing pihak menginginkan hak sama agar bisa merawat dan mengasuh serta tinggal dengan buah hati tercinta. Anak yang dibawah umur harusnya pengasuhan diberikan kepada ibunya, karena seorang ibu lebih luas rasa kasih sayang dan kesabarannya. Namun bagaimana jika pengasuhan jatuh kepada seorang ayah seperti dalam Putusan No : 1734/Pdt.G/2017/PA.Mdn

Penulisan ini menggunakan jenis penelitian hukum yuridis normatif yaitu menitikberatkan pada data sekunder yaitu dengan memaparkan tentang peraturan yang berlaku dalam mengatur hak asuh anak dibawah umur. Jenis data yang digunakan adalah jenis data primer dan data sekunder. Analisis data yang digunakan adalah dengan cara kualitatif.

Hasil penelitian ini menyarankan agar adanya revisi dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 mengenai hak asuh anak dibawah umur seperti mekanisme pemberian hak asuh, serta syarat pemegang hak asuh, dan lainya, agar ada suatu landasan hukum yang jelas bagi Majelis Hakim untuk memutuskan perkara-perkara yang menyangkut hak asuh anak dibawah umur.

Kata Kunci : Perceraian, Hak Asuh Anak di Bawah Umur

*) Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**) Dosen Pembimbing I

***) Dosen Pembimbing II

(4)

ABSTRACT

JURIDICAL REVIEW ON THE RIGHTS OF FOSTER CHILDREN UNDER AGE DUE TO THE FATHER'S DIVORCE (ANALYSIS DECISION NUMBER: 1734 /

Pdt.G / 2017 / PA.Mdn) Ika Riani Pasaribu * Dr. Edy Ikhsan, SH, M. Hum **

Saiful Azam, SH, M. Hum ***

Today divorce is regarded as a way out for households that can no longer be saved. Every married couple divorce certainly did not expect before. However, in fact, divorce was rare. This is evident with the number of divorces in Indonesia is quite high every year. One of the effects of percerain occurs concerned with children.

Especially when the results of the marriage has been blessed with a baby. Custody of children in need of a deal. Because of that, not infrequently on custody is often bring great debate between parents and children. The reason is not uncommon to each of the parties want the same rights to be able to care for and nurture and live with beloved baby. Children who are minors should be given to his mother's care, as a mother broader sense of compassion and patience. But what if the care falls to a father as in Decision No. 1734 / Pdt.G / 2017 / PA.Mdn

This paper uses normative law research that is focused on secondary data, with elaborated on the regulations that apply to regulate custody of minors. The data used is the data type of primary and secondary data. Analysis of the data used is a qualitative manner.

The results of this study suggest that the revision of the Act No. 1 of 1974 regarding the custody of minors such as the mechanism for granting custody, as well as the holders of custody requirements, and others, that there is a clear legal basis for the judges to decide cases that involve custody of minors.

Keywords: Divorce, Custody of Minors

*) Students of the Faculty of Law, University of North Sumatra

**) Supervisor I

***) Supervisor II

(5)

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Manusia adalah makhluk sosial yang pada dasarnya saling berinteraksi satu dengan yang lain. Dalam interaksinya sebagaimana manusia diciptakan berpasang- pasangan, maka kemudian manusia satu dengan manusia lainnya yang berlainan jenis akan membina kehidupan rumah tangga yang diikat dalam sebuah ikatan perkawinan.

Di dalam bahasa Arab kawin disebut dengan al-nikah, yang bermakna al- wathi dan al-dammu wa al-jam‟u atau ibarat „an al-wath wa al-„aqd yang bermakna bersetubuh, berkumpul dan akad.1 Nikah atau perkawinan ialah akad yang menghalalkan pergaulan, membatasi hak dan kewajiban antara seorang laki-laki dan perempuan yang antara keduanya bukan muhrim. Kata nikah sering digunakan untuk arti persetubuhan, juga untuk arti akad nikah.

Perkawinan merupakan suatu lembaga masyarakat yang melegitimasi hidup bersama antara seorang laki-laki dewasa dengan seorang perempuan dewasa dalam satu rumah tangga (keluarga). Hidup bersama disini lepas dari pengertian dalam ilmu hayat (biologi) yang ditandai dengan adanya kegiatan persetubuhan antara seorang laki-laki dan perempuan yang hidup bersama tersebut, “ tetapi lebih jauh lagi adalah bahwa hidup bersama itu harus memenuhi syarat-syarat dan ketentuan yang berlaku”.2

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang dimaksud dengan perkawinan adalah:3

“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentu keluarga ( rumah tangga ) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

1 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi kritis Perkembangan Hukum Islam dan Fikih, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 sampai KHI,

2 R.Wirjono Projodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung : Sumur Bandung, 1984), hal.7

3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 1

(6)

Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwasannya sebuah perkawinan haruslah berlangsung bahagia dan kekal, terciptanya hubungan yang harmonis antara suami dan isteri juga anggota keluarga yang lain berdasarkan prinsip saling menghormati (menghargai) dengan baik, tenang, tenteram, dan saling mencintai dengan tumbuhnya rasa kasih sayang.

