INTERAKSI SOSIAL ANTAR-ANAK TUNARUNGU DAN ANAK TUNARUNGU DENGAN ‘ANAK DENGAR’
Margaretha Langen Sekar Lelyana
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan perilaku interaksi sosial antar-anak tunarungu dan anak
tunarungu dengan ‘anak dengar’. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode
pengambilan data obsevasi dan metode analisis data menggunakan analisis isi kualitatif dengan pendekatan deduktif. Responden dalam penelitian ini merupakan anak tunarungu yang berusia 6 – 12
tahun dan memiliki interaksi sosial dengan sesama anak tunarungu serta ‘anak dengar’. Hasil
penelitian ini menemukan bahwa kontak sosial dan komunikasi terjadi dalam interaksi sosial antar-anak tunarungu dan ‘anak dengar’. Interaksi sosial antar-anak tunarungu tampak dalam ajakan bermain, mendekati sesama teman tunarungu, berkomunikasi baik secara oral maupun bahasa isyarat dalam bentuk abjad atau gerak tubuh. Selain itu, mereka juga melibatkan ekspresi perasaan dalam beragam bentuk baik mimik wajah ataupun tingkah laku. Anak tunarungu tampak lebih pasif karena
menunggu ajakan interaksi ‘anak dengar’ ketika sedang bersama. Mereka juga cenderung untuk
mengajak anak kecil untuk berinteraksi dibandingkan dengan teman sebayanya. Selain itu, anak tunarungu berkomunikasi dengan cara menggerakkan bibir atau menuliskan pesan. Anak tunarungu
juga berinteraksi dengan ‘orang dengar’. Bentuk interaksi sosial kompleks dan penolakan sosial
tampak dalam interaksi antar-anak tunarungu maupun anak tunarungu dengan ‘anak dengar’.
THE SOCIAL INTERACTION BETWEEN DEAF CHILDREN AND DEAF CHILDREN WITH HEARING CHILDREN
Margaretha Langen Sekar Lelyana
ABSTRACT
This study aimed to describe the behavior patterns of social interaction between children with hearing impairment and deaf children with hearing peers. This study was a qualitative research. The method of data collection was an observation and data analyzed with qualitative content analysis, using deductive approach. Respondents in this study was deaf children aged 6-12 years and had social interactions with other deaf children as well as hearing peers. Our research found that social contact and communication occurred in social interaction between deaf children and deaf children with hearing peers. Social interaction between deaf children appeared on an appeal play, approached fellow deaf, communicated orally or in the form of sign language alphabet or gestures. In addition, they engaged in various forms of emotional expression either faces or behavior. Deaf children seemed more passive, waiting for call-interaction hearing peers when it is being shared. They also tend to encourage children to interact small compared with their peers. Moreover, deaf children communicated by moving their lips or write a message. Children with hearing impairment also interacted with the hearing peers. Complex forms of social interaction and social rejection appeared in the interaction between deaf children and deaf children with hearing peers.
.
INTERAKSI SOSIAL ANTAR-ANAK TUNARUNGU DAN ANAK TUNARUNGU DENGAN ‘ANAK DENGAR’
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh:
Margaretha Langen Sekar Lelyana
NIM : 119114018
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
Karya Tulis Ini saya persembahkan untuk: Keluarga yang sudah mendukung dan mendoakan.
v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini
tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan
dalan kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 16 Desember 2016
Penulis
vi
INTERAKSI SOSIAL ANTAR-ANAK TUNARUNGU DAN ANAK TUNARUNGU DENGAN ‘ANAK DENGAR’
Margaretha Langen Sekar Lelyana
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan perilaku interaksi sosial antar-anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode pengambilan data obsevasi dan metode analisis data menggunakan analisis isi kualitatif dengan pendekatan deduktif. Responden dalam penelitian ini merupakan anak tunarungu yang berusia 6 – 12 tahun dan memiliki interaksi sosial dengan sesama anak tunarungu serta „anak dengar‟. Hasil penelitian ini menemukan bahwa kontak sosial dan komunikasi terjadi dalam interaksi sosial antar-anak tunarungu dan „anak dengar‟. Interaksi sosial antar-anak tunarungu tampak dalam ajakan bermain, mendekati sesama teman tunarungu, berkomunikasi baik secara oral maupun bahasa isyarat dalam bentuk abjad atau gerak tubuh. Selain itu, mereka juga melibatkan ekspresi perasaan dalam beragam bentuk baik mimik wajah ataupun tingkah laku. Anak tunarungu tampak lebih pasif karena menunggu ajakan interaksi „anak dengar‟ ketika sedang bersama. Mereka juga cenderung untuk mengajak anak kecil untuk berinteraksi dibandingkan dengan teman sebayanya. Selain itu, anak tunarungu berkomunikasi dengan cara menggerakkan bibir atau menuliskan pesan. Anak tunarungu juga berinteraksi dengan „orang dengar‟. Bentuk interaksi sosial kompleks dan penolakan sosial tampak dalam interaksi antar-anak tunarungu maupun anak tunarungu dengan „anak dengar‟.
vii
THE SOCIAL INTERACTION BETWEEN DEAF CHILDREN AND DEAF CHILDREN WITH HEARING CHILDREN
Margaretha Langen Sekar Lelyana
ABSTRACT
This study aimed to describe the behavior patterns of social interaction between children with hearing impairment and deaf children with hearing peers. This study was a qualitative research. The method of data collection was an observation and data analyzed with qualitative content analysis, using deductive approach. Respondents in this study was deaf children aged 6-12 years and had social interactions with other deaf children as well as hearing peers. Our research found that social contact and communication occurred in social interaction between deaf children and deaf children with hearing peers. Social interaction between deaf children appeared on an appeal play, approached fellow deaf, communicated orally or in the form of sign language alphabet or gestures. In addition, they engaged in various forms of emotional expression either faces or behavior. Deaf children seemed more passive, waiting for call-interaction hearing peers when it is being shared. They also tend to encourage children to interact small compared with their peers. Moreover, deaf children communicated by moving their lips or write a message. Children with hearing impairment also interacted with the hearing peers. Complex forms of social interaction and social rejection appeared in the interaction between deaf children and deaf children with hearing peers.
.
viii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM
Yang bertandatangan dibawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma
Nama : Margaretha Langen Sekar Lelyana
NIM : 119114018
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
INTERAKSI SOSIAL ANTAR-ANAK TUNARUNGU DAN ANAK TUNARUNGU DENGAN ‘ANAK DENGAR’
Beserta perangkat yang diperlukan (bila perlu). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian persetujuan ini saya buat dengan sebenarnya dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal : Yang menyatakan
ix
KATA PENGANTAR
Puji Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan berkat dan rahmatnya penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi pada Fakultas Psikologi Universitas
Sanata Dharma.
Penulis menyadari bahwa selama persiapan, penyusunan, hingga
terselesainya skripsi ini, penulis tidak lepas dari bantuan pihak yang terus menerus
memberikan dukungan dan ide-ide yang dapat memperlancar skripsi ini. Untuk
itu, dengan ketulusan dan kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1) Tuhan Yang Maha Esa, terima kasih atas berkat dan penyertaan yang sudah
diberikan selama penulis berproses dengan karya tulisnya.
2) Bapak Dr T. Priyo Widiyanto, M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma dan segenap jajaran Dekanat.
3) Bapak Eddy selaku Kepala Program Studi Fakultas Psikologi Universitas
Sanata Dharma yang telah membantu dalam kelancaran penulisan skripsi ini.
4) Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah
membimbing penulis dengan penuh kesabaran dan dukungan dari awal
penyusunan skripsi sehingga dapat selesai dengan baik serta mendapat
pengalaman berdinamika dengan anak-anak tunarungu di Dena Upakara.
5) Papi Laurensius Ady Gassing, Mami Fransiska Rustiana, dan Adik
Vincentius Fernaldy yang senantiasa memberikan dukungan baik materil
x
6) Dosen Penguji Skripsi terima kasih atas ilmu, dukungan dan bimbingan yang
telah diberikan kepada penulis sehingga memberikan hal positif bagi penulis.
7) Segenap staf administrasi dan laboratorium Fakultas Psikologi Universitas
Sanata Dharma; Ibu M.B. Rohaniwati, Mas Y. Gandung Widyantoro, Pak Gi,
Mas P. Mujiono dan Mas AG. Doni Indarto, terimakasih atas pelayanan,
bantuan dan keramahan yang diberikan.
