• Tidak ada hasil yang ditemukan

Interaksi sosial antar-anak tunarungu dan anak tunarungu dengan ` Anak Dengar`.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Interaksi sosial antar-anak tunarungu dan anak tunarungu dengan ` Anak Dengar`."

Copied!
122
0
0

Teks penuh

(1)

INTERAKSI SOSIAL ANTAR-ANAK TUNARUNGU DAN ANAK TUNARUNGU DENGAN ‘ANAK DENGAR’

Margaretha Langen Sekar Lelyana

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan perilaku interaksi sosial antar-anak tunarungu dan anak

tunarungu dengan ‘anak dengar’. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode

pengambilan data obsevasi dan metode analisis data menggunakan analisis isi kualitatif dengan pendekatan deduktif. Responden dalam penelitian ini merupakan anak tunarungu yang berusia 6 – 12

tahun dan memiliki interaksi sosial dengan sesama anak tunarungu serta ‘anak dengar’. Hasil

penelitian ini menemukan bahwa kontak sosial dan komunikasi terjadi dalam interaksi sosial antar-anak tunarungu dan ‘anak dengar’. Interaksi sosial antar-anak tunarungu tampak dalam ajakan bermain, mendekati sesama teman tunarungu, berkomunikasi baik secara oral maupun bahasa isyarat dalam bentuk abjad atau gerak tubuh. Selain itu, mereka juga melibatkan ekspresi perasaan dalam beragam bentuk baik mimik wajah ataupun tingkah laku. Anak tunarungu tampak lebih pasif karena

menunggu ajakan interaksi ‘anak dengar’ ketika sedang bersama. Mereka juga cenderung untuk

mengajak anak kecil untuk berinteraksi dibandingkan dengan teman sebayanya. Selain itu, anak tunarungu berkomunikasi dengan cara menggerakkan bibir atau menuliskan pesan. Anak tunarungu

juga berinteraksi dengan ‘orang dengar’. Bentuk interaksi sosial kompleks dan penolakan sosial

tampak dalam interaksi antar-anak tunarungu maupun anak tunarungu dengan ‘anak dengar’.

(2)

THE SOCIAL INTERACTION BETWEEN DEAF CHILDREN AND DEAF CHILDREN WITH HEARING CHILDREN

Margaretha Langen Sekar Lelyana

ABSTRACT

This study aimed to describe the behavior patterns of social interaction between children with hearing impairment and deaf children with hearing peers. This study was a qualitative research. The method of data collection was an observation and data analyzed with qualitative content analysis, using deductive approach. Respondents in this study was deaf children aged 6-12 years and had social interactions with other deaf children as well as hearing peers. Our research found that social contact and communication occurred in social interaction between deaf children and deaf children with hearing peers. Social interaction between deaf children appeared on an appeal play, approached fellow deaf, communicated orally or in the form of sign language alphabet or gestures. In addition, they engaged in various forms of emotional expression either faces or behavior. Deaf children seemed more passive, waiting for call-interaction hearing peers when it is being shared. They also tend to encourage children to interact small compared with their peers. Moreover, deaf children communicated by moving their lips or write a message. Children with hearing impairment also interacted with the hearing peers. Complex forms of social interaction and social rejection appeared in the interaction between deaf children and deaf children with hearing peers.

.

(3)

INTERAKSI SOSIAL ANTAR-ANAK TUNARUNGU DAN ANAK TUNARUNGU DENGAN ‘ANAK DENGAR’

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh:

Margaretha Langen Sekar Lelyana

NIM : 119114018

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(4)
(5)
(6)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya Tulis Ini saya persembahkan untuk: Keluarga yang sudah mendukung dan mendoakan.

(7)

v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini

tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan

dalan kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 16 Desember 2016

Penulis

(8)

vi

INTERAKSI SOSIAL ANTAR-ANAK TUNARUNGU DAN ANAK TUNARUNGU DENGAN ‘ANAK DENGAR’

Margaretha Langen Sekar Lelyana

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan perilaku interaksi sosial antar-anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode pengambilan data obsevasi dan metode analisis data menggunakan analisis isi kualitatif dengan pendekatan deduktif. Responden dalam penelitian ini merupakan anak tunarungu yang berusia 6 – 12 tahun dan memiliki interaksi sosial dengan sesama anak tunarungu serta „anak dengar‟. Hasil penelitian ini menemukan bahwa kontak sosial dan komunikasi terjadi dalam interaksi sosial antar-anak tunarungu dan „anak dengar‟. Interaksi sosial antar-anak tunarungu tampak dalam ajakan bermain, mendekati sesama teman tunarungu, berkomunikasi baik secara oral maupun bahasa isyarat dalam bentuk abjad atau gerak tubuh. Selain itu, mereka juga melibatkan ekspresi perasaan dalam beragam bentuk baik mimik wajah ataupun tingkah laku. Anak tunarungu tampak lebih pasif karena menunggu ajakan interaksi „anak dengar‟ ketika sedang bersama. Mereka juga cenderung untuk mengajak anak kecil untuk berinteraksi dibandingkan dengan teman sebayanya. Selain itu, anak tunarungu berkomunikasi dengan cara menggerakkan bibir atau menuliskan pesan. Anak tunarungu juga berinteraksi dengan „orang dengar‟. Bentuk interaksi sosial kompleks dan penolakan sosial tampak dalam interaksi antar-anak tunarungu maupun anak tunarungu dengan „anak dengar‟.

(9)

vii

THE SOCIAL INTERACTION BETWEEN DEAF CHILDREN AND DEAF CHILDREN WITH HEARING CHILDREN

Margaretha Langen Sekar Lelyana

ABSTRACT

This study aimed to describe the behavior patterns of social interaction between children with hearing impairment and deaf children with hearing peers. This study was a qualitative research. The method of data collection was an observation and data analyzed with qualitative content analysis, using deductive approach. Respondents in this study was deaf children aged 6-12 years and had social interactions with other deaf children as well as hearing peers. Our research found that social contact and communication occurred in social interaction between deaf children and deaf children with hearing peers. Social interaction between deaf children appeared on an appeal play, approached fellow deaf, communicated orally or in the form of sign language alphabet or gestures. In addition, they engaged in various forms of emotional expression either faces or behavior. Deaf children seemed more passive, waiting for call-interaction hearing peers when it is being shared. They also tend to encourage children to interact small compared with their peers. Moreover, deaf children communicated by moving their lips or write a message. Children with hearing impairment also interacted with the hearing peers. Complex forms of social interaction and social rejection appeared in the interaction between deaf children and deaf children with hearing peers.

.

(10)

viii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM

Yang bertandatangan dibawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma

Nama : Margaretha Langen Sekar Lelyana

NIM : 119114018

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan

Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

INTERAKSI SOSIAL ANTAR-ANAK TUNARUNGU DAN ANAK TUNARUNGU DENGAN ‘ANAK DENGAR’

Beserta perangkat yang diperlukan (bila perlu). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian persetujuan ini saya buat dengan sebenarnya dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : Yang menyatakan

(11)

ix

KATA PENGANTAR

Puji Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan berkat dan rahmatnya penulis

dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat

untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi pada Fakultas Psikologi Universitas

Sanata Dharma.

Penulis menyadari bahwa selama persiapan, penyusunan, hingga

terselesainya skripsi ini, penulis tidak lepas dari bantuan pihak yang terus menerus

memberikan dukungan dan ide-ide yang dapat memperlancar skripsi ini. Untuk

itu, dengan ketulusan dan kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih

kepada:

1) Tuhan Yang Maha Esa, terima kasih atas berkat dan penyertaan yang sudah

diberikan selama penulis berproses dengan karya tulisnya.

2) Bapak Dr T. Priyo Widiyanto, M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma dan segenap jajaran Dekanat.

3) Bapak Eddy selaku Kepala Program Studi Fakultas Psikologi Universitas

Sanata Dharma yang telah membantu dalam kelancaran penulisan skripsi ini.

4) Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah

membimbing penulis dengan penuh kesabaran dan dukungan dari awal

penyusunan skripsi sehingga dapat selesai dengan baik serta mendapat

pengalaman berdinamika dengan anak-anak tunarungu di Dena Upakara.

5) Papi Laurensius Ady Gassing, Mami Fransiska Rustiana, dan Adik

Vincentius Fernaldy yang senantiasa memberikan dukungan baik materil

(12)

x

6) Dosen Penguji Skripsi terima kasih atas ilmu, dukungan dan bimbingan yang

telah diberikan kepada penulis sehingga memberikan hal positif bagi penulis.