Namun demikian tidak sedikit pasangan suami isteri yang gagal membina rumah tangga dan kemudian berpisah oleh beberapa faktor. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 memungkinkan adanya putus terhadap perkawinan yang kemudian dibatasi dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagai berikut:4

1. Karena Kematian;

2. Perceraian;

3. Atas putusan pengadilan.

Sedangkan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sebab-sebab putusnya Perkawinan ialah:5

1. Kematian;

2. Kepergian suami atau istri selama sepuuh tahun;

3. Akibat perpisahan meja makan dan tempat tidur;

4. Perceraian.

Putusnya perkawinan karena kematian adalah suatu hal yang wajar karena merupakan takdir yang sudah ditentukan oleh yang Maha Kuasa. Lain halnya dengan putusnya perkawinan karena perceraian yang merupakan kehendak dari masing-masing pihak dan dapat diatasi atau dihindari agar tidak terjadi.

Hukum Perkawinan Agama Islam menentukan bahwa apabila salah seorang di antara kedua suami isteri meninggal dunia maka telah terjadi perceraian dengan sendirinya, dimulai sejak tanggal meninggal suami atau isteri tersebut.

Putusnya Perkawinan karena Putusan Pengadilan dapat terjadi karena adanya

4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 38

5 C.S.T.Kansil, Modul Hukum Perdata, (Pradnya Paramita : Jakarta, 1995), hlm. 106

(7)

seseorang suami atau isteri yang meninggalkan tempat kediaman bersama, sehingga perlu diambil langkah-langkah terhadap perkawinan orang tersebut, untuk kepentingan keluarga yang ditinggalkan.

Putusnya Perkawinan atas Putusan Pengadilan juga bisa terjadi karena adanya permohonan dari salah satu pihak suami atas isteri atau para anggota keluarga yang tidak setuju dengan perkawinan yang dilangsungkan oleh kedua calon mempelai.

Atas permohonan ini pengadilan membolehkan perkawinan yang telah berlangsung dengan alasan bertentangan dengan syara‟ atau perkawinan tidak sesuai dengan syarat yang telah ditentukan baik dalam Undang-Undang Perkawinan maupun menurut Hukum Agama.

Mengenai Putusnya Perkawinan dengan alasan Perceraian masih dapat dimungkinkan adanya multitafsir dalam pengaturannya. Perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan.6 Undang-undang tidak membolehkan perceraian dengan cara mufakat antara suami dan istri saja, tetapi harus ada alasan yang sah dan dilakukan di depan sidang Pengadilan. Hal tersebut dijelaskan dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 39 ayat 1dan 2:7

1. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Pengadilan setelah Pengadilan bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak;

2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami isteri.

Suatu perceraian dapat terjadi dikarenakan kehidupan rumah tangga tidak harmonis atau dengan kata lain sudah tidak dapat diharapkan untuk rukun dan damai lagi. Perceraian itu hendaknya hanya dilakukan sebagai tindakan yang terakhir setelah usaha dan segala daya upaya yang telah dilakukan guna

6 Prof Subekti, S.H., Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta : Internusa, 2003), hlm. 42.

7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 39 ayat 1 dan 2.

(8)

memperbaiki kehidupan perkawinannya, tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh kecuali hanya dengan dilakukan perceraian antara suami dan isteri.8

Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 105 menyatakan bahwa pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau yang belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.9 Akan tetapi kenyataan yang terjadi di lapangan belum sesuai dengan aturan tersebut karena masih ada sebagian ibu yang merasa berhak mengasuh anak-anaknya namun hak tersebut jatuh kepada sang ayah sesuai dengan putusan majelis hakim.