8) Segenap Dosen pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma,
terima kasih atas ilmu, pengalaman dan pembelajaran yang Bapak dan Ibu
berikan kepada penulis.
9) Pak Wawan selaku Kepala Sekolah SLB B Karnnamanohara yang telah
memberikan ijin kepada penulis untuk melakukan penelitian disana.
10) Bu Ambar dan Bu Milah selaku Walikelas Dasar 4 dan Dasar 3 yang telah
mengjijnkan penulis untuk berdinamika di dalam kelas dan memberikan
informasi tentang responden.
11) Ketiga responden beserta orangtua responden yang sangat terbuka dan
memberikan ijin kepada penulis untuk mengamati responden di lingkungan
rumah serta memberikan informasi yang dibutuhkan oleh penulis.
12) Pak Adi, Pak Toni, Mbak Thia, dan staff P2TKP lainnya yang sudah
membagikan pengalaman selama saya berdinamika di P2TKP.
13) Teman-teman seperjuangan di P2TKP, Pudar, Stanis, Cia, Tiara, Dimas,
Jejes, Lenny, Estu, Pipit, Sasha, Grace, Yovino, Bibin, Christy, Wuri, Fiona,
Ester, yang selalu memberikan dukungan serta tempat berkeluh kesah selama
xi
14) Teman-teman seperjuangan “masih Remaja menuju S.Psi”, Vania, Ria, dan
Acil yang selalu menemani makan siang, memberi dukungan, dan membantu
segala kesulitan selama penulis menyelesaikan skripsi.
15) Tim “Babi” yang selalu memberikan hiburan dikala sepi, rindu celotehan
kalian di grup dan dukungan yang tiada henti.
16) My girls, Stefi, Maria, Gloria, Tya, Meme, sahabat seperjuangan sedari putih
abu-abu, sahabat yang mengerjakan skripsi bersamaan tapi selesainya
berbeda-beda. Terima kasih sudah memberikan warna dalam kehidupanku,
mengerjakan skripsi bersama, dan saling mendengarkan keluh kesah
masing-masing. Semangat girls!
17) Pasangan setia, Benedictus Alit Purwa Arintaka, terima kasih sudah menjadi
pendengar atas keluh kesah, terima kasih sudah meluangkan waktu untuk
membantu dalam proses penyelesaian skripsi, terima kasih untuk penemanan
yang kamu berikan selama aku menyelesaikan tugas akhir. Love.
Akhir kata, penulis menyadari bahwa penelitian jauh dari kesempurnaan.
Oleh sebab itu, penulis terbuka akan saran dan kritik yang diberikan demi
kesempurnaan penelitian ini.
Yogyakarta, 16 Desember 2016
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v
ABSTRAK ... vi
ABSTRACT ... vii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM ... viii
KATA PENGANTAR ... ix
2. Komponen Interaksi Sosial pada Anak Tunarungu ... 10
3. Bentuk-bentuk Interaksi Sosial pada Anak Tunarungu ... 16
4. Tahap-tahap Interaksi Sosial pada Anak Tunarungu ... 17
5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Interaksi Sosial pada Anak Tunarungu 18 B. Ketunarunguan ... 20
1. Definisi ... 20
2. Klasifikasi Ketunarunguan ... 21
3. Karakteristik Anak Tunarungu ... 25
xiii
5. Dampak Ketunarunguan ... 26
C. Perkembangan Anak Tunarungu ... 27
1. Perkembangan Fisik ... 28
2. Perkembangan Motorik ... 28
3. Perkembangan Kognitif ... 31
4. Perkembangan Bahasa ... 33
5. Perkembangan Sosio-emosi ... 35
D. Kerangka Konseptual... 37
BAB III ... 39
METODOLOGI PENELITIAN ... 39
A. Jenis dan Desain Penelitian ... 39
B. Responden Penelitian... 40
C. Fokus Penelitian... 41
D. Metode Pengumpulan Data... 41
E. Proses Pengambilan Data ... 45
F. Metode Analisis Data ... 45
G. Verifikasi Penelitian ... 48
1. Validitas ... 48
2. Reliabilitas ... 48
BAB IV ... 49
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 49
A. Responden Penelitian... 49
1. Responden 1 (R1) ... 49
2. Responden 2 (R2) ... 49
3. Responden 3 (R3) ... 50
B. Pelaksanaan Penelitian... 51
C. Hasil Penelitian ... 53
2. Komunikasi Nonlinguistik ... 91
3. Komunikasi Linguistik... 94
4. Anak Tunarungu VS „Orang Dengar‟ ... 95
5. Bentuk Interaksi Sosial Kompleks VS Penolakan Interaksi Sosial ... 96
BAB V ... 100
xiv
A. Kesimpulan ... 100
B. Keterbatasan Penelitian ... 101
C. Saran ... 101
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Kategori Tingkat Pendengaran... 21
Tabel 2 Data Umum Responden ... 41
Tabel 3 Daftar Susunan Perilaku... 43
Tabel 4 Definisi Koding Komunikasi Nonlinguistik ... 47
Tabel 5 Hasil Penelitian Antara Anak Tunarungu dengan Sesama Anak Tunarungu dan Anak Tunarungu dengan „Anak Dengar‟ ... 73
Tabel 6 Hasil Penelitian Antara Anak Tunarungu dengan „Anak Dengar‟ ... 82
1
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
World Health Organization (WHO) mengatakan bahwa 80%
penyandang disabilitas berada di negara-negara berkembang tidak terkecuali
Indonesia. Sepertiga dari 80% jumlah penyandang disabilitas merupakan
anak-anak. Data WHO tahun 2003 menunjukkan bahwa jumlah anak penyandang
disabilitas di Indonesia ada 7-10% dari jumlah populasi di Indonesia atau
sekitar 295.250 jiwa. Berdasarkan Pusat Data dan Informasi Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia (2014) disabilitas pendengaran menempati
posisi ketiga setelah disabilitas lebih dari satu jenis (disabilitas ganda) dan
disabilitas penglihatan. Jumlah prosentase untuk disabilitas adalah 7,87% dari
total disabilitas yang ada di Indonesia (www.depkes.go.id).
Data sensus penduduk tahun 2010 yang diolah oleh Badan Pusat
Statistik (BPS) terdapat 53.180 jiwa yang menyandang disabilitas pendengaran
ringan dan 9.866 jiwa yang menyandang disabilitas pendengaran parah di
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (dalam Infodatin Kementrian Kesehatan
2014). Hasil presentase tersebut menunjukkan bahwa tidak sedikit orang yang
mengalami disabilitas pendengaran (www.depkes.go.id).
Anak-anak yang menyandang disabilitas pendengaran disebut dengan
anak tunarungu. Anak tunarungu merupakan anak-anak yang mengalami
2007). Sedangkan, untuk anak-anak yang tidak mengalami disabilitas pendengaran akan disebut sebagai „anak dengar‟. Disfungsi pendengaran yang
dialami oleh anak tunarungu memiliki beberapa dampak, misalnya anak
tunarungu mengalami kesulitan memproduksi bahasa dan mengalami
keterlambatan dalam meniti fase perkembangan. (Arifin, 2015).
Kesulitan anak tunarungu dalam mendengar dan memproduksi bahasa
menyebabkan mereka mengalami hambatan dalam perkembangan bahasa.
Marschark dan Spencer (2003) mengatakan bahwa anak tunarungu mengalami keterlambatan berbicara jika dibandingkan dengan „anak dengar‟ pada
umumnya. Selain itu, anak tunarungu memerlukan waktu yang lebih lama untuk belajar sesuatu dibandingkan dengan „anak dengar‟. Misalnya, seorang
„anak dengar‟ mampu untuk membuat frasa bermakna pada usia 5 tahun
sedangkan anak tunarungu belum tentu menguasai hal tersebut di usia yang sama (Liben, 1978). „Anak dengar‟ mampu menguasai kosakata yang lebih
banyak karena mereka memiliki pendengaran yang baik sehingga mampu
untuk menangkap hal tersebut dan tersimpan di memori.
Disfungsi pendengaran juga membuat anak tunarungu mengalami
keterlambatan dalam perkembangan sosio-emosi. Mereka mengalami kesulitan
untuk memahami perasaan dan pikiran orang lain (Brown dan Remine, Prescot,
dan Rickards, 2000) sehingga mereka lebih sering menghasilkan emosi negatif.