7) Segenap staf administrasi dan laboratorium Fakultas Psikologi Universitas

Sanata Dharma; Ibu M.B. Rohaniwati, Mas Y. Gandung Widyantoro, Pak Gi,

Mas P. Mujiono dan Mas AG. Doni Indarto, terimakasih atas pelayanan,

bantuan dan keramahan yang diberikan.

8) Segenap Dosen pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma,

terima kasih atas ilmu, pengalaman dan pembelajaran yang Bapak dan Ibu

berikan kepada penulis.

9) Pak Wawan selaku Kepala Sekolah SLB B Karnnamanohara yang telah

memberikan ijin kepada penulis untuk melakukan penelitian disana.

10) Bu Ambar dan Bu Milah selaku Walikelas Dasar 4 dan Dasar 3 yang telah

mengjijnkan penulis untuk berdinamika di dalam kelas dan memberikan

informasi tentang responden.

11) Ketiga responden beserta orangtua responden yang sangat terbuka dan

memberikan ijin kepada penulis untuk mengamati responden di lingkungan

rumah serta memberikan informasi yang dibutuhkan oleh penulis.

12) Pak Adi, Pak Toni, Mbak Thia, dan staff P2TKP lainnya yang sudah

membagikan pengalaman selama saya berdinamika di P2TKP.

13) Teman-teman seperjuangan di P2TKP, Pudar, Stanis, Cia, Tiara, Dimas,

Jejes, Lenny, Estu, Pipit, Sasha, Grace, Yovino, Bibin, Christy, Wuri, Fiona,

Ester, yang selalu memberikan dukungan serta tempat berkeluh kesah selama

(13)

xi

14) Teman-teman seperjuangan “masih Remaja menuju S.Psi”, Vania, Ria, dan

Acil yang selalu menemani makan siang, memberi dukungan, dan membantu

segala kesulitan selama penulis menyelesaikan skripsi.

15) Tim “Babi” yang selalu memberikan hiburan dikala sepi, rindu celotehan

kalian di grup dan dukungan yang tiada henti.

16) My girls, Stefi, Maria, Gloria, Tya, Meme, sahabat seperjuangan sedari putih

abu-abu, sahabat yang mengerjakan skripsi bersamaan tapi selesainya

berbeda-beda. Terima kasih sudah memberikan warna dalam kehidupanku,

mengerjakan skripsi bersama, dan saling mendengarkan keluh kesah

masing-masing. Semangat girls!

17) Pasangan setia, Benedictus Alit Purwa Arintaka, terima kasih sudah menjadi

pendengar atas keluh kesah, terima kasih sudah meluangkan waktu untuk

membantu dalam proses penyelesaian skripsi, terima kasih untuk penemanan

yang kamu berikan selama aku menyelesaikan tugas akhir. Love.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa penelitian jauh dari kesempurnaan.

Oleh sebab itu, penulis terbuka akan saran dan kritik yang diberikan demi

kesempurnaan penelitian ini.

Yogyakarta, 16 Desember 2016

(14)

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

2. Komponen Interaksi Sosial pada Anak Tunarungu ... 10

3. Bentuk-bentuk Interaksi Sosial pada Anak Tunarungu ... 16

4. Tahap-tahap Interaksi Sosial pada Anak Tunarungu ... 17

5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Interaksi Sosial pada Anak Tunarungu 18 B. Ketunarunguan ... 20

1. Definisi ... 20

2. Klasifikasi Ketunarunguan ... 21

3. Karakteristik Anak Tunarungu ... 25

(15)

xiii

5. Dampak Ketunarunguan ... 26

C. Perkembangan Anak Tunarungu ... 27

1. Perkembangan Fisik ... 28

2. Perkembangan Motorik ... 28

3. Perkembangan Kognitif ... 31

4. Perkembangan Bahasa ... 33

5. Perkembangan Sosio-emosi ... 35

D. Kerangka Konseptual... 37

BAB III ... 39

METODOLOGI PENELITIAN ... 39

A. Jenis dan Desain Penelitian ... 39

B. Responden Penelitian... 40

C. Fokus Penelitian... 41

D. Metode Pengumpulan Data... 41

E. Proses Pengambilan Data ... 45

F. Metode Analisis Data ... 45

G. Verifikasi Penelitian ... 48

1. Validitas ... 48

2. Reliabilitas ... 48

BAB IV ... 49

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 49

A. Responden Penelitian... 49

1. Responden 1 (R1) ... 49

2. Responden 2 (R2) ... 49

3. Responden 3 (R3) ... 50

B. Pelaksanaan Penelitian... 51

C. Hasil Penelitian ... 53

2. Komunikasi Nonlinguistik ... 91

3. Komunikasi Linguistik... 94

4. Anak Tunarungu VS „Orang Dengar‟ ... 95

5. Bentuk Interaksi Sosial Kompleks VS Penolakan Interaksi Sosial ... 96

BAB V ... 100

(16)

xiv

A. Kesimpulan ... 100

B. Keterbatasan Penelitian ... 101

C. Saran ... 101

(17)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Kategori Tingkat Pendengaran... 21

Tabel 2 Data Umum Responden ... 41

Tabel 3 Daftar Susunan Perilaku... 43

Tabel 4 Definisi Koding Komunikasi Nonlinguistik ... 47

Tabel 5 Hasil Penelitian Antara Anak Tunarungu dengan Sesama Anak Tunarungu dan Anak Tunarungu dengan „Anak Dengar‟ ... 73

Tabel 6 Hasil Penelitian Antara Anak Tunarungu dengan „Anak Dengar‟ ... 82

(18)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

World Health Organization (WHO) mengatakan bahwa 80%

penyandang disabilitas berada di negara-negara berkembang tidak terkecuali

Indonesia. Sepertiga dari 80% jumlah penyandang disabilitas merupakan

anak-anak. Data WHO tahun 2003 menunjukkan bahwa jumlah anak penyandang

disabilitas di Indonesia ada 7-10% dari jumlah populasi di Indonesia atau

sekitar 295.250 jiwa. Berdasarkan Pusat Data dan Informasi Kementrian

Kesehatan Republik Indonesia (2014) disabilitas pendengaran menempati

posisi ketiga setelah disabilitas lebih dari satu jenis (disabilitas ganda) dan

disabilitas penglihatan. Jumlah prosentase untuk disabilitas adalah 7,87% dari

total disabilitas yang ada di Indonesia (www.depkes.go.id).

Data sensus penduduk tahun 2010 yang diolah oleh Badan Pusat

Statistik (BPS) terdapat 53.180 jiwa yang menyandang disabilitas pendengaran

ringan dan 9.866 jiwa yang menyandang disabilitas pendengaran parah di

Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (dalam Infodatin Kementrian Kesehatan

2014). Hasil presentase tersebut menunjukkan bahwa tidak sedikit orang yang

mengalami disabilitas pendengaran (www.depkes.go.id).

Anak-anak yang menyandang disabilitas pendengaran disebut dengan

anak tunarungu. Anak tunarungu merupakan anak-anak yang mengalami

(19)

2007). Sedangkan, untuk anak-anak yang tidak mengalami disabilitas pendengaran akan disebut sebagai „anak dengar‟. Disfungsi pendengaran yang

dialami oleh anak tunarungu memiliki beberapa dampak, misalnya anak

tunarungu mengalami kesulitan memproduksi bahasa dan mengalami

keterlambatan dalam meniti fase perkembangan. (Arifin, 2015).

Kesulitan anak tunarungu dalam mendengar dan memproduksi bahasa

menyebabkan mereka mengalami hambatan dalam perkembangan bahasa.

Marschark dan Spencer (2003) mengatakan bahwa anak tunarungu mengalami keterlambatan berbicara jika dibandingkan dengan „anak dengar‟ pada

umumnya. Selain itu, anak tunarungu memerlukan waktu yang lebih lama untuk belajar sesuatu dibandingkan dengan „anak dengar‟. Misalnya, seorang

„anak dengar‟ mampu untuk membuat frasa bermakna pada usia 5 tahun

sedangkan anak tunarungu belum tentu menguasai hal tersebut di usia yang sama (Liben, 1978). „Anak dengar‟ mampu menguasai kosakata yang lebih

banyak karena mereka memiliki pendengaran yang baik sehingga mampu

untuk menangkap hal tersebut dan tersimpan di memori.

Disfungsi pendengaran juga membuat anak tunarungu mengalami

keterlambatan dalam perkembangan sosio-emosi. Mereka mengalami kesulitan

untuk memahami perasaan dan pikiran orang lain (Brown dan Remine, Prescot,

dan Rickards, 2000) sehingga mereka lebih sering menghasilkan emosi negatif.