Yang ingin penulis analisis adalah mengapa seorang hakim memberikan hak asuh kepada ayah, karena sangat bertolak belakang pada Kompilasi Hukum Islam pasal 105 yang isinya jelas mengatur tentang hak asuh anak dibawah umur diberikan kepada ibu. Dan apa alasan hakim menetapkan sang ayah yang berhak mengasuh anak tersebut, serta apakah hakim dalam memutuskan perkara sudah memperhatikan ketentuan-ketentuan perundang-undangan atau Hukum Positif di Indonesia.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik dengan problematika kasus ini dan mengangkat wacana tersebut dalam sebuah karya ilmiah dengan judul “TINJAUAN YURIDIS TENTANG HAK ASUH ANAK DIBAWAH UMUR KEPADA AYAH AKIBAT PERCERAIAN ( ANALISIS PUTUSAN NOMOR : 1734/Pdt.G/2017/PA.Mdn )”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut maka dapat dirumuskan yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini, sebagai berikut:

1. Bagaimana Hak Asuh Anak dibawah Umur Setelah Perceraian Menurut Peraturan Perundang-undangan yang Berlaku ?

2. Bagaimana Hak Asuh Anak dibawah Umur (Hadhanah) Setelah

8 Jamil Latif, Aneka Hukum Perceraian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), Cet 2, Hlm.30.

9 Kompilasi Hukum Islam, Pasal 105

(9)

Perceraian Menurut Hukum Islam ?

3. Mengapa Majelis Hakim Mengabulkan Tuntutan Hak Asuh Anak yang diajukan oleh Ayah berdasarkan Putusan Nomor : 1734/Pdt.G/2017/PA.Mdn

II. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hak Asuh Anak Dibawah Umur Akibat Perceraian Berdasarkan Peraturan Di Indonesia

1. Hak Asuh Anak Akibat Perceraian Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan

Terjadinya Perceraian bukan berarti masalah perceraian selesai begitu saja, akan tetapi masih ada akibat-akibat dari putusnya perkawinan karena perceraian menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 atau Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Kompilasi Hukum Islam berdampak kepada hubungan suami isteri, tempat tinggal, dan sebagainya. Tetapi yang lebih penting mengenai nasib anak-anak dan kepentingannya, biasanya terjadi terhadap anak yang masih dibawah umur atau yang belum mumayyiz.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, Peraturan Pelaksana dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Suami isteri yang selama berlangsungnya gugatan perceraian seharusnya tidak tinggal dalam satu rumah, hal ini tidak ada diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 . Tetapi kita dapat melihat ketentuannya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang merupakan peraturan pelaksana dari Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu pada pasal 24 ayat (1) yang menyatakan bahwa selama berlangsugnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat atau tergugat berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan, Pengadilan dapat mengizinkan suami isteri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah. Tujuannya untuk mencegah agar tidak terjadi

(10)

bahaya yang mungkin timbul apabila suami isteri tinggal pada satu rumah yang sama.

Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, menyatakan bahwa : Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak- anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak-anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberikan keputusan.

Biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anak menjadi tanggung jawab pihak bapak, kecuali dalam pelaksanaan pihak bapak tidak dapat melakukan kewajiban tersebut, maka pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut menanggung biaya tersebut.

Menurut Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, harta kekayaan dalam perkawinan terdiri dari harta bersama dan harta bawaan. Pasal 37 Undang-Undang tersebut juga menjelaskan bahwa

“bila perkawinan putus karena perceraian maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.”

Maksud dari hukumnya masing-masig adalah hukum agama maupun hukum adat. Sedangkan mengenai harta bawaan yang diperoleh suami isteri sebagai hadiah atau warisan tidak diatur secara jelas, hanya disebutkan dalam pasal 35 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 bahwa “harta bawaan masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang dieroleh masing-masing sebagai hadiah atau warisa, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menetukan lain.” Pasal ini tidak menjelaskan apakah ketentuan tersebut berlaku pada saat perkawinan masih berlangsung, atau tetap berlaku walaupun perkawinan telah terputus karena perceraian.

Selain itu, dalam pasal 36 ayat 2 disebutkan “ mengenai harta bawaan masing- masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta bendanya.”

(11)

2. Hak Asuh Anak Akibat Perceraian Berdasarkan Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

Mengenai Kedudukan Anak, Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, setelah terjadinya perceraian maka status orang tua dalam pengasuhan anak berubah menjadi perwalian. Menurut Pasal 229, “Pengadilan menetapkan terhadap setiap anak siapa dari kedua orang tuanya yang harus melakukan perwalian atas anak-anak itu.” Apabila pihak yang diserahkan sebagai wali kurang mampu membiayai pemeliharaan dan pendidikan anak, maka menurut Pasal 230 b “Hakim dapat menentukan sejumlah uang yang harus dibayar pihak yang lain untuk membiayai anak dibawah umur.”