Emosi negatif inilah yang membuat mereka mengalami kesulitan untuk
berinteraksi dengan sebaya. Mereka cukup sulit untuk diterima dan dipahami
Kesulitan berinteraksi dengan sebaya juga merupakan hambatan dalam
perkembangan sosio-emosi. Menurut Hartup dalam (Most, Ingber, dan
Heled-Ariam, 2011) kapabilitas seseorang untuk berelasi dalam lingkungan sosial
akan berkembang pada masa anak-anak. Berelasi dalam lingkungan sosial akan
tampak ketika anak-anak sedang bermain. Yuhan (2013) mengatakan bahwa
bermain dengan teman sebaya memiliki peran penting dalam kualitas
pertemanan di masa depan. Hal ini juga yang menjadi penentu keberhasilan
seorang anak untuk mempertahankan relasinya dengan teman sebayanya
(Martin, Bat-Chava, Lalwani, dan Waltzman, 2010).
Berelasi dalam lingkungan sosial dan bermain akan membangun
interaksi sosial. Interaksi sosial merupakan suatu proses yang dialami oleh
semua manusia tidak terkecuali antar-anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Proses interaksi ini terjadi antara dua orang atau lebih
yang melibatkan komunikasi dan kontak sosial (Soekanto, 2006). Interaksi
sosial pada anak tunarungu juga merujuk pada adanya komunikasi linguistik
dan nonlinguistik serta permainan sosial (Yuhan, Potmesil, dan Peters, 2013).
Anak tunarungu cenderung untuk membangun interaksi sosial dengan
sesama anak tunarungu karena mereka memiliki tingkat pendengaran yang
kurang lebih sama (Yuhan, 2013). Selain itu, komunikasi yang terjadi antara anak tunarungu dengan „anak dengar‟ terjadi lebih sedikit dibandingkan
dengan antar-anak tunarungu. Hal ini tampak pada penelitian sebelumnya yang
menemukan bahwa anak tunarungu seringkali ditolak oleh „anak dengar‟ ketika
antara anak tunarungu dengan „anak dengar‟ juga mengalami kekurangan
konten linguistik dan berakhir dengan cepat (Yuhan, Potmesil, dan Peters,
2013).
Berdasarkan pengalaman peneliti, anak tunarungu yang menempuh
pendidikan di sekolah inklusi lebih sering menghabiskan waktu di sekolah
sendirian. Teman-teman yang mendengar cenderung untuk mengabaikan
kehadirannya. Di luar jam sekolah, anak tunarungu ini bisa berinteraksi dengan
cukup baik dengan sesama teman tunarungu dan bergabung dalam suatu
komunitas. Mereka bisa bercerita suatu hal dengan bahasa mereka sendiri. Hal
ini membuktikan bahwa anak tunarungu merasa lebih nyaman untuk
berinteraksi dengan sesama tunarungu dibandingkan dengan „anak dengar‟
(Bat-Chava dan Deignan, 2001).
Anak tunarungu juga cenderung meminta klarifikasi terutama tentang informasi baru dibandingkan dengan „anak dengar‟ (Yuhan, Potmesil, dan
Peters, 2013). Anak tunarungu juga memberikan sentuhan netral ketika mengajak „anak dengar‟ berinteraksi sedangkan ketika dengan sesama anak
tunarungu mereka memutar kepala temannya agar melihat dirinya ketika
mengajak berinteraksi. Terkadang, anak tunarungu langsung bergabung dalam
permainan ketika sedang bersama sesama anak tunarungu lainnya (Yuhan,
Potmesil, dan Peters, 2013).
Kontak sosial seperti sentuhan fisik bisa terjadi di antara sesama anak tunarungu dan „anak dengar‟ akan tetapi hal ini belum tentu berlaku sama pada
penyampaian ide atau perasaan. Hal ini yang terkadang tidak tersampaikan oleh anak tunarungu dan „anak dengar‟. Sesama anak tunarungu mampu untuk
berkomunikasi satu sama lain sehingga mereka paham pesan yang disampaikan tetapi hal ini berbeda dengan komunikasi antara anak tunarungu dan „anak
dengar‟. Terkadang mereka mencoba untuk berkomunikasi tetapi pesan atau
maksud tidak tersampaikan karena anak tunarungu sulit untuk menerima
stimulus berupa audio. Hal ini didukung oleh Gregory, Knight, McCracken,
Powers, dan Watson (1998) yang mengatakan bahwa anak tunarungu
cenderung untuk menggunakan komunikasi non linguistik ketika berinteraksi baik dengan sesama tunarungu atau dengan „anak dengar‟.
Bentuk komunikasi dan kontak sosial anak tunarungu yang berbeda
membuat anak tunarungu sering mengalami penolakan dari „anak dengar‟
(Yuhan, 2013). Penolakan yang dialami anak tunarungu membuat mereka
kesulitan membangun interaksi sosial sehingga mereka tidak memiliki banyak
teman (Bat-Chava dan Deignan, 2001). Mereka tidak memiliki banyak teman dari kalangan „anak dengar‟ karena cara berinteraksi yang berbeda. Beberapa
„anak dengar‟ juga merasa kurang nyaman dengan keterbatasan yang dialami
oleh anak tunarungu sehingga memilih untuk mengacuhkan mereka.
Kegagalan anak tunarungu dalam interaksi sosial memiliki andil yang
cukup besar untuk kehidupan jangka panjang mereka. Mereka yang mengalami
penolakan saat berinteraksi dengan teman sebayanya akan merasa kesepian
seorang anak tunarungu akan terus berinteraksi atau menghindari suatu
interaksi.
Bentuk interaksi sosial yang berbeda antar-anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟ membuat peneliti ingin menggambarkan
bagaimana interaksi sosial antar-anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Hal ini disebabkan penelitian sebelumnya meneliti tentang
interaksi sosial pada anak tunarungu yang menggunakan alat bantu dengar
(Bat-Chava Deignan, 2001; Martin et al, 2010; Boyd et al, 2000; Punch &
Hyde, 2011 dalam Yuhan, Potmesil, dand Peters tahun 2013) dan gambaran
tentang interaksi sosial mereka pun belum banyak diteliti. Selain itu, Yuhan,
dkk (2013) memaparkan pula bahwa penelitian antara komunikasi dan permulaan interaksi dilakukan secara terpisah pada anak tunarungu dan „anak
dengar‟.
Ada pula penelitian yang meneliti interaksi sosial anak tunarungu pada
usia sekolah sehingga rentang usia responden 2 tahun – 10 tahun (Weisel et al,
2005; Preisler et al, 2002; Bat-Chava & Deignan, 2001 dalam Yuhan, Potmesil,
dand Peters tahun 2013). Berdasarkan hal tersebut, peneliti membatasi rentang
usia responden dalam penelitian ini 6 tahun – 12 tahun. Responden di sini
adalah anak tunarungu yang tidak menggunakan alat bantu dengar. Mereka
juga berinteraksi baik dengan anak tunarungu maupun dengan „anak dengar‟.
Pengambilan data pada penelitian sebelumnya menggunakan berbagai
macam metode, seperti observasi, kuesioner, dan eksperimen (Yuhan,
dengan usia pra sekolah dan pengambilan data responden usia sekolah
menggunakan kuesioner dan eksperimen (Yuhan, dkk, 2013). Metode
pengambilan data dalam penelitian ini akan menggunakan observasi untuk
melihat interaksi sosial antar-anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Alasannya adalah untuk menggambarkan interaksi antar-anak
tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟ diperlukan pengamatan
secara langsung pada lingkungan yang sesungguhnya.
Harapan peneliti dengan adanya penelitian ini hasil yang ditemukan
merupakan perilaku-perilaku interaksi sosial antar-anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Berdasarkan hal tersebut, maka gambaran
perilaku anak tunarungu ketika berinteraksi dengan sesamanya dan „anak
dengar‟ dapat terlihat jelas bagaimanakah perilaku yang muncul selama
interaksi berlangsung.
B.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah:
Bagaimanakah interaksi sosial antar-antar-anakanak tunarungu dan anak
C.Tujuan Penelitian
Berdasarkan masalah tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk
menggambarkan bagaimana interaksi sosial antar-anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟.
D.Manfaat Penelitan 1. Secara Teoretis
Memberikan sumbangan pengetahuan dalam ranah psikologi
perkembangan dan psikologi sosial tentang interaksi sosial antar-anak
tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟.