Emosi negatif inilah yang membuat mereka mengalami kesulitan untuk

berinteraksi dengan sebaya. Mereka cukup sulit untuk diterima dan dipahami

(20)

Kesulitan berinteraksi dengan sebaya juga merupakan hambatan dalam

perkembangan sosio-emosi. Menurut Hartup dalam (Most, Ingber, dan

Heled-Ariam, 2011) kapabilitas seseorang untuk berelasi dalam lingkungan sosial

akan berkembang pada masa anak-anak. Berelasi dalam lingkungan sosial akan

tampak ketika anak-anak sedang bermain. Yuhan (2013) mengatakan bahwa

bermain dengan teman sebaya memiliki peran penting dalam kualitas

pertemanan di masa depan. Hal ini juga yang menjadi penentu keberhasilan

seorang anak untuk mempertahankan relasinya dengan teman sebayanya

(Martin, Bat-Chava, Lalwani, dan Waltzman, 2010).

Berelasi dalam lingkungan sosial dan bermain akan membangun

interaksi sosial. Interaksi sosial merupakan suatu proses yang dialami oleh

semua manusia tidak terkecuali antar-anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Proses interaksi ini terjadi antara dua orang atau lebih

yang melibatkan komunikasi dan kontak sosial (Soekanto, 2006). Interaksi

sosial pada anak tunarungu juga merujuk pada adanya komunikasi linguistik

dan nonlinguistik serta permainan sosial (Yuhan, Potmesil, dan Peters, 2013).

Anak tunarungu cenderung untuk membangun interaksi sosial dengan

sesama anak tunarungu karena mereka memiliki tingkat pendengaran yang

kurang lebih sama (Yuhan, 2013). Selain itu, komunikasi yang terjadi antara anak tunarungu dengan „anak dengar‟ terjadi lebih sedikit dibandingkan

dengan antar-anak tunarungu. Hal ini tampak pada penelitian sebelumnya yang

menemukan bahwa anak tunarungu seringkali ditolak oleh „anak dengar‟ ketika

(21)

antara anak tunarungu dengan „anak dengar‟ juga mengalami kekurangan

konten linguistik dan berakhir dengan cepat (Yuhan, Potmesil, dan Peters,

2013).

Berdasarkan pengalaman peneliti, anak tunarungu yang menempuh

pendidikan di sekolah inklusi lebih sering menghabiskan waktu di sekolah

sendirian. Teman-teman yang mendengar cenderung untuk mengabaikan

kehadirannya. Di luar jam sekolah, anak tunarungu ini bisa berinteraksi dengan

cukup baik dengan sesama teman tunarungu dan bergabung dalam suatu

komunitas. Mereka bisa bercerita suatu hal dengan bahasa mereka sendiri. Hal

ini membuktikan bahwa anak tunarungu merasa lebih nyaman untuk

berinteraksi dengan sesama tunarungu dibandingkan dengan „anak dengar‟

(Bat-Chava dan Deignan, 2001).

Anak tunarungu juga cenderung meminta klarifikasi terutama tentang informasi baru dibandingkan dengan „anak dengar‟ (Yuhan, Potmesil, dan

Peters, 2013). Anak tunarungu juga memberikan sentuhan netral ketika mengajak „anak dengar‟ berinteraksi sedangkan ketika dengan sesama anak

tunarungu mereka memutar kepala temannya agar melihat dirinya ketika

mengajak berinteraksi. Terkadang, anak tunarungu langsung bergabung dalam

permainan ketika sedang bersama sesama anak tunarungu lainnya (Yuhan,

Potmesil, dan Peters, 2013).

Kontak sosial seperti sentuhan fisik bisa terjadi di antara sesama anak tunarungu dan „anak dengar‟ akan tetapi hal ini belum tentu berlaku sama pada

(22)

penyampaian ide atau perasaan. Hal ini yang terkadang tidak tersampaikan oleh anak tunarungu dan „anak dengar‟. Sesama anak tunarungu mampu untuk

berkomunikasi satu sama lain sehingga mereka paham pesan yang disampaikan tetapi hal ini berbeda dengan komunikasi antara anak tunarungu dan „anak

dengar‟. Terkadang mereka mencoba untuk berkomunikasi tetapi pesan atau

maksud tidak tersampaikan karena anak tunarungu sulit untuk menerima

stimulus berupa audio. Hal ini didukung oleh Gregory, Knight, McCracken,

Powers, dan Watson (1998) yang mengatakan bahwa anak tunarungu

cenderung untuk menggunakan komunikasi non linguistik ketika berinteraksi baik dengan sesama tunarungu atau dengan „anak dengar‟.

Bentuk komunikasi dan kontak sosial anak tunarungu yang berbeda

membuat anak tunarungu sering mengalami penolakan dari „anak dengar‟

(Yuhan, 2013). Penolakan yang dialami anak tunarungu membuat mereka

kesulitan membangun interaksi sosial sehingga mereka tidak memiliki banyak

teman (Bat-Chava dan Deignan, 2001). Mereka tidak memiliki banyak teman dari kalangan „anak dengar‟ karena cara berinteraksi yang berbeda. Beberapa

„anak dengar‟ juga merasa kurang nyaman dengan keterbatasan yang dialami

oleh anak tunarungu sehingga memilih untuk mengacuhkan mereka.

Kegagalan anak tunarungu dalam interaksi sosial memiliki andil yang

cukup besar untuk kehidupan jangka panjang mereka. Mereka yang mengalami

penolakan saat berinteraksi dengan teman sebayanya akan merasa kesepian

(23)

seorang anak tunarungu akan terus berinteraksi atau menghindari suatu

interaksi.

Bentuk interaksi sosial yang berbeda antar-anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟ membuat peneliti ingin menggambarkan

bagaimana interaksi sosial antar-anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Hal ini disebabkan penelitian sebelumnya meneliti tentang

interaksi sosial pada anak tunarungu yang menggunakan alat bantu dengar

(Bat-Chava Deignan, 2001; Martin et al, 2010; Boyd et al, 2000; Punch &

Hyde, 2011 dalam Yuhan, Potmesil, dand Peters tahun 2013) dan gambaran

tentang interaksi sosial mereka pun belum banyak diteliti. Selain itu, Yuhan,

dkk (2013) memaparkan pula bahwa penelitian antara komunikasi dan permulaan interaksi dilakukan secara terpisah pada anak tunarungu dan „anak

dengar‟.

Ada pula penelitian yang meneliti interaksi sosial anak tunarungu pada

usia sekolah sehingga rentang usia responden 2 tahun – 10 tahun (Weisel et al,

2005; Preisler et al, 2002; Bat-Chava & Deignan, 2001 dalam Yuhan, Potmesil,

dand Peters tahun 2013). Berdasarkan hal tersebut, peneliti membatasi rentang

usia responden dalam penelitian ini 6 tahun – 12 tahun. Responden di sini

adalah anak tunarungu yang tidak menggunakan alat bantu dengar. Mereka

juga berinteraksi baik dengan anak tunarungu maupun dengan „anak dengar‟.

Pengambilan data pada penelitian sebelumnya menggunakan berbagai

macam metode, seperti observasi, kuesioner, dan eksperimen (Yuhan,

(24)

dengan usia pra sekolah dan pengambilan data responden usia sekolah

menggunakan kuesioner dan eksperimen (Yuhan, dkk, 2013). Metode

pengambilan data dalam penelitian ini akan menggunakan observasi untuk

melihat interaksi sosial antar-anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Alasannya adalah untuk menggambarkan interaksi antar-anak

tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟ diperlukan pengamatan

secara langsung pada lingkungan yang sesungguhnya.

Harapan peneliti dengan adanya penelitian ini hasil yang ditemukan

merupakan perilaku-perilaku interaksi sosial antar-anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Berdasarkan hal tersebut, maka gambaran

perilaku anak tunarungu ketika berinteraksi dengan sesamanya dan „anak

dengar‟ dapat terlihat jelas bagaimanakah perilaku yang muncul selama

interaksi berlangsung.

B.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah:

Bagaimanakah interaksi sosial antar-antar-anakanak tunarungu dan anak

(25)

C.Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk

menggambarkan bagaimana interaksi sosial antar-anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟.

D.Manfaat Penelitan 1. Secara Teoretis

Memberikan sumbangan pengetahuan dalam ranah psikologi

perkembangan dan psikologi sosial tentang interaksi sosial antar-anak

tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟.

2. Secara Praktis

Penelitian ini memberikan informasi interaksi sosial bagi orangtua

dan guru agar memahami interaksi sosial antar-anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Selain memberikan informasi, diharapkan

orangtua dan guru bisa memberikan dukungan kepada anak tunarungu untuk berinteraksi dengan „anak dengar‟ agar anak tunarungu dapat menjalin relasi

dan mempertahan relasi dengan „anak dengar‟ di masa depan sehingga

(26)

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.Interaksi Sosial

Berinteraksi dengan teman sebaya memiliki fungsi krusial terhadap

perkembangan kehidupan sosial individu terutama anak-anak. Salah satu

bentuk sosialisasi adalah interaksi sosial. Interaksi sosial bisa terjadi dengan

siapa saja dan di mana saja.

