• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara penyesuaian diri dengan kesejahteraan psikologis pada mahasiswa baru yang tinggal di Asrama Syantikara.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan antara penyesuaian diri dengan kesejahteraan psikologis pada mahasiswa baru yang tinggal di Asrama Syantikara."

Copied!
146
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA PENYESUAIAN DIRI DENGAN

KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PADA MAHASISWA BARU YANG

TINGGAL DI ASRAMA SYANTIKARA

Liveria Jurissam Tikupadang

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara penyesuaian diri dengan kesejahteraan psikologis pada mahasiswa baru yang tinggal di asrama Syantikara.Variabel bebas dalam penelitian ini adalah penyesuaian diri sedangkan variabel tergantungnya adalah kesejahteraan psikologis. Subjek dalam penelitian ini adalah 38 mahasiswa baru yang tinggal di asrama Syantikara, Yogyakarta. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah Skala Penyesuaian Diri (α=0,926) dan Skala Kesejahteraan Psikologis (α=0,939). Skala penyesuaian diri disusun berdasarkan kriteria penyesuaian diri menurut Vembriarto (1993). Skala kesejahteraan psikologis disusun berdasarkan dimensi kesejahteraan psikologis menurut Ryff (1989). Hasil analisis data menunjukkan bahwa penyesuaian diri berhubungan positif dengan kesejahteraan psikologis (r = 0,752 ; p= 0,000) dan termasuk dalam kategori kuat karena berada pada rentang 0,60 – 0,799. Semakin tinggi penyesuaian diri subjek maka semakin tinggi pula kesejahteraan psikologis yang dicapai oleh subjek. Dan sebaliknya, semakin rendah penyesuaian diri subjek maka semakin rendah pula kesejahteraan psikologis yang dicapai oleh subjek.

(2)

THE CORELATION BETWEEN SELF ADJUSTMENT AND

PSYCHOLOGICAL WELL-BEING OF THE FRESHMEN AT

SYANTIKARA DORMITORY

Liveria Jurissam Tikupadang

ABSTRACT

This study is aimed to find out the corelation between self adjustment and psychological well-being of the freshmen at Syantikara dormitory. Independent variable in this study was self adjustment while psychological well-being was taken as the dependent one. The study involved 38 freshmen living at Syantikara dormitory, Yogyakarta. The measuring instruments in this study was self adjustment scale (α=0,926) and psychological well-being scale (α=0,939; the former is based on Vembriartos’s adjustment criterias (1993) and the latter, Ryff’s (1989). The finding of this study showed that self adjustment was positively related to psychological well-being (r = 0,752; p = 0,000) and both were considered as strong categories because it was in the range of 0,60-0,799. The higher the self adjustment by subject of the higher psychological well-being achieved by the subject and conversely, the lower the self adjustment by subject of the lower psychological well-being achieved by the subject.

(3)

HUBUNGAN ANTARA PENYESUAIAN DIRI DENGAN

KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PADA MAHASISWA BARU YANG TINGGAL DI ASRAMA SYANTIKARA

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh :

Liveria Jurissam Tikupadang

NIM : 109114168

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(4)
(5)
(6)

HALAMAN MOTTO

IA membuat segala sesuatu

indah pada waktuNya

(Pengkhotbah 3:11a)

Don’t Stop When It Hurt, Stop

(7)

HALAMAN PERSEMBAHAN

KARYA INI SECARA KHUSUS

KUPERSEMBAHKAN KEPADA

TUHAN YESUS, PAPA &

MAMA,

SAUDARA-SAUDARAKU DAN SEMUA

ORANG YANG KUKASIHI

(8)
(9)

HUBUNGAN ANTARA PENYESUAIAN DIRI DENGAN

KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PADA MAHASISWA BARU YANG TINGGAL DI ASRAMA SYANTIKARA

Liveria Jurissam Tikupadang

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara penyesuaian diri dengan kesejahteraan psikologis pada mahasiswa baru yang tinggal di asrama Syantikara.Variabel bebas dalam penelitian ini adalah penyesuaian diri sedangkan variabel tergantungnya adalah kesejahteraan psikologis.Subjek dalam penelitian ini adalah 38 mahasiswa baru yang tinggal di asrama Syantikara, Yogyakarta. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah Skala Penyesuaian Diri (α=0,926) dan Skala Kesejahteraan Psikologis (α=0,939). Skala penyesuaian diri disusun berdasarkan kriteria penyesuaian diri menurut Vembriarto (1993).Skala kesejahteraan psikologis disusun berdasarkan dimensi kesejahteraan psikologis menurut Ryff (1989). Hasil analisis data menunjukkan bahwa penyesuaian diri berhubungan positif dengan kesejahteraan psikologis (r = 0,752 ; p= 0,000) dan termasuk dalam kategori kuat karena berada pada rentang 0,60 – 0,799. Semakin tinggi penyesuaian diri subjek maka semakin tinggi pula kesejahteraan psikologis yang dicapai oleh subjek.Dan sebaliknya, semakin rendah penyesuaian diri subjek maka semakin rendah pula kesejahteraan psikologis yang dicapai oleh subjek.

(10)

THE CORELATION BETWEEN SELF ADJUSTMENT AND PSYCHOLOGICAL WELL-BEING OF THE FRESHMEN AT

SYANTIKARA DORMITORY

Liveria Jurissam Tikupadang

ABSTRACT

This study is aimedto find out the corelation between self adjustment and psychological well-being of the freshmen at Syantikara dormitory. Independent variable in this study was self adjustment while psychological well-beingwas taken as the dependent one. The study involved 38 freshmen living at Syantikara dormitory, Yogyakarta. The measuring instruments in this study was self adjustment scale (α=0,926) and psychological well-being scale (α=0,939; the former is based on Vembriartos’s adjustment criterias (1993) and the latter, Ryff’s (1989). The finding of this study showed that self adjustmentwaspositivelyrelated to psychological well-being (r = 0,752; p = 0,000)and both were considered as strong categories because it was in the range of 0,60-0,799. The higher the self adjustment by subject of the higher psychological well-being achieved by the subject and conversely, the lower the self adjustment by subject of the lower psychological well-being achieved by the subject.

(11)
(12)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kasih dan berkatNya yang

berlimpah selama proses penulisan skripsi ini sehingga skripsi dengan judul

“Hubungan antara Penyesuaian Diri dengan Kesejahteraan Psikologis pada

Mahasiswa Baru yang Tinggal di Asrama Syantikara” dapat diselesaikan dengan

baik.

Penulis menyadari ada banyak pihak yang telah berkontribusidalam proses

penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin

mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Tarsisius Priyo Widiyanto, M.Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma

2. Bapak P. Eddy Suhartanto, S. Psi. M.Si. selaku Kepala Program Studi

Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

3. Ibu Dra. Lusia Pratidarmanastiti, MS. selaku dosen pembimbing akademik

yang penuh perhatian membimbing saya selama masa studi.

4. Ibu Debri Pristinella, M.Si. selaku dosen pembimbing skripsi yang dengan

penuh kasih dan kesabaran dalam membimbing saya menyelesaikan skripsi

ini.

5. Seluruh dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah

(13)

6. Segenap staff Fakultas Psikologi dan Perpustakaan Universitas Sanata

Dharma yang telah memberi banyak bantuan kepada saya selama proses

perkuliahan.

7. Kepala dan staff Asrama Putri Universitas Gajah Mada dan Asrama

Syantikara yang telah memberi ijin kepada saya untuk melakukan penelitian

ini.

8. Papa Daniel Siang Sampealang dan Mama Christina Tikupadang selaku orang

tua saya yang selalu menjadi semangat dan kekuatan saya. Love u so much ☺

9. Kakak-kakak dan adekku tersayang : kk Mis, kk Ela, kk Tanti, kk Nenning,

kk Citor, dan ad Jois yang selalu ada buatku. Kangen pelukan kalian ☺

10. Tante Lungan dan Nesa yang selalu bersemangat dan memberiku hiburan saat

lagi suntuk. Love u ☺

11. Teman-teman di asrama UGM dan Syantikara yang bersedia membantu saya

untuk menyelesaikan skripsi ini. Semangat terus ya teman-teman. Tuhan

memberkati.

12. LC WELL : Mbak Tata, Ocha, Eka, Rambu, Fanbo, Sisil, Elti, Dewi, Wewen

dan Ria yang sudah menjadi sahabat sekaligus saudara dalam suka dan duka

(Amsal 17:17) ☺

13. Keluarga besar Gereja Kristen Nazarene Gloria yang menjadi keluarga

keduaku. Dan Tim Heman yang selalu solid dan gokil. Bakalan kangen ma

kalian ☺

14. Mas Nomo, mbak Iin, mbak Dyah, Yoha, Togar yang selalu menguatkanku

(14)

15. Pdt. Obaja Sigit, Ibu Warni, Pdt. Yonan dan Pdt. Muh. Bakrie yang telah

menguatkanku saat mulai goyah. Tuhan Yesus memberkati ☺

16. Melan, Jeni, Erina : yang merangkap semuanya (teman kamar, teman gereja,

teman curhat). Bersyukur bisa mengenal kalian girls ☺

17. Suster Marcell dan Esri, teman seperjuangan. Meskipun kalian sudah ‘finish’

duluan ☺

18. Suster Petra, Mega, Sheila, Regina, Martha, Uli, Owe, Gloria, Nova, Irma,

Tirza, Tyas, Maya, Vinda, Wuri, Sisil, Metha, Sandra, Astrid, Monik, dan

teman-teman angkatan 2010 yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu.