2. Secara Praktis
Penelitian ini memberikan informasi interaksi sosial bagi orangtua
dan guru agar memahami interaksi sosial antar-anak tunarungu dan anak tunarungu dengan „anak dengar‟. Selain memberikan informasi, diharapkan
orangtua dan guru bisa memberikan dukungan kepada anak tunarungu untuk berinteraksi dengan „anak dengar‟ agar anak tunarungu dapat menjalin relasi
dan mempertahan relasi dengan „anak dengar‟ di masa depan sehingga
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.Interaksi Sosial
Berinteraksi dengan teman sebaya memiliki fungsi krusial terhadap
perkembangan kehidupan sosial individu terutama anak-anak. Salah satu
bentuk sosialisasi adalah interaksi sosial. Interaksi sosial bisa terjadi dengan
siapa saja dan di mana saja.
Interaksi sosial pertama kali terjadi pada masa kanak-kanak. Pentingnya
interaksi sosial pada masa ini adalah membantu anak untuk belajar memahami
perspektif orang lain terhadap realita yang ada. Hal penting lainnya adalah
seorang anak belajar untuk bernegosiasi dan belajar mengenai manajemen
konflik.
1. Definisi
Secara umum definisi interaksi sosial dikemukakan oleh Soekanto
(2006) dalam sudut pandang sosiologi, yaitu interaksi sosial merupakan
suatu hubungan sosial yang dinamis, menyangkut hubungan antara individu,
antara kelompok maupun antara individu dengan kelompok. Beberapa ahli
dalam psikologi sosial melihat interaksi sosial sebagai suatu kebutuhan
individu di mana salah satu individu mempengaruhi, mengubah atau
memperbaiki perilaku individu lainnya, adanya aksi dan reaksi antarindividu
(Arifin, 2015; Ahmadi, 1991; Walgito, 2003; Cerulo, 2009; Reber&Reber,
Definisi interaksi sosial di atas merupakan definisi bagi orang-orang
yang tidak mengalami disabilitas. Sedangkan interaksi sosial pada anak
tunarungu merupakan sebuah hubungan yang melibatkan pertukaran sosial,
komunikasi linguistik, komunikasi nonlinguistik, dan permainan sosial
(Yuhan, Potmesil, dan Peters, 2013).
Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas dapat disimpulkan
bahwa interaksi sosial pada anak tunarungu dalam penelitian ini adalah
hubungan antar individu baik perorangan atau kelompok yang dinamis dan
saling mempengaruhi satu sama lain sehingga tercipta tindakan (aksi) dan
respon (reaksi) dalam proses kehidupan yang melibatkan komunikasi
linguistik, komunikasi nonlinguistik, dan permainan sosial.
Interaksi sosial tidak dapat terjadi jika hanya ada satu orang.
Interaksi sosial membutuhkan dua orang atau lebih untuk saling
berdinamika dan menciptakan interaksi. Keterlibatan individu dalam
interaksi sosial tidak hanya perorangan tetapi juga bisa antar kelompok
maupun individu dengan kelompok. Sebuah interaksi sosial dapat terwujud
apabila masing-masing pihak memiliki sebuah tujuan yang dapat dicapai
bersama-sama melalui kontak sosial dan komunikasi sebagai syarat interaksi
sosial (Loomis dalam Arifin, 2015).
2. Komponen Interaksi Sosial pada Anak Tunarungu
Soekanto (2006) mengemukakan bahwa suatu interaksi sosial baru
ditetapkan sebagai syarat terjadinya interaksi sosial. Apabila hanya terjadi
kontak sosial tanpa ada komunikasi maka kontak sosial tidak berarti
apa-apa. Berikut penjelasan tentang kontak sosial dan komunikasi:
a. Kontak Sosial
Kontak sosial merupakan tahap pertama terjadinya interaksi
sosial. Menurut Arifin (2015) kontak sosial merupakan hubungan antara
individu atau kelompok yang di dalamnya terdapat pemahaman tentang
tujuan masing-masing. Menurut Soekanto (2013) kontak sosial terjadi
apabila terdapat suatu tindakan dari satu orang dan ditanggapi oleh orang
yang lainnya. Selain itu, kontak sosial terjadi apabila salah satu individu
menyadari keberadaan individu lain. Berdasarkan paparan pendapat ahli
di atas dapat disimpulkan bahwa kontak sosial adalah hubungan antara
individu atau kelompok yang melibatkan kesadaran akan keberadaan
individu lainnya.
Menurut Soekanto (2013) kontak sosial memiliki dua sifat, yaitu
Kontak sosial primer (langsung) dan kontak sosial sekunder (tidak
langsung). Kontak sosial primer merupakan suatu hubungan antar
individu yang saling bertatap muka secara visual dan memiliki emosi
tertentu dalam pergaulan. Misalnya, berjabat tangan, saling senyum, dan
kontak mata.
Sebaliknya, kontak sosial sekunder (tidak langsung) merupakan
kontak sosial yang membutuhkan pihak perantara di antara individu dan
membantu 2 atau lebih individu. Misalnya berbicara jarak jauh dengan
menggunakan telepon. Selain itu, perantara juga bisa individu itu sendiri.
Misalnya Individu A menceritakan perilaku individu B kepada individu
C. Hal ini memunculkan kontak antara individu A dan B dengan
informasi yang diberikan oleh individu C (Soekanto, 2006).
Berdasarkan pemaparan di atas, definisi kontak sosial dalam
penelitian ini adalah hubungan antara individu atau kelompok yang
menyadari keberadaan orang lain, bertemu secara visual, dan melibatkan
emosi tertentu sehingga ada tindakan yang ditanggapi oleh orang lain.
Definisi ini disimpulkan berdasarkan definisi kontak sosial secara umum
dan definisi kontak sosial primer karena hal tersebut yang akan
dideskripsikan dalam penelitian ini.
b. Komunikasi
Komunikasi merupakan suatu proses penyampaian pesan antar
individu yang melibatkan bahasa lugas, gerak tubuh, sikap, dan perasaan
tertentu (Arifin, 2015).
Menurut Walgito (2003) komunikasi merupakan proses
penyampaian dan penerimaan lambang-lambang yang mengandung arti
(informasi, pemikiran, pengetahuan, dll) yang disampaikan oleh pengirim
pesan kepada penerima pesan.
Berdasarkan pendapat ahli atas dapat disimpulkan bahwa
komunikasi merupakan proses penyampaian pesan berupa informasi, ide,
Menurut Marschark dan Spencer (2003) ada dua jenis komunikasi
yang digunakan oleh anak-anak tunarungu, yaitu:
1) Komunikasi Nonlinguistik
Komunikasi nonlinguistik merupakan komunikasi yang tidak
melibatkan oral. Komunikasi jenis ini banyak menggunakan ekspresi
wajah, gestur tubuh, dan aktivitas fisik. Hal ini sangat lazim
ditemukan pada anak-anak yang memiliki keterbatasan pendengaran.
Pendapat ini juga diperkuat oleh Macionis (2012) bahwa
komunikasi nonlinguistik (nonverbal) merupakan komunikasi yang
menggunakan gerak tubuh (body movement), gestur, dan ekspresi
wajah. Hal ini lebih banyak muncul dibandingan dengan kata-kata
atau ucapan.
Menurut Berkowitz (1980) komunikasi nonlinguistik akan
tampak pada perilaku nonverbal dan ekspresi wajah. Ekman dan
Friesen (dalam Berkowitz, 1980) mendeskripsikan 5 macam perilaku
nonverbal. Perilaku tersebut adalah emblems, illustrators, affects,
regulators, dan adapters.
Pertama adalah emblems. Emblems merupakan suatu gerakan
yang digunakan sebagai pengganti kata atau kalimat. Contohnya,
melambaikan tangan untuk memanggil. Kedua, illustrators
merupakan pelengkap pernyataan verbal. Hal ini biasanya tampak
pada seseorang yang sedang memberikan petunjuk arah sambil
Affects mengekspresikan sebagian emosi yang sedang dirasakan
seseorang, seperti marah, senang, dan sedih. Biasanya, afek akan
muncul pada ekspresi wajah seseorang akan tetapi Ekman dan
Friesen (dalam Berkowitz, 1980) mengatakan bahwa afek juga dapat
tampak pada gerakan tubuh seseorang.
Keempat, regulators merupakan suatu sinyal yang dapat
muncul dalam sebuah interaksi. Regulator biasa digunakan untuk
melengkapi pernyataan, mengklarifikasi penyataan, dan sebagainya.