Mengenai Harta Benda menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Sejak terjadinya perkawinan maka dengan sendirinya menurut hukum terjadinya pencampuran harta kekayaan bulat tanpa mempermasalahkan bawaan masing-masing. Semua bawaan baik yang berasal dari bawaan suami ataupun isteri dengan sendirinya menjadi satu kekayaan ersama dalam satu keluarga selaku milik bersama dari suami isteri, kecuali sebelum perkawinan mereka mengadakan perjanjian perkawinan yang memuat ketentuan bahwa dengan adanya perkawinan tidak akan terjadi percampuran kekayaan sama sekali atau percampuran itu hanya terbatas percampuran tentang apa yang diperoleh selama perkawinan. Jadi, jika terjadi perceraian, maka menurut pasal 128 “Harta kekayaan bulat dibagi dua antara suami dan isteri, atau anatar para ahli waris mereka masing-masing, tanpa mempedulikan asal-usul harta.”

3. Hak Asuh Anak Akibat Perceraian Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Dalam Pasal 156 Kompilasi Hukum Islam, akibat pututsnya perkawinan karena perceraian ialah:

a. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari

(12)

ibunya, kecuali bila ibunya yang telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh : Wanita-wanita dalam garis lurus dari ibu; Ayah; Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ayah;

Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan; Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu; Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari bapak;

b. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya;

Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah tercukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula;

Semua biaya hadhanah dan nafkah untuk menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun);

Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), (c), an (d); Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.

B. Hak Asuh Anak Dibawah Umur (Hadhanah Berdasarkan Hukum Islam 1. Pengertian dan Dasar Hukum Hadhanah

Hadhanah berasal dari bahasa Arab, dengan asal kata, hadhanah

(ََض َح ن), yahdun ( َ حَی نُض ), hadnan ( اًن ض َح ), ihtadhana ( ََنَضَت حِا ), Hadinatun (ةَن ِضا َح ), hawadin ( ن ِضا َو َج ), yang artinya mengasuh anak, memeluk

anakataupun pengasuh anak.10

Dalam buku Subul as-Salam hadhanah berasal dari kataنضح dengan ا kasrah huruf “ha” adalah mashdar dari kata نضح hadhanah syabiyyah yang artinya dia mengasuh atau memelihara bayi. Mashdarnya hadhanan wa hidhanah yaitu asuhan atau pemeliharaan, نضحلا dengankasrah huruf “ha” juga

10Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: PT Mahmud Yunus Wadzurya, 1989), cet.

ke-2, hal. 104

(13)

berarti bagian badan mulai dari bagian bawahketiak hingga bagian antara pusat dan pertengahan punggung diataspanggul paha, termasuk dada atau dua lengan atas dan bagian antarakeduanya.11Jadi dapat disimpulkan hadhanah mempunyai arti antara lain: memelihara, mendidik, mengatur, mengurus segala kepentingan atau urusan anak-anak yang belum muwayyiz.

Hadhanah menurut bahasa, berarti meletakkan sesuatu di dekat tulang rusuk atau di pangkuan. Kata Hadhanah menurut bahasa berarti meletakkan sesuatu dekat tulang rusuk atau di pangkuan. Karena Ibu waktu menyusukan anaknya meletakkan dipangkuannya, seakan-akan ibu itu di saat itu melindungi dan memelihara anaknya, sehingga hadhanah dijadikan istilah yang maksudnya pendidikan dan pemeliharaan anak sejak lahir sampai sanggup berdiri sendiri mengurus dirinya yang dilakukan kerabat anak itu.

Adapun dasar hukum yang melandasinya adalah firman Allah swt. dalam surat al-Baqarah (2) ayat 233 yang artinya :

“Adalah kewajiban ayah untuk memberi nafkah dan pakaian untuk anak dan istrinya”.

2. Syarat-syarat Hadhanah

Kesimpulannya yaitu orang yang berhak melakukan hadhanah adalah orang tua (ayah dan ibu), bila keduanya sama-sama memenuhi persyaratan untuk menjadi hadhun maka ia berhak atas anaknya, bila anaknya masih mumayyiz maka ibulah yang lebih berhak, karna ibu dianggap lebih dekat dengan anaknya, akan tetapi apabila ayahnya lebih dekat dengan anaknya, maka anak itu tinggal bersama ayahnya. Apabila orang tua kandung tidak bisa

11Muhammad bin Ismail al-Amir, Subulus Salam Syarah Bulughul Maram, Penterjemah Ali Nur Medan, (Jakarta: Darus Sunnah, 2012), cet. ke-7, Jilid III, hal. 191

(14)

atau tidak memenuhipersyaratan, maka pihak keluarga dari ibu atau pihak keluarga dari ayah dengan memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan.