Bersyukur bisa mengenal dan berdinamika bersama kalian ☺

19. Teman-teman Kost Cyntia : Mbak Ket, Intan, Ella, Tia, Putri, Sila, Nova,

Archa, Lisa, Dinda, Ari. Makasih buat kebersamaannya selama 4 tahun lebih

20. Keluarga Tante Wati, tempat tinggal pertamaku saat menginjakkan kaki di

Jogja ☺

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna.Oleh

karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan untuk

menyempurnakan skripsi ini.Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan

menjadi sumbangan dalam perkembangan ilmu pengetahuan.Terimakasih.

Penulis,

(15)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR GAMBAR ... xviii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 11

BAB II

(16)

A. Penyesuaian Diri ... 13

1. Pengertian Penyesuaian Diri ... 13

2. Kriteria Penyesuaian Diri ... 15

3. Faktor-faktor Penyesuaian Diri ... 16

B. Kesejahteraan Psikologis ... 18

1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis ... 18

2. Dimensi-dimensi Kesejahteraan Psikologis ... 19

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Psikologis .... 24

C. Mahasiswa Baru ... 25

D. Kehidupan dan Peraturan Asrama Syantikara ... 28

E. Dinamika Psikologis Hubungan antara Penyesuaian Diri dengan Kesejahteraan Psikologis pada Mahasiswa Psikologis yang Tinggal di Asrama Syantikara……….………. 32

F. Hipotesis ... 37

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 38

B. Identifikasi Variabel ... 38

C. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 38

1. Penyesuaian Diri ... 38

2. Kesejahteraan Psikologis ... 39

D. Subjek Penelitian ... 39

(17)

F. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 46

1. Uji Validitas ... 46

2. Seleksi Item ... 47

3. Uji Reliabilitas ... 51

G. Metode Analisis Data ... 52

1. Uji Asumsi ... 52

a. Uji Normalitas ... 52

b. Uji Linearitas ... 52

2. Uji Hipotesis ... 53

H. Pelaksanaan Try Out ... 53

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pelaksanaan Penelitian ... 54

B. Deskripsi dan Data Demografis Subjek ... 54

C. Deskripsi Data Penelitian ………59

D. Analisis Data Penelitian ... 61

E. Pembahasan ... 64

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 71

B. Saran ... 71

DAFTAR PUSTAKA ... 72

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Skala Try Out . ... 76

2. Skala Penelitian ... 92

Reliabilitas Alat Ukur 3. Penyesuaian Diri ... 104

4. Kesejahteraan Psikologis ... 112

Analisis Data 5. Statistik Deskriptif Penelitian ... 121

6. Uji T Variabel ... 122

7. Uji Normalitas ... 123

8. Uji Linearitas ... 124

(19)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.Blue Print Skala Penyesuaian Diri ... 42

Tabel 2.Blue Print Skala Kesejahteraan Psikologis ... 46

Tabel 3. Kisi-kisi Skala Penyesuaian Diri... 48

Tabel 4. Hasil Try Out Penyesuaian Diri ... 48

Tabel 5. Kisi-kisi Skala Kesejahteraan Psikologis ... 49

Tabel 6. Hasil Try Out Kesejahteraan Psikologis ... 50

Tabel 7. Deskripsi Data Subjek Berdasarkan Usia ... 55

Tabel 8. Deskripsi Data Subjek Berdasarkan Asal Daerah ... 56

Tabel 9. Deskripsi Data Subjek Berdasarkan Agama ... 56

Tabel 10. Deskripsi Data Subjek Berdasarkan Pekerjaan Orang Tua ... 57

Tabel 11. Deskripsi Data Subjek Berdasarkan Teman Dekat ... 58

Tabel 12. Deskripsi Data Subjek Berdasarkan Seberapa Sering Mengalami Gangguan Fisik Selama Di Asrama ... 58

Tabel 13. Hasil Pengukuran Deskriptif Variabel ………...59

Tabel 14. Hasil Uji T Variabel Penyesuaian Diri ………...60

Tabel 15. Hasil Uji T Variabel Kesejahteraan Psikologis ………..60

Tabel 16. Uji Normalitas ... .….59

Tabel 17. Uji Linearitas... ..60

(20)

DAFTAR GAMBAR  

GAMBAR 1. SKEMA ... 36

(21)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia adalah makhluk hidup yang terkadang harus hidup

berpindah-pindah yang disebabkan oleh banyak faktor misalnya, karena faktor ekonomi,

faktor keamanan, ikut suami atau istri, faktor pendidikan, bencana alam, dan

lain sebagainya. Seperti, para lulusan sekolah menengah atas memutuskan

untuk meninggalkan kampung halamannya karena ingin melanjutkan

pendidikan ke jenjang perguruan tinggi atau universitas. Mereka berpindah

dari lingkungan yang lama ke lingkungan yang baru dan mereka tidak tahu

keadaan dan orang-orang seperti apa yang akan mereka temui nantinya.

Mereka tentunya akan mengalami banyak perubahan dalam kehidupan

mereka, sebelumnya mereka merasa tenang dan nyaman hidup bersama

keluarga. Saat berada di lingkungan baru mereka harus hidup mandiri dimulai

dengan mengurusi segala sesuatunya sendiri seperti makan, pakaian,

pembayaran listrik, bersosialiasi dengan orang-orang baru, serta masalah

studi : kapan belajar, bagaimana membagi waktu yang tepat antara kuliah

dankegiatan ekstrakurikuler, menghadapi tugas-tugas kuliah yang lebih

banyak dan kompleks (Septiana, 2007).

Mahasiswa baru adalah peserta didik baru suatu program studi pada

(22)

Oxford, batasan sebagai mahasiswa baru (freshman) adalah masa tahun

pertama di universitas. Mahasiswa baru akan dihadapkan pada perubahan

pola kehidupan yang berbeda dengan pola kehidupan di sekolah menengah

atas atau sekolah menengah kejuruan dimulai dari perubahan sistem

pengajaran, perubahan cara belajar, perubahan lingkungan dan pergaulan (

Dewi, 2004 ).

Perubahan tempat tinggal juga merupakan salah satu perubahan yang

dihadapi oleh mahasiswa baru. Ada yang tinggal di tempat saudara, di

kost-kosta-an, di apartemen, kontrakan, bahkan ada yang tinggal di asrama. Bagi

mereka yang tinggal di kost, apartemen, dan kontrakan segala sesuatunya

lebih bebas daripada mereka yang hidup di asrama (ini tidak berarti bahwa

kost, apartemen, ataupun kontrakan tidak memiliki aturan sama sekali)

(Septiana, 2007). Di kost dan kontrakan, Bapak/Ibu kost atau pemilik

kontrakan tidak terlalu bertanggung jawab atas kehidupan anak kost atau

kontrakan. Aturan-aturan yang dibuat berdasarkan keputusan bersama dan

kadangkala Bapak/Ibu kost memberi kebebasan untuk memutuskan sendiri

aturan-aturan yang akan diterapkan di kost atau kontrakan, sehingga hidup di

kost ataukontrakan lebih pada pengembangan privasi. Demikian halnya di

apartemen, bangunan apartemen dirancang untuk memungkinkan warganya

untuk mengembangkan kehidupan individualitasnya. Pengelola apartemen

tidak memberi pengawasan ketat sehingga penghuni apartemen bebas untuk

(23)

tidak mengenal satu sama lain karena sibuk dan tidak peduli dengan

kehidupan orang lain (Septiana, 2007).

Berbeda dengan kehidupan di asrama, warga asrama terikat dengan

peraturan ketat. Peraturan tersebut antara lain memuat tentang jam-jam

tertentu yang diberlakukan di asrama misalnya jam belajar, jam istirahat, jam

berapa harus berada di asrama (jam malam), dan sebagainya; izin yang

diberikan; kebiasaan dan larangan-larangan yang berlaku keras bagi semua

warga asrama tanpa terkecuali. Selain itu, terdapat pula tanggung jawab untuk

mengurus asrama bersama dan pengajaran mengenai kepekaan sosial yang

terus dilatih dengan berasrama dan berinteraksi dengan orang lain yang

berbeda kepribadian, kebiasaan, latar belakang dan budaya. Pengawasan dari

Bapak/Ibu asrama sangat berperan dalam kehidupan warga asrama (Septiana,

2007).

Dilihat dari fungsinya, asrama memiliki fungsi yang sama dengan kost,

kontrakan, dan apartemen yaitu sebagai tempat tinggal bagi mahasiswa yang

merantau dari kampung halaman untuk menuntut ilmu di perguruan tinggi

atau universitas. Perbedaannya adalah pada harapan dan peran asrama bagi

perkembangan warga asrama. Harapan dan peran dari kehidupan berasrama

bukan hanya pada perkembangan kemampuan atau kedewasaan intelektual

masing-masing warga asrama tetapi juga akan pencapaian kedewasaan

pribadi mereka (Septiana, 2007). Sebagai mahasiswa, perkembangan

kemampuan intelektual merupakan tujuan utama mereka untuk menuntut

(24)

kemampuan lain yang melekat pada kehidupan mereka seperti perkembangan

rohani dan kemampuan sosial yang nantinya akan membentuk mereka

menjadi pribadi yang lebih baik.