Contoh regulator adalah anggukan kepala, kontak mata, dan
perubahan postural. Kelima, adapters merupakan salah satu perilaku
yang membantu dalam manajemen interaksi atau mengekspresikan
perasaan. Hal ini bisa berbeda pada setiap orang. Misalnya, perasaan
cemas yang tampak dengan menggerakan kaki atau tangan.
Selanjutnya adalah ekspresi wajah. Ekspresi wajah
merupakan perubahan raut muka sesuai dengan emosi yang muncul
dalam diri seseorang (Berkowitz, 1980). Ekspresi wajah seseorang
tidak terlepas dari latar belakang lingkungannya dan sangat mudah
dikenali apabila kita mengenal baik seseorang. Ekman (2010)
menjelaskan bahwa manusia memiliki 5 emosi dasar, yaitu marah,
sedih, senang, takut, dan jijik.
Emosi yang pertama adalah marah. Marah merupakan
ekspresi wajah beringas yang siap menyerang. Ciri-ciri ekspresi
apabila berkontraksi akan menurunkan dan menautkan alis,
mengencangkan otot yang membuat kelompak mata tertarik naik,
dan menyempitkan bibir dengan cara mengencangkan otot bibir.
Kedua, sedih. Ekspresi sedih memiliki ciri-ciri seperti
kelopak mata yang terkulai atau layu, alis yang terangkat, dan sudut
bibir yang ditarik ke bawah. Ketiga adalah perasaan senang. Ciri-ciri
ekspresi senang tampak pada kedua pipi yang terangkat lebih tinggi,
kontur pipi berubah, dan alis yang sedikit menurun. Selain itu,
ekspresi senang juga dapat diperlihatkan dengan senyuman lebar
yang mendorong pipi ke atas sampai membentuk kerutan.
Keempat, ekspresi jijik pada wajah akan tampak pada bibir
atas yang dinaikkan setinggi mungkin, bibir bawah dinaikkan dan
sedikit dicibirkan. Selain itu, kerutan meluas mulai dari atas
cupingnya mengarah ke bawah sampai di belakang sudut bibirnya.
Kemudian, sayap-sayap cuping hidungynya naik, kerutan muncul
pada kedua isi dan jembatan hidungnya. Kenaikan pipi dan
penurunan alis membentuk kerutan kaki gagak.
Terakhir adalah takut. Ciri-ciri wajah untuk ekspresi takut
adalah kelopak mata yang naik, bibir yang kencang dan horizontal
mengarah ke belakang, rahang terbuka sedikit, dan alis yang naik.
Berdasarkan penjabaran di atas dapat disimpulkan bahwa
komunikasi nonlinguistik merupakan komunikasi tanpa suara yang
2) Komunikasi Linguistik
Komunikasi linguistik merupakan kebalikan dari komunikasi
nonlinguistik. Komunikasi jenis ini menggunakan bahasa oral atau
bahasa bibir. Komunikasi linguistik adalah komunikasi yang terjadi
ketika salah satu individu berbicara menggunakan mulut mereka dan
menggunakan bahasa yang dipahami.
Kontak sosial dan komunikasi merupakan dua aspek atau komponen
yang harus ada untuk membentuk interaksi sosial. Jika yang terjadi hanya
kontak sosial maka hal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai interaksi
sosial. Kontak sosial harus berjalan beriringan bersama dengan komunikasi.
Komunikasi terjadi apabila satu sama lain mampu memahami maksud
masing-masing sehingga pesan, emosi, dan perasaan dapat tersampaikan
(Soekanto, 2013).
Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini akan mendeskripsikan
interaksi sosial anak tunarungu dengan sesama anak tunarungu dan anak
tunarungu dengan „anak dengar‟ melalui perilaku kontak sosial dan
komunikasi mereka, baik secara nonlinguistik maupun linguistik.
3. Bentuk-bentuk Interaksi Sosial pada Anak Tunarungu
Interaksi sosial memiliki beberapa bentuk. Menurut Arifin (2015)
ada empat bentuk pokok interaksi sosial. Bentuk-bentuk tersebut dapat
dijabarkan sebagai berikut:
Hal ini merupakan suatu bentuk interaksi sosial di mana
seseorang dan beberapa orang lain memiliki suatu tujuan yang ingin
dicapai bersama sehingga mereka berusaha untuk memahami satu sama
lain.
b. Persaingan
Persaingan merupakan salah satu proses interaksi sosial yang
pasti terjadi. Persaingan adalah suatu proses di mana individu merasa
bahwa ada orang lain yang menjadi akan menjadi penghambat dalam
mencapai suatu tujuan.
c. Pertentangan (Konflik)
Sebuah konflik akan terjadi apabila terdapat suatu perbedaan
antara individu dengan individu lainnya atau dengan kelompok.
Perbedaan ini bisa bermacam-macam bentuknya, seperti pendapat atau
pandangan terhadap suatu hal.
d. Akomodasi
Akomodasi merupakan salah satu cara yang digunakan untuk
menyelesaikan suatu konflik tanpa harus menghancurkan pihak lawan.
Hal ini merupakan penyeimbang yang baik dari beberapa bentuk
interaksi sosial yang menimbulkan konflik tertentu antar individu.
4. Tahap-tahap Interaksi Sosial pada Anak Tunarungu
Ada 2 tahapan yang dialami oleh anak tunarungu ketika berinteraksi
dengan sesamanya. Menurut Yuhan (2013), tahapan-tahapan tersebut
a. Inisiasi interaksi sebaya
Inisiasi merupakan tahap awal anak tunarungu dalam membangun
sebuah interaksi. Anak tunarungu berusaha untuk mengamati lingkungan
sekitarnya terlebih dahulu. Mereka mempelajari bagaimana orang lain
saling berinteraksi satu sama lain. Pengamatan yang mereka lakukan juga
membuat mereka melihat kesempatan untuk bergabung dalam sebuah
interaksi sosial. Adanya sebuah kesempatan inilah yang akan membuat
anak tunarungu akan memulai interaksi sosial mereka dengan cara
berkomunikasi. Komunikasi yang mereka gunakan biasanya bahasa
non-verbal atau gestur tubuh.
b. Memantau Interaksi Sebaya
Tahap kedua ini merupakan cara seorang anak tunarungu
mempertahankan sebuah interaksi yang sudah terjadi. Anak tunarungu
mengalami kesulitan untuk mempertahankan sebuah interaksi sosial
dalam jangka panjang. Hal ini disebabkan dengan banyaknya
faktor-faktor yang menghambat anak tunarungu dalam berinteraksi.
5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Interaksi Sosial pada Anak Tunarungu
Menurut Yuhan (2013) ada beberapa faktor yang mempengaruhi
a. Bahasa dan kemampuan berbicara
Seorang anak tunarungu memiliki keterlambatan dalam
perkembangan berbicara. Mereka membutuhkan waktu yang lebih lama
untuk mengucapkan suatu kata sehingga mereka memiliki masalah
dengan interaksi sosial mereka. Kemampuan berbahasa mereka juga
dijadikan sebagai indikator perkembangan kognitif dan sosio-emosi
mereka.
b. Familiaritas dan tingkat pendengaran yang sama dengan tema sebaya
Anak-anak tunarungu lebih nyaman untk berinteraksi dengan
sebayanya yang memiliki tingkat pendengaran yang sama. Hal ini
membuat mereka lebih mudah dalam berkomunikasi karena mereka
memahami hal yang sama. Setiap anak tunarungu memiliki strategi
masing-masing untuk berinteraksi dengan teman sebanyanya.
Salah satu kunci mereka untuk berinteraksi adalah kesamaan
pemahaman akan suatu hal. Mereka akan lebih mudah membangun
sebuah interaksi dengan anak yang mendengar apabila mereka memiliki
pemahaman yang sama dengan anak yang mendengar. Hal in juga terjadi sebaliknya pada „anak dengar‟.
c. Model komunikasi
Ada dua model komunikasi yang biasa dimiliki oleh anak
tunarungu. Model yang pertama adalah komunikasi oral. Komunikasi ini
model yang paling mudah untuk dipahami. Mereka terbiasa untuk
membaca gerak bibir lawan bicaranya atau mereka berusaha untuk bisa
mengucapkan kata-kata dengan pelafalan yang jelas. Model komunikasi
yang kedua adalah komunikasi menggunakan bahasa isyarat. Beberapa
anak tunarungu mampu untuk berkomunikasi dengan bahasa ini tapi
tidak banyak. Biasanya, anak-anak yang mampu berkomunikasi dengan
bahasa isyarat sudah terlatih sejak kecil di mana orangtua mereka juga
belajar bahasa isyarat. Akan tetapi, komunikasi menggunakan bahasa
isyarat sangat sulit untuk mereka berinteraksi sosial dengan teman
sebanyanya yang mendengar. Hal ini disebabkan dengan anak-anak yang
mendengar tidak memahami bahasa isyarat mereka.