Interaksi sosial pertama kali terjadi pada masa kanak-kanak. Pentingnya

interaksi sosial pada masa ini adalah membantu anak untuk belajar memahami

perspektif orang lain terhadap realita yang ada. Hal penting lainnya adalah

seorang anak belajar untuk bernegosiasi dan belajar mengenai manajemen

konflik.

1. Definisi

Secara umum definisi interaksi sosial dikemukakan oleh Soekanto

(2006) dalam sudut pandang sosiologi, yaitu interaksi sosial merupakan

suatu hubungan sosial yang dinamis, menyangkut hubungan antara individu,

antara kelompok maupun antara individu dengan kelompok. Beberapa ahli

dalam psikologi sosial melihat interaksi sosial sebagai suatu kebutuhan

individu di mana salah satu individu mempengaruhi, mengubah atau

memperbaiki perilaku individu lainnya, adanya aksi dan reaksi antarindividu

(Arifin, 2015; Ahmadi, 1991; Walgito, 2003; Cerulo, 2009; Reber&Reber,

(27)

Definisi interaksi sosial di atas merupakan definisi bagi orang-orang

yang tidak mengalami disabilitas. Sedangkan interaksi sosial pada anak

tunarungu merupakan sebuah hubungan yang melibatkan pertukaran sosial,

komunikasi linguistik, komunikasi nonlinguistik, dan permainan sosial

(Yuhan, Potmesil, dan Peters, 2013).

Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas dapat disimpulkan

bahwa interaksi sosial pada anak tunarungu dalam penelitian ini adalah

hubungan antar individu baik perorangan atau kelompok yang dinamis dan

saling mempengaruhi satu sama lain sehingga tercipta tindakan (aksi) dan

respon (reaksi) dalam proses kehidupan yang melibatkan komunikasi

linguistik, komunikasi nonlinguistik, dan permainan sosial.

Interaksi sosial tidak dapat terjadi jika hanya ada satu orang.

Interaksi sosial membutuhkan dua orang atau lebih untuk saling

berdinamika dan menciptakan interaksi. Keterlibatan individu dalam

interaksi sosial tidak hanya perorangan tetapi juga bisa antar kelompok

maupun individu dengan kelompok. Sebuah interaksi sosial dapat terwujud

apabila masing-masing pihak memiliki sebuah tujuan yang dapat dicapai

bersama-sama melalui kontak sosial dan komunikasi sebagai syarat interaksi

sosial (Loomis dalam Arifin, 2015).

2. Komponen Interaksi Sosial pada Anak Tunarungu

Soekanto (2006) mengemukakan bahwa suatu interaksi sosial baru

(28)

ditetapkan sebagai syarat terjadinya interaksi sosial. Apabila hanya terjadi

kontak sosial tanpa ada komunikasi maka kontak sosial tidak berarti

apa-apa. Berikut penjelasan tentang kontak sosial dan komunikasi:

a. Kontak Sosial

Kontak sosial merupakan tahap pertama terjadinya interaksi

sosial. Menurut Arifin (2015) kontak sosial merupakan hubungan antara

individu atau kelompok yang di dalamnya terdapat pemahaman tentang

tujuan masing-masing. Menurut Soekanto (2013) kontak sosial terjadi

apabila terdapat suatu tindakan dari satu orang dan ditanggapi oleh orang

yang lainnya. Selain itu, kontak sosial terjadi apabila salah satu individu

menyadari keberadaan individu lain. Berdasarkan paparan pendapat ahli

di atas dapat disimpulkan bahwa kontak sosial adalah hubungan antara

individu atau kelompok yang melibatkan kesadaran akan keberadaan

individu lainnya.

Menurut Soekanto (2013) kontak sosial memiliki dua sifat, yaitu

Kontak sosial primer (langsung) dan kontak sosial sekunder (tidak

langsung). Kontak sosial primer merupakan suatu hubungan antar

individu yang saling bertatap muka secara visual dan memiliki emosi

tertentu dalam pergaulan. Misalnya, berjabat tangan, saling senyum, dan

kontak mata.

Sebaliknya, kontak sosial sekunder (tidak langsung) merupakan

kontak sosial yang membutuhkan pihak perantara di antara individu dan

(29)

membantu 2 atau lebih individu. Misalnya berbicara jarak jauh dengan

menggunakan telepon. Selain itu, perantara juga bisa individu itu sendiri.

Misalnya Individu A menceritakan perilaku individu B kepada individu

C. Hal ini memunculkan kontak antara individu A dan B dengan

informasi yang diberikan oleh individu C (Soekanto, 2006).

Berdasarkan pemaparan di atas, definisi kontak sosial dalam

penelitian ini adalah hubungan antara individu atau kelompok yang

menyadari keberadaan orang lain, bertemu secara visual, dan melibatkan

emosi tertentu sehingga ada tindakan yang ditanggapi oleh orang lain.

Definisi ini disimpulkan berdasarkan definisi kontak sosial secara umum

dan definisi kontak sosial primer karena hal tersebut yang akan

dideskripsikan dalam penelitian ini.

b. Komunikasi

Komunikasi merupakan suatu proses penyampaian pesan antar

individu yang melibatkan bahasa lugas, gerak tubuh, sikap, dan perasaan

tertentu (Arifin, 2015).

Menurut Walgito (2003) komunikasi merupakan proses

penyampaian dan penerimaan lambang-lambang yang mengandung arti

(informasi, pemikiran, pengetahuan, dll) yang disampaikan oleh pengirim

pesan kepada penerima pesan.

Berdasarkan pendapat ahli atas dapat disimpulkan bahwa

komunikasi merupakan proses penyampaian pesan berupa informasi, ide,

(30)

Menurut Marschark dan Spencer (2003) ada dua jenis komunikasi

yang digunakan oleh anak-anak tunarungu, yaitu:

1) Komunikasi Nonlinguistik

Komunikasi nonlinguistik merupakan komunikasi yang tidak

melibatkan oral. Komunikasi jenis ini banyak menggunakan ekspresi

wajah, gestur tubuh, dan aktivitas fisik. Hal ini sangat lazim

ditemukan pada anak-anak yang memiliki keterbatasan pendengaran.

Pendapat ini juga diperkuat oleh Macionis (2012) bahwa

komunikasi nonlinguistik (nonverbal) merupakan komunikasi yang

menggunakan gerak tubuh (body movement), gestur, dan ekspresi

wajah. Hal ini lebih banyak muncul dibandingan dengan kata-kata

atau ucapan.

Menurut Berkowitz (1980) komunikasi nonlinguistik akan

tampak pada perilaku nonverbal dan ekspresi wajah. Ekman dan

Friesen (dalam Berkowitz, 1980) mendeskripsikan 5 macam perilaku

nonverbal. Perilaku tersebut adalah emblems, illustrators, affects,

regulators, dan adapters.

Pertama adalah emblems. Emblems merupakan suatu gerakan

yang digunakan sebagai pengganti kata atau kalimat. Contohnya,

melambaikan tangan untuk memanggil. Kedua, illustrators

merupakan pelengkap pernyataan verbal. Hal ini biasanya tampak

pada seseorang yang sedang memberikan petunjuk arah sambil

(31)

Affects mengekspresikan sebagian emosi yang sedang dirasakan

seseorang, seperti marah, senang, dan sedih. Biasanya, afek akan

muncul pada ekspresi wajah seseorang akan tetapi Ekman dan

Friesen (dalam Berkowitz, 1980) mengatakan bahwa afek juga dapat

tampak pada gerakan tubuh seseorang.

Keempat, regulators merupakan suatu sinyal yang dapat

muncul dalam sebuah interaksi. Regulator biasa digunakan untuk

melengkapi pernyataan, mengklarifikasi penyataan, dan sebagainya.

Contoh regulator adalah anggukan kepala, kontak mata, dan

perubahan postural. Kelima, adapters merupakan salah satu perilaku

yang membantu dalam manajemen interaksi atau mengekspresikan

perasaan. Hal ini bisa berbeda pada setiap orang. Misalnya, perasaan

cemas yang tampak dengan menggerakan kaki atau tangan.

Selanjutnya adalah ekspresi wajah. Ekspresi wajah

merupakan perubahan raut muka sesuai dengan emosi yang muncul

dalam diri seseorang (Berkowitz, 1980). Ekspresi wajah seseorang

tidak terlepas dari latar belakang lingkungannya dan sangat mudah

dikenali apabila kita mengenal baik seseorang. Ekman (2010)

menjelaskan bahwa manusia memiliki 5 emosi dasar, yaitu marah,

sedih, senang, takut, dan jijik.