Asrama Syantikara merupakan lokasi penelitian kali ini. Asrama

Syantikara berlokasi di Jl. Kolombo CT VI / 001 Yogyakarta dan dipimpin

oleh seorang Suster. Asrama tersebut merupakan salah satu asrama bagi

mahasiswi di Yogyakarta. Asrama Syantikara merupakan gambaran kecil dari

keanekaragaman masyarakat Indonesia karena terdiri dari mahasiswi yang

berasal dari berbagai daerah seperti dari Nias, Papua, Tangerang, Kalimantan

dan dari berbagai universitas seperti Universitas Sanata Dharma, Universitas

Gajah Mada, Universitas Kristen Duta Wacana dan Universitas

Atmajaya(Septiana, 2007). Pertama kali masuk asrama Syantikara warga

asrama telah diberitahukan mengenai peraturan-peraturan yang berlaku.

Peraturan tersebut mencakup pengaturan waktu, pembagian kamar, kebiasaan

dalam unit, tugas-tugas yang harus dilakukan tiap minggunya(Septiana,

2007).

Mahasiswa baru yang memutuskan tinggal di asrama Syantikara

merupakan individu yang mempunyai rentang usia berkisar 18-24 tahun yaitu

berada dalam tahap remaja. Masa remaja adalah periode perkembangan

transisi dari masa anak-anak hingga masa awal dewasa, yang dimasuki pada

usia kira-kira 10 hingga 12 tahun dan berakhir pada usia 18 hingga 22 tahun (

Santrock, 2002). Masa remaja merupakan masa transisi yang memberikan

(25)

kehidupannya, bukan hanya dalam hal fisik tetapi juga dalam kompetensi

kognitif dan sosial. Seorang remaja dihadapkan pada berbagai tugas

perkembangan yang harus dilaksanakan dan dilewati dengan baik (Papalia,

Old, dan Feldman, 2008).

Menurut Khairani (2013), periode remaja merupakan “ambang pintu” ke

periode dewasa. Mereka mulai berusaha untuk berpakaian, bersikap seperti

orang dewasa agar memperoleh status sebagai orang dewasa, bukan sebagai

anak remaja lagi dan mulai menunjukkan tingkah laku antara lain : merokok,

minum-minum, berpacaran, berpetualang, belajar hidup mandiri, misalnya

mencari penghasilan sendiri, bahkan bereksplorasi melakukan tindakan atau

karya kreatif tertentu. Tugas perkembangan pada periode remaja adalah (a)

menerima keadaan diri dan penampilan diri.Belajar berperan sesuai dengan

jenis kelamin. (b). Membentuk hubungan dengan teman sebaya secara

dewasa. (c). Mengembangkan kemampuan berdiri sendiri baik secara

emosional maupun ekonomi. (d). Mengembangkan tanggung jawab sosial.

(e). Mengembangkan kemampuan keterampilan intelektual untuk hidup

bermasyarakat dan masa depan di bidang pekerjaan/pendidikan. (f).

Mempersiapkan diri (fisik dan psikis) dalam rangka hidup bermasyarakat. (g).

Mencapai nilai-nilai kedewasaan.

Dengan melihat rentang usia warga asrama pada umumnya, ini berarti

bahwa mereka masih berada dalam tahap remaja akhir. Menurut Mappiare

(1982), ciri-ciri penting remaja akhir adalah mulai timbul dan meningkatnya

(26)

demikian membuat individu tersebut lebih dapat melakukan

penyesuaian-penyesuaian dalam banyak aspek kehidupannya dibandingkan dengan

masa-masa sebelumnya.

Ciri penting remaja akhir selanjutnya yaitu mempunyai citra diri dan

sikap-pandangan yang lebih realistis. Pada tahap ini, remaja mulai menilai

dirinya sebagaimana adanya, menghargai dirinya, keluarganya, dan

orang di sekitarnya. Remaja merasa puas dengan dirinya sendiri dan

orang-orang di sekitarnya. Rasa puas ini merupakan salah satu syarat penting

pencapaian kebahagiaan bagi remaja. Kemudian ciri selanjutnya menghadapi

masalahnya secara lebih matang. Hal ini ditunjukkan dalam usaha

menyelesaikan masalah yang ada, baik secara individu maupun dengan

diskusi-diskusi dengan teman sebaya mereka. Langkah-langkah penyelesaian

masalah tersebut mengarahkan remaja akhir pada tingkah laku yang lebih

dapat menyesuaikan diri dalam banyak situasi lingkungan dan situasi

perasaan-perasaan individu.

Ciri penting remaja akhir yang terakhir adalah perasaan menjadi lebih

tenang. Perasaan tenang dalam menghadapi kekecewaan-kekecewaan yang

terjadi ditunjang oleh adanya kemampuan berpikir yang matang dan

kemampuan menguasai perasaan-perasaan sendiri serta adanya kemampuan

dalam menghadapi keadaan yang sebenarnya (realistis).Apabila remaja akhir

dapat melewati tahap-tahap ini dengan baik maka mereka akan mencapai

(27)

Kesejahteraan psikologis adalah hasil dari evaluasi yang dilakukan

seseorang terhadap hidupnya baik evaluasi secara kognitif maupun evaluasi

secara emosi. Evaluasi secara kognitif, kesejahteraan adalah sebuah bentuk

kepuasan dalam hidup, sementara sebagai hasil dari evaluasi emosi yaitu

berupa affect atau perasaan senang. Ryff dan Singer (1996) membangun

model kesejahteraan psikologis dengan memadukan teori perkembangan

manusia, teori-teori klinis mengenai pertumbuhan diri dan literatur-literatur

kesehatan mental.

Ryff dan Singer (1996) mendefinisikan konsep kesejahteraan psikologis

dalam enam dimensi, yakni dimensi penerimaan diri, hubungan yang positif

dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan

pertumbuhan pribadi. Individu yang tidak mencapai kesejahteraan psikologis

dalam hidupnya akan merasa tertekan bahkan akan mengalami depresi. Hal

ini disebabkan karena individu tersebut tidak mendapatkan penerimaan dari

orang-orang di sekitarnya dan lingkungannya, tidak mempunyai tujuan hidup

yang ingin dicapainya, selalu bergantung kepada orang lain sehingga individu

tersebut tidak mengalami pertumbuhan secara pribadi. Seperti yang

diungkapkan oleh Joseph dan Wood (dalam Dewi, (2013)) bahwa orang

dengan kesejahteraan psikologis yang tinggi akan terhindar dari kemungkinan

depresi dan sebaliknya, orang dengan kesejahteraan psikologis yang rendah

dapat meningkatkan resiko munculnya depresi. Kesejahteraan psikologis

(28)

mencapai kesejahteraan psikologis tersebut membutuhkan penanganan

dengan melakukan reaksi penyesuaian diri yang benar dan tepat.

Aturan-aturan dan harapan yang ingin dicapai dalam kehidupan sebagai

mahasiswa terlebih dalam kehidupan berasrama bisa jadi sangat berat untuk

dijalanin. Seorang mahasiswi sekaligus sebagai warga asrama membutuhkan

dan dituntut melakukan suatu hal untuk dapat bertahan dalam kehidupan

berasrama.Salah satu hal yang dapat dilakukan adalah menyesuaikan diri

dengan lingkungan barunya yang jelas berbeda dengan lingkungan kehidupan

sebelumnya. Bagi warga asrama Syantikara, penyesuaian diri sangatlah

diperlukan untuk dapat hidup bersama dalam menaati setiap peraturan yang

diterapkan di asrama. Menurut Kartono dalam Septiana (2007), penyesuaian

diri dimaksudkan agar individu mampu mengendalikan dirinya, menghindari

konflik, mampu menghadapi dan memecahkan permasalahan dan tidak

mengalami kesulitan di dalam mengekspresikan dirinya.

Penyesuaian diri adalah suatu proses yang melibatkan respons-respons

mental dan tingkah laku yang menyebabkan individu berusaha

menanggulangi kebutuhan-kebutuhan, tegangan-tegangan, frustasi-frustasi,

dan konflik-konflik batin serta menyelaraskan tuntutan-tuntutan yang

dikenakan kepadanya oleh dunia di mana ia hidup (Semiun, 2006). Menurut

Kartono dalam Indarwati dan Fauziah (2012), individu menyesuaikan

kepribadian yang dimiliki dalam bertingkahlaku sesuai dengan norma di

masyarakat. Salah satu ciri pokok dari kepribadian yang sehat adalah

(29)

baik terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungannya dalam hal ini

lingkungan asrama.

Penyesuaian diri juga merupakan salah satu persyaratan terciptanya

kesehatan jiwa atau mental individu. Banyak individu yang menderita dan

merasa tidak mampu mencapai kebahagiaan dalam hidupnya, karena

ketidakmampuannya dalam menyesuaikan diri baik dalam kehidupan

keluarga, sekolah, pekerjaan, dan dalam masyarakat pada umumnya

(Mu’tadin dalam Safura dan Supriyantini (2006)). Tak terkecuali dalam

kehidupan berasrama. Pada kenyataannya, sangatlah tidak mudah dalam

menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru (di asrama). Individu harus

menekan keinginan dan kehendak pribadi mereka terutama hal-hal yang

berbeda dengan kebiasaan yang terjadi di lingkungan baru tersebut. Bukan

hanya dengan situasi atau kondisi yang berbeda, tetapi juga dengan

orang-orang baru yang jelas berbeda kepribadian dan kebiasaan dengan dirinya.