B.Ketunarunguan 1. Definisi
Menurut Arifin (2015) anak tunarungu adalah seorang anak yang
mengalami kerusakan pada satu atau lebih pada organ telinga luar, organ
telinga bagian tengah, dan organ telinga bagian dalam sehingga organ
tersebut tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik.
Pengertian tersebut juga didukung oleh Effendi (2006) yang
mengatakan bahwa seorang anak dikatakan tunarungu apabila mengalami
kerusakan pada organ telinga. Kerusakan organ ini bisa karena sebuah
Menurut Somantri (2007) tunarungu merupakan suatu keadaan di
mana seorang anak kehilangan sebagian atau seluruhnya yang menyebabkan
pendengarannya tidak memiliki nilai fungsional di dalam kehidupan
sehari-hari.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa
ketunarunguan adalah suatu kerusakan pada organ pendengaran seseorang
yang menyebabkan mereka kehilangan nilai fungsional pendengaran dalam
kehidupan sehari-hari. Gangguan pendengaran ini bisa disebabkan karena
kecelakaan atau bawaan atau tidak diketahui sebabnya.
2. Klasifikasi Ketunarunguan
a. Berdasarkan Satuan Bunyi Desibel (dB)
Berdasarkan kriteria International Standard Organization (ISO)
(dalam Arifin, 2015) klasifikasi gangguan pendengaran pada anak
tunarungu dapat dibedakan menjadi 6 kategori. Penjabaran kategori
tingkat pendengaran dan intensitas bunyi dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1
Intensitas Bunyi (dB) Tingkat Pendengaran
0-20 dB Normal
20-30 dB Slight Losses
30-40 dB Mild Losses
40-60 dB Moderate Losses
60-75 dB Severe Losses
Anak-anak tunarungu yang masuk dalam kategori slight losses
adalah anak-anak yang mengalami gangguan pendengaran ringan.
Mereka tidak mengalami kesulitan berbicara karena masih berada pada
batas normal pendengaran. Mereka juga mampu belajar bicara
menggunakan kemampuan pendengarannya dan butuh perhatian khusus
terhadap perbendaharaan kata agar perkembangan bahasa tidak
terhambat. Anak-anak tunarungu dalam kategori ini juga masih dapat
mendengar menggunakan alat bantu dengar.
Ciri khas anak-anak tunarungu dalam kategori mild losses adalah
mengerti pembicaraan dalam jarak dekat dan tidak kesulitan untuk
mengekspresikan isi hatinya. Mereka mengalami kesulitan untuk
menangkap percakapan yang lemah sehinga sulit untuk menangkap isi
pesan lawan bicaranya. Mereka juga akan semakin kesulitan menangkap
isi pesan apabila tidak berbicara berhadapan. Anak-anak tunarungu
kategori ini masih dapat mendengar dengan alat bantu dengar dan masih
membutuhkan bimbingan intensif untuk menghindari kesulitan berbicara.
Anak-anak tunarungu dalam kategori moderate losses dapat
mengerti percakapan apabila dilakukan dengan volume yang keras dan
dalam jarak dekat (1 meter) sehingga mereka sering salah tangkap atau
salah paham terhadap lawan bicaranya. Ciri lainnya adalah
perbendaharaan kata mereka yang terbatas, adanya ketidakjelasan dalam
berbicara, dan kesulitan menggunakan bahasa dengan benar dalam
Ciri-ciri anak tunarungu dalam kategori severe losses adalah
mereka mengalami kesulitan untuk membedakan suara, tidak memiliki
kesadaran bahwa benda-benda di sekitarnya memiliki getaran suara, dan
membutuhkan pelayanan khusus untuk belajar bicara dan berbahasa.
Profoundly losses merupakan tingkat pendengaran yang paling
parah sehingga anak tunarungu hanya dapat mendengar dengan suara
keras dalam jarak 2,54 cm. Selain itu, mereka juga tidak menyadari
bunyi-bunyian di sekitarnya. Mereka juga tidak mampu menangkap
pesan walaupun menggunakan pengeras suara sehingga mereka
membutuhkan banyak latihan khusus agar bisa berkomunikasi.
b. Berdasarkan Letak Kerusakan Organ Pendengaran
Kategori anak tunarungu berdasarkan letak kerusakan organ
pendengaran dibagi menjadi 3 jenis, yaitu tunarungu konduktif,
tunarungu perseptif, dan tunarungu campuran. Tunarungu konduktif
merupakan kondisi anak-anak yang mengalami kerusakan pada liang
telinga, selaput gendang, dinding-dinding labirin, dan tiga tulang
pendengaran (malleus, incus, dan stapes). Bagian-bagian tersebut
memiliki fungsi untuk menghantarkan suara sehingga seseorang bisa
mendengar.
Lalu, tunarungu perseptif merupakan gangguan pendengaran
yang terjadi karena rusaknya organ-organ pendengaran yang terdapat
serabut saraf pendengaran, dan corti yang mengubah rangsang mekanis
menjadi elektris tidak diteruskan ke otak.
Sedangkan tunarungu campuran adalah suatu keadaan di mana
kerusakan organ terjadi pada organ telinga yang berfungsi sebagai
penghantar dan penerima rangsang.
c. Berdasarkan Waktu Terjadinya Ketunarunguan
Berdasarkan waktu terjadinya, ketunarunguan dibagi menjadi dua
jenis, yaitu tuli bawaan (Deafness Conginetal) dan tuli fungsional
(Deafness Functional). Tuli bawaan merupakan ketunarunguan yang
terjadi saat bayi dilahirkan. Hal ini disebabkan oleh hereditas atau faktor
lainnya yang terjadi selama ibu mengandung. Sedangkan tuli fungsional
merupakan hilangnya pendengaran seorang anak tetapi tidak ditemukan
adanya disfungsi organik.
d. Berdasarkan Terjadinya Tahap Perkembangan
Menurut Denmark (1994) anak tunarungu dibagi menjadi dua
jenis, yaitu preverbal deafness dan postlingual deafness. Preverbal
deafness adalah suatu kondisi ketunarunguan yang dialami seorang anak
sebelum mengenal bahasa dan masuk dalam tahap perkembangan bahasa.
Ketunarunguan ini sangat banyak dialami oleh anak-anak. Mereka
kehilangan kemampuan mendengar sejak lahir sehingga membuat
mereka kesulitan untuk berinteraksi. Ketunarunguan macam ini
merupakan hambatan yang sangat besar bagi anak-anak dalam
Sebaliknya, postlingual deafness merupakan ketunarunguan yang
dialami setelah seorang anak mengenal bahasa dan masuk dalam tahap
perkembangan bahasa. Hal ini terjadi karena adanya penurunan
kemampuan pendengaran yang dimiliki seseorang. Biasanya, hal ini
sangat jarang dialami oleh anak-anak.
3. Karakteristik Anak Tunarungu
Menurut Telford dan Sawrey (dalam Mangunsong, 1998) ada
beberapa karakteristik anak tunarungu. Kekhasan tersebut adalah anak
tunarungu kurang mampu untuk memusatkan perhatian. Kemudian, anak
tunarungu juga sering mengalami kegagalan respon ketika diajak berbicara.
Kegagalan respon tersebut juga bisa disebabkan oleh keterlambatan bicara
yang dialami oleh anak tunarungu. Keterlambatan bicara juga membuat
anak tunarungu mengalami kesalahan artikulasi dan mengalami
keterbelakangan di sekolah.
4. Penyebab Ketunarunguan
Sebagian besar ketunarunguan pada anak-anak terjadi sebelum
mereka mengenal bahasa. Hal ini menyebabkan mereka mengalami
hambatan dalam perkembangan bahasa. Adapun beberapa penyebab seorang
anak mengalami ketunarunguan, yaitu prenatal, neonatal, dan post natal.