Emosi yang pertama adalah marah. Marah merupakan

ekspresi wajah beringas yang siap menyerang. Ciri-ciri ekspresi

(32)

apabila berkontraksi akan menurunkan dan menautkan alis,

mengencangkan otot yang membuat kelompak mata tertarik naik,

dan menyempitkan bibir dengan cara mengencangkan otot bibir.

Kedua, sedih. Ekspresi sedih memiliki ciri-ciri seperti

kelopak mata yang terkulai atau layu, alis yang terangkat, dan sudut

bibir yang ditarik ke bawah. Ketiga adalah perasaan senang. Ciri-ciri

ekspresi senang tampak pada kedua pipi yang terangkat lebih tinggi,

kontur pipi berubah, dan alis yang sedikit menurun. Selain itu,

ekspresi senang juga dapat diperlihatkan dengan senyuman lebar

yang mendorong pipi ke atas sampai membentuk kerutan.

Keempat, ekspresi jijik pada wajah akan tampak pada bibir

atas yang dinaikkan setinggi mungkin, bibir bawah dinaikkan dan

sedikit dicibirkan. Selain itu, kerutan meluas mulai dari atas

cupingnya mengarah ke bawah sampai di belakang sudut bibirnya.

Kemudian, sayap-sayap cuping hidungynya naik, kerutan muncul

pada kedua isi dan jembatan hidungnya. Kenaikan pipi dan

penurunan alis membentuk kerutan kaki gagak.

Terakhir adalah takut. Ciri-ciri wajah untuk ekspresi takut

adalah kelopak mata yang naik, bibir yang kencang dan horizontal

mengarah ke belakang, rahang terbuka sedikit, dan alis yang naik.

Berdasarkan penjabaran di atas dapat disimpulkan bahwa

komunikasi nonlinguistik merupakan komunikasi tanpa suara yang

(33)

2) Komunikasi Linguistik

Komunikasi linguistik merupakan kebalikan dari komunikasi

nonlinguistik. Komunikasi jenis ini menggunakan bahasa oral atau

bahasa bibir. Komunikasi linguistik adalah komunikasi yang terjadi

ketika salah satu individu berbicara menggunakan mulut mereka dan

menggunakan bahasa yang dipahami.

Kontak sosial dan komunikasi merupakan dua aspek atau komponen

yang harus ada untuk membentuk interaksi sosial. Jika yang terjadi hanya

kontak sosial maka hal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai interaksi

sosial. Kontak sosial harus berjalan beriringan bersama dengan komunikasi.

Komunikasi terjadi apabila satu sama lain mampu memahami maksud

masing-masing sehingga pesan, emosi, dan perasaan dapat tersampaikan

(Soekanto, 2013).

Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini akan mendeskripsikan

interaksi sosial anak tunarungu dengan sesama anak tunarungu dan anak

tunarungu dengan „anak dengar‟ melalui perilaku kontak sosial dan

komunikasi mereka, baik secara nonlinguistik maupun linguistik.

3. Bentuk-bentuk Interaksi Sosial pada Anak Tunarungu

Interaksi sosial memiliki beberapa bentuk. Menurut Arifin (2015)

ada empat bentuk pokok interaksi sosial. Bentuk-bentuk tersebut dapat

dijabarkan sebagai berikut:

(34)

Hal ini merupakan suatu bentuk interaksi sosial di mana

seseorang dan beberapa orang lain memiliki suatu tujuan yang ingin

dicapai bersama sehingga mereka berusaha untuk memahami satu sama

lain.

b. Persaingan

Persaingan merupakan salah satu proses interaksi sosial yang

pasti terjadi. Persaingan adalah suatu proses di mana individu merasa

bahwa ada orang lain yang menjadi akan menjadi penghambat dalam

mencapai suatu tujuan.

c. Pertentangan (Konflik)

Sebuah konflik akan terjadi apabila terdapat suatu perbedaan

antara individu dengan individu lainnya atau dengan kelompok.

Perbedaan ini bisa bermacam-macam bentuknya, seperti pendapat atau

pandangan terhadap suatu hal.

d. Akomodasi

Akomodasi merupakan salah satu cara yang digunakan untuk

menyelesaikan suatu konflik tanpa harus menghancurkan pihak lawan.

Hal ini merupakan penyeimbang yang baik dari beberapa bentuk

interaksi sosial yang menimbulkan konflik tertentu antar individu.

4. Tahap-tahap Interaksi Sosial pada Anak Tunarungu

Ada 2 tahapan yang dialami oleh anak tunarungu ketika berinteraksi

dengan sesamanya. Menurut Yuhan (2013), tahapan-tahapan tersebut

(35)

a. Inisiasi interaksi sebaya

Inisiasi merupakan tahap awal anak tunarungu dalam membangun

sebuah interaksi. Anak tunarungu berusaha untuk mengamati lingkungan

sekitarnya terlebih dahulu. Mereka mempelajari bagaimana orang lain

saling berinteraksi satu sama lain. Pengamatan yang mereka lakukan juga

membuat mereka melihat kesempatan untuk bergabung dalam sebuah

interaksi sosial. Adanya sebuah kesempatan inilah yang akan membuat

anak tunarungu akan memulai interaksi sosial mereka dengan cara

berkomunikasi. Komunikasi yang mereka gunakan biasanya bahasa

non-verbal atau gestur tubuh.

b. Memantau Interaksi Sebaya

Tahap kedua ini merupakan cara seorang anak tunarungu

mempertahankan sebuah interaksi yang sudah terjadi. Anak tunarungu

mengalami kesulitan untuk mempertahankan sebuah interaksi sosial

dalam jangka panjang. Hal ini disebabkan dengan banyaknya

faktor-faktor yang menghambat anak tunarungu dalam berinteraksi.

5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Interaksi Sosial pada Anak Tunarungu

Menurut Yuhan (2013) ada beberapa faktor yang mempengaruhi

(36)

a. Bahasa dan kemampuan berbicara

Seorang anak tunarungu memiliki keterlambatan dalam

perkembangan berbicara. Mereka membutuhkan waktu yang lebih lama

untuk mengucapkan suatu kata sehingga mereka memiliki masalah

dengan interaksi sosial mereka. Kemampuan berbahasa mereka juga

dijadikan sebagai indikator perkembangan kognitif dan sosio-emosi

mereka.

b. Familiaritas dan tingkat pendengaran yang sama dengan tema sebaya

Anak-anak tunarungu lebih nyaman untk berinteraksi dengan

sebayanya yang memiliki tingkat pendengaran yang sama. Hal ini

membuat mereka lebih mudah dalam berkomunikasi karena mereka

memahami hal yang sama. Setiap anak tunarungu memiliki strategi

masing-masing untuk berinteraksi dengan teman sebanyanya.

Salah satu kunci mereka untuk berinteraksi adalah kesamaan

pemahaman akan suatu hal. Mereka akan lebih mudah membangun

sebuah interaksi dengan anak yang mendengar apabila mereka memiliki

pemahaman yang sama dengan anak yang mendengar. Hal in juga terjadi sebaliknya pada „anak dengar‟.

c. Model komunikasi

Ada dua model komunikasi yang biasa dimiliki oleh anak

tunarungu. Model yang pertama adalah komunikasi oral. Komunikasi ini

(37)

model yang paling mudah untuk dipahami. Mereka terbiasa untuk

membaca gerak bibir lawan bicaranya atau mereka berusaha untuk bisa

mengucapkan kata-kata dengan pelafalan yang jelas. Model komunikasi

yang kedua adalah komunikasi menggunakan bahasa isyarat. Beberapa

anak tunarungu mampu untuk berkomunikasi dengan bahasa ini tapi

tidak banyak. Biasanya, anak-anak yang mampu berkomunikasi dengan

bahasa isyarat sudah terlatih sejak kecil di mana orangtua mereka juga

belajar bahasa isyarat. Akan tetapi, komunikasi menggunakan bahasa

isyarat sangat sulit untuk mereka berinteraksi sosial dengan teman

sebanyanya yang mendengar. Hal ini disebabkan dengan anak-anak yang

mendengar tidak memahami bahasa isyarat mereka.

B.Ketunarunguan 1. Definisi

Menurut Arifin (2015) anak tunarungu adalah seorang anak yang

mengalami kerusakan pada satu atau lebih pada organ telinga luar, organ

telinga bagian tengah, dan organ telinga bagian dalam sehingga organ

tersebut tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik.