Selanjutnya apabila keluarga dekat tidak memenuhi persyaratanuntuk melakukan hadhanah maka pemeliharaan anak diserahkan kepada hakim untuk menetapkan siapa yang pantas atau yang berhak untuk mengasuh anak tersebut yang memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan.

3. Pihak-pihak yang berhak atas Hadhanah

Kesimpulan dari semua perempuan yang berhak mengasuh anak, seperti yang telah disebutkan di atas, maka saudara sekandung lebih didahulukan.12

Jika pendidik dan pemelihara anak itu laki-laki disyaratkan samaagama antara si anak dengan hadhin. Sebab laki-laki yang boleh sebagai hadhin adalah laki-laki yang ada hubungan waris-mewarisi dengan si anak.13 Jika anak tidak lagi mempunyai kerabat perempuan diantaranya muhrim-muhrimnya di atas atau anak memilikinya tapi tidak mampu melakukan hadhanah barulah berpindah kepada ashabah yang laki-laki dari muhrim-muhrim yang di atas, sesuai dengan urutannya dalam hukum waris.

Dalam pemeliharaan itu ada beberapa tahap, yaitu:

a. Ketika anak itu masih kecil, maka yang lebih berhak untuk memeliharanyaadalah Ibunya, kecuali bila ia tidak bersedia karena ibu kandung dari anaktersebut akan menikah dengan orang lain.

b. Ketika anak itu sudah berumur tamyiz (tujuh tahun), makapemeliharaannya terserah kepada siapa yang dikehendaki

12 Sayyid Sabiq, op. cit, hal. 24-25

13 Abdur Rahman Ghazaly, op. cit, hal. 182

(15)

anak baik ibumaupun bapaknya.

c. Ketika anak sudah bisa merangkak, kemudian salah seorang dari ibubapaknya pindah Agama lain (selain Islam), maka anak itu dilepas agar ia memilih ikut yang mana ia sukai.

d. Ketika anak perempuan direbut oleh orang lain yang bukan ibunya atau ayahnya, maka sebaiknya anak itu diserahkan kepada saudara perempuandari ibunya dari pada saudara bapak. Jika tidak ada yang melakukan hadhanah pada tingkat perempuan,maka yang melakukan hadhanah ialah pihak laki-laki yang urutannya sesuaidengan urutan perempuan di atas. Jika pihak laki-laki juga tidak bisa atautidak ada, maka kewajiban melakukan hadhanah itu merupakan kewajiban pemerintah.

e. Kerabat pihak ibu didahulukan atas kerabat pihak bapak jika tingkatannya dalam kerabat adalah sama.

f. Nenek perempuan didahulukan atas saudara perempuan, karena anak merupakan bagian dari kakek, karena itu nenek lebih berhak di banding dengan saudara perempuan. Kerabat sekandung didahulukan dari kerabat yang bukan sekandung dan kerabat seibu lebih didahulukan atas kerabat seayah.

Dasar urutan ini adalah urutan kerabat yang ada hubungan mahram,dengan ketentuan bahwa pada tingkat yang sama pihak ibu didahulukan atas pihak bapak.Apabilah kerabat yang ada hubungan mahram tidak ada maka hak hadhanah pindah kepada kerabat yang tidak ada hubungan mahram.

(16)

4. Masa Hadhanah

Dalam masa hadhanah tidak dijumpai ayat-ayat Al-Quran dan hadits yang menerangkan dengan tegas tentang masa hadhanah. Namun hanya saja terdapat isyarat-isyarat yang menerangkan dari ayat dan hadis tersebut. Maka dari itulah parah ulama berijtihad sendiri-sendiri dalam menetapkan hukum dengan berpedoman kepada isyarat tersebut. Dalam buku Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqh Munakahat: Kajian Fiqh Nikah Lengkap, hadhanah anak laki-laki berakhir pada saat anak itu tidak ada lagi memerlukan penjagaan dan telah dapat mengurus keperluannya sehari-hari, seperti makan, minum, mengatur pakaian, membersihkan tempatnya dan sebagainya. Sedangkan masa hadhanah wanita berakhir apabila ia telah baligh, atau telah datang masa haid pertamanya.14

Sebenarnya antara ibu dan ayah mempunyai hak yang sama dalam pemeliharaan anak-anaknya. Kenapa ibu atau pihak ibu didahulukan dalampemeliharaan anak, karna sifat yang dimiliki oleh perempuan lebih penyabar dan penuh kasih sayang yang sangat berpengaruh pada perkembangan anak. Jika si anak sudah tidak lagi memerlukan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhan pribadinya sehari-hari, telah mencapai usia mumayyiz dan sudah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya seperti makan, minum, memakai pakaian dan lain-lainnya, maka masa pengasuhan telah selesai.