Pertama, penyebab prenatal merupakan penyebab yang diperkirakan
ketunarunguan yang terjadi saat masa prenatal adalah hereditas atau
keturunan, maternal rubella, pemakaian antibiotika yang berlebihan, dan
Toxoemia. Kedua, penyebab neonatal merupakan penyebab yang muncul saat seorang bayi dilahirkan. Beberapa penyebabnya adalah kelahiran
premature, faktor resus, dan Tang Verlossing. Ketiga, penyebab
ketunarunguan yang terjadi setelah proses melahirkan (postnatal) adalah
meningitis cebralis, infeksi, dan otitis media kronis.
5. Dampak Ketunarunguan
Ketunarunguan tentu saja memberikan banyak dampak terhadap
penyandangnya. Dampak tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:
a. Secara Fisik
Menurut Arifin (2015) ada beberapa dampak yang dialami oleh
anak yang memiliki keterbatasan pendengaran, seperti kehilangan indera
pendengatan karena ada kerusakan pada organ tersebut dan kesulitan
menerima rangsang dalam bentuk audio. Selain itu, anak tunarungu
mengalami kesulitan memproduksi bahasa dan mengalami keterlambatan
dalam meniti fase-fase perkembangan.
b. Secara Sosial-Emosi
Menurut Efendi (2006) dan Van Uden (dalam Efendi, 2006)
beberapa dampak ketunarunguan dalam kehidupan sosial adalah anak
tunarungu lebih menampakkan sikap asosial. Anak tunarungu juga lebih
Lalu, anak tunarungu juga lebih egosentris dan lebih mudah marah serta
tersinggung. Anak tunarungu juga lebih bergantung pada orang lain dan
beberapa hal yang sudah dikenal sebelumnya. Selain itu, anak tunarungu
juga memiliki perasaan yang cenderung ekstrem tanpa banyak nuansa
dan memiliki perasaan takut akan hidup yang lebih besar.
c. Secara Bahasa
Dampak yang dialami oleh anak tunarungu secara bahasa tampak
pada kekurangan anak tunarunngu akan perbendaharaan kata. Anak
tunarungu juga mengalami kesulitan untuk mengartikan bahasa yang
mengandung arti kiasan atau sindiran sehingga mereka juga kesulitan
untuk mengartikan kata-kata abstrak seperti Tuhan. Anak tunarungu
mengalami kesulitan menguasai irama dan gaya bahasa sehingga mereka
juga menggunakkan struktur bahasa yang lebih berbeda.
C.Perkembangan Anak Tunarungu
Tahap perkembangan merupakan suatu fase yang pasti dialami oleh
setiap individu. Setiap individu mengalami hal yang sama hanya saja dalam
satu tahap atau fase individu membutuhkan waktu yang berbeda-beda, terutama
pada anak-anak berkebutuhan khusus. Tinjauan pustaka dalam penelitian ini
hanya akan menjelaskan tahap perkembangan masa anak-anak tengah menuju
akhir. Masa perkembangan ini mencakup anak yang berusia 6-12 tahun
1. Perkembangan Fisik
Perkembangan fisik merupakan tahap perkembangan yang terkait
dengan perubahan fisik seorang anak. Menurut Santrock (2009)
perkembangan fisik seorang anak dibagi menjadi:
a. Tubuh
Umumnya, seorang anak pada usia 6-12 tahun mengalami
perkembangan tinggi badan sebanyak 5-7,6 cm setiap tahunnya.
Perkembangan lainnya, yaitu berat badan. Berat badan anak-anak pada
masa ini bertambah 2,3-3,2 kg setiap tahunnya.
b. Otak
Volume otak anak-anak di masa ini sudah lebih stabil
dibandingkan dengan masa perkembangan sebelumnya. Perkembangan
otak juga menjadi lebih cepat terutama pada variasi struktur dan area
otak. Salah satu area otak yang berkembang adalah korteks prefrontal.
Perubahan signifikan yang terjadi pada area ini berkaitan dengan kontrol
kognitif. Kontrol kognitif inilah yang berperan untuk mengontrol
perhatian, mengurangi pikiran-pikiran yang mengganggu atau tercampur
aduk, menghambat gerakan motorik, dan fleksibel dalam menentukan
pilihan yang berlawanan(Munkata dalam Santrock, 2009).
2. Perkembangan Motorik
Perkembangan motorik anak-anak semakin berkembang yang
ditandai dengan semakin baiknya koordinasi gerak yang mereka lakukan.
halus. Motorik kasar lebih melibatkan otot-otot besar pada anak-anak
sehingga motorik kasar anak laki-laki lebih unggul daripada anak
perempuan (Santrock, 2009). Sebaliknya, perkembangan motorik halus anak
perempuan lebih unggul dibandingkan dengan anak laki-laki (Santrock
2009).
a. Perkembangan Motorik ‘anak dengar’
Otot besar anak-anak yang menginjak usia 6-12 tahun sudah lebih
kuat dibandingkan tahap usia sebelumnya. Hal ini membuat kemampuan
motorik kasar mereka pun berkembang. Misalnya, mereka sudah mampu
untuk adalah berlari, memanjat, bermain bulutangkis, dan bermain
lompat tali.
Motorik halus yang mampu dilakukan oleh anak berusia 6 tahun
adalah mengikatkan tali sepatunya sendiri dan mengancingkan baju
mereka. Saat mereka berusia 7 tahun mereka mampu untuk mewarnai
menggunakan pensil warna. Hal ini disebabkan oleh tangan mereka yang
sudah lebih ajeg sehingga mereka lebih memilih menggunakan pensil
warna dibandingkan dengan krayon. Mereka juga mampu untuk
mewarnai bidang yang lebih kecil. Menginjak usia 8 sampai 10 tahun
anak-anak mampu untuk menulis huruf tegak bersambung dibandingkan
dengan huruf cetak. Hal ini disebabkan kemampuan tangan mereka sudah
lebih presisi sehingga lengkungan huruf atau ukuran tulisan sudah lebih
kecil. Usia 11 sampai 12 tahun seorang anak mampu untuk membuat
keranjang telur paskah. Mereka juga sudah mampu untuk memainkan
suatu alat musik.
b. Perkembangan Motorik Anak Tunarungu
Penjelasan di atas merupakan kemampuan yang mampu
dilakukan oleh anak-anak usia 6-12 tahun yang tidak mengalami
disfungsi apapun. Perkembangan motorik terhadap anak tunarungu memiliki perbedaan dengan „anak dengar‟. Menurut Gheysen, Loots, dan
Waelvelde (2008) anak tunarungu mengalami kekurangan dalam
keseimbangan, koordinasi dinamis umum (general dynamic
coordination), kemampuan visual-motor, kemampuan menangkap bola,
dan perbedaan yang jelas pada kecepatan perpindahan.
Pertumbuhan tubuh dan otak antara anak tunarungu dengan „anak dengar‟ tidak ada perbedaan. Tubuh dan otak mereka berkembang sesuai
dengan tahap usia mereka. Hal ini berbeda dengan perkembangan motorik yang dialami oleh anak tunarungu dan „anak dengar‟. Anak
tunarungu mengalami keterlambatan dalam perkembangan motorik
mereka. Wiegersma dan Van der Velde (dalam Gheysen, Loots, dan
Waelvelde, 2008) mengatakan hal yang menyebabkan anak tunarungu
mengalami keterlambatan adalah gangguan syaraf, disfungsi
pendengaran, kekurangan rasa percaya diri, perlindungan dari orangtua
yang berlebihan atau pengabaian orangtua sehingga anak tunarungu
3. Perkembangan Kognitif
Perkembangan kognitif merupakan suatu perkembangan pikiran
yang disadari oleh seseorang (Santrock, 2009). Salah satu perkembangan
proses kognitif terkait fungsi eksekutif, bahasa, dan komunikasi adalah
theory of mind (Marschark dan Hauser, 2012).
Theory of mind adalah kesadaran seorang anak terhadap proses
mental dirinya dan proses mental orang lain (Santrock, 2009). Menurut
Marschark dan Hauser (2012) theory of mind merupakan kemampuan
seorang anak untuk mengetahui pikiran orang lain, emosi orang lain, dan
kepercayaan (belief) orang lain. Perkembangan theory of mind sangat
penting untuk anak-anak dalam berkomunikasi, belajar, dan berinteraksi
sosial.