Apabila tidak dapat menyesuaikan diri dengan baik akan menyebabkan stres

bahkan depresi pada individu yang bersangkutan. Sebaliknya, apabila dapat

menyesuaikan diri dengan baik maka individu tersebut dapat menjalani

kehidupannya di lingkungan baru dengan bahagia.

Salah satu dimensi dalam konsep kesejahteraan psikologis yang

diungkapkan oleh Ryff dan Singer (1989) adalah mengenai penguasaan

lingkungan. Individu memiliki kemampuan untuk memilih dan menciptakan

lingkungan sesuai dengan kondisi kejiwaan mereka yang didefenisikan

(30)

penyesuaian diri yang baik pada suatu lingkungan baru merupakan salah satu

bagian yang menandakanbahwa seseorang mencapai kesejahteraan

psikologis. Seperti halnya yang dialami oleh mahasiswa baru yang berada di

lingkungan baru dalam hal ini lingkungan asrama khususnya warga asrama

Syantikara. Mereka dihadapkan pada peraturan-peraturan yang mengikat dan

tidak menutup kemungkinan tidak sesuai dengan keinginan mereka sendiri.

Terlebih mahasiswa baru tersebut berada pada tahap perkembangan remaja,

dimana pada tahap tersebut mereka menginginkan kebebasan untuk

mengembangkan diri mereka dengan mengikuti kegiatan sesuai dengan hobby

mereka, kebebasan untuk bersosialisasi dengan banyak orang, kebebasan

untuk berkreasi dan sebagainya. Mereka menjadi tidak “leluasa” untuk

melakukan hal-hal tersebut dengan adanya aturan-aturan yang diterapkan di

asrama sehingga mereka dituntut untuk dapat menyesuaikan diri di

lingkungan baru tersebut agar dapat hidup dengan baik.

Akhirnya, peneliti berasumsi bahwa semakin bisa warga asrama dalam

menyesuaikan diri dengan keadaan dan situasi di sekitarnya maka mereka

akan semakin dapat mencapai kesejahteraan psikologis mereka. Dan

sebaliknya, semakin sulit warga asrama dalam menyesuaikan diri maka

semakin susah pula mereka mencapai kesejahteraan psikologis. Hal inilah

yang mendorong peneliti melakukan penelitian untuk membuktikan hipotesis

tersebut mengenai hubungan penyesuaian diri dengankesejahteraan psikologis

pada mahasiswa baru yang tinggal di asrama Syantikara. Selain itu, pada

(31)

penyesuaian diri. Peneliti tertarik untuk melihat lebih jauh tentang

penyesuaian diri apabila dihubungkan dengan variabel lain dalam hal ini

adalah kesejahteraan psikologis.

B. Rumusan Masalah

Apakah terdapat hubungan penyesuaian diri dengan kesejahteraan psikologis

pada mahasiswa baru yang tinggal di asrama Syantikara?

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui hubungan penyesuaian diri dengan kesejahteraan

psikologis pada mahasiswa baru yang tinggal di asrama Syantikara.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini dapat memberikan sumbangan ilmiah pada Psikologi

Klinis, Psikologi Perkembangan, dan Psikologi Sosial mengenai

kesejahteraan psikologis, penyesuaian diri dan hubungan antara

penyesuaian diri dengankesejahteraan psikologis pada mahasiswa baru

yang tinggal di asrama Syantikara.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Mahasiswa Baru yang Tinggal di Asrama

Penelitian ini dapat memberi informasi bagi para mahasiswa baru

perlunya melakukan penyesuaian diri agar mereka dapat mencapai

kesejahteraan psikologis saat menghadapi hal-hal yang baru dalam

(32)

b. Bagi Orang Tua

Penelitian ini dapat memberikan informasi kepada orang tua bahwa

adanya kondisi yang menekan dialami oleh anak-anak mereka saat

menghadapi lingkungan yang baru ( tinggal di asrama) sehingga orang

tua sangat diperlukan untuk lebih memperhatikan dan memberikan

dukungan secara moril kepada anak-anak mereka.

c. Bagi Pengelola Asrama

Penelitian ini dapat memberikan informasi kepada pengelola asrama

bahwa mahasiswa baru membutuhkan dukungan dan bantuan dalam

menyesuaikan diri di asrama karena akan berkaitan dengan

kesejahteraan psikologis mereka.

(33)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Penyesuaian Diri

1. Pengertian Penyesuaian Diri

Penyesuaian diri dalam biologi diistilahkan dengan kata “adaptasi”.

Menurut teori tersebut hanya organisme yang paling berhasil menyesuaikan

diri terhadap lingkungan fisiknya sajalah yang dapat tetap hidup (Vembriarto

dalam Septiana, 2007). Menurut Huffman (dalam Septiana, 2007) adaptasi

adalah perubahan struktural atau fungsional yang membuat individu dapat

bertahan hidup. Perubahan-perubahan terjadi pada semua taraf kehidupan

masyarakat seperti dalam keluarga, pendidikan, ekonomi, dan budaya.

Menjadi suatu keharusan bagi individu untuk mempunyai kemampuan dalam

menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang ada untuk dapat

bertahan hidup (Indarwati dan Fauziah, 2012). Penyesuaian diri berlangsung

secara terus menerus antara memuaskan kebutuhan diri sendiri dengan

tuntutan lingkungan, termasuk tuntutan orang lain secara kelompok maupun

masyarakat. Individu menyesuaikan diri dengan tuntutan yang ada berarti

individu tersebut mengubah dirinya dengan cara yang tepat untuk memenuhi

syarat tertentu (Sukadji dalam Safura dan Supriyantini, 2006).

Menurut Haber dan Runyon (dalam Isnawati dan Suhariadi, 2013)

penyesuaian diri adalah keadaan seseorang menerima hal-hal dimana ia tidak

(34)

diukur dari seberapa baik seseorang tersebut mengatasi setiap perubahan yang

terjadi dalam hidupnya. Individu yang mampu menyesuaikan diri dengan

lingkungannya berarti individu tersebut mampu menyelaraskan kebutuhannya

dengan tuntutan lingkungan sehingga tidak merasa stres dalam dirinya

(Kusuma dan Gusniarti dalam Christyanti, dkk(2010)). Penyesuaian diri

adalah tercapainya keselarasan dan keharmonisan baik dengan diri sendiri

maupun dengan lingkungan tempat tinggal (Wibawati, 2013).

Kartono (dalam Wibawati, 2013) menyatakan bahwa penyesuaian diri

adalah usaha yang dilakukan manusia untuk mencapai keharmonisan pada

diri sendiri dan lingkungannya sehingga dapat mempertahankan eksistensinya

serta memperoleh kesejahteraan jasmaniah dan rohaniah. Sedangkan menurut

Schneiders (dalam Indarwati dan Fauziah, 2012) penyesuaian diri adalah

usaha yang mencakup respon mental dan tingkah laku individu, yaitu

individu berusaha keras agar mampu mengatasi konflik dan frustrasi karena

terhambatnya kebutuhan dalam dirinya, sehingga tercapai keselarasan dan

keharmonisan dengan diri atau lingkungannya.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Bangun (dalam Wibawati, 2013)

mengenai kemampuan penyesuaian diri pada mahasiswa baru menunjukkan

bahwa mahasiswa baru yang mampu menyesuaikan diri dengan baik dapat

bertindak sesuai dengan norma-norma yang berlaku di sekitarnya. Hal inilah

yang membuat mahasiswa baru tersebut dapat diterima di lingkungannya dan

(35)

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri

adalah usaha yang dilakukan oleh individu untuk menghadapi

perubahan-perubahan yang terjadi di sekitarnya untuk dapat menciptakan keselarasan

dan keharmonisan antara dirinya sendiri dan lingkungannya.

2. Kriteria Penyesuaian Diri

Vembriarto (dalam Wibawati, 2013) menyebut karakteristik penyesuaian

diri sebagai kriteria penyesuaian diri. Penyesuaian diri terbagi menjadi dua

yaitu berhasil dan tidak berhasil. Penyesuaian diri yang berhasil akan

menimbulkan perasaan senang, bahagia, dan nyaman. Sedangkan yang tidak

berhasil akan menimbulkan perasaan gelisah dan stres. Kriteria penyesuaian

diri terdiri dari :

a. Kepuasan Psikis

Individu yang berhasil melakukan penyesuaian diri akan merasa

senang, tenang, dan aman sehingga akan menimbulkan kepuasan psikis.

Sedangkan individu yang gagal atau tidak berhasil melakukan penyesuaian

diri akan menimbulkan perasaan kecewa, gelisah, dan depresi.

b. Efisiensi Kerja

Individu yang berhasil menyesuaikan diri dapat bekerja atau melakukan

setiap kegiatannya dengan baik. Sedangkan individu yang tidak dapat

menyesuaikan diri dengan baik akan mengalami kesulitan dalam

(36)

c. Gejala Fisik

Individu yang dapat menyesuaikan diri yang baik akan memperlihatkan

keadaan fisik yang sehat dan bugar. Sedangkan individu yang tidak dapat

menyesuaikan diri yang baik akan mengalami kegelisahan dan depresi

yang akan berdampak pada gejala fisik seperti pusing dan pencernaan

terganggu.

d. Penerimaan sosial

Individu yang dapat menyesuaikan diri dengan baik akan diterima

dengan baik oleh masyarakat dimana individu tersebut berada. Sedangkan

individu yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan baik akan menerima

penolakan dari masyarakat di sekitarnya.