C. Pertimbangan Hukum Mengabulkan Tuntutan Hak Asuh Anak Yang Diajukan Oleh Ayah Berdasarkan Putusan Nomor:

1734/PDT.G/2017/PA.MDN

Pengadilan biasanya memberikan hak perwalian dan pemeliharaan anak

14 Tihami dan Sahari Sahrani, Fiqh Munahakat: Kajian Fiqh Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), cet.

ke-4, hlm.224

(17)

dibawah umur kepada ibu. Dasarnya, Kompilasi Hukum Islam pasal 105 yang mengatakan anak yang belum berusia 12 tahun adalah hak ibunya. Dan didukung dengan yurisprudensi Mahkamah Agung ang menyatakan bahwa anak dibawah asuhan ibunya. Jika anak sudah bisa memilih, ia dipersilahkan memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya.

Sebenarnya sejak dahulu masalah persengketaan orang tua mengenai anak ini, telah mendapat pengaturan hukum adat. Contohnya, dapat kita temui secara faktual pada masyarakat hukum data yang menganut sistem kekeluargaan matrilineal. Pada masyarakat ini penguasaan anak tidak diberikan pada ayah atau ibu, sedangkan bagi masyarakat yang menganut sistem kekeluargaan patrilineal ditekankan pada pihak bapaknya.

Ada hal yang menarik untuk disoroti yaitu jatuhnya hadhanah atau pemeliharaan anak yang belum mumayyiz kepada bapak. Dalam kaitannya dengan putusan tersebut ada hal yang menarik perhatian penulis untuk disoroti dari sudut pandang fikih dan peraturan yang berlaku di Indonesia yaitu siapakah yang mempunyai hak untuk melakukan hadhanah terhadap anak yang masih dibawah umur akibat perceraian, apa hal yang menyebabkan hadhanah seorang anak ada di tangan bapak, apa yang menjadi pertimbangan sehingga hakim memutuskan hak tersebut ada di tangan bapak.

Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa hak pemeliharaan anak yang belum mumayyiz adalah hak ibunya. Hal ini dikarenakan ibu mempunyai tahap kasih sayang serta kesabaran yang lebih tinggi, selain itu seorang ibu lebih lembut ketika menjaga dan mendidik anaknya terlebih bagi anak yang masih dalam usia menyusui, ibu memiliki sesuatu yang tidak dimiliki semua orang.

Kalau kita lihat kasus dalam skripsi ini bahwa ibu selalu menghabiskan waktu

(18)

untuk berdandan, Shopping dan hang out dengan teman-teman yang semestinya tidak dilakukan dan meninggalkan rumah tanpa adanya pemberitahuan sehingga dikhawatirkan tidak bisa menjalankan tugasnya sebagai seorang istri serta ibu bagi anak-anaknya di masa depan nanti.

Selain itu anak merupakan makhluk sosial seperti layaknya orang dewasa.

Anak membutuhkan orang lain (orang tua) untuk membantu mengembangkan kemampuannya, karena anak lahir dengan segala kelemahannya sehingga tanpa bantuan orang dewasa anak tidak mungkin dapat mencapai taraf kemanusiaan yang normal.

Kalau kita melihat kembali hak asuh anak diatas, termohon selagi hidup bersama dengan pemohon ada hal yang tidak selayaknya dilakukan oleh termohon seperti selalu berpergian tanpa izin suami dan menghabiskan waktu untuk nongkrong dengan teman-temannya. Melihat dari tingkah laku tersebut termohon sudah tidak layak untuk mendapatkan hak asuh anaknya.

Dalam hal terjadinya perceraian orang tua, biasanya anaklah yang menjadi korban. Orang tua beranggapan dalam perceraian mereka, persoalan akan dapat diselesaikan nanti setelah perceraian diselesaikan. Padahal tidak demikian adanya dan tidak demikian sederhananya, bahwa penyelesaian terbaik bagi anak akan dapat dengan mudah dicapai. Dalam kondisi apapun harus tetap diingat bahwa anak adalah juga individu yang mempunyai hak-hak dasar yang diakui sebagaimana halnya orang dewasa. Oleh karena itu, dalam kasus perceraian diatas anak merupakan salah satu subjek. Dan kepentingan anak tetap harus menjadi prioritas utama.

Seorang anak yang belum mumayyiz masih berhak atas pengasuhan kedua orang tuanya, walaupun orang tuanya sudah bercerai seperti dalam kasus diatas.