Pengertian tersebut juga didukung oleh Effendi (2006) yang

mengatakan bahwa seorang anak dikatakan tunarungu apabila mengalami

kerusakan pada organ telinga. Kerusakan organ ini bisa karena sebuah

(38)

Menurut Somantri (2007) tunarungu merupakan suatu keadaan di

mana seorang anak kehilangan sebagian atau seluruhnya yang menyebabkan

pendengarannya tidak memiliki nilai fungsional di dalam kehidupan

sehari-hari.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa

ketunarunguan adalah suatu kerusakan pada organ pendengaran seseorang

yang menyebabkan mereka kehilangan nilai fungsional pendengaran dalam

kehidupan sehari-hari. Gangguan pendengaran ini bisa disebabkan karena

kecelakaan atau bawaan atau tidak diketahui sebabnya.

2. Klasifikasi Ketunarunguan

a. Berdasarkan Satuan Bunyi Desibel (dB)

Berdasarkan kriteria International Standard Organization (ISO)

(dalam Arifin, 2015) klasifikasi gangguan pendengaran pada anak

tunarungu dapat dibedakan menjadi 6 kategori. Penjabaran kategori

tingkat pendengaran dan intensitas bunyi dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1

Intensitas Bunyi (dB) Tingkat Pendengaran

0-20 dB Normal

20-30 dB Slight Losses

30-40 dB Mild Losses

40-60 dB Moderate Losses

60-75 dB Severe Losses

(39)

Anak-anak tunarungu yang masuk dalam kategori slight losses

adalah anak-anak yang mengalami gangguan pendengaran ringan.

Mereka tidak mengalami kesulitan berbicara karena masih berada pada

batas normal pendengaran. Mereka juga mampu belajar bicara

menggunakan kemampuan pendengarannya dan butuh perhatian khusus

terhadap perbendaharaan kata agar perkembangan bahasa tidak

terhambat. Anak-anak tunarungu dalam kategori ini juga masih dapat

mendengar menggunakan alat bantu dengar.

Ciri khas anak-anak tunarungu dalam kategori mild losses adalah

mengerti pembicaraan dalam jarak dekat dan tidak kesulitan untuk

mengekspresikan isi hatinya. Mereka mengalami kesulitan untuk

menangkap percakapan yang lemah sehinga sulit untuk menangkap isi

pesan lawan bicaranya. Mereka juga akan semakin kesulitan menangkap

isi pesan apabila tidak berbicara berhadapan. Anak-anak tunarungu

kategori ini masih dapat mendengar dengan alat bantu dengar dan masih

membutuhkan bimbingan intensif untuk menghindari kesulitan berbicara.

Anak-anak tunarungu dalam kategori moderate losses dapat

mengerti percakapan apabila dilakukan dengan volume yang keras dan

dalam jarak dekat (1 meter) sehingga mereka sering salah tangkap atau

salah paham terhadap lawan bicaranya. Ciri lainnya adalah

perbendaharaan kata mereka yang terbatas, adanya ketidakjelasan dalam

berbicara, dan kesulitan menggunakan bahasa dengan benar dalam

(40)

Ciri-ciri anak tunarungu dalam kategori severe losses adalah

mereka mengalami kesulitan untuk membedakan suara, tidak memiliki

kesadaran bahwa benda-benda di sekitarnya memiliki getaran suara, dan

membutuhkan pelayanan khusus untuk belajar bicara dan berbahasa.

Profoundly losses merupakan tingkat pendengaran yang paling

parah sehingga anak tunarungu hanya dapat mendengar dengan suara

keras dalam jarak 2,54 cm. Selain itu, mereka juga tidak menyadari

bunyi-bunyian di sekitarnya. Mereka juga tidak mampu menangkap

pesan walaupun menggunakan pengeras suara sehingga mereka

membutuhkan banyak latihan khusus agar bisa berkomunikasi.

b. Berdasarkan Letak Kerusakan Organ Pendengaran

Kategori anak tunarungu berdasarkan letak kerusakan organ

pendengaran dibagi menjadi 3 jenis, yaitu tunarungu konduktif,

tunarungu perseptif, dan tunarungu campuran. Tunarungu konduktif

merupakan kondisi anak-anak yang mengalami kerusakan pada liang

telinga, selaput gendang, dinding-dinding labirin, dan tiga tulang

pendengaran (malleus, incus, dan stapes). Bagian-bagian tersebut

memiliki fungsi untuk menghantarkan suara sehingga seseorang bisa

mendengar.

Lalu, tunarungu perseptif merupakan gangguan pendengaran

yang terjadi karena rusaknya organ-organ pendengaran yang terdapat

(41)

serabut saraf pendengaran, dan corti yang mengubah rangsang mekanis

menjadi elektris tidak diteruskan ke otak.

Sedangkan tunarungu campuran adalah suatu keadaan di mana

kerusakan organ terjadi pada organ telinga yang berfungsi sebagai

penghantar dan penerima rangsang.

c. Berdasarkan Waktu Terjadinya Ketunarunguan

Berdasarkan waktu terjadinya, ketunarunguan dibagi menjadi dua

jenis, yaitu tuli bawaan (Deafness Conginetal) dan tuli fungsional

(Deafness Functional). Tuli bawaan merupakan ketunarunguan yang

terjadi saat bayi dilahirkan. Hal ini disebabkan oleh hereditas atau faktor

lainnya yang terjadi selama ibu mengandung. Sedangkan tuli fungsional

merupakan hilangnya pendengaran seorang anak tetapi tidak ditemukan

adanya disfungsi organik.

d. Berdasarkan Terjadinya Tahap Perkembangan

Menurut Denmark (1994) anak tunarungu dibagi menjadi dua

jenis, yaitu preverbal deafness dan postlingual deafness. Preverbal

deafness adalah suatu kondisi ketunarunguan yang dialami seorang anak

sebelum mengenal bahasa dan masuk dalam tahap perkembangan bahasa.

Ketunarunguan ini sangat banyak dialami oleh anak-anak. Mereka

kehilangan kemampuan mendengar sejak lahir sehingga membuat

mereka kesulitan untuk berinteraksi. Ketunarunguan macam ini

merupakan hambatan yang sangat besar bagi anak-anak dalam

(42)

Sebaliknya, postlingual deafness merupakan ketunarunguan yang

dialami setelah seorang anak mengenal bahasa dan masuk dalam tahap

perkembangan bahasa. Hal ini terjadi karena adanya penurunan

kemampuan pendengaran yang dimiliki seseorang. Biasanya, hal ini

sangat jarang dialami oleh anak-anak.

3. Karakteristik Anak Tunarungu

Menurut Telford dan Sawrey (dalam Mangunsong, 1998) ada

beberapa karakteristik anak tunarungu. Kekhasan tersebut adalah anak

tunarungu kurang mampu untuk memusatkan perhatian. Kemudian, anak

tunarungu juga sering mengalami kegagalan respon ketika diajak berbicara.

Kegagalan respon tersebut juga bisa disebabkan oleh keterlambatan bicara

yang dialami oleh anak tunarungu. Keterlambatan bicara juga membuat

anak tunarungu mengalami kesalahan artikulasi dan mengalami

keterbelakangan di sekolah.

4. Penyebab Ketunarunguan

Sebagian besar ketunarunguan pada anak-anak terjadi sebelum

mereka mengenal bahasa. Hal ini menyebabkan mereka mengalami

hambatan dalam perkembangan bahasa. Adapun beberapa penyebab seorang

anak mengalami ketunarunguan, yaitu prenatal, neonatal, dan post natal.

Pertama, penyebab prenatal merupakan penyebab yang diperkirakan

(43)

ketunarunguan yang terjadi saat masa prenatal adalah hereditas atau

keturunan, maternal rubella, pemakaian antibiotika yang berlebihan, dan

Toxoemia. Kedua, penyebab neonatal merupakan penyebab yang muncul saat seorang bayi dilahirkan. Beberapa penyebabnya adalah kelahiran

premature, faktor resus, dan Tang Verlossing. Ketiga, penyebab

ketunarunguan yang terjadi setelah proses melahirkan (postnatal) adalah

meningitis cebralis, infeksi, dan otitis media kronis.