Pada penelitian kali ini, peneliti menggunakan karakteristik penyesuaian

diri menurut Vembriarto ( dalam Wibawati, 2013) yaitu kepuasan psikis,

efisiensi kerja, gejala fisik, dan penerimaan sosial. Keempat karakteristik

penyesuaian diri tersebut digunakan karena dari hal-hal tersebut nantinya

dapat dilihat individu yang dapat menyesuaikan diri dengan baik atau tidak

dengan lingkungan barunya. Keberhasilan atau ketidakberhasilan mereka

dalam menyesuaikan diri inilah yang akan menentukan tercapainya

kesejahteraan psikologis mereka.

3. Faktor-faktor Penyesuaian Diri

Kartono (dalam Septiana, 2007) mengungkapkan beberapa faktor yang

sangat menentukan dalam usaha penyesuaian diri adalah sebagai berikut :

(37)

Faktor penentu herediter “hereditair dominant” dari kondisi dan

bagian tersebut antara lain sistem syaraf, sistem kelenjar, sistem otot,

kesehatannya (dalam keadaan sakit atau sehat, dan lain-lain).

b. Kematangan taraf pertumbuhan dan perkembangan

Faktor utama dalam taraf kematangan pertumbuhan dan

perkembangan antara lain kematangan intelektual, kematangan sosial dan

moral, dan kematangan emosionalnya.

c. Determinan psikologis

Faktor-faktor yang termasuk dalam determinan psikologis adalah

pengalaman-pengalaman, trauma-trauma, situasi dan kesulitan belajar,

kebiasaan, penentuan diri (self determination), frustrasi, konflik, dan

saat-saat kritis.

d. Kondisi lingkungan dan alam sekitar

Faktor-faktor yang termasuk dalam kondisi lingkungan dan alam

sekitar adalah keluarga, sekolah, lingkungan kerja, teman-teman, dan

lain-lain. Pada faktor ini, individu akan mengalami kesulitan dalam

berhubungan dengan orang lain di lingkungannya apabila terdapat

“model” yang tidak baik di lingkungan tersebut.

e. Faktor adat istiadat, norma sosial, religi, dan kebudayaan

Faktor-faktor tersebut dapat mendukung dan membantu individu

dalam menyesuaikan diri dengan baik. Faktor-faktor tersebut dapat

mengatur individu dalam menentukan sikap dalam menyesuaikan diri di

(38)

Faktor-faktor di atas dapat mendukung dan membantu individu dalam

menyesuaikan diri di lingkungan yang baru. Dengan adanya faktor-faktor

tersebut pula yang akan mempermudah individu dalam mencapai

kesejahteraan psikologis saat berada di lingkungan yang baru.

B. Kesejahteraan Psikologis

1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis

Kesejahteraan psikologis adalah salah satu konsep yang berkembang

dalam ranah psikologi positif. Konsep kesejahteraan psikologis ini

merupakan gambaran dari kesehatan psikologis seseorang. Tingkat kesehatan

psikologis ini didasarkan pada pemenuhan kriteria fungsi kesehatan mental

positif yang dikemukakan oleh para ahli psikologi (Ryff dalam Wulandari,

2011). Ryff dan Singer (1996) mengembangkan konsep kesejahteraan

psikologis berdasarkan tiga perspektif. Pertama adalah perspektif teoritis dari

psikologi perkembangan, terutama psikologi perkembangan rentang

kehidupan manusia. Perspektif ini meliputi tahapan perkembangan

psikososial Erikson yaitu delapan tahap perkembangan yang memiliki tugas

perkembangan yang khas yang menghadapkan individu dengan suatu krisis

yang harus dihadapi, formulasi dari Buhler mengenai kecenderungan dasar

hidup yang mengarah pada pemenuhan hidup, dan deskripsi dari Neugarten

mengenai perubahan kepribadian masa dewasa dan masa lanjut yang

menyatakan bahwa pada masa dewasa seseorang cenderung hidup secara

individual sedangkan masa lanjut yaitu suatu masa dimana orang dapat

(39)

Kedua adalah perspektif teoritis dari psikologi klinis yang memberikan

dasar pembentukan konsep kesejahteraan psikologis. Perspektif ini

memberikan pemahaman tentang individu yang berfungsi secara positif,

seperti konsep individu yang dapat beraktualisasi diri dari Maslow, konsep

individu yang berfungsi sepenuhnya dari Roger, proses individuasi dari Jung,

dan konsep individu yang memiliki kedewasaan diri dari Allport. Ketiga

adalah literatur mengenai kesehatan mental dari Jahoda yaitu kriteria positif

dari kesehatan mental yang dihasilkan untuk menggantikan definisi

kesejahteraan sebagai tidak adanya penyakit (Ryff dan Singer, 1996).

Dari berbagai perspektif di atas yang menjelaskan kualitas positif dari

manusia terdapat beberapa kesamaan. Ryff merumuskan beberapa kesamaan

ini menjadi enam dimensi yaitu penerimaan diri, hubungan positif dengan

orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan

pribadi (Waskito, 2014). Dari uraian di atas, kesejahteraan psikologis dapat

diartikan sebagai keadaan individu yang mengalami rentang perkembangan

kehidupan yang baik, tidak menderita penyakit mental terutama memiliki

karakteristik positif pada penerimaan diri, hubungan positif dengan orang

lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan

pribadi.

2. Dimensi-Dimensi Kesejahteraan Psikologis

Ryff (1989) menyatakan konsep kesejahteraan psikologis dalam enam

dimensi, yakni dimensi penerimaan diri (self acceptance), hubungan yang

(40)

penguasaan lingkungan (environmental mastery), tujuan hidup (purpose in

life), dan pertumbuhan pribadi (personal growth).

a. Penerimaan Diri (Self Acceptance)

Dimensi penerimaan diri adalah sikap positif terhadap diri sendiri

dan merupakan ciri penting dari kesejahteraan psikologis. Gambaran

inti dari kondisi well-being yang dicirikan dengan individu yang dapat

mencapai aktualisasi dan berfungsi secara optimal, kedewasaan serta

penerimaan diri seseorang kehidupan yang sudah dilewatinya. Pada

dimensi penerimaan diri ini, individu yang memiliki skor tinggi apabila

individu tersebut memiliki sikap positif terhadap diri sendiri, mengakui

dan menerima berbagai aspek dirinya termasuk kelebihan dan

kekurangan diri, dan merasa positif terhadap kehidupan yang telah

dilaluinya. Sedangkan individu yang memiliki skor rendah apabila

individu tersebut merasa tidak puas dengan dirinya, merasa kecewa

terhadap kehidupan yang dijalaninya, mengalami masalah karena

kualitas dirinya, dan berharap menjadi pribadi yang berbeda dari

dirinya saat ini.

b. Hubungan yang Positif dengan Orang Lain (Positive Relation with

Others)

Dimensi hubungan positif dengan orang lain dapat digambarkan

secara operasional sebagai tinggi rendahnya kemampuan seseorang

dalam membina kehangatan dan hubungan saling percaya dengan orang

(41)

kuat, mampu mencintai secara mendalam dan bersahabat. Pada dimensi

hubungan yang positif dengan orang lain, individu yang memiliki skor

tinggi apabila mempunyai hubungan yang hangat, memuaskan, dan

saling percaya dengan orang lain, memperhatikan kesejahteraan orang

lain, memiliki empati yang besar, afeksi, dan keakraban, memahami

memberi dan menerima dalam hubungan antar manusia. Sedangkan

individu yang memiliki skor rendah apabila individu tersebut sedikit

memiliki hubungan yang dekat dan kepercayaan terhadap orang lain,

merasa kesulitan untuk bersikap hangat, terbuka, memperhatikan orang

lain, merasa terasing, dan frustrasi dalam hubungan interpersonal, tidak

bersedia untuk mempertahankan hubungan yang penting dengan orang

lain.

c. Otonomi (Autonomy)

Dimensi otonomi ini menekankan pada kemampuan untuk

mengarahkan diri sendiri, kemandirian, dan kemampuan mengatur

tingkah laku. Orang yang berfungsi penuh digambarkan mampu menilai

diri sendiri dengan menggunakan standar pribadi. Pada dimensi

otonomi, individu memiliki skor tinggi apabila individu tersebut

mampu mengarahkan dirinya dan mandiri, mampu menghadapi tekanan

sosial, mengatur tingkah laku sendiri, dan mengevaluasi diri dengan

standard sendiri. Sedangkan individu disebut memiliki skor rendah

apabila individu tersebut lebih memperhatikan harapan dan penilaian

(42)

keputusan, menyesuaikan diri terhadap tekanan sosial untuk berpikir

dan bertingkah laku.

d. Penguasaan Lingkungan (Environmental Mastery)

Dimensi penguasaan lingkungan adalah orang yang mampu

menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi fisiknya.