(19)

Dan pengasuhan tersebut semata-mata hanya untuk kepentingan anak tersebut.

Bila nantinya terjadi perselisihan dan penguasaan anak maka Pengadilan memberikan putusan yang seadil-adilnya tanpa sedikitpun mengurangi hak-hak anak. Sesuai dengan rumusan dan makna Undang-Undang, bahwa dalam menentukan hak pemeliharaan anak yang harus diperhatikan adalah demi kepentingan hukum anaknya. Jadi hakim harus benar-benar memperhatikan apabila anak tersebut dipelihara oleh ibunya atau bapaknya mempunyai jaminan sosial dan kesejahteraan yang lebih baik atau tidak.

Oleh karena itu penulis sependapat dengan Putusan Pengadilan Agama Medan yang memutuskan bahwa pemeliharaan anak jatuh kepada pemohon selaku ayah kandungnya bukan kepada termohon sebagai ibu kandungnya. Karena dalam hal ini seperti yang dijelaskan sebelumnya, kedekatan anak dengan pemohon (ayahnya) sangatlah erat. Dan anak merasa lebih nyaman berada disamping ayahnya. Disinilah hak-hak anak yang dimaksud harus bisa diutamakan.

Seperti juga halnya manusia, anakpun memiliki haknya sendiri yakni hak perlindungan anak yang bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.

Menurut Dra. Muhayah ketika ibu tidak mampu mengurus anaknya, misalnya ibu mempunyai moral yang jelek, murtad, pengguna obat-obatan terlarang, dll yang bisa membawa dampak buruk kepada tumbuh kembang si anak, maka ayahnya lah yang lebih berhak atas permasalahan pemeliharaan dan pengasuhan yang seperti ini.

(20)

Masalah hadhanah sangatlah cukup luas jangkauannya. Dalam menyelesaikam masalah hadhanah ini tidak hanya mengacu kepada ketentuan formalnya saja, melainkan harus memperhatikan nilai-nilai dari hukum dalam masyarakat, kaidah-kaidah Agama, lingkungan dan keadaan ayah serta ibu yang akan diberi hak untuk melakukan hadhanah dan juga aspek lain yang mungkin berpengaruh demi kemaslahatan diri anak yang akan menjadi asuhannya.

III. PENUTUP A. Kesimpulan

Dari uraian beberapa bab diatas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Dalam hal hadhanah terhadap anak dibawah umur diatur dalam Kompilasi Hukum Islam Hukum Islam Pasal 105, yang menyatakan anak yang berada dibawah 12 tahun menjadi hak ibu. Namun, dalam beberapa perkara majelis hakim tidak menjatuhkan hadhanah atau hak asuh anak dibawah umur (dibawah 12 tahun) kepada ibunya tetapi dijatuhkan kepada ayahnya, salah satu contoh seperti perkara perceraian dengan Putusan Nomor : 1734/Pdt.G/2017/PA.Mdn.

2. Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan hadhanah atau hak asuh kepada ayahnya, dikarenakan selama ibu meninggalkan rumahnya anak tersebut diasuh dan dirawat oleh ayahnya, sehingga secara kejiwaan anak tersebut mempunyai kedekatan lebih kepada ayahnya. Selain alasan tersebut hal yang dapat menggugurkan hadhanah atau hak asuh seorang ibu, dalam Kitab Kifayatun Ahyar seperti : berakal sehat, merdeka, beragama islam, memelihara kehormatannya, dapat dipercaya, tinggal menetap, dan tidak bersuami baru. Walaupun sesungguhnya

(21)

dalam Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam hak asuh atau hadhanah anak dibawah 12 tahun menjadi hak ibu. Ketentuan tersebut tidak berlaku mutlak dan dapat dikesampingkan, jika sang ibu tidak memenuhi syarat sebagai pemegang hadhanah. Selain itu Mahkamah Agung RI dalam yurisprudensinya memutuskan bahwa untuk kepentingan si anak,maka anak yang masih. dibawah umur 12 tahun pemeliharaannya seyogyanya diserahkan kepada orang yang terdekat dan akrab dengan si anak, hal ini juga dapat dijadikan acuhan hakim dalam memutuskan hadhanah anak dibawah umur kepada ayahnya.

3. Jika dikaitkan dengan perkara perceraian dengan Putusan Nomor : 1734/Pdt.G/2017/PA.Mdn ini dengan melihat dari fakta – fakta dalam persidangan maka menjadi suatu kewajaran dan kepatutan jika majelis hakim menetapkan hak asuh atau hadhanah tersebut jatuh kepada tergugat atau ayahnya. Mengingat ibu dari anak tersebut bertabiat tidak baik, selain itu hal ini semata – mata juga untuk mengutamakan kepentingan anak.