5. Dampak Ketunarunguan

Ketunarunguan tentu saja memberikan banyak dampak terhadap

penyandangnya. Dampak tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:

a. Secara Fisik

Menurut Arifin (2015) ada beberapa dampak yang dialami oleh

anak yang memiliki keterbatasan pendengaran, seperti kehilangan indera

pendengatan karena ada kerusakan pada organ tersebut dan kesulitan

menerima rangsang dalam bentuk audio. Selain itu, anak tunarungu

mengalami kesulitan memproduksi bahasa dan mengalami keterlambatan

dalam meniti fase-fase perkembangan.

b. Secara Sosial-Emosi

Menurut Efendi (2006) dan Van Uden (dalam Efendi, 2006)

beberapa dampak ketunarunguan dalam kehidupan sosial adalah anak

tunarungu lebih menampakkan sikap asosial. Anak tunarungu juga lebih

(44)

Lalu, anak tunarungu juga lebih egosentris dan lebih mudah marah serta

tersinggung. Anak tunarungu juga lebih bergantung pada orang lain dan

beberapa hal yang sudah dikenal sebelumnya. Selain itu, anak tunarungu

juga memiliki perasaan yang cenderung ekstrem tanpa banyak nuansa

dan memiliki perasaan takut akan hidup yang lebih besar.

c. Secara Bahasa

Dampak yang dialami oleh anak tunarungu secara bahasa tampak

pada kekurangan anak tunarunngu akan perbendaharaan kata. Anak

tunarungu juga mengalami kesulitan untuk mengartikan bahasa yang

mengandung arti kiasan atau sindiran sehingga mereka juga kesulitan

untuk mengartikan kata-kata abstrak seperti Tuhan. Anak tunarungu

mengalami kesulitan menguasai irama dan gaya bahasa sehingga mereka

juga menggunakkan struktur bahasa yang lebih berbeda.

C.Perkembangan Anak Tunarungu

Tahap perkembangan merupakan suatu fase yang pasti dialami oleh

setiap individu. Setiap individu mengalami hal yang sama hanya saja dalam

satu tahap atau fase individu membutuhkan waktu yang berbeda-beda, terutama

pada anak-anak berkebutuhan khusus. Tinjauan pustaka dalam penelitian ini

hanya akan menjelaskan tahap perkembangan masa anak-anak tengah menuju

akhir. Masa perkembangan ini mencakup anak yang berusia 6-12 tahun

(45)

1. Perkembangan Fisik

Perkembangan fisik merupakan tahap perkembangan yang terkait

dengan perubahan fisik seorang anak. Menurut Santrock (2009)

perkembangan fisik seorang anak dibagi menjadi:

a. Tubuh

Umumnya, seorang anak pada usia 6-12 tahun mengalami

perkembangan tinggi badan sebanyak 5-7,6 cm setiap tahunnya.

Perkembangan lainnya, yaitu berat badan. Berat badan anak-anak pada

masa ini bertambah 2,3-3,2 kg setiap tahunnya.

b. Otak

Volume otak anak-anak di masa ini sudah lebih stabil

dibandingkan dengan masa perkembangan sebelumnya. Perkembangan

otak juga menjadi lebih cepat terutama pada variasi struktur dan area

otak. Salah satu area otak yang berkembang adalah korteks prefrontal.

Perubahan signifikan yang terjadi pada area ini berkaitan dengan kontrol

kognitif. Kontrol kognitif inilah yang berperan untuk mengontrol

perhatian, mengurangi pikiran-pikiran yang mengganggu atau tercampur

aduk, menghambat gerakan motorik, dan fleksibel dalam menentukan

pilihan yang berlawanan(Munkata dalam Santrock, 2009).

2. Perkembangan Motorik

Perkembangan motorik anak-anak semakin berkembang yang

ditandai dengan semakin baiknya koordinasi gerak yang mereka lakukan.

(46)

halus. Motorik kasar lebih melibatkan otot-otot besar pada anak-anak

sehingga motorik kasar anak laki-laki lebih unggul daripada anak

perempuan (Santrock, 2009). Sebaliknya, perkembangan motorik halus anak

perempuan lebih unggul dibandingkan dengan anak laki-laki (Santrock

2009).

a. Perkembangan Motorik ‘anak dengar’

Otot besar anak-anak yang menginjak usia 6-12 tahun sudah lebih

kuat dibandingkan tahap usia sebelumnya. Hal ini membuat kemampuan

motorik kasar mereka pun berkembang. Misalnya, mereka sudah mampu

untuk adalah berlari, memanjat, bermain bulutangkis, dan bermain

lompat tali.

Motorik halus yang mampu dilakukan oleh anak berusia 6 tahun

adalah mengikatkan tali sepatunya sendiri dan mengancingkan baju

mereka. Saat mereka berusia 7 tahun mereka mampu untuk mewarnai

menggunakan pensil warna. Hal ini disebabkan oleh tangan mereka yang

sudah lebih ajeg sehingga mereka lebih memilih menggunakan pensil

warna dibandingkan dengan krayon. Mereka juga mampu untuk

mewarnai bidang yang lebih kecil. Menginjak usia 8 sampai 10 tahun

anak-anak mampu untuk menulis huruf tegak bersambung dibandingkan

dengan huruf cetak. Hal ini disebabkan kemampuan tangan mereka sudah

lebih presisi sehingga lengkungan huruf atau ukuran tulisan sudah lebih

kecil. Usia 11 sampai 12 tahun seorang anak mampu untuk membuat

(47)

keranjang telur paskah. Mereka juga sudah mampu untuk memainkan

suatu alat musik.

b. Perkembangan Motorik Anak Tunarungu

Penjelasan di atas merupakan kemampuan yang mampu

dilakukan oleh anak-anak usia 6-12 tahun yang tidak mengalami

disfungsi apapun. Perkembangan motorik terhadap anak tunarungu memiliki perbedaan dengan „anak dengar‟. Menurut Gheysen, Loots, dan

Waelvelde (2008) anak tunarungu mengalami kekurangan dalam

keseimbangan, koordinasi dinamis umum (general dynamic

coordination), kemampuan visual-motor, kemampuan menangkap bola,

dan perbedaan yang jelas pada kecepatan perpindahan.

Pertumbuhan tubuh dan otak antara anak tunarungu dengan „anak dengar‟ tidak ada perbedaan. Tubuh dan otak mereka berkembang sesuai

dengan tahap usia mereka. Hal ini berbeda dengan perkembangan motorik yang dialami oleh anak tunarungu dan „anak dengar‟. Anak

tunarungu mengalami keterlambatan dalam perkembangan motorik

mereka. Wiegersma dan Van der Velde (dalam Gheysen, Loots, dan

Waelvelde, 2008) mengatakan hal yang menyebabkan anak tunarungu

mengalami keterlambatan adalah gangguan syaraf, disfungsi

pendengaran, kekurangan rasa percaya diri, perlindungan dari orangtua

yang berlebihan atau pengabaian orangtua sehingga anak tunarungu

(48)

3. Perkembangan Kognitif

Perkembangan kognitif merupakan suatu perkembangan pikiran

yang disadari oleh seseorang (Santrock, 2009). Salah satu perkembangan

proses kognitif terkait fungsi eksekutif, bahasa, dan komunikasi adalah

theory of mind (Marschark dan Hauser, 2012).

Theory of mind adalah kesadaran seorang anak terhadap proses

mental dirinya dan proses mental orang lain (Santrock, 2009). Menurut

Marschark dan Hauser (2012) theory of mind merupakan kemampuan

seorang anak untuk mengetahui pikiran orang lain, emosi orang lain, dan

kepercayaan (belief) orang lain. Perkembangan theory of mind sangat

penting untuk anak-anak dalam berkomunikasi, belajar, dan berinteraksi

sosial.

Perkembangan theory of mind pada anak-anak sangat bergantung

pada efektivitas komunikasi dengan orangtua mereka. Selain itu,

kemampuan orangtua untuk menjelaskan emosi dan keadaan kognitif

seseorang dalam konteks sebab akibat (Marschark dan Hauser, 2012).

Theory of mind juga membuat anak-anak belajar maksud dari orang lain yang mengatakan sesuatu secara tidak langsung. Misalnya, “anginnya

kencang sekali” maksud yang sebenarnya adalah “tolong tutup jendelanya.

Perkembangan theory of mind antara anak tunarungu dan „anak dengar‟ juga berbeda. Courtin (dalam Santrock, 2009) mengatakan bahwa

anak tunarungu menunjukkan perkembangan yang tidak cukup baik pada

(49)

„orangtua yang mendengar‟ (hearing parents). Marschark dan Hauser

(2012) juga mengatakan bahwa anak tunarungu mengalami keterbelakangan

dalam theory of mind dibandingkan dengan „anak dengar‟ seusianya.

Selain theory of mind, intelegensi anak tunarungu juga sering dibedakan dengan „anak dengar‟. Inteligensi merupakan sebuah kemampuan

untuk mengatasi masalah, beradaptasi, dan belajar dari suatu pengalaman

(Santrock, 2009).

Pada dasarnya anak tunarungu memiliki intelegensi yang sama dengan „anak dengar‟ (Furth dalam Efendi, 2006). Hambatan-hambatan

inteligensi yang terjadi pada anak tunarungu disebabkan oleh pengalaman

berbahasa. Anak-anak tunarungu mengalami kesulitan untuk menghubungan

atau menarik sebuah kesimpulan (Somantri, 2007).