Kemampuan ini dipengaruhi oleh kedewasaan seseorang khususnya

kemampuan seseorang untuk memanipulasi dan mengontrol lingkungan

yang kompleks melalui aktivitas mental dan fisik. Pada dimensi

penguasaan lingkungan, individu yang memiliki skor tinggi apabila

individu tersebut mempunyai sense of mastery dan mampu mengatur

lingkungan, mengontrol berbagai kegiatan eksternal yang kompleks,

memanfaatkan dengan efektif kesempatan-kesempatan yang ada,

mampu memilih atau menciptakan konteks yang sesuai dengan

kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai pribadi. Sedangkan individu yang

memiliki skor rendah apabila individu tersebut mengalami kesulitan

dalam mengatur aktivitas sehari-hari, merasa tidak mampu untuk

mengubah atau meningkatkan keadaan di sekitarnya, tidak menyadari

akan kesempatan di sekitarnya, dan kurang mempunyai kontrol

terhadap dunia luar.

e. Tujuan Hidup (Purpose in Life)

Dimensi tujuan hidup dapat digambarkan secara operasional

sebagai tinggi rendahnya pemahaman individu akan tujuan dan arah

(43)

merujuk pada suatu variasi dalam mengubah kehendak atau tujuan

hidup seperti lebih produktif, kreatif, atau penerimaan pengintegrasian

emosi di kehidupan yang akan datang. Pada dimensi tujuan hidup,

individu yang memiliki skor tinggi apabila individu tersebut

mempunyai tujuan dan arah hidup, merasakan hidup yang berarti pada

masa kini dan masa yang lalu. Sedangkan individu yang memiliki skor

rendah apabila individu tersebut tidak mempunyai arti, tujuan, arah

hidup, dan cita-cita yang tidak jelas, serta tidak melihat adanya tujuan

dari kehidupan yang lalu.

f. Pertumbuhan Pribadi (Personal Growth)

Dimensi pertumbuhan pribadi dapat digambarkan secara

operasional sebagai tinggi rendahnya kemampuan seseorang dalam

mengembangkan potensi diri secara berkelanjutan dan lebih

menekankan pada cara memandang diri dan merealisasikan potensi

dalam diri. Terbuka pada pengalaman sebagai contoh merupakan

karakteristik utama dalam seseorang dapat berfungsi secara penuh. Pada

dimensi pertumbuhan pribadi, individu yang memiliki skor tinggi

apabila individu tersebut merasakan adanya pengembangan potensi diri

yang berkelanjutan, terbuka terhadap pengalaman baru, menyadari

potensi diri dan dapat melihat perkembangan diri dari waktu ke waktu.

Sedangkan skor rendah apabila individu tersebut tidak merasakan

(44)

merasa jenuh, dan tidak tertarik dengan kehidupan, serta merasa tidak

mampu untuk mengembangkan sikap dan tingkah laku yang baru.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Psikologis

Faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis adalah :

a. Usia

Ryff dan Keyes (dalam Priyambodo, 2011) menemukan dimensi

yang berpengaruh terhadap perubahan usia individu adalah dimensi

penguasaan lingkungan, relasi positif dengan orang lain, dan dimensi

otonomi. Dimensi penguasaan lingkungan dan relasi positif dengan

orang lain cenderung tinggi pada usia lansia. Dimensi otonomi

cenderung tidak meningkat pada usia lansia, tetapi cenderung

meningkat pada usia dewasa awal dan madya.

b. Status Sosial Ekonomi

Ryff, dkk mengemukakan bahwa status sosial ekonomi

berhubungan dengan dimensi penerimaan diri, tujuan hidup,

penguasaan lingkungan, dan pertumbuhan pribadi. Efek negatif dari

status sosial ekonomi yang rendah pada dimensi ini adalah tampak pada

hasil perbandingan sosial. individu miskin akan merasa dirinya kurang

beruntung dibandingkan dengan individu yang lainnya.

c. Budaya

Christopher (dalam Dewi, 2013) mengatakan bahwa sistem nilai

individualisme-kolektivisme memberi dampak terhadap kesejahteraan

(45)

sistem individualisme memiliki skor yang tinggi dalam dimensi

penerimaan diri dan otonomi, sedangkan budaya yang menjunjung

tinggi nilai kolektivisme memiliki skor yang tinggi pada dimensi

hubungan positif dengan orang lain.

d. Jenis Kelamin

Ryff (dalam Dewi, 2013) mengemukakan bahwa pada dimensi

kesejahteraan psikologis, perempuan memiliki hubungan positif dengan

orang lain dan memiliki kecenderungan skor yang lebih tinggi pada

pertumbuhan pribadi. Perempuan menunjukkan kekuatan pada dimensi

interpersonal sebagai pusat perkembangan konsepsi perempuan.

e. Agama

Ritcher (dalam Dewi, 2013) mengungkapkan bahwa tingkat

keagamaan yang tinggi pada individu berasosiasi dengan karakteristik

kepribadian yang sehat ditunjukkan dengan kesejahteraan psikologis

yang tinggi. Pengalaman hidup keagamaan dapat memberikan makna

dalam kehidupan sehari-hari.

C. Mahasiswa Baru

Mahasiswa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005) adalah orang

yang belajar di perguruan tinggi.Setiap tahunnya, perguruan tinggi akan menerima

mahasiswa yang baru. Mahasiswa baru adalah peserta didik baru suatu program

studi pada program sarjana di suatu perguruan tinggi (Peraturan Menteri

(46)

Oxford, batasan sebagai mahasiswa baru (freshman) adalah pada masa tahun

pertama di universitas.

Mahasiswa baru yang memutuskan tinggal di asrama pada umumnya

merupakan individu yang mempunyai rentang usia berkisar 18-24 tahun yaitu

berada dalam tahap remaja. Masa remaja adalah periode perkembangan transisi

dari masa anak-anak hingga masa awal dewasa, yang dimasuki pada usia kira-kira

10 hingga 12 tahun dan berakhir pada usia 18 hingga 22 tahun ( Santrock, 2002).

Masa remaja merupakan masa transisi yang memberikan banyak peluang untuk

bertumbuh dan berkembang dalam segala aspek kehidupannya, bukan hanya

dalam hal fisik tetapi juga dalam kompetensi kognitif dan sosial. Seorang remaja

dihadapkan pada berbagai tugas perkembangan yang harus dilaksanakan dan

dilewati dengan baik (Papalia, dkk (2008)).

G. S. Hall adalah seorang sarjana Psikologi Amerika Serikat.Biasanya Hall

disebut sebagai Bapak Psikologi Remaja.Hall (dalam Sarwono, 2013) menyatakan

bahwa masa remaja adalah masa topan badai (strum und drang). Pada masa ini

akan penuh gejolak akibat pertentangan dengan nilai-nilai dalam kehidupan.

Menurut Erikson ada delapan tahap perkembangan sepanjang kehidupan, tiap

tahapnya terdiri dari tugas perkembangan yang unik yang menghadapkan

seseorang pada suatu krisis yang harus dipecahkan.Krisis tersebut merupakan titik

balik meningkatnya kelemahan dan kemampuan. Hopkins dalam Santrock (2007)

menyatakan bahwa ketika seseorang berhasil menyelesaikan krisis yang

(47)

Menurut Blos dalam Sarwono (1989), masa remaja akhir adalah masa

konsolidasi menuju periode dewasa dan ditandai dengan 5 pencapaian hal, yaitu :

(a) timbulnya minat yang makin kuat terhadap fungsi-fungsi intelek, (b) keinginan

untuk menjalin komunikasi dengan orang lain dan mengalami

pengalaman-pengalaman baru, (c) terbentuknya identitas seksual yang tetap, (d) berubahnya

pandangan dari egosentris dengan keseimbangan antara diri sendiri dengan orang

lain, (e) terbentuknya batas atas kepentingan diri sendiri dan masyarakat umum.

Menurut Mappiare (1982), ciri-ciri penting remaja akhir adalah mulai timbul

dan meningkatnya kestabilan dalam hal ini kestabilan dalam aspek fisik dan

psikis. Keadaan demikian membuat individu tersebut lebih dapat melakukan

penyesuaian-penyesuaian dalam banyak aspek kehidupannya dibandingkan

dengan masa-masa sebelumnya. Pada masa ini, pola sikap mendidik orang tua dan

jarak tempat tinggal antara remaja dengan orang tuanya mempunyai pengaruh

yang besar terhadap proses penstabilan tersebut. Orang tua yang lebih demokratis,

lebih menunjang proses terciptanya kestabilan daripada orang tua yang terlalu

melindungi (overprotective). Selain itu, remaja yang merantau diharapkan lebih

cepat dalam mencapai kestabilan tersebut. Hal ini disebabkan karena remaja

dalam lingkungan keluarga yang demokratis dan remaja yang dalam perantauan

mempunyai kesempatan yang lebih banyak untuk mengurusi

keperluan-keperluannya sendiri, membuat rencana pribadi, menyusun alternatif, mengambil

keputusan sendiri serta bertanggungjawab terhadap keputusan-keputusannya.

Ciri penting remaja akhir selanjutnya yaitu mempunyai citra diri dan

(48)

sebagaimana adanya, menghargai dirinya, keluarganya, dan orang-orang di

sekitarnya. Remaja merasa puas dengan dirinya sendiri dan orang-orang di

sekitarnya. Rasa puas ini merupakan salah satu syarat penting pencapaian

kebahagiaan bagi remaja. Kemudian ciri selanjutnya menghadapi masalahnya

secara lebih matang. Hal ini ditunjukkan dalam usaha menyelesaikan masalah

yang ada, baik secara individu maupun dengan diskusi-diskusi dengan teman

sebaya mereka. Langkah-langkah penyelesaian masalah tersebut mengarahkan

remaja akhir pada tingkah laku yang lebih dapat menyesuaikan diri dalam banyak

situasi lingkungan dan situasi perasaan-perasaan individu.

Ciri penting remaja akhir yang terakhir adalah perasaan menjadi lebih tenang.

Perasaan tenang dalam menghadapi kekecewaan-kekecewaan yang terjadi

ditunjang oleh adanya kemampuan berpikir yang matang dan kemampuan

menguasai perasaan-perasaan sendiri serta adanya kemampuan dalam menghadapi

keadaan yang sebenarnya (realistis).