Perkembangan theory of mind pada anak-anak sangat bergantung
pada efektivitas komunikasi dengan orangtua mereka. Selain itu,
kemampuan orangtua untuk menjelaskan emosi dan keadaan kognitif
seseorang dalam konteks sebab akibat (Marschark dan Hauser, 2012).
Theory of mind juga membuat anak-anak belajar maksud dari orang lain yang mengatakan sesuatu secara tidak langsung. Misalnya, “anginnya
kencang sekali” maksud yang sebenarnya adalah “tolong tutup jendelanya.
Perkembangan theory of mind antara anak tunarungu dan „anak dengar‟ juga berbeda. Courtin (dalam Santrock, 2009) mengatakan bahwa
anak tunarungu menunjukkan perkembangan yang tidak cukup baik pada
„orangtua yang mendengar‟ (hearing parents). Marschark dan Hauser
(2012) juga mengatakan bahwa anak tunarungu mengalami keterbelakangan
dalam theory of mind dibandingkan dengan „anak dengar‟ seusianya.
Selain theory of mind, intelegensi anak tunarungu juga sering dibedakan dengan „anak dengar‟. Inteligensi merupakan sebuah kemampuan
untuk mengatasi masalah, beradaptasi, dan belajar dari suatu pengalaman
(Santrock, 2009).
Pada dasarnya anak tunarungu memiliki intelegensi yang sama dengan „anak dengar‟ (Furth dalam Efendi, 2006). Hambatan-hambatan
inteligensi yang terjadi pada anak tunarungu disebabkan oleh pengalaman
berbahasa. Anak-anak tunarungu mengalami kesulitan untuk menghubungan
atau menarik sebuah kesimpulan (Somantri, 2007).
Hambatan tersebut yang membuat anak tunarungu sering dilabel
bodoh. Hal ini disebabkan inteligensi sering dikaitkan dengan pencapaian
akademi seorang anak. Anak tunarungu memiliki kemampuan inteligensi
yang setara dengan „anak dengar‟ akan tetapi disfungsi pendengaran yang
dialami membuat mereka kesulitan memahami bahasa dan membutuhkan
waktu yang lebih lama untuk belajar. Mereka juga membutuhkan bantuan
orangtua atau guru di sekolah untuk bisa mencapai prestasi akademik seperti „anak dengar‟. Hal ini tidak dirasakan oleh „anak dengar‟ karena mereka
4. Perkembangan Bahasa
Perkembangan bahasa pada anak-anak yang „mendengar‟ dan pada
anak tunarungu jelas berbeda. Anak-anak tunarungu membutuhkan waktu
yang lebih lama untuk belajar berbahasa. Hal ini disebabkan oleh
keterbatasan yang dimilikinya (Marschark dan Spencer, 2003). Anak-anak
tunarungu yang mengalami keterlambatan berbicara juga kesulitan untuk
mengungkapkan emosi mereka secara verbal.
Normalnya seorang anak akan mengalami fase reflexive vocalization
(0-6 minggu), babbling (6 minggu-6 bulan), lalling (6 bulan-9 bulan),
yargon (9 bulan-12 bulan), dan true speech (12 bulan- 18 bulan) (Smith
dalam Efendi, 2006). Bagi anak tunarungu yang menderita gangguan
pendengaran sejak lahir, fase perkembangan mereka terhambat pada fase
babbling. Fase ini merupakan fase seorang anak mulai untuk mencoba
merespon suaranya sendiri. Hal ini terhambat atau terhenti karena anak
tunarungu tidak mampu untuk mendengar umpan balik dari suaranya sendiri
maupun orang lain.
Menurut Denmark (1994) anak tunarungu memiliki hambatan untuk
belajar bahasa secara verbal karena mereka tidak mampu untuk mendengar
ucapan mereka sendiri maupun ucapan orang lain. Hal ini justru salah satu
cara seorang anak belajar untuk berbicara dan mulai mengenal bahasa.
Keterbatasan anak-anak tunarungu untuk mendengar membuat mereka harus
mengandalkan indera yang lainnya untuk belajar bahasa agar bisa
Menurut Marschark dan Spencer (2003) yang termasuk dalam
perkembangan bahasa anak tunarungu adalah:
a. Fonologi
Normalnya fonologi sudah berkembang sejak seorang anak
berusia 1 tahun sampai 6 tahun (bagi anak-anak yang belajar bahasa
inggris sebagai bahasa ibu). Hal ini tentu berbeda dengan anak-anak
tunarungu. Sebuah studi dalam Marschark dan Spencer (2003)
menemukan bahwa penguasaan fonem anak tunarungu terjadi lebih lambat dibandingkan dengan „anak dengar‟.
Seiring meningkatnya jumlah kosakata seorang anak, maka
dibutuhkan fonem yang lebih banyak dalam membantu mempertahankan
perbedaan fonetik antara kosakata yang sudah dipelajari sebelumnya
dengan kosakata yang baru.
Anak tunarungu menguasai konsonan /p, b, m/ lebih awal
dibandingkan /f,v/. Bagi anak-anak tunarungu ada beberapa fonem yang
dikuasai lebih dulu dan ada beberapa fonem yang membutuhkan waktu
yang lama untuk dikuasai.
b. Morfologi dan Sintaks
Morfologi merupakan stuktur bahasa yang lebih luas
dibandingkan dengan fonologi. Morfologi mencakup morfem, suku kata,
kosakata, frasa, dan kalimat. Kompleksitas struktur bahasa ini yang
menjadi tolak ukur perkembangan bahasa yang dialami seorang anak
c. Kosakata
Pada umumnya, anak-anak usia 6 tahun mampu untuk menguasai
14.000 kata dan anak usia 11 tahun mampu menguasai 40.000 kata
(Santrock, 2009). Anak-anak tunarungu menguasai 12.000-18.000 kata
saat mereka menginjak usia 18 tahun (Marschark dan Spencer, 2003).
Menurut Jensema (dalam Efendi, 2006) anak-anak tunarungu
yang beusia 8-10 tahun memiliki perbendaharaan kata yang setara dengan „anak-anak mendengar‟ dari awal TK hingga akhir kelas II SD.
5. Perkembangan Sosio-emosi
Perkembangan sosio-emosi merupakan salah satu perkembangan
yang memilih pengaruh terhadap interaksi sosial anak tunarungu selain
perkembangan bahasa. Perkembangan sosio-emosi merupakan tahap kritis
dan mendasar untuk mencapai kesuksesan kehidupan (Marschark dan
Spencer, 2003). Umumnya, seorang anak pada fase ini mampu untuk
mendeskripsikan diri mereka secara psikologis, misalnya mendeskripsikan
sifat-sifat yang dimiliki. Anak-anak juga mampu untuk membandingkan diri
mereka dengan sesamanya (Santrock, 2009).
Sosio-emosi ini juga mampu untuk membantu seseorang untuk
menyadari potensi diri yang dimiliki dan mencakup kemampuan serta
kemauan untuk mempertimbangkan berbagai sudut pandang dalam melihat
taking di mana seorang anak memiliki kemampuan untuk memahami
perspektif, pikiran, dan perasaan orang lain.
Disfungsi pendengaran yang dimiliki oleh anak tunarungu menjadi
hambatan mereka untuk bisa memahami adanya perbedaan perspektif dari
orang lain. Anak tunarungu yang berada pada masa tengah dan akhir
anak-anak masih memiliki egosentrisme yang tinggi dibandingkan dengan „anak dengar‟.
Keterlambatan dalam perkembangan bahasa membuat anak tunarungu kesulitan untuk berinteraksi sosial dengan „anak dengar‟. Hal ini
disebabkan oleh ketidakjelasan pengucapan anak tunarungu sehingga
mereka sulit unutk memahami perasaan dan pikiran orang lain.
Ketidakmampuan mereka untuk mendengar juga membuat mereka kesulitan
untuk memahami bahasa lisan dari orang lain. Hal ini membuat anak-anak
tunarungu sering menafsirkan segala sesuatu secara negatif atau salah
menafsirkan sehingga mereka memiliki tekanan tersendiri terhadap
emosinya. Keterbatasan pemahaman terhadap orang lain juga membuat
mereka lebih sering bertindak secara agresif dan lebih sering merasa gelisah
(Somantri, 2007).
Anak tunarungu yang mengalami keterlambatan dalam
perkembangan sosio-emosi mereka jelas memberikan dampak tersendiri
bagi interaksi sosial mereka. Mereka mengalami kesulitan untuk
berinteraksi dengan teman sebayanya baik yang mendengar maupun sesama