B. Saran

Setelah melakukan kajian terhadap masalah permasalahan hadhanah atau hak asuh dibawah umur di Pengadilan Agama Medan, maka ada beberapa saran yang hendak penulis sampaikan, yakni :

1. Sebenarnya perceraian antara suami dan istri adalah suatu perbuatan yang diperbolehkan dalam hukum dan agama, namun perbuatan tersebut adalah salah satu perbuatan yang dibenci Allah SWT. Maka, bagi pasangan suami istri yang hendak melakukan perceraian, harus memikirkan terlebih dulu matang – matang keputusan yang diambil dari

(22)

sudut pandang agama, karena dalam agama islam hal tersebut adalah hal yang dibenci Allah.

2. Bagi para suami dan istri yang hendak melakukan perceraian terhadap pernikahannya, jika dari pernikahan sebelumnya suami istri tersebut telah memiliki anak, maka dari perceraian tersebut akan berakibat terguncangnya psikis si anak tersebut. Bahkan bisa mempengaruhi tumbuh kembang anak. Anak yang masih dibawah umur, sebenarnya masih dalam masa tumbuh dan berkembang, serta membutuhkan suatu keluarga yang utuh dan harmonis untuk merawat dan mendidiknya sesuai bakat dan kemampuannya. Maka, terlebih dahulu harus memikirkan dampak yang ditimbulkan dari perceraian tersebut, terutama dampak bagi anak mereka baik dari aspek kejiwaan dan aspek kemanfaatan.

3. Menurut penulis sebaiknya dalam permasalahan hak asuh anak akibat perceraian, majelis hakim harus memutus selain melihat dari tabiatnya, majelis hakim juga harus melihat pihak yang memiliki waktu luang yang lebih dan mempunyai pendapatan yang cukup. Supaya dapat lebih mengutamakan kepentingan anak.

DAFTAR PUSTAKA A. Buku

Ghazaly, Abdul Rahman, 2003. Fiqh Munahakat, (Jakarta: Pranada Media Group) Kansil, 1995. Modul Hukum Perdata, (Pradnya Paramita : Jakarta)

Latif, Jamil ,1982. Aneka Hukum Perceraian, (Jakarta: Ghalia Indonesia) Cetakan ke 2

Muhammad bin Ismail al-Amir, Subulus Salam Syarah Bulughul Maram,

(23)

Penterjemah Ali Nur Medan, (Jakarta: Darus Sunnah, 2012), cet. ke-7, Jilid III Sabiq, Sayyid, 2013. Fiqih Sunnah jilid 4, (Jakarta: Pena Pundi Aksara)

Subekti dan Tjitrosudibio, 2002. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta : PT. Pradnya Paramita)

Yunus, Mahmud, 1989. Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: PT Mahmud Yunus Wadzurya)

B. Internet

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl5590/hak-asuh-anak-dalam-perceraian, diakses pada tanggal 12 Desember 2018 Pukul 15:17 WIB

C. Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 1974 Tentang Perkawinan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam

Referensi

Dokumen terkait

Proyek : Perencanaan Geometrik dan Perkerasan pada Ruas Jalan Lingkar Betung STA 0+000 – STA 5+036 Provinsi Sumatera Selatan. Uraian

umum serta pelanggarannya diancam dengan hukuman yang berupa suatu penderitaan atau siksaan. Dari defenisi diatas dapat kita menggolongkan kasus tersebut sebagai

We recently developed a new technique for non-inva- sive continuous cardiac output monitoring, which we will refer to as ‘ Ventricular Field Recognition ’ , based on measurement

Dalam pengelolaan manajemen pendidikan fokus dari segala usahanya adalah terletak pada Proses Belajar Mengajar. Suksesnya Proses Belajar mengajar dapat

Penelitian ini berjudul “ Makna Khalīfah Dalam Al-Qur`an: Tinjauan Semantik Al- Qur`an Toshihiko Izutsu” , ini merupakan sebuah kajian yang meneliti pemaknaan kata

Pengajaran remedial mempunyai arti terapeutik, maksudnya dalam proses pengajaran remedial secara lansung maupun tidak langsung juga menyembuhkan beberapa gangguan atau hambatan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaruh variabel Return On Equity dan Debt to Equity Ratio terhadap Harga Saham baik secara parsial

Kontraktor dalam melaksanakan pembongkaran instalasi lepas pantai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, wajib menggunakan tenaga pelaksana pembongkaran dengan