Mahasiswa adalah remaja yang mengenyam pendidikan sampai di perguruan

tinggi. Individu tersebut akan menghadapi hal-hal baru yang menuntut mereka

untuk dapat menyesuaikan diri dengan baik. Penyesuaian diri yang baik akan

membuat mereka menjadi pribadi yang dapat berkembang baik dalam hal

intelektual maupun kepribadian mereka.

D. Kehidupan dan Peraturan Asrama Syantikara

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002), asrama adalah bangunan

tempat tinggal bagi kelompok orang untuk sementara waktu, terdiri atas sejumlah

(49)

adalah sebagai berikut : (a) Tempat tinggal sementara bagi mahasiswa selama

dalam masa studinya, (b) Sarana berkumpul atau bersosialisasi dengan lingkungan

sosial di sekitarnya, (c) Sarana penunjang dalam proses belajar. Melihat dari

fungsi asrama tersebut membuat seseorang memutuskan untuk tinggal dalam

asrama. Selain itu, mereka tetap memutuskan tinggal di asrama karena keinginan

orang tua demi menjaga keamanan anak-anak mereka, adapula karena kerabat

atau keluarga mereka tinggal pula di asrama tersebut serta karena mendapatkan

beasiswa dari Romo atau Suster yang mengharapkan mereka tinggal di asrama.

Hal ini seperti yang dikatakan oleh Regina, salah satu warga asrama Syantikara,

Regina tinggal di asrama selain demi keamanannya karena tinggal berjauhan

dengan orang tuanya, alasan lain tinggal di asrama karena sebelumnya kerabat

Regina pernah tinggal di asrama.

Setiap asrama menerapkan peraturan tegas yang harus ditaati oleh semua

warga asrama tanpa terkecuali. Seperti halnya pada asrama Syantikara, pertama

kali masuk asrama tersebut warga asrama telah diberitahukan mengenai

peraturan-peraturan yang berlaku. Pemberitahuan akan peraturan-peraturan

tersebut dan keharusan mengenal warga asrama yang lama diadakan dalam masa

orientasi mahasiswa, yang sering disebut POSMA (Pekan Orientasi Mahasiswa).

Peraturan tersebut mencakup pengaturan waktu, pembagian kamar, kebiasaan

dalam unit, tugas-tugas yang harus dilakukan tiap minggunya. Tugas wajib yang

dilakukan tiap minggunya disebut dengan “tugas unit” yang dilakukan secara

bergantian oleh masing-masing anggota unit. Tugas unit tersebut adalah

(50)

membersihkan kaca, membersihkan kamar mandi, menata rak sepatu, dan

lain-lain (Septiana, 2007).

Dalam pengaturan waktu, asrama Syantikara menerapkan “jam tamu” (waktu

yang diperbolehkan untuk mendapat kunjungan dari orang lain) mulai dari pukul

16.00 WIB - pukul 17.30 WIB setiap harinya. Selain kunjungan dari orang tua,

warga asrama tidak diperbolehkan menerima tamu di luar jam tamu yang telah

ditentukan. Terdapat pula “jam tenang” yaitu jam belajar warga asrama dimulai

dari pukul 08.00 WIB - 10.00 WIB dan dilanjutkan pada pukul 19.00 WIB –

21.00 WIB. Setiap warga asrama diharuskan pulang sebelum pukul 22.00 WIB

setiap harinya. Apabila terdapat penghuni yang melanggar peraturan tersebut akan

mendapatkan konsekuensi dari Suster. Bagi warga asrama yang mempunyai

kepentingan di luar asrama setelah pukul 18.00 WIB diharuskan meminta izin

kepada Suster atau kepada “simbok” dan “wakil simbok” (sebutan kepada ketua

dan wakil unit). Hal ini sesuai dengan penuturan Regina, salah satu warga asrama

Syantikara, yang menyatakan bahwa demikianlah jam-jam yang diberlakukan di

asrama. Regina juga menambahkan terdapat pula jam makan, makan pagi mulai

pukul 06.00 – 07.30 WIB, makan siang mulai pukul 12.00 – 13.30 WIB dan

makan malam mulai pukul 18.00 – 18.30 WIB kecuali makan malam pada hari

Sabtu dimulai pada pukul 17.00 – 17.30 WIB. Selain itu, warga asrama tidak

diperbolehkan untuk menonton televisi setiap hari. Warga asrama diperbolehkan

menonton televisi hanya pada hari Sabtu dan Minggu. Untuk mendapatkan

informasi mengenai perkembangan dunia luar, pihak asrama menyediakan media

(51)

Peraturan yang juga diterapkan di asrama Syantikara adalah peraturan

“pindah unit” yang dilaksanakan setiap tahunnya. Pindah unit dilakukan untuk

mengubah formasi penghuni dalam satu unit. Pemindahan unit ini dilakukan oleh

Suster. Setiap penghuni tidak mempunyai hak untuk memilih teman satu unitnya.

Terdapat pula “rapat unit” yang bukan merupakan peraturan asrama tapi hal ini

sering dilakukan oleh masing-masing unit. Rapat unit ini dilakukan sebagai sarana

untuk menyelesaikan masalah baik secara personal maupun unit.

Selain peraturan, dalam asrama juga terdapat pengurus yaitu warga asrama

yang dipercaya untuk mengelola kegiatan bersama dan menjadi penghubung

antara penghuni dengan Suster ataupun penghuni dengan pihak luar. Pengurus

menjabat selama satu tahun ajaran. Pengurus dipilih oleh warga asrama sendiri,

namun tidak jarang Suster juga berperan dalam mengambil keputusan untuk

menentukan pengurus tersebut. Kepengurusan dibagi menjadi dua bagian yaitu

pengurus inti dan pengurus harian. Selain bertugas sebagai pelaksana tugas-tugas

inti, pengurus inti juga mengkoordinasi beberapa kegiatan harian asrama yang

dikelola oleh masing-masing koordinator.

Terdapat dua kegiatan yang dilakukan di asrama Syantikara yaitu kegiatan

dalam lingkungan asrama dan kegiatan di luar lingkungan asrama. Kegiatan

dalam lingkungan asrama misalnya latihan koor. Sedangkan kegiatan di luar

lingkungan asrama seperti kegiatan kampus, organisasi kepemudaan,

mendampingi bimbingan belajar, pendampingan iman untuk warga sekitar dan

lain-lain. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dimaksudkan untuk mengembangkan

(52)

berkembang dalam segi intelektual tetapi juga dalam segi kepribadian. Kegiatan

yang dilakukan bertujuan untuk melatih kerjasama antar warga asrama, saling

memahami dan menghargai satu sama lain antar warga asrama yang berasal dari

berbagai suku, latar belakang, agama dan universitas (Septiana, 2007).

Sejak awal berdirinya, asrama diharapkan bukan hanya sebagai tempat

tinggal semata tetapi sebagai tempat untuk pembinaan dan pengembangan diri.

Tujuan utamanya adalah untuk melatih kejujuran, kepekaan, rasa tanggung jawab,

kepedulian terhadap sesama, kemandirian, serta menumbuhkan toleransi terhadap

pada sesama yang berbeda (Septiana, 2007).

E. Dinamika Psikologis Hubungan Penyesuaian Diri dengan Kesejahteraan Psikologis pada Mahasiswa Baru yang Tinggal di Asrama Syantikara

Mahasiswa baru adalah peserta didik baru suatu program studi pada program

sarjana di perguruan tinggi (Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik

Indonesia Nomor 34 Tahun 2010). Mereka memutuskan untuk meninggalkan

kampung halamannya karena ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan

tinggi atau universitas. Seorang mahasiswa rela meninggalkan keluarga dan

lingkungan yang telah membuat mereka nyaman berpindah ke lingkungan baru

yang belum mereka ketahui sama sekali. Di lingkungan yang baru mereka akan

bertemu dengan orang-orang baru dan tinggal di lingkungan yang baru. Ada yang

tetap tinggal bersama keluarga atau kenalan mereka bahkan tinggal bersama

dengan orang-orang yang mereka tidak kenal sebelumnya. Ada yang memutuskan

(53)

Pada umumnya, tinggal di asrama bukanlah pilihan yang menarik buat

mahasiswa. Banyaknya peraturan, kewajiban, dan larangan yang berlaku di

asrama membuat para mahasiswa merasa tidak nyaman untuk tinggal di asrama

(Septiana, 2007). Hal ini dapat dipahami dengan melihat rentang usia para

mahasiswa tersebut yang berada dalam rentang usia remaja akhir. Pada rentang

usia remaja akhir, individu menginginkan kebebasan untuk mengembangkan diri

mereka (Septiana, 2007). Tak terkecuali bagi mahasiswa yang memutuskan untuk

tinggal di asrama Syantikara. Sebagai mahasiswa baru, tidak mudah bagi mereka

untuk menjalani hidup di asrama. Banyak perubahan yang mereka alami.

Sebelumnya mereka merasa tenang dan nyaman hidup bersama keluarga dan

kemudian mereka tinggal di asrama dengan segala peraturan dan kewajiban yang

diberlakukan bagi segenap warga asrama. Meskipun demikian, mereka tetap

memutuskan tinggal di asrama. Hal ini disebabkan karena keinginan orang tua

demi menjaga keamanan anak-anak mereka, adapula karena kerabat atau keluarga

mereka tinggal pula di asrama tersebut serta karena mendapatkan beasiswa dari

Romo atau Suster yang mengharapkan mereka tinggal di asrama. Hal ini seperti

yang dikatakan oleh Regina, salah satu warga asrama Syantikara, Regina tinggal

di asrama selain demi keamanannya karena tinggal berjauhan dengan orang

tuanya, alasan lain tinggal di asrama karena sebelumnya kerabat Regina pernah

tinggal di asrama.