Hambatan tersebut yang membuat anak tunarungu sering dilabel

bodoh. Hal ini disebabkan inteligensi sering dikaitkan dengan pencapaian

akademi seorang anak. Anak tunarungu memiliki kemampuan inteligensi

yang setara dengan „anak dengar‟ akan tetapi disfungsi pendengaran yang

dialami membuat mereka kesulitan memahami bahasa dan membutuhkan

waktu yang lebih lama untuk belajar. Mereka juga membutuhkan bantuan

orangtua atau guru di sekolah untuk bisa mencapai prestasi akademik seperti „anak dengar‟. Hal ini tidak dirasakan oleh „anak dengar‟ karena mereka

(50)

4. Perkembangan Bahasa

Perkembangan bahasa pada anak-anak yang „mendengar‟ dan pada

anak tunarungu jelas berbeda. Anak-anak tunarungu membutuhkan waktu

yang lebih lama untuk belajar berbahasa. Hal ini disebabkan oleh

keterbatasan yang dimilikinya (Marschark dan Spencer, 2003). Anak-anak

tunarungu yang mengalami keterlambatan berbicara juga kesulitan untuk

mengungkapkan emosi mereka secara verbal.

Normalnya seorang anak akan mengalami fase reflexive vocalization

(0-6 minggu), babbling (6 minggu-6 bulan), lalling (6 bulan-9 bulan),

yargon (9 bulan-12 bulan), dan true speech (12 bulan- 18 bulan) (Smith

dalam Efendi, 2006). Bagi anak tunarungu yang menderita gangguan

pendengaran sejak lahir, fase perkembangan mereka terhambat pada fase

babbling. Fase ini merupakan fase seorang anak mulai untuk mencoba

merespon suaranya sendiri. Hal ini terhambat atau terhenti karena anak

tunarungu tidak mampu untuk mendengar umpan balik dari suaranya sendiri

maupun orang lain.

Menurut Denmark (1994) anak tunarungu memiliki hambatan untuk

belajar bahasa secara verbal karena mereka tidak mampu untuk mendengar

ucapan mereka sendiri maupun ucapan orang lain. Hal ini justru salah satu

cara seorang anak belajar untuk berbicara dan mulai mengenal bahasa.

Keterbatasan anak-anak tunarungu untuk mendengar membuat mereka harus

mengandalkan indera yang lainnya untuk belajar bahasa agar bisa

(51)

Menurut Marschark dan Spencer (2003) yang termasuk dalam

perkembangan bahasa anak tunarungu adalah:

a. Fonologi

Normalnya fonologi sudah berkembang sejak seorang anak

berusia 1 tahun sampai 6 tahun (bagi anak-anak yang belajar bahasa

inggris sebagai bahasa ibu). Hal ini tentu berbeda dengan anak-anak

tunarungu. Sebuah studi dalam Marschark dan Spencer (2003)

menemukan bahwa penguasaan fonem anak tunarungu terjadi lebih lambat dibandingkan dengan „anak dengar‟.

Seiring meningkatnya jumlah kosakata seorang anak, maka

dibutuhkan fonem yang lebih banyak dalam membantu mempertahankan

perbedaan fonetik antara kosakata yang sudah dipelajari sebelumnya

dengan kosakata yang baru.

Anak tunarungu menguasai konsonan /p, b, m/ lebih awal

dibandingkan /f,v/. Bagi anak-anak tunarungu ada beberapa fonem yang

dikuasai lebih dulu dan ada beberapa fonem yang membutuhkan waktu

yang lama untuk dikuasai.

b. Morfologi dan Sintaks

Morfologi merupakan stuktur bahasa yang lebih luas

dibandingkan dengan fonologi. Morfologi mencakup morfem, suku kata,

kosakata, frasa, dan kalimat. Kompleksitas struktur bahasa ini yang

menjadi tolak ukur perkembangan bahasa yang dialami seorang anak

(52)

c. Kosakata

Pada umumnya, anak-anak usia 6 tahun mampu untuk menguasai

14.000 kata dan anak usia 11 tahun mampu menguasai 40.000 kata

(Santrock, 2009). Anak-anak tunarungu menguasai 12.000-18.000 kata

saat mereka menginjak usia 18 tahun (Marschark dan Spencer, 2003).

Menurut Jensema (dalam Efendi, 2006) anak-anak tunarungu

yang beusia 8-10 tahun memiliki perbendaharaan kata yang setara dengan „anak-anak mendengar‟ dari awal TK hingga akhir kelas II SD.

5. Perkembangan Sosio-emosi

Perkembangan sosio-emosi merupakan salah satu perkembangan

yang memilih pengaruh terhadap interaksi sosial anak tunarungu selain

perkembangan bahasa. Perkembangan sosio-emosi merupakan tahap kritis

dan mendasar untuk mencapai kesuksesan kehidupan (Marschark dan

Spencer, 2003). Umumnya, seorang anak pada fase ini mampu untuk

mendeskripsikan diri mereka secara psikologis, misalnya mendeskripsikan

sifat-sifat yang dimiliki. Anak-anak juga mampu untuk membandingkan diri

mereka dengan sesamanya (Santrock, 2009).

Sosio-emosi ini juga mampu untuk membantu seseorang untuk

menyadari potensi diri yang dimiliki dan mencakup kemampuan serta

kemauan untuk mempertimbangkan berbagai sudut pandang dalam melihat

(53)

taking di mana seorang anak memiliki kemampuan untuk memahami

perspektif, pikiran, dan perasaan orang lain.

Disfungsi pendengaran yang dimiliki oleh anak tunarungu menjadi

hambatan mereka untuk bisa memahami adanya perbedaan perspektif dari

orang lain. Anak tunarungu yang berada pada masa tengah dan akhir

anak-anak masih memiliki egosentrisme yang tinggi dibandingkan dengan „anak dengar‟.

Keterlambatan dalam perkembangan bahasa membuat anak tunarungu kesulitan untuk berinteraksi sosial dengan „anak dengar‟. Hal ini

disebabkan oleh ketidakjelasan pengucapan anak tunarungu sehingga

mereka sulit unutk memahami perasaan dan pikiran orang lain.

Ketidakmampuan mereka untuk mendengar juga membuat mereka kesulitan

untuk memahami bahasa lisan dari orang lain. Hal ini membuat anak-anak

tunarungu sering menafsirkan segala sesuatu secara negatif atau salah

menafsirkan sehingga mereka memiliki tekanan tersendiri terhadap

emosinya. Keterbatasan pemahaman terhadap orang lain juga membuat

mereka lebih sering bertindak secara agresif dan lebih sering merasa gelisah

(Somantri, 2007).

Anak tunarungu yang mengalami keterlambatan dalam

perkembangan sosio-emosi mereka jelas memberikan dampak tersendiri

bagi interaksi sosial mereka. Mereka mengalami kesulitan untuk

berinteraksi dengan teman sebayanya baik yang mendengar maupun sesama

Gambar

Tabel 2 Data Umum Responden ..........................................................................
Tabel 1 Intensitas Bunyi (dB)
Tabel 2 Kode Usia Usia mulai tuli Jenis
Tabel 3 Aspek
+5

Referensi

Dokumen terkait

INTERAKSI SOSIAL DENGAN TEMAN SEBAYA PADA ANAK HOMESCHOOLING DAN ANAK

Dan perubahan sosial adalah interaksi sosial adalah suatu hubungan antar sesama manusia yang saling mempengaruhi satu sama lain baik itu dalam hubungan antar individu, antar

Dipaparkan tentang pengetahuan, mengenai interaksi sosial siswa tunarungu oleh Mhn kepala sekolah SDN Gerantung sebagai berikut : Siswa tunarungu yang bersekolah

Interaksi anak adalah hubungan sosial yang dilakukan anak terhadap. lingkungan sekitarnya baik antar individu, individu dengan kelompok dan

Hasil penelitian, menunjukkan bahwa guru kelas melakukan beberapa upaya untuk meningkatkan kemampuan berinteraksi sosial anak tunarungu di kelasnya.Upaya yang

- Young dan Raymond W. Mack, interaksi sosial adalah hubungan-hubungan sosial yang dinamis dan menyangkut hubungan-hubungan antar individu dengan kelompok

Dengan kata lain, proposisi ilmiah temuan penelitian ini ialah tindak tutur direktif guru dalam wacana interaksi kelas anak tunarungu direpresentasikan secara beragam melalui

Penelitian ini memperoleh hasil temuan 1 Pelaksanaan bimbingan sistem isyarat bahasa indonesia SIBI bergambar untuk meningkatkan interaksi sosial anak tunarungu di SDLB Negeri Jember