Aturan-aturan dan harapan yang ingin dicapai dalam kehidupan sebagai

mahasiswa terlebih dalam kehidupan berasrama bisa jadi sangat berat untuk

(54)

berlaku tentunya akan membuat mahasiswa baru tersebut merasa tidak nyaman

dan tertekan. Hal ini akan mempengaruhi kondisi psikis mereka. Para mahasiswa

tersebut tidak merasakan kesenangan atau kebahagiaan dalam menjalani

kehidupan di asrama. Dengan tekanan-tekanan yang ada seperti peraturan yang

ketat, tuntutan untuk berbagi dengan warga asrama yang lainnya serta belajar

untuk memahami dan mengerti orang lain maka diasumsikan bahwa kesejahteraan

psikologis mereka tidak tercapai dengan baik.

Seorang mahasiswi sekaligus sebagai warga asrama membutuhkan dan

dituntut melakukan suatu hal untuk dapat bertahan dalam kehidupan berasrama.

Salah satu hal yang dapat dilakukan adalah menyesuaikan diri dengan lingkungan

barunya yang jelas berbeda dengan lingkungan kehidupan sebelumnya. Seseorang

yang dapat menyesuaikan diri dengan baik dapat ditandai dengan mendapatkan

kepuasan psikis (merasa senang, tenang, aman), dapat bekerja atau melakukan

kegiatannya dengan baik, memiliki keadaan fisik yang sehat dan bugar serta

diterima dengan baik oleh masyarakat dimana seseorang tersebut berada. Namun,

pada kenyataannya tidak mudah dalam menyesuaikan diri. Ada proses yang harus

dilalui dan berbeda-beda untuk setiap individu. Kemampuan penyesuaian diri ini

dipengaruhi oleh kondisi kesehatan seseorang, kondisi psikologis, lingkungan

tempat tinggal, kebiasaan dan budaya masyarakat yang berlaku (Septiana, 2007).

Seorang mahasiswa yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan baik akan

mengalami perasaan kecewa, gelisah, depresi, kesulitan dalam melakukan

pekerjaan atau setiap kegiatannya, mengalami gangguan pada fisik seperti pusing

(55)

Kemampuan menyesuaikan diri sangat penting untuk dilakukan agar mahasiswa

dapat hidup dengan nyaman di asrama maupun di kampus. Penyesuaian diri yang

baik pada suatu lingkungan baru merupakan salah satu bagian yang menandakan

bahwa seseorang mencapai kesejahteraan psikologis. Seseorang yang mencapai

kesejahteraan psikologis ditandai dengan seseorang tersebut mampu menerima

dirinya, mampu menjalin relasi positif dengan orang lain, memiliki kemandirian,

memiliki penguasaan lingkungan, memiliki makna dan tujuan hidup, dan

(56)
[image:56.612.97.565.112.723.2]

Gambar 1.SKEMA

zz

Mahasiswa Baru yang Tinggal di Lingkungan Baru (Asrama Syantikara)

Tinggi Rendah

Tinggi • Mampu menerima diri • Mampu menjalin relasi positif

dengan orang lain • Memiliki kemandirian

• Memiliki penguasaan lingkungan • Memiliki makna dan tujuan hidup • Mengalami pertumbuhan diri

• Tidak menerima diri • Mengisolasi diri

• Bergantung pada orang lain • Kurang menyadari kesempatan

yang diberikan lingkungan • Kurang mampu memaknai hidup • Kurang mampu mengembangkan

sikap dan perilaku

Rendah

• Menimbulkan perasaan kecewa, gelisah, depresi

• Kesulitan dalam melakukan pekerjaan atau setiap kegiatannya • Mengalami gangguan pada fisik

seperti pusing atau gangguan pencernaan

• Mendapatkan penolakan dari masyarakat

Penyesuaian Diri

• Menimbulkan kepuasan psikis (senang, tenang, aman) • Dapat bekerja atau melakukan

kegiatannya dengan baik

• Memperlihatkan keadaan fisik yang sehat dan bugar

(57)

F. Hipotesis

Ada korelasi positif antara penyesuaian diri dengan kesejahteraan

psikologis pada mahasiswa baru yang tinggal di asrama Syantikara, dimana

bila seorang individu mempunyai penyesuaian diri yang rendah maka ia

mempunyai kecenderungan mencapai kesejahteraan psikologis yang rendah,

begitu pula sebaliknya. Bila seorang individu mempunyai penyesuaian diri

yang tinggi maka ia mempunyai kecenderungan mencapai kesejahteraan

(58)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

kuantitatif. Penelitian dengan pendekatan kuantitatif menekankan analisisnya

pada data-data numerikal (angka) yang diolah dengan metode statistika

(Azwar, 1997). Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat adanya hubungan

antara penyesuaian diri dengan kesejahteraan psikologis pada mahasiswa baru

yang tinggal di asrama Syantikara.

B. Identifikasi Variabel

1. Variabel Bebas (Independent Variable) : Penyesuaian diri

2. Variabel Tergantung (Dependent Variable) :Kesejahteraan Psikologis

C. Definisi Operasional Variabel Penelitian

Definisi operasional variabel-variabel penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Penyesuaian diri adalah usaha yang dilakukan oleh individu untuk

menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi di sekitarnya untuk dapat

menciptakan keselarasan dan keharmonisan antara dirinya sendiri dan

lingkungannya. Aspek-aspek dari penyesuaian diri yang menjadi indikator

dalam penelitian kali ini adalah kepuasan psikis, efisiensi kerja, gejala

fisik dan penerimaan sosial.

Pengukuran penyesuaian diri kali ini menggunakan skala yang

(59)

diperoleh subjek maka semakin tinggi pula penyesuaian dirinya atau

semakin berhasil dalam menyesuaikan diri. Dan sebaliknya, semakin

rendah skor total yang diperoleh subjek maka semakin rendah pula

penyesuaian dirinya atau menunjukkan ketidakberhasilan dalam

menyesuaikan diri.

2. Kesejahteraan psikologis adalah suatu keadaan individu yang mengalami

rentang perkembangan kehidupan yang baik, tidak menderita penyakit

mental terutama memiliki karakteristik positif pada penerimaan diri,

hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan,

tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi. Kesejahteraan psikologis pada

penelitian kali ini diukur menggunakan skala kesejahteraan psikologis

yang disusun berdasarkan dimensi-dimensi yang mengacu pada teori Ryff

yaitu penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi,

penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi.

Tingkat kesejahteraan psikologis yang dicapai oleh subjek dilihat

berdasarkan skor total yang diperolehnya. Semakin tinggi skor total yang

diperoleh subjek maka semakin tinggi pula kesejahteraan psikologisnya.

Dan sebaliknya, semakin rendah skor total yang diperoleh subjek maka

semakin rendah pula kesejahteraan psikologisnya.

D. Subjek Penelitian

Subjek penelitian kali ini adalah seluruh mahasiswa baru yang tinggal di

(60)

1. Asrama Syantikara merupakan asrama khusus untuk mahasiswi. Warga

asrama berasal dari berbagai daerah di Indonesia seperti Nias, Papua,

Sumatera, Maluku, Sulawesi, Kalimantan dan dari berbagai universitas

seperti Universitas Sanata Dharma, Universitas Gajah Mada, Universitas

Sarjanawiyata Taman Siswa dan Universitas Atmajaya. Warga asrama

juga memeluk keyakinan serta memiliki status ekonomi yang

berbeda-beda. Hal ini yang menurut peneliti akan membuat proses penyesuaian diri

pada warga asra

Gambar

GAMBAR 2. SCATTERPLOT .......................................................................
Gambar 1.SKEMA
Tabel 1. Blue Print Skala Penyesuaian Diri
Tabel 2.Blue Print Skala Kesejahteraan Psikologis
+7

Referensi

Dokumen terkait

Mahasiswa dan mahasiswi perantau yang memiliki penyesuaian diri yang baik, ketika berada di lingkungan baru dapat dengan mudah berbaur dengan orang lain di

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kecerdasan emosi dengan penyesuaian diri pada mahasiswa perantau asal Lampung. Subjek penelitian ini adalah

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kesejahteraan psikologis ibu bekerja dengan pola kelekatan yang dimilikinya. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pola

Masih adanya aspek-aspek dari kesejahteraan psikologis yang belum terpenuhi dan tercermin dalam perilakunya menunjukkan bahwa kesejahteraan psikologis remaja di

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara konsep diri dengan penyesuaian diri pada remaja yang tinggal di tempat koso

Atas berkat Rahmat dan Kebesarn-Nya peneliti dapat menyelesaikan penelitian dengan judu “ Hubungan Antara Kesejahteraan Psikologis dan Penyesuaian diri terhadap

(2005) juga menunjukkan bahwa setiap tahunnya 5-10% dari siswa baru di lingkungan asrama Assalam Surakarta mengalami masalah dalam melakukan proses penyesuaian diri,

Hipotesis dari penelitian ini adalah ada hubungan yang positif antara konsep diri dengan kemampuan pemecahan masalah pada mahasiswa Kepulauan Riau yang tinggal di